Anda di halaman 1dari 11

A.

Pengertian Hadits
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu taala anhu, bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa
sallam bersabda,


Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat (HR. Bukhari)
Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Amr bin Al Ash bin Wail bin
Hasyim bin Suaid bin Saad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad,
atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al
Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti Abdullah Ibn Umar, Abdullah
ibn Abbas, dan sebagainya pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara
fuqaha dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al
Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Thaif.
Poin kandungan hadits :
Pertama:
Nabi shallallaahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara
agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa taala telah menjadikan agama ini sebagai
satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), Pada hari ini telah kusempurnakan
bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam
sebagai agama bagimu (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, Sampaikan dariku walau
hanya satu ayat, Al Maafi An Nahrawani mengatakan, Hal ini agar setiap orang yang
mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersegera untuk
menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya. Hal ini
sebagaimana sabda beliau shallallaahu alaihi wa sallam, Hendaklah yang hadir
menyampaikan pada yang tidak hadir. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan
hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terbagi
dalam dua bentuk :
Menyampaikan dalil dari Al Quran atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik
sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan
(taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu alaihi

wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga
cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa)
dan memiliki sikap adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil
dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muruah, ed).
Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang
yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh
dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para
ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di
antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan
membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf
(perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui
mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekalbekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang nyleneh.
Ketiga:
Sebagian orang yang mengaku sebagai dai, pemberi wejangan, dan pengisi talim,
padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil
dengan hadits Sampaikan dariku walau hanya satu ayat. Mereka beranggapan bahwasanya
tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh
menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa
yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi
shallallaahu alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih
banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang
yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka
maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu
dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila
seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh
menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal
fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia
hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu alaihi wa
sallam, Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar
secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih
(bagus dalam pemahaman). Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu
alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan

berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak
paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
B. Metode Dawah Dalam Al-Quran
Rasulullah SAW memulai dakwahnya dari istri, keluarga, dan teman-teman karibnya
hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau
risalah Nabi SAW adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari
Persia (Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Sehingga ada beberapa metode
dakwah yang bisa dilakukan seorang Muslim menurut syariat.
Pertama, dakwah fardiah yakni metode dakwah yang dilakukan seseorang kepada
orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas.
Kedua, dakwah ammah yakni jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media
lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada
mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khutbah (pidato).Selain itu juga dikenal
istilah dakwah bil-Lisan yakni penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan
(ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek dakwah). Ditambah, Rasulullah
SAW juga mengajarkan umatnya

untuk

dakwah bil-haal yakni dakwah yang

mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah (madu)
mengikuti sang dai. Berdakwah dengan perbuatan memiliki pengaruh yang besar pada madu.
Di era multimedia ini, umat Muslim pun bisa berdakwah bit-tadwin (melalui tulisan), baik
dengan menulis di koran, internet, majalah, buletin atau melalui buku. Rasulullah SAW juga
mengingatkan agar dakwah dilakukan dengan cara yang arif dan bijaksana.
Adapun dalam al-Quran surah Al-Nahl (16): 125 termuat beberapa metode dakwah
sebagaimana dapat dibaca dalam firman Allah swt:


.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. AN-Nahl: 125)
Tiga metode dakwah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu : metode al-hikmah, metode
al-mawizhah dan metode mujadalah.
1. Metode al-hikmah

Allah berfirman seraya memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad agar menyeru


