Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan


meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis,
ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi sudah lama dilakukan dan salah satu prosedur
pembedahan yang paling sering dilakukan pada kelompok usia anak di seluruh dunia. Jumlah
tersebut telah menurun sekitar 50% dari sekitar 1,4 juta pada tahun 1959 menjadi sekitar 2
lakh per tahun sampai saat ini. Meskipun prosedur yang umum dilakukan, hal itu
menimbulkan tantangan besar bagi ahli bedah serta ahli anestesi dan dikaitkan dengan
peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas secara substansial.
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum. Pembebasan jalan napas merupakan tindakan pertama dan terpenting yang
harus dilakukan pada saat melakukan anestesi umum.
Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam pelaksanaan
anestesi umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi, bagaimanapun
juga tidak semua pasien yang mendapatkan anestesi umum membutuhkan intubasi trakea,
Pipa endotrakea umumnya digunakan untuk memproteksi jalan napas atau untuk akses jalan
napas. Manajemen pengelolaan jalan napas merupakan aspek anestesi yang mendasar, yaitu
meliputi ventilasi, laringoskopi, intubasi serta ekstubasi. Berbagai penelitian dan
perkembangan anestesi memfokuskan pada 3 aspek pertama manajemen jalan napas
dibanding dengan ekstubasi. Pada kenyataan, banyak ditemukan komplikasi yang seharusnya
bisa dicegah selama proses ekstubasi.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa komplikasi ekstubasi 7,4% lebih tinggi
dibanding dengan intubasi. Komplikasi respirasi seperti terjadinya batuk, desaturasi, menahan
napas, obstruksi jalan napas, laringospasme, hipoventilasi. komplikasi kardiovaskular seperti
terjadinya hipertensi, takikardi serta aritmia banyak ditemukan selama proses ekstubasi. Batuk
dan respons hemodinamik merupakan hal umum yang terjadi pada saat ekstubasi pasien
dengan anestesi umum endotrakeal dan berpotensi menimbulkan respons klinis. Insidensi
batuk saat proses ekstubasi endotrakeal berkisar antara 38%–96%. Kejadian batuk saat
ekstubasi dapat menyebabkan hipertensi, takikardi, peningkatan terhadap tekanan intraokuler
atau intrakranial, iskemik miokard, bronkospasme, dan perdarahan pada daerah operasi.
Penyebab utama batuk pada pasien yang dianestesi umum dengan intubasi endotrakeal
adalah akibat cuff pipa endotrakeal (endotracheal tube/ETT) yang kontak dengan mukosa
trakea. Batuk merupakan suatu refleks fisiologis yang bertujuan untuk melindungi jalan
napas. Refleks batuk dan refleks ekspirasi timbul akibat iritasi mekanik dan kimiawi pada
mukosa jalan napas, laring, trakea, maupun bronkus. Banyak prosedur-prosedur dari
pembedahan yang mengharuskan dilakukan tindakan anestesi dengan intubasi endotrakeal
selama pembedahan. Durasi operasi yang lama sehigga tidak dapat dilakukan dengan anestesi
regional memerlukan tindakan intubasi endotrakeal. Sehingga semakin lama mukosa trakea
kontak dengan cuff ETT, risiko terjadi batuk saat proses ekstubasi semakin besar.
Berbagai metode dilakukan untuk mengurangi kejadian batuk saat ekstubasi
diantaranya seperti deep extubation, pemberian obat intravena seperti opioid durasi singkat
sebelum ekstubasi juga digunakan untuk mengurangi kejadian batuk. Kekurangan dari metode
ini antara lain, pasien lama bangun, risiko terjadi obstruksi jalan napas, risiko aspirasi oleh
karena jalan napas yang tidak terlindungi. Pada pasien dengan risiko aspirasi seperti lambung
penuh, hamil, operasi di daerah leher, serta pasien dengan intubasi sulit, ekstubasi lebih aman
dilakukan setelah pasien sadar dan dapat mengikuti perintah. (Morgan,2006)
Lidokain yang dalam dunia anestesi digunakan sejak lama sebagai anestetik lokal,
juga sudah lama digunakan untuk mengurangi kejadian batuk saat ekstubasi. Pemberian dapat
dilakukan secara intravena, intra cuff ETT, maupun laringotrakeal instilasi atau menggunakan
laringotracheal instilation of topical anesthesia (LITA). Sebuah penelitian menyebutkan
penggunaan lidokain secara intravena akan memperpanjang waktu bangun. Penggunaan
lidokain dengan LITA akan membatu memblokade refleks supraglotik sehingga
meningkatkan risiko aspirasi. (Jee D, 2003)
Sebuah penelitian membandingkan pemberian 100 mg lidokain topikal dengan
intravena sebelum ekstubasi menggunakan ETT LITA, ETT yang dimodifikasi, disemprotkan
2
pada mukosa bagian proksimal dan distal dari cuff ETT. Penyemprotan laringotrakeal ini
ternyata menurunkan angka kejadian batuk secara signifikan dibandingkan dengan plasebo
atau pemberian intravena. Meskipun dari beberapa penulis penelitian memperkirakan
pemberian lokal anestesi secara instilasi ke dalam trakea akan diabsorpsi secara cepat dan
hampir sama seperti pemberian intravena. Beberapa laporan penelitian mengatakan kadar
plasma lidokain yang diberikan secara instilasi lebih rendah dibandingkan dengan pemberian
intravena. Konsentrasi lidokain plasma yang diperlukan untuk menekan refleks batuk saat
ekstubasi berkisar antara 2,3–3 µg/mL.
Beberapa bentuk penelitian tentang pemberian lidokain intravena dalam mencegah
refleks jalan napas pada pasien yang teranestesi melaporkan bahwa refleks batuk dapat
dicegah dengan konsentrasi plasma lidokain ˃3 µg/mL. Pemberian lidokain 2 mg/kgBB
intravena dapat menekan refleks batuk secara efektif sampai pada 5 menit sebelum dilakukan
intubasi, dengan konsentrasi plasma pada menit pertama 6,24±1,51 µg/mL dan pada menit
kelima 3,11±0,52 µg/mL. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada pemberian lidokain
intravena, diperlukan konsentrasi plasma lidokain minimal untuk menekan refleks batuk.
(Nishino T,1990)
Sebuah penelitian mengenai efektivitas dari lidokain topikal menggunakan ETT LITA dengan
menyemprotkan 2 mg/kgBB lidokain 4% sebelum ekstubasi dan dapat menekan batuk saat
ekstubasi namun dengan kadar puncak serum plasma lidokain ˂1,63 µg/mL (rata–rata 0,43
µg/mL). Hal ini menunjukkan efek lokal penyemprotan lidokain pada daerah mukosa
laringotrakea tidak tergantung dari kadar konsentrasi serum. (Nishino T,1990)
Sebuah penelitian lain yang membandingkan respons pada kardiovaskular akibat
pemberian rangsangan pada jalan napas (laring, trakea dan bronkus) setelah pemberian
lidokain topikal (lidokain 4%, 5 mL) dan sistemik (1 mg/kgBB) menunjukkan bahwa
pemberian lidokain secara topikal dapat memblokade respons kardiovaskular secara sempurna
dibandingkan dengan pemberian sistemik. Hal ini disebabkan oleh lokasi terbanyak reseptor
jalan napas terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi tepat dibawah epitel jalan napas sehingga
memungkinkan untuk memblokade secara topikal.10 Pemberian lidokain topikal 5 menit
sebelum intubasi dapat menekan respons refleks jalan napas secara efektif.11,12 Respons
refleks jalan napas seperti batuk juga dapat terjadi saat ekstubasi. Onset puncak lidokain
dicapai dalam waktu 5 menit. (Hamaya, 2000)
Pemberian lidokain secara endotrakeal melalui ETT sangat sederhana dan tidak
memerlukan alat khusus sehingga mudah diterapkan. Pemberian pada pasien dengan posisi

3
terlentang, proses gravitasi dan mukosa trakea yang basah akan memudahkan proses difusi
lidokain sampai titik kontak proksimal trakea dengan ETT. (Jee D,2003)

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas


Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus
memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang.

Gambar 1. Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas


( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

2.1.1 Respirasi Internal dan Eksternal


Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam
pengertian yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari
pergerakan otot dan skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam
paru dan selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi.
Fase yang lain adalah respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan
molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui
membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan.
2.1.2 Organ-organ pernafasan
Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea
(d) bronkhus (e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu
untuk sistem pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam
4
proses pernafasan. Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting
disamping muskulus intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang
lainnya.

Gambar 2. Sistem Respirasi


( dikutip : www.pearsoned.co.uk )
Faring
Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke
dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang
menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun
melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.
Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan
membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat
ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan,
selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu
makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung
posterior.
Laring
Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar
lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum
dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding
laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami
kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran

5
suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring. Bagian laring sebelah
atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder. Fungsi laring, yaitu
mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara. Laring
juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan
dan air masuk ke dalam trakhea. Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis
hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring
namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis selain
berfungsi sebagai penutup laring juga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,
karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang
mengelilingi lubang.

2.2 Tonsilitis Kronik


Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses
pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ
lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber
bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar
jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit.
Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh
dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.
2.2.1 Etiologi
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena
sering menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak
diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri
yang sama terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri
gram positif. Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti
Staphylococcus aureus, Streptococcus beta hemolyticus group A.
2.2.2 Faktor predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :
- Rangsangan kronis (rokok, makanan)
- Hygiene mulut yang buruk
- Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
6
- Alergi (iritasi kronis dari alergen)
- Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)
- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

2.2.3 Patofisiologi
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke
tubuh kita baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan
dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika
tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang
tidak memadai serta adanya faktor-faktor lain,maka pada suatu waktu tonsil
tidak bisa membunuh semua kuman kumannya, akibatnya kuman yang yang
bersarang di tonsil akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik.pada
keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi atau fokal infeksi.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena
proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis
kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel leukosit yang
mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih
kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.
2.2.4 Manifestasi klinis
Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi
dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2)
gejala sistemis, berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di
kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis
parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika
tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
2.2.5 Terapi
2.2.5.1 Medikamentosa

7
Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut
yang baik, obat kumur, dan obat. Pengobatan tonsilitis kronis dengan
menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10 hari.
Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau sulfonamida,
namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisis atau
klindamisin.
2.2.5.2 Operatif
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini, indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan
hipertrofi tonsil.

2.3 Anestesi Umum


Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Obat anestesi yang
masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak,
sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk
menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
8
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.

2.3.1 Macam-macam Teknik Anestesi


a. Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang
menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik
diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga
kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat
anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida
yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.
Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal
3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer
sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang
dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi
dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang
dari 100% kebutuhan.
d. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga
udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,
maintenance, dan lain-lain.
2.3.2 Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:1,7
9
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
Angka mortalitas 16%.
ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI: Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
2.3.3 Pemeriksaan praoperasi anestesi
2.3.3.1 Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan
obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
10
e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
2.3.3.2 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
b. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
c. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
d. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
e. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla

pharingeal

Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula
Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV : palatum durum saja
f. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
g. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
11
h. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
i. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
2.3.3.3 Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
Lab rutin :
a. Pemeriksaan lab. Darah
b. Urine : protein, sedimen, reduksi
c. Foto rongten ( thoraks )
d. EKG
Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
a.EKG pada anak
b.Spirometri pada tumor paru
c.Tes fungsi hati pada ikterus
d.Fungsi ginjalpada hipertensi
e.AGD, elektrolit.
2.3.4 Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas
atropine
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien


yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
12
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan.
Obat-obatan Premedikasi pada kasus ini :

a. Midazolam
Midazolam adalah agen sedatif yang termasuk ke dalam golongan
benzodiazepin. Golongan benzodiazepin telah lama digunakan sebagai agen
sedatif secara intravena di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Obat yang
termasuk ke dalam golongan benzodiazepin adalah diazepam, midazolam,
lorazepam, Flunitrazepam dan chlordiazepoxide. Obat golongan
benzodiazepin biasanya diberikan untuk sedasi sadar secara intravena
kecuali lorazepam. Flunitrazepam tidak digunakan lagi untuk penggunaan
klinik di Amerika Serikat sejak tahun 2002. Midazolam adalah senyawa 1,4
– benzodiazepin, berdasarkan aspek farmakologisnya sangat mirip dengan
diazepam, tetapi memiliki beberapa kelebihan yang menyebabkan
midazolam lebih banyak penggunaannya di klinik dibandingkan diazepam.
Midazolam pertama kali disintesis pada tahun 1975 oleh Walser dan Fryer di
Hoffman-LaRoche. Penggunaan klinik midazolam di Amerika mulai tahun
1986. Rumus kimia midazolam adalah 8-chloro-5(2’-fluorophenyl)-1-
methyl-4H-imidazo(1,5-a)(1,4) benzodiazepin maleat, merupakan kristal
tanpa warna yang terlarut dalam air.
Sedian midazolam maleat terdiri dari 1 dan 5 mg yang mempunyai
pH 3,3. Keasaman pH mempertahankan bentuk cincin benzodiazepin dalam
konfigurasi terbuka, yang diperlukan senyawa untuk larut dalam air. Saat
midazolam masuk ke dalam tubuh, pH fisiologis tubuh adalah 7,4 akan
menyebabkan penutupan cincin sehingga membentuk struktur kimia yang
diperlukan untuk kegunaan klinis.1 Bentuk midazolam terlarut dalam air
merupakan perbedaan midazolam dengan agen parental benzodiazepin yang
lain, seperti diazepam, lorazepam dan chlordiazepoxide. Midazolam tidak
menggunakan prophylene glycol sebagai bahan pelarut yang mempunyai

