Anda di halaman 1dari 12

Para Ulama Tafsir Sepakat al-Maidah:51 bukan

Mengenai Pemimpin
Selasa, 21 Februari 2017 Al-Maidah Ayat 51

MusliModerat.net - Tafsir al-Nisa: 138-139 bukan mengenai Pilkada

"Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu)
orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi AWLIYA dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua
kekuatan kepunyaan Allah."

Mari kita jujur pada keilmuan kita, dan jangan ikut-ikutan main politik. Setelah sebelumnya gagal
mempolitisir terjemahan QS al-Maidah:51, kali ini sebagian pihak terus menerus mengangkat
terjemahan QS al-Nisa:138-139 dengan melabeli muslim yang pilih kandidat non-Muslim sebagai
munafik. Masalahnya, kata "awliya" baik dalam QS al-Maidah:51 maupun QS al-Nisa:139 sama-sama
tidak bicara soal pemimpin.

Parahnya lagi banyak yang tidak bisa membedakan teks asli al-Qur'an dalam bahasa Arab, dengan
terjemahannya. Yang ngotot mengatakan orang lain munafik karena memilih pemimpin non-Muslim
itu ternyata hanya pakai terjemahan satu versi, padahal terjemahan lainnya tidak mengatakan
Awliya sebagai pemimpin. Kok ngotot gara-gara terjemahan? Ironis bukan?
Mari lihat sendiri Qur'an terjemahan di rumah masing-masing. Cek QS al-Nisa ayat 139. Apa
terjemahannya? Cek juga terjemahan dalam berbagai bahasa lain, nanti kita akan terkejut
membacanya.

Pelacakan saya terhadap kitab-kitab tafsir klasik saya belum menemukan yang mengartikan awliya
dalam QS al-Nisa ayat 139 sebagai pemimpin. Umumnya mereka mengartikannya sebagai teman
setia, pelindung, penolong atau sekutu. Akan ada yang protes: Kalau sebagai teman setia saja tidak
boleh apalagi sebagai pemimpin? Sampai di sini anda sudah ngeles dengan memakai logika yang tidak
sahih. Katanya anda ingin berpegang pada al-Qur'an dan membela ulama, kenapa setelah
ditunjukkan penjelasan para ulama, anda justru memakai logika? Ini namanya memaksakan logika
anda untuk menarik-narik ayat al-Qur'an agar sesuai dengan kepentingan politik anda. Dengan kata
lain, anda tidak membela al-Qur'an tetapi membela logika anda sendiri.

Tafsir al-Thabari mengartikan awliya pada ayat ini sebagai penolong dan kekasih, bukan pemimpin.
Kata "kafir" dalam QS al-Nisa ayat 139 ini menurut Ibn Abbas ditujukan kepada Yahudi. Tafsir Khozin
juga berpendapat serupa. Sayyid Thantawi menguatkan pendapat Ibn Abbas ini. Kalau kita mengikuti
alur ketiga kitab tafsir ini, yang secara khusus dilarang adalah menjadikan Yahudi di Madinah saat
itu sebagai penolong dan pelindung serta teman setia, bukan semua orang kafir.

Tafsir al-Qurtubi mengatakan awliya dalam ayat ini konteksnya membantu dalam amalan yang
berkenaan dengan agama. Tafsir al-Munir juga mengatakan hal yang sama. Itu artinya, kalau kita
ikuti alur kedua kitab tafsir ini, berhubungan baik dengan non-Muslim di luar masalah agama, seperti
bermuamalah, bertetangga, bekerja, transaksi, dll, dibenarkan oleh Islam. Kedua Tafsir ini --yang
satu klasik, dan yang satunya modern-- mengutip riwayat Nabi yang saat hendak berjihad didatangi
seorang musyrik yang hendak membantu Nabi dalam jihadnya itu. Tawaran bantuan orang Musyrik
ini ditolak oleh Nabi (HR Abu Dawud). Jadi, inilah konteks yg dimaksud QS al-Nisa ayat 139, bukan
soal kepemimpinan.

