Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“CARA BELAJAR DI PESANTREN”


Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhui Tugas Mata Kuliah Study Aswaja
Dosen Pengampu :
Muhammad Madarik, SS, MA

Anggota Kelompok :

1. Muhammad Yasin : 22108401011114


2. Zuyyina Linda Sari : 22108401011113
3. Intan Kunti Sholihatan Nisa’ : 22108401011016
4. Ratna Dwi Marthalia : 22018401011126

Fakultas Tarbiyah
Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI)
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-QOLAM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi allah yang maha pengasih lagi maha penyanyang, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
meskipun banyak kendala dan arah melintang yang merintanginya.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tetap tercurahkan keharibaan maha guru islam, yakni
baginda nabi muhmmad SAW. Demikian pula, keselamatan dan kesejahteraan semoga tercurah
pula keharibaan keluarga-nya yang mulia, para sahabatnya yang setia dan pada para pengikutnya
yang dengan sungguh-sungguh mengajarkan dan mengamalkan ajaran nabi-nya sampai akhir
masa.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil makalah ini masih belum sempurna dalam
menggambarkan dan menganalisis tentang cara pembelajaran di pesantren. Oleh karena itu,
penulis mengharap kritik yang konstruktif dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Selasa, 16 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………...
BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar belakang………………………………………………………..
2. Rumusan masalah………………………………………………..
3. Tujuan masalah

BAB II : PEMBAHASAN
1. Pengertian model pembelajaran di pesantren………………………
2. Macam-macam model pembelajaran di pesantren………………….
3. Pengertian tirakat…………………………………………………

BAB III : PENUTUP


1. Kesimpulan…………………………………………………..
2. Daftar isi……………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Berbagai macam lembaga pendidikan di Indonesia, baik lembaga pendidikan formal


maupun non formal, senantiasa eksis dan ikut serta berperan dalam mencerdaskan
kehidupan anak bangsa. Salah satu lembaga pendidikan tersebut adalah pondok pesantren
yang merupakan sebuah lembaga non formal yang merupakan lembaga pendidikan tertua
di negeri ini yang masih memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. 
Pondok pesantren merupakan sebuah sistem yang unik, tidak hanya unik dalam hal
pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang
dianut, cara hidup yang ditempuh, serta semua aspek-aspek kependidikan dan
kemasyarakatan lainnya. Dari sistematika pengajaran, dijumpai sistem pelajaran yang
berulang-ulang dari tingkat ke tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Persoalan yang
diajarkan seringkali pembahasan serupa yang diulang-ulang dalam jangka waktu
bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan berlainan.
Dalam keputusan Musyawarah/ Lokakarya intensifikasi Pengembangan pondok
pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 6 Mei 1978 di Jakarta tentang pondok
pesantren diberikan batasan sebagai  berikut: Pondok  pesantren  adalah  lembaga 
pendidikan  Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu Kyai/ syekh/ ustadz yang
mendidik serta mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid. Kegiatannya mencakup
Tri Dharma Pondok Pesantren yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT;
pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan pengabdian terhadap agama, masyarakat
dan negara.
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, yaitu metode
pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama
dipergunakan dalam institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli
pesantren. Ada pula metode pembelajaran baru (tajdid), yaitu metode pembelajaran hasil
pembaharuan kalangan pesantren dengan mengintrodusir metode-metode yang
berkembang di masyarakat modern. Penerapan metode baru juga diikuti dengan
penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal (Tim Pengembang Ilmu
Pendidikan, 2007: 453). 
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan  dan pengajaran
non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan.
Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran  ini  berbeda  antara satu  pondok  pesantren 
dengan  pondok pesantren  lainnya,  dalam  arti  tidak ada  keseragaman  sistem  dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya.
Sejalan dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan pesantren juga tidak
menutup diri untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik metode maupun teknis
dalam pelaksanaan pendidikan pesantren itu sendiri. Meskipun demikian tidak semua
pesantren mau membuka mengadakan inovasi serta pembaharuan terhadap metode
pembelajaran yang ada. 
Pada awal berdirinya pondok pesantren, metode yang digunakan adalah
metode wetonan dan sorogan bagi pondok non klasikal. Pada perkembangan selanjutnya
metode pembelajaran pondok pesantren mencoba untuk merenovasi metode yang ada
tersebut untuk mengembangkan pada metode yang baru yaitu metode klasikal. Kyai
bertugas mengajarkan berbagai pengajian untuk berbagai tingkat pengajaran di
pesantrennya, dan terserah kepada santri untuk memilih mana yang akan ditempuhnya.
Kalau santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang diajarkan, sudah tentu akan
membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi keseluruhan struktur pengajaran tidak
ditentukan oleh panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada Kyainya,
karena tidak adanya keharusan menempuh ujian dari Kyainya. Satu-satunya ukuran yang
digunakan adalah ketundukannya kepada sang Kyai dan kemampuannya untuk
memperoleh “ngelmu” dari sang Kyai.
Di samping itu, mata pelajaran yang diajarkan bersifat aplikatif, dalam arti harus
diterjemahkan dalam perbuatan dan amal sehari-hari, sudah tentu kemampuan para santri
untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok sang Kyai.
Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang kompleks, maka hampir tidak mungkin
untuk menunjukkan dan menyimpulkan bahwa suatu metode tertentu lebih unggul
daripada metode yang lainnya dalam usaha mencapai semua tujuan pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
1. Bentuk pengajian di pesantren?
2. Metode belajar tirakat di pesantren?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengajian di pesantren.
2. Untuk mengetahui model belajar di pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Model Pembelajaran Pesantren


Secara etimologis, metode berasal dari kata “met” dan hodes” yang berarti melalui.
Sedangkan secara terminology, metode adalah jalan yang harus ditempuh untuk
mencapai suatu tujuan. Dengan demikian yang dimaksud dengan metode pembelajaran
adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.
Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren mencakup dau
aspek, yaitu :
1. Metode yang bersifat tradisional (salaf)
Yakni metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan yang
telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode
asli (original) pondok pesantren.
2. Metode pembelajaran modern (tajdid)
Yakni metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren
dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern,
walaupun tidak diikuti dengan menerapkan system modern, seperti system
sekolah atau madrasah

Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisonal, yaitu


model sorongan dan model bandongan. Baik dengan model sorongan maupun
bandongan kedunya dilakukan dengan pembacaan kitab yang dimulai dengan
pembacaan tarjamah, syarah dengan analisis gramatika, peninjauan morfologi dan
uraian sematik. Kyai sebagai pembaca dan penerjamah, bukanlah sekedar
membaca teks, melainkan juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi)
pribadi, baik mengenai isi maupun bahasanya. Kedua model pengajaran ini oleh
sementara pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional.
Secara teknis, model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru
seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sedangkan
model bandongan (weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai menerangkan pelajaran
secara kuliah dengan terjadwal.

B. Macam-macam Model Pembelajaran Pesantren


Berikut ini beberapa metode pembelajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di
pesantren salafiyah :
1. Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (Bahasa jawa), yang berarti menyodorkan,
sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai atau pembantunya
(badal, asisten kyai). System sorogan ini termasuk belajar secara individual,
dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi intraksi saling
mengenal Antara kedunya.
Pembelajaran dengan system sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang
tertentu. Ada tempat duduk kyai atau ustadz, di depannya ada meja pendek untuk
meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Setelah kyai atau ustadz membaca
teks dalam kitab kemudian santri mengulaginya. Sedangkan santri-santri lain,
baik yang mengaji kitab yang sama atau berbeda duduk agak jauh sambil
mendengarkan apa yang di ajarkan oleh kyai atau ustadz sekaligus
mempersiapkan diri menunggu giliran di panggil.
Inti metode sorogan adalah berlangsungnya proses belajar mengajar secara face
to face antara Kyai dan santri. Keunggulan metode ini adalah Kyai secara pasti
mengetahui kualitas anak didiknya, bagi santri yang IQ nya tinggi akan cepat
menyelesaikan pelajaran, mendapatkan penjelasan yang pasti dari seorang Kyai.
Kelemahannya adalah metode ini membutuhkan waktu yang sangat banyak.
Mastuhu memandang bahwa sorogan adalah metode mengajar secara
indivividual langsung dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan, metode ini adalah
metode yang modern karena antara Kyai dan santri saling mengenal secara erat.
Kyai menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan, begitu pula santri juga
belajar dan membuat persiapan sebelumnya. Metode sorogan dilakukan secara
bebas (tidak ada paksaan), dan bebas dari hambatan formalitas.
2. Metode Wetonan/Bandongan
Wetonan istilah ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu,
sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan
atau sesudah melakukan shalat fardhu. Metode wetonan ini merupakan metode
kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai
yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut
dengan bandongan.
Pelaksanaan metode ini yaitu: Kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan
dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul).
Santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing
melakukan pendhabitan harakat kata langsung di bawah kata yang dimaksud agar
dapat membantu memahami teks.
Metode bandongan atau weton adalah sistem pengajaran secara kolektif yang
dilakukan di pesantren.[8] Disebut weton karena berlangsungnya pengajian itu
merupakan inisiatif Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, terutama
kitabnya. Disebut bandongan karena pengajian diberikan secara kelompok yang
diikuti oleh seluruh santri. Kelompok santri yang duduk mengitari Kyai dalam
pengajian itu disebut halaqoh. Prosesnya adalah Kyai membaca kitab dan santri
mendengarkan, menyimak bacaan Kyai, mencatat terjemahan serta keterangan
Kyai pada kitab atau biasa disebut ngesahi atau njenggoti.
H. Abdullah Syukri Zarkasyi, memberikan definisi tentang metode bandongan,
yaitu: “Di mana Kyai membaca kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab
yang sama, mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai”.[10] Sedangkan
Nurcholis Madjid memberikan definisi tentang metode weton. Menurutnya,
“weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari Kyai sendiri, baik dalam
menentukan tempat, waktu maupun lebih-lebih lagi kitabnya”.
Senada dengan hal di atas, Hasbullah mendefinisikan tentang metode wetonan,
menurutnya:
Metode wetonan adalah metode yang di dalamnya terdapat seorang Kyai
yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa
kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai.
Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
Zamakhsyari Dhofier juga memberikan definisi tentang metode bandongan,
menurutnya:
Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan
seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali
mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid
memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti
maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit

Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa model


pembelajaran bandongan sama dengan metode wetonan maupun halaqah.
Dalam model pembelajaran ini, santri secara kolektif mendengarkan dan
mencatat uraian yang disampaikan oleh Kyai, dengan menggunakan bahasa
daerah setempat, dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, materi (kitab)
dan tempat sepenuhnya ditentukan oleh Kyai.
Keunggulan metode ini adalah lebih cepat dan praktis sedangkan
kelemahannya metode ini dianggap tradisional. Biasanya metode ini masih
digunakan pada pondok-pondok pesantren salaf.
3. Metode Musyawarah/Bahtsul Masa’il
Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa’il merupakan metode
pembelajaran yang lebih mirip dengan metode duskusi atau seminar. Beberapa
orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung
oleh kyai atau ustadz, atau mungkin juga senior, untuk membahas atau mengkaji
suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para
santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya.
Kegiatan penilaian oleh kyai atau ustadz dilakukan selama kegiatan musyawarah
berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang
diberikan oleh peserta yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan
referensi yang disebutkan, serta Bahasa yang disampaikan dapat mudah difahami
oleh santri yang lain.
Hal ini yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan
ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi
persoalan atau teks yang menjadi rujukan.
4. Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri mulai pengkajian
materi (kitab) tertentu pada seorang kyai/ ustadz yang dilakukan oleh sekelompok
santri dalam kegiatan yang terus menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada
umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari
atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji.
Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target
utamanya adalah selesainya kitab yang dipelajari. Jadi, dalam metode ini yang
menjadi titik beratnya terletak pada pembacaan buka pada pemahaman
sebagaimana pada metode bandongan.
5. Metode Hapalan
Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks
tertentu di bawa bimbingan dan pengawasan kyai/ustadz. Para santri diberi tugas
untuk menghapal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hapalan yang
dimiliki santri ini kemudian dihapalkan di hadapan kyai/ustadz secara priodik atau
incidental tergantung kepada petunjuk kyai/ustadz yang bersangkutan.
Materi pembelajaran dengan metode hapalan umumnya berkenaan dengan al-
qur’an, nazham-nazham nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks nahwu, sharaf
dan fiqih.
6. Metode Demonstrasi/Praktek Ibadah
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan meperagakan
(mendemostrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu
yang dilakukan perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan
kyai/ustadz. Dengan kegiatan sebagai berikut :
 Para santri mendapatkan penjelasan/teori tentang tata cara pelaksanaan
ibadah yang akan dipraktekkan sampai mereka betul-betul memahami.
 Para santri berdasarkan bimbingan para kyai/ustadz mempersiapkan
segala peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan
praktek.
 Setelah menentukan waktu dan tempat, para santri berkumpul untuk
menerima penjelasan singkat berkenan dengan urutan kegiatan yang akan
dilakukan serta pemberian tugas kepada para santri berkenaan dengan
pelaksaan praktek.
 Para santri secara bergiliran/bergantian memperagakan pelaksaan praktek
ibadah tertentu dengan dibimbing dan diarahkan oleh kyai/ustadz sampai
benar-benar sesuai kaifiat (tata cara pelaksaan ibadah sesungguhnya)
 Setelah selesai kegiatan praktek ibadah para santri diberi kesempatan
menanyakan hal-hal yang dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.
7. Metode Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih dengan Bahasa arab yang diwajibkan
oleh pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Beberapa
pesantren. Latihan muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan
tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu yang digabungkan dengan
latihan muhadhoroh atau khitobah, yang tuhuannya melatih keterampilan anak
didik berpidato.
8. Metode Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spasifik membahas
masalah diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya.
Dalam mudzakarah tersebut dapat dibedakan atas dua tingkat kegiatan :
 Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu
masalah dengan tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan
persoalan dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang
santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari
masalah yang didiskusikan.
 Mudzakarah yang dipimpin oleh kyai, dimana hasil mudzakarah para santri
diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya
lebih banyak berisi Tanya jawab dan hamper seluruhnya diselenggarakan
dalam Bahasa arab.

C. Pengertian Tirakat
Tirakat secara Bahasa berasal dari Bahasa arab, yaitu thoriqoh, yang berarti sebuah
jalan. Hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah usaha yang dilakukan untuk menuju jalan
kepada allah SWT. Menurut versi lain, tirakat berasal dari kata taroka yang berarti
meninggalkan. Ini berarti tirakat adalah meninggalkan segala sesuatu yang bersifat
duniawi untuk menggapai tujuan ukhrawi. Pada intinya, tirakat adalah sebuah usaha
seseorang dalam mengekang hawa nafsu untuk mendekatkan diri pada ilahi.
Tradisi tirakat telah banyak dilakukan ol eh ulama zaman dahulu hingga sekarang.
Dalam melakukan tirakat, biasanya orang yang akan melakukan tirakat diberi ijazah
terlebih dahulu oleh gurunya. Ijazah adalah sebuah bentu perizinan seorang guru / kyai
kepada muridnya untuk mengamalkan sebuah amalan, baik itu wirid-wirid, puasa, shalat,
dan amaliah lainnya. Ijazah ini dapat dikatakan sebagai racikan amalan seorang guru
kepada muridnya untuk mengapai tujuan tertentu, namun pada intinya, tirakat
mempunyai satu tujuan utama yaitu mengekang hawa nafsu untuk menggapai rhido allah
SWT.
Ada beberapa jenis tirakat yang biasa dilakukan oleh para santri. Ada yang puasa senin-
kamis, puasa daud, puasa dalail qur’an (puasa satu tahun), puasa dalail khairat (puasa
bertahun-tahun), shalat hajat, shalat duha, dan lain sebagainya. Biasanya disertai dengan
dzikir-dzikir tertentu dalam menjalani tirakat tersebut. Tirakat ini dilakukan secara rutin
dan istiqomah sehingga santri tersebut dikatakan mampu melawan hawa nafsunya
sendiri.
Tirakat adalah ajang pelatihan hawa nafsu seseorang. Ia meninggalkan kenikmatan-
kenikmatan dunia seperti nikmat kenyang, nikmat tidur, nikmat kesenangan duniawi.
Apabila seseorang dapat melatih hawa nafsunya, maka ia akan semakin mudah untuk
istiqomah, qonaah,ikhlas, syukur, zuhud, dan wira’i. sifat-sifat inilah yang diharapkan
tertanam pada seseorang setelah melakukam tirakat. Sehingga puncak dari tirakat ini
adalah sepenuhnya melakukan sesuatu untuk menggapai ridha allah SWT, bukan untuk
kepentingan duniawi semata.
Tirakat tidak terbatas hanya pada amaliah akhirat saja, seperti puasa, shalat, dan dzikir-
dzikir. Namun, amaliah dunia seperti makan seadanya, susah air dan listrik ketika ada
dipondok, jalan kaki berkilo-kilo meter menuju sekolah juga termasuk tirakat. Sehingga
tirakat tidak bias dikatakan bid’ah, karena tidak merubah tatacara ibadah mahdhoh
(ibadah yang telah ditentukan tata caranya), namun tirakat hanya melatih hidup susah
disertai pelatihan menata hati agar selalu menuju ridho ilahi.
Tradisi ini sudah ada sejak zaman sahabat hingga sekarang. Para sahabat sering
menghabiskan waktu siangnya dengan berpuasa, dan malamnya untuk bermunajat pada
allah SWT. Mereka sedikit makan dan minum serta menguragi jam tidurnya. Para ulama
juga mengikuti jejak mereka. Banyak ulama yang menjalankan puasa bertahun-tahun
untuk mentirakati para murid-muridnya agar ilmunya bermanfaat. Banyak ulama yang
rela hidup susah agar dapat mengekang hawa nafsu hingga dapat menuju kepada allah
SWT dengan mudah.
BAB III
PENUTUP
D. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai