Anda di halaman 1dari 15

MAFHUM MANTUQ, MUJMAL DAN MUBAYYAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadits
yang dibina oleh:
Ibu Ermita Zakiyah,M. Th.I

Oleh Kelompok 4:
Fazia Ulhaq (18410087)
Anggi Sukma Wati (18410172)
Faridah Minhatun Bahijah (18410200)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
SEPTEMBER 2019
Kata Pengantar

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan tugas
makalah ini tentang “Mafhum Mantuq, Mujmal dan Mubayyan “, guna memenuhi tugas mata
kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadits. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, walaupun banyak
kendala yang kami dalammenyelesaikan makalah ini. Namun kami menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan dan dorongan, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang kaitan konsep
Mujmal danMubayyan, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi,referensi, dan berita. Namun dengan penuh kesabarandan terutama pertolongan dari
Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pengampu, kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan.

Malang, September 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Alqur’an dan alhadits merupakan pedoman bagi umat islam, setiap tindakan seorang
muslim haruslah sesuai dengan tuntunannya atau setidaknya tidak bertentangan dengan
keduanya . akan tetapi untuk memahami maksud yang terkandung dalam alqur’an dan hadits
tidaklah semudah yang kita pikirkan dengan akal, melainkan membutuhkan ilmu yang
menjelaskan kesamaran dan menyingkap maksud-maksud dalam alqur’an dan hadits. Salah
satu ilmu tersebut adalah ilmu ushul fiqih.

Suatu pembahasan ushul fiqih yang membantu memahami dan menjelaskan suatu
maknaadalh mantuq mafhum dan mujmal mubayyan.Pembahasan meneanai ini sangat penting,
karna untuk mendapatkan suatu pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas
mengenai suatu makna perkataaan yang teliti.

Dengan mengetahui mantuq mafhum dan mujmal mubayyan ini kita dapat
mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut
karena masih bersifat umum dan jelas sehingga maksudnya dapat di uraikan dengan jelas.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana definisi dari Mafhum Mantuq, Mujmal dan Mubayyan?


2. Bagaimana macam-macam dari Mafhum Mantuq?
3. Bagaimana pembagian Mujmal dan Mubayyan?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan definisi dari Mafhum Mantuq, Mujmal dan Mubayyan.


2. Untuk menjelaskan macam-macam dari Mafhum Mantuq.
3. Untuk menjelaskan pembagian Mujmal dan Mubayyan.
BAB I

PEMBAHASAN

A. Definisi Mafhum Mantuq, Mujmal dan Mubayyan


a) Mafhum Manthuq
Manthuq berasal dari Bahasa Arab dari kata nathaqa yang berarti berbicara, berkata,
mengucapkan. Sedangkan menurut istilah Manthuq adalah ma’na yang ditunjukkan oleh lafaz,
yang ada (disebutkan) pada lafaz tersebut. Dan menurut Ma’bad, Manthuq merupakan suatu
(makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya yakni penunjukkan makna
berdasarkan materi huruf huruf yang diucapkan. Al – Qatthan menjelaskan manthuq adalah
suatu makna yang ditunjukkan oleh lafadz menurut ucapannya, yakni petunjuk makna
berdasarkan materi huruf huruf yang diucapkan.
Lafaz mafhum berasal dari Bahasa Arab yang artinya memahami. Sedangkan menurut
istilah, mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz, yang tidak disebutkan pada lafadz
tersebut. Seperti firman Allah SWT.

َ‫أُف لَ ُه َما تَقُل فَل‬

“ Maka jangan kamu katakana kepada kedua orang ibu bapakmu perkataan yang keji “

( Q.S Al-Isra’ ayat 23 ).