13
sifat iritasi, sehingga mengurangi rasa terbakar di daerah penyuntikan, serta
tidak adanya sekuele phlebitis pada tempat penyuntikan.

b. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB,
termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah
ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya,
telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid
dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan
dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi
secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi
berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi
maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya


efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria
dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak
bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu
neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis
tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang
mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di
striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan
hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula
dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol
(suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-
sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan
dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai
neurolepanestesia.

c. Ondansetron
Ondansetron adalah derivat carbazalone yang secara struktural
berhubungan dengan serotonin dan bekerja spesifik sebagai antagonis
14
reseptor subtype 5-HT3, tanpa mempengaruhi reseptor dopamin, histamin,
adrenergik ataupun kolinergik sehingga ondansetron tidak memiliki efek
neurologis, yang terbalik dengan droperidol dan metokloperamid.
Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-HT3 yang bekerja secara selektif.
Meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas, namun
ondansetron bukan merupakan antagonis reseptor dopamin. Reseptor
serotonin tipe 5- HT3 berada diperifer (di ujung nervus vagus) maupun di
sentral yaitu di chemoreceptor trigger zone pada area postrema. Efek
sitotoksik kemoterapi tampaknya berhubungan dengan pelepasan serotonin
dari sel enterochromaffin di usus halus. Serotonin yang dilepaskan akan
merangsang afferen vagus melalui reseptor 5- HT3 dan memulai reflek
muntah.

2.3.5 Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

a. Vecuronium bromide
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Dalam anestesi umum, obat ini
memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi
trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan
ventilasi kendali. Efek farmakologis utama yang ditunjukkan oleh vecuronium
berkisar pada pengikatan kompetitif reseptor kolinergik yang terletak di pelat
ujung motorik. Pengikatan kompetitif ini menghasilkan efek relaksasi otot
yang biasanya digunakan sebagai tambahan untuk anestesi umum. Dengan
demikian vecuronium bromide bermanfaat untuk merelaksan otot-otot pada
tubuh. Hal ini diperlakukan sebelum ke tahap operasi. Otot-otot perlu
mengalami relaksasi agar tubuh siap menerima atau menjalani operasi. Apabila
otot kaku, maka akan sangat menyulitkan tim medis untuk memulai dan
selama proses operasi berlangsung. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh

15
siapapun. Vacuronium bromide juga akan meregangkan otot tenggorokan,
sehingga mempermudah pengoperasian. Efek samping yang dapat ditimbulkan
berupa Tachycardia, kenaikan tekanan darah (BP) dan output kardiak, edema,
kulit kemerahan, ruam, salivasi yang berlebihan, otot sangat
lemah, bronchospasma, reaksi hipersensitivitas.

b. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam
air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau
anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.

16
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol
dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja
lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan
vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi


pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

2.3.6 Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
17
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
b. Sefoflurane
Sevoflurane adalah fluorinated methyl isopropyl ether. Koefisien partisi
dari darah/gas sevoflurane adalah 0,69 yang secara teoritis memungkinkan
obat ini menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan yang
cepat pula setelah obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isoflurane,
pemulihan sevoflurane bisa lebih cepat 3 sampai 4 menit. Minimum
alveolar concentration(MAC) pada suhu kamar 37ºC, pada tekanan 760
mmHg, usia 30-35 tahun adalah 1,8-2,0%. MAC akan menurun seiring
bertambahnya umur, pemberian N2O, opioid, barbiturat, benzodiazepine,
alkohol, temperatur, obat yang memperngaruhi konsentrasi katekolamin
sentral dan perifer (misalnya : reserpin, alpha metyl dopa). MAC untuk
pasien umur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%, untuk umur dibawah 6
bulan adalah 3,2-3,3%. Sevoflurane memiliki bau yang manis dan tidak
iritatif terhadap saluran nafas sehingga dapat digunakan untuk induksi
inhalasi. Sekitar 3-5% sevoflurane akan mengalami biodegradasi di hepar,
dengan metabolitnya berupa fluoride anorganik dan
hexafluoroisopropanol.
Efek sevofluran pada sistem kardiovaskular adalah depresi ringan
terhadap kontraktilitas myokard. Resistensi vaskular sistemik serta tekanan
darah arterial sedikit menurun namun tidak sehebat pada isoflurane dan
desflurane. Tidak menyebabkan coronary steal syndrome. Pada sistem
pernafasan, sevoflurane menyebabkan depresi sistem respirasi dan
menyebabkan 13 bronkodilatasi. Pada sistem saraf pusat, sevoflurane
menyebabkan peningkatan cerebral blood flow dan tekanan intrakranial
pada kondisi normokarbia. Sevofluran konsentrasi tinggi (>1,5MAC) akan
18
mengganggu autoregulasi otak sehingga bila terjadi bersamaan dengan
perdarahan otak akan menyebabkan kegagalan dalam autoregulasi dan
perfusi ke otak akan turun. Untuk rekomendasi klinis diharapkan level dari
sevoflurane minimal 1 MAC.
Pada sistem muskuloskeletal sevofluran memiliki efek relaksasi yang
baik sehingga dapat diandalkan sebagai relaksan otot pada bayi yang
diinduksi dengan inhalasi. Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah ke
ginjal. Sevofluran menurunkan aliran darah portal tetapi meningkatkan
aliran darah ke 14 arteri hepatika sehingga secara umum tidak terlalu
mempengaruhi aliran darah ke hepar serta oksigenasinya.
2.3.7 Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
2.3.8 Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB
19
/ jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-
15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
2.3.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum
yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan
untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk
untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.

