Abstract
The study is intended to examine the curriculum and teaching learning in Pondok
Modern Darussalam Gontor-Ponorogo. A process of structuring and management
of education institutions like Pesantren involving human and non-human in
achieving the goal of Pesantren is the central theme of the study. This research is
expected to contribute to society, both theoretically and practically. This study is
descriptive qualitative. The curriculum at Pondok Modern Darussalam Gontor
integrates religious knowledge and the kawniyah science, and thus they cannot be
separated from the basis and religious values. On the contrary, the teaching of
religious knowledge should be in line with general scientific developments.
Pendahuluan
1
* Dosen tetap STIT PGRI Pasuruan, e-mail: miftakhulmunir62@yahoo.com
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 279.
agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Indonesia, yaitu
pada abad ke-13.2
Sejak dilancarkannya modernisasi pendidikan Islam dalam dunia muslim,
tidak banyak lembaga pendidikan Islam yang mampu bertahan seperti pesantren.
Sebagian besar lembaga pendidikan mengalami transformasi menjadi lembaga
pendidikan umum. Pesantren telah eksis di tengah masyarakat selama enam abad
(mulai abad ke-15 hingga sekarang). Sejak awal berdirinya, pesantren telah
menawarkan pendidikan kepada mereka yang masih buta huruf.3
Adapun tujuan yang dicanangkan oleh pesantren yaitu pendidikan yang
sesuai dengan norma-norma agama Islam dan selalu bersifat tafaqquh fi ad-diin.4
Oemar Hamalik mengungkapkan perlunya pemikiran-pemikiran yang inovatif
dalam aspek kurikulum, mengingat masyarakat yang selalu berubah maka
kurikulum pun akan selalu berubah.5 Oleh karena itu, penulis akan memaparkan
kurikulum pesantren modern sebagai bentuk usaha pesantren mengoptimalkan
2
Pada saat itu, pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur,
sehingga pendidikan ini dianggap sekolah bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia
mengalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan dan keagamaan. Ciri
umum yang diketahui adalah pesantren memiliki kultur yang khas. Cara pengajarannya pun unik.
Kyai yang biasanya adalah pendiri pondok pesantren, memberikan layanan pendidikan secara
kolektif atau bandongan (collective learning process) dan layanan individual atau sorogan
(individual learning process). Pola seperti ini disebut pondok pesantren salafiyah. Nurcholis
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 8.
3
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi masa depan tentu memliki tujuan,
kurikulum, visi, dan misi dalam usaha membentuk bangsa yang lebih beradab. Mujamil Qomar,
Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Isntitusi (Jakarta: Erlangga,
2005), 22.
4
Perkembangan pesantren, dari pesantren salaf (bandongan dan sorogan) sampai pesantren
modern yang sangat pesat hingga saat ini tidaklah lepas dari adanya sistem pendidikan yang jelas
dan kurikulum yang terencana dengan baik. Karena kurikulum merupakan alat yang sangat penting
dalam keberhasilan suatu pendidikan, maka perlu adanya perencanaan dalam penerapannya. Tanpa
adanya kurikulum yang baik dan tepat, akan sulit untuk mencapai semua tujuan dan sasaran
pendidikan yang telah dicita-citakan. Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek
(Jakarta: Gaya Media, 1999), 4.
5
Berdasarkan pemahamannya, kurikulum dapat dipandang sebagai kurikulum tradisional dan
kurikulum modern. Karena pesantren mampu eksis hingga saat ini, maka pesantren tentu memiliki
kelebihan-kelebihan tersendiri dalam mengolah kurikulum tersebut. Oemar Hamalik, Manajemen
Pengembangan Kurikulum (Bandung, Remaja RosdaKarya, 2006), 56.
proses pendidikan Islam, dengan rumusan masalah “bagaimana manajemen
kurikulum dan manajemen pembelajaran di Pondok Modern Darussalam
Gontor?”.