Saya terus terang tidak keberatan siapapun yang menang. KH Mar'ruf Amin sudah menegaskan bahwa
beliau pun rela dan akan menerima siapapun yang menang dalam proses Pilkada yang demokratis,
transparan dan jujur. Saya tidak keberatan Anies-Sandi yang menang. Saya pun akan menerima kalau
Ahok-Djarot yang menang. Yang penting semuanya rukun, damai, dan menegakkan politik etis tanpa
mempolitisir ayat suci, bertarung dengan elegan, menawarkan program yang bermanfaat buat
rakyat, dan menang secara terhormat.

Pada saat yang sama umat harus terus diedukasi dan diberi pencerahan akan makna dan kandungan
ayat al-Qur'an sesuai tafsir para ulama, bukan pakai logika dan kepentingan para politisi. Setiap
upaya mereduksi ayat suci ke dalam kubangan politik kotor harus kita lawan. Setiap upaya
pembodohan terhadap umat dengan semata hendak membangkitkan emosi massa harus kita tangkal.
Setiap penafsiran dan penerjemahan yang tidak sesuai dengan qawa'id tafsir harus kita jelaskan
dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar. Mari kita jujur pada keilmuan kita!

10 rujukan kitab Tafsir saya cantumkan di bawah ini (monggo kalau ada yang berkenan melengkapi
referensi ini):

1. Tafsir al-Thabari:

:
, :
} {
[: ]

2. Tafsir al-Qurthubi:




.






: (

) .

3. Tafsir Ibn Abbas:

} { { } { } {
}
{} { }
} {
{
}

4. Tafsir al-Tsa'labi:

{ } { }

.

5. Tafsir Hasyiah al-Shawi:

: { } .

6. Tafsir al-Munir:
.
:

7. Tafsir al-Wasith Sayyid Thantawi:

: - - :
- -
. : . }
{

8. Tafsir al-Qasimi:


: }

9. Tafsir al-Khozin:

:


:

10. Tafsir al-Sya'rawi:

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber : http://www.muslimoderat.net/2017/02/para-ulama-tafsir-sepakat-al-maidah51-
bukan-mengenai-pemimpin.html#ixzz4geIuRcxr
TAFSIR AL-MAIDAH AYAT
51 MENURUT PROF
QURAISH SHIHAB
fiqhmenjawab.net ~ Usai sidang di Mahkamah Konstitusi, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) tiba-tiba saja diteriaki gila oleh Habib Novel Bamukmin alias Habib Novel.
Habib Novel bereaksi keras,...

by Fiqh Menjawab11 Oktober 2016

fiqhmenjawab.net ~ Usai sidang di Mahkamah Konstitusi, Gubernur DKI Jakarta Basuki


Tjahaja Purnama (Ahok) tiba-tiba saja diteriaki gila oleh Habib Novel Bamukmin alias Habib
Novel. Habib Novel bereaksi keras, karena tak terima Ahok yang dianggap telah
mempermainkan ayat suci Al-Quran. Sebelumnya, setelah menyapa warga di Kepulauan Seribu,
Ahok sempat menyebut kalau warga dibohongi dengan menggunakan ayat Al-Maidah untuk
tidak memilih dirinya.

Seperti diketahui, ayat dari Surah Al-Maidah yang kerap disebut sebagai dalil menolak
pemimpin kafir itu ialah,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi awliya; sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara
kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-
Maidah: 51)

Baca juga: BAHTSUL MASAIL: HUKUM MEMILIH PEMIMPIN NON MUSLIM

Benarkan ayat di atas menyerukan penolakan pemimpin kafir? Menurut pakar tafsir Al-Quran
Prof. Quraish Shihab, ayat di atas tidaklah berdiri sendiri namun memiliki kaitan dengan ayat-
ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan ayat lain berimplikasi pada
kesimpulan akhir. Padahal, Al-Maidah ayat 51 merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari
petunjuk-petunjuk sebelumnya.
Prof. Quraish Shihab
Konsekuensi dari sikap orang yang memusuhi Al-Quran, enggan mengikuti tuntunannya

Pada ayat sebelumnya, Al-Quran diturunkan untuk meluruskan apa yang keliru dari kitab Taurat
dan Injil akibat ulah kaum-kaum sebelumnya. Jika mereka Yahudi dan Nasrani, enggan
mengikuti tuntunan Al-Quran, maka mereka berarti memberi peluang pada Allah untuk
menjatuhkan siksa terhadap mereka karena dosa-dosa yang mereka lakukan.

