Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Filsafat Hukum Islam

POKOK PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM MALIK

Oleh : Muhammad Faishal Habib


Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Keluarga Islam

ABSTRAK

Setiap ahli hukum memiliki cara jalan berfikir berbeda. Begitu juga
dengan hli hukum Islam. Mereka berbeda dalam cara pengambilan hukum,
memahami dalil, dan cara menggunakan dalil. Dari cara mereka tersebut bisa kita
lihat juga bagaimana jalan pemikiran pada ahli tersebut. Disini pemakalah akan
membahas bagaimana pemikiran hukum Islam melalui pemikiran Imam Abu
hanifa dengan mazhab hanafinya serta pemikiran Imam Malik bin Anas pada
mazhab maliki nya. Disini juga akan mengupas bagaimana cara mereka
mengeluarkan suatu produk hukum dari dalil-dalil yang mereka teliti sesuai
dengan cara mereka berfikir.

A. Pendahuluan

Biografi Imam Abu Hanifa

Nama lengkapnya Abu Hanifah Al-Nu‟man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi.

Ia lahir pada tahun 80 H/699 M di Anbar, kota yang termasuk bagian dari propinsi

Kufah.1 Ayahnya berasal dari keturunan Persia. Nama kecilnya Nu‟man. Beliau

dikenal dengan gelarnya Abu Hanifah, artinya orang yang selalu membawa dawat,

kemana beliau pergi (untuk mencatat pelajaran-pelajaran dari guru-gurunya).

1 . Ali Fikri. Kisah-kisah Imam Madzab. (Yogyakarta: Mitra Pustaka). hal. 6.

1
Demikian kata Hanifah menurut bahasa Persi.

Bapaknya bernama Tsabit, keturunan Persi. Kelahiran Imam Abu Hanifah

agaknya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. “Seandainya Ilmu

pengetahuan ada di bintang Tsurya, niscaya akan dicapai oleh putera-putera

Persi”.

Kakeknya, Zutha berasal dari Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk

bagian wilayah Persia. Ketika Tsabit masih dalam kandungan, ia dibawa ke Kufah

dan menetap di sini hingga Abu Hanifah lahir. Konon ketika Zutha bersama

anaknya Tsabit berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dengan serta merta kedua

orang ini didoakan agar mendapat keturunan yang luhur dan mulia.

Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Di kota ini ia mulai belajar dan

menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Selain pernah melakukan pengembaraan ke

Basrah, Makkah dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan

memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya.

Namanya An-Nu‟man bin Zauthi at-Tamimi al-Kufi, kepala suku dari Bani

Tamim bin Tsa‟labah, biasa dipanggil Abu hanifah, kemasyhuran nama tersebut

menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:

1. Karena ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia

diberi julukan dengan Abu Hanifah.

2. Karena semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang

dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong)

pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.

2
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah berarti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis

hadits-hadits, ke mana ia pergi selalu membawa tinta. Karena itu ia dinamakan

Abu Hanifah.

Gelarnya Al-Imam Al-A‟zham (Imam Besar) dan terkenal dengan sebutan

Imam ahli Al-ra‟yi (Imam Ahli Logika). Dia adalah keturunan orang-orang Persia

yang merdeka. Dia dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah di Kufah, saat pemerintahan

Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dia hidup di dua zaman pemerintahan besar,

yaitu pemerintahan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dia adalah generasi Atba‟

At-tabi‟in. Ada pendapat lain mengatakan bahwa ia adalah tabi‟in karena pernah

bertemu oleh sahabat Anas bin Malik.