Metodologi penelitian dalam penelitian ini menggunanakan pendekatan
kualitatif, yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata lisan dan tulisan dari responden, serta perilaku yang dapat dialami. 6
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Bagi peneliti kualitatif, fenomena dapat dimengerti maknanya
secara baik apabila dilakukan interaksi dengan subjek melalui wawancara
mendalam dan dilakukan observasi pada latar, dimana fenomena tersebut
berlangsung. Selain itu, untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi tentang
bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subjek.
Manajemen Pesantren
Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur. Pengaturan
dilakukan melalui proses dan diatur berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi
manajemen itu. Manajemen merupakan suatu proses mewujudkan tujuan yang
diinginkan. Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Dikatakan
sebagai ilmu oleh Luther Gulick, karena manajemen dipandang sebagai suatu
bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan
bagaimana orang bekerjasama. Dikatakan kiat oleh Follet, karena manajemen
mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan
6
Lebih lanjut dikatakan bahwa pendekatan kualitatif dengan karakteristik-karakteristik: (a)
penelitian kualitatif menggunakan latar alami (natural setting) sebagai sumber data langsung dan
peneliti sendiri merupakan instrumen kunci. Sedangkan instrumen lain sebagai instrumen
penunjang; (b) penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan disajikan dalam
bentuk kata-kata dan gambar-gambar. Laporan penelitian memuat kutipan-kutipan data sebagai
ilustrasi dan dukungan fakta pada penyajian. Data ini mencakup transkrip wawancara, catatan
lapangan, foto, dokumen dan rekaman lainnya. Dan dalam memahami fenomena, peneliti berusaha
melakukan analisis sekaya mungkin mendekati bentuk data yang telah direkam; (d) dalam
penelitian kualitatif proses lebih dipentingkan daripada hasil. Sesuai dengan latar yang bersifat
alami, penelitian kualitatif lebih mem-perhatikan aktifitas-aktifitas nyata sehari-hari, prosedur-
prosedur dan interaksi yang terjadi; (e) analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan
secara analisa induktif; (f) makna merupakan hal yang esensial dalam penelitian kualitatif. Lexy
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), 3.
dalam tugas. Dipandang sebagai profesi, karena manajemen dilandasi oleh
keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional
dituntun oleh suatu kode etik.7
Salah satu rumusan operasional mengajukan bahwa manajemen adalah
suatu proses sosial yang berkenaan dengan keseluruhan usaha manusia dengan
bantuan manusia lain serta sumber-sumber lainnya, menggunakan metode yang
efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dari
definisi ini terdapat beberapa pokok pikiran diantaranya:
a. Manajemen merupakan suatu proses sosial yang merupakan proses
kerjasama antara dua orang atau lebih secara formal.
b. Manajemen dilaksanakan dengan bantuan sumber-sumber, yakni:
sumber manusia, sumber material, sumber biaya, dan sumber
informasi.
c. Manajemen dilaksanakan dengan metode kerja tertentu yang efisien
dan efektif, dari segi tenaga, dana, waktu, dan sebagainya.
d. Manajemen mengacu pada pencapaian tujuan tertentu yang telah
ditentukan sebelumnya.8
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya
mempunyai tiga ciri umum, yaitu kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai
tempat tinggal para santri, dan masjid sebagai pusat kegiatan. Adanya pendidikan
dan pengajaran agama Islam melalui sistem pengajian kitab dengan metode
wetonan, sorogan, dan musyawarah, sekarang telah berkembang dengan sistem
klasikal atau madrasah.9
Marwan Sarijo juga mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam
dengan sistem bandongan, sorogan, dan wetonan. Para santri disediakan pondok
yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi kriteria sebagai pendidikan non
7
Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2006), 2.
8
Ibid., 16.
