Anda di halaman 1dari 22

QATHI DALALAH DAN ZHANNI DALALAH

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Filsafat Hukum Islam pada Program Studi Hukum Tata
Negara Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Watampone
Oleh
RANDI
NIM: 01134073

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


(STAIN) WATAMPONE
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qathi
Dalalah dan Zhanni Dalalah. Untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
Filsafat Hukum Islam.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi.
Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan yang Maha Esa.
Penulis berharap makalah ini memberi konstribusi yang besar dalam
perbendaharaan pengetahuan kita. Selamat mebaca!

Watampone, Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
i
KATA PENGANTAR1
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
B. Rumusan dan Batasan Masalah
5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qathi dan Zhanni Dalalah
B. Yang Qathi Dalam Al-Quran
C. Pendapat Al-Syatibi tentang Qathi Dalalah dan Zhanni Dalalah
D. Pengaruh QathI Dalalah dan Zhanni Dalalah Terhadap Penafsiran
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
13
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Quran adalah kitab Samawi yang terakhir yang diturunkan oleh
Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan jibril, berisi
pedoman dan petunjuk kepada umat manusia, agar manusia dapat memperoleh
kehidupan yang bahagia di dunia dan diakhirat.
Sebagai kitab Samawi yang merupakan Kalam Allah, tidak terdapat
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumbernya.
Semua sepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat Al-Quran yang
terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum Muslimin di seluruh penjuru
dunia dewasa ini adalah sama tanpa sedikit perbedaan pun dengan yang diterima
oleh Nabi Muhammad Saw. dari Allah Swt. melalui Malaikat Jibril.
Menurut Quraish Shihab, al-Quran jelas qathi al-tsubut. Hakikatnya
salah satu dari apa yang dikenal dengan istilah malum min at-din bi al-dharurah
sesuatu yang sudah sangat jelas dan aksiomatik dalam ajaran agama. Karena itu,
disini tidak akan dibicarakan masalah qathi dari segi at-tsubut atau kebenaran
sumber tersebut. Yang menjadi persoalan adalah bagian kedua, yakni menyangkut
kandungan makna redaksi ayat-ayat Al-Quran.1
1http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/v-behaviorurldefaultvmlo_15.html, Diakses
Pada Hari Senin, 04 April 2016.

B. Rumusan dan Batasan Masalah


1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka makalah ini merumuskan
masalah sebagai berikut:
a. Apa Pengertian Qathi Dalalah dan Zhanni Dalalah?
b. Apa Saja Yang Qathi Dalam Al-Quran?
c. Bagaimana Pendapat Al-Syatibi tentang Qathi Dalalah dan Zhanni
Dalalah?
d. Bagaimana Pengaruh Qathi Dalalah dan Zhanni Dalalah Terhadap
Penafsiran?
2. Batasan Masalah
Dari rumusan masalah di atas maka makalah ini akan membahas tentang
pengertian qathi dalalah dan zhanni dalalah, yang qathi dalam Al-Quran,
pendapat Al-Syatibi tentang qathi dalalah dan zhanni dalalah, serta pengaruh
qathi dalalah dan zhanni dalalah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qathi Dalalah dan Zhanni Dalalah


Kata qathi adalah mashdar dari qathaa-yaqthau-qathan yang berarti
abana-yubinu-ibanatan: memisahkan, menjelaskan. Kata qathi juga berarti:
Decided (pasti jelas), definite (tertentu), positive (meyakinkan), final, definitive
(pasti, menentukan). Term qathi terkadang juga disinonimkan dengan dharuri,
yaqini, absolut, dan mutlak. Kata zhanni berasal dari kata zhanna-yazhunnuzhannun yang berarti syakk (samar) atau berarti pula yaqin yang berdasarkan
pemikiran abstrak. Atau yang masih berupa asumsi, dugaan, anggapan, dan
hipotesis. Term zhanni juga disinonimkan dengan kata nazhari, relatif dan nisbi.
Sedang al-dalalah berasal dari kata dalla-yadullu-dalalah yang berarti petunjuk.
Berpangkal dari pengertian-pengertian di atas maka yang dimaksud dengan qathi
al-dalalah adalah petunjuk yang pasti dan jelas. Sedangkan zhanni al-dalalah
adalah petunjuk yang masih berupa dugaan, asumsi, hipotesa atau masih samar,
karena bisa memungkinkan timbulnya pengertian dan makna lain.2
B. Yang Qathi Dalam Al-Quran
Menurut As-Syatibi, kepastian makna (qatiyah al-dalalah) suatu nas
muncul

dari

sekumpulan

dalil

Zanniy

yang

kesemuanya

mengandung

kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil
yang beraneka-ragam itu memberi kekuatan tersendiri. Ini pada akhirnya
berbeda dari keadaan masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri.
Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat Zanniy lagi. Ia
2 Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, ( Cet. I; Teras: Yogyakarta. 2008) hal. 204

telah meningkat menjadi semacam mutawatir manawiy, dan dengan demikian


dinamailah ia sebagai qatiy al-dalalah.3
Jika perhatian hanya ditujukan kepada nas Al-Quran yang berbunyi
aqimu al salah misalnya, maka nas ini tidak pasti menunjukkan kepada wajibnya
shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah. Sebab, banyak ayat Al-Quran
yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib.
Kepastian tersebut datang dari pemahaman nas-nas lain yang walaupun dengan
redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung
makna yang sama. Dalam contoh di atas, ditemukan sekian banyak ayat atau hadis
yang menjelaskan, antara lain hal-hal berikut:
a. Pujian kepada orang-orang shalat;
b. Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya;
c. Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat
atau sakit, damai atau perang, dalam keadaan berdiri atau berbaring atau
bahkan dengan isyarat sekalipun;
d. Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi
saw, sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah
meninggalkannya.
Kumpulan nas yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian
disepakati oleh umat, melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat aqimu al salah
secara pasti qatiy mengandung makna wajibnya shalat.4 Juga disepakati bahwa
tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban

3 Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Cet. II; Pustaka
Pelajar: Yogyakarta. 2011) hal. 50
4 Ibid, hal 51

shalat yang ditarik dari aqimu al salah, menjadi aksioma. Di sini berlaku malum
min al-din bi al-darurah.
Biasanya, ulama-ulama usul al-fiqh menunjuk kepada ijma untuk
menetapkan sesuatu yang bersifat qatiy. Sebab, jika mereka menunjukkan kepada
nas (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang bagi
mereka yang tidak mengetahui ijma itu untuk mengalihkan makna yang
dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Nah, guna menghindari hal
inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi
qatiy dan zanniy pada saat yang sama. Firman Allah yang berbunyi wa imsahu bi
ruusikum adalah qatiy al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala
dalam ber-wudu. Tetapi ia zanniy al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala
yang harus dibasuh. Ke-qatiy-an dan ke-zanniy-an tersebut disebabkan karena
seluruh ulama ber-ijma (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala
dalam ber-wudu, berdasar berbagai argumentasi. Namun, mereka berbeda
pendapat tentang arti dan kedudukan ba pada lafal bi ruusikum. Dengan
demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qatiy bi itibar wa zanniy bi itibar
akhar. Di satu sisi ia menunjukkan kepada makna yang pasti, dan di sisi lain ia
memberi berbagai alternatif makna.
Dari sini jelas bahwa masalah qatiy dan zanniy bermuara kepada
sejumlah argumentasi yang maknanya disepakati oleh ulama, sehingga tidak
mungkin lagi timbul makna yang lain darinya kecuali makna yang telah disepakati
itu. Bukankah ia telah disepakati bersama?5
C. Pendapat Al-Syatibi tentang Qathi Dalalah dan Zhanni Dalalah
5Ibid, hal 52

Jika dikaitkan dengan nash (dalil syara: Al-Quran maupun sunnah),


maka yang dimaksud dengan nash atau teks yang qathi al-dalalah yakni kata atau
kalimat yang mengandung arti yang jelas sekali, sehingga tidak mungkin
ditafsirkan dan diartikan lain dari yang tersebut dalam teks.6 Seperti nash-nash
yang berkaitan dengan mawarits, hudud, juga pada nash-nash yang berkaitan
dengan masalah aqidah. Karena petunjuk dan dalalah-nya jelas, maka wajiblah
bagi kita melaksanakannya atau menerima apa adanya.
Dan yang dimaksud dengan teks atau nash-nash Al-Quran yang zhanni
al-dalalah yakni kata atau kalimat yang menunjukkan arti atau memungkunkan
pengertian lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan oleh orang yang berbeda
dengan makna yang berbeda. Dari sinilah para ulama ushul menyatakan bahwa
peluang ijtihad masih terbuka.
Adapun pendapat al-Syatibi berkenaan dengan qathi dan zhanni, bahwa
dalil syara ada yang qathi dan ada yang zhanni. Semua dalil yang terdapat di
dalam Al-Quran baik yang mujmal maupun yang terperinci adalah qathi.
Sedangkan sunnah dan ijma yang keduanya adalah zhanni bisa menjadi qathI aldalalah bisa pula menjadi zhanni. Adapun qiyas semuanya zhanni. Menurut alSyatibi, jika dalil itu qathi, maka tidak ada keraguan untuk menerimanya dan
menjadikannya sebagai hujjah, landasan hukum. Seperti dalil tentang: wajib
bersuci dari hadas, kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, amar maruf, nahy
munkar, persatuan umat, menegakkan keadilan, dan lain sebagainya. Dan jika
dalil itu zhanni, maka sebelum menggunakannya sebagai hujjah harus

6 Opcit, hal 204

dikembalikan kepada ashl yang qathi terlebih dahulu. Apakah terdapat ashl atau
tidak.
Berkaitan dengan masalah zhanni, al-Syatibi berpendapat bahwa
terkadang hadis-hadis Nabi itu bersifat qathi terkadang juga zhanni.7 Suatu hadis
akan menjadi qathi al-dalalah jika sanadnya qathi, yaitu yang mutawatir secara
lafzhi dan manawi. Maka menurutnya, jika hadis itu sesuai dan terdapat pada teks
ashl (yang qathi) diterimalah ia sebagai landasan hukum. Seperti hadis-hadis
ahad yang berkaitan dengan sifat thaharah dari hadas kecil dan besar, tata cara
shalat, haji, juga hadis-hadis yang berkaitan dengan maslah jual beli dan larangan
riba, yang kesemuanya itu merupakan penjelasan dan berfungsi sebagai
keterangan terhadap nash-nash yang terdapat dalam Al-Quran sebagai sumber
utama hukum Islam.
Jika bertentangan dengan atau tidak didukung oleh ashl yang qathi
maka ditolak atau tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum. Dengan alasan bahwa
hal itu bertentangan dengan dasar hukum syara yang ashl, karena bertentangan
maka tidak mungkin yang zhanni itu sebagai berasal darinya. Seperti hadis-hadis
gharib. Diantaranya ialah tentang wajibnya puasa selama dua bulan berturut-turut
bagi suami istri yang bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan. Juga hadis
yang menyatakan bahwa seorang mayit itu diazab karena tangisan saudaranya
yang bertentangan dengan Qs. Al-Najm: 38-39 dan banyak lagi. Sedangkan jenis
zhanni yang lain lagi yaitu zhanni yang tidak ada dasarnya pada dalil ashl yang
qathi, tetapi juga tidak bertentangan dengannya. Oleh al-Syatibi ini ditolak.8
D. Pengaruh QathI Dalalah dan Zhanni Dalalah
7Ibid, hal 205
8Ibid, hal 206

Ketika kita bicara masalah qathi dan zhanni al-Dalalah


dilihat dari segi pengaruhnya terhadap penafsiran nash-nash alQuran maka dapat dikelom-pokkan pada dua pandangan yaitu
pan-dangan Ulama Ushul Fiqh dan pandangan Ulama Tafsir.
1. Pandangan ulama Ushul Fiqh
Yang dalam hal ini diantaranya diwakili oleh Muhammad
Hashim Kamali dan Abdul Wahhab Khallaf dan selainnya yang
membagi nas al-Quran kepada dua macam, yaiktu qathi dan
zhanni al-Dalalah maka dengan adanya pem-bagian semacam itu
member isyarat adanya pembatasan pemaknaan, pen-takwilan
dan penafsiran pada nash-nash tertentu atau pada ayat-ayat
tertentu yang ada dalam al-Quran, dalam hal ini nas yang qathi
al-Dalalah. Dan dengan cara yang demikian itu merupakan
sebuah upaya menghambat ruang lingkup dan ruang gerak para
mufassir untuk memaknai, mentak-wilkan dan menaf-sirkan
nash-nash al-Quran secara ke-seluruhan. Dari satu sisi boleh kita
berpandangan,

bahwa

pembagian

nas

yang

demikian

itu

berdampak negatif terhadap keinginan dan semangat para


mufassir untuk memaknai, menakwil dan menafsirkan nash-nash
al-Quran secara umum. Namun disisi lain, pembagian nash
qathi zhanni al-Dalalah yang dilaku-kan oleh ulama Ushul Fiqh
tersebut, juga punya dampak positif, yaitu agar para mufassir
tidak memiliki kebebasan penuh untuk memaknai, menakwilkan

dan menafsirkan nas-nas yang qathi, atau nas-nas yang sudah


tegas dan jelas maksudnya.
Khusus mengenai nash zhanni al-Dalalah, ternyata ulama
ushul Fiqh, juga membuka peluang lebar-lebar bagi orang yang
ingin memaknai, mema-hami, menakwilkan dan menafsirkan nas
ter-sebut. Hal ini berarti terdapat pengaruh yang positif terhadap
partum-buhan dan perkembangan penafsiran. Juga terbuka
peluang terjadinya perbedaan penafsiran terhadap nash zhanni
itu. Contoh firman Allah yang berbunyi: Dilarang bagi kamu ibuibu kamu dan suadara-saudara perempuan kamu (al-Nisa (4):
23). Nash ini definitif dalam kaitan dengan larangan mengawini
ibu atau saudara perempuan dan tidak ada bantahan tentang
soal

ini.

Namun

demikian,

kata

banatukum

(anak-anak

perempuan kamu) dapat dipahami dari makna harfiahnya, yang


berarti, anak perem-puan yang lahir dari seorang baik melalui
perkawinan maupun tidak (zina), atau makna juridisnya. Menurut
makna

yang

terakhir,

banatukum,

hanya

dapat

diartikan

sebagai anak perempuan yang sah.


Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa
ulama Ushul (Ushul Fiqh) dalam menetapkan dua konsep, yaitu
qathI dan zhanni al-Dalalah, maka konsep yang pertama itu
tidak membawa angin segar, atau tidak membuka adanya
peluang untuk memaknai, manakwilkan dan menaf-sirkan nash

yang qathi sebab menurutnya makna yang dikandungnya sudah


sangat jelas dan tegas. Namun konsep kedua (zhanni al-Dalalah)
sangat terbuka luas kesempatan untuk memaknai, menakwilkan
dan menafsirkan sesuai dengan kecen-derungan masing-masing
para mufassir atau para mujtahid, terutama bila nas itu dilihat
dari segi hukum.
Untuk

