PENDAHULUAN
3
terlentang, proses gravitasi dan mukosa trakea yang basah akan memudahkan proses difusi
lidokain sampai titik kontak proksimal trakea dengan ETT. (Jee D,2003)
BAB II
LANDASAN TEORI
5
suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring. Bagian laring sebelah
atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder. Fungsi laring, yaitu
mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara. Laring
juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan
dan air masuk ke dalam trakhea. Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis
hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring
namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis selain
berfungsi sebagai penutup laring juga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,
karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang
mengelilingi lubang.
2.2.3 Patofisiologi
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke
tubuh kita baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan
dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika
tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang
tidak memadai serta adanya faktor-faktor lain,maka pada suatu waktu tonsil
tidak bisa membunuh semua kuman kumannya, akibatnya kuman yang yang
bersarang di tonsil akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik.pada
keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi atau fokal infeksi.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena
proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis
kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel leukosit yang
mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih
kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.
2.2.4 Manifestasi klinis
Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi
dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2)
gejala sistemis, berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di
kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis
parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika
tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
2.2.5 Terapi
2.2.5.1 Medikamentosa
7
Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut
yang baik, obat kumur, dan obat. Pengobatan tonsilitis kronis dengan
menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10 hari.
Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau sulfonamida,
namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisis atau
klindamisin.
2.2.5.2 Operatif
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini, indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan
hipertrofi tonsil.
pharingeal
a. Midazolam
Midazolam adalah agen sedatif yang termasuk ke dalam golongan
benzodiazepin. Golongan benzodiazepin telah lama digunakan sebagai agen
sedatif secara intravena di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Obat yang
termasuk ke dalam golongan benzodiazepin adalah diazepam, midazolam,
lorazepam, Flunitrazepam dan chlordiazepoxide. Obat golongan
benzodiazepin biasanya diberikan untuk sedasi sadar secara intravena
kecuali lorazepam. Flunitrazepam tidak digunakan lagi untuk penggunaan
klinik di Amerika Serikat sejak tahun 2002. Midazolam adalah senyawa 1,4
– benzodiazepin, berdasarkan aspek farmakologisnya sangat mirip dengan
diazepam, tetapi memiliki beberapa kelebihan yang menyebabkan
midazolam lebih banyak penggunaannya di klinik dibandingkan diazepam.
Midazolam pertama kali disintesis pada tahun 1975 oleh Walser dan Fryer di
Hoffman-LaRoche. Penggunaan klinik midazolam di Amerika mulai tahun
1986. Rumus kimia midazolam adalah 8-chloro-5(2’-fluorophenyl)-1-
methyl-4H-imidazo(1,5-a)(1,4) benzodiazepin maleat, merupakan kristal
tanpa warna yang terlarut dalam air.
Sedian midazolam maleat terdiri dari 1 dan 5 mg yang mempunyai
pH 3,3. Keasaman pH mempertahankan bentuk cincin benzodiazepin dalam
konfigurasi terbuka, yang diperlukan senyawa untuk larut dalam air. Saat
midazolam masuk ke dalam tubuh, pH fisiologis tubuh adalah 7,4 akan
menyebabkan penutupan cincin sehingga membentuk struktur kimia yang
diperlukan untuk kegunaan klinis.1 Bentuk midazolam terlarut dalam air
merupakan perbedaan midazolam dengan agen parental benzodiazepin yang
lain, seperti diazepam, lorazepam dan chlordiazepoxide. Midazolam tidak
menggunakan prophylene glycol sebagai bahan pelarut yang mempunyai
13
sifat iritasi, sehingga mengurangi rasa terbakar di daerah penyuntikan, serta
tidak adanya sekuele phlebitis pada tempat penyuntikan.
b. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB,
termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah
ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya,
telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid
dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan
dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi
secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi
berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi
maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
c. Ondansetron
Ondansetron adalah derivat carbazalone yang secara struktural
berhubungan dengan serotonin dan bekerja spesifik sebagai antagonis
14
reseptor subtype 5-HT3, tanpa mempengaruhi reseptor dopamin, histamin,
adrenergik ataupun kolinergik sehingga ondansetron tidak memiliki efek
neurologis, yang terbalik dengan droperidol dan metokloperamid.
Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-HT3 yang bekerja secara selektif.
Meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas, namun
ondansetron bukan merupakan antagonis reseptor dopamin. Reseptor
serotonin tipe 5- HT3 berada diperifer (di ujung nervus vagus) maupun di
sentral yaitu di chemoreceptor trigger zone pada area postrema. Efek
sitotoksik kemoterapi tampaknya berhubungan dengan pelepasan serotonin
dari sel enterochromaffin di usus halus. Serotonin yang dilepaskan akan
merangsang afferen vagus melalui reseptor 5- HT3 dan memulai reflek
muntah.
2.3.5 Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi.
a. Vecuronium bromide
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Dalam anestesi umum, obat ini
memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi
trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan
ventilasi kendali. Efek farmakologis utama yang ditunjukkan oleh vecuronium
berkisar pada pengikatan kompetitif reseptor kolinergik yang terletak di pelat
ujung motorik. Pengikatan kompetitif ini menghasilkan efek relaksasi otot
yang biasanya digunakan sebagai tambahan untuk anestesi umum. Dengan
demikian vecuronium bromide bermanfaat untuk merelaksan otot-otot pada
tubuh. Hal ini diperlakukan sebelum ke tahap operasi. Otot-otot perlu
mengalami relaksasi agar tubuh siap menerima atau menjalani operasi. Apabila
otot kaku, maka akan sangat menyulitkan tim medis untuk memulai dan
selama proses operasi berlangsung. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh
15
siapapun. Vacuronium bromide juga akan meregangkan otot tenggorokan,
sehingga mempermudah pengoperasian. Efek samping yang dapat ditimbulkan
berupa Tachycardia, kenaikan tekanan darah (BP) dan output kardiak, edema,
kulit kemerahan, ruam, salivasi yang berlebihan, otot sangat
lemah, bronchospasma, reaksi hipersensitivitas.
b. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam
air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif,
pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi
mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi
maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk
operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan
sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau
anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.
16
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira
30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat
daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin
sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada
aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol
dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja
lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan
vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.
2.3.6 Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
17
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
b. Sefoflurane
Sevoflurane adalah fluorinated methyl isopropyl ether. Koefisien partisi
dari darah/gas sevoflurane adalah 0,69 yang secara teoritis memungkinkan
obat ini menginduksi dalam waktu singkat dan terjadi pemulihan yang
cepat pula setelah obatnya dihentikan. Dibandingkan dengan isoflurane,
pemulihan sevoflurane bisa lebih cepat 3 sampai 4 menit. Minimum
alveolar concentration(MAC) pada suhu kamar 37ºC, pada tekanan 760
mmHg, usia 30-35 tahun adalah 1,8-2,0%. MAC akan menurun seiring
bertambahnya umur, pemberian N2O, opioid, barbiturat, benzodiazepine,
alkohol, temperatur, obat yang memperngaruhi konsentrasi katekolamin
sentral dan perifer (misalnya : reserpin, alpha metyl dopa). MAC untuk
pasien umur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%, untuk umur dibawah 6
bulan adalah 3,2-3,3%. Sevoflurane memiliki bau yang manis dan tidak
iritatif terhadap saluran nafas sehingga dapat digunakan untuk induksi
inhalasi. Sekitar 3-5% sevoflurane akan mengalami biodegradasi di hepar,
dengan metabolitnya berupa fluoride anorganik dan
hexafluoroisopropanol.
Efek sevofluran pada sistem kardiovaskular adalah depresi ringan
terhadap kontraktilitas myokard. Resistensi vaskular sistemik serta tekanan
darah arterial sedikit menurun namun tidak sehebat pada isoflurane dan
desflurane. Tidak menyebabkan coronary steal syndrome. Pada sistem
pernafasan, sevoflurane menyebabkan depresi sistem respirasi dan
menyebabkan 13 bronkodilatasi. Pada sistem saraf pusat, sevoflurane
menyebabkan peningkatan cerebral blood flow dan tekanan intrakranial
pada kondisi normokarbia. Sevofluran konsentrasi tinggi (>1,5MAC) akan
18
mengganggu autoregulasi otak sehingga bila terjadi bersamaan dengan
perdarahan otak akan menyebabkan kegagalan dalam autoregulasi dan
perfusi ke otak akan turun. Untuk rekomendasi klinis diharapkan level dari
sevoflurane minimal 1 MAC.