Jadi, mereka dinilai enggan mengikuti tuntunan Tuhan tapi senang mengikuti tuntunan
jahiliah, katanya dalam pengajian Tafsir Al-Quran di salah satu stasiun TV swasta.

Baca juga: QURAISH SHIHAB YANG ENGGAN DIPANGGIL HABIB ATAU KIAI

Lalu, dilanjutkan oleh ayat 51 surat Al-Maidah. Kalau memang seperti itu sikap orang-orang
Yahudi dan Nasrani mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Quran, keinginannya
mengikuti jahiliyah, Maka wahai orang-orang beriman janganlah engkau menjadikan orang-
orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya.
Bagi Quraish Shihab, hubungan ayat ini dan ayat sebelumnya sangat ketat. Kalau begitu sifat-
sifatnya, jangan jadikan mereka awliya. Nah, awliya itu apa?, tanyanya memantik diskusi
sebelum mengkaji lebih dalam.

Awliya ialah jamak atau bentuk plural dari wali. Di Indonesia, kata ini populer sehingga ada
kata wali-kota, wali-nikah dst. Wali ialah, kata penulis Tafsir Al Misbah ini, pada mulanya berarti
yang dekat. Karena itu, waliyullah juga bisa diartikan orang yang dekat dengan Allah.

Wali kota itu berarti yang mestinya paling dekat dengan masyarakat. Orang yang paling cepat
membantu Anda, ialah orang yang paling dekat dengan Anda. Nah, dari sini lantas dikatakan
bahwa wali itu pemimpin atau penolong.

Adapun wali dalam pernikahan apalagi terhadap anak gadis sebenarnya fungsinya
melindungi anak gadis itu sehingga tidak dibohongi oleh pria yang hanya ingin iseng padanya.

Wali Allah berarti orang yang dekat pada Allah. Seseorang yang dekat pada yang lain, berarti ia
senang padanya. Setan jauh daripadanya karena ia tidak senang.

Dari sini, kata wali yang jamaknya awliya memiliki makna bermacam-macam.

Yang jelas, kata jebolan Al Azhar Mesir ini, kalau ia dalam konteks hubungan antar manusia,
berarti persahabatan yang begitu kental. Sehingga tidak ada lagi rahasia. Kalau dalam hubungan
suami-istri itu cinta yang melebur kepribadian.

Baca juga: BENARKAH DILARANG MEMILIH NON-MUSLIM SEBAGAI PEMIMPIN?


Dalam ayat ini, jangan angkat mereka Yahudi dan Nasrani- yang sifatnya seperti dikemukakan
pada ayat sebelumnya menjadi wali atau orang dekatmu. Sehingga engkau membocorkan
rahasia kepada mereka. Sehingga tidak ada batas antara mereka.

Dengan demikian, awliya bukan sebatas bermakna pemimpin, kata Quraish Shihab. Itu pun,
sekali lagi, jika mereka enggan mengikuti tuntunan Allah dan hanya mau mengikuti tuntunan
Jahiliyah seperti ayat yang lain.

Kita lihat, jika mereka juga menginginkan kemaslahatan untuk kita, boleh tidak kita bersahabat?
Quraish Shihab kembali bertanya, jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir
dan pilot kurang pandai yang Muslim, pilih mana? sontak jamaah yang hadir pun tertawa.

Atau, pilihan antara dokter Nasrani yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim
pengalaman. Dalam konteks seperti ini, bagi Quraish Shihab, tidak dilarang. Yang terlarang ialah
melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena
tidak ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka. Itu yang
terlarang.

Namun kalau pergaulan sehari-hari, dagang, membeli barang dari tokonya dsb, tidaklah
dilarang. Selanjutnya ayat ini berbicara tentang sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian
yang lain. Artinya, sebagian orang Yahudi bekerjasama dengan orang Nasrani yang walaupun
keduanya beda agama namun kepentingannya sama, yaitu mencederai kalian. Oleh sebab itu,
Al-Quran berpesan, Siapa yang menjadikan mereka itu orang yang dekat, yaitu meleburkan
kepribadiannya sebagai Muslim sehingga sama keadaannya (sifat-sifatnya) dengan mereka, oleh
ayat ini diaggap sama dengan mereka.

