Anda di halaman 1dari 15

QATH’I DAN DZANNI

MAKALAH USHUL FIQH

DOSEN Hj. RATU HAIKA, M.Ag

OLEH :

NOVITA RIZKI WULANDARI

20.2.21.036

PRODI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SANGATTA

KUTAI TIMUR 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul Qath’I dan Dzanni
tepat waktu.

Makalah Qath’I dan Dzanni disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata
kuliah Ushul Fiqh di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sangatta. Selain itu,
penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang Qath’I dan Dzanni.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Hj. Ratu


Haika, M.Ag selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Sangatta, 05 Maret 2021

Novita Rizki Wulandari


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 4
A. Latar Belakang .................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan................................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 6
A. Pengertian Qath’I dan Dzanni .......................................................................... 6
B. Contoh-contoh Qath’I dan Dzanni.................................................................... 9
C. Pendapat Para Ulama tentang Qath’I dan Dzanni ......................................... 10
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 15
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nash nash dalam Al-Qur’an semuanya adalah pasti (qath’i) bila
ditinjau dari datangnya, ketetapannya, dan ke-nukilan-nya dari rasulullah
saw kepada umatnya. Artinya kita memastikan bahwa setiap nash Al-
Qur’an yang kita baca hakikatnya nash Al-Qur’an yang diturunkan oleh
Allah kepada Rasul-Nya, dan disampaikan oleh Rasulullah saw yang
ma’sum kepada umatnya tanpa perubahan atau pergantian. Lantaran
Ma’sumnya Rasulullah saw, maka Ketika turun surat atau ayat
disampaikannya oleh Rasulullah saw kepada para sahabat dan dibacakan
untuk ditulis (ada pula yang menulis untuk dirinya sendiri) serta untuk
dihapal dan dibaca saat melakukan shalat. Mereka juga beribadah dengan
cara membaca pada setiap saat.
Rasulullah saw wafat Ketika ayat Al-Qur’an telah dita’winkan
(dibukukan) menurut kebiasaan penta’winan bangsa arab. Ketika zaman
Abu Bakar As-Shiddiq, beliau mengumpulkan Al-Qur’an dengan perantara
Zaid bin Tsabit dengan sebagian para sahabat yang dikenal hafalannya.
Kemudian Al-Qur’an dihimpun berdasarkan urutan yang pernah dibacakan
Rasulullah saw semasa hidupnya. Upaya memelihara Al-Qur’an yang telah
dihimpun ini dilakukan oleh Abu Bakar semasa hidupnya, kemudian
dilanjutkan oleh Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar, himpunan Al-
Qur’an itu diserahkan kepada putrinya Hafsah, Ummul Mu’minin, Ketika
Utsman menjadi khalifah, kumpulan Al-Qur’an itu diambil dan
dimushafkan (dibukukan). Pembukuan itu dilakukan melalui Zaid bin
Tsabit dibantu beberapa sahabat kemudian dikirim ke beberapa negeri
islam.
Dengan demikian Abu Bakar berhasil memelihara himpunan Al-
Qur’an, kemudian disebarkan keseluruh umat islam, sehingga mereka tidak
saling berbeda dalam membacanya. Demikianlah keadaan umat islam yang
jumlahnya telah mencapai jutaan manusia yang bermukim di berbagai
benua seluruhnya membaca Al-Qur’an tanpa ada perselisihan. Maka
benarlah janji Allah SWT yang disebutkan dalam surat al-Hajr : 9

ِّ ‫اِنَّا نَحْن نَ َّزلْنَا‬


‫الذك َْر َواِّنَّا لَه لَ َح ِّفظ ْو َن‬

Artinya :“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan


sesungguhnya ،ami benar benar memeliharanya.” (Qs. Al hajr: 9)

Nash-nash Al-Qur’an itu bila ditinjau dari segi dalalah bagi hukum yang
ada didalamnya dibagi menjadi dua bagian yaitu :

a. Nash yang Qath’i


b. Nash yang Dzanni

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Qath’I dan Dzanni ?
b. Apa saja contoh Qath’I dan Dzanni ?
c. Bagaimana pendapat para ulama tentang Qath’I dan Dzanni ?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dari Qath’I dan Dzanni
b. Untuk mengetahui contoh-contoh Qath’I dan Dzanni
c. Untuk mengetahui pendapat para Qath’I dan Dzanni
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Qath’I dan Dzanni
1. Qath’I
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Qath’i secara etimologi
bermakna yang definitive (Pasti).1 Secara terminology, menurut
Muhammad Hashim Kamali, Nash qath’i adalah nas yang jelas dan
tertentu yang hanya memiliki satu makna dantidak terbuka untuk makna
lain, atau hanya memiliki satu penafsiran dan tidak terbuka untuk
penafsiran lain. Dan menurut Abdul Wahab Khallaf, sama dengan
pandangan Hashim Kamali di atas, bahwa Nas yang qath’I dalalanya
ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang bisa difahami secara
tertentu, tidak ada kemungkinan menerima takwil, tidak ada tempat bagi
pemahaman arti selain itu.
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, baik Hashim Kamali
maupun oleh Abdul Wahhab Khallaf maka dapat-lah disimpulkan
bahwa untuk menentukan nash qath’i al-dalalah ternyata memiliki cirri
tertentu, yaitu: Pertama, nashnya jelas dan makna yang dikandungnya
tegas dan hanya memiliki satu makna, tidak bisa mengandung isytiraqul
makna dan juga hanya memiliki satu penafsiran, tidak terbuka untuk
penafsiran lain. Kedua, mencakup ketentuan-ketentuan al-Qur’an
mengenai rukun-rukun Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan juga
bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum yang telah
ditetapkan secara permanen.
Asy-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat menyatakan bahwa dalil
qath`i adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud),

1
Muhammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence. Diterjemahkan oleh Noorhaidi
dengan judul: “Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam” (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
h. 26
penunjukkan kepada makna (al-dalalah) atau kekuatan argumentatif
maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan.2
Lebih lanjut Asy-Syathibi menyatakan dalam kitabnya al-
muwafaqat, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, tidak ada atau
jarang sekali ditemukan sesuatu yang bersifat qath`i dalam dalil-dalil
syara`, jika pandangan hanya ditujukan kepada teks secara berdiri
sendiri. Ini karena untuk menarik kesimpulan yang pasti dibutuhkan
premis-premis (muqaddimat) yang tentunya harus bersifat pasti pula,
sedangkan hal yang demikian tidak mudah ditemukan. Kenyataan
menunjukkan bahwa muqaddimat itu kesemuanya atau sebagian besar
darinya, tidak bersifat pasti, sedangkan sesuatu yang bersandar pada
yang tidak bersifat pasti, tentulah tidak pasti pula.3
Muqaddimat yang dimaksud asy-Syathibi adalah apa yang dikenal
dengan al-Ihtimalat al-‘Asyrah yaitu; naql lughat (transfusi bahasa), al-
nahw (grammatika) wa ‘adam al-Isytirak, ‘adam al-majaz, naql al-syar’i
aw al-‘adi, al-idhmar, al-takhshish li al-‘umum, al-taqyid li al-muthlaq,
‘adam al-nasikh, al-taqdim wa al-ta’khir dan terakhir, al-ma’aridh al-
‘aqli.4
2. Dzanni
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Zhanni al-Dalalah secara
etimologi (bahasa) bermakna tidak jelas dan tidak tegas (spekulatif).5
Secara terminology, Menurut Muhammad Hashim Kamali ayat al-
Qur’an yang bersifat zhanni (spekulatif) adalah kebalikan dari ayat yang
bersifat qath’i (definitif), ia terbuka bagi pemaknaan, penafsiran dan
ijtihad. Penaf siran yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara
keseluruhan dalam alQur’an dan mencari penjelasan penjelasan yang
diperlukan pada bagian yang lain dalam konteks yang sama atau bahkan

2
Abu Ishaq Ibrahim as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut:Dar al-Fikr, 1341 H,
hal. 14
3
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, Tangerang : Lentera Hati, Cet. I, 2013, hal. 157
4
As-Syathibi, al-Muwafaqat… hal. 35-36
5
Muhammad Hashim Kamali, Loc.Cit.
berbeda. Sunnah adalah sumber lainnya yang melengkapi al-Qur’an dan
menafsirkannya. Apabila penafsiran yang diperlukan dapat ditemukan
dalam suatu hadits, maka ia menjadi bagian integral dari al-Qur’an dan
keduanya secara bersamasama membawa keten-tuan yang mengikat.
Kemudian sumber lain berikutnya adalah para shabat yang memenuhi
syarat untuk menafsirkan al-Qur’an karena kedekatan mereka dari Nabi,
kepada Nash, keadaankadaan yang melingkupinya dan ajaraajaran
Nabi.6 Menurut Abdul Wahhab Khallaf nas yang zhanni dalalahnya
ialah nas yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk
ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya (lughawi) kepada
makna yang lain.
Dari Definisi tersebut di atas dapatlah dipahami, bahwa cirri-ciri
yang menjadi penyebab kezhannian sebagian dari nash alQur’an itu
adalah: Pertama, nash itu mengandung makna ganda (isytiraqul makna),
dan juga terbuka bagi penafsiran dan penakwilan (ijtihad). Kedua nash
itu mengandung makna umum.
Asy-Syathibi mendefinisakn zhanni al-dalalah adalah suatu dalil
yang asalusul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya
(al-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-
hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang
didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan
kekeliruan.7
Selanjutnya asy-Syathibi membagi zhanni al-dalalah menjadi tiga,
yaitu; pertama, zhanni al-dalalah yang dinaungi oleh suatu prinsip
universal yang qath'i (ashl qath'i). Dalil ini tidak diragukan lagi
keabsahannya.8 Kedua, zhanni aldalalah yang bertentangan dengan
suatu prinsip yang qath’i. Dalil ini secara umum ditolak, karena segala
yang bertentangan dengan dasar-dasar syari’ah adalah tidak sah dan