Pada sistem muskuloskeletal sevofluran memiliki efek relaksasi yang
baik sehingga dapat diandalkan sebagai relaksan otot pada bayi yang
diinduksi dengan inhalasi. Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah ke
ginjal. Sevofluran menurunkan aliran darah portal tetapi meningkatkan
aliran darah ke 14 arteri hepatika sehingga secara umum tidak terlalu
mempengaruhi aliran darah ke hepar serta oksigenasinya.
2.3.7 Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
2.3.8 Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB
19
/ jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-
15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
2.3.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum
yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan
untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk
untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
20
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2
motorik atas perintah atau secara sadar.
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
atas perintah atau secara sadar.
2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk 2
Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari 1
semula 0
Tekanan darah berbeda >50% dari semula
4 Kesadaran Sadar penuh 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula 2
Pucat 1
Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
Tabel 2. Steward Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap stimuli 1
Tak ada respon 0
2 Jalan napas Batuk atas perintah atau menangis 2
Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 0
nafas
3 Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.
21
Tabel 3. Robertson Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4
Tidur ringan 3
Membuka mata atas perintah 2
Tidak ada respon 1
2 Jalan napas Batuk atas perintah 3
Jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi 1
kepala 0
Tanpa bantuan obstruksi
3 Aktifitas Mengangkat tangan atas perintah 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0
22
Bromage score < 2 boleh pindah ke ruang perawatan.
2.4 Lidokain
2.4.1 Sejarah
Anestesi lokal pertama kali disintesa dari kokain dan diperkenalkan
sebagai obat local anestesi pertama kali tahun 1884 oleh Kollar untuk
digunakan dalam ophthalmology. Halsted mengakui kemampuan dari
kokain injeksi untuk menghambat konduksi impuls saraf, yang penting
untuk diperkenalkan pada anesthesia blok saraf tepid an spinal anesthesia.
Sebagai ester dari asan benzoic, kokain dalam jumlah banyak terdapat
pada tumbuhan Erythroxylon coca, sejenis tumbuhan yang tumbuh
dipegunungan andes dimana kualitasnya dalam merangsang otak diketahui
dengan baik. Keistimewaan yang unik lainnya dari kokain adalah
kemampuannya menimbulkan vasokonstriksi lokal, membuat berguna
untuk mengerutkan mukosa hidung pada saat proses rhinolaryngologik
dan intubasi nasothrakeal.
Potensial penyalahgunaan dari kokain membatasu keabsahan
penggunaannya secara medis, selain itu sifat iritasi kokain membatasi obat
tersebut digunakan sebagai anestesi topikal pada kornea atau bentuk
injeksi lainnya yang menyebabkan anestesi (Stoelting,2006). Obat anestesi
lokal sintetik pertama kali dibuat dari turunan ester yaitu prokain,
diperkenalkan oleh einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai
anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain(
Xylocaine/lignocaine) adalah obat anestesi local yang digunakan secara
luas baik melalui pemberian topikal atau intravena. Lidokain
menimbulkan blok saraf lebih cepat, lebih kuat dan durasinya lebih lama
dibandingkan dengan prokain. Tidak seperti prokain, lidokain efektif
digunakan secara topikal dan sangat poten untuk obat antidisritmia
jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar
perbandingan dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan
blok reversible terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah
anesthesia regional ataupun blok saraf tepi. Dengan meningkatnya
konsentrasi dari obat-obat lokal anesthesia di sekitar serat saraf akan
menyebabkan konsentrasi dari obat-obat lokal anstesi disekitar serat saraf
23
akan menyebabkan transmisi saraf otonom, saraf sensorik, dan saraf
motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem otonom, sensoris
dan paralisis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh saraf yang di
blok. Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan
diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit,
tanpa ditandain kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek
obat. Tiap miliiter lidokain mengandung : 2-(dietilamino)-N-(2,6-
dimetilfenil) asetamida hodroklorida (Stoelting, 2006).