Biografi Imam Malik

Mazhab malaiki didirikan oleh imam Malik. Nama lengkapnya adalah :

Malik bin Anas bin Amir al-Asbahi. Al-asbahi merupakan nisbat terhadap suatu

golongan dari Yaman. Imam malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh.

sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat al-

Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam Malik

dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam

Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam

Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya bin Bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar

Malik berkata :"Aku dilahirkan pada 93 H". Dan inilah riwayat yang paling benar

(menurut al-Sam'ani dan ibn farhun). Dalam kitab al-muwaththa‟ juga disebutkan

3
bahwa Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H. Adapun Malikiah adalah aliran

terkemuka dalam hukum Islam yang didirikan oleh Imam Malik.2

Ayahnya berasal dari kabilah dzi asbah yang ada di yaman sdangkan

ibunya bernama aliyah binti syuraik dari kabilah azdi. Dalam buku lain dikatakan

bahwa nama ibu imam malik adalah al-ghalit binti syarik bin Abdul rahman bin

syarik al-azdiyyah.

Imam malik meninggal dunia di madinah yaitu pada tanggal 14 rabiul

awwal tahun 179 hijriyah ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau

meninggal pada 11, 13, dan 14 bulan rajab. Belau meninggal dunia karna sakit

selam 20 hari.

B. Permasalahan

Dalam Jurnal ini akan menitik beratkan permasalahan kepada poin yang

berada dibawah ini:

1. Bagaimana pemikiran hukum Islam Imam Abu hanifa?

2. Bagaimana pemikiran hukum Isalam Imam Malik bin Anas?

C. Pembahasan

Pemikiran Imam Abu Hanifah

2 . M Hanafi dan muchlis, Biografi Lima Madzhab Imam Malik, (Tangerang: Lentera
Hati, 2013), hal. 46

4
Mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlurra’yi serta fiqih dari Irak. Ia

dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu

hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam mazhab ini

meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam

Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi sebagai berikut :3

“Fiqih Hanafi membekas kepada ahli Kufah (negeri Imam Abu Hanifah

dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan

dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila

tidak ada nash, ijma, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya

buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan,

dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada

apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh

umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah.

Alasannya : kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi

kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadist mereka

nilai sebagai hadist ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum

Islam (fiqih) di kalangan mazhab Hanafi adalah :

1) Al-Qur‟an

2) Sunnah Nabi SAW

3) Fatwa sahabat

4) Qiyas

5) Istihsan

3 . Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, hal.14

5
6) „Ijma

Dalam analisis Muhammad Said Tanthowi, dasar atau prinsip ijtihad

Hanafi menyandarkan kepada, “kemudahan, toleransi, menghargai martabat

manusia, kebebasan berpikir, dan kemaslahatan umat.”

Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat

dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam

mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar

belakangnya adalah:

1. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila

beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih

memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau

menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah

dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.

2. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat

di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan

bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau

hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum

era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti

hadits.‟

Sebagai seorang sufi, Abu Hanifah tentu mempunyai pokok pikiran yang

patut kita contoh dan kita teladani. Diantara pokok pikiran Abu Hanifah adalah:

6
“Amalkanlah apa yang pernah kalian pelajari, karena teori tanpa praktek ibarat

tubuh tanpa roh”.’

Adapun salah satu metode istinbath hukum (ijtihad) yang dipopulerkan

oleh Abu Hanifah adalah istihsan. Secara bahasa, istihsan merupakan bentuk

masdar dari kata istahsana, yang berarti menganggap baik terhadap sesuatu.

Sedangkan menurut istilah, istihsan adalah beralih dari penggunaan sebuah dalil

dari qiyas jali ke qiyas khafi, atau dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang

lebih kuat daripadanya. 4 Dalam pengertian yang lain, istihsan adalah

meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh Syara‟ dan kemudian

menetapkan hukum lain karena ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat sesuai

dengan pemahaman mujtahid. Dengan demikian, istihsan tidaklah berdiri sendiri,

tetapi tetap berlandaskan pada dalil dalil syara‟, bukan berdasar pada hawa nafsu.5

Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal termasuk ulama yang menyepakati

digunakannya istihsan sebagai metode penggalian hukum, meskipun dalam

tataran yang sangat minimalis. Sementara asy-Syafii dan az-Zahiri termasuk yang

menolak istihsan sebagai metode penggalian hukum.