6
Ibid., h. 26.
7
Asy-Stathibi, al-Muwafaqat… hal 14
8
Lihat asy-Syathibi, al-Muwafaqat… hal. 7-8.
tidak dapat dipegangi. Dan ketiga, zhanni al-dalalah yang tidak
bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’i, tetapi tidak pula
dinaungi oleh suatu prinsip yang qath’i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini
dapat diterima atas dasar bahwa pada dasamya segala yang berada pada
tingkat zhanni dalam syari’ah dapat diterima.9

B. Contoh-contoh Qath’I dan Dzanni


1. Contoh ayat-ayat Qath’i
a. QS. An-Nisa (4) : 12

Artinya; “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai
anak”.
Penunjukkan makna (al-dalalah) ayat tersebut adalah qath’i,
yaitu jelas dan pasti, sehingga tidak boleh dita’wil dan dipahami
selain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian,
bagian seorang suami dalam mewarisi harta peninggalan istrinya
yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah setengah dari harta
peninggalannya.
b. QS. An-Nur (24) : 2

Artinya; “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka


deralah tiap-tiap orang dari keduannya seratus kali dera”.
Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil
atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-
dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih,
dan tidak kurang.
2. Contoh ayat-ayat Dzanni
a. QS. Al-Baqarah (2) : 228

9
Asy-Syathibi, al-Muwafaqat… hal. 12
Artinya; “Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menunggu (tidak
boleh menikah) dengan menahan diri mereka, tiga kali quru”.
Ayat tersebut tidak bersifat qath’i, tetapi zhanni, karena kata
quru` pada ayat tersebut dapat berarti suci dan dapat juga berarti
haid. Tidak dapat dipastikan yang mana yang dimaksud, karena
tidak terhimpun argumentasi yang cukup yang mendukung salah
satu ulama.10
b. QS. Al-Maidah (5) :3

Artinya; “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah…”


Lafadz al-maitah pada ayat tersebut bersifat ‘Am, yang
mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau
keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air.
Karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am seperti itu
maka disebut zhanni dalalahnya. Hal ini disebabkan karena lafadz
tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.11

C. Pendapat Para Ulama tentang Qath’I dan Dzanni


1. Pandangan Ulama Ushul Fiqh
Yang dalam hal ini diantaranya diwakili oleh Muhammad Hashim
Kamali dan Abdul Wahhab Khallaf dan selainnya yang membagi nas al-
Qur’an kepada dua macam, yaiktu qath’i dan zhanni alDalalah maka
dengan adanya pembagian semacam itu member isyarat adanya
pembatasan pemaknaan, pentakwilan dan penafsiran pada nash-nash
tertentu atau pada ayat-ayat tertentu yang ada dalam al-Qur’an, dalam
hal ini nas yang qath’i al-Dalalah. Dan dengan cara yang demikian itu
merupakan sebuah upaya menghambat ruang lingkup dan ruang gerak
para mufassir untuk memaknai, mentak-wilkan dan menafsirkan nash-