9
Adapun ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan yang kharismatik dan suasana keagamaan
yang mendalam. Mustafa Syarif, Administrasi Pesantren (Jakarta: Karya Barkah, 1982), 5.
formal, dan menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah. Bahkan,
pesantren juga menyediakan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan
aneka kebutuhan masyarakat.10
Dari uraian di atas, manajemen pesantren dapat didefinisikan sebagai
sebuah sistem sosial yang di dalamnya terdapat interaksi sosial yang harus
dikelola dengan baik agar dapat memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan
pendidikan. Keberhasilan mencapai tujuan tidak hanya bergantung pada guru atau
staf lainnya, akan tetapi peran pengasuh atau kyai sebagai figur sentral sangat
menentukan dalam menciptakan iklim pesantren yang mendukung pelaksanaan
proses belajar mengajar.
Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa Latin, a little racecourse (suatu jarak yang
harus ditempuh dalam pertandingan olahraga), yang kemudian dialihkan ke dalam
pengertian pendidikan menjadi circle of instruction, yaitu suatu lingkaran
pengajaran, di mana guru dan murid terlibat di dalamnya.11
Berdasarkan makna di atas, pada awalnya kurikulum dalam dunia
pendidikan diartikan sebagai kumpulan mata pelajaran yang harus ditempuh
anak/peserta didik guna memperoleh ijazah atau menyelesaikan pendidikan.12
Sedangkan dalam studi kependidikan Islam, istilah kurikulum
menggunakan kata manhaj yang berarti sebagai jalan yang terang atau jalan yang
dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Jalan terang tersebut
adalah jalan yang dilalui oleh pendidik dan pembimbing dengan orang yang
10
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai misi sangat luas dan kompleks, terutama dan
paling mendasar adalah pemahaman terhadap agama dan dakwah Islam. Mansur Mahfud Junaedi,
Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama, 2005), 96.
11
Muzayyin Arifin, Filsafat pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2005 ), 78.
12
Dalam perkembangan berikutnya, pengertian kurikulum di atas dipandang sangat sempit, karena
hanya menekankan dua hal pokok, yaitu : a) isi kurikulum berupa kumpulan mata pelajaran yang
diberikan di sekolah kepada anak didik dan b) tujuan pendidikan/kurikulum, agar anak menguasai
mata pelajaran disimbolkan dalam bentuk ijazah atau sertifikat. Nana Sudjana, Pembinaan dan
Pengembangan kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru Aglesindo, 1996), 98.
dididik atau dibimbingnya agar dapat mengembangkan pengetahuan,
keterampilan, serta sikap mereka.13
Dengan menggunakan definisi tersebut, pengalaman yang diperoleh
peserta didik diharapkan mampu menciptakan interaksi antara individu dan
lingkungan sekitarnya, sehingga melalui interaksi tersebut dapat melakukan
perubahan pada tingkah lakunya. Oleh karena itu, sebenarnya tugas dari lembaga
pendidikan bukan hanya sekedar menyediakan pengalaman saja, melainkan juga
suasana serta kondisi yang sesuai agar terwujud interaksi tersebut sekaligus
peluang untuk memperoleh pengalaman.
Dalam menentukan kurikulum, pesantren hendaknya berusaha
menyeimbangkan dengan kurikulum nasional. Sudah saatnya pesantren-pesantren
di Indonesia melihat sistem pendidikan modern sebagai pengganti dari sistem
salafi. Artinya tidak selalu terpaku dengan kitab-kitab klasik, tetapi ada semacam
update kurikulum yang dilakukan secara gradual. Sistem pembelajaran yang
menuntut para santri menghafalkan apa yang didapat dan dibaca oleh gurunya,
tanpa mempedulikan adanya kesenjangan antara nilai-nilai yang terjadi di
masyarakat dan apa yang dihafalnya, sudah tidak relevan dengan zaman sekarang.