28
dan cardiac arrest. Kejang tonik klonik biasanya didahului oleh twitching
dari otot rangka. Pemberian benzodiazepine dan hiperventilasi akan
menurunkan aliran darag cerebral dan meningkatkan ambang rangsang
kejang oleh anestesi lokal. Disamping itu, pemberian thiopental ( 1-2
mg/kgbb) dapat menghentikan kejang cepat, tetapi ventilasi dan oksigenasi
harus adekuat. Lidokain intravena ( dosis 1,5 mg/kgbb) akan menurunkan
aliran darah otak dan mencegah meningkatnya tekanan intracranial yang
sering terjadi pada saat melakukan tindakan intubasi. (Morgan 2013,
Stoelting 2006)
Dibandingkan dengan bupivacaine. Lidokain lebih potensial
menimbulkan neurotoksisitas terutama pada konsentrasi yang tinggi dan
kontak relative lama. Lidokain dengan konsentrasi 5% (hiperbarik)
dikatakan berhubungan dengan kejadian cauda equine syndrome pada
pemberian secara terus menerus. Disamping itu penggunaan jarum yang
relative keil ( 25-32 G) juga berperan, karena akan membatasi kecepatan
kita dalam menyuntikkan obat, sehingga terjadi pooling obat hanya pada
daerah suntikan. Transient neurological symtoms yang ditandain dengan
kesemutan, rasa terbakar dan nyeri pada ekstremitas bawah menjalar sampai
ke pantat, sering terjadi pada spinal anesthesia (single shot). Gejala yang
timbul adalah sebagai akibat dari perangsangan saraf pada radik dorsalis,
biasanya sembuh sendiri pada hari ke 3-7. (Morgan 2013, Stoelting 2006)
2.5 Efek anestesi dan pembedahan pada fungsi respirasi setelah dilakukan
ekstubasi
Setelah dilakukannya ekstubasi yang ideal, pasien dapat menunjukkan
fungsi ventilasi yang adekuat, pada pernafasan normal, jalan nafas yang
patent dengan fungsi refleks protektif yang utuh. Sayangnya, kondisi-
kondisi tersebut masih jarang ditemukan kalaupun terjadi, biasanya terjadi
pada pasien yang diekstubasi setelah tindakan anestesi. Pemahaman
mengenai interaksi yang potensial antara anestesi, pembedahan dan
30
ekstubasi pada fungsi respirasi dapat membantu mengetahui beberapa
komplikasi yang muncul. Salah satu dari efek anestesi dan pembedahan
pada fungsi respirasi setelah dilakukan ekstubasi yaitu batuk/bucking
31
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 10 Februari 2021, pukul 15.00 Informasi diberikan
oleh pasien.
a. Keluhan utama : Nyeri tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri pada bagian
tengggorokan yang sering kambuh lebih dari 2 kali dan sudah dirasakan sejak ±2
bulan yang lalu. Tenggorokan dirasakan seperti ada yang mengganjal dan
dirasakan terus menerus. Setiap kali kambuh pasien mengalami kesulitan dan
nyeri saat menelan. Selain itu pasien juga mengeluh demam yang terus menerus
ketika keluhannya kambuh. Pasien rutin berobat sejak 2 bulan lalu ketika
keluhannya kambuh dan merasa baikan setelah minum obat. Orang tua pasien
mengaku anaknya tidur mengorok dan napasnya berbau ketika kambuh. Pasien
mengaku sering mengkonsumsi makanan pedas dan digoreng
32
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,8C
Pernafasan : 18 x/menit
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi
merata dan tidak mudah dicabut.
Buka mulut 3 jari pasien, pada pharing hiperemis - ,
pembesaran tonsil T3/T3, detritus +/+. Mallampati II.
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Tidak terdapat jejas
Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar
tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.
e. Pemeriksaan Thorax
Jantung
- Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra
- Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat
- Perkusi :
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
- Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
Paru
33
- Inspeksi :Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta tidak
ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
- Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak terdapat
ketertinggalan gerak.
