Anda di halaman 1dari 20

ILMU QIRA’ATUL QUR’AN

Dosen Pengampu :

Parlindungan simbolon,Dr.,SIQ,S.Th.I,M.Us.

Di Susun Oleh :

RIKA FRIZKY LIA (12030226448)

KELAS 4A
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

T.A 2022 / 2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang maha menguasai seluruh alam semesta beserta isinya.
Lagi maha berkehendak atas segala sesuatu, dan telah menjadikan manusia sebaik-baiknya ciptaan
yang diberikan akal untuk berfikir. Rasa syukur saya ucapkan karena berkat rahmat dan
hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW
kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya. Semoga limpahan rahmat
yang diberikan Allah kepada beliau sampai kepada kita semua.

Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah “Ilmu Qiraat”.
Namun, saya sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan baik isi maupun penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat
di gunakan sebagaimana mestinya.

Pekanbaru, 02 Maret 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………….2

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………...…3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………...…………4

1.1. Latar Belakang …………………………………………………………………………...4


1.2. Rumusan Masalah …………………………………………………………………..……4
1.3. Tujuan Masalah ………………………………………………………………..…………5

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………….……………6

2.1. Pengertian Ilmu Qira’atul Qur’an ……………………………………………...…………7


2.2. Kriteria Qira’at Maqbul …………………………………………………………………10
2.3. Makna Alqur’an Diturunkan Dalam Tujuh Huruf ………………………………………12

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………...………………18

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………….……….18


3.1 Saran ……………………………………………………………………….……...……18

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang
tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor
yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan
kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir
misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini
dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung
dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh
peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam
banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci
memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai
seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat
dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang
menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Pengertian ilmu Qira’atul alqur’an

2. Kriteria Qira’at Maqbul

3. Makna Alqur’an Diturunkan Dalam Tujuh Huruf

1.1 Tujuan

1. Memahami Pengertian ilmu Qira’atul alqur’an

2. Memahami Kriteria Qira’at Maqbul

3. Memahami Makna Alqur’an Diturunkan Dalam Tujuh Huruf

4
1.2 Manfaat

Supaya kami semua dan para pembaca memahami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
al-Qur’an dan dapat menerapkannya dalam kajian al-Qur’an serta mampu mengenal dan
menjelaskan Qira’at dalam al-Qur’an.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Qira’atul Qur’an


A. Pengertian Qira’at

masdar dari qaraa (‫)قرأ‬, yang artinya : bacaan.1

Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan
makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan beberapa
pengertian qira’at menurut istilah.2

1. Menurut A-Zarqani

َ ُ‫ق َع ْنه‬
ْ ‫س َوآ ٌء كَان‬
‫َت ِه ِذ ِه‬ ُّ ‫ت َوال‬
ِ ‫ط ُر‬ ِ ‫الر َوايَا‬ ِ ‫آن ْالك َِري ِْم َم َع اتِِّفَا‬
ِّ ِ ‫ق‬ ِ ‫ق بِ ْالقُ ْر‬ ْ ُّ‫اء ُمخَا ِلفًا بِ ِه َغي َْرهُ فِى الن‬
ِ ‫ط‬ ِ ‫َمذْهَبٌ يَذْهَبُ إِلَ ْي ِه إِ َما ٌم ِم ْن أَئِ َّم ِة ْالقُ َّر‬
‫ق َه ْيئَتِ َها‬
ٍ ‫ط‬ْ ُ‫ف أ َ ْم فِىن‬ ِ ‫ق ْال ُح ُر ْو‬ ِ ‫ط‬ ْ ُ‫ل ُمخَالَفَةُ فِى ن‬.ْ ‫ا‬

“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan yang lainnya dalam
pengucapan Al-Quran al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik
perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaan.”

2. Menurut Ibnu Al-Jaziri

‫اختِالَفِ َها ِب َع ْز ِو النَّافِلَ ِة‬ ِ ‫ت ْالقُ ْر‬


ْ ‫آن َو‬ ِ ‫اء َك ِل َما‬ ِ ‫ِع ْل ٌم ِب َك ْي ِفيَا‬
ِ َ‫ت أَد‬

“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya


dengan cara mengisbatkan kepada penukilnya.”

3. Menurut Al-Qasthalani

‫اظ ْال َوحْ ي ِ ْال َمذْ ُك ْو ِر فِى ِكتَابَ ِة ْال ُح ُر ْوف ِ أ َ ْو َك ْي ِف َيتِ َها ِم ْن ت َْخ ِفيْفٍ َوتَثْ ِق ْي ٍل َو َغي ِْر ِه َهما‬
ِ َ‫ف أ َ ْلف‬
ُ َ‫ا ِْختِال‬.

“Qiraat dalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Quran, baikm menyangkut huruf-
hurufnya datau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan) dan tatsqil
(memberatkan), dan yang lainnya.”

4. Menurut Az-Zarkasyi

ِ ‫اظ ْال َوحْ ي ِ ْال َمذْ ُك ْو ِرفِى ِكت َابَ ِة ْال ُح ُر ْو‬
‫ف أ َ ْو َك ْي ِفيَّتِ َها ِم ْن ت َْخ ِفيْفٍ َوت َثْ ِق ْي ٍل َو َغ ْي ِرهَا‬ ِ َ‫ف أ َ ْلف‬
ُ َ‫ا ِْختِال‬

1
As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.
2
Nur, Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.

6
“Qiraat adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik menyangkut huruf-
hurufnya tau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil
(memberatkan), dan atau yang lainnya.”

5. Menurut Ash-Shabuni

‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫ق فِى ْالقُ ْر‬
َ َ ‫آن يَذْهَبُ إِلَ ْي ِه إِ َما ٌم ِمنَ اْألَئِ َّم ِة بِأ‬
ُ ‫سا ِن ْي ِدهَا إِلَى َر‬
َ ‫س ْو ِل الل ِه‬ ْ ُّ‫ب الن‬
ِ ‫ط‬ ِ ‫ َمذْهَبٌ ِم ْن َمذَا ِه‬.

“suatu madzhab cara pelafalan Al-Quran yang dianut oleh salah seorang iamam berdasarkan
sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah s.a.w.”.

Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama,
yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu
sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang
lingkup perbedaan di antara beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian ada tiga unsur qiraat yang
dapat ditangkap dari definsi di atas, yaitu:[3]

1. Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang
imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam lainnya.

2. Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada
Nabi, jadi bersifat taufiki, bukan tauhidi.

3. Ruang lingkup perbedaan Qiro’at itu menyangkut persoalan Lughat, Hadzaf, I’rab, Itsbat,
Fastil, dan Washl.

Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci
tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan
antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :

Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra ’yang
tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain
sebagainya.

Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra ’
yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi ’mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun
dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi ’atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.

Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang
yang mengambil qira’at dari periwayat qurra ’yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya,
Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an
Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi ’min
riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

7
B. Sejarah Qira’atil Qur’an

Pada periode awal kaum muslimin memperoleh ayat-ayat al-Qur’an langsung dari nabi
saw, kepada para sahabat dan dari sahabat ini kemudian kepada para tabi’in serta para imam-imam
qiraat pada masa selanjutnya. Pada masa Nabi saw, ayat-ayat ini diperoleh dari nabi dengan cara
mendengarkan, membaca lalu beberapa sahabat menghafalkannya. Sehingga pada periode ini al-
Qur’an belum dibukukan, pedoman dasar bacaan dan pelajarannya langsung bersumber dari Nabi
saw, serta para sahabat yang hafal al-Qur’an. Hal ini berlangsung hingga masa para sahabat yang
pada perkembangannya al-Qur’an dibukukan atas dasar iktiar dari khalifah Abu Bakar dan inisiatif
Umar bin Khattab.

