Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FIQIH ZAKAT DAN WAQAF

Nazhir Waqaf

Diajukan guna memenuhi mata kuliah : Fiqih Zakat dan Waqaf


Dosen pengampu : Dr.Iskandar, M.Sy )

OLEH

KELOMPOK 8 :

1. Nur Rahmah (2011211023)


2. Riko Hidayat (2011211024)
3. Ma’rifah S. Tukan (2011211002)

PRODI AHWAL AL-SYAKHSYIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG
2021/2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim

Puji dan syukur tak hentinya kami haturkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
menciptakan seluruh alam semesta dan segala isinya, mulai dari AL- QUR’AN sebagai
petunjuk sampai akal sebagai alat berpikir sehingga makalah ini (Fiqih Zakat dan Waqaf)
dapat terselesaikan.

Shalawat bernadakan salam kami sanjungkan keharibaan Nabi besar MUHAMMAD


SAW, yang telah mengubah seluruh waktu manusia di dunia ini, dan yang telah membuka
cakrawala ilmu pengetahuan sehingga dapat memotivasi manusia untuk berpikir maju
dengan ilmu pengetahuan teknologi yang semakin berkembang.

Harapan semoga makalah ini (Fiqih Zakat dan Waqaf) dapat menambah pengetahuan
bagi para pembacanya, kami akui bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kepada para pembaca untuk dapat
memberikan masukan yang bersifat membangun untuk menjadi sebuah perbaikan
kedepannya. Semoga ALLAH meridhoi kita.

Kupang, Maret 2021


i
Daftar Isi

BAB 1 : PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1


1.2. Rumusan Maslah ...................................................................................................... 2 1.3.
Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 2 BAB II :
PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Nazhir Waqaf ......................................................................................... 3

2.2 Syarat Nazhir ........................................................................................................... 6

2.3 Nazhir Dalam Konteks Hukum Islam dan Hukum Indonesia ............................... 8

BAB 111 : PENUTUP ......................................................................................................... 12

3.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 12

3.2. Saran ....................................................................................................................... 12


DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 13
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perwaqafan, nadzir adalah pihak yang menerima harta benda waqaf dari
waqif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntuknya. UU No 41 Tahun
2004 pasal 1 ayat (4) tentang waqaf telah mengatur persoalan nadzir dengan sangat
rinci. Ini menunjukkan bahwa nadzir memiliki kedudukan yang signifikan didalam UU
tersebut.
Wakaf sebagai wadah atau perwakafan sebagai proses secara normatif di dalam
Islam dipahami sebagai suatu lembaga/institusi keagamaan yang sangat penting,
disamping sebagai lembaga keislaman lainnya seperti perbankan, zakat, infaq,
shadakah. Lembaga wakaf yang dikenal dilingkungan umat Islam berasal dari bahasa
Arab, waqfdari kata kerja waqafa yang berarti menghentikan, berdiam ditempat atau
menahan sesuatu. Sinonim waqf adalahhabs, artinya menghentikan atau menahan.
Bentuk jamak waqfadalah awqafdan bentuk jamak habs adalah ahbas.
Pada dasarnya, ajaran wakaf ini masuk pada wilayah ijtihadi. Hal ini disebabkan
karena tidak ada ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang ajaran wakaf secara
gamblang. Melainkan ajaran wakaf tersebut tercakup dalam lafadz yang umum seperti
dalam surat Al-Baqarah ayat 261: Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan
oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allahadalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkantujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. danAllah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS.Al-Baqarah: 261)

Didalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28


Tahun 1977 tentang Pewakafan Tanah Milik disebutkan wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari hata kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-
lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran Islam.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Buku 111 Hukum Waqaf BAB 1 di
terangkan dalam pasal 215 ayat (4) bahwa Nazir yaitu kelompok orang atau badan
hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain
sebagai berikut:

1
1. Apa Pengertiam Nazhir Waqaf?
2. Apa Syarat dari Nazhir?
3. Bagaimana Nazhir dalam Konteks Hukum Islam dan Hukum Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Nazhir Waqaf
2. Untuk mengetahui syarat dari nazhir waqaf
3. Untuk mengetahui nazhir dalam konteks hukum islam dan hukum indonesia
D. Manfaat Penulisan
Manfaat pembuatan makalah ini adalah agar makalah ini dapat memberikan
pengetahuan kepada para penulis dan pembaca serta dapat menambah wawasan para
pembaca mengenai pengertian Nadzir Waqaf, Syarat Nadzir, serta Nadzir dalam
Konteks Hukum Islam dan Hukum Indonesia. Agar dapat berguna bagi sang penulis
dan pembaca kedepan nantinya.

