Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Filsafat Hukum Islam pada Program Studi Hukum Tata
Negara Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Watampone
Oleh
RANDI
NIM: 01134073
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qathi
Dalalah dan Zhanni Dalalah. Untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Filsafat Hukum Islam.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi.
Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan yang Maha Esa.
Penulis berharap makalah ini memberi konstribusi yang besar dalam
perbendaharaan pengetahuan kita. Selamat mebaca!
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
KATA PENGANTAR1
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
B. Rumusan dan Batasan Masalah
5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qathi dan Zhanni Dalalah
B. Yang Qathi Dalam Al-Quran
C. Pendapat Al-Syatibi tentang Qathi Dalalah dan Zhanni Dalalah
D. Pengaruh QathI Dalalah dan Zhanni Dalalah Terhadap Penafsiran
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
13
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
dari
sekumpulan
dalil
Zanniy
yang
kesemuanya
mengandung
kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil
yang beraneka-ragam itu memberi kekuatan tersendiri. Ini pada akhirnya
berbeda dari keadaan masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri.
Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat Zanniy lagi. Ia
2 Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, ( Cet. I; Teras: Yogyakarta. 2008) hal. 204
3 Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Cet. II; Pustaka
Pelajar: Yogyakarta. 2011) hal. 50
4 Ibid, hal 51
shalat yang ditarik dari aqimu al salah, menjadi aksioma. Di sini berlaku malum
min al-din bi al-darurah.
Biasanya, ulama-ulama usul al-fiqh menunjuk kepada ijma untuk
menetapkan sesuatu yang bersifat qatiy. Sebab, jika mereka menunjukkan kepada
nas (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang bagi
mereka yang tidak mengetahui ijma itu untuk mengalihkan makna yang
dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Nah, guna menghindari hal
inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi
qatiy dan zanniy pada saat yang sama. Firman Allah yang berbunyi wa imsahu bi
ruusikum adalah qatiy al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala
dalam ber-wudu. Tetapi ia zanniy al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala
yang harus dibasuh. Ke-qatiy-an dan ke-zanniy-an tersebut disebabkan karena
seluruh ulama ber-ijma (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala
dalam ber-wudu, berdasar berbagai argumentasi. Namun, mereka berbeda
pendapat tentang arti dan kedudukan ba pada lafal bi ruusikum. Dengan
demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qatiy bi itibar wa zanniy bi itibar
akhar. Di satu sisi ia menunjukkan kepada makna yang pasti, dan di sisi lain ia
memberi berbagai alternatif makna.
Dari sini jelas bahwa masalah qatiy dan zanniy bermuara kepada
sejumlah argumentasi yang maknanya disepakati oleh ulama, sehingga tidak
mungkin lagi timbul makna yang lain darinya kecuali makna yang telah disepakati
itu. Bukankah ia telah disepakati bersama?5
C. Pendapat Al-Syatibi tentang Qathi Dalalah dan Zhanni Dalalah
5Ibid, hal 52
dikembalikan kepada ashl yang qathi terlebih dahulu. Apakah terdapat ashl atau
tidak.
Berkaitan dengan masalah zhanni, al-Syatibi berpendapat bahwa
terkadang hadis-hadis Nabi itu bersifat qathi terkadang juga zhanni.7 Suatu hadis
akan menjadi qathi al-dalalah jika sanadnya qathi, yaitu yang mutawatir secara
lafzhi dan manawi. Maka menurutnya, jika hadis itu sesuai dan terdapat pada teks
ashl (yang qathi) diterimalah ia sebagai landasan hukum. Seperti hadis-hadis
ahad yang berkaitan dengan sifat thaharah dari hadas kecil dan besar, tata cara
shalat, haji, juga hadis-hadis yang berkaitan dengan maslah jual beli dan larangan
riba, yang kesemuanya itu merupakan penjelasan dan berfungsi sebagai
keterangan terhadap nash-nash yang terdapat dalam Al-Quran sebagai sumber
utama hukum Islam.