Tetapi selayaknya santri diberikan pemahaman bagaimana mereka merumuskan,
mengarahkan, dan memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan.14
Dengan demikian, pendidikan pesantren juga memerlukan ilmu-ilmu
terapan, misalnya pelatihan kepemimpinan dan manajemen diri. Kurikulum
pendidikan pondok pesantren di Indonesia saat ini tidak sekedar fokus pada kitab-
kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata
pelajaran dan keterampilan umum untuk memberikan pencerahan bagi peserta
13
Selain itu, Addamardasy Sarhan dan Munir Kamil mengartikan kurikulum sebagai sejumlah
pengalaman-pengalaman pendidikan, budaya, sosial, olahraga, dan seni yang disediakan oleh
lembaga pendidikan bagi murid-muridnya, baik di dalam maupun di luar lembaga, dengan tujuan
untuk menolongnya agar berkembang secara menyeluruh dalam segala segi serta merubah tingkah
laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Oemar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah
Pendidikan Islam, Diterjemahkan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 478.
14
Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), 76.
didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude), maupun
psikomotorik (skill).
Pembelajaran
Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction”, yang banyak
dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak
dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistik, yang menempatkan siswa
sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa
mempelajari segala sesuatu lewat bebagai macam media, seperti bahan-bahan
cetak, gambar, audio, dan lain sebagainya. Sehingga, semua itu mendorong
terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari
guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar
mengajar. 15
Dalam implementasinya, walaupun istilah yang digunakan adalah
“pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan perannya sebagai
pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya dalam istilah mengajar juga
bermakna membelajarkan siswa. Mengajar-belajar adalah dua istilah yang
memiliki satu makna yang tidak dapat dipisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas
yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar dan belajar
diistilahkan Dewey sebagai “menjual dan membeli”. Artinya, seseorang tidak
mungkin akan menjual jika tidak ada orang yang membeli, yang berarti tidak akan
ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang belajar. Dengan
15
Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekedar menyampaikan materi
pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar.
Makna lain mengajar yang demikian sering diistilahkan dengan “pembelajaran”. Hal ini
dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta
didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai
kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi
dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan
mewujudkan masyarakat belajar. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan,Cet. VI. (Jakarta: Kencana, 2009), 103.
demikian, dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar siswa. Inilah
makna pembelajaran.16
Adapun pembelajaran di pesantren pada umumnya bersifat kyai-centered.
Seorang kyai melihat para santrinya belum matang secara intelektual maupun
emosionalnya, sehingga perlu dibimbing dalam belajar. Adapun metode
pembelajaranya, biasa disebut dengan metode sorogan atau bandongan dimana
kyai mempunyai kekuasan tinggi dalam mengajarkannya, bahkan “haram” bagi
santri untuk membantahnya.
Sebaiknya sikap otokrasi dalam kepemimpinan seorang kyai dikurangi dan
lebih mengedepankan sikap “mengayomi” santri dengan nilai-nilai, budaya
maupun keyakinan agama sebagai basis manajemen kultur di pesantren. Sikap
otokrasi akan menghasilkan peserta didik yang tidak kritis dan jumud (kaku)
dalam pemikiran.
Berkaitan dengan gejala modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan
(the rise of educations), sebaiknya sikap otokrasi dalam kepemimpinan seorang
kyai dikurangi dan lebih mengedepankan sikap “mengayomi” santri dengan nilai-
nilai, budaya, maupun keyakinan agama. Sikap otokrasi akan menghasilkan
peserta didik yang tidak kritis dan jumud (kaku) dalam pemikiran.17
Deskripsi Data
Nilai:
1) Nilai Panca Jiwa Pondok, yaitu : jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa
berdikari, jiwa ukhuwwah Islamiyyah, dan jiwa bebas.
2) Motto: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran
bebas.
Falsafah:
a) Falsafah dan Motto Kelembagaan
1) Pondok Modern Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan
2) Pondok adalah lapangan perjuangan, bukan tempat mencari kehidupan
3) Pondok itu milik umat, bukan milik kyai
b) Falsafah dan Motto Kependidikan
1) Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami santri sehari-hari
harus mengandung unsur pendidikan
2) Jadilah ulama yang intelek, bukan intelek yang tau agama
3) Hidup sekali, hiduplah yang berarti
18
Pondok Gontor sejak awal telah menegaskan dirinya sebagai lembaga pendidikan modern.