BAB 11

PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Nazhir Waqaf
a. Nadzhir dan Kedudukannya dalam Waqaf
1. Pengertian Nadzhir
Nadzir berasal dari bahasa Arab nadzara-yandzuru-nadzaran yang
mempunyai arti, menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun
nadzir adalah isim fa’il dari kata nadzir yang kemudian dapat diartikan dalam
bahasa Indonesia dengan pengawas (penjaga). Sedangkan nadzir waqaf atau biasa
disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas mengelola waqaf.
Jadi, pengertian Nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang
memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta waqaf dengan
sebaikbaiknya sesuai dengan wujud dan tujuan harta waqaf.
Nadzir waqaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amant untuk
memelihara dan mengurus harta waqaf sesuai dengan wujud dan tujuan waqaf
tersebut. Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat
(4) tentang waqaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima harta
benda waqaf dari waqif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya.
Selain kata Nadzhir, dalam hukum islam juga dikenal istilah mutawwali.
Mutawwali merupakan sinonim dari kata Nadzhir yang mempunyai makna yang
sama yakni orang yang diberi kuasa dan kewajiban untuk mengurus harta waqaf.
Lebih jelas lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 di dalam
ketentuan umum, butir keempat menyebutkan bahwa Nadzir adalah kelompok
orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda
wakaf. Berdasarkan pasal 9 Undang-undang wakaf bahwa nadzir meliputi:
• Nadzir Perseorangan
• Nadzir Organisasi
• Nadzir Badan Hukum

2. Kedudkan Nadzhir menurut Empat Mazhab


 Kedudukan Nadzhir Menuru Mazhab Hanafi
Menurut golongan hanafiah penunjukan nadzir merupakan hak wakif.
Wakif bisa mengangkat dirinya sendiri sebagai nadzir, jika wakif tidak
menunjuk dirinya untuk menjadi nadzir atau menunjuk oranglain, maka yang
berhak menjadi nadzir adalah orang diberi wasiat (jika ada) dan jika tidak
ada maka yang berhak menunjuk nadzir adalah hakim.54
Abdul Wahab Khallaf juga menyebutkan bahwa menurut Abu Yusuf
(pengikut madzhab hanafi) orang yang paling berhak menentukan nadzir
adalah wakif, dengan alasan bahwa wakif adalah orang yang paling dekat
dengan hartanya. Wakif tentunya berharap agar harta yang diwakafkan itu
bermanfaat terus menerus, denag demikian sebenarnya dialah yang paling
mengetahui orang yang mampu mengurus dan memelihara harta yang
diwakafkan. Menurut Abu Yusuf apabila wakif meninggal dan tatkala ia
hidup tidak menjelaskan kepada siapa wakaf itu dikuasakan, maka yang
menentukan masalah nadzir adalah hakim, karena menurutnya hakim adalah
pejabat yang berwenang untuk membelanjakan harta wakaf apabila wakif

3
tidak dapat lagi mengurusi harta wakaf. Tetapi menurut Imam Muhammad
Hasan Al-Syaibani bahwa apabila wakif tidak menunjuk nadzir wakaf pada
waktu ikrak wakaf, maka yang berhak mengangkat nadzir adalah mauquf
alaih. Menurutnya nadzir berkerja bukan mewakili wakif tetapi mewakili
mauquf‟alaih.
 Kedudukan Nadzhir Menurut Mazhab Maliki
Golongan Malikiah juga berpendapat bahwa orang yang berhak
mengangkat nadzir adalah wakif. Namun demikian Malik menolak wakif
untuk menguasai harta wakaf yang ia wakafkan. Jika wakif menunjuk dan
mengangkat dirinya untuk menjadi nadzir, hal ini seakan-akan ia
mewakafkan untuk dirinya. Sedangkan golongan malikiah berpendapat
bahwa wakif tidak boleh mengambil hasil benda yang diwakafkan. Menurut
Ibnu Baththal, waktu yang lama akan memungkinkan wakif lupa terhadap
harta yang diwakafkan dan apabila ia jatuh miskin kemungkinan ia akan
membelanjakan untuk dirinya sendiri. Disamping itu jika ia meninggal,
kemungkinan ahli warisnya membelanjakan harta wakaf itu untuk keperluan
mereka sendiri jika wakif telah meninggal. Untuk menghindari hal-hal diatas
golongan malikiah berpendapat bahwa wakif harus mengangkat nadzir untuk
mengurus garta yang diwakafkan.55 Pendapat ini tampaknya didasarkan
pada kehati-hatiannya dalam menetapkan nadzir agar wakaf yang ada tidak
menyimpang dari tujuan semula. Larangan wakif untuk mengangkat atau
menunjuk dirinya sebagai nadzir tidaklah mutlak. Golongan malikiah
membolehkan wakif mengangkat dirinya sebagai nadzir jika wakif mampu
menghindarkan diri dari hal-hal yang memungkinkan tidak dapat
berfungsinya wakaf sebagai mana semestinya seperti dikemukakan Ibnu
Baththal diatas.
Menurut Abu Zahrah, golongan malikiah juka memperbolehkan mauquf
alaihnya mu‟ayyan (tertentu). Kebolehan ini terjadi apabila wakif tidak
menjelaskan kepada siapa penguasaan wakaf itu diberikan.
 Kedudukan Nadzhir Menurut Mazhab Syafi’i
Golongan syafi‟iah berpendapat bahwa nadzir tidak ditentukan oleh
wakif, kecuali wakif mensyaratkan disaat terjadinya wakaf. Menurut
syafi‟iah wakif dapat menunjuk atau mengangkat dirinya atau orang lain
sebagai nadzir. Akan tetapi disaat terjadinya wakaf, wakif tidak menunjuk
dirina maupun orang lain sebagai nadzir, para ulama syafi‟iyah berbeda
pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang berhak menjadi nadzir
adalah wakif sendiri dan penguasaan terhadap harta tetap ditangan wakif.
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang menjadi nadzir adalah maukuf
alaih dan penguasaan harta wakaf ada pada maukuf alaih karean dialah yang
berhak atas hasil wakaf, sehingga dia pula yang mempunyai kewajiban untuk
memelihara harta wakaf tersebut. Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang
berhak mengangkat nadzir adalah hakim karena sesungguhnya tergantung
padanyalah hak maukuf alaih. Pendapat ketiga inilah tampaknya yang paling
mudah diterima dan lebih dekat kepada kebaikan, karena jika ada masalah
yang berkaitan dengan perwakafan hakim akan mudah mengatasinya.

4
 Kedudukan Nadzhir Menurut Mazhab Hambali
Menurut Hanabilah yang berhak mengangkat nadzir adalah wakif.
Wakif boleh menunjuk dirinya atau oaring lain sebagai nadzir ketika ia
mengucapkan ikrar wakaf. Tetapi apabila wakif tidak menunjuk nadzir ketiak
ia mewakafkan hartanya sedangkan wakaf itu ditujukan untuk kepentingan
umum misalnya masjid, jembatan, orang-orang miskin, dan sebagainya maka
yang berhak mengangkat nadzir adalah hakim yang beragama islam. Jika
wakaf ditujuakan untuk orang tertentu baik seorang atau lebih sedangakan
wakif tidak menyebut nadzirnya, maka hak nadzir ada pada mauquf alaih,
karenanya pengawasan mauquf alaih pada harta itu seperti miliknya secara
mutlak. Ada yang berpendapat bahwa hak nadzir ada pada hakim, tetapi
pendapat yang terbanyak mengatakan hak nadzir dalam hal ini ada pada
maukuf alaih. Jika maukuf alaihnya tidak berilmu (tidak cakap bertindak
hukum), masih kecil atau gila maka yang berhakmenjadi nadzir adalah
walinya.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya para ulama
berpendapat bahwa yang paling berhak menetukan nadzir adalah wakif adapun
jika wakif tidak menunjuk nadzir disaat ia melakukan ikrar wakaf pada umunya
ulama berpendapat bahwa yang bberhak mengakat nadzir adalah hakim, kecuali
sebaguan golongan hanabilah yang berpendapat jika maukuf alaihnya mua‟yyan
hak pengangkatan nadzir ada pada mauquf alaih. Jika mauquf alaih-nya tidak
mampu melaksanakan tugasnya, tugas tidak kembali kepada hakim tetapi kepada
wali mauquf alaih.
Wewenang hakim untuk mengangkat nadzir ini kemudian diikuti oleh
beberapa Negara yang mengatur praktik perwakafan, termsuk Indonesia. Hal ini
memang tepat jika dihubungkan dengan makna wakaf itu sendiri. Pengangkatan
nadzir yang dilakukan oleh hakim pada umunya berdasarkan
pertimbangnpertimbangan yangh lebih matang. Disamping itu jika hakim
mengangkat nadzir maka pengawasan nnhakim terhadap nadzirpun lebih mudah.

3. Sebagai pelaksan hukum, nadzir memiliki tugas-tugas atau kewajiban dan hak.

a. Tugas-tugas nadzir menurut undang-undang adalah:


• Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
• Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi dan peruntukannya.
• Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
• Melaporkan pelaksaan tugas kepada badan wakaf Indonesia.
b. Sedangkan hak nadzir ada dua, ialah:
• Nadzir berhak mendapat imbalan, upah atau bagian maksimal 10% dari
keuntungan atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
• Nadzir berhak mendapat pembinaan dari menteri yang menangani wakaf
dan badan wakaf Indonesia untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara baik
dan benar

5
b. Waqaf

Wakaf berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” bearti
“menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau berdiri”. Kata “Waqafa-
Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Kata Al-Waqf
dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian: Artinya: Menahan, menahan
harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.
Dalam peristilahan Syara‟, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal ( ‫ب حْ َت ِل‬ ِ ْ‫سُ ي‬
ْ ْ‫) ص‬, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud dengan ‫ب‬
‫ﻻَ ا‬ ِ ْ‫سُ ي‬
‫ﻻ ا‬ ْ َ ْ‫ حْ َت ِل ص‬ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan,
digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan,
dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.
Berdasarkan referensi lain, pengertian wakaf disajikan dalam beberapa
pengertian, sebagai berikut.
a. Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) memeberikan pengertian wakaf adalah
penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan
penggunaan hasil barang itu, yang dapat disebutkan ariyah dan commodate
loan untuk tujuan-tujuan amal shaleh.
b. Muhamammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan waqaf adalah: Artinya: Penahanan harta yang memungkinkan untuk
dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan
(memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.
c. Imam Taqy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam kitab Kifayat
al-Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah: Artinya:
Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya
benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya
dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.
d. Ahmad Azhar basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan
untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat
ridha Allah.
e. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah,
menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat
(„ain) –nya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan
syara‟, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.

Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan oleh para ulama di atas, kiranya
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan sesuatu benda
yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan
dijalan kebaikan.

B. Syarat Nazhir

6
Pada dasarnya, siapapun dapat menjadi Nadzir sepanjang ia bisa melakukan
tindakan hukum. Tetapi, karena tugas Nadzir menyangkut harta benda yang
manfaatnya harus disampaikan pada pihak yang berhak menerimanya, maka jabatan
Nadzir harus diberikan kepada orang yang mampu menjalankan tugas itu.
Sesuai UU perwaqafan yang dikeluarkan tahun 2004, syarat-syarat menjadi Nadzir
adalah sebagai berikut :
1. Syarat Nadzir Perorangan
• Warga negara Indonesia
• Beragama islam
• Dewasa
• Amanah
• Mampu secara jasmani dan rohan, serta
• Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
2. Sedangkan untuk Nadzir organisasi syaratnya adalah sebagai berikut :
• Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat n perorangan
• Organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam.

