Anda di halaman 1dari 7

Penanganan Awal yang harus diberikan (Primary & Secondary survey)

Pada pasien trauma, prioritas pengobatan ditetapkan berdasarkan cedera, tanda-tanda


vital, dan mekanisme cedera yang ditemukan saat dilakukan penilaian keseluruhan pasien.
Penilaian tersebut harus dilakukan secara cepat dan efektif. Manajemen pasien trauma
meliputi survei primer (primary survey) cepat dengan resusitasi fungsi vital secara simultan
dan survei sekunder (secondary survey) yang lebih rinci.

Survei primer meliputi ABCDE; Airway (pemeliharaan jalan napas dengan


pembatasan gerak tulang belakang leher), Breathing (pernapasan dan ventilasi), Circulation
(sirkulasi dan kontrol perdarahan), Disability (disabilitas dan penilaian status neurologis),
serta Exposure (kontrol lingkungan).

A. Airway (pemeliharaan jalan napas dengan pembatasan gerak tulang belakang leher)
Penilaian jalan napas untuk memastikan ada tidaknya tanda-tanda obstruksi
jalan napas meliputi pemeriksaan benda asing, mengidentifikasi fraktur fasial,
mandibula, trakea/laring, dan cedera lainnya yang dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas. Pada pasien dengan penurunan kesadaran, lidah dapat jatuh kebelakang dan
menyumbat hipofaring sehingga jalan napas tertutup. Langkah-langkah pemeliharaan
jalan napas dilakukan sambil membatasi gerak tulang belakang leher menggunakan
cervical collar atau neck brace untuk menghindari terjadi progresi defisit. Pada pasien
cedera kepala berat dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 8 atau lebih rendah biasanya
memerlukan pemeliharaan jalan napas definitif yaitu menggunakan selang yang
dimasukkan ke trakea yang sudah dilubangi.

Teknik pemeliharaan jalan napas


a. Chin-lift maneuver

Gambar: Chin-lift maneuver


Sumber: American College of Surgeons. ATLS Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. The Committee on Trauma; 2018. Hal 30.

Manuver chin lift dilakukan dengan meletakkan jari-jari salah satu


tangan di bawah mandibula dan kemudian dengan lembut mengangkatnya ke
atas untuk membawa dagu ke anterior. Dengan ibu jari tangan yang sama,
tekan perlahan bibir bawah umtuk membuka mulut.
b. Jaw Thrust maneuver

Gambar: Jaw Thrust maneuver


Sumber: American College of Surgeons. ATLS Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. The Committee on Trauma; 2018. Hal 30.

Manuver Jaw thrust dilakukan dengan cara pegang sudut rahang


bawah dengan tangan di setiap sisi kemudian menggeser mandibula ke depan.
Manuver ini efektif pada pasien yang menggunakan bag mask device.
c. Oropharyngeal airway

Gambar: Oropharyngeal airway


Sumber: American College of Surgeons. ATLS Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. The Committee on Trauma; 2018. Hal 31.
Pada pasien penurunan kesadaran dan tidak ada refleks muntah dapat
dilakukan oropharyngeal airways. Oral airways dimasukkan ke dalam mulut
di belakang lidah. Teknik ini dilakukan dengan cara memasukkan oral
airways secara terbalik dengan bagian lengkungannya diarahkan ke atas
hingga menyentuh palatum lunak, kemudian oral airways diputar 180 derajat
hingga kurva menghadap ke bawah dan diselipkan di atas lidah. Teknik ini
tidak dianjurkan dilakukan pada anak-anak karena dapat merusak mulut dan
faring saat dilakukan pemutaran oral airways.

d. Supraglottic airway

Gambar: Supraglottic airway


Sumber: American College of Surgeons. ATLS Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. The Committee on Trauma; 2018. Hal 32.

Teknik ini berperan dalam mengelola pasien yang membutuhkan


tambahan saliran napas lanjutan, tetapi intubasi telah gagal atau tidak berhasil.
Pada teknik ini, ujung airways ditempatkan pada esofagus bagian atas, manset
ditempatkan pada kerangka laring, dan integral bite-block tepat pada gigi seri.
e. Cricothyroidotomy

Gambar: Needle Cricothyroidotomy


Sumber: American College of Surgeons. ATLS Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. The Committee on Trauma; 2018. Hal 36.
Gambar: Surgery Cricothyroidotomy
Sumber: American College of Surgeons. ATLS Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. The Committee on Trauma; 2018. Hal 37.

Teknik ini dilakukan dengan cara penyisipan jarum melalui membran


krikotiroid ke dalam trakea dalam situasi darurat untuk menyediakan oksigen
dalam jangka pendek. Pada orang dewasa digunakan kanula plastik kaliber
besar ukuran 12 sampai 14, sedangkan pada anak-anak ukuran 16-18. Kanula
dimasukkan melalui membran krikotiroid sampai kedalam trakea, kemudian
kanula dihubungkan dengan oksigen 15 L/menit. Selain itu, dapat dilakukan
cricothyroidotomi bedah dengan cara membuat sayatan kulit yang meluas
melalui membran krikotiroid. Setelah itu masukkan hemostat melengkung atau
pegangan posau bedah untuk melebarkan lubang, dan kemudian memasukkan
tabung endotrakeal atau trakeostomi.

B. Breathing(pernapasan dan ventilasi)


Pertukaran gas yang memadai diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi
dan eliminasi karbondioksida. Ventilasi membutuhkan fungsi paru-paru, dinding
dada, dan diafragma yang memadai. Cedera yang signifikan mengganggu ventilasi
dalam jangka pendek termasuk tension pneumotoraks, hemotoraks masif,
pneumotoraks terbuka, dan trauma trakeal atau bronkial. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan dalam membantu identifikasi tanda objektif dari ventilasi yang tidak
memadai:
1. Inspeksi naik turun dinding dada simetris atau tidak. Dada tidak simetris
menunjukan ada gangguan seperti pneumotoraks, flail chest. Nilai juga distensi
vena jugularis, posisi trakea.
2. Auskultasi di kedua dinding dada apakah ada penurunan atau tidak ada suara
napas di salah satu atau kedua dinding dada.
3. Gunakan oksimeter nadi untuk mengukur saturasi oksigen pasien dan mengukur
perfusi perifer. Saturasi oksigen rendah dapa menjadi indikasi hipoperfusi atau
syok.
4. Gunakan kapnografi, untuk memastikan intubasi jalan napas karena tabung
endotrakeal dapat berpindah setiap kali pasien dipindahkan.
Setiap pasien yang terluka harus menerima oksigen tambahan, jika pasien
tidak diintubasi, oksigen dialirkan dengan alat mask-reservoir yang rapat dan laju
aliran lebih besar dari 10 L/menit untuk mencapai oksigenasi yang optimal.

C. Circulation (sirkulasi dan kontrol perdarahan)


Perdarahan merupakan penyebab utama kematian yang dapat dicegah setelah
cedera. Oleh karena itu, dalam menangani pasien cedera diperlukan tindakan cepat
mengendalikan perdarahan dan memulai resusitasi. Hal-hal yang harus dinilai dalam
mengontrol sirkulasi dan perdarahan meliputi:
1. Sumber perdarahan eksternal dan internal, dapat berasal dari dada, abdomen,
retroperitoneum, panggul, tulang panjang. (biasanya diindetifikasi dengan xray,
focused assessment with sonography for trauma (FAST) dilakukan untuk
mengidentifikasi cairan bebas di perut yang menunjukkan perdarahan
intraabdomen atau tamponade perikardial
2. Tingkat kesadaran, karena volume darah menurun perfusi otak juga akan
berkurang dan menyebabkan penurunan kesadaran
3. Denyut nadi, dapat dilakukan pada arteri femoralis dan arteri karotis untuk
menilai kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
4. Warna kulit, ekstremitas dan kulit wajah pucat dapat menandakan hipovolemik

Setiap perdarahan harus dikontrol oleh pemberian tekanan secara langsung jika
memungkinkan, dan jika diperlukan dapat menggunakan turniket ke ekstremitas, namun
meningkatkan risiko cedera iskemik pada ekstremitas tersebut. Gunakan turniket hanya jika
tekanan langsung tidak efektif dan mengancam nyawa pasien. Dapat juga digunakan blind
clamping namun meningkatkan risiko kerusakan pada saraf dan vena.