Dari pokok pikiran itu dapat kita ambil pelajaran bahwa setiap perilaku,

tingkah laku, dan ibadah yang kita lakukan harus dibarengi denga teori ilmu yang

berkaitan dengan apa yang kita kerjakan tersebut, karena setiap perbuatan yang

kita lakukan disertai dengan ilmu, akan menampakkan hasil yang baik dan

memuaskan.

4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah alIslamiyyah,
t.t.), hlm. 79
5 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, cet13 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hlm., 401

7
Pemikiran Hukum Imam Malik

Imam Malik merupakan imam ahli sunnah (hadis). Beliau dianggap

sebagai orang yang pertama kali menghimpun hadist yaitu kitab al-Muwaththa‟.

Beliau termasuk orang yang tajam pikirannya. Beliau mengumpulkan di dalam

fiqhnya penjelasan yang pasti dengan nash al-qur‟an, hadist dan fatwa sahabat

serta menjaga kemaslahatan manusia dalam segala fatwanya. Abu Qudamah

berkata bahwa Malik adalah orang yang paling memelihara hafalannya pada

zamannya.

Kadi Iyadh mengatakan bahwa: ” Bila anda perhatikan dengan teliti, orang

pertama yang menempuh jalan para imam mujtahid dan metodologi pengambilan,

dan ijtihad mereka dalam fiqh dan hukum, dialah Imam Malik”. Adapun metode

dan dasar-dasar istinbat Imam Malik adalah:

1. Al-Qur‟an

Seperti halnya imam madzhab yang lain, imam malik meletakkan al-Qur‟an di

atas semua dalil karena al-Qur‟an merupakan syariat dan hujjahnya. Imam Malik

mengambil dari:

 Nas yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk

lahirnya.

8
 Mafhum muwafaqoh atau fahwa al-khitab, yaitu hukum yang semakna

dengan satu nas (al-qur‟an dan hadis) yang hukumnya sama dengan yang

disebutkan oleh nas itu sendiri secara tegas.

 Mafhum mukhalafah, yaitu penetapan lawan hukum yang diambil dari

dalil yang disebutkan dalam nas (al-qur‟an dan hadist) pada sesuatu yang

tidak disebutkan dalam nas

 ‟Illat-‟illat hukum(sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum).

2. Sunnah

Sunnah yang diambil oleh Imam Malik adalah:

 Sunnah mutawatir

 Sunnah masyhur, baik pada masa tabi‟in maupun tabi‟ al-tabi‟in. Tingkat

kemasyhuran setelah generasi ini tidak dapat dipertimbangkan.

 Khabar(hadis) ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan kias.

Namun, kadang-kadang hadis ahad tertolak oleh kias dan maslahat.

3. Praktek penduduk Madinah

Jika praktek ini benar-benar dinukilkan dari Nabi SAW., maka hal ini

dipandang sebagai hujjah. Sehubungan dengan hal itu, praktek penduduk Madinah

yang dasarnya ra‟yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas khabar ahad.

Menurut Imam Malik, perbuatan penduduk Madinah termasuk sebagian dari

sunnah mutawatir karena pewarisannya melalui generasi ke generasi yang

dilakukan secara massal sehingga menutup kemungkinan untuk terjadi

9
penyelewengan dari sunnah. Para sahabat yang berada di Madinah bergaul dengan

Nabi Muhammad Saw dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang kemudian

diwariskan kepada tabi‟in dengan cara yang sama. Pewarisan itu berlangsung

secara berkesinambungan hingga sampai kepada tabi’i al-tabi’in.

4. Fatwa sahabat

Fatwa ini dipandang sebagai hadis yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan

ini, Imam Malik mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji

dan meninggalkan sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan

tidak melaksanakannya karena tidak ada perintah dari Nabi SAW. Selain itu,

Imam Malik juga mengambil fatwa tabi‟in besar, tetapi tidak disamakan

kedudukannya dengan fatwa sahabat.