Sebutan modern terutama mengacu metode pengajarannya dengan sistem klasikal, selain materi-
materi pelajaran yang bersifat vokasional, seperti kesenian, keterampilan, olahraga, bela diri, dan
Pramuka. Dan pada masanya, semua hal tersebut memang baru, bahkan kerap disebut satu
keanehan, bagi lembaga pendidikan Islam. Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan
Pendidikan Pesantren (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), 87-88.
4) Berjasalah tetapi jangan minta jasa
5) Sebesar keinsafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu
6) Mau dipimpin dan siap memimpin, patah tumbuh hilang berganti
7) Berani hidup, tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati
saja.
8) Seluruh mata pelajaran harus mengandung unsur akhlak
9) In uridu illa al-islah
10) Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat untuk sesamanya
11) Pendidikan itu by doing, bukan by lip
12) Perjuangan itu memelukan pengorbanan : bondo bahu lek perlu sak
nyawane
13) I’malu fawqo ma ‘amilu
14) Hanya orang penting yang tahu kepentingan, dan hanya pejuang yang
tahu arti perjuangan
15) Sederhana tidak berarti miskin
c) Falsafah dan Motto Pembelajaran
1) Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada
metode, dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri ( al-
thariqah ahammu min al-maddah, al-mudarrisu ahammu min al-
thariqah, wa ar-ruh al-mudarrisi ahammu min al-mudarris).
2) Pondok memberi kail, tidak memberi ikan
3) Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian
4) Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal dan ibadah
5) Pelajaran di Pondok : agama 100% dan umum 100%
Visi:
Sebagai lembaga pendidikan pencetak kader-kader pemimpin umat,
menjadi tempat ibadah thalab al-‘ilmi, dan menjadi sumber pengetahuan
Islam, bahasa dan al-Qur’an, dan ilmu pengetahuan umum, dengan tetap
berjiwa pondok.
Misi:
1) Membentuk generasi yang unggul menuju terbentuknya khair al-ummah.
2) Mendidik dan mengembangkan generasi mukmin-muslim yang berbudi
tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas, serta
berkhidmat kepada masyarakat.
3) Mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang
menuju terbentuknya ulama yang intelek
4) Mewujudkan warga negara yang berkepribadian Indonesia yang beriman
dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Orientasi:
1) Kemasyarakatan
2) Hidup sederhana
3) Tidak berpartai
4) Ibadah thalab al-‘ilmi
Sintesa:
1) Universitas Al-Azhar di Mesir, yang terkenal dengan harta wakaf dan
keabadiannya. Al-Azhar memiliki kemampuan membiayai dirinya
sendiri, bahkan memberikan bantuan beasiswa kepada mahasiswanya
dari harta wakaf yang dikelolanya. Kemandirian dengan model wakaf
inilah yang diambil sebagai contoh oleh Gontor.
2) Universitas Alighar di India, yang terkenal dengan modernisasinya.
Alighar membekali mahasiswa dengan ilmu pengetahuan agama dan
umum.
3) Pondok Syanggit di Mauritania. Lembaga pendidikan Syanggit
harum namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan para
pengasuhnya.
4) Perguruan Santiniketan di India, yang berarti Kampung Damai.
Santiniketan terletak di tengah hutan yang serba sederhana. Lembaga
ini terkenal dengan kedamaiannya.
Tujuan:
1) Terwujudnya generasi yang unggul menuju terbentuknya khair al-
ummah.
2) Terbentuknya generasi mukmin-muslim yang berbudi tinggi,
berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas, serta
berkhidmat kepada masyarakat.
3) Lahirnya ulama intelek yang memilki keseimbangan dzikir dan pikir
4) Terwujudnya warga negara yang berkepribadian Indonesia yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Penutup
DAFTAR RUJUKAN
Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Gaya Media,
1999.