Anda di halaman 1dari 35

Oleh:

DWI AFITASARI
DWI PRAMESTI
ELMA RHETA AZIZAH
FILDZA NABILA ISMAHANI
PUTRI EVA ZULIA
ROZANA AFIFAH
SILVI NUR SUHAILIN
SOFIA WAN AFZA AMALIA SAFII
YUYUN NUR AFIFAH

SUMBER
HUKUM ISLAM
2

Sumber Hukum Islam:

▸ Menurut bahasa, sumber berarti tempat keluar, tempat menunjuk sesuatu,


atau asal pengambilan. Hukum secara bahasa adalah menetapkan sesuatu
atas sesuatu yang lain.
▸ Apabila dirangkai secara bahasa diperoleh pengertian sumber hukum Islam
adalah asal pengambilan dalam menetapkan sesuatu (peristiwa) sesuai
dengan ketentuan dalam agama Islam.
▸ Dengan kata lain bahwa sumber hukum Islam adalah dasar (landasan)
penetapan sesuatu hukum dalam Islam.

▸ Sumber hukum dalam islam, ada yang


disepakati (muttafaq) para ulama dan ada
yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf).
“ 1. Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum menurut ahli usul fiqih adalah sesuatu yang menurut
pemikiran yang sehat menunjukkan pada hukum syara' yang amali, baik
dengan jalan pasti maupun dengan jalan dugaan kuat. Dapat disimpulan
bahwa sumber hukum yang dimaksudkan di sini adalah pijakan manusia
dalam melakukan segala bentuk tindakan. Al-Qur'an dan as-Sunah
termasuk dua sumber hukum yang disepakati para ulama. Kedua
sumber tersebut merupakan pedoman pokok bagi manusia dalam
menjalankan perintah Allah Swt. Pada zaman Nabi Muhammad saw.
Banyak peristiwa hukum yang tidak terjadi. Oleh karena itu, persoalan
hukum yang terjadi setelah Nabi Muhammad saw. diselesaikan para ulama
dengan beragam cara sehingga melahirkan sumber hukum baru.
4 1. Klasifikasi Sumber Hukum:

A.Tinjauan dari Segi Asalnya: B. Tinjauan dari Segi Daya


Cakupnya
1) Naqli (nas)
adalah sumber hukum yang berasal dari 1) Kully
nas secara langsung yaitu Qur'an dan as- adalah sumber hukum yang
sunah Nabi Muhammad saw. mencakup banyak satuan hukum,
bahkan mencakup sebagian besar
2) Aqli (ra'yu) hukum yang sejenis.
adalah pikiran manusia yang terlepas dari
hawa nafsu. Sumber hukum ini disebut 2) Juz'i (tafsily)
juga dengan ijtihad, baik ijtihad adalah sumber hukum yang hanya
perseorangan maupun kolektif (ijma'). menunjuk pada satuan hukum.
C. Tinjauan dari Segi Kekuatannya

(1.) Qat'i
adalah sumber hukum yang mendatangkan keyakinan atau pasti.

a) Qat 'i wurud atau subut (cara datangnya atau penetapannya) adalah sumber hukum yang diyakini
(dipastikan) datangnya dari pembuat syara dengan jalan mutawatir, termasuk dalam kategori ini adalah Al-
Qur'an dan as-Sunah.

b) Qat'i dalalah (petunjuknya pada hukum) adalah sumber hukum yang lafal dan susunan katanya tegas dan jelas
menunjukkan arti dan maksud tertentu.
Misalnya, firman Allah Swt. dalam Surah an-Nisa' Ayat 12
Artinya: “Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka
tidak mempunyai anak...”
(Q.S. an-Nisa- /4: 12)
Dalalah (petunjuk) ayat tersebut adalah qat 'i, yakni jelas sekali sehingga tidak boleh dipahami menurut arti selain yang
ditunjuk oleh ayat itu sendiri. Dengan demikian, bagian suami dalam memusakai harta peninggalan istrinya yang
meninggal dengan tidak mempunyai anak adalah seperdua bagian,
tidak lebih dan tidak kurang.
6

2) Zanni
adalah sumber hukum yang mendatangkan penafsiran ulang dan menduga-
duga. Sumber hukum ini terdiri atas zanni wurud dan zanni dalalah.

a) Zanni wurud atau subut adalah sumber hukum yang diduga keras datangnya dari
pembuat syara, yakni sumber hukum yang diriwayatkan dengan cara atau jalan ahad
(diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang tidak mencapai derajat mutawatir,
misalnya hadis ahad).

b) Zanni dalalah adalah sumber hukum yang lafal dan susunan katanya tidak jelas dan tidak
tegas menunjukkan pada arti dan maksud yang tertentu. Sumber hukum ini ada dalam Al-
Qur'an dan as-Sunah.
7

HADIS IJMA’

QIYAS
AL- QUR’AN

SUMBER
HUKUM ISLAM
MUTTAFAQ:
1. Al-Qur’an
Al-Qur'an sebagai Sumber Hukum Pokok
1) Pengertian Al-Qur'an:

Menurut bahasa, kata “al Qur’an” adalah bentuk isim masdar dari kata
“qa-ra-a” yang berarti membaca yaitu kata “qur-a-nan” yang berarti yang
dibaca (bacaan).

Al-Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.,


dalam bahasa Arab melalui perantaraan Malaikat Jibril. Al-Qur'an diturunkan
sebagai pedoman hidup bagi manusia untuk mencari kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat, serta sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt. dengan membacanya.

Al-Qur'an sampai kepada manusia dengan pemberitaan secara mutawatir,


baik tertulis maupun lisan, dari generasi ke generasi, dan terpelihara dari
perubahan dan pergantian kata. Sejak Al-Qur'an diturunkan sampai saat ini
tidak mengalami pergantian dan perubahan sedikit pun.
10

2. Garis Besar Hukum dalam Al Qur’an

1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan AllahSWT, yang disebut ibadah. Ibadah ini dibagi tiga;
 Bersifat ibadah semata-mata, yaitu salat dan puasa.
 Bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat, yaitu zakat.
 Bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu haji.
Ketiga macam ibadah tersebut dipandang sebagai pokok dasar Islam, sesudah Iman. Hukumdan peraturan yang
berhubungan dengan ibadah bersifat tetap atau tidak berubah.

2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia (hubungan sesama manusia), yaitu yang disebut mu’amalat.
▸ Berhubungan dengan jihad.
▸ Berhubungan dengan penyusunan rumah tangga, seperti kawin, cerai, keturunan, pembagian harta pusaka dan Iain-lain.
▸ Berhubungan dengan jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan dll. Bagian ini disebut mu’amalat juga (dalam arti yang
sempit).
▸ Berhubungan dengan hukuman terhadap kejahatan, seperti qisas, hudud dll. Bagian ini disebut jinayat (hukum pidana).
Berbagai hukum dan peraturan yang berhubungan dengan masyarakat (mu’amalat) dapat dirumuskan melalui pemikiran.
Dia didasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan yang merupakan jiwa agama. Atas dasar kemaslahatan dan keman faatan ini,
hukum itu dapat disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu.
11
3. Kedudukan Al-Qur'an sebagai Sumber Hukum dan
Kehujjahannya

Mengenai kedudukan Al-Qur'an, para ulama sepakat bahwa Al-Qur'an


merupakan sumber dari segala sumber hukum Islam (masdar al-masadir). Tidak ada
sumber hukum dalam Islam yang melebihi dari Al-Qur'an. Semua sumber hukum kembali
(merujuk) pada Al-Qur'an. Kehujjahan Al-Qur' an sangat kuat, tidak memerlukan bukti
tentang kekuatannya sebagai dalil utama dalam Islam. Hal itu disebabkan Al-Qur'an
mempunyai i'jaz, yakni suatu kekuatan yang dapat menunjukkan dan menetapkan
kelemahan pihak lawan.

Sebagai bukti bahwa Al-qur'an itu datang dari Allah SWT, adalah kelemahan
orang-orang membuat tandingannya. Sekalipun orang-orang kafir telah berusaha
dengan sungguh-sungguh membuat surah-surah untuk menandingi Al-Qur'an, namun
sekali-kali hasilnya tidak memadai sedikit pun. Dengan kata lain, mereka tidak akan
mampu. Akhirmya, mereka harus mengakui akan kelemahan mereka dan mengakui
bahwa Al-Qur’an adalah di luar kemampuan manusia. Inilah sebagai bukti bahwa Al-
Qur an itu datang dari Allah Swt.

Ada empat prinsip dasar yang umum untuk memahami makna Al-Qur'an, yaitu
sebagai berikut.

a)Al-Qur'an merupakan keseluruhan syariat dan sendinya yang fundamental (bersifat dasar
/pokok).
b) Sebagian besar ayat-ayat hukum turun karena ada sebab yang menghendaki
penjelasannya. Oleh sebab itu, setiap orang yang ingin mengetahui isi Al-Qur'an secara
tepat perlu mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
c) Setiap berita kejadian masa lalu yang diungkapkan Al-Qur'an apabila terjadi penolakan,
baik sebelum maupun sesudahnya, penolakan tersebut menunjukkan secara pasti bahwa
isi berita itu sudah dibatalkan.
d) Kebanyakan hukum-hukum yang diberitalukan dalam Al-Qur' an bersifat kauli (pokok
yang berdaya cukup luas) sehingga diperlukan penjelasan dari as-Sunah yang merupakan
penjelas dari Al-Qur' an.
13

Sifat Al Qur’an dalam Menetapkan Hukum

▸ Tidak Menyulitkan
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu…”.(QS. Al Baqarah; 185)
▸ Menyedikitkan beban
▸ Bertahap dalam pelaksanaanya
Misal: dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga proses
o Menjelaskan manfaat khamar lebih kecil dibanding akibat buruknya
o Melarang pelaku shalat dalam keadaan mabuk
o Menegaskan hukum haram kepada khamar dan perbuatan buruk lainya
14

▸ Para ulama usul fiqh bersepakat bahwa Al-Qur'an merupakan sumber utama (pokok) hukum Islam yang
diturunkan Allah Swt. mujtahid tidak dibenarkan untuk menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum
membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Qur'an.

▸ Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan para ulama usul fiqh mengenai kewajiban ber-hujjah
dengan Al-Qur'an, di antaranya sebagai berikut.
 Al-Qur'an diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. (orang yang paling dipercaya) secara
mutawatir.
 Banyak firman Allah yang menjelaskan (menyertakan) bahwa Al-Qur' an itu datangnya dari Allah. (Lihat
Surah Ali Imran: 3; an-Nisa': 105; an-Nahl: 89)
 Mukjizat Al-Qur'an merupakan dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur' an yang datangnya dari Allah
Swt.
As-Sunah
As-Sunah sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
16 1.Pengertian As- Sunah

As-Sunah menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh, perbuatan yang senantiasa dilakukan, adat
kebiasaan, atau lawan dari kata bid'ah (perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang
sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan).

a) Menurut para ahli hadis, as-Sunah artinya: Perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, atau


keadaan Nabi Muhammad saw.

b) Menurut ahli ushul fiqih, as-Sunah adalah perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, atau


ketetapan-ketetapan Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan pembentukan hukum.

c) Menurut ahli fikih, as-Sunah adalah sesuatu yang dituntut oleh pembuat syara untuk dikerjakan
dengan tuntutan yang tidak pasti. Dengan kata lain, as-Sunah adalah suatu perbuatan jika
dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa.

Yang dimaksud dengan as-Sunah dalam pembahasan ini adalah as-Sunah sebagai sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Qur'an sebagai sumber hukum yang pertama.
17
2) Pembagian as-Sunah

a) Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah sering disebut dengan khabar atau berita berupa perkataan Nabi
Muhammad saw. yang didengar dan disampaikan oleh seorang atau
beberapa sahabat kepada orang lain.

b) Sunah Fi'liyah
Sunah fi'liyah adalah setiap tindakan (perbuatan) Nabi Muhammad saw. yang
diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain.

c) Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah adalah setiap ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Nabi Muhammad saw., tetapi beliau hanya diam dan tidak
mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegah menunjukkan persetujuannya.
18 3) Kedudukan dan Kehuijahan As-Sunah

As-Sunah sebagai dasar hukum Islam menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur'an.
Sumber-sumber hukum yang menetapkan bahwa as-Sunah menjadi hujjah bagi kaum
muslimin sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur'an diantaranya adalah Al-Qur'an,
as-Sunah, dan ijma' sahabat.
a) Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an, banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin agar
menaati Rasulullah saw.
b) As-Sunah
Rasulullah saw. menyuruh umatnya agar berpegang teguh pada sunah Rasulullah saw.
c) Ijma Sahabat
Para sahabat pada waktu Rasulullah saw. masih hidup selalu mengikuti petunjuk beliau dan
menjauhi segala yang dilarangnya, dengan tidak membedakan antara kewajiban kewajiban
taat kepada hukum-hukum yang diwahyukan Allah Swt. dalam Al-Qur'an dan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh beliau sendiri. Setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, para sahabat
tidak mendapatkanhukum-hukum dari Al-Qur'an, mereka meneliti hadis-hadis Rasulullah saw.
Yang dihafal oleh para sahabat.
19 4)Fungsi as-Sunah terhadap Al Qur’an

a) Menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur'an:
Fungsi as-Sunah sebagai penguat hukum peristiwa ditetapkan oleh dua buah sumber,
yaitu Al-Qur'an sebagai sumber yang menetapkan hukum dan as-Sunah sebagai sumber yang
menguatkannya. Peristiwa tersebut dapat dipahami dalam masalah salat, zakat, puasa, dan haji
yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur' an.

b) Memberikan penjelasan (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an:


1. Bayan Taqrir
Hadis/sunnah berfungsi untuk menguatkan atau menggaris bawahi maksud redaksi wahyu
(Al Qur’an). Bayan Taqrir disebut juga Bayan Ta’kid atau Bayan Isbat . Contoh : Hadis/sunnah
tentang penentuan kalender bulan berkenaan dengan kewajiban di bulan Ramadhan.

2. Bayan Tafsir
Hadis/sunnah berfungsi menjelaskan atau memberikan keterangan atau menafsirkan
redaksi Al Qur’an, merinci keterangan Al Qur’an yang bersifat global (umum) dan bahkan
membatasi pengertian lahir dari teks Al Qur’an atau mengkhususkan (takhsis) terhadap redaksi
ayat yang masih bersifat umum.
20 3. Bayan Tasyri’
Hadis/sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-
Qur’an. Hal ini dilakukan atas inisiatif Nabi SAW Atas berkembangnya permasalahan
sejalan dengan luasnya daerah penyebaran Islam dan beragamnya pemikiran para
pemeluk Islam. Inisiatif Nabi SAW yang didasarkan pada Alquran, membuat umat Islam
mentaati segala perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapannya. Nabi SAW senantiasa
berusaha menjelaskan dan menjawab pertanyaan beberapa sahabat tentang berbagai hal
yang tidak diketahuinya berdasarkan petunjuk Allah SWT. Meskipun pada mulanya dari
inisiatif beliau
Ijma’
Al-ijma' sebagai Sumber Hukum
22
Pengertian Ijma'
▸ Menurut bahasa, ijma' berarti kesepakatan. Dalam istilah ahli usul fiqih, berarti
kesepakatan para imam mujtahid (ahli ijtihad) dikalangan umat Islam tentang
suatu syarak (hukum Islam) pada suatu masa setelah Rasulullah saw. wafat.
▸ Berikut terdapat beberapa pengertian ijma' menurut etimologi, dalam hadis Nabi
saw., dan para ulama, antara lain sebagai berikut.

a) Ada dua macam pengertian ijma' secara etimologi (Chaerul Umam, 1998:73), yaitu
 Ijma berarti kesepakatan atau konsensus.
 Ijma berarti kebulatan tekad atau niat, yakni ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu.

b) Pengertian ijima dalam hadis Nabi saw, diartikan dengan membulatkan tekad.

c) Pengertian ijma menurut istilah para
ulama.
(1) Ulama usul fiqih, Ijma adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa tentang hukum syara mengenai
suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah saw. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saatnya terjadi
diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka bersepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut,
kesepakatan itu disebut ijma.

(2) Imam Al-Ghazali merumuskan tentang ijma dengan "Kesepakatan umat Muhammad saw. secara khusus
tentang suatu masalah agama " Pengertian ijma yang disampaikan Imam Al-Ghazali ini memberikan batasan
bahwa ijma harus dilakukan umat Muhammad saw. dan ijma tidak harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah
saw. Alasannya, karena pada masa Rasulullah saw ijma tidak diperlukan, mengingat keberadaan Rasulullah saw.
sebagai penentu/pembuat hukumi sehingga tidak memerlukan ijma.

(3) Basiq Djalil memberikan pengertian ijma adalah "Kesepakatan atau persetujuan miujtahid umat Muhammad
Saw., setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap suatu perkara (masalah) dari beberapa
perkara".

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ijma merupakan kesepakatan para Ulama dalam
memutuskan suatu perkara atau beberapa perkara untuk ditentukan hukum dari perkara tersebut dalam masa
waktu tertentu. Kesepakatan tersebut terjadi setelahnya Rasulullah wafat.
24
3) Macam macam Ijma sebagai sumber Hukum Islam

a) Ijma' Sarih
Ijma sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan
menyajikan pendapat masing-masing secara jelas, dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
Dengan kata lain, setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkap pendapatnya masing-
masing secara jelas. Menurut pendapat jumhur ulama, ijma' sarih merupakan ijma' hakiki, sekaligus dapat dijadikan
sebagai hujjah syar'iyyah (argumentasi menurut hukum Islam).

b) Ijma’ Sukuti
Ijma' sukuti adalah kesepakatan para ulama dengan penyampaian persetujuan sebagiannya secara jelas dan sebagian
ulama lainnya memberikan persetujuan tidak secara jelas terhadap hukum suatu peristiwa/kejadian tersebut. Secara
tidak jelas memberikan persetujuan, seperti diamnya (tidak berpendapatnya) para ulama terhadap suatu keputusan
hukum yang tengah dibahas/disepakati. Ijma sukuti merupakan ijma iktibari (bersifat pertimbangan, contoh, atau
pengajaran) karena mujtahid yang tidak memberikan tanggapan dengan ucapan belum tentu menunjukkan sikap
setuju. Oleh karenanya tidak ada jaminan akan adanya ijmak sehingga kehujahannya selalu dipertentangkan.

Secara umum para Ulama telah menyepakati bahwa ijma sarih menjadi sumber hukum Islam, sedangkan untuk ijma'
suküti menjadi sumber hukum Islam masih terdapat perbedaan dikalangan para ulama.
25
Ditinjau dari segi indikasi hukum yang qat 'i atau zanni, ijma' dapat dibedakan
dalam dua macam, yaitu ijmā' qat'i dan ijma zanni.

a) Ijma' Qat 'i


▸ Ijma qat'i adalah ijma sarih yang hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk
mengeluarkan hukum yang bertentangan, serta tidak dibolehkan mengadakan ijtihad
mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sarih terhadap syarak mengenai kejadian
tersebut.
b) Ijma Zanni
▸ Ijma'zanni adalah ijma' sukuti yang hukumnya atas suatu kejadian didasarkan atas dugaan
yang kuat, namun masih memungkinkan adanya ijtihad, mengingat ijtihad yang telah
dilakukan bukan pendapat semua mujtahid.
26

• Ditinjau dari Pelaku Ijtihad

▸ Selain ijma’ yang dilakukan seluruh umat, ada juga ijma’ yang dilakukan oleh sekelompok umat
saja. Misalnya adalah sebagai berikut :
1. Ijmâ’ sahabat, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijmâ’ khulafaurrasyidin, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu
pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak dapat
dilakukan lagi;
3. Ijmâ’ shaikhani, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4. Ijmâ’ ahli Madinah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijmâ’ ahli Madinah
merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi’i tidak
mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5. Ijmâ’ ulama Kufah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi
menjadikan ijmâ’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Jumhur ulama bersepakat bahwa ijma' dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam
setelah Al-Qur'an dan hadis apabila terpenuhinya empat unsur sebagai berikut:

 Adanya sejumlah mujtahid ketika ditetapkan hukum atas suats kejadian.


 Kesepakatan yang dibuat para mujtahid terhadap syarak (hukum Islam suatu masalah atau
kejadian itu lahir tanpa memandang perbedaan kelompok, negara, atau kebangsaan).
 Kesepakatan para mujtahid itu diringi dengan pendapat mereka maupun dalam bentuk fi'i
(perbuatan).
 Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum. Ijma' tidak dapat
didasarkan atas kesepakatan jumlah mayoritas, seperti hanya sebagian besar di antara
mereka yang mengadakan kesepakatan.
“ Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi. Maksudnya seluruh mujtahid pada masa setelah
wafat Nabi SAW. Dengan masing-masing mereka mengetahui masalah yang diijmakan tersebut mengemukakan pendapat
hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan yang bersifat mensepakatinya, maka hukum yang
diijmak tersebut menjadi aturan syara’ yang wajib diikuti dan tidak boleh mengingkarinya. Selanjutnya para mujtahid tidak
boleh lagi menjadikan hukum yang sudah disepakati itu menjadi garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara
ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus.

Syarat-syarat Mujtahid
Seorang dapat disebut sebagai seorang Mujtahid apabila sekurang-kurangnya memenuhi tiga syarat sebagai berikut :
1. Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan,
2. Al Qur’an.
3. Sunnah.
4. Masalah Ijma’ sebelumnya.
5. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
6. Menguasai ilmu bahasa Arab.

Al Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al Syariah (tujuan
syariat). Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus
mampu memahami maqasid al syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum
berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya
atas maqasid al Syariah.
Qiyas
Qiyas sebagai Sumber Hukum Islam
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan,
manganalogikan, membandingkan atau mengukur, Qiyas
juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan
meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan
mencari persamaan-persamaannya.

Para ulama ushul fiqh berpendapat, qiyas ialah


menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya
kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat bagian:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya (al maqis alaihi). Imam Al Amidi dalam Al
Mathbu’ mengatakan bahwa al ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya)
sendiri. Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan
minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh
terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

2. Far’u (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqîs), karena tidak terdapat
dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.

3. Hukm Al Asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Atau hukum
syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam al ashlu.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya.
Macam-macam Qiyas

Dilihat dari segi kekuatan illat dalam furu’ dibanding dengan yang ada dalam ashal, qiyas dibagi menjadi 3 macam
yaitu : qiyas aulawi, qiyas musawi, dan qiyas adna.

1. Qiyas Aulawi
Qiyas aulawi adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih kuat daripada illat yang terdapat pada ashal. Misalnya qiyas
larangan memukul orang tua dengan larangan menyakitinya atau berkata “ah” kepada mereka. Larangan memukul
lebih kuat atau perlu diberikan dibandingkan dengan larangan berkata “ah” yang terdapat pada
nash;
“...maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah”
(QS. Al-Isra:23)
Adapun persamaan illat antara keduanya adalah sama-sama menyakiti.

2. Qiyas Musawi
Qiyas musawi adalah qiyas yang setara antara illat pada furu’ dengan illat pada ashal dalam kepatutannya
menerima ketetapan hukum. Misalnya mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dalam menerima
separuh hukuman.
“...dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami…”
(QS. An-Nisa:25)
Contoh lainnya : hukum memakan harta anak yatim secara aniaya sama hukumnya dengan membakarnya. Maka
dari segi illatnya, keduanya pada hakikatnya sama samabersifat melenyapkan kepemilikan harta anak yatim.
3. Qiyas Adna
Qiyas adna adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih rendah daripada illat yang terdapat pada ashal. Misalnya
mengqiyaskan haramnya perak bagi laki-laki dengan haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya
adalah untuk berbanggabangga. Bila menggunakan perak merasa bangga
apalagi menggunakan emas akan lebih bangga lagi.

Dilihat dari segi kejelasan yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi 2 macam yaitu sebagai berikut :

a. Qiyas Jalli
Qiyas jalli adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashal. Nash tidak
menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu’.
Misalnya mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dan mengqiyaskan setiap minuman yang
memabukkan dengan larangan meminum khamr yang sudah ada nashnya.

b. Qiyas Khafi
Qiyas Khafi adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash. Misalnya
mengqiyaskan pembunuhan menggunakan alat berat dengan pembunuhan
menggunakan benda tajam.
Dilihat dari segi persamaan furu’ dengan ashal, qiyas dibagi menjadi 2 macam
yaitu :
c. Qiyas Syabah
Qiyas syabah adalah qiyas furu’nya dapat diqiyaskan dengan dua ashal atau lebih. Tetapi diambil ashal
yang lebih banyak persamaannya dengan furu’. Misalnya zakat profesi yang dapat diqiyaskan dengan
zakat perdagangan dan pertanian.

d. Qiyas Ma’na
Qiyas Ma’na adalah qiyas yang furu’nya hanya disandarkan pada ashal yang satu. Jadi korelasi antara
keduanya sudah sangat jelas. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua dengan perkataan “ah”
seperti yang ada dalam nash pada penjelasan sebelumnya.

Jadi secara keseluruhan macam-macam qiyas terebut ada tujuh yaitu : qiyas aulawi,
qiyas musawi, qiyas adna, qiyas jalli, qiyas khafi, qiyas syabah, dan qiyas ma’na.
35

THANKS!
Any questions?

Anda mungkin juga menyukai