20
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2
motorik atas perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
atas perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari 1
semula 0
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
Tabel 2. Steward Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli 1
 Tak ada respon 0
2 Jalan napas  Batuk atas perintah atau menangis 2
 Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 0
nafas
3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.
21
Tabel 3. Robertson Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4
 Tidur ringan 3
 Membuka mata atas perintah 2
 Tidak ada respon 1
2 Jalan napas  Batuk atas perintah 3
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi 1
kepala 0
 Tanpa bantuan obstruksi
3 Aktifitas  Mengangkat tangan atas perintah 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anak


Tanda Kriteria
Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng Mampu menela, batuk, dan muntah
Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
perkembangan
Muntah Muntah, mual pusing minimal
Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan
mendengkur
Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System


Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

22
Bromage score < 2  boleh pindah ke ruang perawatan.

2.4 Lidokain
2.4.1 Sejarah
Anestesi lokal pertama kali disintesa dari kokain dan diperkenalkan
sebagai obat local anestesi pertama kali tahun 1884 oleh Kollar untuk
digunakan dalam ophthalmology. Halsted mengakui kemampuan dari
kokain injeksi untuk menghambat konduksi impuls saraf, yang penting
untuk diperkenalkan pada anesthesia blok saraf tepid an spinal anesthesia.
Sebagai ester dari asan benzoic, kokain dalam jumlah banyak terdapat
pada tumbuhan Erythroxylon coca, sejenis tumbuhan yang tumbuh
dipegunungan andes dimana kualitasnya dalam merangsang otak diketahui
dengan baik. Keistimewaan yang unik lainnya dari kokain adalah
kemampuannya menimbulkan vasokonstriksi lokal, membuat berguna
untuk mengerutkan mukosa hidung pada saat proses rhinolaryngologik
dan intubasi nasothrakeal.
Potensial penyalahgunaan dari kokain membatasu keabsahan
penggunaannya secara medis, selain itu sifat iritasi kokain membatasi obat
tersebut digunakan sebagai anestesi topikal pada kornea atau bentuk
injeksi lainnya yang menyebabkan anestesi (Stoelting,2006). Obat anestesi
lokal sintetik pertama kali dibuat dari turunan ester yaitu prokain,
diperkenalkan oleh einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai
anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain(
Xylocaine/lignocaine) adalah obat anestesi local yang digunakan secara
luas baik melalui pemberian topikal atau intravena. Lidokain
menimbulkan blok saraf lebih cepat, lebih kuat dan durasinya lebih lama
dibandingkan dengan prokain. Tidak seperti prokain, lidokain efektif
digunakan secara topikal dan sangat poten untuk obat antidisritmia
jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar
perbandingan dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan
blok reversible terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah
anesthesia regional ataupun blok saraf tepi. Dengan meningkatnya
konsentrasi dari obat-obat lokal anesthesia di sekitar serat saraf akan
menyebabkan konsentrasi dari obat-obat lokal anstesi disekitar serat saraf
23
akan menyebabkan transmisi saraf otonom, saraf sensorik, dan saraf
motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem otonom, sensoris
dan paralisis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh saraf yang di
blok. Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan
diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit,
tanpa ditandain kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek
obat. Tiap miliiter lidokain mengandung : 2-(dietilamino)-N-(2,6-
dimetilfenil) asetamida hodroklorida (Stoelting, 2006).

Gambar 2.4 struktur kimia lidokain

2.4.2 Struktur Anestesi Lokal


Anestesi lokal terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofobik yang
dihubungkan oleh rantai hidrokarbon (Gambar 2.2). Bagian hidrofilik
disusun oleh amine tersier seperti : dietilamine, dimana bagian
paraaminobenzoik acid. Bagian lipofilik ini berperan penting dalam
menentukan aktifitas anestetik dari obat tersebut. Berdasarkan strukturnya
tersebut, obat anestesi lokal dapat diklasifikasikan menjadi golongan
amino-ester dan amino-amide. Pembagian menjadi golongan ester dan
amide ini erat kaitanna dengan metabolism dan reaksi alergi yang
ditimbulkannya (Stoelting,2006).

Gambar 2.5 Struktur dasar anestesi local


24
Modifikasi struktur kimia dari obat lokal anestesi ini berpengaruh pada
efek farmakologi. Lidokain mirip dengn etidokain tetapi penggantian grup
ethyl dari lidokain dengan propyl dan penambahan etyl pada alpha atom
karbon di ratai hydrocarbon menyebabkan etidokain 50 kali lebih larut dalam
lemak dan durasi 203 kali lebih lama. Anestesi lokal pipecoluxylidide
( mepivakain, bupivacaine, ropivacaine, levobuvicaine) memiliki struktur
chiral karena adanya atom karbon yang asimetris. Struktur ini menyebabkan
obat tersebut meliki konfigurasi l (left) dan r (Right) enatiomer perbedaan
konfigurasi ini erat kaitannya dengan efek neeurotoksisitas dan
kardiotoksisitas, dimana lenatiomer (ropivacaine, levobuvivacaine ) memiliki
toksisitas yang lebih rendah dari r-enatiomer (stoelting, 2006).
Potensi sangat berhubungan dengan kelarutannya didalam lemak,
karena hal ini berpengaruh terhadap kemampuan obat anestesi lokal dalam
menembus membran sel neuron (epineurium, perineureum dan endoneurium).
Secara umum kelarutan dalam lemak dan potensi dari lokal anestesi meningkat
bila jumlah atom C (karbon) yang menyusun molekul obat tersebut bertambah
banyak. Cara yang sering dipergunakan untuk mengukur potensi dari obat
anestesi lokal adalah Cm ( konsentrasi minimum dari lokal anestesi yang dapat
memblok konduksi impuls saraf). Tetapi pengukuran ini juga dipengaruhi
beberapa faktor : ukuran, tipe, dan myelin serat saraf, pH ( pH asam
mengurangi potensi blok saraf), frekuensi rangsangan saraf dan kadar elektrolit
(hipokalemia dan hiperkalemia akan mempengaruhi dusar blok saraf)
Onset dari anestesi lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
kelarutan dalam lemak, pKa ( pH saat obat anestesi lokal anestesi yang
terionisasi sama dengan yang tidak terionisasi). Obat yang memiliki pKa
mendekati pH fisiologis, konsentrasi obat yang tidak terionisasi lebih besar
sehingga lebih mudah menembus membrane sel saraf, sehingga onset lebih
cepat, disamping itu, pH dari jaringan juga berpengaruh terhadap onset
anestesi lokal, seperti pada infeksi lokal pH jaringan lebih azam, sehingga
onset anestesi lokal akan lebih lambat, penambahan epinheprine akan membuat
pH larutan lebuh asam( karena molekul epinephire lebih stabil pada suasana
asam) sehingga onset maupun durasi dari anestesi local lebih lama. Sedangkan
penambahan sodium bikorbonat (alkalinisasi 1ml 8,4% sodium bikarbonat per
25
10 ml 1% lidokain) akan meningkatkan pH larutan anestesi lokal sehingga
onset dari lokal anestesi lebih cepat dan durasinya lebih lama. Durasi dari
anestesi lokal sangat bergantung pada kelarutan obat dalam lemak. Semakin
besar kelarutannya dalam lemak semakin lama durasinya oleh karena
pembersihan oleh aliran darah menurun. Kelarutannya dalam lemak juga
menunjukkan kekuatan ikatan antara obat dengan protein plasma berbanding
lurus dengan kecepatan eliminasi dari obat.

2.4.3 Mekanisme Kerja Anestesi Lokal


Anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat
aliran ion natrium melalui saluran natrium pada keadaan potensial istrahat,
neuron mempertahankan potensial (-70mV) didalam sel neuron dibandingkan
dengan di luar sel. Pompa Na-K secara aktif mempertahankan potensial ini
tetap terpelihara. Pompa aktif ini menggerakkan natrium (Na+) keluar dari sel
neuron dan membawa kalium (K+) masuk kedalam sel sehingga terjadi
perbedaan konsentrasi ion Na+ dan K+ didalam dan di luar sel (Na+ lebih
tinggi di ekstrasel dan K+ lebih tinggi di intrasel). Untuk pergerakan pasif, sel
neuron lebih permeabel terhadap ion K daripada ion Na sehingga potensial
listrik intraseluler lebih negatif dari ekstrasel.
Dengan adanya rangsangan potensial listrik pada neuron maka akan
terjadilah fase depolarisasi sepanjang akson dan aktifasi kanal natrium di
membrane sel yang menyebabkan reflek ion natrium ke dalam sel sehingga
terjadi perubahan potensial membran dari -70mV menjadi +35 mV. Molekul
anestesi lokal masuk kedlam sel dan menutup kanal ion Na dari dalam sel,
sehingga potensial aksi dicegah dan trasnmisi impuls sepanjang saraf tidak
terjadi (Rathmell, 2004).
Tidak semua serat-serat saraf dapat dpengaruhi oleh obat anestesi lokal,
oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada
tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang
terblok adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebaliknya pemulihannya
dimulai dari saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonomy (Morgan,2013)
2.4.4 Farmakokinetik
Anestesi lokal adalah basa lemah dengan pKa sedikit diatas pH
fisiologi. Pada pH fisiologis kurang dari 50% obat anestesi lokal terlarut dalam
26
lemak dan tak mengalami ionisasi. Anestesi lokal yang memiliki pKa
mendekati pH fisiologis memiliki onset yang lebih cepat karena rasio obat
yang terionisasi dan dengan tidak terionisasi optimal. Disamping itu efek
vasodilator dari obat anestesi lokal itu sendiri, dimana efek lidokain lebih besar
daripada mepivacaine mempercepat absorbsi sistemik dari obat sehingga
mempercepat durasi dari obat tersebut. Sedangkan bupivacaine dan etidocaine
memiliki faktor intrinsic yang serupa, namun konsentrasi plasma efek
bupivacaine setelah pemberiannya pada ruang epidural lebih tinggi daripada
etidocaine (Stoelting 2006)
2.4.4.1 Absorbsi
Arbsorbsi anestesi lokal tempat injeksi ke dalam sirkulasi darah
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya tempat ijeksi obat dan besarnya
dosis, penggunaa vasokonstriktor dan farmakologi dari obat. Membrane
mukosa ( konjngtiva, mukosa trakea) memiliki barrier yang lemah terhadap
anestesi lokal dibandingkan dengan kulit yang intak sehingga pemberian
melalui mukosa akan memberikan efek yang lebih cepat. Pada infiltrasi
yang dalam (3-5 mm) akan memberikan durasi ±1-2jam. Arbsorpsi secara
sistemik tergantung dari proporsi vascular dari jaringan (intravena >
trakea> intercostals> caudal> paraservikal>epidural> pleksis
brakhialis>skiatik>subcutan ) lidokain mudah diserap dari tempat suntikan,
dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat
mencapai 60% kadar dalam darah. (Stoelting 2006)
2.4.4.2 Distrubusi
Distribusi dari lidokain tergantung dari msing-masing organ yang
dipengaruhi oleh perfusi jaringan dan koefisien partial dari jaringan dan
darah. Pada organ yang memiliki perfusi jaringan yang tinggi (otak,paru,
hati, ginjal, dan jantung) obat ini akan cepat didistribusikan .paru-paru
mengekstraksi sebagian besar dari anestesi lokal. Kondisi ini
menyebabkan ambang toksisitas anestesi lokal lebih rendah bila
disuntikkan intra-arterial daripada intravena. Koefisien partial dari
jaringan dan darah memiliki kekuatan ikatan protein plasma akan
mempertahankan anestesi lokal didalam darah, sedangkan kelarutannya
akan dalam lemak memudahkan pengambilan oleh organ. (Stoelting 2006)
2.4.4.3 Metabolisme dan Ekskresi
27
Lidokain termasuk anesthesia golongan amida, dan didalam hati,
lidokain mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed
function oxides) membentuk monoetilglisin dan xilidid, yang kemudian
dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi Imonoetilglisisn dan xilidid.
Keduam metabolism ternyata masih memiliki efek anestsi lokal. Pada
manusia 75% dari xilidid akan dieksresikan bersama urin dalam bentuk
metabolik akhir, 4 hiroksi 2-6 dimetil –aniline. (Stoelting 2006)
Paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seperti lidocaine,
bupivacaine, dan prilocaine dari sirkulasi (Jorfeldt et al., 1980). Setelah
pemasukan anestesi lokal secara cepat ke dalam sirkulasi vena, pengeluaran
oleh paru akan membatasi konsentrasi obat yang mencapai sirkulasi
sistemik yang didistribusikan ke arteri koroner dan ke sirkulasi serebral.
Untuk bupivacaine, pengeluaran oleh paru merupakan hal yang tergantung
pada dosis, sehingga proses ambilan menjadi tersaturasi secara cepat.
(Stoelting, 2006)
2.4.5 Indikasi
Lidokain dipergunakan untuk menimbulkan anestesi lokal dan regional
dengan berbagai teknik ; (Katzung, 2004)
o Teknik topikal seperti : EMLA salep kulit, lidokain spray
o Teknik infiltrasi : injeksi perkutaneus dan anesthesia regional intravena
o Teknik blok saraf tepi seperti : lumbal dan caudal epidural
o Teknik blok saraf tepi seperti blok pleksus dan intercostalis
2.4.6 Farmakodinamik
2.4.6.1 Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat sanagt peka terhadap toksisitas anestesi lokal
sehingga gejala yang timbul dapat dipakai sebagai pertanda overdosis
terutama pada pasien sadar. Kelebihan dosis atau masuknya anestesi lokal
secara langsung ke intravaskuler akan memberikan gejala awal berupa mati
rasa pada bibir. Kesmutan pada lidah, dan pusing. Gejala eksitasi sistim
saraf pusat yang ditandai dengan gejala-gejala gelisah, agitasi, ketakutan ,
gembira berlebihan biasanya mendahului gejala depresi yaitu: pusing,
mengantuk, tinnitus, penglihatan kabur (diplipia), mual muntah,
menurunnya sensitivitas, gemetar, kejang, tidak sadar, depresi pusat nafas

28
dan cardiac arrest. Kejang tonik klonik biasanya didahului oleh twitching
dari otot rangka. Pemberian benzodiazepine dan hiperventilasi akan
menurunkan aliran darag cerebral dan meningkatkan ambang rangsang
kejang oleh anestesi lokal. Disamping itu, pemberian thiopental ( 1-2
mg/kgbb) dapat menghentikan kejang cepat, tetapi ventilasi dan oksigenasi
harus adekuat. Lidokain intravena ( dosis 1,5 mg/kgbb) akan menurunkan
aliran darah otak dan mencegah meningkatnya tekanan intracranial yang
sering terjadi pada saat melakukan tindakan intubasi. (Morgan 2013,
Stoelting 2006)
Dibandingkan dengan bupivacaine. Lidokain lebih potensial
menimbulkan neurotoksisitas terutama pada konsentrasi yang tinggi dan
kontak relative lama. Lidokain dengan konsentrasi 5% (hiperbarik)
dikatakan berhubungan dengan kejadian cauda equine syndrome pada
pemberian secara terus menerus. Disamping itu penggunaan jarum yang
relative keil ( 25-32 G) juga berperan, karena akan membatasi kecepatan
kita dalam menyuntikkan obat, sehingga terjadi pooling obat hanya pada
daerah suntikan. Transient neurological symtoms yang ditandain dengan
kesemutan, rasa terbakar dan nyeri pada ekstremitas bawah menjalar sampai
ke pantat, sering terjadi pada spinal anesthesia (single shot). Gejala yang
timbul adalah sebagai akibat dari perangsangan saraf pada radik dorsalis,
biasanya sembuh sendiri pada hari ke 3-7. (Morgan 2013, Stoelting 2006)

2.4.6.2 Sistem Kardiovaskular


Secara umum semua oat anestesi lokal bupivacaine > lidokain)
menekan automatisitas dari otot jantung (spontaneoou phase 4
depolarisaai) dan mengurangi durasi dari fase refrakter. Kontraktilitas dan
konduksi dari otot jantung juga ditekan oleh obat anestesi lokal pada
konsentrasi yang lebih besar. Efek timbul karena perubahan pada
membrane sel otot jantung ( sodium channel blockade) dan penghambatan
sistem saraf otonom. Kombinasi ini akan menimbulkan bradikardi, blok
jantung, hipotensi dan akhirnya gagal jantung. Stimulasi yang singkat pada
sistem kardiovaskular ( takikardi, hipertensi) dapat terjadi lebih awal
sebagai akibat ekstitasi pada sistem saraf pusat. (Morgan 2013, Stoelting
2006)
29
Konsentrasi lidokain ynag rendah berguna untuk menangani
beberapa tipe dari ventrikular arrytmia. Kontraktilitas otot jantung dan
tekanan darah arteri tidak dipengaruhi oleh anestesi lokal bila diberikan
dengan dosis yang tepat. Hipertensi terjadi pada saat laryngoskopi-intubasi
dapat dicegah dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb intravena 1-3 menit
sebelumnya. Injeksi bupivacaine intravascular yang tidak diharapkan dapat
terjadi pada saat anestesi regional. Hal ini dapat menimbulkan reaksi
kardiotoksik yang berat ( arrhythmia yang mengancam nyawa, ventrikular
takikardi, dan fibrilasi). Kehamilan, hipoksemia dan asidosis respiratorik
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya efek samping. Untuk
menghindari dari hal ini aspirasi terlebih dahulu sebelum memberikan obat
injeksi harus dilakukan (Morgan 2013, Stoelting 2006)
2.4.6.3 Sistem Respirasi
Lidokain menurunkan respon ventilasi terhadap penurunan tekanan
oksigen (hypoksik drive). Apnea dapat terjadi karena paralisis dari nervus
phrenikus dan interkostae atau depresi pada pusat nafas akibat kontak
langsung dari obat anestesi lokal. Anestesi local menimbulkan relaksasi
otot polos pada bronchus, sehingga pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgbb
dapat mencegah refleks kontraksi bronkus pada saat melalukan
laryngoskop-intubasi. (Morgan 2013, Stoelting 2006)
2.4.6.4 Alergi
Reaksi alergi biasanya berupa lesi kulit, urtikaria, atau reaksi
anafilaktoid. Reaksi alergi tidak hanya karena sensitivitas terhadap anestesi
lokal tetapi dapat ditimbulkan oleh bahan pengawet obat tersebut (Morgan
2013, Stoelting 2006).

2.5 Efek anestesi dan pembedahan pada fungsi respirasi setelah dilakukan
ekstubasi
Setelah dilakukannya ekstubasi yang ideal, pasien dapat menunjukkan
fungsi ventilasi yang adekuat, pada pernafasan normal, jalan nafas yang
patent dengan fungsi refleks protektif yang utuh. Sayangnya, kondisi-
kondisi tersebut masih jarang ditemukan kalaupun terjadi, biasanya terjadi
pada pasien yang diekstubasi setelah tindakan anestesi. Pemahaman
mengenai interaksi yang potensial antara anestesi, pembedahan dan
30
ekstubasi pada fungsi respirasi dapat membantu mengetahui beberapa
komplikasi yang muncul. Salah satu dari efek anestesi dan pembedahan
pada fungsi respirasi setelah dilakukan ekstubasi yaitu batuk/bucking

2.5.1 Batuk/ bucking


Batuk sering terjadi ketika dilakukan ekstubasi tracheal. Bucking lebih
betenaga, dan sering menimbulkan batuk yang secara fisiologis menyerupai
manouver valsava. Namun tidak seperti mauver valasava, bucking terjadi pada
volume paru yang berbeda-beda, yang kadang dengan kapasitas kecil. Batuk
dan bucking selain tidak menyenangkan secara estetika, namun juga dapat
berbahaya, yaitu dapat mengakibatkan gangguan berupa peningkatan tekanan
intrakavitas. Sebagai contoh, pasien dengan luka terbuka atau peningkatan
tekanan intrakranial dapat mempunyai resiko yang berbahaya. Peningkatan
tekaanan intraokuler dan tekanan intracranial disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrathoracal yang menurunkan aliran balik vena (venous return) ke
atrium kiri. Pemisahan luka abdominal, meskipun jarang berhubungan dengan
pemakaian anestesi, merupakan komplikasi potensial yang lain yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdominal sekunder akibat
bucking.

Bucking juga disebabkan oleh penurunan FCR. Bucking, terutama pada


pasien anak-anak, dapat secara cepat menyebabkan hopoksia, bukan hanya
karena peningkatan ventilasi per menit namun juga merupakan kelanjutaan dari
hilangnya volume paru dan atelaktasis. Menetapnya hipoksemia relatif setelah
bucking pulih, menunjukkan lebih lama dan sulitnya pengembalian
pengembangan volume paru dibandingkan dengan jika terjadi kolaps.
Penghindaran bucking selama ektubasi pada pasien merupakan ketrampilan
klinis yang penting dan ‘seni’ serta merupakan keabsahan klinis dari “ektubasi
halus”( Langton JA.1999).