Jika bertentangan dengan atau tidak didukung oleh ashl yang qathi
maka ditolak atau tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum. Dengan alasan bahwa
hal itu bertentangan dengan dasar hukum syara yang ashl, karena bertentangan
maka tidak mungkin yang zhanni itu sebagai berasal darinya. Seperti hadis-hadis
gharib. Diantaranya ialah tentang wajibnya puasa selama dua bulan berturut-turut
bagi suami istri yang bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan. Juga hadis
yang menyatakan bahwa seorang mayit itu diazab karena tangisan saudaranya
yang bertentangan dengan Qs. Al-Najm: 38-39 dan banyak lagi. Sedangkan jenis
zhanni yang lain lagi yaitu zhanni yang tidak ada dasarnya pada dalil ashl yang
qathi, tetapi juga tidak bertentangan dengannya. Oleh al-Syatibi ini ditolak.8
D. Pengaruh QathI Dalalah dan Zhanni Dalalah
7Ibid, hal 205
8Ibid, hal 206
bahwa
pembagian
nas
yang
demikian
itu
ini.
Namun
demikian,
kata
banatukum
(anak-anak
yang
terakhir,
banatukum,
hanya
dapat
diartikan
melihat
secara
jelas
peluang
pemaknaan,
masyara-kat
dengan
kepemimpinan
yang
sah.
oleh
jumhur
ulama.
Tetapi
fuquha-fuguha
Hanafi
peng-asingan.
Menurut
mereka,
pendekatan
harfiah
memberikan
argument-tasi
bahwa
pembuangan
tidak
ada
perbedaan
penafsiran
dan
perkembangan, yang dengan sendirinya pandangan dan penetapan hukum itu harus berorientasi pada kemaslahatan ummat
manusia. Boleh jadi Nabi menganggap suatu nash sebagai nash
qathi al-Dalalah namun pada kondisi tertentu menjadi zhanni alDalalah. Atau setidak-tidaknya nash (ayat) tetap qathi namun
penerapan hukuman boleh jadi zhanni.
Selanjutnya pada surat al-Maidah (5:33) ini, kebingungan
muncul dari gabungan frase yang mengandung kata aw, yang
berarti dan antara ketiga frase yang menentukan hukuman
yang berbeda-beda bagi perampok tadi. Karena itu, tidaklah
diketahui secara pasti mana di antara ketiga hukuman ini yang
ditetapkan
bagi
peram-pok,
(muharib).
Pendapat
jumhur
berbagai
pemaknaan,
penakwilan
dan
penafsiran
terhadap nas zhanni itu sendiri terutama bila dilihat dari segi
kacamata hukum.
2. Pandangan Ulama Tafsir
Ulama tafsir tidak membuat klasifikasi tentang nash alQuran mengenai qathi
membuka
lembaran
kitab-kitab
Ulum
al-Quran.
tidak
membahas
demikian?
soal
tersebut.
Jawabannya,
Pertanyaannya.
ulama-ulama
tafsir
pemikir
kontemporer
kelahiran
al-Jazair
yaitu
akan
terbatas.
Ia
menghadirkan
berbagai
pemikiran
dan
seorang
ulama
besar
al-Azhar
yang
antara
lain
anda
mempunyai
dapat
arti
menemukan
kalimat
bermacam-macam.
atau
Semuanya
kata
yang
benar
atau
tidak
Pemahaman
dapat
mereka
memastikan
terhadap
nas
maksud
atau
pembicaraan.
redaksi
tersebut
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Al-Quran sebagai kalam Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumbernya, yaitu dari Allah Swt.
Juga umat Islam mempunyai keyakinan yang sama bahwa redaksi ayat-ayat alQuran yang terhimpun dalam Mushaf adalah sama tanpa sedikit pun perbedaan
dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Dari Allah Swt. melalui
Malaikat Jibril.
Letak perbedaan pandangan dikalangan umat Islam adalah dalam hal
kandungan makna redaksi ayat-ayat al-Quran. Ulama Ushul Fiqh membagi nash
al-Quran kepada dua komponen, yaitu qathI dan zhanni al-Dalalah. Qathi alDalalah adalah nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna, dan
tidak terbuka untuk makna lain. Sedangkan zhanni al-Dalalah adalah kebalikan
dari qathi al-Dalalah, ia terbuka untuk pemaknaan, penakwilan dan penafsiran.
Lain dengan ulama tafsir, ia tidak membuat klasifikasi tentang nas al-Quran,
bahwa ada yang qathi dan ada yang zhanni al-Dalalah, sebab menurut-nya
dengan cara yang demikian itu berarti membatasi pemaknaan, penakwilan dan
DAFTAR PUSTAKA