umat manusia dengan penuh hikmah. Ibnu Jarir mengatakan: Yaitu apa yang telah
diturunkan kepada beliau berupa Al-Quran dan As-Sunnah serta pelajaran ayang
baik, yang di dalamnyaberwujud laranagn dan berbagai peristiwa yang disebutkan
agar mereka waspada terhadap siksa Allah Taala.
Kata al-hikmah terulang sebanyak 210 kali dalam al-Quran.Secara
etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu,
pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga berarti al-Quran alKarim. Hikmah juga diartikan al-Ilah, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri atau ma
hikmah zalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Makna al-hikmah yang tersebar dalam al-Quran di 20 tempat tersebut, secara
ringkas, mengandung tiga pengertian.Pertama, al-hikmah dalam arti penelitian
terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan menggunakan akal
dan penalaran.Kedua, al-hikmah yang bermakna memahami rahasia-rahasia
hukum dan maksud-maksudnya.Ketiga, al-hikmah yang berarti kenabian atau
nubuwwah.
Adapun kata al-hikmah dalam ayat menurut al-Maraghi
(w. 1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat
memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan.Sedang Muhammad Abduh
(w. 1905) mengartikan al-hikmah sebagai ilmu yang sahih yang mampu
membangkitkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat
dan kemampuan mengetahui rahasia dan faedah setiap sesuatu.
Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan hikmah antara lain
berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan.
Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau
kekeliruan. Hikmah juga berarti sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan
akan mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan yang besar atau yang lebih besar,
serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau yang lebih
besar. Hanya saja, menurut Quraish, hikmah sebagai metode dakwah lebih sesuai
untuk cendekiawan yang berpengetahuan tinggi.
Sementara itu Sayyid Qutb berpendapat yang dimaksud dengan hikmah adalah
Melihat situasi dan kondisi obyek dakwah. Memperhatikan kadar materi dakwah yang
disampaikan kepada mereka, sehingga mereka tidak merasa terbebani terhadap
perintah agama (materi dakwah) tersebut, karena belum siap mental untuk
menerimanya. Memperhatikan metode penyampaian dakwah dengan bermacam-

macam metode yang mampu menggugah perasaan, tidak memancing kemarahan,


penolakan, kecemburuan dan terkesan berlebih-lebihan, sehingga tidak mengandung
hikmah di dalamnya.
2. Metode al-Mawizah al-hasanah
Metode dakwah kedua yang terkandung dalam QS.Al-Nahl (16) ayat 125
adalah metode al-mawizhat al-hasanah. Mawizhat dari kata

yang berarti

nasehat. Juga berarti menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan,


menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat. Kata mawizat disebut
dalam al-Quran sebanyak 9 kali. Kata ini berarti nasehat yang memiliki ciri khusus,
karena mengandung al-haq (kebenaran), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq
serta mengandung nilai-nilai keuniversalan.Kata al-hasanah lawan dari sayyiah,
maka dapat dipahami bahwa mawizah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa
keburukan.
Metode dakwah berbentuk nasehat ini ditemukan dalam al-Quran dengan
memakai kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada
ide-ide

yang

dikehendakinya,

seperti

nasehat

Luqman

al-Hakim

kepada

anaknya.Tetapi, nasehat al-Quran itu menurut Quraish Shihab, tidak banyak


manfaatnya jika tidak dibarengi dengan teladan dari penasehat itu sendiri. Dalam hal
ini, Rasulullah saw. yang patut dijadikan panutan, karena pada diri beliau telah
terkumpul segala macam keistimewaan sehingga orang-orang yang mendengar
ajarannya dan sekaligus melihat penjelmaan ajaran itu pada diri beliau sehingga
akhirnya terdorong untuk meyakini ajaran itu dan mencontoh pelaksanaannya.
Mawizhah disifati dengan hasanah (yang baik), menurut Quraish, karena
nasehat itu ada yang baik dan ada yang buruk. Nasehat dikatakan buruk dapat
disebabkan karena isinya memang buruk, di samping itu, ia juga dipandang buruk
manakala disampaikan oleh orang yang tidak dapat diteladani.
Metode dakwah al-mawizhah al-hasanah merupakan cara berdakwah yang
disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka;
memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang
mengesankan obyek dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat
yang menyayanginya, dan yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan
membahagiakannya.
Seorang dai selain memberi nasehat kepada orang lain, juga kepada diri dan
keluarga sendiri, bahkan harus lebih dahulu menasehati diri dan keluarganya, baru
orang lain. Nasehat itu harus pula dibarengi dengan contoh kongkrit dengan maksud