5. Kias, al-maslahah al-mursalah, dan istihsan

Imam Malik mengambil kias dalam pengertian umum yang merupakan

penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara yang tdak ditegaskan. Hal ini

disebabkan adanya persamaan sifat (‟illat hukum). Sementara istihsan adalah

memandang lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz‟iyah atas

ketetapan hukum berdasar kias. Jika dalam kias ada keharusan menyamakan suatu

hukum yang tidak tegas, maka maslahat juz‟iyah mengharuskan hukum lain dan

ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan. Namun dalam

madzhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup setiap

maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nas, baik dalam tema itu dapat

10
diterapkan kias atau tidak, sehingga pengertian istihsan itu mencakup al-maslahah

al-mursalah. Hal ini selaras dengan pendapat Iskandar Usman yang mengatakan

bahwa istihsan menurut Imam Malik berdasarkan kepada teori mengutamakan

realisasi tujuan syari‟at (kemaslahatan-kemaslahatan). Contoh: Dalil umum

melarang aurat seseorang. Akan tetapi bila dalil umum ini tetap diperlakukan

sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka hal itu akan

mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil itu, karena

dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahsiniyyat (pelengkap).

Al maslahah al-mursalah artinya suatu kemaslahatan yang tidak ada

ketegasan nash al-Qur‟an dan sunnah, tetapi dirujukkan pada tujuan-tujuan moral

dan pemahaman menyeluruh dari nash-nash itu. Contoh dari penggunaan teori ini

dapat dilihat pada tindakan Umar bin Khattab terhadap beberapa orang Yaman

yang membunuh satu orang. Ketika itu, sekelompok orang Yaman mengadakan

konsspirasi dalam pembunuhan satu orang. Tidak ad nash yang menegaskan kasus

ini, yang ada adalah ”an nafsu bin nafsi”(satu jiwa dengan satu jiwa). Setelah

mendikusikan masalah ini dengan Ali bin Abi Thalib, umar memutuskan qisas

terhadap orang-orang yang terlibat dalam konspirasi itu. Sikap itu, kata Umar

adalah suatu upaya mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan, yaitu mencegah

pertumpahan darah dan terjadinya hukum rimba. Kemaslahatan ini ini juga

merupakan suatu kemaslahatan yang menjadi sasaran utama Al-Qur‟an. Sebab jka

orang-orang yang terlibat itu tidak dibunuh, maka cara konspirasi seprti itu akan

dianggap sebagai cara paling aman untuk menghindar dari qisas. Dan inilah yang

dimaksudkkan al-maslahah al-mursalah.

11
6. Az-Zara’i

Yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan maka akan

menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang dihalalkan maka

akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka

diharamkan juga. Sarana yang membawa kepada kerusakan dalam madzhab

Maliki adalah:

a. Sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, contohnya menggali sumur

di belakang rum ah

b. sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan contoh jual beli

anggur dengan dugaan akan dibuat khamar oleh pembelinya

c. sarana yang jarang membawa kerusakan contoh menggali sumur di tempat yang

tidak membahayakan orang

d. sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan tapi tidak dipandang umum,

contoh jual beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek

riba.

Jaih Mubarok dalam bukunya mengatakan bahwa langkah-langkah ijtihad

Imam Malik hanya ada lima atau yang disebut ushul al-khomsah yaitu al-qur‟an,

sunnah, perbuatan penduduk Madinah, fatwa sahabat, kias dan istihsan tanpa az-

zara’i.

Beberapa hal yang menarik yang dapat diamati dari pemikiran dan dasar-

dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:

12
1. Imam Malik mendahulukan orang-orang Madinah sebelum ia melakukan

pemikiran ijihadnya dengan ra‟yu dan qiyas. Bagi Imam Malik, perbuatan

orang-orang Madinah dianggap memiliki kehujjahan yang sejajar dengan

Sunnah Nabi, bahkan Sunnah Mutawatirah. Ia beranggapan pewarisan

tradisi orang Madinah dilakukan secara massal dari generasi ke generasi

sehingga menutup kemungkinan ternjadinya penyelewengan dari sunnah.

2. Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali

syar‟i yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas. Walaupun

belakangan pandangan ini banyak diprotes keras, dia tetap berpandangan

pentingnya mengedepankan pemikiran dan pandangan sahabat dalam

bentuk qaul fikih dan fatwanya walaupun di dalamnya terdapat sahabat

yang dianggap tidak ma‟shum.

3. Kecenderungan yang kuat dalam penggunaan al-maşlahah mursalah.

Metodologi ini pada awalnya merupakan khas pemikiran Imam Malik

yang diduga kuat merupakan pengaruh dari pemikiran tokoh fikih sahabat,

seperti Umar bin Khaththab. Metode ini kemudian mendapat legitimasi

dari semua mazhab sesudahnya meskipun dengan sebutan yang berbeda.

Dalam teori ini dapat diketahui bahwa Imam Malik di satu sisi sangat kuat

dan populer dengan penggunaan hadits, ia juga tetap menggunakan rasio.

13
4. Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad. Ini

merupakan salah satu indikator bahwa tradisi bahwa tradisi orang Madinah

dalam bentuk hadits ahad bagi Imam Malik merupakan Hujjah.6

D. Kesimpulan

Mazhab Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal

sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas

masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antara latar belakangnya

adalah:

1. Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila

beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih

memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau

menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah

dengan masalah lain yang punya dalil nash syar‟i.

2. Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat

di mana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan

bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau

hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum

era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti

hadits.‟

6 Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011. Hal 300-
301

14
Beberapa hal yang menarik yang dapat diamati dari pemikiran dan dasar-

dasar mazhab Maliki dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Imam Malik mendahulukan orang-orang Madinah sebelum ia melakukan

pemikiran ijihadnya dengan ra‟yu dan qiyas. Bagi Imam Malik, perbuatan

orang-orang Madinah dianggap memiliki kehujjahan yang sejajar dengan

Sunnah Nabi, bahkan Sunnah Mutawatirah. Ia beranggapan pewarisan

tradisi orang Madinah dilakukan secara massal dari generasi ke generasi

sehingga menutup kemungkinan ternjadinya penyelewengan dari sunnah.

2. Imam Malik menganggap dan menggunakan qaul sahabat sebagai dali

syar‟i yang harus didahulukan penggunaannya daripada Qiyas. Walaupun

belakangan pandangan ini banyak diprotes keras, dia tetap berpandangan

pentingnya mengedepankan pemikiran dan pandangan sahabat dalam

bentuk qaul fikih dan fatwanya walaupun di dalamnya terdapat sahabat

yang dianggap tidak ma‟shum.

3. Kecenderungan yang kuat dalam penggunaan al-maşlahah mursalah.

Metodologi ini pada awalnya merupakan khas pemikiran Imam Malik

yang diduga kuat merupakan pengaruh dari pemikiran tokoh fikih sahabat,

seperti Umar bin Khaththab. Metode ini kemudian mendapat legitimasi

dari semua mazhab sesudahnya meskipun dengan sebutan yang berbeda.

Dalam teori ini dapat diketahui bahwa Imam Malik di satu sisi sangat kuat

dan populer dengan penggunaan hadits, ia juga tetap menggunakan rasio.

15
4. Imam Malik sangat toleran terhadap penggunaan hadits ahad. Ini

merupakan salah satu indikator bahwa tradisi bahwa tradisi orang Madinah

dalam bentuk hadits ahad bagi Imam Malik merupakan Hujjah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996
Fikri, Ali. Kisah-kisah Imam Madzab, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Hanafi, Muhammad dan Muchlis, Biografi Lima Madzhab Imam Malik,
Tangerang: Lentera Hati, 2013
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih , Kairo: Maktabah ad-Dakwah
alIslamiyyah, t.t.
Ismatullah, Dedi, Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fikih, cet13 ,Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010

17

Anda mungkin juga menyukai