melihat

secara

jelas

peluang

pemaknaan,

penakwilan dan penafsiran ter-hadap nas zhanni al-Dalalah dapat


dilihat penjelasan dibawah ini:
Para fuqaha tidak sependapat ten-tang definisi sumpah
yang tidak sengaja, sebagai lawan dari sumpah yang di-sengaja,
(yang terdapat dalam surat al-Maidah :89); artinya: Allah tidak
akan menghukum kamu atas sumpah-sumpah yang disengaja,
tetapi Dia menghukummu atas sumpah-sumpah yang disengaja.
ayat ini diteruskan dengan penjelasan tentang denda, atau
kaffarat, atas sumpah-sumpah yang di-sengaja, yang berupa
pemberian makan kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan seorang budak atau puasa selama tiga hari. Menurut
ulama-ulama Hanafi, sumpah yang tidak disengaja adalah
sumpah yang dilakukan untuk mem-benarkan sesuatu yang disangka benar tetapi sesungguhnya salah. Sebaliknya jumhur
memahaminya sebagai sumpah yang tidak diniatkan, yakni, yang
dilakukan dengan bergurau tanpa maksud apapun. Perbedaan-

perbedaan semacam ini muncul dalam kaitan dengan definisi


mana yang tepat tentang apa yang disebut sebagai sumpah
yang disengaja. Ada juga ketidak-sepakatan tentang apakah tiga
hari puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut ataukah
tidak. Oleh karena itu, nas ayat ini, sekalipun definitif dalam hal
ketentuan dasar kaffarat atas sumpah yang tidak disengaja,
namun bersifat spekulatif dalam hal istilah yang tepat dari
kaffarat dan cara penerapannya.
Contoh zhanni lainnya dalam al-Quran kita dapat melihat
kepada firase yunfau nin al-Ard (dibuang dari muka bumi) yang
terdapat dalam surat al-Maidah 5: 33). Frase ini menunjukkan
hukuman bagi perampokkan (hirabah), atau menurut sebuah
alternatif tetapi interprestasinya sama bagi pemberontakan
dalam

masyara-kat

dengan

kepemimpinan

yang

sah.

Pembuangan (nafy) dalam ayat ini dapat bermakna pengasingan


dari tempat kejaha-tan itu dilakukan pertama kali. Hal ini
sebenarnya merupakan makna yang tampak dari frase itu dan
diterima

oleh

jumhur

ulama.

Tetapi

fuquha-fuguha

Hanafi

menetapkan bahwa frase itu bermakna hukuman penjarah,


bukan

peng-asingan.

Menurut

mereka,

pendekatan

harfiah

terhadap interprestasi dari frase ini tidak memuaskan; jika


interprestasinya demikian, maka bagaimana mungkin orang
dibuang dari muka bumi kalau tidak dengan cara kematian?

Nafy, atau pem-buangan di sini lain, adalah hukuman diluar


pembunuhan.
Di samping itu, jika perampok dibuang dari suatu tempat
ke tempat yang lain dalam wilayah Islam, maka ancaman dari
dirinya tampaknya tidak akan bisa dicegah, karena dia mungkin
melakukan perampokan-perampokan lagi. Para ulama Hanafi
kemudian

memberikan

argument-tasi

bahwa

pembuangan

seorang muslim ke luar wilayah Islam tidaklah dibenarkan secara


hukum. Oleh karena itu, satu-satunya makna yang tepat dari
frase ini yang memenuhi tujuan hukuman dari syariah adalah
hukuman penjara.
Dari ayat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
semua ayat muhara-bah yang memuat frase yunfau min al-Ard
terbuka bagi penafsiran-penafsiran yang berbeda.
Seandainya

tidak

ada

perbedaan

penafsiran

dan

penakwilan terhadap nash zhanni maka dengan sendirinya akan


melahirkan kesulitan (masyaqqah) pada diri manusia itu sendiri,
sebab dia hanya berpegang secara mutlak pada satu pan-dangan
atau ketetapan hukum, yang kemungkinannya pandangan dan
pene-tapan hukum itu tidak mampu untuk dilaksanakannya.
Tetapi dengan adanya perbedaan pandangan dalam penetapan
hukum maka seseorang berhak menen-tukan pilihannya sesuai
dengan tingkat kesanggupan dan kemampuannya.

Di sisi lain, manusia

mengalami pertumbuhan dan

perkembangan, yang dengan sendirinya pandangan dan penetapan hukum itu harus berorientasi pada kemaslahatan ummat
manusia. Boleh jadi Nabi menganggap suatu nash sebagai nash
qathi al-Dalalah namun pada kondisi tertentu menjadi zhanni alDalalah. Atau setidak-tidaknya nash (ayat) tetap qathi namun
penerapan hukuman boleh jadi zhanni.
Selanjutnya pada surat al-Maidah (5:33) ini, kebingungan
muncul dari gabungan frase yang mengandung kata aw, yang
berarti dan antara ketiga frase yang menentukan hukuman
yang berbeda-beda bagi perampok tadi. Karena itu, tidaklah
diketahui secara pasti mana di antara ketiga hukuman ini yang
ditetapkan

bagi

peram-pok,

(muharib).

Pendapat

jumhur

mengata-kan bahwa muharib dijatuhi hukuman mati apabila dia


benar-benar merampok dan membunuh kor-bannya, tetapi jika
hanya merampok, maka hukumannya adalah pengasingan.
Dalam kasus-kasus yang lebih ngeri ketika perampok membunuh
dan merampok korbannya, maka perampok itu harus dibunuh
dan disalib. Menurut sebuah alternatif pendapat hukum, adalah
kewajiban pemerintah untuk menentukan salah satu hukuman
atau gabungan dari hukuman-hukuman itu dalam kasus-kasus
yang tersendiri.

Dari contoh-contoh nas zhanni yang dikemukakan di atas


oleh para ulama ushul menjadi dasar dan bukti kuat atasnya,
bahwa ternyata nas zhanni terbuka lebar-lebar peluang untuk
lahirnya

berbagai

pemaknaan,

penakwilan

dan

penafsiran

terhadap nas zhanni itu sendiri terutama bila dilihat dari segi
kacamata hukum.
2. Pandangan Ulama Tafsir
Ulama tafsir tidak membuat klasifikasi tentang nash alQuran mengenai qathi

dan zhanni sebagaimana yang dibuat

dan ditetapkan oleh ulama Ushul. Kenyataan ini dapat dibuktikan


dengan

membuka

lembaran

kitab-kitab

Ulum

Misalnya al-Burhan karangan al-Zarkasyi, atau

al-Quran.

al Itqan oleh al-

Sayuti dan Mabahits fi Ulumil Quran oleh Manaul Qathan.


Ketiganya
Mengapa

tidak

membahas

demikian?

soal

tersebut.

Jawabannya,

Pertanyaannya.

ulama-ulama

tafsir

menekankan bahwa al-Quran hamalat li al wujud (al-Quran


mampu mengandung ungkapan: Seorang tidak dinamai mufasir
kecuali jika ia mampu memberi interpretasi beragam terhadap
ayat-ayat al-Quran.
Seiring dengan pendapat ulama-ulama tafsir di atas,
seorang

pemikir

kontemporer

kelahiran

al-Jazair

yaitu

Mohammad Arkoum, menulis tentang ayat-ayat al-Quran sebagai


berikut: Kitab Suci itu mengandung kemungkinan makna yang

akan

terbatas.