untuk ditiru oleh umat yang dinasehati, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad saw. seperti pelaksanaan shalat dan sebagainya. Selain itu, dipahami pula
bahwa dakwah yang disampaikan itu tidak hanya teori, tetapi juga praktek nyata yang
dilakukan oleh dai itu sendiri.
3. Metode al-Mujdalah
Firman Allah, Dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik, berdialoglah
dengan mereka dengan lembut, halus, dan sapaan yang sopan, sebagaimana hal
itupun deperintahkan Allah kepada Musa dan Harun tatkala diutus menghadap
Firaun, seperti difirmankan, Maka berbicaralah kamu berdua dengannya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.(Thaha: 44).
Al-Mujdalah terambil dari kata , yang bermakna diskusi atau
perdebatan.Kata jadal (diskusi) terulang sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya
di beberapa tempat dalam al-Quran.
Dari kata-kata itu, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek,
yaitu: membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau
ahli kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah
dalam berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu.
Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan
wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Quran menyuruh manusia dengan istilah
ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik)
menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan
yang buruk.
Al-Maraghi mengartikan kalimat wa jadilhum bi allatiy hiya ahsan dengan
berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Sedangkan Sayyid Qutb
mengartikannya dengan: berdialog dan berdiskusi bukan untuk mencari kemenangan,
akan tetapi agar patuh dan tunduk terhadap agama untuk mencapai kebenaran.
Sayyid Qutb memberikan penjelasan tentang metode dakwah ini; dakwah
dengan al-mujdalah bi allatiy hiya ahsan ialah dakwah yang tidak mengandung
unsur pertikaian, kelicikan dan kejelekan, sehingga mendatangkan ketenangan
dan kelegaan bagi juru dakwah. Tujuan perdebatan bukanlah mencapai
kemenangan, tetapi penerimaan dan penyampaian kepada kebenaran. Jiwa manusia
itu mengandung unsur keangkuhan, dan itu tidak dapat ditundukkan dengan
pandangan yang saling menolak, kecuali dengan cara yang halus sehingga tidak ada
yang merasa kalah. Dalam diri manusia bercampur antara pendapat dan harga diri,
maka jangan ada maksud untuk tidak mengakui pendapat, kehebatan dan kehormatan

mereka.Perdebatan yang baik adalah perdebatan yang dapat meredam keangkuhan ini;
dan pihak yang berdebat merasa bahwa harga diri dan kehormatan mereka tidak
tersinggung. Sesungguhnya juru dakwah tidaklah bermaksud lain, kecuali
mengungkapkan inti kebenaran dan menunjukkan jalan ke arah itu, yakni di jalan
Allah, bukan di jalan kemenangan suatu pendapat dan kekalahan pendapat yang lain.
Dalam melaksanakan dakwah dengan model diskusi ini, seorang dai, selain
harus menguasai ajaran Islam dengan baik juga harus mampu menahan diri
dari sikap emosional dalam mengemukakan argumennya. Dia tidak boleh
menyinggung perasaan dan keyakinan orang lain, sebab akan merugikan dai,
sehingga usaha dakwah dapat mengalami kegagalan. Yang paling baik ialah bahwa
seorang dai harus mampu bersikap lemah lembut dan menghargai pendapat
orang lain diskusi sehingga tercipta suasana yang kondusif di medan diskusi.Ayat ke
125 dari surat An-Nahl tersebut menggambarkan bahwa debat itu haruslah dalam
rangka mengungkapkan kebenaran sebagai benar dan kebatilan sebagai batil di
hadapan orang yang tetap ngotot dengan kebatilannya dan kuat penentangannya
sekalipun telah jelas kebenaran di antara kebatilan seperti jelasnya matahari di siang
bolong. Caranya dengan merobohkan argumen batil, menyerang argumentasi batil,
serta menelanjangi kebatilan tersebut dengan argumentasi benar secara mengakar dan
tepat, lalu dibangunlah kebenaran atas dasar argumen atau dalil yang tepat tersebut.
Inilah hakikat debat yang dikehendaki Allah Swt.
METODE DAKWAH RASULULLAH

:

( ) .
Sesungguhnya Allah Maha lembut, mencintai kelembutan, dia memberikan kepada
yang lembut apa yang tidak diberikan kepada yang kasar

()

Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia akan


membaguskannya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan
memburukkannya

( )

Barang siapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan
padanya

) :
( ( )
Hendaklah kalian bersikap memudahkan dan jangan menyulitkan. Hendaklah
kalian menyampaikan kabar gembira dan jangan membuat mereka lari, karena
sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan dan bukan untuk menyulitkan.
C. Sasaran Dakwah
Al-Quran telah menyebutkan berbagai tehnik atau metode dakwah yang sesuai
dengan karakter manusia. Yaitu dengan hikmah, dengan nasehat yang baik, dengan
dialog yang baik, dan dengan kekuatan.
Dalam praktiknya penggunaan metode tersebut harus sesuai dengan
urutannya. Nasehat yang baik harus sesuai dengan situasi dan kondisinya. Disamping
itu perlu disertai penjelasan yang benar dan landasan dalil-dalil yang efektif dan
semua itu harus dilakukan dengan penuh bijaksana.
Selain metode seorang dai juga harus mengetahui kondisi masyarakat yang
menerima. Dilihat dari segi intelektualitas. Sebuah mayarakat dapat diklasifikasikan
ke dalam empat kelompok yakni:
1. Kaum cendikiawan. Kelompok ini pada umumnya mudah menerima
kebenaran, karena itu pendekatan dakwah yang tepat bagi mereka adalah
cukup dengan menggunakan ilmu, amal, dan penjelasan aqidah.
2. Kaum yang mengakui dan menerima kebenaran, tapi mereka sering kali lali
dan mengikuti hawa nafsunya. Kelompok ini umumnya sulit untuk menerima
dan mengikuti kebenaran. Cara dakwah yang tepat untuk mereka adalah
dengan menggunakan nasehat yang baik, termasuk di dalmnya pemberian
motivasi dan ancaman.
3. Kaum yang keras hati (penentang) orang-orang yang semacam ini harus
dihadapi dengan mujadalah yang baik.

4. Kaum penentang dan zhalim. Untuk menghadapi mereka pertama-tama kita


gunakan teknik bermujadallah secara baik. Namun jika cara ini tidak berhasil
maka kita boleh menggunakan kekuatan Rasulullah senantiasa menggunakan
ilmu sesuatu dengan situasi dan kondisi masyarakat penerimanya. Begitupun
nasihat, mujadallah dan kekuatan selalu beliau lakukan secara tepat sesuai
dengan kebutuhannya.
Dalam kehidupan bermasyarakat kita sebagai umat islam tidak bisa
mengelak untuk berhubungan dengan umat lain. Dalam pandangan syariat
Islam, non muslim itu bisa di klasifikasikan menjadi dua macam, yaitu kafir
harbi (ahlul harb) dan kafir zimmi (ahlu zimmah).
Kafir harbi adalah orang-orang kafir yang sedang terlibat pertempuran
dengan muslimin. Darah mereka halal untuk di tumpahkan sebagaimana
mereka pun punya hak untuk membunuh muslimin. Hubungan antara ahlul
harb dengan muslimin memang hubungan bunuh membunuh di dalam wilayah
konflik. Sedangkan kafir zimmi adalah non muslim yang aman, tidak
menganggu pihak muslim.
Tampak bahwa pembagian diatas, kedua klasifikasi sangat tajam
bedanya. Pada kenyataanya hubungan dengan non muslim tidak dapat
dibedakan setajam itu. Berbagi variasi derajat ke-dzimmi-an terjadi pada masa
kini. Ada yang 100% aman, ada yang kadang-kadang mengganggu
ketentaraman orang Islam, sampai ada yang terang-terangan memusuhi umat
islam (harbi).
Beberapa tingkatan dalam hubungan dengan non muslim yaitu:
a. Non muslim yang tidak menganggu (dzimmi)
Non muslim seperti ini harus meapat perlindungan dari kominitas
muslim, sesuai dengan prinsip ajaran islam yang rahmatan lilalamin. Dia
berhak mendapatkan izin tinggal dan menjadi penduduk didalam wilayah
komunitas muslim dan umat islam dilarang mendzolami non muslim yang
dzimmi.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berarti: Siapa yang
menzalimi seorang muahid (ahlu dzimmah), atau mengurangi haknya,
atau membaninya diatas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu
di luar haknya, maka aku menjadi Lawannya dihari kiamat (Hr Abu
Daud).