10
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…, hal. 159
11
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh… hal. 62
nash al-Qur’an secara keseluruhan. Dari satu sisi boleh kita
berpandangan, bahwa pembagian nas yang demikian itu berdampak
negatif terhadap keinginan dan semangat para mufassir untuk
memaknai, menakwil dan menafsirkan nash-nash al-Qur’an secara
umum. Namun disisi lain, pembagian nash qath’i zhanni al-Dalalah
yang dilaku-kan oleh ulama Ushul Fiqh tersebut, juga punya dampak
positif, yaitu agar para mufassir tidak memiliki kebebasan penuh untuk
memaknai, menakwilkan dan menafsirkan nas-nas yang qath’i, atau nas-
nas yang sudah tegas dan jelas maksudnya.
Khusus mengenai nash zhanni alDalalah, ternyata ulama ushul Fiqh,
juga membuka peluang lebar-lebar bagi orang yang ingin memaknai,
mema-hami, menakwilkan dan menafsirkan nas tersebut. Hal ini berarti
terdapat pengaruh yang positif terhadap partum-buhan dan
perkembangan penafsiran. Juga terbuka peluang terjadinya perbedaan
penafsiran terhadap nash zhanni itu.
Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa ulama Ushul
(Ushul Fiqh) dalam menetapkan dua konsep, yaitu qath’I dan zhanni al-
Dalalah, maka konsep yang pertama itu tidak membawa angin segar,
atau tidak membuka adanya peluang untuk memaknai, manakwilkan
dan menafsirkan nash yang qath’i sebab menurutnya makna yang
dikandungnya sudah sangat jelas dan tegas. Namun konsep kedua
(zhanni al-Dalalah) sangat terbuka luas kesempatan untuk memaknai,
menakwilkan dan menafsirkan sesuai dengan kecenderungan masing-
masing para mufassir atau para mujtahid, terutama bila nas itu dilihat
dari segi hukum.
2. Pandangan Ulama Tafsir
Ulama tafsir tidak membuat klasifikasi tentang nash al-Qur’an
mengenai qath’i dan zhanni sebagaimana yang dibuat dan ditetapkan
oleh ulama Ushul. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan membuka
lembaran kitab-kitab ‘Ulum al-Qur’an. Misalnya al-Burhan karangan al-
Zarkasyi, atau al Itqan oleh al-Sayuti dan Mabahits fi ‘Ulumil Quran
oleh Mana’ul Qath’an. Ketiganya tidak membahas soal tersebut.
Pertanyaannya. Mengapa demikian? Jawabannya, ulama-ulama tafsir
menekankan bahwa al-Quran hamalat li al wujud (alQuran mampu
mengandung ungkapan: Seorang tidak dinamai mufasir kecuali jika ia
mampu member interpretasi ber-agam terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Seiring dengan pendapat ulama-ulama tafsir di atas, seorang pemikir
kon-temporer kelahiran al-Jazair yaitu Mohammad Arkoum, menulis
tentang ayat-ayat alQuran sebagai berikut: “Kitab Suci itu mengandung
kemungkinan makna yang akan terbatas. Ia menghadirkan berbagai
pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang
absolute, ia dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah tetap dan
tertutup hanya pada satu penafsiran makna.12
Pendapat diatas sejalan dengan tulisan ‘Abdullah Darraz, salah
seorang ulama besar al-Azhar yang antara lain menjelaskan dan
mengetik kitab al–Muwa-faqat karya Abu Ishaq al-Syathibi. Syaikh
Darraz menulis: “Apabila anda membaca, makanya akan jelas
dihadapan anda. Tetapi bila anda membaca sekali lagi, maka anda akan
menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna
terdahulu. Demikian seterusnya, sampai anda dapat menemukan kalimat
atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau
mungkin benar. Ayat-ayat al-Qur’an bagaikan intan. Setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang
lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang
anda lihat.13
Menurut Quraish Shihab, disisi lain, kita dapat berkata bahwa setiap
nas atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi
pengucapnya redaksi tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni
arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang dimaksud dalalah

12
Quraish Shihab, Loc.cit.
13
Ibid
haqiqiyyah. Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalahnya
bersifat relative. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicaraan.
Pemahaman mereka ter-hadap nas atau redaksi tersebut dipenga-ruhi
oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini
dinamai dalalah nishbiyyah.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat al-Qur`an itu
ada yang bersifat qath’i, ada juga yang zhanni. Dari segi al-tsubut atau
ketetapan serta kenukilannya dari Rasulullah kepada umat Islam adalah
bersifat qath’i. Tetapi dari segi al-dalalah atau kandungan redaksi ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum, dapat dibedakan atas ayat-ayat
qath’i dan zhanni. Ayat-ayat qath’i aldalalah yaitu ayat-ayat yang pasti dan
meyakinkan sehingga tidak ada lagi kemungkinan lain, kecuali yang telah
dipilih dan ditetapkan. Sementara ayat-ayat zhanni al-dalalah adalah yang
masih mengandung dua atau lebih kemungkinan.

B. Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali
kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Komali, Mohammad Hashim, Principles of Islamic Jurisprudence. Diter jemahkan


oleh Noorhadi dengan judul: “Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam”. Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996.
as-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut:Dar
al Fikr, 1341 H.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, Tangerang : Lentera Hati, Cet. I,
2013.
Abdul Wahhab Khallaf, Abdul Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait:Dar al-Fikr,
Cet. XII, t.t.
Firdaus, Konsep Qath’i dan Zhanni Al-Dalalah dan Pengaruhnya Terhadap
Penafsiran Al-Qur’an, Makassar : Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar,2013.
Subhan, Klasifikasi Ayat-Ayat Hukum (Dari Segi Qath`i dan Zhanni).
Farihah, Faiz, 2011, Qath’I dan Zhanni Dalam Al-Qur’an, http://faiz-
farihah.blogspot.com/2011/08/qathi-dan-zhanni-dalam-al-quran.html , Diakses
pada 05 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai