Anda di halaman 1dari 5

Metodologi Pembelajaran

Isitilah pembelajaran merupakan perkembangan dari istilah pengajaran. Pembelajaran adalah


upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik atau yang lain. Untuk mengajar siswa yang sedang
belajar. Aan Hasanah, Pengembangan Profesi Keguruan, (Bandung, Pustaka: Setia, 2012), hal.
85 Menurut faham konvensional, pembelajaran diartikan sebagai bantuan kepada anak didik
yang dibatasi pada aspek intelektual dan keterampilan. Unsur utama dari pembelajaran adalah
pegalaman anak sebagai seperangkat event sehingga terjadi proses belajar. Aan Hasanah,
Pengembangan Profesi Keguruan, (Bandung, Pustaka: Setia, 2012), hal. 86

Menurut Hamalik, pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, materialfasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk
menacapai tujuan pembelajaran. Manusia yang terllibat dalam sistem pembelajaran adalah:
Penddik, Peserta didik, dan lain sebagainya. Material meliputi: Buku, papan tulis, spidol, slide,
audio visual dan juga komputer. Prosedur meliputi: jadwal, metode penyampain informasi,
praktik, belajar, ujian, dan lain sebagainya. Himalik, Kurikulum Dan Pembelajaran, (Jakarta:
Bina Aksara, 2001), hal. 57.

Pembelajaran diartikan sebagai cara menjadikan manusia belajar. Model pembelajaran berisi
bentuk atau konstruksi yang dirancang secara baik dan mendasar pada teori-teori yang
berkaitan langsung dengan proses, cara orang menjadikan belajar.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses
menjadikan orang mengalami perubahan tingkah laku dengan latihan dan pengalaman yang
dilakukan secara sadar dan sistematis. Dalam setiap proses pembelajaran, terdapat tiga
komponen penting yang terkait satu sama lain. Tiga komponen tersebut adalah materi yang
diajarkan, proses mengajarkan materi, dan hasil dari proses pembelajaran tersebut. Dan ketiga
aspek ini sama pentingnya karena merupakan satu kesatuan yang membentuk lingkungan
pembelajaran. Hamruni, Pembelajaran Berbasis Edutaiment Landasan Teori dan Metode-
Metode Pembelajaran Aktif-Menyenangkan (PAIKEM), (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijagan, 2013), hal. 2. Dapat diketahui bahwa dalam proses
pembelajaran harus terjalin hubungan yang sistematis antar komponen dalam pembelajaran
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai

Metode pembelajaran merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan materi kepada
peserta didik dalam proses kegiatan belajar mengajar. Secara umum pesantren memiliki
beberapa macam metode yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran antara lain :

1. Wetonan atau bandongan adalah metode yang paling utama dilingkungan pesantren.
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi
Instutsi (Jakarta: Erlangga) hal 143. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode
wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca,
menerjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab
sedang sekelompok santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukunya sendiri
dan membuat cacatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau
buah pikiran yang sulit. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), hal. 28. Penerapan metode tersebut
mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas dalam proses pembelajaran
didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperatikan
keterangannya. Santri tidak terlatih untuk mengekspresikan daya kritisnya guna
mencermati kebenaran suatu pendapat. Praktek wetonan selalu berorientasi pada
pemompaan materi tanpa melalui kontrol tujuan yang tegas. Hal ini kapasitas santri
lebih banyak sehingga ada peluang bagi santri untuk tidak mengikuti kegiatan belajar
mengajar. Dalam metode ini biasanya digunakan untuk santri yang tingkat menengah.
2. Sorogan merupakan metode yang ditempuh dengan cara pendidik menyampaikan
pelajaran kepada santri secara individual, hal ini dilakukan di masjid, langgar atau
terkadang dirumah-rumah. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), hal 24. Penyampaian pelajaran secara
bergilir kepada santri ini biasanya dipraktekan pada santri berjumlah sedikit. Pesantren,
sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat redah yaitu mereka yang baru
menguasai pembacaan Al-Qur`an. Melalui metode sorogan, perkembangan intelektual
santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Sehingga kiai mampu memberikan bimbingan
penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri
tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan
kapasitas mereka. Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi menuju
Demokratisasi Instutsi (Jakarta: Erlangga) hal. 142-143. Metode ini dituntut adanya
kesabaran penuh dan keuletan pengajar. Santri dituntut memiliki disiplin tinggi. Metode
ini pula membutuhkan waktu yang lama, sehingga terjadi pemborosan, kurang efektif
dan efesien.
3. Metode hafalan adalah metode yang paling umum dalam pesantren, terutama untuk
hafalan al-Qur’an dan Hadis. Jumlah kualitas hafalan surat atau ayat menjadi penentu
tingkat keilmuan santri.
4. Selain itu, ada juga metode kilatan/secara cepat, yaitu program pengajian yang
melaksanakan satu beberapa kitab agama dalam waktu cepat untuk keperluan
memperbanyak referensi sebelum pada waktunya didalami lebih lanjut.
5. Metode mudzakarah, pertemuan keilmuwan untuk menghimpun dan mengkaji berbagai
pendapat yang kesimpulannya bermuatkan pilihan sikap para peserta/arahan bagi
masyarakat. Masykur, Anis, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren, (Depok:
Barnea Pustaka, 2010), 55.
6. Metode musyawarah merupakan suatu forum untuk saling bertukar pikiran dan
argumentasi guna mendapatkan hasil terbaik yang menjadi kesepakatan bersama. Dan
metode muthala’ah bermakna meninjau kembali pemahamannya atas teks setelah
bergumul dalam kehidupan nyata di masyarakat; dan berarti membaca, memahami arti
teks, serta bahtsul masail dan pengkajian masalah-masalah.

Nilai-nilai di pesantren

Pendidikan pesantren sejak awal kehadirannya telah memiliki ciri khas tersendiri dengan sistem
nilai yang berbeda dengan pendidikan-pendidikan diluar pesantren. Sistem nilai yang mengakar
di pesantren adalah keikhlasan, kemandirian, keteladanan, kesederhanaan, serta spiritualitas
yang terus berjalan mengikuti berkembangan dan kemajuan pesantren. Hal ini merupakan
bentuk dan upaya pesantren untuk mempertahankan nilai-nilai pendidikan agama islam yang
sudah mulai banyak direcoki oleh pendidikan barat.

Sehingga itulah yang membuat masyarakat santri tidak boleh lalai dan tergerus dalam
propaganda materialistik yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan sesaat.
Nilai yang sesungguhnya adalah nilai-nilai yang menitik beratkan pada sifat-sifat Ilahiyah, bukan
pada materi.

Maka setidaknya ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan terkait dengan nilai-nilai
yang ada di pesantren.

Pertama, pesantren dalam sejarah berdirinya tidak hanya sekedar sebagai lembaga pendidikan
an sich yang berfungsi sebagai media untuk mentransfer keilmuan dan mencetak kaum
intelektal serta tidak mempersiapkan orang gandrung akan pangkat dan jabatan, melainkan
sebagai lembaga dakwah dengan tujuan untuk menyebarkan agama islam dan mencetak
generasi selanjutnya agar senantiasa memiliki kapasitas keimanan, ketaqwaan, dan keyakinan
yang sesungguhnya kepada Allah.

Kedua, keberadaan, perkembangan, dan kemajuan lembaga pendidikan pesantren tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, kesanggupan pesantren untuk
mencetak kaum santri agar memiliki semangat dan perjuangan yang tinggi untuk terlibat dalam
persoalan-persoalan sosial telah menjadi spirit yang terus melekat di dunia pesantren, sehingga
ketika sudah keluar dari pesantren memiliki kesanggupan untuk menata dan melestarikan
tatanan kehidupan masyarakat yang maju dan berkembang dengan tetap berpijak pada nilai-
nilai yang ada dalam islam.

Kedua unsur diatas merupakan pengejawantahan dari corak dan warna pendidikan pesantren
yang secara terus menerus di dambakan dan dielus-elus sebagai jaminan untuk
mempertahankan nilai yang sesungguhnya. Kendatipun begitu, pesantren harus tetap
waspadah dan berhati-hati dengan segala bentuk kekuatan materialistik yang bisa memporak-
porandakan pola pikir orang-orang yang ada di dalamnya, serta sistem nilai yang tidak boleh
luntur sampai kapanpun, dimanapun dan kapanpun
.

Anda mungkin juga menyukai