Syok terkait cedera paling sering karena hipovolemik. Penanganannya dapat dimulai
dengan pemberian cairan IV kristaloid yang dihangatkan 37-40 derajat selsius. Serta bolus 1
liter cairan isotonik, tetapi kemudian harus diikuti dengan produk darah.
D. Disability (disabilitas dan penilaian status neurologis)
Evaluasi neurologis yang cepat diperlukan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien serta reaksi pupil. Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang cepat,
sederhana, dan objektif untuk menentukan tingkat kesadaran. Penurunan tingkat
kesadaran dapat mengindikasikan penurunan oksigenasi dan/atau perfusi serebral
langsung. Alkohol, nakotika, dan obat lain juga dapat mengubah tingkat kesadaran
pasien.
E. Exporsure (kontrol lingkungan)
Selama survei primer, buka pakaian pasien sepenuhnya untuk memfasilitasi
pemeriksaan dan penilaian menyeluruh. Setelah menyelesaikan pemeriksaan, tutupi
pasien dengan selimut hangat atau alat penghangat eksternal untuk mencegah
mengalami hipotermia. Hangatkan cairan infus sebelum memasukkannya, dan
pertahankan linkgungan tetap hangat. Hipotermia meripakan komplikasi yang
berpotensi menyebabkan kematian pada pasien cedera, oleh karena itu perlu
dilakukan tindakan agresif untuk mencegah hilangnya panas tubuh dan
mengembalikan suhu normal.

Survei sekunder (secondary survey)adalah penilaian pemeriksaan head to toe yang


cepat namun menyeluruh untuk mengidentifikasi potensi cedera. Survei sekunder dilakukan
setelah survei utama dan stabilisasi awal selesai. Tujuan dari survei sekunder adalah untuk
mendapatkan data historis terkait tentang pasien dan cederanya, serta untuk mengevaluasi dan
mengobati cedera yang tidak ditemukan selama survei primer. Hal ini berguna untuk
memprioritaskan evaluasi dan manajemen yang berkelanjutan.

Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera. Pengetahuan tentang


mekanisme cedera dapat diketahui melalui riwayat pasien. Seringkali riwayat pasien tidak
dapat diperoleh dari pasien yang mengalami trauma. Oleh karena itu, diperkukan peran
keluarga untuk dapat memberikan informasi terkait riwayat pasien. Untuk mendapatkan
riwayat yang cepat dan terfokus dapat digunakan riwayat AMPLE yang meliputi Allergies
(alergi), Medication (obat-obatan yang sering digunakan pasien), Past illnes/pregnancy
(penyakit sebelumnya atau kehamilan), Last meal (makanan terakhir yang dikonsumsi
pasien), Event/environment (peristiwa atau lingkungan yang terkait dengan cedera pasien).
Cedera dapat berupa cedera tumpul, cedera tusuk, atau cedera termal serta cedera lainnya.
Pada survei sekunder dilakukan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai head to
toe baik dari tubuh bagian depan, samping, maupun belakang serta dilakukan penilaian tanda-
tanda vital yang harus dipantau secara ketat. Pemeriksaan fisik mengikuti urutan kepala,
struktur maksilofasial, tulang belakang dan leher, dada, perut dan panggul,
perineum/rektum/vagina, sistem muskuloskeletal, dan sistem saraf.

Tes diagnostik khusus dapat dilakukan selama survei sekunder untuk


mengindentifikasi cedera spesifik. Tes ini berupa pemeriksaan X-ray tambahan pada tulang
belakang dan ekstremitas, CT scan kepala, perut, dada, dan tulang belakang, urografi kontras
dan angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi, serta tes diagnostik lainnya.

Referensi:

1. American College of Surgeons. ATLS Advanced Trauma Life Support Tenth Edition. The
Committee on Trauma; 2018.

Anda mungkin juga menyukai