3. Sedangkan syarat untuk Nadzir badan hukum adalah sebagai berikut :


• Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nadzir
perorangan
• Badan hukum indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku, dan
• Organisasi yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan dan atau
keagamaan Islam.

Nadzir baik perorangan, organisasi atau badan hukum harus terdaftar pada
kementrian yang menangani waqaf dan badan waqaf Indonesia. Dengan demikian,
nadzir perorangan, organisasi maupun badan hukum diharuskan warga negara
Indonesia. Oleh karena itu, warga negara asing, organisasi asing dan badan hukum
asing tidak bisa menjadi nadzir waqaf di Indonesia.
Sedangkan dalam buku yang diterbitkan oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Departemen Agama RI yang berjudul
paradigama baru wakaf di Indonesia membagi syarat-syarat untuk nadzir ketiga bagian.

2. Syarat moral

• Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun
perundang-undangan negara RI.
• Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan
wakaf.
• Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.
• Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.

7
• Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.

3. Syarat Manajemen

• Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.


• Visioner
• Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan
pemberdayaan.
• Profesional dalam bidang pengelolaan harta.  Memiliki program kerja yang
jelas.

4. Syarat bisnis
• Mempunyai keinginan.
• Mempunyai pengalaman.
• Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya
entrerpreneur.

Dari persyaratan diatas menunjukan bahwa nadzir menenpati pada pos yang sangat
sentral dalam pola pengelolaan harta wakaf. Ditinjaun dari segi tugas nadzir, dimana
nadzir berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari
harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya.

C. Nazhir dalam Konteks Hukum Islam dan Hukum Indonesia


a. Nazhir dalam konteks hukum islam
Kompilasi Hukum Islam telah menjadi Kitab rujukan dalam Pengadilan Agama
di Indonesia, yang selanjutnya Kompilasi Hukum Islam khususnya Buku III Tentang
Hukum Wakaf menginspirasi lahirnya Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang
wakaf.Yang mana dalam undang-undang tersebut memiliki para digma baru
dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan wakaf sebelumnya .Secara
keseluruhan, Undang-Undang tersebut telah berjiwakan semangat untuk memajukan
perwakafan di Indonesia.
Di dalam kompilasi Hukum Islam pada Buku III Hukum Wakaf dalam BAB I
ketentuan umum pasal 215 ada yang menarik untuk kita bahas yaitu tentang Nazir,
karena yang sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kitab-kitab fiqh klasik
khususnya aliran syafi’iah yang berkembang di Indonesia hanya mencantumkan
empat dalam rukunya wakaf yaitu Waqif, Mauquf, Mauquf alaih, Sighot.
Didalam Kompilasi Hukum Islam Nazir di jelaskan dengan begitu panjang lebar
dan diatur sedemikian banyaknya seoalah-olah Keberadaan Nazir itu urgen dan
sangat penting sehingga seolah-olah jika dalam hal mewakafkan suatu harta atau
benda tidak ada Nazir maka wakafnya batal ataupun tidak sah.
Telah dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam di terangkan dalam pasal
215 ayat (4) bahwa Nazir yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi
tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Pengertian ini tidak jauh berbeda
dengan pengertian Nazir dalam Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf,

8
bahwa Nazir yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari Waqif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

Dalam Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam menerangkan bahwa :


1. Nazir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan
yangharus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
• Warga Negara Indonesia
• Beragama Islam
• Sudah Dewasa
• Sehat Jasmani dan Rohani
• Tidak Berada di bawah Pengampuan
• Bertempat Tinggal di Kecamatan Tempat Letak Benda yang
diwakafkannya.
2. Jika berbentuk badan hukum, maka Nazir harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
• Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
• .mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang
diwakafkannya.
3. Nazir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis
Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
4. Nazir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya
oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nazir
langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak
memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun
juga”. ”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.”Saya
bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan
tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nazir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
5. Jumlah Nazir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti
dimaksud Pasal215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan
sebanyakbanyaknya 10 orangyang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat.

Adapun kewajiban dan hak-hak Nazir di terangkan dalam Kompilasi Hukum


Islam pada bagian ke tiga BAB II yaitu:
Pasal 220

9
1. Nazir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan
wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
2. Nazir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang
menjaditanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada
Kepala KantorUrusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada
Majelis UlamaKecamatan dan Camat setempat.(3) Tata carapembuatan
laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuaidengan peraturan
Menteri Agama.

Pasal 221

1. Nazir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:


 meninggal dunia
• atas permohonan sendiri
• tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nazir
• melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
2. Bilamana terdapat lowongan jabatan Nazir karena salah satu alasan
sebagaimanatersebut dalam ayat (1), maka diangkat oleh Kepala Kantor
Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat.
3. Seorang Nazir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub
a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222
Nazir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan
jumlahnyaditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

b. Nadzhir dalam Konteks Hukum Indonesia


Di antara instrumen ekonomi Islam selain zakat, infak, dan sedekah adalah
wakaf. Wakaf merupakan salah satu instrumen penting untuk pemberdayaan umat.
Selain itu wakaf juga menjadi instrumen keagamaan dan sosial yang telah
memainkan peranan penting dalam sejarah kehidupan masyarakat muslim.
Konsistensi peran wakaf telah diuji dan mampu bertahan lebih dari ribuan tahun.
Dengan durasi eksistensi wakaf yang sudah sangat lama, peran wakaf sebagai
penyedia keperluan untuk kepentingan umat dirasa sangat diperlukan. Berdasarkan
fungsinya, harta benda wakaf menghasilkan manfaat yang mengandung unsur
kebajikan kepada sesama makluk di dunia (birr), kebaikan antarumat manusia
(ihsan) dan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah).
Lembaga pengelola wakaf sebagai lembaga swasta (sektor ketiga/lembaga
nonprofit) yang selama ini telah berdiri tanpa campur tangan pemerintah sebagai
adat tradisi Islam, dalam perjalanannya senantiasa perlu mendapatkan dukungan dari
pemerintah dalam bentuk legalitas dan perlindungan hukum. Peran pemerintah ini
jauh sebelumnya telah dilakukan oleh pemerintah Mesir baik ketika masih bersistem

10
khilafah, kemudian monarki hingga republik. Kemudian pada tahun 2004 disusul
oleh Pemerintah Indonesia untuk pemberdayaan wakaf dengan menerbitkan UU
Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, dengan menyebutkan bahwa pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
dilakukan secara produktif. Yang dimaksud produktif di sini sesuai dengan
penjelasan UU tersebut adalah pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
secara produktif dilakukan dengan berbagai cara, baik pengumpulan aset, investasi,
produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian,
pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar
swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan usaha-
usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.
Sebagai instrumen ekonomi Islam dalam bidang filantropi, wakaf telah dikenal
dan diimplementasikan berikutnya, lembaga wakaf telah menjadi salah satu
pendukung kegiatan umat Islam, terutama di bidang agama, sosial dan pendidikan.
Pentingnya pendidikan termaktub dalam tujuan ke 4 yang tercantum dalam
Sustainable Development Goals, yaitu untuk memastikan pendidikan berkualitas
inklusif dan adil dan pembelajaran peluang hidup untuk semua manusia. Sejalan
dengan kerangka kerja SDGs, di antara negara-negara mayoritas Muslim, wakaf
merupakan skema baru dalam pembangunan pendekatan maqasid al-syariah (tujuan
yang lebih tinggi dari syariah). Harapan besar dari pengelolaan wakaf produktif
adalah dapat berkontribusi secara ekonomi pada lembaga pendidikan dengan
cakupan yang lebih luas, seperti dalam bentuk pendanaan operasional lembaga,
penyediaan beasiswa, kesejahteraan guru dan dosen. Kontribusi pengelolaan wakaf
produktif terhadap kemandirian lembaga pendidikan telah terbukti baik di luar
negeri ataupun dalam negeri Indonesia.
Untuk memproduktifkan wakaf maka tidak lepas dari peran penting pengelola
wakaf (nadzir) dalam mengembangkan wakaf agar dapat memberikan dampak yang
positif terhadap masyarakat dan negara. Nadzir wakaf dalam selayaknya manajer
perusahaan yang harus mampu membuat perencanaan dan pengelolaan asset wakaf.
penelitian ini lebih fokus pada proses institusionalisasi nadzir dalam aspek-aspek
pengelolaan wakaf itu sendiri. Penelitian ini akan menggunakan teori-teori ekonomi
kelembagaan baru yang semakin popular dalam beberapa dekade terakhir,
khususnya teori-teori tentang empat tingkat kelembagaan dan kerangka analisis dan
pengembangan kelembagaan.
Agar dapat dipaham dengan mudah mengenai Nadzhir dalam Konteks Hukum
Islam di Indonesia dapa dilihat dari (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No 41 tahun 2004 Tentang
Waqaf )