Pada perkembangan berikutnya, al-Qur’an justru tertata lebih rapi karena khalifah Usman
berinisiatif untuk menyalin mushaf dan dicetak lebih banyak untuk kemudian disebarkan kepada
kaum muslimin di berbagai kawasan. Langkah ini ditempuh oleh Utsman bin Affan karena pada
waktu itu terjadi perselisihan diantara sesama kaum muslimin tentang perbedaan bacaan yang
mereka terima, maka dengan dasar inilah diketahui sejarah awal terjadinya perbedaat Qira’at yang
kemudian dipadankan oleh Utsman bin Affan dengan cara menyalin mushaf itu menjadi satu
bentuk yang sama dan mengirimnya ke berbagai daerah. Dengan cara seperti ini maka tidak aka
nada lagi perbedaan, karena seluruh mushaf yang ada di daerah-daerah kaum muslimin semuanya
sama, yaitu mushaf yang berasal dari khalifah Utsman bin Affan.

Setelah masa itu, maka muncullah para qurra’ (para ahli dalam membaca al-Qur’an),
merekalah yang menjadi panutan di daerahnya masing-masing dan dari bacaan mereka dijadikan
pedoman serta cara-cara membaca al-Qur’an.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli
sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu
Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-
Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang
yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-
Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu
tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.

Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang
yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan
orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin
Usman al-Baghdadi.3

3
Anwar 2009. Pengantar Ulumul Qur’an
8
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam
kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan
amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang.
Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.

Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan,
tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa
yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih
banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara dengan tujuh imam qira’at dalam
kitab Ibn Mujahid

Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at
sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang
mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam
hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi
atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.

Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang
paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr
al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr
karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-
Dimyati al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari
berbagai segi secara luas, hingga saat ini.4

C. Macam-Macam Qira’at

Dalam kitab Zubdah Al-Itqon Fil Ulumil Qur’an karya Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki bahwa
imam Al-Jaziri mengelompokkan Qira’ah dalam lima bagian, yaitu:

1. Mutawatir, yaitu Qira’at yang dinukil oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bersepakat
dalam kedustaan dari oerang-orang yang seperti mereka hingga ke akhir sanad, dan ini yang
dominan di dalam Qira’at.
2. Masyhur, yaitu yang sanadnya shahih namun tidak sampai ke tingkatan Mutawatir, sesuai
dengan kaidah bahasa Arab dan rasm, terkenal di kalangan para Imam Qurra’, dan mereka
tidak menganggapnya keliru atau ganjil. Dan para Ulama menyebutkan bahwa Qira’at jenis ini
boleh diamalkan bacaannya.
3. Ahad, yaitu yang sanadnya shahih, namun menyelisihi rasm atau menyelisihi kaidah bahasa
Arab, atau tidak terkenal sebagaimana terkenalnya Qira’at yang telah disebutkan. Dan yang ini
tidak diamalkan bacaannya. Dan di antara contohnya adalah yang diriwayatkan oleh Imam al-
Hakim rahimahullah dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam membaca:

4
Djalal ,1997. Ulumul Qur’an.
9
‫متكئينعلىرفارفخضروعباقريحسان‬

Qira’at di atas dalam mushaf dibaca:

‫َّت‬
ُ ِ ‫َْ ىر كَرُ ُضخ ُىَ كر كف ىرَك ئَ َُ ئيِ ك‬
‫( ٍُنا ئَِئٍّ ك كَِك ك‬76)

”Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani yang indah.” (QS. Ar-
Rahman: 76)

Dan juga yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau
membaca: (surat At-Taubah ayat 128)

‫ملوُ ئ يس ى ُ ك ىَآك ئِ َُ ىق‬


ُ َ‫{ …وكَككى كسف كْ َُ ىس ك‬128}

Dengan menfathahkan huruf Fa’ dalam ‫( ئ يٍ ىُ ك ىَآك ئِ َُ ىق‬padahal di Qira’at yang lain dengan
menkasrahkan Fa’)

4. Syadz, yaitu yang tidak shahih sanadnya. Seperti Qira’at:

‫{ كٍَك كٍَّك ىل كٍَّو ئك ئ‬4}


‫يَل‬

Dengan kata kerja bentuk lampau, yaitu ‫( كٍَكلك‬malaka) dan mem-fathah-kan kata ‫( كَ ىل كو‬di Qira’at
yang benar dengan meng-kasrah-kannya).

5. Maudhu’, atau palsu yaitu yang tidak ada asal-usulnya.

Imam Suyuthi menambahkan jenis qira’ah yang keenam yaitu Qira’ah Mudraj, atau yang
disisipi, yaitu ucapan yang ditambahkan dalam Qira’at (yang shahih) sebagai bentuk penafsiran.
Seperti Qira’at Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

‫ِ كِ كَ ىٍّ َُ ىس ُ كَّ ُنُ ك ىَن ك ىرنكَُلعركخ ئ‬


{ ‫ىٍَ ى كَ ئيُ َُ ىسآٍّسلعمسَّوِل‬ ‫مركضئفكعاكرك ى‬
‫ وك ىٍّ ك‬. ‫خ‬ ُ َّ‫} …ن ُ ىس ئس ى كِ كَرك‬

Dan ucapan ‫ فيمواسمالحج‬adalah tafsir yang disisipkan dalam ayat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Qira’at Sab’ah adalah Mutawatir, dan selain yang Mutawatir
dan Masyhur maka tidak boleh membaca dengannya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.

Imam an-Nawawi rahimahumullah berkata dalam Syarh al-Muhadzadzab:”Tidak boleh membaca


dengan Qira’at Syadz di dalam shalat mapupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an. Karena
al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan nukilan yang Mutawatir, dan Qira’at Syadz tidak
Mutawatir. Dan barang siapa yang berkata dengan selain ini maka ia adalah orang yang keliru dan
bodoh. Maka jika seseorang menyelisihi dan membaca dengan Qira’at Syadz, maka Qira’atnya
diingkari, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Dan para ulama Baghdad telah sepakat
bahwa barang siapa yang membaca dengan Qira’at Syadz maka ia diminta bertaubat. Ibnu ‘Abdil

10
Barr rahimahullah menukil Ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslimin tentang tidak
diperbolehkannya membaca dengan Qira’at Syadz, dan juga tidak diperbolehkannya shalat di
belakang imam yang membaca Qira’at ini (Syadz).”5

2.2 Kriteria Qira’at Maqbul ( Sahhih)


bahwa ada tiga persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at yang
sahih, yaitu

1. memiliki sanad yang sahih walaupun diterima dari qari yang selain dari yang 7 dan qari 10.

2. sesuai dengan salah satu rasm al-mushaf ustmani.

3. Sesuai dengan kaidah bahasa arab.

Ibnul Atsir al-Jaziri dalam kitab Munjidul Muqri’i mengatakan bahwa qira’at yang diterima
dengan sanad mutawatir adalah qira’at yang 10. Qira’at yang 4 yang selain dari 10, adalah sahih
sanadnya, tetapi dia ahadiah, mukan mutawatir, bukan al-Qur’an yang dapat dibaca ketika
sembahyang.[2] Qira’at-qira’at yang mutawatirlah yang diterima oleh umat islam, hanya qira’at
yang 10 yang diterima oleh khalaf dan salaf, dari abad ke abad hingga sekarang. Dan tidak ada
qira’at yang mutawatir yang lain selain dari yang 10.[3]

Setiap qira’at yang memenuhi kriteria tersebut adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak
dan harus diterima. sebaliknya qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat tersebut disebut
qira’at yang lemah atau aneh atau batal. Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila
ketiga syarat diatas telah terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila
salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz
atau batil.

As-syuyuti mengutib Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada
enam macam.

1. Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari
sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam
tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Menurut Jumhur ulama, qira’at yang ketujuh adalah
mutawatir. Menurut H. Ahmad Fathoni, para ulama Al-Qur’an dan ahli hukum Islam telah
sepakat bahwa qira’at yang berstatus mutawatir ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai Al-
Qur’an. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Qur’an ini dijadikan sumber atau hujjah
dalam menetapkan hukum.

2. Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai
sebanyak periwayat mutawatir. Qira’at ini sesuai kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf usmani.

5
Channa 2010. Ulumul Al-Qur’an dan Pembelajarannya.
11
Qira’at ini populer di kalangan para ahli qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai salah
atau aneh. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan
masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.

3. Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan mushaf
Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas.
Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-
Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW

4. Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at
nya. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an.

5. Maudu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang
dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan kepada Abu
Hanifah.

Kata Allah diatas menjadi fathah (wakallamallaha).

6. Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya
dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas, dan ibnu Abbas.
Ayat tersebut ditambah ‫ فى موا سم الحج‬yang tujuannya untuk memperjelas ayat tersebut.[4]

Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarah Muhazzab bahwa tidak
sahmembaca qira’at yang syadzzah (aneh) didalam dan diluar shalat. Sebab, qira’at syazzah (aneh)
tidak mutawatir. Barangsiapa berpendapat tidak demikian maka orang itu salah dan jahil.
Sekiranya ia menyalahi pendapat itu dan membaca riwayat yang syadzz (aneh), qira’atnya ditolak
diluar dan didalam shalat. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk menyuruh orang-orang yang
membaca riwayat yang syadz untuk bertaubat. Abd al-Barr mengutip ijma’ kaum muslimin atas
ketidakbolehan membaca qira’at yang syadzzah dan tidak boleh shalat dibelakangnya. Keterangan
ini menegaskan kedudkan qira’at yang syazzah dalam hubungannya dengan al-Qur’an. Qira’at ini
tidak berstatus al-Qur’an dan karena itu membacanya tidak termasuk kedalam ibadah. Namun,
tentang penggunaannya sebagai hujjah atau argumen dalam menafsirkan al-Qur’an , para ulama
berbeda pendapat. Imam al-Haramain mengutip makna lahir dari madzhab Syafi’i bahwa tidak
boleh mengamalkan qira’at syazzah. Abu Nashral-Qusyairi mengikuti pendapat ini kemudian ibnu
al-Hajib menegaskannya. Sementara itu, al-Qadhi Abu Al-Thayyib, al-Qadhi al-Husein, al-
Rumani, al-Rifa’i menyebutkan boleh mengamalkannya denagn menempatkannya sebagai khabar
ahad. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu al-Subhi dalam kitab Jam al-Jawami dsn Syarah al
Mukhtasar.[5]
12
2.3 Memahami Makna Alqur’an Diturunkan Dalam Tujuh Huruf
A. Tahapan Tahapan Turunnya Alqur’an

Al-Qur’an merupakan kitab yang menjadi sumber hukum serta pedoman bagi umat islam
yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril. Al-
Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Romadlon tahun
41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10
H.Figure 16

Pengertian Al-Qur’an Dengan 7 Huruf Dijelaskan oleh Ash-Shabuni (633:1302) bahwa


kata “ahruf ”adalah bentuk jamak dari “harfun ”yang oleh pengarang kamus diartikan sebagai
ujung atau pinggir sesuatu, atau puncak (gunung). Akan tetapi ada pula yang mengartikannya
sebagai “ragu ”atau “tepi”, mengingat firman Allah ‘Azza wajalla: “Di antara manusia ada orang
yang menyembah Allah dipinggir-pinggir (dalam keraguan)“ …(QS. Al-Haj: ::), yakni
menyembah-Nya hanya di waktu makmur. Tetapi waktu krisis, tidak. Atau menyembah-Nya
dengan tidak tenang, yakni tidak masuk ke dalam agama Allah dengan teguh. Adapun yang
dimaksudkan “Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf”, yaitu tujuh bahasa dari bahasa-bahasa
bangsa Arab. Bukan berarti tujuh huruf seperti yang kita tahu di mana Al-Qur’an itu datang dengan
dua puluh tujuh huruf atau lebih, melainkan sekali lagi artinya adalah bahwa tujuh bahasa yang
berbeda-beda dalam Al-Qur’an.

Dari uraian di atas, kita tahu bahwa kata “huruf ”mempunyai banyak arti, namun yang
dikehendaki adalah satu yang sesuai dengan qarinah dan maqam. Dengan demikian yang
dimaksudkan huruf adaJah “wajhun/segi”, ini berdasarkan dalil sabda beliau: “Al-Qur’an
diturunkan atas tujuh huruf (wajah bacaan)”, untuk memperluas dan mempermudah, sehingga
ucapan itu akan berarti: “Al-Qur’an diturunkan dengan luas yang di dalamnya pembaca dapat
membacanya dengan tujuh wajah (bacaan). Dengan wajah manapun dia hendak membacanya”,
atau seolah-olah Rasulullah Saw. itu bersabda: “Sedemikian luasnya Al-Qur’an itu diturunkan”.

Memang disini banyak terdapat perselisihan pendapat dalam mengartikan apa yang
dimaksud dengan 7huruf tersebut. Namun pendapat bahwa 7huruf adalah 7wajah bacaan adalah
cukup kuat. Yang menjadi persoalan juga disini adalah apakah bilangan 7itu mutlak? Ternyata,
dalam tradisi bahasa Arab, kata 7menunjukkan pengertian “tawassul ”(bilangan yang tak
terhingga). Dengan demikian, bilangan 7disini bisa diartikan sebagai bilangan yang bermakna
lebih dari 7.

6
Hudlari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah, 1980, hlm.5-6

13
Al-Qur’an tidak secara langsung diturunkan kepada Nabi Muhammad namun melalui
beberapa tahap. Adapun tahapan turunnya Al-Quran itu ada tiga, yaitu :7

1.Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke Lauh Mahfudz. Proses pertama ini diisyaratkan
dalam Al-Qur’an surat Al-Buruj ayat 21-22 :

ٌ ‫بَ ْل ه َُوقُ ْر‬


}١١‫ـ‬١٢ 1 ‫فِ ْي لَ ْوحٍ َمحْ فُ ْوظٍ {البروج‬.ٌ‫ان َم ِج ْيد‬

Artinya : “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang tersimpan dalam
Lauh Mahfudz”. (QS. Al-Buruuj).

2.Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Al-Mahfudz itu ke Bait- Al-Izzah (Tempat yang berada di langit
dunia). Proses ke dua ini diisyaratkan Allah dalam surat Al-Qadar ayat ::

}٢ 1 ‫اِنَّاا َ ْنزَ ْالنَاهُ ِف ْي لَ ْيلَ ِة ْالقَد ِْر { القدر‬

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. ”(QS.
Al-Qadar : :)

3.Al-Qur’an diturunkan dari Bait Al-Izzah kedalam hati Nabi Muhammad SAW. Dengan jalan
berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-
kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat
As-Syu’ara ayat :91-:93:

}٢٩١‫ـــ‬٢٩١ 1 ‫ي ٍ ُمبِي ٍْن {الشعراء‬


ِّ ِ‫ان َع َرب‬
ٍ ‫س‬َ ‫ بِ ِل‬. َ‫ َعلَى قَ ْل ِبكَ ِلت َ ُك ْونُ ِمنَ ْال ُم ْنذ ِِريْن‬. ُ‫الر ْو ُح ْاْلَ ِم ْين‬
ُّ ‫نَزَ َل بِ ِه‬

Artinya : “Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. ”
(QS. Al-Syu’ara : :91-:93).

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril tidak secara
sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun untuk menjawab
pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi
SAW.

B. Hikmah turunnya Alqur’an Secara beransur ansur

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, namun
turun secara berangsur-angsur, dan hal ini memiliki beberapa hikmah kenapa Al-Qur’an

7
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm 34.

14
diturunkan secara berangsur-angsur. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur
yaitu sebagai berikut :8

a. Memantapkan hati Nabi Muhammad SAW.


Ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para penentang. Turunnya
wahyu yang berangsur-angsur merupakan dorongan tersendiri bagi Nabi untuk terus
melanjutkan dakwah.
b. Menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur’an.
Nabi sering berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit yang dilontarkan oleh orang-
orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur
tidak hanya menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang
serupa dengan Al-Qur’an. Dan ketika mereka tidak memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus
merupakan sala salah satu mukjizat Al-Qur’an.
c. Memudahkan untuk dihapal dan dipahami
Al-Qur’an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat yang ummi, yakni yang tidak
memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya Al-Qur’an secar berangsur-angsur
memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalnya.
d. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-Qur’an turun) dan melakukan
penahapan dalam penetapan syari’at.
e. Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Qur’an turun dari Allah yang Maha Bijaksana.

C. Dalil Diturunkannya Alqur’an dengan Tujuh huruf

Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah yang timbul dari fitrah mereka dalam suara,
dan huruf-huruf sebagaimana di terangkan secara komprehensip dalam kitab-kitab sastra.9Apabila
orang Arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan
tertentu, maka Al-Qur’an yang di wahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad,
menyempurnakan makna kemukjizatannya. Karena ia mencakup semua huruf dan wajah qira’ah
pilihan di antara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka
untuk membaca, menghafal, dan memahaminya.

Nas-nas sunah cukup banyak mengemukakan hadits mengenai turunya Al-Qur’an dengan tujuh
huruf. Di antaranya:

Dari Ibnu Abbas, ia berkata:

َ ‫ فَلَ ْم أَزَ ْل أ َ ْست َِز ْيد ُهُ َو َي ِز ْيدُنِى َحتَّى ا ْنت َ َهى اِلَى‬,ُ‫ أ َ ْق َرأَنِى ِجب ِْر ْي ُل َعلَى َح ْرفٍ فَ َرا َج ْعتُه‬1 ‫سلَّ َم‬
‫س ْب َع ِة‬ َ ‫صلَّى اللهُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َ ‫س ْو ُل الل ِه‬
ٍ‫أَحْ ُرف‬.

8
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm 36
9
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 225.

15
“Rasulullah berkata: Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian
berulangkali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya
kepada ku sampai dengan tujuh huruf. ”(HR. Bukhori Muslim)”

Hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar
telah diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar tafsir-nya. As-Suyuthi menyebutkan bahwa
hadits-hadits tersebut di riwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam
menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.10

D. Perbedaann pendapat ulama menurut tujuh huruf

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang
bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti
kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.11 Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang
tindih. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang di anggap paling
mendakati kebenaran.12

a. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna, dengan pengertian jika bahasa
mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun di turukan
dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan
jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa tersebut. Di
katakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa quraisy, huzail, saqif, hawazin, kinanah,
tamim dan yaman. Menurut Abu Hatim As-Sijistani, Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa
Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar. Dan diriwayatkan
pula pendapat yang lain.
b. Suatu kaum berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan makna Al-Qur’an di turunkan, dengan pengertian
bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa
tadi, yaitu bahasa paling fasih di kalangan bangsa arab, meskipun sebagian besarnya bahasa
quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim
atau Yaman, karana itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang di maksud dengan tujuh huruf
dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Al-Qur’an, bukan
tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna. Berkata Abu ‘Ubaid: “Yang

10
Al-Itqan, Jilid 1, hlm 41
11
Al-Itqan, Jilid 1, hlm 45
12
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 229.

16
di maksud bukanlah setiap kata boleh di baca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang
bertebaran dalam Al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail,
Hawazin, Yaman, dan lain-lain ”dan katanya pula: “Sebagian bahasa-bahasa itu lebih
beruntung karena dominan dalam Al-Qur’an.”
c. Sebagian ulama meneyebutkan bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah,
yaitu: amr, nahyu, wa’d, wa’id, jadal, qasas, dan masal. Atau amr, nahyu, halal, haram,
muhkam, mutasyabih dan amsal.
d. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf, yaitu:
a. Ikhtilaful asma ’( perbedaan kata benda)
b. Perbedaan dalam segi i’rab (harokat akhir kata)
c. Perbedaan dalam tasrif,
d. Perbedaan dalam taqdim (mendhulukan) dan ta’khir (mengakhirkan)
e. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian)
f. Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan
g. Perbedaan lahjah.
e. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak di artikan secara harfiah,
tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab.
Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an
merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai
puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafadz sab’ah dipergunakan pula untuk menunjukan
jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti “tujuh puluh ”dalam bilangan
puluhan, dan “tujuh ratus ”dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak di maksudkan untuk
menunjukan bilangan tertentu.
f. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf tersebut adalah
qiraat tujuh.

Tarjih dan Analisis

Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama, yaitu bahwa yang
di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dalam
mengungkapkan satu makna yang sama. Misalnya: aqbil, ta’ala, hulumma, ‘ajal dan asra’. Lafadz-
lafadz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukan satu makna yaitu perintah untuk menghadap.
Pendapat ini di pilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, ibn Jarir, ibn Wahb dan lainya. Ibn ‘Abdil Bar
menisbatkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama dan dalil bagi pendapat ini ialah apa yang
terdapat dalam hadits abu bakrah berikut :

“ Jibril mengatakan: “Wahai Muhammad, bacalah Al-Qur’an dengan satu huruf, lalu Mikail
mengatakan: tambahkanlah. Jibril berkata lagi: dengan dua huruf! Jibril terus menambahnya
hingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata: semua itu obat penawar yang
memadai, selama ayat azab tidak di tutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak di tutup
dengan ayat madzhab. Seperti kata-kata: hulumma, ta’ala, aqbil, izhab, asra ’dan ‘ajal”
17
E. Hikmah dari Turunnya Alqur’an dengan tujuh huruf

Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah
sebagai berikut:13

a. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang
setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal
syari’at, apa lagi mentradisikannya.
b. Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasan orang arab. Qur’an
mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek
bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang arab, sehingga setiap orang arab dapat
mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak
dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur’an sebagai mukjizat yang
ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan
tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap
naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
c. Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan
bentuk lafadz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat
disimpulkan dari padanya berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan Qur’an relevan
untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan
ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya:

13
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 244.

18
Qira’at adalah cara membaca ayat-ayat al-Qur’an yang dipilih dari salah seorang imam ahli
qira’at yang berbeda dengan cara ulama’ lain serta didasarkan atas riwayat yang mutawatir
sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu mushaf
Usmani.Qira’at ini muncul pada masa Nabi Muhammad saw sampai sekarang.Macam-macam
qira’at dibagi menjadi lima bagian yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad,
Qira’ah Syadz, dan Qira’ah Maudlu’.Metode penyampaian Qira’at yaitu mendengar dari guru,
membaca didepan guru, melalui ijazah, melalui naskah dari guru, melalui tulisan, wasiat, melalui
pemberitahuan (al-I’lam), hasil temuan.

Kesimpulannya bahwa Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Hal yang demikian
disebabkan oleh beberapa faktor yang nantinya akan mempermudah Nabi untuk menerimanya
serta membuktikan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar kitab yang diturunkan oleh Allah SWT. Dzat
yang Maha bijaksana sehingga Al-Qur’an turun sesuai dengan tujuan dan fungsinya.Di atas juaga
pada intinya menjelaskan bahwa sesuai dengan masing-masing pendapat para ulama, Al-Qur’an
itu diturunkan atas tujuh huruf. Dan hal tersebut mempunyai dalil-dalil tersendiri serta mempunyai
beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya.

3.2 Saran

Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbangan saran serta kritikan dalam
memperbaiki makalah kami untuk yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Channa AW, M.Ag, Dra. Liliek. 2010. Ulumul Al-Qur’an dan Pembelajarannya. Surabaya:
Kopertais IV Press.

19
Anwar M.Ag, Prof. Dr, H. Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Djalal H.A, Pof. Dr. H. Abdul. 1997. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.

Abdullah Mawardi. 2011. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Hudlari Bik, Tarikh Al-Tasyri ’Al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah, 1980

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, CV Pustaka Setia, 2010 Al-Itqan, Jilid 1

Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, 2013

20

Anda mungkin juga menyukai