- Perkusi : Sonor kedua lapang paru
- Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar
suara wheezing
f. Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
- Auskultasi : Terdengar suara bising usus
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
3.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
34
b.Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
c. Pro Tonsilectomy
d.Informed Consent Operasi
e. Konsul ke Bagian Anestesi
f. Informed Conset Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I
KESIMPULAN
ACC ASA I
BAB IV
PEMBAHASAN
36
SARS-CoV19 Negatif. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.
Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat
meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Tanda-tanda radang dapat dilihat dari
suhu maupun angka leukosit. Pada pasien ini suhu tubuh tidak mengalami peningkatan dan
angka leukosit masih dalam batas normal.
Penyebab utama batuk pada pasien yang dianestesi umum dengan intubasi endotrakeal
adalah akibat cuff pipa endotrakeal (endotracheal tube/ETT) yang kontak dengan mukosa
trakea. Batuk merupakan suatu refleks fisiologis yang bertujuan untuk melindungi jalan
napas. Refleks batuk dan refleks ekspirasi timbul akibat iritasi mekanik dan kimiawi pada
mukosa jalan napas, laring, trakea, maupun bronkus. Banyak prosedur-prosedur dari
pembedahan yang mengharuskan dilakukan tindakan anestesi dengan intubasi endotrakeal
selama pembedahan. Durasi operasi yang lama sehigga tidak dapat dilakukan dengan anestesi
regional memerlukan tindakan intubasi endotrakeal. Sehingga semakin lama mukosa trakea
kontak dengan cuff ETT, risiko terjadi batuk saat proses ekstubasi semakin besar.
37
3.3.1 Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Pasien sudah puasa selama 6 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya
tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan
sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa
juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x maintenance. Sehingga
kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini adalah 492 cc/6jam.
b. Pemeriksaan laboratorium darah. Pada pasien ini sudah dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan seroimunologi.
c. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini
diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai
puasa hingga masuk ke ruang operasi. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan
tujuan terapi, yaitu:
1. Cairan rumatan (maintenance)
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan
intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas <270
mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 %
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water
movement melalui membran sel semipermeabel Tonisitas 275 – 295
mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, Lactate Ringer’s, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi Tonisitas >
295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium- bikarbonat, Natrium
laktat hipertonik
Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik
merupakan jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada pasien
ini diberikan resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan tujuan untuk
memperbaiki volume sirkulasi dan pemilihan cairan ini berdasarkan
pertimbangan kompartemen yang mengalami defisit.
d. Persiapan kantung darah sebagai persiapan bila terjadi perdarahan durante atau
post operasi
38
e. Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus ini diperlukan
hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko aspirasi dengan
menggunakan premedikasi midazolam dan fentanyl. Teknik anestesinya semi
closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube.
f. Selama operasi dipasang ET.
3.3.2 Premedikasi
a. Pasien diberi Midazolam 2mg intravena yaitu obat golongan benzodiazepine yang
untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh rileks, serta
menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri.
b. Untuk mengurangi rasa sakit sebelum dan sesudah tindakan tonsilektomi maka
diberikan pre medikasi Fentanyl 75 mcg intravena.
c. Pasien diberi Ondansetron 4 mg intravena untuk mencegah terjadinya mual dan
muntah
3.3.3 Induksi
a. Digunakan Propofol 200 mg I.V. (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki
efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga
propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi
ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
b. Pemberian Vecuronium bromide I.V. yaitu golongan obat yang mampu
menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot
rangka. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.
3.3.4 Medikasi Tambahan
a. Lidokain 2% intratrakeal diberikan untuk mencegah terjadinya batuk. Reflex
batuk karena nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dengan menggunakan pipa
endotrakea mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang
berkaitan dengan airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan hoarseness.
Beberapa keadaan yang dipertimbangkan sebagai etiologi batuk tersebut meliputi
trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema pharyngeal airways. Faktor lain yang
diperkirakan berpengaruh antara lain teknik intubasi, teknik suctioning, ukuran PET,
jenis PET, contour cuff, tekanan cuff PET terhadap mukosa trakea.
39
Keuntungan dari pemberian lidokain intratrakeal adalah keberadaan lidokain
bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus menerus berdifusi seiring berjalannya
waktu. Sebagai anestetik lokal berefek memblok reseptor batuk dan rapidly adapting
stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan toleransi
terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik lokal tersebut tidak menekan refleks menelan
sehingga kemampuan pasien memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap terjaga.