11
BAB 111

PENUTUP

A. Kesimpulan

12
Nadzir berasal dari bahasa Arab nadzara-yandzuru-nadzaran yang mempunyai arti,
menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nadzir adalah isim fa’il dari
kata nadzir yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas
(penjaga). Sedangkan nadzir waqaf atau biasa disebut nadzir adalah orang yang diberi
tugas mengelola waqaf.
Nadzir waqaf adalah orang atau badan hukum yang memegang amant untuk
memelihara dan mengurus harta waqaf sesuai dengan wujud dan tujuan waqaf tersebut.
Sedangkan menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 pasal 1 ayat (4) tentang
waqaf menjelaskan bahwa Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda waqaf dari
waqif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Wakaf berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” bearti “menahan”
atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan”
sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Dalam peristilahan Syara‟, wakaf
adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan
ْ َ ْ‫ب حْ َت ِل ص‬
(pemilikan) asal ( ‫ﻻ ا‬ ِ ْ‫) سُ ي‬, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.
Nadzir baik perorangan, organisasi atau badan hukum harus terdaftar pada
kementrian yang menangani waqaf dan badan waqaf Indonesia. Dengan demikian,
nadzir perorangan, organisasi maupun badan hukum diharuskan warga negara
Indonesia. Oleh karena itu, warga negara asing, organisasi asing dan badan hukum
asing tidak bisa menjadi nadzir waqaf di Indonesia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di terangkan dalam pasal 215 ayat (4) bahwa
Nazir yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf

B. Saran
Pandangan masyarakat tehadap waqaf yang masih awam sehinga perlunya
peningkatan edukasi yang memperluas kerja sama sehinga masyarakat menjadi faham
tentang waqaf dan bagamana cara berwaqaf dengan strate pemasaran yang sudah ada
dapat membangun relasi baru tehadap perusaha sejenis untuk memperluas keadan
nadzhr karena menngat pentingnya nadzhir dalam proses pemasaran tersebut maka
nadzhir yang dimaksud ialah sebagai salah satu unsur pentig alam pemasaran peduk
waqaf sehingga nadzir yang diperlukan harus bisa melaksanakn tugasnya dengan baik
dan prfesiona dalam menjalankan kewajibannya sebagai pengelola waqaf secara
maksimal dan optmal sesuai dengan harapan oang yang berwaqaf atau waqif.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Wahiduddin, “Signifikan Peran dan Fungsi Nadzhir Menurut Hukum Islam dan UU
No. 41 Tahun 2004,” al-Awqaf, Januari 2011

13
Antonio, Muhammad Syafi’i, “Bank Syariah sebagai Pengelola Dana Waqaf”, Workshop
Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Waqaf Produktif,
Jakarta: DEPAG-111T, 2002.

Abu Zahrah, Muhammad, Muhadarat fi al-Wqaf, Bayru: Dar al-Fiqh al-Islami, 2005.

Abdul Hakim, Hukum Perwaqafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat press, 2005)

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang CV. Al


Waah, 2004)

Elsa Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Waqaf, (Jakarta Grasindo, 2007)

Hadi Setya Tunggal, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Waqaf, (Jakarta: Harvindo 2005)

14

Anda mungkin juga menyukai