31
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An BG
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 18 tahun
Berat Badan : 52 kg
Agama : Hindu
Alamat : baktiseraga, buleleng
No. RM : 154101
Diagnosis : Tonsilitis Kronik

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 10 Februari 2021, pukul 15.00 Informasi diberikan
oleh pasien.
a. Keluhan utama : Nyeri tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri pada bagian
tengggorokan yang sering kambuh lebih dari 2 kali dan sudah dirasakan sejak ±2
bulan yang lalu. Tenggorokan dirasakan seperti ada yang mengganjal dan
dirasakan terus menerus. Setiap kali kambuh pasien mengalami kesulitan dan
nyeri saat menelan. Selain itu pasien juga mengeluh demam yang terus menerus
ketika keluhannya kambuh. Pasien rutin berobat sejak 2 bulan lalu ketika
keluhannya kambuh dan merasa baikan setelah minum obat. Orang tua pasien
mengaku anaknya tidur mengorok dan napasnya berbau ketika kambuh. Pasien
mengaku sering mengkonsumsi makanan pedas dan digoreng

c. Riwayat penyakit dahulu


1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
d. Riwayat penyekit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.

32
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Suhu : 36,8C

Pernafasan : 18 x/menit

Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi
merata dan tidak mudah dicabut.
Buka mulut 3 jari pasien, pada pharing hiperemis - ,
pembesaran tonsil T3/T3, detritus +/+. Mallampati II.
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Tidak terdapat jejas
Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar
tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.
e. Pemeriksaan Thorax
Jantung
- Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra
- Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat
- Perkusi :
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
- Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

Paru

33
- Inspeksi :Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak
ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
- Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak terdapat
ketertinggalan gerak.
- Perkusi : Sonor kedua lapang paru
- Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar
suara wheezing
f. Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
- Auskultasi : Terdengar suara bising usus
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
 Turgor kulit cukup, akral hangat

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Laboratorium
Pemeriksaan 24-04-2013 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 15,4 11,5-15,5 g/dL
Leukosit 8,23 4800-10800/L
Hematokrit 45 35-45%
Eritrosit 5,02x106 4,0-4,2x106/
Trombosit 343000 150000-450000/L
MCV 89,6 80,0-99,0 fl
MCH 30,7 27,0-31,0 pg
MCHC 34,3 33,0-37,0 %
RDW 12,8 11,5-14,5 %
MPV 8,4 7,2-14,1 fl
CT 2.00 1-3 menit
BT 3.00 1-6 menit
Seroimmunologi
Antigen SARS CoV-2 Negatif Negatif

3.5 KESAN ANESTESI


Laki-laki 18 tahun menderita Tonsilitis Kronik dengan ASA I

3.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
34
b.Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
c. Pro Tonsilectomy
d.Informed Consent Operasi
e. Konsul ke Bagian Anestesi
f. Informed Conset Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I

KESIMPULAN
ACC ASA I

3.7 LAPORAN ANESTESI


1. Diagnosis Pra Bedah
Tonsilitis Kronik
2. Diagnosis Pasca Bedah
Post Tonsilectomy
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Tonsilectomy
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : Inhalasi Semi Closed dengan intubasi Endotraceal
Tube
d. Mulai Anestesi : pukul 15.15 WITA
e. Mulai Operasi : pukul 15.25 WITA
f. Premedikasi : - Ondansetron 4 mg iv
- Midazolam 2 mg iv
- Fentanyl 75 ug iv
g. Induksi : - Vecuronium bromide 4 mg iv
- Propofol 200 mg iv
h. Medikasi tambahan : - Dexametasone 5 mg iv
- Lidokain 2% intratrakeal
.i. Maintanance : O2, N2O, Sevoflurane (intratrakeal)
j. Relaksasi :-
k. Respirasi : Spontan
35
l. Posisi : Supine
m. Cairan durante operasi : RL 500 ml
n. Pemantauan tekanan darah dan HR terlampir
o. Selesai operasi : 16.00 WITA

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 PEMBAHASAN DARI SEGI MEDIK


Pasien, An. BG, 18 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
tonsilektomi dengan diagnosis pre operatif tonsilitis kronis. Pasien mengeluh nyeri dan rasa
mengganjal di tengggorokan yang sering kambuh sejak ±2 bulan yang lalu. Pemeriksaan fisik
dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg; nadi 82x/menit; respirasi 18x/menit;
suhu 36,8OC. Pada pemeriksaan THT didapatkan buka mulut 3 jari pasien, faring tidak
hiperemis, pembesaran tonsil T3/T3, detritus +/+, mallampati II. Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi didapatkan hasil Hb 11,6 g/dl; WBC 8230, BT 3’00”, CT 2’.00”,

36
SARS-CoV19 Negatif. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.
Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat
meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Tanda-tanda radang dapat dilihat dari
suhu maupun angka leukosit. Pada pasien ini suhu tubuh tidak mengalami peningkatan dan
angka leukosit masih dalam batas normal.
Penyebab utama batuk pada pasien yang dianestesi umum dengan intubasi endotrakeal
adalah akibat cuff pipa endotrakeal (endotracheal tube/ETT) yang kontak dengan mukosa
trakea. Batuk merupakan suatu refleks fisiologis yang bertujuan untuk melindungi jalan
napas. Refleks batuk dan refleks ekspirasi timbul akibat iritasi mekanik dan kimiawi pada
mukosa jalan napas, laring, trakea, maupun bronkus. Banyak prosedur-prosedur dari
pembedahan yang mengharuskan dilakukan tindakan anestesi dengan intubasi endotrakeal
selama pembedahan. Durasi operasi yang lama sehigga tidak dapat dilakukan dengan anestesi
regional memerlukan tindakan intubasi endotrakeal. Sehingga semakin lama mukosa trakea
kontak dengan cuff ETT, risiko terjadi batuk saat proses ekstubasi semakin besar.

4.2 PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH


1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik
anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk
mengatasi perdarahan. Pada pasien ini teknik tonsilektomi yang digunakan adalah
diseksi thermal menggunakan electocauter dimana perdarahan durante operasi dan
post operasi lebih sedikit karena pemotongan jaringan maupun hemostasis dilakukan
dalam satu prosedur.
4.3 PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

37
3.3.1 Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Pasien sudah puasa selama 6 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya
tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan
sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa
juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x maintenance. Sehingga
kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini adalah 492 cc/6jam.
b. Pemeriksaan laboratorium darah. Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan seroimunologi.
c. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini
diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai
puasa hingga masuk ke ruang operasi. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan
tujuan terapi, yaitu:
1. Cairan rumatan (maintenance)
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan
intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas <270
mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 %
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water
movement melalui membran sel semipermeabel Tonisitas 275 – 295
mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, Lactate Ringer’s, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi Tonisitas >
295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium- bikarbonat, Natrium
laktat hipertonik
Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik
merupakan jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada pasien
ini diberikan resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan tujuan untuk
memperbaiki volume sirkulasi dan pemilihan cairan ini berdasarkan
pertimbangan kompartemen yang mengalami defisit.
d. Persiapan kantung darah sebagai persiapan bila terjadi perdarahan durante atau
post operasi
38
e. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus ini diperlukan
hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko aspirasi dengan
menggunakan premedikasi midazolam dan fentanyl. Teknik anestesinya semi
closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube.
f. Selama operasi dipasang ET.

3.3.2 Premedikasi
a. Pasien diberi Midazolam 2mg intravena yaitu obat golongan benzodiazepine yang
untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh rileks, serta
menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri.
b. Untuk mengurangi rasa sakit sebelum dan sesudah tindakan tonsilektomi maka
diberikan pre medikasi Fentanyl 75 mcg intravena.
c. Pasien diberi Ondansetron 4 mg intravena untuk mencegah terjadinya mual dan
muntah
3.3.3 Induksi
a. Digunakan Propofol 200 mg I.V. (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki
efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga
propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi
ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
b. Pemberian Vecuronium bromide I.V. yaitu golongan obat yang mampu
menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot
rangka. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.
3.3.4 Medikasi Tambahan
a. Lidokain 2% intratrakeal diberikan untuk mencegah terjadinya batuk. Reflex
batuk karena nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dengan menggunakan pipa
endotrakea mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang
berkaitan dengan airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan hoarseness.
Beberapa keadaan yang dipertimbangkan sebagai etiologi batuk tersebut meliputi
trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema pharyngeal airways. Faktor lain yang
diperkirakan berpengaruh antara lain teknik intubasi, teknik suctioning, ukuran PET,
jenis PET, contour cuff, tekanan cuff PET terhadap mukosa trakea.

39
Keuntungan dari pemberian lidokain intratrakeal adalah keberadaan lidokain
bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus menerus berdifusi seiring berjalannya
waktu. Sebagai anestetik lokal berefek memblok reseptor batuk dan rapidly adapting
stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan toleransi
terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik lokal tersebut tidak menekan refleks menelan
sehingga kemampuan pasien memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap terjaga.
Lidokain yang dalam dunia anestesi digunakan sejak lama sebagai anestetik
lokal, juga sudah lama digunakan untuk mengurangi kejadian batuk saat ekstubasi.
Pemberian lokal anestesi secara instilasi ke dalam trakea akan diabsorpsi secara cepat
dan hampir sama seperti pemberian intravena. Beberapa laporan penelitian
mengatakan kadar plasma lidokain yang diberikan secara instilasi lebih rendah
dibandingkan dengan pemberian intravena. Konsentrasi lidokain plasma yang
diperlukan untuk menekan refleks batuk saat ekstubasi berkisar antara 2,3–3 µg/mL.
Sebuah penelitian mengenai efektivitas dari lidokain topikal menggunakan ETT LITA
dengan menyemprotkan 2 mg/kgBB lidokain 4% sebelum ekstubasi dan dapat
menekan batuk saat ekstubasi namun dengan kadar puncak serum plasma lidokain
˂1,63 µg/mL (rata–rata 0,43 µg/mL). Hal ini menunjukkan efek lokal penyemprotan
lidokain pada daerah mukosa laringotrakea tidak tergantung dari kadar konsentrasi
serum.
b. Dexametason 5mg iv digunakan sebagai antiinflamasi dan antiemetik yang dapat.
dikarenakan komplikasi pasca operasi meliputi nyeri dan ketidaknyamanan
tenggorokan, gelisah, mual dan muntah, perdarahan, spasme laring, dan edema paru
akut. Insiden komplikasi pasca operasi terkait dengan teknik bedah yang digunakan.
Penggunaan diatermi meningkatkan risiko perdarahan pasca operasi. Penggunaan
diatermi secara ekstensif dikaitkan dengan peningkatan insiden nyeri pasca operasi
3.3.5 Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L serta Sevofluran 1-2 vol %.
3.3.6 Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 52 kg )
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 52 kg x 6 jam) = 624 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap mendapat infus.
b. Perdarahan yang terjadi  25 cc

40
EBV = 70 cc x 52 kg = 3.640 cc.
Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/3.640 x 100 % = 0,0068 %
c. Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 500 cc
2). Saat operasi = 250 cc
Total cairan yang masuk = 750 cc

BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Pada
makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi tonsilektomi pada
penderita perempuan, usia 14 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis tonsilitis kronik
yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan ET no.5,0 respirasi spontan.
Dalam operasi ini pasien rentan mengalami batuk yang diakibatkan dari nyeri
tenggorokan pasca anestesi umum. Pasien diberikan beberapa obat untuk menunjang
keberhasilan operasi. Salah satu medikasi tambahan yang diberikan addalah lidokain 2%
intratrakeal sebagai anestetik lokal yang berefek memblok reseptor batuk dan rapidly
adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan
toleransi terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik lokal tersebut terbukti tidak menekan
refleks menelan sehingga kemampuan pasien memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap
terjaga. Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi
berlangsung dengan baik.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.


Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
3. Drake A. Tonsillectomy.
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi, diakses tanggal 23
Maret 2013.
4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
5. Lab/SMF Anestesiologi & reanimasi. 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik
Anestesiologi.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi
ke- 4. Jakarta: Gaya baru.
7. Karmarkar S, Varshney S. Tracheal extubation. Continuing education in anaesthesia,
Crit are & Pain 2008;8(6):214−20
8. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
9. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
10. Sadina, 2009. Sistem Pernapasan Pada Manusia.
http://www.blogunila.ac.id/sadina/2009/10/01/sistem-pernapasan-pada-manusia/
diakses tanggal 24 April 2013.
11. Better Health Channel. 2011. Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia. 

42
http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 23 Maret 2013
12. NHS. 2010.  Tonsillitis. 
http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 23 Maret 2013
13. Lauro, Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.
http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 23 Maret
2013
14. Hamaya Y, Dohi S. Differences in cardiovascular response to airway stimulation at
different sites and blockade of responses by lidocaine. Anesthesiol.2000;93(1):95−103
15. Jee D, Park SY. Lidocaine sprayed down the endotracheal tube attennuates the
airwaycirculatory reflexes by local anesthesia during emergence and extubation.
Anesth Analg. 2003;96(1):293−7.
16. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ. Management airway. Dalam: Morgan EG,
Mikhail MS, Murray MJ, penyunting. Clinical anesthesiology. Edisi ke-4. New York:
McGraw-Hill;2006. Hlm. 91−116.
17. Nishino T, Hiraga K, Sugimori K. Effects of intravena lignocaine on airway reflexes
elicited by irritation of the tracheal mucosa in humans anesthetized with enflurane. Br
J Anaesth. 1990;64:682−7.

43

Anda mungkin juga menyukai