Baca juga: SAATNYA MEMBACA KITAB TAFSIR AL-MAIDAH AYAT 51


Terakhir, Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang zalim. Menurut Quraish Shihab,
petunjuk ada dua macam; umum dan khusus. Petunjuk khusus itu, memberi tahu dan
mengantar. Allah memberi tahu kepada semua manusia bahwa ini baik dan itu buruk tapi tidak
semua diantar oleh-Nya. Di sisi lain, ada orang yang tidak sekedar diberitahu jalan baik, namun
juga diantar jika orang itu menginginkan. Meski demikian, Allah tidak memberi petunjuk khusus
kepada mereka yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. []

Benarkah Dilarang Memilih Pemimpin Non-Muslim ? Kajian Al-Maidah ayat 51

Sunday, 13 March 2016 05:52 Articles

Muslimedianews.com ~ Benarkah QS Al-Ma'idah: 51 melarang kita memilih non-muslim


sebagai pemimpin?

Ini terjemah QS Al-Ma'idah: 51 yang belakangan ini banyak beredar: "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi "awliya" mu;
sebagian mereka adalah "awliya" bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi "awliya", maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

Kata "awliya" dalam Qs al maidah ayat 51 yang dijadikan alasan melarang mengangkat
pemimpin kafir itu layak ditelaah kembali. Terjemahan Al-Qur'an depag menerjemahkannya
sebagai "pemimpin". Konteks asbabun nuzul dan bacaan saya terhadap tafsir klasik semisal al
Thabary dan Ibn Katsir tidak menunjukkan kata "awliya" dalam ayat di atas bermakna
pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.

Penjelasan Tafsir Ibn Katsir mengenai asbabun nuzul QS al Maidah ayat 5:

"Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya
ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud,
"Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung
padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi
suatu perkara atau suatu hal." Sedangkan yang lainnya menyatakan, "Adapun saya,
sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu
saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya." Maka Allah Swt. berfirman: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi "awliya" kalian....(Al-Maidah: 51). hingga beberapa ayat berikutnya.

Demikian penjelasan Ibn Katsir untuk kita lebih memahami konteks ayat di atas. Ini ayat
senada:

QS al -Nisa ayat 144: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang
kafir menjadi "awliya" dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan
alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?"

Ayat 144 surat al Nisa di atas juga melarang kita mengambil orang non muslim sebagai
"awliya". Mari kita cek apa penafsiran Ibn Katsir terhadap makna "awliya" dalam QS al Maidah
ayat 51 sama maknanya dg QS al Nisa 144:

Kata Ibn Katsir: "Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir
sebagai "awliya" mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah
"awliya" dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan
kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka."

Jadi Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata "awliya" sebagai pemimpin baik di QS al Ma'idah
ayat 51 maupun an Nisa ayat 144. Yang dimaksud adalah temenan dalam arti bersekutu dan
beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-
hari. Konteks al Ma'idah ayat 51 itu saat muslim kalah dalam perang uhud. Jadi ada yg tergoda
untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak yahudi dan nasrani. Itu yang dilarang.

Ibn Taimiyah mengingatkan kita:



:





"Sesungguhnya manusia telah sepakat bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah
kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah
akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim,
meski ia mukmin."
Dengan demikian, spirit Islam adalah keadilan, dan lawannya adalah kezhaliman. Kalau ada
orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia
bukan Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut.

Kalau ada orang Muslim, yang bersikap zhalim dan melakukan kezhaliman, ya jangan
didukung. Allah tidak akan menolong orang yang zhalim.

Sesederhana itu sebenarnya, tanpa harus emosi dan punya tendensi kepada isu politik praktis.
Kita ngaji saja apa makna ayat tersebut dan gak usah ikut-ikutan menjadikan ayat itu seolah-
olah sebagai "ayat pilkada"
smile emotikon

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia - New Zealand

Sumber : http://www.muslimedianews.com/2016/03/benarkah-dilarang-memilih-pemimpin-
non.html#ixzz4geJDGetL

Anda mungkin juga menyukai