Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran merupakan sumber utama dalam prosedur untuk melakukan istinbat
(penetapan) hukum. Tanpa Alquran, tidak mungkin dipahami ajaran Islam secara
keseluruhan dan hukum Islam secara partikular. Pembahasan tentang Alquran sebagai
sumber utama hukum Islam adalah sesuatu yang seragam di dalam kitab-kitab usul
fikih. Namun keseragaman ini menjadi sirna manakala pembahasan mulai memasuki
persoalan-persoalan yang lebih detail, misalnya mengenai kedilalahan ayat-ayat
Alquran sebagai hujjah di dalam kerangka istinbat hukum. Salah satu persoalan yang
cukup rumit dan variatif adalah terkait dengan permasalahan pengkategorian ayat-
ayat Alquran ke dalam qat’i dan zanni.
Secara umum pengkategorian ini menjadi sangat penting di dalam menjadikan
satu ayat sebagai dalil hukum. Hal ini terkait dengan persoalan penggunaan
rasionalitas di dalam hukum. Apabila satu ayat dikategorikan qat’i, maka tingkat
rasionalitasnya menjadi rendah. Sedangkan bila dikategorikan zanni, maka tingkat
spekulatifnya menjadi tinggi.
Apabila diteliti dengan seksama, maka terlihat bahwa persoalan qat’i dan zanni
ini merupakan persoalan pelik yang memerlukan pembahasan yang cukup panjang
dan rumit. Ada kesan seolah-olah pengkategorian ini telah baku dan tidak berubah.
Secara umum pengkategorian ini menjadi sangat penting di dalam menjadikan
satu ayat sebagai dalil hukum. Hal ini terkait dengan persoalan penggunaan
rasionalitas di dalam hukum. Apabila satu ayat dikategorikan qat’i, maka tingkat
rasionalitasnya menjadi rendah. Sedangkan bila dikategorikan zanni, maka tingkat
spekulatifnya menjadi tinggi.
Apabila diteliti dengan seksama, maka terlihat bahwa persoalan qat’i dan zanni
ini merupakan persoalan pelik yang memerlukan pembahasan yang cukup panjang
dan rumit. Ada kesan seolah-olah pengkategorian ini telah baku dan tidak berubah.

1
2

Makalah ini akan mencoba menguraikan pembahasan tentang qat’i dan zanni,
dan beberapa pembahasan terkait dengan keduanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Al-Qat’i Dan Al-Zanni
2. Bagaimana Qat’I al-Wurud dan Zanni al-Wurud
3. Bagaimana Qat’i al-Dalalah dan Zanni al-Dalalah
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Al-Qat’i Dan Al-Zanni
2. Untuk Mengetahui Qat’I al-Wurud dan Zanni al-Wurud
3. Untuk Mengetahui Qat’i al-Dalalah dan Zanni al-Dalalah
3

BABA II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Qat’i Dan Zanni
Kata qat’i berasal dari bahasa Arab al-qat’i yang terbentuk dari kata qat’un,
kemudian mendapat tambahan ya’nisbah. Kata qat’un adalah bentuk masdar dari fi’il
sulasi mujarrad : qata’a-yaqta’u-qat’an.
Secara etimologi, kata dasar qat’un terbentuk dari huruf qaf, ta, dan ‘ayn. Kata
tersebut menunjukkan kepada arti “memotong dan menceraikan sesuatu dari sesuatu”.
Dapat dikatakan bahwa, “aku memotong sesuatu berkeping-keping”. Secara leksikal,
Munawwir mengartikan kata qat’i ke dalam bahasa Indonesia menjadi “secara pasti”.
Kata zanni juga berasal dari bahasa Arab al-zanni, yang terbentuk dari kata
zannun, kemudian ditambah ya’nisbah. Kata zannun adalah bentuk masdar dari fi’il
sulasi mujarrad : zanna-yazunnu-zannan. Secara etimologi, kata zanna terbentuk dari
huruf za’ dan nun. Ia menunjukkan dua arti yang berlawanan yaitu, yakin dan ragu.
Sebagai contoh kata zanna yang berarti ragu terdapat dalam surat al-Baqarah (2:249),
yaitu kata yazunnuna yang berarti yaqinu (yakin). Sedangkan kata zanna yang berarti
syak (ragu), misalnya kalimat, “aku meragukan sesuatu itu, jika engkau tidak
meyakininya”.
Menurut terminologi, kata qat’i-zanni dapat dilihat atau dirujukkan pada dua
aspek, pertama, aspek al-subut atau al-wurud yang menunjukkan dari eksistensi
sumber hukum (otentisitas dan validitasnya), dan kedua, aspek dalalah yang
menunjukkan indikasi sumber hukum (penunjukkan terhadap hukum). Apabila suatu
sumber hukum eksistensinya bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut disebut
qat’I al-subut/qat’I al-wurud, sedangkan apabila hukum tersebut eksistensinya tidak
bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut disebut zanni al-subut/zanni al-wurud.
Pembagian Qat’i-Zanni

3
4

Dalam memaparkan qat’i-zanni maka mengemukakan bahwa dari segi


substansi, konsep qat’i-zanni adalah digunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan
suatu dalil nas (al-Qur’an dan al-Sunnah).
Menurut terminologi, kata qat’i-zanni dalam kajian ushul fiqh dapat dilihat atau
didirujukkan pada dua aspek, pertama aspek al-subut, al-wurud atau sanad yang
menunjukkan dari eksistensi sumber hukum, dan kedua aspek dalalah yang
menunjukkan indikasi sumber hukum (penunjukkan terhadap hukum). Apabila suatu
sumber hukum eksistensinya bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut disebutqat’i
al-subut/qat’i al-wurud/qat’i sanad, sedangkan apabila hukum tersebut eksistensinya
tidak bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut disebut zanni al-subut/zanni al-
wurud/zanni sanad.
Menurut ahli hukum Islam (fuqaha), teks Al Quranada yang menunjukkan
pengertian yang pasti dan ada yang menunjukkan pengertian yang tidak/belum pasti.
Teks Al Qur’an yang menunjukkan pasti disebut qat’i al-dalalah, sedankan teks Al
Qur’an yang tidak menujukkan pengertian pasti disebut zanni al-dalalah. Teks Al
Qur’an jika di lihat dari segi eksistensi dan indikasinya ada yang bersifat qat’i al-
subut sekaligus qat’i al-dalalah. Tetapi ada juga yang bersifat qat’i al-subut,
tetapi zanni al-dalalah.
Imam al-Syaitibi membagi dalil nas menjadi empat, yaitu :
a.    Dalil yang tidak membutuhkan penjelasan (maksudnya dalil tersebut sudah jelas
dan pasti baik eksistensinya maupun indikasinya, sehingga dapat dikategorikan
qat’i al-subut bi qat.i al-dalalah).
b.    Dalil zanni yang didasarkan pada dalil qat’i yang diamalkan secara zahir, yang
berupa khabar ahad untuk menjelaskan al-Kitab (maksudnya dalil terebut dapat
dikategorikan qat’i al-subut bi zanni al-dalalah).
c.    Dalil zanni yang bertentangan dengan dalil qat’i (maksudnya dalil tersebut bersifat
zanni al-subut bi qat’i al-dalalah).
5

d.   Dalil yang tidak terdapat pada dalil qat’i (maksudnya dalil tersebut bersifat zanni
al-subut bi zanni al-dalalah). 1
B. Qat’I al-Wurud dan Zanni al-Wurud
Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyangkut
kebenaran sumber al-Qur'an. Semua umat Islam sepakat meyakini bahwa redaksi
ayat-ayat al-Qur'an yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh umat Islam
dewasa ini, tidak memiliki perbedaan sedikit pun dengan redaksi yang diterima oleh
Rasulullah saw. dari Allah melalui malaikat Jibril. Itulah sebabnya sehingga al-
Our'an disebut sebagai qat’i al-wurūd atau qat’i al-subut.
Selain dari ayat-ayat al-Qur'an yang diyakini kepastian sumbernya berasal dari
Allah, hadis mutawatir juga disebut sebagai qat’i al-wurûd. yakni dipastikan
sumbernya berasal dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, maka orang yang menolak
eksistensi hadis mutawatir dihukum kafir, sebagaimana kafirya orang-orang yang
menolak keberadaan al-Qur'an. Dengan demikian, selain dari ayat-ayat al-Qur'an dan
hadis mutawatir, disebut sebagai zanni al-wunud, yakni ajaran yang tidak dipastikan
kedatangannya. Ketidak pastian ini. terjadi karena hanya dikemukakan oleh orang
perorangan atau pendapat pribadi. Ajaran yang termasuk dalam katagori zanni al-
wurud adalah hadis ähàd (hadis yang diriwayatkan orang perorangan) dan hasil
ijtihad para ulama.'2
Nash yang Qath’I al Wurud adalah nash-nash yang dilihat dari segi turunnya,
ketetapannya dan penukilannya secara jelas dan pasti. Menurut Safi Hasan Abu
Thalib bahwa nash- nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat
diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
Seperti al Qur’an bersifat Qath’i al Wurud sebab turunnya, ketetapannya dan
penukilannya dilakukan mulai diturunkan Allah kepada Rasul-Nya yang disampaikan
kepada umatnya secara estafet tanpa perubahan dan pergantian. Demikian juga as-

1
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih.( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008) h.12
2
Buyamin, Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Penerbit ; UJP (Unit Jurnal & Penerbit) STAIN Watampone,
CV. Berkah Utami Makassar, 2015), h. 106
6

Sunnah yang mutawatir bersifat Qath’I al Wurud, sebab periwatannya mutawatir


(berlangsung terus menerus) mulai dari Rasul, para sahabat, tabi”in, ulama dan
seterusnya sampai kepada kita. Di samping juga ada yang bersifat Zhanniy al-Wurud
(sunnah masyhur dan ahad).
Nash yang Zhanniy al-Wurud adalah nash-nash yang datang dan penukilannya
belum jelas dan masih dalam dugaan. Safi Hasan Abu Thalib menyebutnya. Nash
dalam kategori ini adalah hanya as-Sunnah yang masyhur dan ahad, meskipun
sumber datangnya dari Rasulullah namun sanadnya tidak mendatangkan kepastian
dan masih merupakan dugaan karena tidak dinukil secara mutawatir. Al-Qur’an dan
as-Sunnah Mutawatir tidak termasuk dalam kelompok ini.
C. Qat’i al-Dalalah dan Zanni al-Dalalah
Menurut Jalaluddin Rahman, qat’i al-dalalah ialah nas yang hanya memiliki
satu arti. Nas yang berbentuk seperti ini sangat sedikit dan biasanya mengenai kata
yang menunjuk kepada bilangan. Adapun zanni al-dalalah ialah nas yang tidak pasti
maknanya, sebab makna yang dikandungnya lebih dari satu arti. Mengacu pada
pendapat ini, maka nas-nas al-Qur'an yang penunjukan hukumnya qat’i hanya
terbatas pada lafal yang menunjukkan kepada bilangan. Selain dari itu, penunjukan
hukum nas-nas al-Qur'an, semuanya zanni.

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman memberikan contoh ayat al-Qur'an yang


qat’I al-dalalah, yaitu QS al-Nisa' 4: 12 yang berbunyi

M‫ ُم‬M‫ ُك‬Mَ‫ ل‬Mَ‫ ف‬M‫ ٌد‬Mَ‫ ل‬M‫ َو‬M‫ َّن‬Mُ‫ ه‬Mَ‫ ل‬M‫ن‬Mَ M‫ ا‬M‫ َك‬M‫ن‬Mْ ‫ ِإ‬Mَ‫ ف‬Mۚ M‫ ٌد‬Mَ‫ ل‬M‫و‬Mَ M‫ َّن‬Mُ‫ ه‬Mَ‫ ل‬M‫ن‬Mْ M‫ ُك‬Mَ‫ ي‬M‫م‬Mْ Mَ‫ ل‬M‫ن‬Mْ ‫ ِإ‬M‫ ْم‬M‫ ُك‬M‫ ُج‬M‫ ا‬M‫و‬Mَ M‫ز‬Mْ ‫ َأ‬M‫ك‬
Mَ M‫ر‬Mَ Mَ‫ ت‬M‫ ا‬M‫ َم‬M‫ف‬ Mْ ِM‫ ن‬M‫ ْم‬M‫ ُك‬Mَ‫ ل‬M‫ َو‬ 
Mُ M‫ص‬
M‫ ْم‬Mُ‫ ت‬M‫ ْك‬M‫ َر‬Mَ‫ ت‬M‫ ا‬M‫ َّم‬M‫ ِم‬M‫ ُع‬Mُ‫ ب‬MُّM‫ر‬M‫ل‬M‫ ا‬M‫ َّن‬Mُ‫ ه‬Mَ‫ ل‬M‫و‬Mَ Mۚ M‫ ٍن‬M‫ ْي‬M‫ َد‬M‫و‬Mْ ‫ َأ‬M‫ ا‬Mَ‫ِ ه‬M‫ ب‬M‫ن‬Mَ M‫ص ي‬ ِM M‫و‬Mُ‫ ي‬M‫ ٍة‬MَّM‫ص ي‬ ِM M‫و‬Mَ Mِ‫ د‬M‫ ْع‬Mَ‫ ب‬M‫ن‬Mْ M‫ ِم‬Mۚ M‫ن‬Mَ M‫ ْك‬M‫ َر‬Mَ‫ ت‬M‫ ا‬M‫ َّم‬M‫ ِم‬M‫ ُع‬Mُ‫ ب‬MُّM‫ر‬M‫ل‬M‫ا‬
Mٍ‫ ة‬MَّM‫ص ي‬ ِM M‫و‬Mَ Mِ‫ د‬M‫ ْع‬Mَ‫ ب‬M‫ن‬Mْ M‫ ِم‬Mۚ M‫ ْم‬Mُ‫ ت‬M‫ ْك‬M‫ َر‬Mَ‫ ت‬M‫ ا‬M‫ َّم‬M‫ ِم‬M‫ن‬Mُ M‫ ُم‬M‫ ُّث‬M‫ل‬M‫ ا‬M‫ َّن‬Mُ‫ ه‬Mَ‫ ل‬Mَ‫ ف‬M‫ ٌد‬Mَ‫ ل‬M‫ َو‬M‫ ْم‬M‫ ُك‬Mَ‫ ل‬M‫ن‬Mَ M‫ ا‬M‫ َك‬M‫ن‬Mْ ‫ ِإ‬Mَ‫ ف‬Mۚ M‫ ٌد‬Mَ‫ ل‬M‫ َو‬M‫ ْم‬M‫ ُك‬Mَ‫ ل‬M‫ن‬Mْ M‫ ُك‬Mَ‫ ي‬M‫ ْم‬Mَ‫ ل‬M‫ن‬Mْ ‫ِإ‬
ٌ M‫خ‬Mْ ‫ ُأ‬M‫و‬Mْ ‫ َأ‬M‫ َأ ٌخ‬Mُ‫ ه‬Mَ‫ ل‬M‫و‬Mَ Mٌ‫ َأ ة‬M‫ َر‬M‫ ْم‬M‫ ا‬Mِ‫ َأ و‬Mً‫ ة‬Mَ‫ اَل ل‬M‫ َك‬M‫ث‬
M‫ت‬ Mُ M‫ر‬Mَ M‫و‬Mُ‫ ي‬M‫ ٌل‬M‫ ُج‬M‫ َر‬M‫ن‬Mَ M‫ ا‬M‫ َك‬M‫ن‬Mْ ‫ ِإ‬M‫و‬Mَ Mۗ M‫ ٍن‬M‫ ْي‬M‫ َد‬M‫و‬Mْ ‫ َأ‬M‫ ا‬Mَ‫ِ ه‬M‫ ب‬M‫ن‬Mَ M‫ و‬M‫ص‬ ُ M‫ و‬Mُ‫ت‬
M‫ن‬Mْ M‫ ِم‬Mۚ Mِ‫ث‬Mُ‫ ل‬M‫ ُّث‬M‫ل‬M‫ ا‬M‫ِ ي‬M‫ ف‬M‫ ُء‬M‫ ا‬M‫ َك‬M‫ر‬Mَ M‫ ُش‬M‫ ْم‬Mُ‫ ه‬Mَ‫ ف‬M‫ك‬ َ ِM‫ ل‬M‫ َذ‬Mٰ M‫ن‬Mْ M‫ ِم‬M‫ َر‬Mَ‫ ث‬M‫ َأ ْك‬M‫ا‬M‫ و‬Mُ‫ن‬M‫ ا‬M‫ َك‬M‫ن‬Mْ ‫ ِإ‬Mَ‫ ف‬Mۚ M‫س‬ Mُ M‫ ُد‬MُّM‫س‬M‫ل‬M‫ ا‬M‫ ا‬M‫ َم‬Mُ‫ ه‬M‫ ْن‬M‫ ِم‬M‫ِح ٍد‬M M‫ ا‬M‫ َو‬MِّM‫ ل‬M‫ِ ُك‬M‫ ل‬Mَ‫ف‬
M‫ ٌم‬M‫ِ ي‬M‫ ل‬M‫ح‬Mَ M‫ ٌم‬M‫ِ ي‬M‫ ل‬M‫ َع‬Mُ ‫ هَّللا‬M‫ َو‬Mۗ ِ ‫ هَّللا‬M‫ن‬Mَ M‫ ِم‬Mً‫ ة‬MَّM‫ ي‬M‫ص‬
ِ M‫ َو‬Mۚ MٍّM‫ر‬M‫ ا‬M‫ض‬ Mَ M‫ ُم‬M‫ َر‬M‫ ْي‬M‫ َغ‬M‫ن‬Mٍ M‫ ْي‬M‫ َد‬M‫و‬Mْ ‫ َأ‬M‫ ا‬Mَ‫ِ ه‬M‫ ب‬M‫ى‬Mٰ M‫ص‬ َ M‫ و‬Mُ‫ ي‬M‫ ٍة‬MَّM‫ص ي‬ ِM M‫و‬Mَ M‫ ِد‬M‫ع‬Mْ Mَ‫ب‬
7

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh


isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Lafal yang menunjukkan zanni al-dalalah dalam ayat di atas adalah quri Dalam
bahasa Arab, lafal quri' disebut dengan lafal musytarak, yaitu suatu lafal yang
mempunyai lebih dari satu arti, yakni bisa berarti suci dan bisa pula berarti
menstruasi. Dengan dasar itulah, ulama berbeda pendapat mengenai masa iddah
wanita yang ditalak oleh suaminya, yang dalam keadaan tidak hamil. Malik ibn Anas
dan al- Syafi'i menetapkan bahwa masa iddah wanita tersebut adalah tiga kali suci,
sementara itu Abü Hanifah menetapkan tiga kali menstruasi.
Jika dilakukan telah lebih jauh, ditemukan pandangan yang berbeda mengenai
ayat-ayat al-Qur'an yang sifatnya qat’i dan zanni dari segi kandungan maknanya.
Mohammad Arkoun berkata bahwa ayat-ayat al-Qur'an mengandung kemungkinan
makna yang tak terbatas. Al-Qur'an menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan
pada tingkat yang dasariah, eksistensi yang absolut. Al-Qur'an selalu terbuka, tak
8

pernah tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran makna. Demikian pula Abdulläh
Darrăz, ia berkata: "Apabila Anda membaca al-Qur'an, maknanya akan jelas di
hadapan Anda. Tetapi, bila Anda membaca sekali lagi, maka Anda akan menemukan
makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya,
sampai Anda menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam.
Semuanya benar atau mungkin benar".
Dua pendapat ulama modern di atas memberi kesan bahwa tak satu pun ayat al-
Qur'an yang berstatus qat’i al-dalalah. Berbeda dengan Abů Ishag al-Syatibi, ia
mengatakan bahwa kepastian makna suatu nas muncul dari sekumpulan dalil zanni
yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya
makna yang sama dari dalil-dalil yang beranekaragam itu memberi kekuatan
tersendiri, sehingga pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil-dalil
tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikan tidak
bersifat zanni lagi. la telah meningkat menjadi mutawatir ma'nawi, sehingga dalil
tersebut disebut sebagai qat’i al-dalalah.
M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kumpulan ayat-ayat al Qur'an yang
berbunyi aqimu al-şaläh, dapat dipastikan menunjuk kepada ulah oleh wajibnya salat.
Kepastian tersebut muncul dari pemahaman terhadap dalil-dalil lain, yang walaupun
dengan redaksi atau konteks yang berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya
mengandung makna yang sama, seperti pujian kepada orang-orang yang mendirikan
shalat, (2) celaan dan ancaman bagi orang yang meremehkan atau meninggalkan
shalat, (3) perintah kepada mukalaf untuk melaksanakan shalat, baik dalam keadaan
sehat atau sakit, damai atau perang, berdiri atau duduk atau berbaring, atau bahkan
dengan isyarat sekalipun, (4) pengamalan- pengamalan yang diketahui turun-temurun
dari Rasulullah, sahabat beliau, atau generasi sesudahnya yang tidak permah
meninggalkannya. Kumpulan nas-nas ini melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat
aqimu alşalah, secara pasti mengandung makna wajibnya shalat. Tidak ada
9

kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya, sehingga kewajiban yang ditarik
dari agimi al-şaläh menjadi sebuah aksioma.3
C. Qat’ al-Tanfiz dan Zanni al-Tanfiz
Qat’ al-Tanfiž dan Zanni al-Tanfiz Jalaluddin Rahman mendefinisikan qat’ al-
tanfiż sebagai ajaran yang mesti diberlakukan. Apabila ajaran itu tidak dilaksanakan
oleh seseorang, maka ia dianggap melakukan pelanggaran.1s Sebagai contoh adalah
ayat al-Qur'an yang berbunyi agimů alsaläh wa átů al-zakaäh. Setiap muslim wajib
mendirikan salat dan membayar zakat. Jika ada di antara umat Islam yang tidak
menunaikan perintah sesuai dengan ayat ini, maka ia dianggap berdosa.
Adapun zanni al-tanfz adalah ajaran yang tidak mesti diberlakukan oleh umat
Islam. Sebagai contoh adalah ayat-ayat al- Qur'an yang berkenaan dengan pembagian
warisan, misalnya QS al- Nisã/4: 11 yang berbunyi:

ُ ‫َو َق ا ْث نَ تَ نْي ِ فَل‬


ِ ‫ِ ِإ‬ ِ َّ ِ ِ ِ ‫ي‬
َّ‫َه ن‬ ْ ‫ فَ ْن ُك َّن ن سَ اءً ف‬Mۚ ‫ ل لذ َك ِر م ثْ ُل َح ِّظ اُأْل ْن ثَ يَ نْي‬Mۖ ‫يك ُم اللَّ هُ يِف َْأو اَل د ُك ْم‬ ُ ‫وص‬ ُ
‫َر َك‬ َ ‫س مِم َّ ا ت‬ُ ‫الس ُد‬ ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َم ا‬ِ ‫َو ي ِه لِ ُك ِّل َو‬
ْ َ ‫ َو َأِل ب‬Mۚ ‫ف‬ ُ ‫ص‬ ْ ِّ‫َه ا الن‬
َ ‫اح َد ةً فَل‬ِ ‫ َو ِإ ْن َك انَت َو‬Mۖ ‫َر َك‬
ْ َ ‫ثُ لُ ثَا مَا ت‬
ِ‫ان لَه ِإ خ َو ةٌ فَُأِل ِّم ه‬ ُّ ‫َو اهُ فَُأِل ِّم ِه‬
ْ ُ َ ‫ فَِإ ْن َك‬Mۚ ‫ث‬ ُ ُ‫الث ل‬ َ ‫َد َو َو ِر ثَهُ َأ ب‬ ُ ‫ فَِإ ْن مَلْ ي‬Mۚ ‫َد‬
ٌ ‫َك ْن لَهُ َو ل‬ َ ‫ِإ ْن َك‬
ٌ ‫ان لَهُ َو ل‬
ْ ‫ آبَا ُؤ ُك ْم َو َْأب نَا ُؤ ُك ْم اَل ت‬Mۗ ‫وص ي هِبَا َْأو دَيْ ٍن‬ ِ ‫ ِم ن بَع ِد َو ِص يَّ ٍة ي‬Mۚ ‫الس ُد س‬
‫َك ْم‬
ُ‫بل‬ ُ ‫َد ُر ونَ َأ يُّ ُه ْم َأ ْق َر‬ ُ ْ ْ ُ ُّ
‫يم ا‬ ِ ِ َ ‫ ِإ َّن اللَّ هَ َك‬Mۗ ‫َر يضَةً ِم َن اللَّ ِه‬ِ ‫ ف‬Mۚ ‫َف ًع ا‬
ً ‫يم ا َح ك‬ ً ‫ان عَل‬ ْ‫ن‬
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
3
Ibid, h. 107-109
10

(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya


Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Meski ayat di atas menunjukkan perintah dan bahkan termasuk dalam katagori
qat’I al-dalálah, tetapi tidak mesti harus diberlakukan oleh umat Islam. Seseorang
dianggap tidak berdosa jika tidak membagi harta warisnya 2 berbanding 1 antara laki-
laki dengan perempuan. Maksudnya, boleh saja pembagian itu menyalahi petunjuk
ayat, misalnya dilakukan pembagian 1 berbanding 1, atau memberikan bagian yang
lebih banyak kepada perempuan. Semuanya tergantung pada kesepakatan di antara
masing-masing ahli waris dalam melakukan pembagian harta warisan.4

4
Ibid, h. 109-110
11

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata zanni juga berasal dari bahasa Arab al-zanni, yang terbentuk dari kata
zannun, kemudian ditambah ya’nisbah. Kata zannun adalah bentuk masdar dari fi’il
sulasi mujarrad : zanna-yazunnu-zannan. Secara etimologi, kata zanna terbentuk dari
huruf za’ dan nun. Ia menunjukkan dua arti yang berlawanan yaitu, yakin dan ragu.
Sebagai contoh kata zanna yang berarti ragu terdapat dalam surat al-Baqarah (2:249),
yaitu kata yazunnuna yang berarti yaqinu (yakin). Menurut terminologi, kata qat’i-
zanni dapat dilihat atau dirujukkan pada dua aspek, pertama, aspek al-subut atau al-
wurud yang menunjukkan dari eksistensi sumber hukum (otentisitas dan
validitasnya), dan kedua, aspek dalalah yang menunjukkan indikasi sumber hukum
(penunjukkan terhadap hukum). Apabila suatu sumber hukum eksistensinya bersifat
pasti.
Selain dari ayat-ayat al-Qur'an yang diyakini kepastian sumbernya berasal dari
Allah, hadis mutawatir juga disebut sebagai qat’i al-wurûd. yakni dipastikan
sumbernya berasal dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, maka orang yang menolak
eksistensi hadis mutawatir dihukum kafir, sebagaimana kafirya orang-orang yang
menolak keberadaan al-Qur'an. Dengan demikian, selain dari ayat-ayat al-Qur'an dan
hadis mutawatir, disebut sebagai zanni al-wunud, yakni ajaran yang tidak dipastikan
kedatangannya. Ketidak pastian ini. terjadi karena hanya dikemukakan oleh orang
perorangan atau pendapat pribadi. Ajaran yang termasuk dalam katagori zanni al-
wurud adalah hadis ähàd (hadis yang diriwayatkan orang perorangan) dan hasil
ijtihad para ulama
Menurut Jalaluddin Rahman, qat’i al-dalalah ialah nas yang hanya memiliki
satu arti. Nas yang berbentuk seperti ini sangat sedikit dan biasanya mengenai kata
yang menunjuk kepada bilangan. Adapun zanni al-dalalah ialah nas yang tidak pasti
maknanya, sebab makna yang dikandungnya lebih dari satu arti. Mengacu pada
11
12

pendapat ini, maka nas-nas al-Qur'an yang penunjukan hukumnya qat’i hanya
terbatas pada lafal yang menunjukkan kepada bilangan. Selain dari itu, penunjukan
hukum nas-nas al-Qur'an, semuanya zanni.
Meski ayat di atas menunjukkan perintah dan bahkan termasuk dalam katagori
qat’I al-dalálah, tetapi tidak mesti harus diberlakukan oleh umat Islam. Seseorang
dianggap tidak berdosa jika tidak membagi harta warisnya 2 berbanding 1 antara laki-
laki dengan perempuan. Maksudnya, boleh saja pembagian itu menyalahi petunjuk
ayat, misalnya dilakukan pembagian 1 berbanding 1, atau memberikan bagian yang
lebih banyak kepada perempuan. Semuanya tergantung pada kesepakatan di antara
masing-masing ahli waris dalam melakukan pembagian harta warisan

B. Saran
Alhamdulillah, Demikian makalah ini yang telah kami buat dan kami paparkan,
sebagai manusia kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. maka
dari  itu kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat konstruktif sangat kami
harapakan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat  dan menambah ilmu pengetahuan bagi pemakalah khusunya dan bagi
para pembaca pada umumnya. Amiin
13

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008.

Buyamin. Ilmu-Ilmu Al-Quran. Penerbit; UJP (Unit Jurnal & Penerbit) STAIN
Watampone, Cv. Berkah Utami Makassar.2015

Anda mungkin juga menyukai