A. Pendahuluan
Berbagai macam lembaga pendidikan di Indonesia, baik lembaga pendidikan formal
maupun non formal, senantiasa eksis dan ikut serta berperan dalam mencerdaskan kehidupan
anak bangsa. Salah satu lembaga pendidikan tersebut adalah pondok pesantren yang merupakan
sebuah lembaga non formal yang merupakan lembaga pendidikan tertua di negeri ini yang masih
memiliki peran penting dalam dunia pendidikan.
Pondok pesantren merupakan sebuah sistem yang unik, tidak hanya unik dalam hal
pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut,
cara hidup yang ditempuh, serta semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya.
Dari sistematika pengajaran, dijumpai sistem pelajaran yang berulang-ulang dari tingkat ke
tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Persoalan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa
yang diulang-ulang dalam jangka waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan
berlainan.
Dalam keputusan Musyawarah/ Lokakarya intensifikasi Pengembangan pondok
pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 6 Mei 1978 di Jakarta tentang pondok
pesantren diberikan batasan sebagai berikut: Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu Kyai/ syekh/ ustadz yang mendidik serta
mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid. Kegiatannya mencakup Tri Dharma Pondok
Pesantren yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; pengembangan keilmuan yang
bermanfaat; dan pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.[1]
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, yaitu metode
pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan
dalam institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli pesantren. Ada pula metode
pembelajaran baru (tajdid), yaitu metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren
dengan mengintrodusir metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Penerapan
metode baru juga diikuti dengan penerapan sistem baru, yaitu sistem sekolah atau klasikal (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 453).
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan pengajaran
non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran ini berbeda antara satu pondok pesantren dengan pondok
pesantren lainnya, dalam arti tidak ada keseragaman sistem dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengajarannya.
Sejalan dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan pesantren juga tidak menutup
diri untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan baik metode maupun teknis dalam
pelaksanaan pendidikan pesantren itu sendiri. Meskipun demikian tidak semua pesantren mau
membuka mengadakan inovasi serta pembaharuan terhadap metode pembelajaran yang ada.
Pada awal berdirinya pondok pesantren, metode yang digunakan adalah metode wetonan
dan sorogan bagi pondok non klasikal. Pada perkembangan selanjutnya metode pembelajaran
pondok pesantren mencoba untuk merenovasi metode yang ada tersebut untuk mengembangkan
pada metode yang baru yaitu metode klasikal. Kyai bertugas mengajarkan berbagai pengajian
untuk berbagai tingkat pengajaran di pesantrennya, dan terserah kepada santri untuk memilih
mana yang akan ditempuhnya.
Kalau santri ingin mengikuti semua jenis pengajian yang diajarkan, sudah tentu akan
membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi keseluruhan struktur pengajaran tidak ditentukan
oleh panjang atau singkatnya masa seorang santri mengaji pada Kyainya, karena tidak adanya
keharusan menempuh ujian dari Kyainya. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah
ketundukannya kepada sang Kyai dan kemampuannya untuk memperoleh ngelmu dari sang
Kyai.[2]
Di samping kurikulum pelajaran yang sedemikian fleksibel (luwes), keunikan pengajaran
di pesantren juga dapat ditemui pada cara pemberian pelajarannya, juga dalam penggunaan
materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri. Pelajaran diberikan dalam
pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka.
Di samping itu, mata pelajaran yang diajarkan bersifat aplikatif, dalam arti harus
diterjemahkan dalam perbuatan dan amal sehari-hari, sudah tentu kemampuan para santri untuk
mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok sang Kyai.[3] Proses
pembelajaran merupakan kegiatan yang kompleks, maka hampir tidak mungkin untuk
menunjukkan dan menyimpulkan bahwa suatu metode tertentu lebih unggul daripada metode
yang lainnya dalam usaha mencapai semua tujuan pembelajaran.
Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran
bandongan sama dengan metode wetonan maupun halaqah. Dalam model pembelajaran ini,
santri secara kolektif mendengarkan dan mencatat uraian yang disampaikan oleh Kyai, dengan
menggunakan bahasa daerah setempat, dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, materi (kitab)
dan tempat sepenuhnya ditentukan oleh Kyai.
Keunggulan metode ini adalah lebih cepat dan praktis sedangkan kelemahannya metode
ini dianggap tradisional. Biasanya metode ini masih digunakan pada pondok-pondok pesantren
salaf.
3. Metode Musyawarah/ Bahtsul Masa'il
Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa'il merupakan metode
pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri
dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh Kyai atau ustadz, atau
mungkin juga senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan
sebelumnya.[14] Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau pendapatnya.
Kegiatan penilaian oleh Kyai atau ustadz dilakukan selama kegiatan musyawarah
berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh
peserta yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan referensi yang disebutkan,
serta bahasa yang disampaikan dapat mudah difahami oleh santri yang lain. Hal lain yang dinilai
adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam membaca
dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.[15]
4. Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi
(kitab) tertentu pada seorang Kyai/ ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam
kegiatan yang terus menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada
bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh
tergantung pada besarnya kitab yang dikaji.
Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target
utamanya adalah selesainya kitab yang dipelajari. Jadi, dalam metode ini yang menjadi titik
beratnya terletak pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode
bandongan.
5. Metode Hapalan (Muhafazhah)
Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu di
bawah bimbingan dan pengawasan Kyai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghapal
bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hapalan yang dimiliki santri ini kemudian
dihapalkan di hadapan Kyai/ustadz secara periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk
Kyai/ustadz yang bersangkutan.[16] Materi pelajaran dengan metode hapalan umumnya
berkenaan dengan Al Quran, nazham-nazham nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks nahwu,
sharaf dan fiqih.
6. Metode Demonstrasi/ Praktek Ibadah
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan meperagakan
(mendemonstrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan
perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan Kyai/ustadz. dengan kegiatan
sebagai berikut:
- Para santri mendapatkan penjelasan/ teori tentang tata cara pelaksanaan ibadah yang akan
dipraktekkan sampai mereka betul-betul memahaminya.
- Para santri berdasarkan bimbingan para Kyai/ ustadz mempersiapkan segala peralatan dan
perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan praktek.
- Setelah menentukan waktu dan tempat, para santri berkumpul untuk menerima penjelasan
singkat berkenaan dengan urutan kegiatan yang akan dilakukan serta pemberian tugas kepada
para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktek.
- Para santri secara bergiliran/ bergantian memperagakan pelaksanaan praktek ibadah tertentu
dengan dibimbing dan diarahkan oleh Kyai/ ustadz sampai benar-benar sesuai kaifiat (tata cara
pelaksanaan ibadah sesungguhnya).
- Setelah selesai kegiatan praktek ibadah para santri diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang
dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.[17]
7. Metode Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh
pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Beberapa pesantren, latihan
muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua
kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan muhadhoroh atau khitobah, yang
tujuannya melatih keterampilan anak didik berpidato.
8. Metode Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah
diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah
tersebut dapat dibedakan atas dua tingkat kegiatan:
- Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan
melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan mempergunakan kitab-
kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan
kesimpulan dari masalah yang didiskusikan
- Mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah para santri diajukan untuk
dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi Tanya jawab dan
hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.[18]
Dalam teknik ini, guru menanyakan satu atau lebih pertanyaan untuk membuka
pengetahuan mata pelajaran atau mendapatkan hipotesis atau kesimpulan mereka dan kemudian
memilahnya kedalam kategori- kategori. Metode pembelajaran terbimbing merupakan perubahan
dari ceramah secara langsung dan memungkinkan santri mempelajari apa yang telah diketahui
dan dipahami sebelum membuat poin-poin pengajaran. Metode ini sangat berguna ketika
mengajarkan konsep-konsep abstrak.[22]
E. Kesimpulan
Dalam keadaan aslinya pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan pengajaran
non klasikal, yang dikenal dengan nama bandungan, sorogan, dan wetonan. Penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran ini berbeda antara satu pondok pesantren dengan pondok
pesantren lainnya, dalam arti tidak ada keseragaman sistem dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengajarannya.
Secara umum metode pembelajaran yang diterapkan pondok pesantren mencakup dua
aspek, yaitu metode yang bersifat tradisional (salaf) dan metode pembelajaran modern (tajdid).
Namun secara rinci dapat disebutkan beberapa model pembelajaran pesantren yaitu model
sorogan, wetonan (bandongan), musyawarah (bahtsul masail), pengajian pasaran, muhafadzah
(hapalan), demonstrasi, muhawarah, dan mudzakarah.
Perlu adanya pengembangan model pembelajara di pesantren yaitu dengan menggunakan
metode pembelajaran yang lebih baik yakni mempergunakan kegiatan murid-murid sendiri
secara efektif dalam kelas, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sedemikian rupa
secara kontinu dan juga melalui kerja kelompok. Pola pengembangan pembelajaran yang
dimaksud adalah metode pembelajaran terbimbing dan metode mengajar teman sebaya.
DAFTAR PUSTAKA
Agama RI, Departemen. Pola Pembelajaran Di Pesantren . Jakarta: Departemen Agama RI, 2001.
Ali, A. Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Arifin, Imron . Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasyahada Press,
1993.
Depag RI. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: Depag
RI, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3S, 1985.
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam/ Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren.
Profil Pondok Pesantren Muaddalah. Depag RI, 2004.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Munawaroh, Djunaidatul. Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren, dalam Abuddin Nata (ed). Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia Bekerja Sama dengan IAIN Jakarta, 2001.
Rahardjo, M. Dawam (ed). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesantren, 1985.
Siberman, Mel. Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject, Terj. H. Sardjuli dkk. Yogyakarta:
Yappendis, 1996.
SM, Ismail. Pengembangan Pesantren Tradisional, dalam Ismail SM (Ed.). Dinamika Pesantren dan
Madrasah. Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Suyoto. Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.). Pesantren dan
Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1988.
Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. Pondok Pesantren Sebagai Alternarif Kelembagaan Pendidikan untuk Program
Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi. Studi
Islam Asia Tenggara. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.