b. Non muslim yang dzolim


Diakui apa tidak, ada (banyak) di antara orang-orang non muslim itu
yang bersikap dzolim terhadap Islam. Mereka mendzolimi umat Islam
dengan berbagi cara, dan menyakiti hati umat Islam, Seperti contoh kasus
kartun nabi dan lin-lain. Umat Islam diperintahkan untuk berbuat adil,
sehingga diberi hak untuk melakukan pembalasan yang adil jika di
dzolimi.
Dalam Prinsip Islam, tidak ada filosof : jika anda ditampar pipi kiri,
berikan pipi kanan. Filosofi ada adalah: Jika pipi kiri kita dilempar, maka
tamper pulalah pipi kirinya, tetapi memberi maaf lebih utama. Kita umat
Islam harus bereaksi dengan apa yang umat lain lakukan terhadap kita.
Reaksi dapat berupa balasan (secara adil) atau memaafkan jika mereka
mintak maaf. Dan percayalah bahwa Allah akan menyempurnakan
pembalasannya di akherat nanti baginya. Barang siapa tidak memutuskan
perkara mebnurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.
c. Non muslim yang harbi
Seperti telah didefinisikan diatas, kafir harbi adalah orang-orng kafir
yang terang-terangan memusuhi islam dan kaum muslimin. Kafir harbi ini
berusaha menumpas kaum muslimin, sehingga terjadi pertempuran.
Mereka menggempur Islam tdak hanyasecara fisik, tetapi bias juga secara
nonfisik, seperti fitnah melalui media, pembunuhan karakter, membunuh
secara ekonomi dan lain-lain. Jika yang melakukan ini adalah individu dan
kemudian minta maaf, bolehlaha kita nyatakan sebagai point 3.
Tetapi jika kaum non muslim ini melakukan permusuhan terhadap
islam secara terus menerus, ini sudah termasuk kafir harbi yang harus
diperangi. Perang wajib dilakukan dalam rangka mempertahankan aqidah
islamiyah, dan membela agama Allah.ketika mereka berhenti (dari
memusuhi islam), maka perang biasa dihentikan, dan tidak ada
permusuhan (lagi).
Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas

D. Balasan Bagi Orang yang Berdakwah





:

)( .
Dari Abu Mas'ud, yaitu 'Uqbah Ibn 'Amral-Anshari al-Badri ra. berkata: Rasulullah
saw. bersabda: Barangsiapa yang memberikan petunjuk atas kebaikan, maka baginya adalah
seperti pahala orang yang melakukan kebaikan itu. (HR Muslim)
Imam Nawawi mengatakan; Hadits ini menunjukan tentang keutamaan mengajak
kebaikan, mengingatkan kebaikan. Hadits ini juga menunjukan keutamaan mengajarkan ilmu
agama dan cara-cara beribadah.
Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwasannya orang yang menunjukan kepada
kebaikan kepada orang lain akan mendapatkan pahala yang sama sebagaimana yang
didapatkan oleh orang yang ia tunjukkan pada kebaikan tersebut. Alasannya karena pahala
yang diberikan kepada seseorang bisa diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang Ia
kehendakidan dengan cara apapunapalagi dikerjakan dengan niat yang tulus. Beliau
menambahkan bahwa hal ini berlaku bagi setiap amal perbuatan yang menyerupai hal diatas,.
Seperti yang dijelaskan pada hadits diatas dalam hadits nabi lain: Yang artinya:
barang siapa yang memberi buka orang puasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang
puasa, tidak dikurangi sedikitpun pahala orang yang puasa.(HR. Tirmidzi)

Anda mungkin juga menyukai