Dalam ayat tersebut terdapat pengertian Mantuq dan Mafhum, pengertian Mantuq yaitu
ucapan lapadz itu sendiri ( yang nyata = Uffin ) jangan kamu katakana perkataan yang keji
kapada kedua orang tua ( ibu bapak) mu. Sedangkan Mafhum yang tidak disebutkan yaitu
memukul dan menyiksanya ( juga dilarang), karena lafadz –lafadz yang mengandung kepada
arti , diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinmakan Mantuq dan tidak nyata disebut
Mafhum .

b) Mujmal

Secara etimologi, al-Mujmal berarti global atau tidak terperinci1, secara umum dan
keseluruhan atau bisa juga sekumpulan sesuatu tanpa memperhatikan satu persatunya.2
Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa redaksi yang diberikan beberapa ahli Ushul
berikut ini. Menurut Hanafiyah, mujmal adalah lafal yang mengandung makna secara global

1
Rachmat Syafe’I,Ilmu Ushul Fiqih, (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 166.
2
Abdul Aziz Dahlan (et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), h. 1214.
dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri,
melainkan melalui penjelasan dari pembuat syari’at yakni Allah SWT dan Rasulullah saw.3

Sedangkan menurut Jumhur ulama ushul fiqh, mujmal adalah perkataan atau perbuatan
yang tidak jelas petunjuknya.4Abu Ishaq al-Syirazi (w.476 H) ahli ushul fiqh dari kalangan
Syafi’iyah, mujmal adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau bila ada penafsiran dari pembuat mujmal
(Syari’).5 Selain itu, al-Bazdawi dalam kitab ushul fiqhnya, mengajukan definisi mujmal yaitu
ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud
di antara makna-makna tersebut tidak jelas ( kabur ).

Sementara itu, ada juga pengertian mujmal yang dikemukakan Zakiuddin Sya’ban (guru
besar dalam bidang syari’ah pada fakultas hukum Universitas ‘Ayn Syams Mesir), yaitu lafal
yang tidak bisa dipahami maknanya kecuali dengan penafsiran dan penjelasan dari penyampai
atau pembuat lafat mujmal itu sendiri.6

Berdasarkan beberapa pengertian mujmal secara istilah di atas, dapat dipahami bahwa
meskipun masing-masing ahli ushul berbeda dalam memberikan redaksinya, namun secara
substansi, semuanya saling melengkapi dan mengarah pada makna yang sama yaitu suatu lafal
atau ungkapan yang belum jelas dan tidak dapat dipahami maksudnya dan untuk
mengetahuinya diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan inilah disebut dengan al-bayan,
baik penjelasan itu dari Allah langsung atau pun penjelasan melalui Rasulullah Saw.Dengan
demikian, dapat pula dikatakan bahwa mujmal adalah lafal yang kandungan maknanya masih
global dan memerlukan perincian atau penjelasan dari pembuat mujmal atau syara’ itu sendiri.

c) Mubayyan

Secara etimologi, al-Mubayyanberarti ‘yang menjelaskan atau yang merinci. Sedangkan


menurut istilah, terdapat dua redaksi yang sama-sama dikemukakan Ulama Ushul Fiqh tentang
pengertian al-Mubayyan. Pertama, al-Mubayyanadalah upaya menyingkapkan makna dari
suatu pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terperinci hal-hal yang tersembunyi dari
pembicaraan tersebut kepada orang-orang yang dibebani hukum (mukallaf).Kedua, al-
Mubayyan adalah mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.9Maksudnya ,

3
H. Satria Efendi,Zein, Ushul Fiqh, (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2005), h. 228.
4
Abdul Aziz Dahlan,et al.(ed.),loc. cit.
5
Rachmat Syafe’I,loc. cit.
6
Zakkiy al-Din Sya’ban,Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Mesir: Dar al-Ta’lif, 1964) , h.
358. 9 Abdul Aziz Dahlan (et. All.), op.cit., h. 1216.
jika ada suatu ungkapan yang masihmujmal(samar), maka denganmubayyanungkapan itu
menjadi jelas.

Berdasarkan kedua definisi tentang al-Mubayyan di atas, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan al-Mubayyan adalah suatu lafal atau perkataan yang jelas maksudnya setelah
mendapatkan penjelasan dari lainnya,baik dari Allah langsung atau melalui penjelasan sunnah
Rasulullah SAW.

Dengan demikian, jika sunnah Rasulullah SAW. dikatakan sebagai mubayyanterhadap


alQur’an, berarti sunnah Rasulullah SAW. tersebut berfungsi sebagai penyingkap hal-hal yang
sulit (samar) ditangkap dari ayat-ayat al-Qur’an, serta berfungsi untuk menjelaskan kandungan
ayat-ayat itu kepada umat Islam, baik melalui perkataan, perbuatan maupun
penetapan/pengakuan (taqrir) Rasulullah SAW. terhadap perbuatan para sahabat.

Dalam Rangka memberikan penjelasan inilah, sebenarnya merupakan tujuan Allah


mengutus Rasulullah SAW. kepada umat manusia, lebih-lebih umat Islam, sesuai dengan
firman-Nya dalam surat an-Nahl (16): 44 dan 64.

B. Macam-macam Mafhum Mantuq

1) Manthuq
Ma’bad dalam kitabnya Nafahaat min ‘Ulum al-Qur’an, membagi Manthuq kepada lima
macam :
1. Manthuq Nash
Manthuq Nash adalah lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang
dimaksud secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Hal ini seperti firman
Allah :
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali.
Itulah sepuluh hari yang sempurna …” QS. Al Baqarah : 196
Penyipatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh”
ini diartikan secara majaz. Inilah ysng dimaksud dengan Nash. Nash dibagi menjadi dua :
a. Nash sharih (jelas) apabila lafadz yang digunakan ditunjukkan dengan tegas dan jelas
maknanya.
b. Nash ghair syarih (tidak jelas), yakni manthuq yang maknanya bukan muncul dari
makna yang diletakkan untuknya, namun demikian makna itu adalah sesuatu yang tidak
terpisahkan darinya.
2. Manthuq Zhahir
Manthuq Zhahir ini memungkinkan dua makna dalam satu lafadz, tetapi salah satu dari
makna tersebut segara dipahami ketika diucapkan, dan yang lainnya lemah. Hal ini seperti
firman Allah :
‫ّللا لغَير به أُه َّل َو َما الخنزير َولَح َم َوالدَّ َم ال َميتَةَ َعلَي ُك ُم َح َّر َم إنَّ َما‬ ُ ‫ۚ َعلَيه إث َم فَ َل َعاد َو َل بَاغ غَي َر اض‬
َّ ۖ ‫ط َّر فَ َمن‬
َّ ‫َرحيم َغفُور‬
‫ّللاَ إ َّن‬
“Maka barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak pula
malampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang” (QS Al Baqarah : 173)
Lafadz “Bag” digunakan untuk makna “al-Jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “al - Zalim”
(melampaui batas, zalim), tetapi kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan lebih umum
digunakan.
3. Manthuq Muawwal

Manthuq Muawwal ialah lafadz yang diartikan dengan makna marjuh (tidak
diunggulkan) karena ada satu dalil yang menghalangi di maksudkannya makna yang rajah
(diunggulkan).

4. Manthuq Iqtidha’
Manthuq Iqthida’ merupakan sisipan kata yang tersirat pada redaksi tertentu yang tidak
bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
5. Manthuq Isyarah
Ialah suatu pengertian yang ditunjukan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian
aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau keonsekuensi dari hokum yang ditunjukkan
oleh redaksi itu.
2) Mafhum
1. Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah ialah apabila keadaan makna yang tidak disebutkan itu sesuai
dengan makna yang disebutkan.
2. Mafhum Mukhalafah
Mafhum Mukhalafah ialah apabila keadaan makna yang tidak disebutkan itu
merupakan kebalikan dari makna yang disebutkan dalam hukumnya, pada itsbat dan nafyinya.
Mafhum ini disebut juga “dalil khitab”. Pada mafhum ini ada 6 syarat :
a. Tidak bertentangan dengan yang lebih diunggulkan darinya, baik berupa Manthuq atau
Mafhum Muwafaqah
b. Yang disebutkan bukan dalam rangka menyebut niikmat
c. Manthuq bukan suatu kejadian yang khusus
d. Yang disebutkan bukan dalam rangka mengagungkan atau menguatkan keadaan
e. Manthuq disebutkan secara terpisah, bukan mengikuti urusan lain
f. Manthuq bukan dalam rangka menyebut keghaliban

C. Pembagian Mujmal dan Mubayyan


1) Al-Mujmal

Lafal mujmal jika dilihat dari segi penyebab kemujmalannya, terbagi menjadi tiga macam,
yaitu:

a) Lafal itu mengandung makna lebih dari satu dan tidak ada makna yang menentu untuk

diketahui atau dengan kata lain lafal itu muystarak. Sebagai contoh: seandainya ada seorang
lakilaki yang mewasiatkan sepertiga hartanya kepada para hamba atau budak-budaknya.
Sementara ia juga memiliki beberapa budak dan juga bekas tuan-tuannya yang telah
memerdekakannya, sehingga kemudian orang tersebut meninggal dan dia belum sempat
menjelaskan tentang siapa-siapa diantara dua golongan itu yang dia kehendakinya. Karena
sesungguhnya lafal al-Mawali pada wasiat itu bersifat mujmal. Hal Ini disebabkan makna yang
dikehendaki salah satu keduanya, dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali dari orang
yang bersangkutan. Dan ini adalah menurut pendapatnya ulama Hanafiyah.

Contoh lainnya adalah surat al-Baqarah (2) ayat 228:

‘Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…7

Lafal quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara etimologi mengandung dua
makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih salah satu makna, maka harus didukung oleh dalil
lain, baik dari al-Qur’an, sunnah, maupun melalui ijtihad.

b) Lafal-lafal yang dinukilkan oleh Syari’ dari arti kata secara bahasa yang sudah dikenal
dan dialihkan menjadi istilah khusus (teknis dalam hukum) yang dikehendaki Syari’, seperti
kata-kata sholat, zakat dan haji. Padahal di kalangan orang Arab, kata-kata ini sudah umum
dan digunakan oleh mereka. Namun kemudian, Syari’at datang dan menghendaki makna
khusus yakni yang terkait dengan hukum. Sehingga (makna-makna) dari lafal-lafal itu tidak
bias diketahui kecuali melalui penjelasan dari Syari’. Oleh karena itu, bila ada kata-kata

7
Ibid., h. 45.
tersebut dalam teks hukum Islam (nash Syar’i) maka ia disebut lafal mujmal, hingga ada
(datang) penjelasan Syari’ dan jika tidak ada penjelasannya, maka tidak ada cara (jalan) untuk
mengetahuinya. Karenanya, sunnah Nabi saw, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan
berfungsi untuk menafsirkan (menjelaskan) arti kata sholat termasuk juga rukun, syarat dan
tata caranya. Demikian juga sama dengan penjelasan as-Sunnah terkait zakat dan haji dalam
nash.8
c) Lafal yang maknanya asing ketika digunakan. Seperti kata “‫ “ الهلوع‬dalam firman Allah
SWT,yakni Surat al-Ma’arij ayat 19:

‘Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagikikir.9

Pada ayat tersebut, kata “‫ “ الهلوع‬memiliki arti sangat keluh kesah dan sedikit sabar. Kata
ini disebut mujmal karena penggunan artinya yang asing ini tidak dapat diketahui kecuali oleh
Syari’ sendiri, mengingat Syari’lah yang menyifati manusia dengan kata “‫ “ الهلوع‬tersebut.14

2) Al-Mubayyan

Al-Mubayyan atau lafal-lafal yang memberikan dan menjelaskan makna lafal-lafal yang
mujmal dalam al-Qur’an, oleh ulama ushul fiqh juga disebut dengan al-Bayan. Dan menurut
mereka al-Bayan terbagi menjadi beberapa macam/fungsi, yaitu:

a. Menjelaskan isi al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global. Misalnya
hadis fi’liyah Rasulullah SAW. yang menjelaskan cara melakukan sholat yang diwajibkan
dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah/2:110:

‘Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.10

Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban shalat, namun sifatnya masih global, karena
ayat tersebut tidak merinci berapa kali, berapa rakaat dan bagaimana tata cara
mengerjakannya.11 Oleh karena itu, datanglah hadis Rasulullah yang berfungsi untuk
menjelaskan kemujmalan/global nya ayat tersebut. Hadis yang dimaksud adalah ‫ﺻلوا ﻛما‬
‫رايتمونﻲ ا ﺻلﻲ‬

8
Zakkiy al-Din Sya’ban,loc.cit.
9
Departemen Agama RI, op. cit., h. 836. 14Ibid., h.
359.
10
Departemen Agama R.I., op.cit., h. 21.
11
Nasrun Haroen, Nasrun Haroen ,Ushul Fiqh,( Cet. 2; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 49.
17
Ibid., h. 105.
‘Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya melakukan shalat (H.R. Bukhari dan
Muslim).

Di samping itu, ada juga contoh hadis yang berfungsi menjelaskan ayat yang masih
umum dalam al-Quran yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian
dari cakupan lafal umum itu, bukan seluruhnya. Hadis tersebut adalah

‫وعمتهاعن ابﻲ هر ير ة يقول نهﻰ رﺳول ﷲ ﺻلﻰ ﷲ عليه وﺳلم ان يﺠمﻊ الرﺟل بين المراة‬

.(‫) رواه الﺒخا ري ومﺴلم‬

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. melarang memadu antara seorang
wanita dengan bibinya, saudara ayah atau ibu (H.R. Bukhari dan muslim). Hadis di
atasmentakhsiskeumuman Q.S. an-Nisa’

‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagaiketetapan-Nya atas
kamu.dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya( dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha
Bijaksana.’17

Ayat ini menegaskan boleh mengawini selain wanita-wanita yang telah disebutkan
sebelumnya, seperti ibu, saudara perempuan, anak saudara dan lain-lainnya yang tersebut
dalam ayat 23 sebelumnya. Sebelum datang hadis tersebut berdasarkan kepada keumuman ayat
24 surat an-Nisa’, boleh memadu seorang wanita dengan bibinya. Persepsi seperti inilah yang
dihilangkan oleh datangnya hadis pentakhsis tersebut, sehingga maksud ayat tersebut tidak lagi
mencakup masalah poligami antara seorang wanita dengan bibinya.

b. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajban yang disebutkan
pokok-pokoknya di dalam al-Qur’an. Misalnya masalah Li’an, yaitu bilamana seorang suami
menuduh istrinya berzina, tetapi suami tersebut tidak mampu menghadirkan empat orang saksi,
padahal istrinya tidak mengakuinya, maka sebagai jalan keluarnya adalah dengan cara Li’an,
yaitu suami bersumpah empat kali bahwa tuduhannya adalah benar dan pada kali kelima, ia
berkata La’nat Allah atasku jika aku termasuk ke dalam orang yang berdusta. Setelah itu istri
juga mengadakan sumpah sebanyak lima kali sebagai bantahan terhadap tuduhan suaminya
tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. an-Nur (24): 6-9.

‘Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan namaAllah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah
Sesungguhnyasuaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah)
yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang
benar.’12

Dengan Li’an ini, maka suami terhindar dari hukuman qazaf (delapan puluh kali dera
atas orang yang menuduh orang lain berzina tanpa saksi) dan istri pun bebas dari tuduhan zina.
Namun karena dalam ayat itu tidak dijelaskan apakah hubungan diantara suami-istri itu masih
lanjut atau putus.Maka datanglah Sunnah Rasulullah menjelaskan hal itu yaitu bahwa diantara
keduanya dipisahkan utuk selama-lamanya. Al-Nasa’I dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
SAW.

c. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Qur’an. Contohnya: Hadis riwayat
AlNasa’I dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda mengenai keharaman memakan
binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar sebagaimana
disebutkan dalam hadis berikut ini:

‫(عن ابﻲ هريرة عن النﺒﻲ ﺻلﻰ ﷲ عليه وﺳلم ﻗال ﻛل ذي ناب من الﺴﺒاع فاﻛله حرام (رواه النﺴائ‬

‘Dari Abu Hurairah, Nabi saw. Bersabda smua jenis binatang buruan yang mempunyai
taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memakannyaadalah
haram.’(H.R. anNasa’i).

Terkait dengan pembagian lafal dari segi mujmal dan mubayyan di atas, dikalangan para
ulama ushul juga terdapat perbedaan pendapat, yang secara garis besar terbagi menjadi dua
kelompok/golongan.Golongan yang pertama, yaitu golongan Hanafiyah yang membagi lafal
dari segi kejelasan terhadap makna (al-mubayyan) dalam empat bagian, yaitu: zhahir, nash,

12
Ibid., h. 18.
mufassardan muhkam. Sedangkan dari segi ketidakjelasannya lafal, mereka membaginya
menjadi empat macam pula, yaitu:khafi, musykil, mujmaldanmutasyabih.

Golongan kedua, yaitu jumhur dari kalangan mutakallimin yang dipelopori oleh asy-
Syafi’i, yang membagi lafal dari segi kejelasan maknanya menjadi dua bagian, yaitu:
zhahirdannash. Kedua bentuk lafal ini disebut dengan kalam mubayyan.Sedangkan dari segi
ketidakjelasan, mereka membaginya menjadi dua, yakni mujmaldan mutasyabih. Berikut ini
adalah uraian singkat tentang pembagian lafal dari segi mujmal dan mubayyannya berdasarkan
pendapat kedua golongan tersebut.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa lafal ditinjau dari segi kejelasan
maknanya, menurut kalangan Hanafiyah itu ada empat, yaitu:

1. Zahir

Al-Baidhawi memberikan definisi zhahir adalah suatu nama bagi seluruh perkataan yang
jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafal itu sendiri. Definisi lain tentang zhahir
juga dikemukakan oleh Al-Sarakhsi, yaitu sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari
pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.13

Dari dua definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu bergantung
pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafal itu sendiri. Akan tetapi
lafal ini tetap mempunyai kemungkinan makna lain, karena makna lain itulah yang menjadi
maksud utama dari pihak yang mengucapkannya. Sebagai contoh, dalam Q.S. al-Baqarah/2:
275 , Allah berfirman :

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.20

Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba.
Petunjuk tersebut diambil dari lafal itu sendiri tanpa memerlukan qarinah/indikator lain.
Namun bukan pengertian ini yang dimaksud, tetapi persoalan pembedaan jual beli dengan riba,
karena ayat tersebut adalah sebagai jawaban atas pernyataan orang musyrik yang menyamakan
jual beli dengan riba yang dibeberkan dalam penggalan ayat sebelumnya, yakni:
‘Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli sama dengan di riba...(Q.S. al-Baqarah/2: 275).14

13
Rachmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Cet. II;,(Bandung: Pustaka Setia, 2007) , h.
152. 20 Departemen Agama R.I., op.cit.,h. 58.
14
Ibid.
Kedudukan lafal zhahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk lafal itu sendiri,
sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya, atau menasakhnya. 15

2. Nash

Nash, yaitu lafal yang menunjukkan pengertian secara jelas dan memang pengertian
itulah yang dimaksudkan oleh konteksnya. Misalnya, ayat 275 dari Surat al-Baqarah di atas
dalam pengertian bahwa ayat itu menunjukkan pembedaan antara jual beli dan riba. Contoh
lain adalah Q.S. an-Nisa’/4: 12:

‘…Sesudah dipenuhi wasiat yang dia ucapkan atau (dan) sesudah dibayar utangnya...16

Ayat di atas, menunjukkan bahwa harta warisan boleh dibagikan antara ahli waris setelah
ditutupi/dipenuhi wasiat dan utang si mati. Pengertian itulah yang dimaksud dengan pengertian

nash dari ayat tersebut. Karena itu, kaidah yang berlaku di sini adalah wajib mengamalkan
pengertian nashtersebut, namun mengandung kebolehjadian untuk dita’wi kepada pengerti lain
bila ada indikasi atau dalil/qarinah yang menunjukkan untuk itu.17

3. Mufassar

Mufassar adalah lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan rinci tanpa
ada kemungkinan untuk dipalingkan kepada pengertian lain (ta’wil) atau ditakhsis, namun
masih ada kemungkinandinasakh. Lafalmufassar terbagi menjadi dua:

a) Lafal yang maknanya jelas dan terinci dari semula tanpa memerlukan penjelasan.
Contohnya, ayat 4 surat an-Nur yang menjelaskan jumlah delapan puluh kali dera atas
orang yang melakukanqazf, yaitu menuduh orang baik-baik berzina tanpa ada saksi.

b) Lafal yang pada mulanya adalahmujmalatau dalam bentuk global kemudian dari
pembuat syari’at sendiri datang penjelasan yang merincinya sampai jelas bisa
diamalkan. Contohnya, kata sholat, zakat dan haji dalam al-Quran adalah kata-kata
mujmalatau global, tanpa terinci cara-cara pelaksanaannya. Namun lafal-lafal itu
menjadi mufassar karena telah dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah saw.

15
H. Satria Efendi,Zein, Ushul Fiqh, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 224.
16
Departemen Agama R.I., op.cit., h. 102.
17
Abd.Rahman Dahlan, Ilmu Ushul Fiqh( Jakarta: Amzah, 2010), h. 265.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Definisi antuq ialah yang ditunjukan oleh lafadz di tempat pembicaraan dan Mafhum ialah :
Pengertian yang ditunjukan oleh lafadz tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman
terhadap ucapan tersebut.
Mantuq terbagi dua ada Nash dan Zahir, Zahir , yaitu : Suatu perkataan yang menunjukan
sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan. Sedangkan Nash
yaitu : Suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi.
Pembagian mafhum juga terbagi dua ada Mafhum Muwafaqah dan mafhum mukholafah,
mahfum muwafaqah terbagi lagi menjadi dua ada Fahwal khitab dan Lahnal Khitab. Sedangkan
Mafhum Mukholafah terbagi enm yaitu Mafhum Shifat, Mafhum illat,Mafhum Adat,Mafhum
Ghayah,Mafhum Had dan Mafhum Laqaab.

Adapun mujmal adalah lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam
menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya dan
mubayyan adalah. lafaz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau dengan lafaz lainya.

Mubayyan terbagi menjadi tujuh bagian yaitu: Penjelasan dengan perkataan Penjelasan
dengan mafhum perkataanPenjelasan dengan perbuatan,Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan”
Penjelasan dengan IsyaratPenjelasan dengan tulisanPenjelasan dengan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA

Mujib AS, Abdul. Kamus Al Azhar. Tangerang : Bintang Terang

Hakim, Abdul Hamid. (1927). Mabadi Awwaliyah. Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putra

Ma’bad, Muhammad Ahmad. (2008). Nafahaat min “Ulum al – Quran. Kairo : Dar as Salam

Atabik, Ahmad. (2015). Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam : Peranan Manthuq dan
Mafhum dalam Menetapkan Hukum dari Al Quran dan Sunnah. Vol. 6. No. 1.Kudus : STAIN
Kudus

Anda mungkin juga menyukai