Ia

menghadirkan

berbagai

pemikiran

dan

penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang absolute, ia


dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup
hanya pada satu penafsiran makna.
Pendapat diatas sejalan dengan tulisan Abdullah Darraz,
salah

seorang

ulama

besar

al-Azhar

yang

antara

lain

menjelaskan dan mengetik kitab alMuwa-faqat karya Abu Ishaq


al-Syathibi. Syaikh Darraz menulis: Apabila anda membaca,
makanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi bila anda membaca
sekali lagi, maka anda akan menemukan pula makna-makna lain
yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya,
sampai

anda

mempunyai

dapat

arti

menemukan

kalimat

bermacam-macam.

atau

Semuanya

kata

yang

benar

atau

mungkin benar. Ayat-ayat al-Quran bagaikan intan. Setiap


sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang
terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda
mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan
melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.
Menurut Quraish Shihab, disisi lain, kita dapat berkata
bahwa setiap nas atau redaksi mengandung dua dalalah
(kemungkinan arti). Bagi pengucapnya redaksi tersebut hanya
mengandung satu arti saja, yakni arti yang dimaksudkan
olehnya. Inilah yang dimaksud dalalah haqiqiyyah. Tetapi, bagi

para pendengar atau pembaca, dalalahnya bersifat relative.


Mereka

tidak

Pemahaman

dapat

mereka

memastikan
terhadap

nas

maksud
atau

pembicaraan.

redaksi

tersebut

dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat.


Yang kedua ini dinamai dalalah nishbiyyah.9

9http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/ijma.html, Diakses Pada Hari Senin, 04


April 2016

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Al-Quran sebagai kalam Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumbernya, yaitu dari Allah Swt.
Juga umat Islam mempunyai keyakinan yang sama bahwa redaksi ayat-ayat alQuran yang terhimpun dalam Mushaf adalah sama tanpa sedikit pun perbedaan
dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Dari Allah Swt. melalui
Malaikat Jibril.
Letak perbedaan pandangan dikalangan umat Islam adalah dalam hal
kandungan makna redaksi ayat-ayat al-Quran. Ulama Ushul Fiqh membagi nash
al-Quran kepada dua komponen, yaitu qathI dan zhanni al-Dalalah. Qathi alDalalah adalah nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna, dan
tidak terbuka untuk makna lain. Sedangkan zhanni al-Dalalah adalah kebalikan
dari qathi al-Dalalah, ia terbuka untuk pemaknaan, penakwilan dan penafsiran.
Lain dengan ulama tafsir, ia tidak membuat klasifikasi tentang nas al-Quran,
bahwa ada yang qathi dan ada yang zhanni al-Dalalah, sebab menurut-nya
dengan cara yang demikian itu berarti membatasi pemaknaan, penakwilan dan

penafsiran terhadap al-Quran. Pada hal al-Quran itu mampu mengandung


banyak interpretasi.
Dengan konsep Qathi al-Dalalah oleh ulama Ushul Fiqh tentunya
merupakan hal yang kurang baik dikalangan ulama Tafsir, sebab dengan konsep
itu berarti membatasi upaya pemaknaan, penakwilan dan penafsiran terhadap nasnas al-Quran itu sendiri. Namun dari konsep zhanni al-Dalalah oleh Ulama
Ushul Fiqh, terbuka peluang lebar-lebar untuk memaknai, mentak-wilkan dan
menafsirkan nash-nash al-Quran itu, dalam arti mempunyai pengaruh besar dan
pengaruh positif terhadap lahirnya para mufasir dan para mujtahid.
B. Saran
Melihat dari materi yang tercover dalam makalah ini tentu masih jauh
dari sempurna, olehnya itu saran dan masukan pembaca yang sifatnya
membangun sangat di harapkan untuk perbaikan makalah berikutnya. Penulis juga
berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan memupuk
semangat kita untuk lebih banyak menulis karya ilmiah yang berbau Islam. Dan
mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi referensi penting untuk penulisan
makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syamsul, Metodologi Hukum Islam, Cet. I; Teras: Yogyakarta. 2008


http://jurnaldiktum.blogspot.co.id/2015/01/v-behaviorurldefaultvmlo_15.html
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/ijma.html
Zuhri, Saifuddin, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Cet. II; Pustaka
Pelajar: Yogyakarta. 2011

Anda mungkin juga menyukai