Lidokain yang dalam dunia anestesi digunakan sejak lama sebagai anestetik
lokal, juga sudah lama digunakan untuk mengurangi kejadian batuk saat ekstubasi.
Pemberian lokal anestesi secara instilasi ke dalam trakea akan diabsorpsi secara cepat
dan hampir sama seperti pemberian intravena. Beberapa laporan penelitian
mengatakan kadar plasma lidokain yang diberikan secara instilasi lebih rendah
dibandingkan dengan pemberian intravena. Konsentrasi lidokain plasma yang
diperlukan untuk menekan refleks batuk saat ekstubasi berkisar antara 2,3–3 µg/mL.
Sebuah penelitian mengenai efektivitas dari lidokain topikal menggunakan ETT LITA
dengan menyemprotkan 2 mg/kgBB lidokain 4% sebelum ekstubasi dan dapat
menekan batuk saat ekstubasi namun dengan kadar puncak serum plasma lidokain
˂1,63 µg/mL (rata–rata 0,43 µg/mL). Hal ini menunjukkan efek lokal penyemprotan
lidokain pada daerah mukosa laringotrakea tidak tergantung dari kadar konsentrasi
serum.
b. Dexametason 5mg iv digunakan sebagai antiinflamasi dan antiemetik yang dapat.
dikarenakan komplikasi pasca operasi meliputi nyeri dan ketidaknyamanan
tenggorokan, gelisah, mual dan muntah, perdarahan, spasme laring, dan edema paru
akut. Insiden komplikasi pasca operasi terkait dengan teknik bedah yang digunakan.
Penggunaan diatermi meningkatkan risiko perdarahan pasca operasi. Penggunaan
diatermi secara ekstensif dikaitkan dengan peningkatan insiden nyeri pasca operasi
3.3.5 Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L serta Sevofluran 1-2 vol %.
3.3.6 Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 52 kg )
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 52 kg x 6 jam) = 624 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap mendapat infus.
b. Perdarahan yang terjadi 25 cc
40
EBV = 70 cc x 52 kg = 3.640 cc.
Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/3.640 x 100 % = 0,0068 %
c. Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 500 cc
2). Saat operasi = 250 cc
Total cairan yang masuk = 750 cc
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Pada
makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi tonsilektomi pada
penderita perempuan, usia 14 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis tonsilitis kronik
yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan ET no.5,0 respirasi spontan.
Dalam operasi ini pasien rentan mengalami batuk yang diakibatkan dari nyeri
tenggorokan pasca anestesi umum. Pasien diberikan beberapa obat untuk menunjang
keberhasilan operasi. Salah satu medikasi tambahan yang diberikan addalah lidokain 2%
intratrakeal sebagai anestetik lokal yang berefek memblok reseptor batuk dan rapidly
adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan
toleransi terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik lokal tersebut terbukti tidak menekan
refleks menelan sehingga kemampuan pasien memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap
terjaga. Selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi
berlangsung dengan baik.
41
DAFTAR PUSTAKA
42
http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 23 Maret 2013
12. NHS. 2010. Tonsillitis.
http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 23 Maret 2013
13. Lauro, Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.
http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 23 Maret
2013
14. Hamaya Y, Dohi S. Differences in cardiovascular response to airway stimulation at
different sites and blockade of responses by lidocaine. Anesthesiol.2000;93(1):95−103
15. Jee D, Park SY. Lidocaine sprayed down the endotracheal tube attennuates the
airwaycirculatory reflexes by local anesthesia during emergence and extubation.
Anesth Analg. 2003;96(1):293−7.
16. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ. Management airway. Dalam: Morgan EG,
Mikhail MS, Murray MJ, penyunting. Clinical anesthesiology. Edisi ke-4. New York:
McGraw-Hill;2006. Hlm. 91−116.
17. Nishino T, Hiraga K, Sugimori K. Effects of intravena lignocaine on airway reflexes
elicited by irritation of the tracheal mucosa in humans anesthetized with enflurane. Br
J Anaesth. 1990;64:682−7.
43