Anda di halaman 1dari 76

FAKULTAS DAKWAH - PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)- SEKOLAH TINGGI ILMU

AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS ISLAM SUMATRA UTARA (UISU)

MAKALAH
AKHLAK TASAWWUF
DOSEN PENGAMPU : Drs. H. DARDJAT PURBA SH,MM
DISUSUN OLEH : DIMAS SYAHLU RUKMANA
NPM : 19.01.0012

JILID 1

FAKULTAS DAKWAH - PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)


UNIVERSITAS ISLAM SUMATRA UTARA
JL. Asahan km.4,5 Pematang siantar, Sumatara Utara,
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telahmelimpahkan taufiq
dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaiakanmakalah ini. Adapun judul dalam
makalah ini adalah “AKHLAK TASAWWUF”.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekuranganbaik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yangpenulis miliki. Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat penulisharapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Tidak lupa kami hanturkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing
Bpk Drs. H. Dardjat Purba SH,MM yang telah memberikanarahan dan petunjuk, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dalam waktunya.

P.Siantar, 11 Oktober 2019

Penulis

I
Daftar ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………………………………..i

Daftar isi……………………………………………………………………………………………………….ii

BAB I . Definisi, Ruang lingkup dan sejarah Tasawwuf …………..…………………3

1.1. Latar belakang…………………………………………………….…….3


1.2. Pembahasan, Definisi……………………………………………….…..4
1.3. Sejarah perkembangan Taswwuf…...……………………………….….6
1.4. Ruang lingkup Tasawwuf………..…………………………………….16
1.5. Kesimpulan……………………….……………………………………25

BAB II . SUMBER SUMBER AJARAN TASAWWUF………………..……………………………26


1.1.Latar belakang……………………………………………………......……26
1.2.Pembahasan……………………………………………….....…….………27
1.3.Sumber-sumber Ajaran Tasawwuf…………………………….....….….…28
1.4.Kesimpulan………………………………………………….…....…….…44
.
BAB III . MAQOMAT………………….…………………………………………….45

1.1. Latar belakang………………………………………….….………….45


1.2. Pembahasan………………………………………………….….…….46
1.3. Maqomat………………………………………………….…….……..47
1.4. Kesimpulan………………………………………………….….……..51

BAB IV . AKHLAK MENURUT KAUM SUFI…………………………………………52

1.1. Latara belakang…………………………………………….…..…….52


1.2. Pembahasan………………………………………………….…........53
1.3. Akhlak Menurut Kaum Sufi……………………………….…..…….56
1.4. Kesimpulan………………………….………….............…....…….61
.
BAB V . AHWAL………………………………………………………………………62

1.1. Latar Belakang………………………………………...............……62


1.2. Pembahasan…………………………………...............………….....63
1.3. Struktur Ahwal………………………………………...............……64
1.4. Kesimpulan………………………….…………….…..............…….71

Referensi……………………………………….......................…..72

Daftar Pustaka……………………………...………..73

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Definisi, Ruang lingkup dan Sejarah Perkembangan Tasawwuf

A . Latar Belakang Masalah Definisi , ruang lingkup dan Sejarah Perkembangan


Tassawuf

Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau
sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorag Islam dapat berada sedekat mungkin
dengan Allah SWT.

B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan Definisi Ilmu Tassawuf

2. Menjelaskan Ruang lingkup Akhlak Tassawuf

3. Menjelaskan Sejarah perkembangan Akhlak Tassawuf

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Definisi Tassawuf .


2. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Tassawuf.

3. Untuk mengetahui Ruang lingkup Tassawuf.

3
PEMBAHASAN

A. Definisi Tasawuf

Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita kepada orang-orang yang saleh, banyak beribadah,
untuk menjaga perilaku bersatu dengan Allah, dengan sesama manusia, dengan makhluk lain
dan selalu ingin dekat dengan Allah, pencipta semua makhluk. Namun, istilah ini adalah
istilah yang didasarkan pada gerakan batin dalam upaya untuk melampirkan pelayan kepada
Sang Pencipta. Untuk lebih mengetahui apa itu Sufisme, pertama-tama perlu dipahami
pemahamannya.

1. Definisi tasawuf secara etimologi


Asal usul istilah Sufisme mengacu pada beberapa kata yaitu:
a. ‫ صفى‬artinya suci. Dalam pengertian ini orang-orang yang ingin dekat dengan Allah SWT,
kegiatan mereka sebagian besar diarahkan untuk menyucikan diri agar dekat dengan Allah
SWT. Ini berarti bahwa Allah yang Mahakudus tidak dapat didekati kecuali oleh mereka
yang memelihara kekudusan. Bishr bin al-Harith berkata: "Para sufi adalah orang-orang yang
hatinya murni / tulus kepada Allah.
b. ‫ صف‬berarti baris atau baris depan. Orang yang ingin dekat dengan Tuhan, harus memiliki
iman yang kuat. Karena itu selalu ada di garis depan dalam hal ibadah.
c. ‫ اهل الصفة‬artinya penghuni teras (masjid). Istilah ini didasarkan pada mereka yang ingin
dekat dengan Allah SWT, sehingga mereka juga bermigrasi dengan Nabi dari Mekah ke
Madinah. Di Madinah mereka tinggal di serambi masjid.
d. ‫ صوف‬berarti wol, bulu hewan kasar. Orang-orang yang selalu dekat dengan Allah SWT.,
Hanya memakai alat berpakaian bulu binatang kasar, domba, unta dan sebagainya, ini hanya
pandangan saya karena para sufi tidak mengkarakterisasi diri dengan mengenakan pakaian
dari bulu.
e. Pendapat lain mengatakan bahwa istilah sufisme derasal dari bahasa Yunani Sophos atau
Shofia berarti kebijaksanaan atau kebijaksanaan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas
orientalis. Sofias adalah orang-orang yang ahli dalam filsafat atau kebijaksanaan. Mereka
menambahkan bahwa dalam tradisi Arab kata sofia direduksi menjadi kata shufiya untuk
menunjukkan para penyembah dan filsuf agama.
Dari pendapat limat di atas, maka secara etimologis kata tasawuf lebih dekat dengan kata
‫صوف‬. Seperti Ibn Khaldun berpendapat bahwa kata sufi adalah kata yang diciptakan dari kata
suf. Namun perlu diingat, bukan hanya karena ia mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu
dan wol, maka seseorang disebut sufi. Seseorang menggunakan wol hanya sebagai simbol
kemurnian, mereka menyiksa dan menekan nafsu dan berjalan di jalan Nabi.

4
2. Definis tasawuf secara terminologi

Ada banyak definisi yang telah dibuat untuk menjelaskan pemahaman tasawuf dalam
terminologi. Inilah beberapa di antaranya:
Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri (376-466), tasawuf adalah terjemahan dari ajaran Alquran,
sunnah, perjuangan untuk mengendalikan hawa nafsu, menjauhi ajaran sesat, mengendalikan
nafsu, dan menghindari sikap meredakan ibadah ibadah keagamaan.
Menurut Ahmad Amin, tasawuf adalah bertekun dalam beribadah, berurusan langsung
dengan Allah SWT, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, menerapkan zuhud kepada
mereka yang diburu oleh banyak orang, dan menghindari makhluk-makhluk dalam
pengasingan untuk beribadah.

Sedangkan tasawuf menurut Zakaria al-Anshari adalah mengajarkan cara menyucikan diri,
meningkatkan moral, menerapkan zuhud kepada mereka yang diburu oleh banyak orang, dan
menghindari agar dapat beribadah lebih dekat kepada Allah dan mendapatkan hubungan
langsung dengannya.
Jika Anda melihat beberapa definisi di atas, maka Anda bisa mendapatkan ekspresi singkat
dan ringkas yang mencakup dua aspek yang keduanya membentuk satu kesatuan yang saling
mendukung dalam mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah jalan dan yang kedua adalah
tujuannya. Caranya, termasuk melakukan berbagai rangkaian ibadah, latihan spiritual seperti
zuhud. Sedangkan tujuannya adalah untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta, yang
klimaksnya adalah saksi (komunitas).

5
B. Sejarah Perkembangan Tasawuf

Istilah tasawuf dikenal luas di wilayah Islam sejak akhir abad kedua Hijriyah, sebagai
kelanjutan perkembangan kesalehan atau zahid asketis yang berkerumun di serambi masjid
Madinah. Dalam perjalanan hidup, kelompok ini berspesialisasi dalam menyembah dan
mengembangkan kehidupan spiritual dengan mengabaikan kesenangan duniawi.
Pola kesalehan ini merupakan awal dari pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang
pesat. Fase ini bisa disebut fase asketisme dan merupakan fase pertama pengembangan
tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih banyak setelah
akhirat, sehingga perhatian mereka terfokus pada ibadah. Fase asketisme ini berlangsung
setidaknya sampai abad kedua Hijriyah. Memasuki abad ketiga Hijriyah telah melihat transisi
dari asketisme Islam ke Sufisme. Namun menurut mayoritas penulis sejarah tassawuf, cikal
bakal atau keturunan tasawuf di dunia Islam sudah tampak jelas di dalam diri Nabi
Muhammad, baik ketika melihat aspek kehidupan, karakter dan ibadahnya.
Untuk lebih jauh melihat bagaimana perkembangan tasawuf saat ini, menggambarkan
kehidupan beberapa sahabat Nabi sebagai berikut:

a. Perkembangan Tasawuf pada Masa Khulafa 'al-Rashidin

Perkembangan tasawuf sangat terlihat dalam kehidupan khulafa 'al-rashidin berikut:

1. Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 AH)


Sebelum ia masuk Islam, ia adalah pedagang jujur yang besar di zamannya. Setelah ia
memeluk Islam, ia adalah donor permanen dalam semua kegiatan keagamaan, maka semua
kekayaannya disumbangkan untuk kepentingan dan kepentingan agama Islam. Kejujuran dan
kemurniannya berarti bahwa ia dapat memperdalam jiwa dan semangat Islam lebih dari
Muslim lainnya.

2. Umar bin Khattab (wafat. 23 H)


Dia memiliki otoritas yang kuat dan karismatik, baik sebelum dan sesudah masuk Islam. Dan
sebelum dan sesudah menjabat sebagai khalifah, ia selalu tampil dengan sopan. Ia dikenal
sangat adil, memiliki keberanian yang kuat, dekat dengan kelas bawah, dan sangat takut
mengambil aset negara (amanah). Dia adalah profil seorang pemimpin sejati dan sukses.
3. Usman bin Affan (w. 25 AH)
Dia adalah seorang taipan pada zamannya, dia selalu muncul sebagai pemberi dana, dia rela
menyerahkan sebagian besar hartanya untuk kepentingan Islam, dia selalu membebaskan
budak yang dianiaya oleh orang-orang kafir yang ditebus dengan harta milik mereka sendiri.

4. Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H)


Dia adalah yang paling zuhud dalam hidupnya, paling berpengetahuan tentang
pengetahuannya. Dia sangat berbudi luhur, terkenal karena kesalehannya, dan juga
kemurnian jiwanya.
Dengan contoh nilai-nilai moral seperti kepribadian khulafa 'al-Rashidin itu dibimbing oleh
para sufi dan orang-orang saleh yang ingin berlatih dan meningkatkan praktik ibadah dan
melatih jiwa mereka untuk menjadi dekat dengan Allah SWT.

6
b. Perkembangan Tasawuf Pada Masa Ahli Suffah

Kehidupan seorang ahli Suffah yang menunjukkan praktik kepatuhan dapat digambarkan
sebagai berikut:

1. Salman al-Frisiy (wafat. 32 H)


Di antara para ahli tasawuf Salman al-Farisy dikenal sebagai teman yang hidupnya zuhud,
berkeliaran dan hidup dalam kemiskinan, ia dianggap sebagai ahli Suffah yang diberkati
dengan ilmu ladunni yang mendalam.

2. Abu Zar al-Gifariy (wafat. 22 H)


Salah satu sahabat paling zahid Nabi adalah Abu Zar al-Gifariy. Dia tidak pernah merasa
menderita ketika bencana terjadi, suka menerima cobaan, dan tidak pernah memiliki apa pun,
dan tidak dimiliki oleh apa pun. Abu Zar al-Gifariy menganggap cobaan itu sebagai urusan
Tuhan baginya, sehingga ia selalu bersyukur dan setia.
Pernyataannya tentang pencobaan Allah adalah "Sesungguhnya aku menyadari bahwa
kemiskinan lebih seperti kekayaan, lebih banyak rasa sakit daripada kesehatan, kematian
lebih seperti hidup."

Dari uraian di atas, perkembangan tasawuf pada abad ini, yaitu pada masa Nabi, Khulafa 'al-
Rashidin, dan masa Suffah, tampaknya istilah atau istilah penggunaan tasawuf untuk
kehidupan spiritual tidak belum ada, tetapi tidak dapat disangkal fakta bahwa Nabi dan para
sahabatnya adalah seorang praktisi yang dijadikan contoh para sufi sesudahnya.
Dengan demikian kehidupan Nabi dalam segala hal dianggap, sebagai embrio yang kemudian
tumbuh dan dikembangkan oleh para sahabat Khulafa 'al-Rashidin dan Ahlu Suffah yang
dianggap sebagai jamaah yang secara konsisten mementingkan kehidupan spiritual
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi. dan kemudian diikuti oleh orang-orang saleh dan sufi
abad berikutnya

7
c. Munculnya kehidupan zuhud
Dari kondisi politik yang tidak kondusif, dan dari kondisi sosial yang tidak bermoral, maka
umat Islam yang merasakan kewajiban moral muncul untuk mengingatkan pihak berwenang,
agar rakyat kembali hidup seperti yang dicontohkan oleh Nabi.
Ini lebih ditekankan oleh Nurchalis Madjid bahwa dampak dari perubahan ini menyebabkan
beberapa orang yang merasa bahwa Islam pada saat ini tidak lagi seperti pada masa Nabi,
Khulafa 'al-Rashidin, menyebabkan ledakan dan kritik terhadap penguasa Umaiyah yang
bentuknya berupa oposisi agama terhadap rezim Umayyah.
Orang-orang Muslim yang memiliki kepedulian dikenal sebagai tokoh zahid, yang berarti
orang-orang yang menghindari kehidupan duniawi yang ingin melihat orang menjadi aman.
Tokoh-tokoh zahid yang terkenal termasuk Hasan al-Basri (wafat 728 M). Dia belajar banyak
tentang ilmu moralitas sehingga ajarannya sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan
perilaku sehari-harinya, dan dia juga dianggap sebagai tokoh oposisi moral. Karena dia berani
mengirim surat kepada penguasa Abd. Malik Bin Marwan menuntut agar pihak berwenang
dapat memberikan hak dan kebebasan kepada rakyat. Selain Hasan al-Basri, ada banyak lagi
tokoh zahid seperti Sufyan as-Sauriy (w. 135 H), Malik bin Dinar (w. 171 H) dan lainnya.
Perkembangan istilah tasawuf saat ini (abad pertama hingga awal abad kedua H) masih
belum jelas. Istilah yang dikenal saat ini hanya kehidupan zuhud ', yang berarti sikap jiwa
yang lebih menyukai dan menyukai kehidupan setelah kematian dan mereproduksi lebih
banyak ibadah daripada kehidupan duniawi.
Memasuki akhir abad II H, terjadi pergeseran dalam kehidupan zuhud ke istilah tasawuf. Ini
ditandai oleh zahid-zahid yang mulai berbicara tentang konsep tentang kehidupan dengan
dimensi spiritual. Meskipun sangat sulit untuk membedakan secara pasti dan pasti keberadaan
transisi, tetapi secara umum pendapat yang mengatakan bahwa ada kecenderungan untuk
membahas konsep tasawuf termasuk jalan menuju Tuhan, waktu itu disebut masa transisi.
Nicholson mengatakan bahwa sulit untuk membedakan antara kehidupan zuhud dan
kehidupan beragama, karena secara umum orang-orang sufi saat ini adalah atau sebelumnya
orang-orang zahid. Ini ditekankan oleh Taftazani bahwa mereka lebih layak disebut zahid
daripada "sufi".
Pada abad kedua H, dalam kehidupan spiritual terjadi transformasi, dari metode zuhud ke
metode tasawuf, yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh sufi yang menawarkan konsep
atau ide dalam bentuk teori sebagai cara untuk dekatlah dengan Tuhan, seperti Rabiahtul
Adawiyah dengan konsep mahabbah atau cinta.
Keberadaan istilah tasawuf pada akhir abad kedua H, tetapi itu tidak berarti bahwa sistem
tasawuf lahir sebagai ilmu yang meskipun praktiknya telah ada sejak zaman Nabi. Namun,
ketika memasuki abad ketiga H., perkembangan tasawuf telah mulai menjadi jelas dan istilah
tasawuf dikenal luas. Perkembangan ini disebabkan oleh prinsip-prinsip teoretis yang sudah
mulai terstruktur secara sistematis, serta aturan praktisnya, sehingga melahirkan tiga jenis
gaya tasawuf: Tasawuf Sufisme, Tasawuf Sufi, dan Sufisme Filsafat Sufi. Pada saat ini
tasawuf mencapai puncak keemasannya sebagai gerakan yang banyak dipelajari dan
dipraktikkan / dipraktikkan sebagai prinsip kehidupan.

8
C. Faktor Penyebab Kemunduran Tasawuf

Para cendekiawan Muslim menarik kesimpulan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan citra
tasawuf runtuh di mata dunia Islam.
1. Sebagian besar sufi mendominasi ajaran tasawuf dengan unsur-unsur filosofis yang terlalu
rasional sehingga tidak lagi relevan dengan Alquran dan Hadis.
2. Banyak penjajah menggunakan ideologi dan filsafat sekularisme dan materialisme yang
sangat bertentangan dengan ajaran tasawuf.
3. Pendapat lain mengatakan bahwa partai-partai penguasa Muslim sendiri sering menekan
ulama, untuk melegalkan dan membantu dalam menjalankan kekuasaan mereka. Satu hal
yang perlu diingat adalah bahwa penarikan tasawuf bukan karena ajaran tasawuf itu sendiri
tetapi karena orang salah untuk mengakses dan memahami tasawuf.

D. Inti Ajaran tasawuf

Pendekatan masing-masing jenis tasawuf, serta spesifikasi dan inti ajaran masing-masing
jenis tasawuf. Tasawuf dengan karakter moral, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan "moral" (teori ‫ )أخالق الكريمة‬atau yang biasa disebut kecerdasan emosi.
Untuk tasawuf filosofis, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan "rasio" untuk
memberdayakan pikiran yang biasa disebut kecerdasan intelijen. Sedangkan mistisisme sufi,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan "amaliah", melipatgandakan kegiatan yang
bersifat spiritual yang biasanya disebut kecerdasan spiritual.
Tiga bentuk tasawuf adalah perwujudan dari Esensi Tuhan yang absolut, dan itu berarti kita
harus menyadari bahwa Esensi dan pemahaman tentang Tuhan tidak dapat dicapai atau
didekati hanya dengan alasan atau alasan semata, tetapi memahami Tuhan harus dibantu
dengan pendekatan moral atau emosional dan spiritual keduanya terletak di hati sebagai
tempat tinggal iman.

Berikut ini adalah inti ajaran tasawuf yang dinyatakan menurut pembagian tasawuf itu
sendiri, yaitu:

1. Sufisme Moral

Taswuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang terkait dengan pendidikan mental dan bimbingan
serta pengembangan moral sehingga seseorang itu berbudi luhur atau memiliki karakter yang
baik. Dari pengertian ini, menurut pandangan orang sufi yang menganut aliran tasawuf
sebagai berikut:
a.Bahwa satu-satunya cara untuk membawa seseorang agar dekat dengan Allah SWT adalah
dengan "memurnikan jiwa".
b. Bahwa untuk mencapai kemurnian jiwa diperlukan "pelatihan mental" yang ketat al-
riyadhah. Bentuk Riyadhah adalah untuk "mengendalikan" sikap dan perilaku dengan cara
yang ketat untuk membentuk orang yang mulia.
c. Pelatihan mental itu bertujuan untuk mengendalikan dan mengendalikan nafsu, seperti
godaan yang duniawi.
d. Kontrol nafsu diperlukan, karena nafsu dianggap sebagai penghalang atau tabir antara
manusia dan Tuhan.
e. Itu untuk membuka tabir sehingga manusia bisa dekat dengan Allah SWT. Jadi para Sufi
melakukan pendekatan sistematis untuk takhalli (pengosongan) dan tahalli (pengisian).

9
2. Amali Sufisme

Sufisme Amali adalah ajaran tasawuf yang menekankan pengalaman keagamaan baik secara
fisik maupun spiritual. Sufisme Amali dianggap oleh sebagian sufi sebagai bagian dan
kelanjutan dari moralitas sufi. Menurut Sufi yang berpendapat bahwa dekat dengan Allah
SWT. Jadi seseorang harus menggunakan pendekatan amaliah dalam bentuk
melipatgandakan kegiatan, latihan fisik dan mental.
Oleh karena itu menurut para Sufi, ajaran agama juga mengandung aspek luar dan dalam,
sehingga cara untuk memahami dan mempraktikkannya juga harus melalui aspek fisik dan
mental. Kedua aspek ini dibagi menjadi empat bagian.

a.Syariah
Syariah, yaitu hukum, aturan, hukum Tuhan, atau ketentuan tentang halal, haram, wajib dan
sunnah, ini melibatkan aspek luar (eksoteris).
Menurut Sufi Syariah adalah praktik-praktik yang fardukan dalam agama yang biasanya
dikenal sebagai "rukun Islam" yang sumbernya berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah. Praktek
ini tidak hanya wajib tetapi semua sunnah, yang dilakukan dengan penuh ketulusan sehingga
metode ditentukan dalam waktu dan jumlah. Oleh karena itu, para sufi yang meninggalkan
syariah dianggap sesat, karena tanpa mempraktikkan hukum Tuhan dengan benar, dan
menyelesaikannya melalui praktik ibadah berarti tidak tunduk pada aturan Tuhan.
Syariah adalah esensi itu sendiri, dan esensi tidak lain adalah Syariah itu sendiri. Keduanya
satu, tidak akan ada satu sisi yang sempurna tanpa sisi lainnya. Allah SWT., Telah
menggabungkan keduanya, oleh karena itu tidak mungkin jika seseorang ingin memisahkan
sesuatu yang telah digabungkan oleh Allah SWT.

b. Tariqah
Tariqah menurut Sufi adalah perjalanan ke Allah, dan dalam perjalanan itu perjalanan melalui
metode, atau melalui cara untuk bersama Tuhan. Karena menurut sufi tanpa metode khusus
atau metode yang disebut tarekat akan sulit mencapai tempat tujuan. Jadi ketentuan sifat batin
ditentukan, dengan menggunakan metode langkah demi langkah yang dikenal sebagai ‫مقام‬
Menurut sufi, kehidupan penuh dengan rahasia, dan rahasianya ditutupi oleh kerudung,
sebenarnya kerudung itu adalah "nafsu" kita sendiri. Jilbab benar-benar dapat diungkap
(terbuka) selama mengambil jalan (Tariqah) lihat Al-Qur'an surat al-Jin ayat 16, yang berarti:
"Dan itu: Jika mereka terus berjalan lurus di jalan (agama Islam). Sungguh kita akan memberi
mereka air minum air tawar (banyak keberuntungan)"
Berdasarkan uraian di atas, maqamat adalah sistem atau metode untuk mengetahui dan
merasakan Tuhan atau melihat Tuhan dengan mata hati.

10
c. Haqiqah
Haqiqah diartikan sebagai kebenaran. Haqiqah juga biasanya diartikan sebagai puncak, atau
sumber dari segalanya. Sufi menurut Sufiqa adalah rahasia terdalam dari semua amal, dan
merupakan esensi dari syariah. Haqiqah diperoleh sebagai bantuan dan hadiah dari Tuhan
berkat pelatihan Sufi. Dengan kedatangan Sufi ke tingkat haqiqah, itu berarti bahwa ia telah
membuka rahasia dalam syariat, maka Sufi dapat memahami semua kebenaran. Atau dengan
kata lain haqiqah adalah mengetahui inti terpenting dalam sesuatu sehingga tidak ada yang
disembunyikan untuknya.
Haqiqah tidak dapat dipisahkan dari syariah, dan terkait erat dengan tarekat dan juga
ditemukan dalam ma'rifah. Dalam pandangan para Sufi, makna hukum eksternal (syariah)
harus utuh dan selaras dengan makna hukum internal (haqiqah), maka setiap manusia harus
tunduk pada syariah serta tunduk pada realitas batin (tariqah dan haqiqah), karena manusia
sendiri berada di antara dua ruang yaitu ruang fisik dan ruang spiritual.

d. Ma'rifah
Ma'rifah adalah pengetahuan dan pengakuan. Sedangkan menurut para Sufi berarti
pengetahuan tentang Tuhan melalui hati atau hati nurani. Pemahaman ini begitu lengkap
sehingga jiwa seorang sufi merasa bersatu dengan apa yang dia ketahui. Dikatakan oleh para
Sufi, ma'rifah berarti mengenal Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Ini
adalah tujuan utama tasawuf.
Melihat deskripsi syari'ah, tariqah, haqiqah dan ma'rifah, dapat dikatakan bahwa ma'rifah
hanya dapat dicapai jika melalui syari'ah dan dikejar berdasarkan tarekat dan kemudian dapat
memperoleh haqiqah. Ketika Syariah dan Tariqah telah dikuasai haqiqah muncul dan
kemudian tujuan sufi adalah ma'rifah.

Menurut para Sufi, pengalaman syariah Islam tidak sempurna jika tidak dilakukan secara
integratif dengan urutan sebagai berikut:
1. Syariah adalah aturan
2. Tariqah adalah cara untuk melakukan aturan
3. Haqiqah adalah kondisi yang dirasakan setelah menerapkan peraturan tersebut.
4. Ma'rifah adalah tujuan yang ingin dicapai oleh para Sufi.
Jika seseorang telah melalui keseimbangan yang seimbang dengan syariah, secara fisik dan
mental menuju puncak rahasia, maka kondisi mental yang disebut "kamil atau waliyullah"
tercapai, yaitu, orang-orang yang selalu dekat dengan Allah SWT, dan mendapatkan Karunia-
Nya sehingga mereka melakukan perbuatan. luar biasa disebut al-karamah.

11
3. Sufisme Falsafi

Filsafat Sufisme adalah ajaran tasawuf yang menggabungkan visi mistis dengan visi rasional.
Filsafat tasawuf berbeda dari tasawuf dan moralitas. Karena tasawuf filosofis menggunakan
istilah filsafat dalam mengekspresikan ajarannya. Terminologi tersebut berasal dari berbagai
ajaran filosofis yang memengaruhi tokoh-tokoh sufi. Dengan adanya istilah-istilah filosofis
dalam tasawuf ini menyebabkan perpaduan antara ajaran dan ajaran filosofis dari luar Islam
seperti Yunani, India, Persia, Kekristenan dalam ajaran tasawuf Islam. Tetapi harap dicatat
bahwa orisinalitas tasawuf masih ada dan tidak hilang. Karena para sufi menjaga
independensi ajaran mereka.
Meskipun tasawuf filosofis menggunakan banyak istilah filosofis, itu tidak dapat dianggap
sebagai filsafat. Karena ajaran dan metode dikombinasikan dengan rasa (zauq). Sebaliknya
itu tidak dikategorikan sebagai tasawuf murni, karena ajarannya sering diekspresikan dalam
bahasa filsafat yang sering condong ke pantaisme.
Contoh-contoh ajaran filosofis tasawuf meliputi teori al-fana ', al-baqa', dan al-ittihad dari
Yazid Bustami, teori hulul Mansur al-Hallaj, dan teori wihdatul dari Ibn Arabi.

12
E. Maqamat dan Ahwal

Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, para Sufi menyediakan metode atau cara atau
cara. Jalan itu berisi stasiun yang disebut ‫ﺕاماﻗم‬.

1. )tamaqaM( ‫ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ‬

Berdasarkan definisi di atas, dapat dinyatakan bahwa maqamat adalah tingkat, tahap yang
dicapai oleh sufi dari upaya keras dan sungguh-sungguh dan perjuangan konstan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam perkembangan lebih lanjut, ada perbedaan pendapat di antara para Sufi bahwa
referensi terhadap jumlah maqamats tidak selalu sama. Tampaknya perbedaan-perbedaan ini
bervariasi dalam hal jumlah dan pembentukan maqamat. Para penulis berikut menjelaskan
pendapat beberapa sarjana:
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi ada sepuluh maqatat dengan formasi sebagai berikut:
Pertobatan, Zuhud, Sabar, Fakir, Tawadu ', Takwa, Tawakkal, Ridha, Mahabbah dan Ma'rifat.
Sedangkan menurut al-Gazali ada delapan bentuk maqamat: Taubat, Sabar, Fakir, Zuhud,
Tawakkal, Mahabbah, Ridha, dan Ma'rifat.
Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi berpendapat bahwa
maqamats hanya dari tujuh jenis: Pertobatan, Wara ', Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakkal dan
Ridha. Sedangklan menurut Abu. Qasim Abd. Hanya ada enam maqamat Karim, yaitu:
Pertobatan, Wara ', Zuhud, Tawakkal, Kesabaran, dan Rida.

Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang lima jenis maqamat:


1. ‫) ﺔﺑﻭﺗﻟﺍ‬taubah(
Taubah adalah meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan kejahatan seperti yang
telah ia lakukan karena takut akan kebesaran Allah SWT, dan menjauhkan diri dari murka.
Para sufi berpendapat bahwa pertobatan adalah maqamat pertama. Mengingat bahwa
pertobatan adalah metode atau cara untuk mengikis semua sifat buruk. Menurut para Sufi,
dosa adalah pemisahan antara manusia dan Tuhan, karena dosa itu adalah sesuatu yang kotor
sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai mereka yang selalu menyucikan diri dari dosa
dengan bertobat. Ini adalah stasiun pertama yang harus dilewati oleh para Sufi.

2. ‫) ﺩﻫﺯﻟﺍ‬zuhud(
Zuhud diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan
material. Tetapi al-Gazali mendefinisikan zuhud sebagai sikap mengurangi keinginan untuk
dunia dan menjauh darinya dengan kesadaran penuh. Sedangkan al-Qusyaeri menyebut
zuhud yang tidak merasa bangga dengan kehidupan dunia yang ada di tangannya dan tidak
merasa sedih dengan hilangnya kemewahan dari tangannya. Dari pemahaman ini dapat
dipahami bahwa zuhud pada dasarnya mengurangi keinginan untuk kesenangan dunia
sehingga dapat membawa pengabdian dan dekat dengan Allah SWT.

3 ‫) ﺮﺑﺻﻟﺍ‬sabar(
Kesabaran secara harfiah berarti menahan diri. Menurut al-Gazali, kesabaran adalah kondisi
mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuh digerakkan oleh agama. Kesabaran yang
dimaksudkan oleh para Sufi adalah konsisten dan konsisten dalam melaksanakan perintah-
perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, bertahan dalam ujian kesulitan dan cobaan
yang ditimpakan kepadanya.

13
4. ‫( ﻞﻛﻭﺗﻟﺍ‬pengunduran diri)
Definisi pengunduran diri secara umum adalah sikap pengunduran diri total setelah
menjalankan bisnis. Tawakkal juga berarti berserah sepenuhnya kepada Allah dalam
menghadapi atau menunggu pekerjaan. Menurut pengunduran diri Sufi, tidak cukup hanya
menyerah seperti itu, tetapi lebih dalam lagi dengan merefleksikannya melalui sikap dan
tindakan dalam segala hal.

5. ‫) ﺎﺿﺮﻟﺍ‬Ridha(
Ridha secara harfiah berarti kesediaan. Sementara menurut Harun Nasution, kesenangan
berarti menerima qadha dan qadar Tuhan dengan kesenangan. Untuk itu, semua perasaan
kebencian di hati harus dibuang sehingga yang tersisa adalah perasaan senang dan gembira
meski musibah telah berlalu ia masih senang dan bahagia menerimanya seperti saat ia
mendapat rahmat dan kenikmatan.

2. ‫) ﻞﺍﻭﺣﻷﺍ‬Ahwal(

Selain maqamat, dalam tasawuf juga dikenal dengan istilah ahwal. Ahwal adalah kondisi
mental, seperti kondisi bahagia, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Ahwal Juga
diartikan sebagai kondisi mental atau situasi mental yang diperoleh oleh Sufi sebagai hadiah
dari Allah SWT. Ahwal sebenarnya merupakan manifestasi dari maqamat yang dilewati Sufi
sehingga sangat sulit untuk menggambarkannya secara informal dan dideteksi secara logis,
karena itu adalah pengalaman spiritual yang hanya diketahui oleh para Sufi yang telah
mengalaminya. Karena itu yang paling utama adalah sangat subyektif dan pribadi.

Dalam Sufisme kemudian dikenal oleh berbagai ahli. Penjelasan berikut:


1. ‫فﻭخلا‬: adalah sikap mental dengan merasa takut kepada Allah SWT, karena pengabdiannya
yang tidak sempurna dan untuk kesalahan yang telah dibuat. Takut dan khawatir jika Allah
tidak senang dengannya. Karena itu, para sufi selalu berusaha agar perilaku mereka tidak
menyimpang dari yang diinginkan Allah SWT. Sikap seperti ini memberikan motivasi untuk
berbuat baik dan mendorong untuk menjauh dari amoralitas.
2. ‫ﺀاﺟرلا‬: adalah sikap mental yang optimis dalam memperoleh hadiah Ilahi. Allah Maha
Penyayang dan Penyayang, sehingga Sufi penuh dengan 'harapan' untuk mendapatkan rahmat
dan kelimpahan rahmat. Sikap raja ini akan memberikan antusiasme dalam riyadhah dan
mujahadah sehingga ia dengan bersemangat menunggu harapan akan datangnya rahmat
Allah.
3. ‫ﻖﻭﺷلا‬: Kondisi psikologis yang dirasakan oleh Sufi untuk ingin bertemu dengan Tuhannya.
Gairahnya melonjak untuk selalu bersama orang yang dicintai. Dalam hal ini, pengetahuan,
pemahaman, dan pengakuan yang sempurna dan mendalam tentang Allah SWT,
memunculkan kegembiraan yang luar biasa dan penuh gairah yang melahirkan cinta dan
obsesi yang kuat untuk bertemu dengan Sang Kekasih.

14
4. ‫ﺲﻧﻷا‬: yaitu keadaan jiwa yang sepenuhnya terfokus pada Alah SWT. Jangan merasa tidak
ingat dan tidak berharap kecuali kepada Alah SWT.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa masalah tersebut adalah kondisi mental yang
dirasakan dan dinikmati secara damai dan intensif oleh para Sufi. Lebih lanjut dapat dilihat
bahwa jalan yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh koneksi batin
dan "persatuan" dengan Tuhan bukanlah cara yang mudah.
Maqamat dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan aplikasi. Maqamat diperoleh
melalui usaha keras dan kondisi atau kondisi tetap stabil dan tidak berubah. Seperti kesabaran
menerima cobaan adalah sama ketika menerima bantuan. Sikap hidupnya dapat dilihat dari
perilaku sufi sehari-hari seperti kesabaran, pengunduran diri, suzud dan relativitas. Sementara
akhirnya diperoleh sebagai hadiah, berkah (bukan unsur usaha dan perjuangan), kondisinya
tidak stabil dan tidak kekal, mudah diubah, (kadang-kadang merasa sedih, kadang-kadang
bahagia). Kondisi mental yang dirasakan bersifat abstrak (tidak dapat dilihat oleh orang lain),
dan hanya dapat dirasakan dan dipahami dan diketahui oleh mereka yang mengalaminya.
Meski sama-sama memiliki perbedaan, namun keduanya sangat terkait. Karena keduanya
memiliki dua sisi yang sama dan sulit untuk dipisahkan. Hal ini disebabkan semakin tinggi
tingkat maqamat yang dicapai oleh seorang sufi, semakin intens hal yang ia dapatkan dan
rasakan.

15
Ruang Lingkup Tasawuf
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan
bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi
(Agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini disebabkan
karena mereka mengidentikkan ajaran Islam sebagaimana ajaran non Islam, yaitu ajaran yang
dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial.
Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur Islam
a. Al-qur’an sebagai sumber pertama tasawuf
1. Seruan Al-qur’an untuk bersikap zuhud
a) Penjelasan Ayat-Ayat Zuhud
Salah satu ayat yang jelas dalalah-nya dan kuat argumentasinya dalam mengafirmasi
hal ini adalah gambaran Allah mengenai dunia sebagai sesuatu yang cepat berubah dan sirna.
Allah berfirman:

“ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.” (QS. Al-Hadid (57) :20)

Jika memang dunia berstatus sebagaimana yang diilustrasikan Allah, tidak kekal
abadi dan keindahannya bersikap semu belaka maka tidak seyogianya hati orang-orang
mukmin terpikat dan menggemarinya hingga taraf rakus yang praktis melalaikan mereka atau
memalingkan mereka dari berbagai macam amal ibadah dan ketaatan yang dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah.

16
b) Al-quran dan Kezuhudan Rasul
Al-qur’an menegaskan seruan zuhud dengan melarang Rasulullah SAW (dan tentu
saja kaum mukmin) untuk melongok (dengan tatapan iri dan nanar) kemewahan hidup
yang dinikmati orang-orang yang bergelimang kemewahan sebab pahala besar yang
dijanjikan Allah SAW bagi orang-orang mukmin yang berzuhud jauh lebih baik dan
kekal. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka
dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(QS. Thaha (20): 131)

Jika memang dunia berstatus sebagaimana yang diilustrasikan Allah, tidak kekal
abadi dan keindahannya bersikap semu belaka maka tidak seyogianya hati orang-orang
mukmin terpikat dan menggemarinya hingga taraf rakus yang praktis melalaikan mereka atau
memalingkan mereka dari berbagai macam amal ibadah dan ketaatan yang dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah.

c) Bingkai Zuhud dalam Alquran


alquran telah menggariskan bingkai zuhud yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun,
meskipun sebaik apapun niatnya. Bingkai zuhud ala Alquran tersebut adalah tidak
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah SWT atas nama zuhud. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Ma’idah (5): 87)

17
d) Kekuatan Zuhud yang Diserukan Alquran
perilaku zuhud yang diserukan Alquran dalam bingkai diatas, sesungguhnya merupakan
sumber kekuatan bagi umat Islam secara spiritual maupun material dan bukan penyebab kelemahan
jamaah Islam sema sekali jika dipahami sesuai dengan arahan-arahan Alquran itu sendiri. Ia juga
bukan penghamabat kemajuan dan kebangkitan umat.
Fakta sejarah membuktikan bahwa kaum muslim generasi awal mampu menyebarkan Islam
hingga sedemikian jaya berkat pemahaman ynag sahih terhadap zuhud yang memotivasi mereka
untuk mengorbankan jiwa, raga dan harta mereka di jalan Allah SWT demi memilih pahala di sisi
Allah SWT dari pada perhiasan dunia yang fana.
d) Kekuatan Zuhud yang Diserukan Alquran
perilaku zuhud yang diserukan Alquran dalam bingkai diatas, sesungguhnya
merupakan sumber kekuatan bagi umat Islam secara spiritual maupun material dan bukan
penyebab kelemahan jamaah Islam sema sekali jika dipahami sesuai dengan arahan-arahan
Alquran itu sendiri. Ia juga bukan penghamabat kemajuan dan kebangkitan umat.
Fakta sejarah membuktikan bahwa kaum muslim generasi awal mampu menyebarkan
Islam hingga sedemikian jaya berkat pemahaman ynag sahih terhadap zuhud yang
memotivasi mereka untuk mengorbankan jiwa, raga dan harta mereka di jalan Allah SWT
demi memilih pahala di sisi Allah SWT dari pada perhiasan dunia yang fana.

18
2. Seruan Alquran untuk Beribadah
a) Penjelasan Beberapa Ayat Ibadah
Allah SWT berfirman dalam surat adzariyat ayat 56:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku.” (QS. Adz-Dzariyat (51): 56)

b) Pemahaman yang Shahih Terhadap Ibadah


para ahli ibadah generasi awal, dimasa permulaaan Islam memahami ibadah yang
dianjurkan Allah SWT dengan pemahaman yang sahih. Pemahaman yang benar terhadap
ibadah ini terwujud dalam diri mereka berkat didikan Rasulullah SAW yang mengajarkan
kepada mereka bahwa jihad di jalan Allah SWT adalah ibadah, bekerja mencari rejeki untuk
menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan pribadi serta keluarga juga merupakan
ibadah yang menjadi media penghapusan dosa-dosa. Allah berfirman:

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan
harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS. As-Sajdah (32): 16)

Kehidupan Rasulullah SAW Sebagai Sumber Kedua Tasawuf


1. Kezuhudan Rasulullah dan Kesederhanaannya
tidak ada yang menunjukkan fakta ini dari ada deretan khobar tentang perilaku
kehidupan beliau yang dimuat dalma sejumlah hadist shahih.
a. Kezuhudan dan Kesederhanaan Beliau dalam Hal Makanan
Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Rasulullah bahwa
beliau sangat bersahaja dalam makanan. Ia bercerita: aku melihat Abu Hurairah r.a memberi
isarat dengan jarinya beberapa kali seraya berkata demi zat yang jiwa Abu Hurairah ada
dalam genggaman tangannya, nabi Allah tidak pernah kenyang selama 3 hari berturut-turut
dengan mengkonsumsi roti gandum sampai beliau meninggal dunia. (HR. Al-bughori).
b. Kezuhudan dan Kesederhanaan Beliau dalam Berpakaian
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasullulah saw. Makan-makanan kasar, memakai pakaian
kasar dan hanya sesekali mengenakan pakaian dari bulu domba. (HR. Al-hakim)

19
c. Kezuhudan dan Kesederhanaan Alas Tidur Rasulullah SAW
Diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata: sesungguhnya, alas tidur Rasullullah SAW
berupa lembaran kulit berisikan rerumputan kering. (HR. Muslim)

c. Kehidupan Sahabat dan Khulafa’urrasyidin sebagai Sumber Ketiga Tasawuf


Kehidupan sahabat secara umum dalam pandangan peneliti yang objektif merupakan
sumber vital yang diacu kaum zuhud dan ahli ibadah generasi awal dalam membangun pilar-
pilar kehidupan spiritual mereka. Rasullullah bersabda mengenai mereka: “Para sahabatku
laksana bintang-bintang; siapapun diantara mereka yang kalian ikuti, kalian telah
terbimbing.”
Diantara sahabat-sahabat nabi antara lain:

· Abu Bakar Ash-Shidiq


Dengan segala kezuhudannya, ketakutannya kepada Allah, kebesaran harapnya kepada-
Nya, kewara’annya yag luar biasa dalam menjauhi hal-hal yang lebih syubhat, dan
pengakuannya akan kelemahan akal untuk mengetahui persoalan-persoalan gaib, Abu Bakar
dapat dianggap sebagai salah satu imam panutan kaum sufi sejati.

· Umar Bin Khatab


Dari kehidupan Umar terlihat jelas seberapa jauh hubungan antara ia dengan ujaran-
ujaran yang keluar dari mulut kaum sufi sejati dan perilaku-perilaku pendekatan kepada Allah
yang bersumber dari mereka.
· Usman bin Affan
Tidak kalah dengan kedua pendahulunya, Usman bin Affan juga giat beribadah dengan
berbagai cara yang ia mampu. Usman bin Affan berpandangan bahwa kebaikan seluruhnya
tersimpul dalam empat perilaku mulia, yaitu:
1. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunah (nawafil).
2. Sabar menghadapi hukum-hukum dan ketentuan Allah SWT.
3. Ridha menerima takdir Allah SWT.
4. Malu dari pandangan Allah SWT.

20
·

Ali bin Abi Thalib


Di sini tampak adanya hubungan parallel antara kecenderungan Ali memilih pakaian
bertambal dengan kegemaran sebagian sufi dimasa lalu dengan pakaian serupa.
Kezuhudan dan kesederhanaannya sebagaimana yang terlihat tidak lain merupakan
media yang digunakannya untuk menyusul Rasullullah di surga. Dikisahkan bahwa ia pernah
berpesan kepada Umar bin Khatab dengan ungkapan-ungkapan yang sarat nilai-nilai
kezuhudan; tuturnya, “Jika kau ingin bersua dengan sahabatmu (Abu Bakar) maka
kenakanlah baju bertambal, pakailah sandal bertambal, pendekkan anganmu, dan makanlah
tanpa kenyang.”
2. Unsur Luar Islam
Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam
tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam.
Akan tetapi, kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-
agama tersebut, namun tidak secara otomatis memengaruhi kehidupan tasawuf, karena para
penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka.
Dengan demikian, adanya unsur luar Islam yang memengaruhi tasawuf Islam itu merupakan
masalah akademik bukan masalah akidah Islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap
yang sangat kritis dan objektif.
a. Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan
ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf
adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman jahiliyah. Hal ini diperkuat
pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan
cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar
yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederanaan hidup adalah merupakan
pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa
istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat
bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.

21
b. Unsur Hindu/Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan
sikap fakir, darwisy. Al-birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan
mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkarnasi (perpindahan roh dari
satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia versi hindu/budha dengan
persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Menurut Qomar Kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima
bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti pada zaman nabi Muhammad telah
berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke makkah, padahal sepanjang sejarah belum ada
kesimpulan seperti itu.
c. Unsur persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan sejak lama yaitu
hubungan antara bidang politik pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum
ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke
tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia itu terjadi melalui
ahli-ahli tasawuf di dunia ini. namun barang kali ada kesamaan antara istilah zuhud di Arab
dengan zuhud menurut agama Manu dan Masdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham
Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama zarathustra.

d. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia dimana
perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayah dan puncaknya pada Daulah
Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut memengaruhi pola berpikir
sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian
dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliyah (akhlak) dalam pengaruh
filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itupun telah berubah menjadi tasawuf
filsafat.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala sesuatu diukur
menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat aliran Neo Platonis menggambarkan,
bahwa hakikat yang tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada hati
setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya dari pengaruh materi.

22
Manfaat Mempelajari Tasawuf
Harus diakui kebanyakan kita umat Islam seringkali menempuh cara beragama yang
cenderung formal syar’i dan sekedar memenuhi tuntutan kewajiban. Artinya, kita beribadah
dan beramal tidak lebih hanya sekedar gugur kewajiban sebagai seorang muslim, sehingga
beragama kita cenderung kering dan nyaris kehilangan makna. Tasawuf akan membasahi
keringnya nilai ibadah atau cara beragama kita dengan air kesejukan, ketentraman,
kedamaian, dan kedalaman spiritual sehingga sarat dengan makna dan dapat meluruskan cara
kita memandang kehidupan dunia ini.
Adapun manfaat tasawuf yang dapat diperoleh, antara lain sebagai berikut:
1. Membersihkan hati dalam berinteraksi dengan Allah SWT.
Interaksi manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasaran
jika ia lupa terhadap-Nya dan tidak disertai dengan kebersihan hati. Sementara itu, esensi
tasawuf adalah tazkiyah an-nafs yang artinya membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran.
Dengan tasawuf, hati seseorang menjadi bersih sehingga dalam berinteraksi kepada Allah
akan menemukan kedamaian hati dan ketenangan jiwa.

2. Membersihkan diri dari pengaruh materi


Melalui tasawuf, kecintaan seseorang yang begitu besar terhadap materi atau urusan
duniawi lainnya akan dibatasi. Memiliki harta benda itu tidak semata-mata untuk memenuhi
nafsu, tetapi lebih mendekatkan diri kepada Allah.

3. Menerangi jiwa dari kegelapan


Penyakit resah, gelisah, patah hati, cemas dan serakah dapat disembuhkan dengan
ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan olah jiwa manusia, yaitu tasawuf dimana
ketenteraman batin atau jiwa yang menjadi sasarannya.
Demikian pula sifat-sifat buruk dalam diri manusia seperti hasad, takabur, bangga
diri, dan riya’ tidak dapat hilang dari diri seseorang tanpa mempelajari cara-cara
menghilangkannya dari petunjuk kitab suci Al-qur’an maupun hadist melalui pendekatan
tasawuf.

23
4. Memperteguh dan menyuburkan keyakinan agama
Keteguhan hati tidak dapat dicapai tanpa adanya siraman jiwa. Kekuatan umat islam
bukan hanya karena kekuatan fisik dan senjata, melainkan karena kekuatan mental dan
spiritualnya. Keruntuhan umat islam pada masa kejayaannya bukan karena akibat musuh
semata, tetapi kehidupan umat islam pada waktu itu yang dihinggapi oleh meterialisme dan
mengabaikan nilai-nilai mental atau spiritual.
Banyak manusia yang tenggelam dalam menggapai kebahagiaan duniawi yang serba
materi dan tidak lagi mempedulikan masalah spiritual. Pada akhirnya paham-paham tersebut
membawa kehampaan jiwa dan menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Jika amalan tasawuf
diamalkan oleh seorang muslim, ia akan bertambah teguh keimanannya dalam
memperjuangkan agama Islam.

5. Mempertinggi akhlak manusia


Jika hati seseorang suci, bersih serta selalu disinari oleh ajaran-ajaran Allah dan
Rasul-Nya maka akhlaknya pun baik. Hal ini sejalan dengan ajaran tasawuf yang menuntut
manusia untuk menjadi muslim yang memiliki akhlak mulia dan dapat menghilangkan akhlak
tercela.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting dalam kehidupan manusia. Apabila
manusia tidak memilikinya, turunlah martabatnya dari manusia menjadi binatang. Dalam
akidah, jika seseorang melanggar keimanan ia akan dihukum kafir. Di dalam fiqh, apabila
seseorang melanggar hokum dianggap fasik atau zindik. Adapun dalam akhlak, apabila
seseorang melanggar ketentuan, maka dinilai telah berlaku tidak bermoral.
Oleh karenanya, mempelajari dan mengamalkan tasawuf sangat tepat bagi kaum
muslim karena dapat mempertinggi akhlak, baik dalam kaitan interaksi antara manusia dan
Tuhan (hablum minallah), maupun interaksi antara sesama manusia (hablum minannas).

24
KESIMPULAN

Begitu banyak definisi tentang tasawuf. Meskipun demikian kita bisa mnarik
kesimpulan bahwa tasawuf adalah upaya atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT melalui proses dan cara-cara tertentu agar mendapatkan kebahagian batin sehingga
menghiasi diri dengan akhlakul karimah. Sedangkan orang yang bertasawuf disebut sebagai
sufi.
Polemik tentang asal-usul dan sumber tasawuf yang dikumandangkan para orientalis
Barat sebaiknya tidak mempengaruhi akidah namun di anggap sebagai pengetahuan
akademik semata. Kita harus yakin bahwa Tasawuf Islam itu benar-benar murni berasal dari
tubuh Islam itu sendiri yang bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi. Kita harus cermat, dan
obyektif memandang suatu pengetahuan sehingga tidak terjadi salah paham yang dapat
menyesatkan.
Mempelajari tasawuf memiliki banyak manfaat diantaranya di jaman modern saat ini
dimana teknologi serba canggih dan materi yang melimpah ternyata justru membuat manusia
mengalami penurunan spiritualisme dan lebih mementingkan dunia. Tasawuf dapat
menyejukan hati, menentramkan jiwa dan menemukan makna hidup yang sesungguhnya
ditengah pergumulan hidup sehari-hari.
Buah dari tasawuf adalah akhlak yang mulia dan peningkatan iman sehingga kita
dapat lebih dekat dengan Allah SWT dan dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan
akhirat.

Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah


Dahlan, Tamrin. 2010. Tasawuf Irfani (Tutup Nasut Buka Luhut). Malang: UIN-Maliki Press
Hadi, Mukhtar. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf (Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf).
Yogyakarta: Aura
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tassawuf Islam dan Akhlak Cet. 1. Jakarta: Amzah
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: Referensi
Nata, Abuddin. 2013. Akhlak tasawuf dan karakter mulia. Depok: PT RajaGrafindo Persada

25
BAB II
PENDAHULUAN
SUMBER SUMBER AJARAN TASAWWUF
1. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang diberikan satu keunggulan untuk mengenal dan
memahami penciptanya. Dengan keunggulan yang dimiliki tersebut, diharapkan mampu
menjadikan manusia benar-benar mendapat derajat yang mulia di sisi-Nya. Dalam Tasawuf,
jalan untuk menjadi hamba Allah yang baik dan sempurna diungkapkan dengan jelasnya, hal
ini bukan berarti manusia mampu segala-galanya sehingga dengan mudah mendapatkan
predikat mulia.
Namun, dalam tasawuf diajarkan untuk selalu ittiba` kepada Rasulullah Muhammad
SAW dan tentunya sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al-Qur`an. Dengan jalan inilah
manusia akan mampu mencapai derajat yang tertinggi, yang dalam tasawuf disebut sebagai
tingakatan ma`rifat. Tingkatan ini, dalam ajaran tasawuf bukanlah tujuan yang mudah dicapai
dan tidak pula tujuan yang tidak dapat dicapai. Melainkan, dalam Tasawuf Allah akan
memilih siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, untuk dekat bersama-Nya. Namun, bukan
berarti manusia tidak dapat berusaha mendapatkan atau sampai kepada tingkatan tersebut,
tetapi malah justru ketika usahanya sampai kepada Allah itulah nilai yang tertinggi.
Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitroh manusia dengan
tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah
dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya
yang menyadarkan hanya pada kehidupan kebendaan, disamping juga melepaskan jiwanya
dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela.[1]
Akan tetapi, tasawuf adakalanya membawa orang jadi sesat dan musyrik, bila
seseorang bertasawuf tanpa bertauhid dan bersyari`at. Tauhid menimbulkan iman, syari`at
menimbulkan taat. Seseorang dapat mengatakan bahwa Tuhan itu ada adalah dengan tauhid
dan dapat mentaati dan menuruti pada peraturan-peraturan dalam ibadah adalah dengan
syari`at, serta seseorang dapat merasakan dan mengenal Tuhan, untuk siapa dipersembahkan
semua amalannya itu yang disebut dengan tasawuf.[2]
Atas dasar tersebut, maka perlu dan penting sekiranya memahami darimana sumber
tasawuf itu agar dalam pengamalannya tidak dikategorikan sesat dan menyesatkan.
Mengingat sebagaimana yang diuraikan diatas bahwa adakalanya tasawuf membuat
seseorang menjadi sesat dan keluar dari syari`at.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, diambil rumusan masalahnya sebagai
berikut.
a. Apa yang dimaksud dengan sumber-sumber tasawuf?
b. Apa saja sumber-sumber tasawuf itu?
26
PEMBAHASAN

A. Maksud Sumber-Sumber Tasawuf


Setiap disiplin ilmu yang ada, masing-masing dari mereka memiliki sumber-sumber
yang menjadi dasar keberadaan mereka. Hal ini dimaksudkan agar kebenaran disiplin ilmu
yang dimaksud mempunyai payung hukumnya atau dasar berdirinya. Dengan sumber-sumber
yang menjadi keberadaannya, suatu disiplin ilmu dapat membuktikan dan menunjukkan
eksistensinya. Demikian juga dengan tasawuf, yang sudah jelas merupakan inti ajaran Islam
dalam mendekatkan diri kepada Allah, meskipun nama dan disiplin ilmunya baru muncul di
zaman yang belakangan ini. Tetapi, sejatinya ajaran tasawuf adalah wajib setiap muslim tahu
dan paham jika diperhatikan dari sudut pandang bahwa ini merupakan jalan yang dapat
menghantarkan jiwa kepada Sang Khaliq, artinya dalam proses pendekatan kepada Sang Ilahi
itulah yang membuat seorang muslim harus paham dengan tasawuf, karena bukan tasawufnya
yang menjadi persoalan tapi amalannya.
Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam
itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul
sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau
diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan
menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak sekali
didapati dari ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf.[3]
Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang. Sebagai bukti
misalnya, banyaknya buku yang membahas tasawuf yang banyak ditemui telah mengisi
berbagai perpustakaan terutama di negara-negara yang berpenduduk muslim, juga negara-
negara barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnya adalah non-muslim. Ini menjadi salah
satu alasan tingginya ketertarikan mereka terhadap tasawuf. Akan tetapi, tingkat ketertarikan
mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf. Jika
diteliti lebih mendalam, ketertarikan mereka terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua
kecenderungan, yaitu: pertama, karena kecenderungan terhadap kebutuhan fitroh atau
naluriah dan kedua, karena kecenderungan pada persoalan akademis.[4]
Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa berbicara disiplin ilmu berarti juga
berbicara atas dasar apa ilmu itu berdiri, atau berbicara dari sumber mana disiplin ilmu
tersebut lahir. Maka dalam pembahasan selanjutnya, akan diuraikan mengenai sumber-
sumber tasawuf yang menjadi dasar bagi keyakinan kaum muslim, mengingat ada pandangan
bertasawuf juga dapat membuat seseorang sesat.

27
B. Sumber-Sumber Ajaran Tasawuf

Al-Qur`an dan Al-Hadits merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegang
umat Islam. Kita sering mendengar pertanyaan dalam kerangka landasan dalil naqli ini, “apa
dasar Al-Qur`an dan Al-Hadits nya?” pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran
kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau
persoalan-persoalan unik yang mereka temui, termasuk dalam pembahasan tasawuf.[5]
Berikut ini merupakan sumber-sumber tasawuf.
1. Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril,
dimulai dengan surat Al-Fatiha dan di akhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis dalam
mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta
mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[6] Dalam Islam Al-Qur`an adalah hukum tertinggi
yang harus ditaati, mengingat bahwa Al-Qur`an merupakan firman Allah yang langsung
ditransferkan untuk umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya.
Berikut-berikut dalil-dalil Al-Qur`an tentang tasawuf, diantaranya:[7]
a. Taubat
Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama
bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah kembali. Kata taba memiliki arti
kembali, maka taubat maknanya juga kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela
dalam syari`at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari`at.
Orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip ahlus sunnah mengatakan,
agar taubat diterima diharuskan memenuhi tiga syarat utama, yaitu menyesali atas
pelanggaran-pelanggaran yang pernah diperbuatnya, meninggalkan jalan licin (kesesatan)
pada saat melakukan tobat dan berketepatan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-
pelanggaran serupa.[8] Allah SWT berfirman:

َ ‫س ٰى َربُّ ُك ْم أَن يُ َك ِفِّ َر َعن ُك ْم‬


‫س ِيِّئَا ِت ُك ْم‬ َ ‫صو ًحا َع‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا تُوبُوا ِإلَى‬
ُ َّ‫َّللاِ ت َ ْو َبةً ن‬
‫ي َوالَّذِينَ آ َمنُوا‬ ُ ‫ت ت َ ْج ِري ِمن ت َ ْح ِت َها ْال َ ْن َه‬
َّ ‫ار َي ْو َم ََل يُ ْخ ِزي‬
َّ ‫َّللاُ النَّ ِب‬ ٍ ‫َويُ ْد ِخلَ ُك ْم َجنَّا‬
ۖ ‫ورنَا َوا ْغ ِف ْر لَنَا‬ َ ُ‫ور ُه ْم يَ ْسعَ ٰى بَيْنَ أ َ ْيدِي ِه ْم َوبِأ َ ْي َمانِ ِه ْم يَقُولُونَ َربَّنَا أَتْ ِم ْم لَنَا ن‬
ُ ُ‫َمعَهُ ۖ ن‬
]٦٦:٨[ ‫ِير‬ ٌ ‫َيءٍ قَد‬ ْ ‫ِإنَّ َك َعلَ ٰى ُك ِِّل ش‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-
kesalahanmu dan memasukan kamu kedalam surga-surga yang mengalir dibawahnya
sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang beriman
bersama dengannya, sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan
mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami sempurnakanlah untuk kami cahaya
kami dan ampunilah kami, sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(Q.S At-Tahrim: 8).
28
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

]٢٤:٣١[ َ‫َّللاِ َج ِميعًا أَيُّهَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬


َّ ‫َوتُوبُوا إِلَى‬
Artinya: Dan bertobatlah kamu kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman,
agar kamu beruntung. (Q.S An-Nuur: 31).
Bagi Dzu Al-Nun bin Ibrahim Al-Mishri (w. 264H./861M.) taubat itu dilakukan
karena seorang salik mengingat sesuatu dan terlupakan mengingat Allah. Dia kemudian
membagi taubat menjadi taubat kelompok awam dan taubat kelompok khash (awliya`).
Kelompok orang khash melakukan pertaubatan karena dia lupa mengingat Allah sedangkan
kelompok awam bertaubat karena mengerjakan perbuatan dosa. Baginya, hakikat taubat
adalah keadaan jiwa yang merasa sempit hidup diatas bumi karena kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuat.[9]

b. Ikhlas
Ustaz Syaikh berkata, ikhlas adalah penunggalan Al-Haqq dalam mengarahkan
semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah semata-mata tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukkan untuk
makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri
kepada Allah. Bisa juga diartikan ikhlas merupakan penjernihan perbuatan dari campuran
semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.[10] Allah SWT
berfirman:

ُ‫صينَ لَه‬ ُ ‫قُ ْل أ َ َم َر َر ِبِّي ِب ْال ِق ْس ِط ۖ َوأَقِي ُموا ُو ُجو َه ُك ْم ِعندَ ُك ِِّل َم ْس ِج ٍد َوا ْد‬
ِ ‫عوهُ ُم ْخ ِل‬
]٧:٢٩[ َ‫ال ِدِّينَ ۖ َك َما بَدَأ َ ُك ْم تَعُودُون‬
Artinya: Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu
(kepada Allah) pada setiap shalat dan sembahlah dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-
mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kamu diciptakan
semula.” (Q.S Al-A`raf: 29).
Dalam keterangan lain Allah berfirman:

َّ ‫صينَ لَهُ ال ِدِّينَ ُحنَفَا َء َويُ ِقي ُموا ال‬


َّ ‫ص ََلة َ َويُؤْ تُوا‬
ۖ َ ‫الز َكاة‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا ِإ ََّل ِل َي ْعبُدُوا‬
ِ ‫َّللاَ ُم ْخ ِل‬
]٩٨:٥[ ‫ِين ْالقَ ِيِّ َم ِة‬ ُ ‫َو ٰذَ ِل َك د‬
Artinya: Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas
menaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat
dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S Al-
Bayyinah: 5).

29
c. Sabar
Junaid mengatakan, “perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah dan
menyenangkan bagi orang yang beriman, putusnya hubungan makhluk disisi Allah SWT
adalah berat perjalanan dari diri sendiri (jiwa) menuju Allah adalah sangat berat, dan sabar
kepada Allah tentu akan lebih berat.” Ia ditanya tentang sabar, lalu dijawab “menelan
kepahitan tanpa bermasam muka.”[11] Allah SWT berfirman:

]٢:٤٥[ َ‫يرة ٌ ِإ ََّل َعلَى ْالخَا ِش ِعين‬


َ ِ‫ص ََل ِة ۖ َو ِإنَّ َها لَ َكب‬ َّ ‫َوا ْست َ ِعينُوا ِبال‬
َّ ‫صب ِْر َوال‬
Artinya: Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan
(shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu`. (Q.S Al-Baqarah: 45).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

]٢:١٥٣[ َ‫صا ِب ِرين‬ َّ ‫ص ََل ِة ۖ ِإ َّن‬


َّ ‫َّللاَ َم َع ال‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ا ْست َ ِعينُوا ِبال‬
َّ ‫صب ِْر َوال‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S Al-Baqarah:
153).
d. Syukur
Menurut satu pendapat, bersyukurnya Allah berarti memberikan pahala atas perbuatan
pelakunya sebagaimana ungkapan bahwa hewan yang bersyukur adalah hewan yang gemuk
karena selalu diberi makanan. Hal ini dapat dikatakan bahwasannya hakikat syukur adalah
memuji (orang) yang memberikan kebaikan dengan mengingat kebaikannya. Syukurnya
hamba kepada Allah adalah memuji kepada-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya,
sedangkan syukurnya Allah kepada hamba berarti Allah memuji kepadanya dengan
mengingat kebaikannya. Perbuatan baik hamba adalah taat kepada Allah, sedangkan
perbuatan baik Allah adalah memberikan kenikmatan dengan memberikan pertolongan
sebagai tanda syukur. Hakikat syukur bagi hamba ialah ucapan lisan dan pengakuan hati
terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan.[12] Allah SWT berfirman:

ِ ‫فَا ْذ ُك ُرونِي أ َ ْذ ُك ْر ُك ْم َوا ْش ُك ُروا ِلي َو ََل ت َ ْكفُ ُر‬


]٢:١٥٢[ ‫ون‬
Artinya: Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (Q.S Al-Baqarah: 152).
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

َ‫ت َما َرزَ ْقنَا ُك ْم َوا ْش ُك ُروا ِ ََّلِلِ إِن ُكنت ُ ْم إِيَّاهُ ت َ ْعبُدُون‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكلُوا ِمن‬
ِ ‫طيِِّبَا‬
]٢:١٧٢[
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik dan
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah
kepada-Nya. (Q.S Al-Baqarah: 172).
30
e. Faqr
Firman Allah SWT.

‫سبُ ُه ُم‬
َ ‫ض يَ ْح‬ِ ‫ض ْربًا فِي ْال َ ْر‬ َ َ‫َّللاِ ََل يَ ْست َ ِطيعُون‬
َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫ص ُروا فِي‬ ِ ‫اء الَّذِينَ أ ُ ْح‬ ِ ‫ِل ْلفُقَ َر‬
‫اس ِإ ْل َحافًا ۖ َو َما تُن ِفقُوا‬ ِ ُّ‫ْال َجا ِه ُل أ َ ْغنِيَا َء ِمنَ الت َّ َعف‬
َ َّ‫ف ت َ ْع ِرفُ ُهم ِبسِي َما ُه ْم ََل يَ ْسأَلُونَ الن‬
]٢:٢٧٣[ ‫َّللاَ ِب ِه َع ِلي ٌم‬ َّ ‫ِم ْن َخي ٍْر فَإ ِ َّن‬
Artinya: (Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang faqir yang terhalang
(usahanya karena jihad) dijalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di Bumi
(orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang kaya karena mereka
menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya,
mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apapun harta yang baik yang kamu
infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui. (Q.S Al-Baqarah: 273).

f. Zuhud
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tujuan Al-Qur`an menyerukan sikap zuhud terhadap
keduniaan bukanlah berpaling dari segala perhiasan dunia secara total sebagaimana yang
disalah pahami sebagian kalangan sebab harta kekayaan merupakan sarana untuk berinfaq
dijalan kebaikan, menikahi wanita merupakan sarana menjaga kehormatan diri, mengembang
biakkan keturunan, dan meramaikan semesta, kemudian anak-anak adalah modal umat dalam
kondisi damai maupun perang, sedangkan kuda merupakan sarana untuk jihad dijalan
Allah.[13] Allah SWT berfirman:

‫الر ْزقَ ِل َمن يَشَا ُء َويَ ْقد ُِر ۖ َوفَ ِر ُحوا بِ ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َو َما ْال َحيَاة ُ الدُّ ْنيَا فِي‬
ِّ ِ ‫ط‬ُ ‫س‬ َّ
ُ ‫َّللاُ يَ ْب‬
]١٣:٢٦[ ‫ع‬ ٌ ‫ْاْل ِخ َرةِ ِإ ََّل َمتَا‬
Artinya: Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi
(bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia padahal
kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat. (Q.S Ar-
Ra`d: 26)
Dalam keterangan yang lain, Allah SWT berfirman:

ۖ ‫ع ْينَي َْك ِإلَ ٰى َما َمت َّ ْعنَا ِب ِه أ َ ْز َوا ًجا ِ ِّم ْن ُه ْم زَ ْه َرة َ ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا ِلنَ ْفتِنَ ُه ْم فِي ِه‬
َ ‫َو ََل ت َ ُمد ََّّن‬
]٢٠:١٣١[ ‫َو ِر ْز ُق َر ِب َِّك َخي ٌْر َوأ َ ْبقَ ٰى‬
Artinya: Dan janganlah engkau tujukkan pandangan matamu kepada kenikmatan
yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga
kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih
baik dan lebih kekal. (Q.S Taa-Haa: 131).

31
g. Waro`
As-Sariy berkata, “ada empat ahli wara` dimasa mereka, yaitu Hudzaifah Al-
Mar`asyi, Yusuf bin Asbath, Ibrahim bin Adham, Sulaiman Al-Khawwash. Mereka
mempunyai pandangan yang sama tentang wara` ketika mereka mendapatkan berbagai
persoalan yang sulit, mereka mampu meminimalkan.” Saya pernah mendengar Syibli berkata,
“wara` merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan
dengan Allah SWT.”[14] Allah SWT berfirman:
َ ‫ْس لَ ُكم ِب ِه ِع ْل ٌم َوت َ ْح‬
َ‫سبُونَهُ َهيِِّنًا َوهُ َو ِعند‬ َ ‫ِإ ْذ تَلَقَّ ْونَهُ ِبأ َ ْل ِسنَتِ ُك ْم َوتَقُولُونَ ِبأ َ ْف َوا ِه ُكم َّما لَي‬
]٢٤:١٥[ ‫َّللاِ َع ِظي ٌم‬ َّ
Artinya: (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut
dan kamu katakana dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu
menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. (Q.S An-Nuur: 15)
Allah juga berfirman:
َ ‫ِإ َّن َرب ََّك لَ ِب ْال ِم ْر‬
]٨٩:١٤[ ‫صا ِد‬
Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi. (Q.S Al-Fajr: 14).
h. Khowf
Menurut Ibnu Al-Jalla`, yang dimaksud orang yang takut adalah orang yang aman
dari berbagai hal yang menakutkan. Menurut satu pendapat, yang dimaksud orang yang takut
adalah bukan orang yang menangis dan mengusap kedua matanya, tetapi yang meninggalkan
sesuatu karena takut disiksa. Ibnu Iyadh telah ditanya oleh seseorang, “mengapa saya tidak
pernah melihat orang yang takut kepada Allah SWT?” dia menjawab, “jika engkau takut
kepada Allah, maka engkau akan melihat orang yang takut kepada-Nya, karena tidak ada
orang yang dapat melihat orang yang takut kepada Allah, kecuali orang yang takut kepada-
Nya. Sama halnya perempuan yang kehilangan anaknya, akan melihat perempuan yang juga
kehilangan anaknya.[15] Allah SWT berfirman:
ِ ُ ‫ي الَّ ِتي أ َ ْن َع ْمتُ َعلَ ْي ُك ْم َوأ َ ْوفُوا ِب َع ْهدِي أ‬
‫وف ِب َع ْه ِد ُك ْم‬ َ ‫َيا َب ِني إِ ْس َرا ِئي َل ا ْذ ُك ُروا ِن ْع َم ِت‬
]٢:٤٠[ ‫ون‬ ِ ُ‫ار َهب‬ ْ َ‫َّاي ف‬
َ ‫َو ِإي‬
Artinya: wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah aku berikan kepadamu.
Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan takutlah
kepada-Ku saja. (Q.S Al-Baqarah:40).

Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman:


‫ْث َما ُكنت ُ ْم فَ َولُّوا‬ ُ ‫َط َر ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام ۖ َو َحي‬ ْ ‫ت فَ َو ِِّل َو ْج َه َك ش‬
َ ‫ْث خ ََر ْج‬ُ ‫َو ِم ْن َحي‬
َ َ‫اس َعلَ ْي ُك ْم ُح َّجةٌ ِإ ََّل الَّذِين‬
‫ظلَ ُموا ِم ْن ُه ْم فَ ََل ت َ ْخش َْو ُه ْم‬ ْ ‫ُو ُجو َه ُك ْم ش‬
ِ َّ‫َط َرهُ ِلئ َ ََّل يَ ُكونَ ِللن‬
]٢:١٥٠[ َ‫اخش َْونِي َو ِلُتِ َّم نِ ْع َمتِي َعلَ ْي ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم ت َ ْهتَدُون‬ ْ ‫َو‬
Artinya: Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah
wajahmu kearah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada maka hadapkanlah
wajahmu kearah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali
orang-orang yang zalim diantara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi
takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat
petunjuk. (Q.S Al-Baqarah: 150).

32
i. Roja`
Raja` (harapan, berharap) adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang
akan terjadi di masa yang akan dating. Sebagaimana khauf (rasa takut) yang berhubungan
dengan sesuatu yang akan terjadi dimasa yang akan dating, maka demikian juga raja`
(harapan) akan membawa implikasi terhadap hal yang di cita-citakan di masa yang akan
datang. Dengan raja`, maka hati akan menjadi hidup dan merdeka.[16] Allah SWT berfirman:

َّ ‫ت‬
ۖ ِ‫َّللا‬ َ ‫َّللاِ أُو ٰلَ ِئ َك َي ْر ُجونَ َر ْح َم‬ َ ‫ِإ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َوالَّذِينَ هَا َج ُروا َو َجا َهدُوا ِفي‬
َّ ‫س ِبي ِل‬
]٢:٢١٨[ ‫ور َّر ِحي ٌم‬ ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
َّ ‫َو‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah
dan berjihad dijalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S Al-Baqarah: 218).

33
j. Tawakal
Menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, yang dimaksud tawakal sebagaimana yang
diungkapkan oleh Abu Bakar Ad-Daqaq adalah menolak kehidupan pada masa sekarang dan
menghilangkan cita-cita pada masa yang akan dating. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Sahl bin Abdullah bahwa yang dimaksud tawakal adalah melepaskan
segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Menurut Abu
Ya`qub Ishaq An-Nahl Jauzi, yang dimaksud tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah
SWT dengan sebenarnya sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim disaat Allah SWT
berfirman kepada Malaikat Jibril a.s: Ibrahim telah berpisah (bercerai denganmu) dirinya
telah hilang bersama Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada yang mengetahui orang yang
bersama Allah kecuali Allah SWT.[17] Allah SWT berfirman:

ۖ ‫ب ََلن َفضُّوا ِم ْن َح ْو ِل َك‬ ِ ‫ظ ْالقَ ْل‬ ًّ َ‫نت ف‬


َ ‫ظا َغ ِلي‬ َ ‫نت َل ُه ْم ۖ َو َل ْو ُك‬ َ ‫َّللاِ ِل‬ َّ َ‫فَ ِب َما َر ْح َم ٍة ِ ِّمن‬
‫َّللاِ ۖ إِ َّن‬ َ ‫ْف َع ْن ُه ْم َوا ْست َ ْغ ِف ْر لَ ُه ْم َوشَا ِو ْر ُه ْم فِي ْال َ ْم ِر ۖ فَإِذَا َعزَ ْم‬
َّ ‫ت فَت َ َو َّك ْل َعلَى‬ ُ ‫فَاع‬
]٣:١٥٩[ َ‫َّللاَ يُ ِحبُّ ْال ُمت َ َو ِ ِّك ِلين‬
َّ
Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun
untuk mereka, dan bermusyaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertawakal. (Q.S Al-Imran: 159).
k. Ridho
Rabi`ah Al-Adawiyah pernah ditanya, “kapan hamba disebut orang yang ridho?” dia
menjawab, “apabila dia senang ketika mendapatkan musibah, sebagaimana dia senang ketika
mendapatkan kenikmatan.” Menurut Abu Umar Ad-Dimsyaqi, yang dimaksud ridho adalah
menghilangkan (meninggalkan) keluh kesah dimana saja hukum berlaku. Sedangkan menurut
Harits Al-Muhasibi, yang dimaksud ridho adalah tenangnya hati dibawah tempat-tempat
berlakunya hukum.[18]

ْ َ‫َّللاُ ِمن ف‬
‫ض ِل ِه‬ َّ ‫سيُؤْ تِينَا‬ َّ ‫سولُهُ َوقَالُوا َح ْسبُنَا‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َو َر‬ ُ ‫َولَ ْو أَنَّ ُه ْم َر‬
َّ ‫ضوا َما آتَا ُه ُم‬
]٩:٥٩[ َ‫َّللاِ َرا ِغبُون‬ َّ ‫سولُهُ ِإنَّا ِإلَى‬
ُ ‫َو َر‬
Artinya: Dan sekiranya mereka benar-benar ridho dengan apa yang diberikan
kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah
dan Rasul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
orang-orang yang berharap kepada Allah.” (Q.S At-Tauba: 59).

34
l. Yaqin
Menurut Abu Utsman Al-Hiri, yang dimaksud yakin adalah sedikitnya cita-cita
dimasa yang akan datang. Menurut Sahl bin Abdullah, yakin merupakan tambahan iman dan
realitas kebenaran. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yakin akan mendorong pendeknya cita-
cita, cita-cita yang pendek akan mendorong zuhud, zuhud akan memberikan hikmah, dan
hikmah akan menimbulkan pandangan kritis yang membawa akibat baik.[19]

ُ ‫َوا ْعبُ ْد َرب ََّك َحت َّ ٰى َيأْتِ َي َك ْال َي ِق‬


]١٥:٩٩[ ‫ين‬
Artinya: Dan sembahlah Tuhanmu sampai yaqin (ajal) datang kepadamu. (Q.S Al-

Hijr: 99).
m. Mahabbah
Menurut Ustadz Al-Qusyairi, mahabbah adalah suatu hal yang mulia. Allah yang
maha suci menyaksikan mahabbah hambanya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya
kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa dia mencintainya. Demikian juga hamba itu
menerangkan cintanya kepada Allah yang maha suci. Mahabbah menurut istilah Ulama
adalah keinginan, karena keinginan tidak berhubungan dengan sifat Qadim. [20]

‫َّللاُ َو َي ْغ ِف ْر لَ ُك ْم‬ َّ َ‫ور َّر ِحي ٌم قُ ْل ِإن ُكنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬


َّ ‫َّللاَ فَات َّ ِبعُو ِني يُ ْحبِ ْب ُك ُم‬ َّ ‫ذُنُو َب ُك ْم ۖ َو‬
ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
]٣:٣١[
Artinya: Katakanlah (Muhammad) “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (Q.S Al-Imran: 31).
n. Ma`rifatullah
Abu Thayib Al-Maraghi mengatakan, setiap unsur dalam diri seorang hamba
memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema`rifatannya kepada Allah. Akal,
menurutnya, memiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah memberi isyarat, dan
ma`rifat memberi kesaksian secara utuh. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan dan
ma`rifat mempersaksikan. Oleh karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali
dengan kejernihan tauhid. Sementara itu, Abu Bakar Adz-Dzahir Ubadi mengungkapkan,
ma`rifat adalah nama, artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya
dari sikap atheis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada Tuhan dan keberadaan pengakuan
yang disertai penyerupaan).[21] Allah SWT berfirman:

‫ب ِإلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِري ِد‬


ُ ‫سهُ ۖ َون َْح ُن أ َ ْق َر‬
ُ ‫س ِب ِه نَ ْف‬
ُ ‫سانَ َونَ ْعلَ ُم َما ت ُ َو ْس ِو‬ ِ ْ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْلن‬
]٥٠:١٦[
Artinya: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepada urat lehernya.. (Q.S Qaaf: 16).
Ma`rifat dimulai dengan mengeal dan menyadari jati diri. Ma`rifat berarti mengetahui
Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Ma`rifat bukan hasil pemikiran
manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma`rifat adalah pemberian
Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Alat untuk memperoleh ma`rifat oleh kaum
sufi disebut sirr.[22]
35
o. Istiqamah
Istiqamah adalah suatu derajat yang dengannya kesempurnaan dan kelengkapan
perkara kebagusan terwujud. Dengan istiqamah, berbagai kebaikan dan koordinasi
sistematika kebaikan mengada. Orang yang tidak bisa menjalankan istiqamah dalam ibadah
maka usahanya menjadi sirna dan perjuangannya dihitung gagal.[23]

]١١:١١٢[ ‫ير‬
ٌ ‫ص‬ ْ َ ‫اب َم َع َك َو ََل ت‬
ِ ‫طغ َْوا ۖ ِإنَّهُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َب‬ َ ‫فَا ْست َ ِق ْم َك َما أ ُ ِم ْر‬
َ َ ‫ت َو َمن ت‬
Artinya: Maka tetaplah engkau (Muhammad) (dijalan yang benar) sebagaimana telah
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sungguh Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S Hud: 112).
p. Tawadhu`
Dalam menjalani perilaku tawadhu, kaum sufi menerapkan adab-adab Al-Qur`an dan
meng-implementasi-kan tafsir mereka atas tawadhu yang terkandung dalam ayat:

]٢١٥:٢٦[ َ‫ض َجنَا َح َك ِل َم ِن اتَّبَعَ َك ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِين‬ ْ ‫َو‬


ْ ‫اخ ِف‬
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu kepada orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman. (Q.S Asy-Syu`aro: 215).
Syahdan, ketika ditanya mengenai tawadhu, Al-Junaid menjawab, “merendahkan diri
dan bersikap santun (lembut).”[24]

]٧:١٩٩[ َ‫ض َع ِن ْال َجا ِه ِلين‬ ِ ‫ُخ ِذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِ ْالعُ ْر‬
ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
Artinya: Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf, serta jangan
pedulikan orang-orang yang bodoh. (Q.S Al-A`rof: 199).
q. Khusyu`
Yang dimaksud khusyu` adalah mencari keselamatan diri untuk kebenaran (Allah).
Seorang ulama pernah ditanya tentang khusyu`, dia menjawab, “yang dimaksud khusyu`
adalah hati yang tenang dihadapan Allah.” Para ulama sepakat bahwa khusyu` terletak
dihati.[25] Mengenai ayat khusyu`, Allah berfirman:

‫ارعُونَ فِي‬
ِ ‫س‬ ْ َ ‫فَا ْست َ َج ْبنَا لَهُ َو َو َه ْبنَا لَهُ يَ ْحيَ ٰى َوأ‬
َ ُ‫صلَ ْحنَا لَهُ زَ ْو َجهُ ۖ ِإنَّ ُه ْم َكانُوا ي‬
]٢١:٩٠[ َ‫غبًا َو َر َهبًا ۖ َو َكانُوا لَنَا خَا ِش ِعين‬ َ ‫عونَنَا َر‬ ِ ‫ْال َخي َْرا‬
ُ ‫ت َو َي ْد‬
Artinya: Maka Kami kabulkan (doa) nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya,
dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam
(mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas.
Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (Q.S Al-Anbiya’: 90)

36
2. Al-Hadits
Hadits yang jamaknya ahadits memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari sisi
bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi
dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan hal ihwal tentang
Nabi Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan Al-Qur`an yang diyakini
oleh ahlus sunnah wal jama`ah sebagai firman Allah yang qadim.[26] 13
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua. Sehingga dalam kajian ilmu keagamaan pun Al-Hadits tetap menjadi rujukan setelah
Al-Qur`an. Berikut akan diuraikan hadits-hadits mengenai tasawuf, mengingat dalam tasawuf
hadits juga tergolong sumber kedua.
a. Taubat
Sahabat Anas bin Malik r.a berkata, saya pernah dengar Rasulullah SAW bersabda:

ُ ‫ َواِذَا ا َ َحبَّ للاُ َع ْبدًا لَ ْم َي‬,ُ‫ب لَه‬


ٌ ‫ض َّرهُ ذ ْن‬
.‫ب‬ ِ ‫ب ِمنَ الذَّ ْن‬
َ ‫ب َك َم ْن ََلذَ ْن‬ ُ ‫التَّا ِئ‬
Artinya: Seorang yang tobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika
Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya. (Hadits
diriwayatkan Ibnu Mas`ud dan dikeluarkan Ibnu Majah sebagaimana tersebut dalam Al-
Jami`ush-Shaghir, Al-Hakim, At-Turmudzi dari Abu Sa`id, As-Suyuthi di Al-Jami`ush-
Shaghir Juz 1, halaman 3385).[27]

b. Ikhlash
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang makna ikhlash, lalu dijawab:

‫ سألت رب العزة عن‬:‫ ما هو؟ قال‬,‫سألت جبريل عليه السَلم عن اَلخَلص‬


َ
‫ ماهو؟ قال سرمن سري استودعته قلب من أحببته من عبادي‬,‫اَلخَلص‬
Artinya: Saya bertanya kepada Jibril a.s tentang ikhlash, apa itu? Kemudian dia
berkata, saya bertanya kepada Tuhan tentang ikhlash, apa itu? Dan Tuhan-pun menjawab,
“yaitu rahasia dari rahasia-Ku yang aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai diantara
hamba-hamba-Ku. (Hadits dikeluarkan oleh Al-Qazwaini dalam Musalsalat-nya dari
Khudzaifah)[28]
Atau dalam hadits lain menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ ان للا َل‬:‫ قال رسول للا صلى للا عليه وسلم‬:‫عن أبى هريرة رضي للا عنه قال‬
)‫ينظر الى أجسامكم وَل الى صوركم ولكن ينظر الى قلوبكم (رواه مسلم‬
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulallah SAW bersabda, sesungguhnya
Allah SWT tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat (memperhatikan) niat dan
keikhlasan) hatimu.” (H.R Muslim).[29]

37
c. Sabar
Dari Aisyah r.a diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ان الصبر عند الصدمة اَلولى‬


Artinya: Sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang
pertama. (Hadits riwayat Anas bin Malik dan dikeluarkan Imam Bukhari didalam “Al-
Jana`iz” Bab Sabar 3/138, sedangkan Imam Muslim juga mengelompokkannya dalam “Al-
Jana`iz” Bab Sabar Nomor 626, Abu Dawud di nomor 3124, At-Turmudzi di nomor 987, dan
An-Nasa`I mencantumkan di 4/22).[30] 14
d. Zuhud
Nabi SAW bersabda:

‫اذا رايتم الرجل قداوتي زهدا في الدنيا ومن تقا فاقتربوا منه فانه يلقن الحكمة‬
Artinya: Jika diantara kamu sekalian melihat orang laki-laki yang selalu zuhud dan
berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan
kebijaksanaan. (Hadits disebutkan dalam Al-Kanz Jilid 3 halaman 183 nomor 6069,
diriwayatkan oleh Abu Khalad dan Abu Na`im bersama Al-Baihaqi meriwayatkannya juga
darinya, sementara As-Suyuthi menganggapnya lemah didalam Al-Jami`ush-Shaghir Jilid 1
halaman 84 nomor 635).[31]

e. Wara`
Abu Dzar Al-Ghifari berkata, bersabda Rasulullah SAW.

‫من حسن اسَلم المرء تركه ماَل يعنه‬


Artinya: Sebagian dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu
yang tidak berarti. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Malik bin Anas didalam Muwatha`-nya
jilid 2 halaman 903 dalam bahasan “Kebaikan Akhlaq” di bab “Apa-apa yang datang didalam
kebaikan akhlaq.” At-Turmudzi mencantumkannya di nomor 2318-2319 tentang zuhud di
bab nomor 11 dari hadits Anas bin Malik. Ibnu Majah mencantumkannya di nomor 3976
tentang Fitnah-Fitnah di bab “menjaga lidah supaya tidak jatuh pada perbuatan fitnah”. At-
Turmudzi mengatakan, “Hadits ini adalah Gharib”).[32]

38
f. Khowf
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ ولبكيتم كثيرا‬,‫لو تعلمون مااعلم لضحكتم قليَل‬


Artinya: Seandainya engkau mengetahui apa yang saya ketahui, pasti engkau akan
tertawa sedikit dan menangis banyak. (Hadits diriwayatkan Abu Hurairah dan dikeluarkan
Imam Bukhari 11/273 dalam bahasan Perbudakan di bab sabda Nabi SAW yang berbunyi:
“seandainya kalian mengetahui apa yang saya ketahui tentang iman dan nazar”, juga di bab
“bagaimana sumpah Nabi SAW.” At-Turmudzi meriwayatkannya di nomor 2314 tentang
zuhud).[33]

g. Ridho`
Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ذاق طعم اَليمان من رضي باهلل ربِّا‬


Artinya: Orang yang ridho Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya
iman. (Hadits Riwayat Muslim dalam bab “iman” nomor 34, Turmudzi nomor 2758, dan
Ahmad dalam musnadnya 1/208).[34]
h. Mahabbah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ ومن لم يحب لقاء للا لم يحب للا تعالى لقائه‬,‫من أحب لقاء للا أحب للا لقائه‬
Artinya: Barangsiapa yang senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang
bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu Allah maka Allah-pun juga
tidak senang bertemu dengannya. (Hadits riwayat Ubadah bin Shamit, dikeluarkan oleh
Bukhari 11/308 dalam “Ar-Raqaqq” bab “orang-orang yang senang bertemu Allah.”).[35]

39
i. Istiqamah
Dari Tsauban dari Nabi SAW diceritakan bahwa beliau bersabda:
ِّ ‫ واعلموا‬,‫استقيموا ولن تحصوا‬
‫ ولن يحا فظ على الوضوء‬,‫ان خير دينكم الصَلة‬
.‫اَلِّ مؤمن‬
Artinya: Istiqamahlah kamu dan jangan sekali-kali menghitung-hitung (amal) mu.
Ketahuilah bahwa sebaik-baik (amalan) agamamu adalah shalat. Tidak ada yang mampu
menjaga wudhu selain orang mu`min. (Hadits riwayat Tsauban dan dikeluarkan darinya oleh
Imam Ahmad didalam Musnad-nya 5/227 dan 282. As-Suyuthi menyebutkannya didalam Al-
Jami`ush Shaghir. Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi mengeluarkannya dalam As-Sunan
dari Tsauban, sedangkan Ibnu Majah dan At-Thabrani dalam Al-Kabir meriwayatkannya dari
Ibnu Umar, juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Salamah bin Al-Akwa`, lihat Al-Jami`ush
Shaghir 1/129 nomor 994).[36]
j. Khusyu`
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki yang
mempermainkan janggutnya ketika shalat. Kemudian, beliau bersabda:
‫لو خشع قلب هذا لخشعت جوارحه‬
Artinya:
3. Ijtihad Para Sufi Seandainya hati orang ini khusyu`, niscaya akan khusyu` pula anggota
tubuhnya. (Hadits dikeluarkan oleh At-Turmudzi dalam “An-Nawadir”. Hadits diambil dari
Abu Hurairah dengan sanad yang lemah).[37]
Ijtihad para sufi dimaksudkan untuk menguraikan pemikiran-pemikiran para sufi
mengenai tasawuf. Dan ini dapat digunakan sebagai sumber hukum ketiga dalam tasawuf.
Berikut tokoh-tokoh sufi beserta pemikiran dan pandangannya dalam kajian tasawuf,
diantaranya:
a. Dzun Nun Al-Mishri
Namanya Abul Faidh Dzun Nun Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri, wafat pada tahun
245H./859M. ayahnya berasal dari Naubi. Dia seorang yang sangat terhormat, paling alim,
wara`, kharismatik dan sastrawan dimasanya. Dzun Nun adalah seorang yang kurus berkulit
putih kemerahan dan tidak berjenggot putih. Salah satu mutiara nasihatnya yaitu diantara
tanda-tanda orang yang cinta Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, dalam perilaku,
perbuatan, perintah-perintah dan sunnah-sunnahnya.[38]
Beliau dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma`rifat. Ma`rifat
dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah `ilm, yakni sesuatu
yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma`rifat dalam
terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk
mencapai tingkatan spiritual.
Menurutnya, ma`rifat adalah fadl (anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa
dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Allah-nya, maka akan
semakin dekat, khusyu dan mencintai-Nya. Hakikat ma`rifat bagi Dzun Nun Al-Mishri
adalah Al-Haq itu sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang `arif dengan anugerah dari-Nya
sanggup melihat realitas sebagaimana Al-Haq melihatnya.
Pada tingkatan ma`rifat, seorang `arif akan mendapati penyingkapan hijab (Kasyf Al-
Hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerak sang `arif senantiasa dalam kendali dan
campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah.
Beliau menegaskan bahwa, Aku ma`rifat pada Allah-ku sebab Allah-ku, andaikata bukan
karena Allah-ku, niscaya aku tidak akan ma`rifat kepada-Nya.[39] 40

40
b. Abu Yazid Al-Busthami
Namanya Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Busthami (188H.-261H./804M.-875M.). Dia
tiga bersaudara, dua lainnya Adam Thaifur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadah,
namun Abu Yazid (Thaifur) adalah yang paling agung diantara ketiganya. Salah satu mutiara
hikmahnya yaitu dia pernah ditanya, “dengan apakah kamu mencapai ma`rifat ini?”
jawabnya, “dengan perut yang lapar dan tubuh yang jelek.[40]
Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai istilah fana` sebagai kosakata
sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari gnostisisme hindu-budha. Konsep muraqabah
(pendekatan spiritual) yang dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation)
yang pada puncaknya mencapai ekstase (fana`) dimana terjadi penyatuan antara “yang
mendekat” (muraqib, yakni sufi) dan “yang didekati” (muraqab, yakni Allah). 17
Konsep ittihad merupakan pengembangan dari konsep fana` dan baqa` yang
dicetuskannya. Menurutnya, setelah mencapai ma`rifat, seseorang dapat melanjutkan kepada
kekelan (baqa`) dan akhirnya ittihad. Fana` adalah penyirnaan diri dari sifat keduniawian
yang dilukiskan laksana kematian jasad dan lepasnya roh menuju kepada kekalan (baqa`) dan
dari sini dapat melangkah kepada penyatuan dengan Allah (ittihad). Pada titik ini kerap
terjadi yang diistilahkan dalam dunia sufi sebagai syathahat atau keadaan tidak sadar karena
telah menjadi penyatuan dimana dia seolah menjadi Allah itu sendiri.[41]
c. Al-Junaid Al-Baghdadi
Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad Al-Nehawandi Al-Baghdadi[42], wafat
pada tahun 297H./910M[43]. Ia dikenal sebagai tokoh yang mensistematisasikan beberapa
kecenderungan tasawuf dan mencoba mengislamisasi istilah-istilah tasawuf dengan istilah-
istilah dari Al-Qur`an. Ia digelari sayyid al-taifah dan juga tawus al-ulama` (burung merak
para ulama). Dia menjadi figure teladan dalam dunia ketasawufan.
Kajian menarik dari beliau adalah tentang fana` (dengan pengembangan yang berbeda
dari fana` yang dikembangkan oleh Al-Busthami), yakni proses peleburan diri sehingga
menghilang batas-batas individual yang ada dalam diri manusia. Doktrin ini ditopang oleh
dua konsep utama, perjanjian atau kontrak azali dan fana`. Manusia telah tercipta sebelumnya
dari ke-fana`an-nya. Dan agar bisa kembali maka manusia perlu meniadakan dirinya kembali
agar suci sebagaimana ketika berada di alam roh.
Tetapi Junaid menandaskan disini bahwa fana` bukanlah akhir dari perjalanan
spiritual manusia. Fana` hanyalah sarana menuju baqa`. Jika fana` menimbulkan perasaan
bersatu dengan Allah karena peleburan sifat diri manusia, maka baqa` adalah perpisahan dari
perasaan untuk kembali menjadi hamba Allah, sebab tidak ada yang lebih baik dan
menyenangkan daripada menjadi hamba ditengah-tengah kehidupan sehari-hari.[44]
41
d. Al-Ghazali
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H. (1058M) di daerah Thus, salah satu kota di
Khurasan yang di warnai oleh perbedaan paham keagamaan.[45] Masa hidup Al-Ghazali
berada pada akhir periode Iklasik (650-1250M.) yang memasuki masa disintegrasi (1000-
1250M.). Dimana masyarakat pada saat itu sedang mengalami masa kemunduran.[46]
Pemikiran tasawuf Al-Ghazali adalah termasuk dalam model aliran transendenlisme,
yaitu aliran yang masih mempertahankan sendi-sendi dasar ajaran tauhid dan membedakan
adanya dua pola wujud, yakni wajib al-wujud (Tuhan) dan mumkin al-wujud (Makhluk). Bagi
aliran ini, tingkat yang tertinggi yang dapat di capai oleh seorang hamba dalam dunia tasawuf
adalah ma’rifat kepada Allah SWT dan penghayatan kepada alam ghaib serta mendapatkan
ilmu laduniyah.
Walaupun aliran ini tidak menggunakan istilah Al-insan Al-kamil,namun gambaran
atau ide dasar tentang Al-insan Al-kamil tetap manjadi dasar ajarannya,yakni dengan adanya
sebutan “wali” atau golongan khawwash. Oleh karena itu, konsep al-insan al-kamil menurut
aliran ini adalah wali Allah, yaitu orang-orang khawwash yang secara langsung telah
mendapat limpahan ilmi ghaib dari Lawh Mahfuzh sehingga ia dapat berkenalan dengan para
malaikat, roh nabi-nabi dan dapat memetik pelajaran dari mereka, mengetahui suratan nasib
yang ada di Lawh Mahfuzh sehingga dapat mengetahui apa yang akan terjadi dan bahkan
ma’rifat kepada Allah.[47]

42
e. Ibnu `Arabi
Abu Bakar Muhammad ibn Ali Al-Khotami Al-Tho’i Al-Andalusi (1165 -1240M.).
Di Timur ia di kenal dengan sebutan Ibnu’ Arabi, di Barat ia di kenal dengan sebutan Ibnu
Suraqah, Al-Syekh Al-Akbar (Doctor Maximus), Muhyidin bahkan Neoplotinus. Ia
dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai tradisi kehidupan sufistik yang kuat. Tetapi, Ibn
`Arabi sendiri dalam pertumbuhannya justru, menempuh pendidikan dengan tradisi
intelektual rasional-filosofis yang kala itu berkembang pesat di wilayah Andalusia dengan
Ibnu Rusyd sebagai tokoh besarnya kala itu.[48]
Dalam pemikiran Ibn `Arabi, Allah adalah Al-Khaliq bagi seluruh alam. Seluruh yang
ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah (ide Allah). Inilah yang membawanya
kepada sebuah simpulan yang menyatakan bahwa alam ini adalah esensi dari Allah itu
sendiri.[49]
Jalan yang ditempuh seorang salik menurut Ibn `Arabi adalah taubat, zuhud dan
khalwat (keterputusan diri dari seluruh dunia luar baik fisik maupun pikiran dengan hanya
memikirkan Allah dengan zikir dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Pada konteks ini
Ibn `Arabi melihat keniscayaan seorang pembimbing spiritual (murshid) agar jalan yang
ditempuh benar. Ia pernah mengatakan bahwa barangsiapa menempuh jalan kesufian (suluk)
tanpa seorang guru, maka ketauhilah bahwa gurunya adalah setan. Sebaliknya, bagi salik
yang mampu (alim), kehadiran guru justru akan mengurangi konsentrasi riyadhanya dan
membatasi daya fantasi dan imajinasinya tentang Allah.[50]

43
Kesimpulan
Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam
itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul
sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau
diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan
menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak sekali
didapati dari ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf.
Adapun apa saja sumber-sumber kajian ilmu tasawuf sebagaimana yang diuraikan
diatas bahwa Al-Qur`an dan Al-Hadits selalu mempunyai kedudukan dalam setiap disiplin
ilmu keagamaan. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sumber-sumber tasawuf yaitu:
1. Al-Qur`an
2. Al-Hadits
3. Ijtihad Para Sufi, seperti:
a. Dzun Nun Al-Mishri
b. Abu Yazid Al-Busthami
c. Al-Junaid Al-Baghdadi
d. Al-Ghazali
e. Ibn `Arabi
f. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

1[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta; 1997, hal.189.
2[2] Martin Lings, membedah tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, hal.19
3[3] Julian Baldick, Islam Mistik “mengantar anda ke dunia tasawuf”, PT Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta; 2002, hal.39.
4[4] Martin Lings, op.cit., hal.17
5[5] Mustafa zahri, Kunci Memahami ILMU TASAWUF, PT.Bina Ilmu, Surabaya; 1995,
hal.161-162.

44
BAB III
PENDAHULUAN

MAQOMAT

1. A. Latar Belakang Masalah

Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-
4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di
dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan (religious experience) yang beraneka
ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari ortodoksi Islam
oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah kemudian muncul
“perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam sejarahnya Islam
selain telah menghabiskan energi para ulama untuk mendamaikannya.
Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk
mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam literatur sufi
muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak
bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali
pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat
kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin”
atau jalan spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme
dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh tuduhan
kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa kalau klaim-
klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan spiritual karena tidak
mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan jalannya “kehidupan spiritual” itu.
Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya, yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh
kaum sufi atas usahanya mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-
benar telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain
itu–yang lebih penting lagi–kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu untuk
mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh mungkin
mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal tahapan-
tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari kandungan maqamat itu
juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan” (ahwal) yang–meminjam istilah
Rahman–bersifat psiko-gnostik. Pada umumnya isi maqamat itu dinyatakan dalam
terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran, seperti tobat, sabar, syukur, dan
sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah
:

1. Apa pengertian dan hakikat maqamat ?


2. Bagaimana hakikat ahwal dalam tradisi sufi ?

45

PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses
lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti
dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan
Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua
kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya.
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara terminologi berarti tingkatan,
posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau
Maqamat adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik)
sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh
para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para
sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara
substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam
rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378
H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui
serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit
hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan bahwa maqam adalah
keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya. Jika
diperhatikan beberapa pendapat sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat
memahami Maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang
diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan
latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan. Bentuk
maqamat adalah pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui
usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh
seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf memang bertujuan agar
manusia (sufi) memperoleh hubungan langsung dengan Allah sehingga ia menyadari benar
bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah. Namun, seorang sufi tidak dapat
begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-
tingkatan (stages atau stations). Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata
bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang
berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat maqamat itu terkait erat dengan
pengalaman sufi itu sendiri.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga
tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang
ketiga adalah musyahadah. Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan
yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. Al Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal –
mahabah – ma’rifat dan ridha. At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat –
Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat. Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam
kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat
– zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah
(cinta) –dan ma’rifat.
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada
masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi
Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal:
kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan. Akan tetapi, macam-macam maqamat yang
akan dijadikan acuan dalam bahasan ini lebih mengarah pada konsep al-Sarraj.

46
B. Maqamat

Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan (Maqamat) yang harus dilalui oleh
seorang salik menurut masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing
ketujuh maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam
berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan
dunia.Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut:

1. Taubat

Dalam beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh
oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini. Beberapa diantara
mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua maqamat yang kedudukannya
laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa
taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan
Allah. Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam
pengertian. Secara literal taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti
kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya
lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang
hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan
menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan Allah
ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan
tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi
memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan
hanya sekali, tetapi harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al-Nun al-Mishry membagi taubat
pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas. Ia mengatakan:
‫توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة‬

Lebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu taubat
kemudian inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj tobat terbagi
pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (Muridin),
muta’arridhin, thalibin dan qashidin.Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada
bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah
telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli
ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala
sesuatu selain Allah.

47
2. wara’

kata wara’ secara etimologi mengarah pada kata ‫الكف واَلنقباض‬ ِ ِّ yang berarti menghindari atau
menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-
sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
‫حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد للا بن سماعة عن الوزاعي عن‬
‫ قال رسول للا صلى للا عليه وسلم من حسن إسَلم المرء تركه ما َل‬:‫قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال‬
‫يعنيه‬
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak
penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat
berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan
seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga
tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman yang
dikonsumsinya.

3. Zuhud

Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena
zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai
langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh
darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna
“berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya” “kedudukan mulia
yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan
langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”.
Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan dengan asketismeyang dapat melahirkan
konsep lain yaitu faqr. Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata
zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan
atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi).
Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal
keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan
mengharapkan ridha Allah SWT.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan orang-
orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan
dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada
zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan
akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat
ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan
manusia suci. Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah.
Sedangkan menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :

1. Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya


dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
2. Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok ini
dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari
apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
3. Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah
halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari
Allah dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata
karena Allah.

48
4. Faqr

Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat hubungannya
dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi keinginan terhadap
hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka faqr berarti
mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah, kebutuhannya
yang hakiki hanya kepada Allah semata.
Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang yang
kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah.
Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada
makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub,
mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya
rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga
mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari
kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban
agama.”

5. Sabr

Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan
bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis
bebatuan. Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik
itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif
tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah
dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi
segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman
karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur
baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar menurut ahli sufi pada
dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
Menurut al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu: orang yang berjuang untuk sabar,
orang yang sabar dan orang yang sangat sabar.

49
6. Tawakkal

Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk
memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan
memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep
tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi
bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh
Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan
sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih dari yang
telah ditentukan Tuhan.

7. Ridha

Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya
ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari
maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk
penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-
Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna ridha, diantaranya
pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: ‫ أن لو جعل للا جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى‬:‫الرضا‬
‫يساره‬. , sedang Abu Bakar Ibn Thahir berkata: ‫ حتى َل يكون فيه إَل فرح‬،‫ إخراج الراهية من القلب‬:‫الرضا‬
‫وسرور‬. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam perspektif
tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap
apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau
tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa
nafsunya. Ridha menurut al-Sarraj merupakan sesuatu yang agung dan istimewa, maksudnya
bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha berarti ia telah disambut dengan
sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-
Luma’ al-sarraj lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari
seluruh rangkaian maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala
hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat
dipahami bahwa seluruh aktivit

50
Kesimpulan
Setelah membahas dan memahami uraian di atas, dapat dibuat beberapa point dalam sebuah
kesimpulan sebagai berikut:

1. Maqam adalah tingkatan yang harus ditempuh oleh para pejalan spiritual untuk
sampai pada titik akhir tujuan.
2. Pada dasarnya konsep mengenai tingkatan atau macam-macam maqam menurut ahli
sufi berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan
bahwa tingkatan tersebut terdiri dari taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan
ridha. Adapula yang membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir –
zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha dan sebagainya.
3. Maqam sifatnya lebih dinamis dan aktif karena merupakan usaha dari para salik
sendiri.
4. Ahwal adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan
spiritualnya. Hal sifatnya lebih statis, karena ia merupakan anugerah Allah yang
timbulnya secara spontan pada diri sang salik tanpa ada usaha terlebih dahulu.
5. Sebagaimana maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah
muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, uns, musyahadah, yaqin.

Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya Abu al-Husain, Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, Dar al-Ma’rifah: Beirut, tt.
Al-Jailani Syekh Abdul Qadir, Rahasia Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet. I; DIVA press: Yogyakarta, 2008)
Al-Qusyairiy, al-Risalah al-Qusyairiyah (CD al-Maktabah al-Syamilah)
al-Turmudzi Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan al Turmudzi, Beirut: Dar al Fikr, 1994).

Azra Azyumardi dkk, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006.
Basyuniy Ibrahim, Nasy’ah al-Taswuf al-Islamiy, Dar al-Ma’arif: Mesir, 1119 H[1]
Rahman Fazlur, Islam, Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Pustaka, 1984)
Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo Persada: Jakarta), 1997.

Suhrawardi Syekh Syihabuddin Umar, Awarif al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Pustaka
Hidayah, Bandung, 1998.
Zainul Bahri Media, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada
Media: Jakarta), 2005.

51
BAB IV

PENDAHULUAN

AKHLAK MENURUT KAUM SUFI

A. Latar Belakang Masalah

Sikap istimewa kaum sufi adalah dalam memberikan makna terhadap institusi-institusi

Islam. Ajaran Islam mereka pandang dari dua aspek, aspek lahiriyah-seremonial dan aspek

batainiyah-spiritual, atau aspek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan pengalaman aspek

dalamnya yang paling utama tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasi untuk

membersihkan jiwa. Tanggapan peenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam,

yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan pengaruh Tuhan dan

bebas dari egoisme.

Kultur spiritual itulah yang disebut dengan tasawuf yang ditempuh oleh kaum sufi

sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dan mengontrol diri, kesetiaan dan realisasi

kehadiran Tuhan yang tetap dalam segala perilaku dan perasaan seseorang.

Dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial

yang pelik. Banyak yang mengatakan bahwa dalam menghadapi materialisme yang melanda

dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Di sini sufi melalui jalan tasawuf

dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peran penting. Tetapi yang

perlu ditekankan thariqat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dengan

pembentukan akhlak mulia di samping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan

keduniaan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perhatian kaum sufi terhadap akhlak?

2. Bagaimana adab-adab kaum sufi dalam peribadatan?

3. Bagaimana akhlak-akhlak kaum sufi?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui perhatian kaum sufi terhadap akhlak.

2. Untuk mengetahui adab-adab kaum sufi dalam peribadatan.


3. Untuk mengetahui akhlak-akhlak kaum sufi

52
PEMBAHASAN

A. Perhatian Kaum Sufi terhadap Akhlak

Bisyr ibn al-Haris mengatakan: “Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah”.

Yang lain mengatakan: “Sufi adalah orang tulus terhadap Allah dan mendapat rahmat tulus

pula daripada-Nya[1].

Nama Shufi berlaku kepada pria atau wanita yang telah menyucikan hatinya dengan

mengingat Allah (dzikrullah), menempuh jalan kembali pada Allah, dan sampai pada

pengetahuan hakiki (ma’rifah). Ada banyak pencari hikmah dan kebenaran, akan tetapi hanya

oorang-orang sadar yang mencari Allah semata yang pantas disebut shufi. Sebaliknya orang

yang pantas disebut dengan nama itu justru tak pernah memandang dirinya berhak beroleh

kehormatan demikian. Karena dia telah sampai pada tingkatan tinggi dalam pengetahuan

tentang Allah, maka dia tahu dengan yakin dan pasti bahwa “hamba tetaplah hamba dan

Tuhan tetaplah Tuhan”[2].

Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka sangat

antusias untuk meneladani Rasulullah SAW. yang diutus oleh Tuhannya untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia. Kaum sufi merupakan golongan manusia yang paling

besar bagiannya dalam meneladani Rasulullah SAW. dan paling berkewajiban melestarikan

sunnah-sunnahnya serta berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah SAW. anakku, jika kau
mampu arungi pagi dan petang tanpa berbuat kecurangan dalam hatimu terhadap siapapun

maka lakukanlah. Ia kemudian berkata:”Anakku, itu termasuk sunnahku. Barangsiapa

melestarikan sunnah atau tradisiku berarti ia mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku

maka ia akan

bersamaku di surga[3].

53
B. Adab-adab Kaum Sufi dalam Peribadatan

Segenap orang sufi berkeyakinan bahwa berbagai macam aktivitas peribadatan dengan

segala tata cara yang bersumber pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits meliputi shalat, puasa,

dan zakat merupakan aktivitas yang hanya dikhususkan buat kalangan orang-orang awam

saja (selain kalangan orang-orang sufi). Sedangkan aktivitas peribadatan untuk kalangan

orang-orang sufi sifatnya spesifik[4].

1. Adab Shalat Kaum Sufi

Dalam masalah shalat, kaum sufi pertama-tama memperhatikan proses belajar atau

pencarian pengetahuan mengenai hukum-hukum yang berkaitan shalat, dengan mendatangi

ulama dan bertanya pada mereka mengenai hukum-hukum shalat yang belum mereka ketahui.

Ath-Thusi mengatakan: “Adapun adab mereka dalam shalat, pertama-tama adalah belajar

ilmu shalat, memepelajari shalat-shalat fardu, shalat-shalat sunnah beserta keutamaannya, dan

shalata-shalat nafilah”.

Selanjutnya, mereka sangat antusias menjalankan shalat di awal waktu affgar

memperoleh keutamaan. Oleh karena itu, mereka sudah bersiap-siap menjalankan shalat

sebelum masuk waktunya, dan mereka pun menjalankan dengan kehadiran hati mereka

bersama Allah SWT.

Kemudian selama menjalankan shalat, mereka berusaha dengan segenap kemampuan


untuk mengosongkan hati mereka dari segala sesuatu selain Allah SWT. agar mereka bisa

merenungi kitab Allah yang mereka baca dan benar-benar

khusyuk menghadap Allah, Tuhan sekalian alam.

Selama shalat, kaum sufi berusaha merasakan kebesaran Allah SWT. dalam bacaan al-

Qur’an, bacaan tasbih, dan dalam setiap rukun yang mereka jalankan, mensucikan-Nya

dengan hati mereka dengan hati mereka sebagaimana ucapan lisan mereka[5].

54
2. Adab Zakat Kaum Sufi

Dalam menunaikan zakat, kaum sufi bertata krama dengan berusaha mengumpulkan

harta yang halal tanpa berorientasi menumpuk-numpuk kekayaan maupun membanggakan

kekayaan, dan tanpa mengiringi sedekah mereka dengan perilaku mengungkit-ungkit

pemberian atau menyakiti hati penerima sedekah.

Ath-Thusi mengatkan:”Barangsiapa terkena kewajiban zakat maka ia membutuhkan

empat hal: pertama, memperoleh harta dengan cara halal. Kedua, orientasi pengumpulan

harta bukan untuk membangga-banggakan diri dan kekayaan maupun menumpuk-numpuk

harta. Ketiga, memulai dengan keluhuran budi pekerti dan sikap dermawan terhadap keluarga

dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Keempat, menjauhi perilaku mengungkit-

ungkit pemberian dan menyakiti hati orang yang diberi zakat”[6].

3. Adab Puasa Kaum Sufi

Dalam berpuasa, kaum sufi tidak hanya menahan diri dari lapar, minum, dan

berhubungan seks sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, akan tetapi mereka juga

menahan seluruh anggota badan mereka dari melakukan segala hal yang bisa mengandung

murka Allah. Kaum sufi berpandangan bahwa tata karma orang puasa adalah menjaga

anggota badan, membersihkn hati, senantiasa berzikir, menjauhkan diri dari segala bentuk

syahwat, antusias mencari rezeki yang halal, percaya sepenuhnya dengan rezeki yang dijamin
Allah untuk semua Allah, dan merasa takut

kepada Allah SWT[7].

Secara umum, dalam berpuasa kaum sufi menyadari sepenuhnya bahwa puasa

merupakan perisai bagi mereka dari neraka, sekaligus dari menuruti hawa nafsu dan setan[8].

Kaum sufi mengklasifikasikan puasa itu kepada tiga kategori yaitu[9]:

a. Puasa umum, ialah sekedar mengkarantinakan kerongkongan dan mengunci seksual, puasa

yang dilakukan sesuai dengan syarat rukun formalnya saja.

b.Puasa istimewa, ialah di samping melaksankan puasa umum tadi, juga segala panca indra dan

seluruh anggota tubuh dijaga ketat agar tidak berhubungan dengan apa saja yang dipandang

tidak baik. Dengan kata lain, puasa tipe ini adalah puasa seluruh anggota badan dari hal-hal
yang dilarang agama.

55
c. Puasa yang sangat istimewa atau puasa paripurna, yaitu segenap anggota jasmani dan rohani

ikut berpuasa. Jika raga berpuasa dengan melupakan masalah duniawi, yang diingat hanya

Allah. Sopan santun berpuasa seperti kategori ketiga inilah yang mereka anggap sebagai

puasa yang benar. Sebab menurut sufi, tujuan puasa bukanlah sekedar usaha preventif organ

tubuh, tetapi untuk mendidik kalbu-rohani, untuk mencetak manusia berpribadi luhur dan

berkarakter mulia.

4. Adab Haji Kaum Sufi

Dalam melaksanakan ibadah haji, kaum sufi tidak hanya mencukupkan diri dengan

mensucikan jazad lahiriyah dengan mandi saja akan tetapi mereka juga memasukkan ke

dalamnya proses pensucian batiniyah hati mereka dengan taubat.

Saat melepas pakaian mereka untuk ihram, mereka juga melepas setiap kecenderungan

mengikuti hawa nafsu dari hati mereka dan berusaha menjauhkan diri mereka dari setiap

perbuatan nista, sambil bertekad kuat untuk terus melanjutkan langkah di jalan ketaatan dan

hidayah yang telah mereka ikrarkan[10].

C. Akhlak Menurut Kaum Sufi

Semua kaum sufi sependapat, bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan

seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Oleh karena itu jiwa manusia

merupakan refleksi atau pancaran dari zat Allah yang suci, maka segala sesuatu itu harus

sempurna (perfection) suci, sekalipun tingkat dan kesucian dan kesempurnaan itu beervariasi
menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya[11].

Dalam pandangan kaum sufi, ternyata manusia cenderung kepada hawa nafsunya.

Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang

mengendalikan hawa nafsunya[12].

1. Tawadhu
Salah satu akhlak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawadhu.
Mereka antusias untuk menerapkannya pada diri mereka sebagai bentuk peneladanan
Rasulullah SAW. yang merupakan model utama kaum mukmin dalam masalah tawadhu.
Dalam menjalani perilaku tawadhu kaum sufi menerapkan adab-adab al-Qur’an dan
mengimplementasikan tafsir mereka atas tawadhu yang terkandung dalam ayat:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang


yang beriman”[13]. (QS. Asy-Syuara/26: 215)

56
Rasulullah SAW. telah memberi arahan agar bersifat moderat dalam bertawadhu, yaitu tidak

berlebih-lebihan dalam merendahkan diri yang bisa membuat pelakunya direndahkan atau

dilecehkan. Beliau bersabda: ”Berbahagialah orang yang merendahkan diri tanpa

membuatnya terlecehkan dan orang yang menghinakan diri tanpa membuatnya sengsara[14].

2. Al-Mudarah (lemah lembut)

Al-mudarah berarti mengendalikan diri ketika berinteraksi dengan orang lain dan ketika

disakiti oleh mereka. Dalam hal ini, kaum sufi meneladani Rasulullah SAW. yang

diriwayatkan tidak pernah menyakiti seorang pun.

Kaum sufi menerapkan perilaku lemah lembut dalam lkehidupan pribadi dan publik

mereka, atau dalam hubungan mereka dengan keluarga dan masyarakat.

Dengan interaksi santun terhadap manusia, mereka berarti cenderung terlibat dalam

masyarakat dan tidak mengucilkan diri dari pergaulan sosial, meskipun harus bersinggungan

dengan sebagian orang yang buruk perangainya[15].

3. Pemaaf

Kaum sufi juga menghiasi diri dengan sikap pemaaf, yaitu memaafkan orang yang

berbuat jahat terhadap mereka. Dalam hal ini, mereka terinspirasi oleh Rasulullah SAW. yang

mewartakan bahwa sikap pemaaf termasuk akhlak yang mulia.


Sikap pemaaf juga mereka aktualisasikan dengan membalas kejahatan orang dengan

berbuat baik kepadanya sebab itulah budi dalam arti yang sesungguhnya, sedangkan jika

tanpa itu maka ia merupakan bentuk interaksi yang mirip dengan

praktik dagang (almutaajarah)[16].

4. Tobat

Tobat adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi. Langkah

pertama adalah tobat dari dosa kecil dan dosa besar. Tobat yang sebenarnya dalam dunia

tasawuf adalah lupa kepada segala hal kecuali

kepada Allah[17].

57
5. Zuhud

Zuhud adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan

dunia. Ini merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual[18].

Untuk memantapkan tobat calon sufi memasuki station zuhud. Zuhud merupakan langkah

awal dalam perjalanan untuk menuju kehidupan seorang sufi.

6. Wara

Wara yaitu meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat subhat (keragu-

raguan) tentang halalnya sesuatu. Dalam dunia tasawuf, kalau seseorang telah mencapai

wara, maka tangannya tak bisa diulurkan untuk mengambil yang di dalamnya terdapat subhat.

7. Kefakir

Kefakiran dalam istilah sufi adalah tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada

pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban,

bahkan tidak meminta kendatipun tak ada pada diri kita

8. Sabar

Sabar dalam menjalankan perintah-perintah, dalam menjauhi larangan-larangan dan

menerima musibah, percobaan dan ujian yang ditimpakan-Nya

seraya menunggu datangnya pertolongan Allah.


9. Tawakal

Tawakal yaitu berserah diri pada Allah. Sikap tawakal kaum sufi ialah menerima

pemberian dengan rasa syukur, kalau tidak dapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah

kepada kada dan kadar Allah.

10. Kerelaan

Ridha atau kerelaan yaitu tidak menentang terhadap kada dan kadar Allah, melainkan

menerima dengan senang hati. Karena itu seorang sufi akan merasa senang baik ketika

menerima nikmat maupun ketika menerima malapetaka.

58
11. Mahabbah (cinta)

Yang dimaksud di sini adalah cinta kepada Allah yang ditampilkan dalam

bentuk kepatuhan tanpa reserve, penyerahan diri secara total, dan pengosongan hati dari

segala sesuatu kecuali yang dikasihi, yaitu Allah. Hati yang mahabbah dipenuhi dengan cinta

sehingga tidak ada tempat untuk benci kepada apa dan siapapun. Ia mencintai Tuhan dan

segenap makhluk-Nya.

Al-Asqalani menjelaskan bahwa mahbbah (cinta kepada Allah) itu dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu[19]:

a. Mahabbah fardhu, yaitu mahabbah yang mendorong untuk melakukan perintah-perintah

Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

b. Mahabbah sunnah, yaitu mahabbah yang mendorong untuk membiasakan ibadah-ibadah

sunnah dan menjauhi perkara-perkara yang shubhat.

12. Makrifah

Makrifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat

Tuhan. Di station ini telah dekat sekali dengan Tuhan, tetapi ia belum puas dengan

berhadapan, ingin lebih dekat lagi dan bersatu Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan menurut

kaum sufi ada tiga macam, yaitu:

a. Pengetahuan awam, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan syahadat.


b. Pengetahuan ulama, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan akal.

c. Pengetahuan sufi, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.

Ciri-ciri pengetahuan ma’rifat yang diperoleh seorang sufi antara lain[20]:

a. Ilmu itu datang lewat cahaya Ilahi yang mengejawantah dalam diri manusia, sehingga

terbukalah segala hijab yang selama ini menutup, yang nampak adalah kebenaran Ilahi;

b. Ilmu ini tidak terjangkau oleh rasio, karena ilmu ini selain tidak rasional juga rasio tidak

mampu mengkajinya;

c. Ilmu itu hanya datang pada hati yang telah bersih (qalbun salim), yang hanya diberikan

Tuhan kepada hamba-Nya yang terpilih;

d. Tidak seperti pengetahuan spekulatif yang melahirkan kata-kata, ilmu ma’rifat bersifat pasti
dan haqq al-yaqin; dan

59
e. Memiliki kemiripan dengan ilmu pengetahuan Tuhan karena ia mampu menyingkap rahasia

Tuhan.

Melalui ilmu ini para sufi memperoleh hakikat kesempurnaan ilmu tentang dirinya, diri-

Nya, dan hakikat alam semesta (hakikat makrokosmos dan mikrokosmos), dan inilah citra

sang insan kamil (manusia sempurna) yang diidealkan banyak orang.

13. Al-Fana wal Baqa

Sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan, terlebih dahulu ia harus menghancurkan

dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan

dirinya, ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran itu disebut fana.

Penghancuran dalam istilah sufi selalu diiringi dengan baqa.

Fana yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya perasaan dan

kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau sufi telah mencapai fana an nafs, yaitu

kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan

tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu ia dapatlah bersama dengan Tuhan.

14. Al-ittihad

Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi, tinggallah kesadaran tentang Tuhan, ia pun

sampai ke tingkat ittihad, yaitu satu tingkat tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya

bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi

satu, sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainnya dengan kata-kata: wahai aku.

60
A. Simpulan

1. Kaum sufi menaruh perhatian besar terhadap perilaku mulia sebab mereka sangat antusias

untuk meneladani Rasulullah SAW. yang diutus oleh Tuhannya untuk menyempurnakan

akhlak yang mulia.

2. Adab-adab kaum sufi dalam peribadatan, di antaranya: shalat, zakat, puasa, dan haji.

3. Akhlak-akhlak kaum sufi, di antaranya: tawadhu, al-mudarah (lemah lembut), pemaaf, tobat,

zuhud, wara, kefakir, sabar, tawakal, kerelaan, mahabbah (cinta), makrifah, al fana wal baqa,

dan al-ittihad.

B. Saran

Sufi adalah orang yang hatinya tulus terhadap Allah. Untuk itu, sudah sepantasnya kita

semua menjadi orang yang memiliki akhlak-akhlak seperti kaum sufi agar dapat merasakan

kehadiran Allah serta merasakan kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat setelah kembali

kepada-Nya.

Al-Jawi, Syaikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar. Terjemah Nasha-Ihul ‘Ibad. Surabaya: Gitamedia Press, 2008.

Amstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 2001.

As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 2002.

Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013.

Khaliq, Abdurrahman Abdul dan Ihsan Illahi Zhahir. Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.

Said, Usman. Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara: 1983.

Sholikhin, Muhammad. Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil. Semarang: Pustaka, 2004.

Suryana, A. Toto dkk. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara, 1997.

[1] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 43
[2] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 2001), h. 262-263
[3] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013), h. 313
[4] Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Illahi Zhahir, Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2000), h. 33
[5] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 320-321
[6] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 323
[7] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 325
[8] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 326
[9] Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, (t.cet; Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1983), h. 116-
117
[10] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 326
[11] Usman Said, op. cit., h. 96
[12] Usman Said, op. cit., h. 98
[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (T. cet. Surabaya: Mahkota, 2002), h. 529
[14] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 332
[15] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 332
[16] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 336
[17] A. Toto Suryana dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (t. cet.; Bandung: Tiga Mutiara, 1997), h. 82
[18] Amatullah Amstrong, op. cit., h. 332
[19] Syaikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar al-Jawi, Terjemah Nasha-Ihul ‘Ibad, (Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2008), h. 84
[20] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, (Cet. I; Semarang: Pustaka, 2004), h. 332

61
BAB V
PENDAHULUAN
AHWAL

A. Latar Belakang Masalah


Dalam tradisi tasawuf terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh seorang sufi
dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bermacam-macam cara sufi dalam menggambarkan pengalaman perjalanan spiritual
menuju Tuhan dan tentang peta perjalanan tersebut, sebagian menggambarkan dengan istilah
maqamat atau stasiun-stasiun, atau tahap-tahap perjalanan. Ibarat seorang yang berjalan
menuju sebuah kota, mereka harus melewati beberapa stasiun dengan tanda-tandanya yang
harus mereka kenali dan juga harus mengetahui posisi mereka.
Terkadang, diantara para sufi memperoleh anugerah dari Tuhan, berupa keadaan jiwa,
sehingga dia bisa mencapai titik kedekatan pada Tuhan. Anugerah tersebut, didapatkan atas
karunia atau pemberian dari Tuhan. Inilah yang disebut dengan Hal atau Ahwal.
Dalam makalah ini, kami akan memberikan penjelasan tentang Hal atau Ahwal yang
menjadi poin penting dalam tradisi tasawuf.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hal (Ahwal)?
2. Apa Struktur-struktur Hal (Ahwal)?

62
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hal (Ahwal)
Ahwala dalah kata jamak dari hal, yakni keadaan atau karakter spiritual yang
diberikan oleh Tuhan ketika seseorang melakukan perjalanan ruhani (spiritual) melalui
maqam tertentu. Atau dengan arti lain bahwa hal adalah keadaan atau situasi kejiwaan.
Secara terminologi Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati,karena masuk dalam
hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.
Menurut Jurjaniy, hal atau Ahwal adalah pengalaman rohaniyah yang berlaku di
dalam hati tanpa disengaja, dibuat-buat, dicari-cari, dan diusahakan.
Sedangkan menurut Abu Najib al-Suhrawardi, dia menjelaskan bahwa dikatakan hal,
karena adanya keadaan ruhani itu selalu berpindah dan dikatakan maqam, karena adanya
ketetapan atau kelanggengan.
Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik dari Hal, banyak kalangan yang
menyatakan bahwa jika dipahami lebih mendalam, pada dasarnya Hal tidak lebih dari
manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh
dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah
SWT.Meskipun Hal merupakan kondisi yang bersifat karunia, namun seseorang yang ingin
memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik dan ibadah.

63
2. Struktur Hal (Ahwal)
Struktur Hal atau Ahwal terdiri atas:
A. Muraqabah
Muraqabah berakar dari kata raqaba yang berarti mengawal, menjaga
mengawal,menanti dan mengamati. Semuanya arti tersebut bisa disimpulkan sebagai
pengawasan, karena apabila seorang mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan,
menjaga dan mengawalnya. Dengan demikian muraqabah bisa diartikan sebagai
pengawasan.Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi bathin dimana orang memosisikan
dirinya pada keadaan waspada dan konsentrasi penuh, sehingga segala pikiran dan
perasaannya selalu terfokus pada kesadaran diri yang mantap.
Dalam arti lain merupakan muraqabah adalahhal (keadaan) dimana seorang hamba
menyadari bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah SWT. Muraqabah merupakan hal yang
sangat penting, karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka
muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah.
Implementasi Muraqabah
Al-Qusyairi menyebutkan bahwa seseorang bisa sampai pada keadaan muraqabah, jika ia
telah sepenuhnya melakukan perhitungan atau analisis terhadap perilakunya di masa lalu dan
melakukan perubahan-perubahan menuju perilaku yang lebih baik

Hal penting yang harus ditunjukan dalam muraqabah ini adalah konsistensi diri
terhadap perilaku yang baik atau seharusnya dilakukan. Konsistensi dapat diupayakan
dengan senantiasa mawas diri, sehingga tidak terjerumus atau terlena terhadap
keinginan-keinginan sesaat. Seorang yang muraqabah berarti menjaga diri untuk
senantiasa menjadi yang terbaik sesuai dengan kodrat dan eksistensinya. Oleh karena itu
seseorang yang melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin yang tinggi, agar terwujudnya
muraqabah tersebut.

Kedisiplinan inilah yang akan mengantar seseorang menuju keadaan yang lebih baik
dan menuju kebahagiaan yang hakiki. Sementara ketidakdisiplinan ditunjukan dengan sikap
sembrono serta mudah terlena dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang nisbi dan fana,
yang semua itu akan dapat mendorongnya menuju kejatuhan padajurang kerendahan dan
kehinaan.

64
B. Mahabbah
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) mengandung arti keteguhan dan
kemantapan. Seorang yang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling
pada sesuatu yang lain.
Menurut Abdullah al Qurasyi mengatakan hakikat cinta adalah bahwa engkau
memberikan segenap dirimu kepada Dia yang engkau cintai, hingga tak sesuatupun yang
tersisa.
Sedangkan menurut Muhammad bin Ali al-Katanny, mahabbah atau cinta adalah
mengutamakan segalanya bagi sang kekasih.
Al Junayd mengatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada
sang kekasih, hingga tak satupun tertinggal, kecuali ingatan pada sang kekasih.
Implementasi Mahabbah
Ilustrasi tentang cinta juga dikemukakan oleh Ibnu Al-Arabi, bahwa mahabbahadalah
bertemunya dua kehendak, yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak Tuhan,
yakni kerinduanya untuk bertajalli dengan alam, sedangkan kehendak manusia adalah
kembali pada esensinya sebagai wujud mulak Kesmpurnaan manusia,menurut Ibnu Al-‘Arabi
sangat ditentukan oleh kesadaran manusia akan eksistensi dirinya sebagai satu kesatuan
dengan eksistensi Tuhan.
Lebih jauh lagi sebenarnya kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang
senantiasa konsisten dan penuh konsentrasi terhadap apa yana dituju dan diusahakan, dengan
tanpa merasa berat dan sulit untuk mencapainya. Karena segala sesuatunya dilakukan dengan
penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Kesadaran
cinta juga berimplikasi terhadap diri seorang pecinta dengan sikap penerimaanya terhadap
segala apa yang ada dan terjadi dialam semesta. Sehingga segala sesuatu, baik yang bersifat
positif yang berwujud kebaikan maupun negatif yang berbentuk kejahatan, kelebihan, dan
kekurangan semua diterima dengan lapang dada. Seorang pecinta juga dapat melupakan
segala sesuatu yang ada atau terjadi disekelilingnya karena kesadaran cintanya telah
mendominasi dan memenuhi seluruh kesadaran psikologisnya.

65
C. Khauf
Khauf(ketakutan) adalah sesuatu yang sangat tidak diharapkan akan terjadi, dan
sesuatu yang diharapkan akan sirna.
Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan
menimpa diri dimasa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Abu Hafs mengatakan bahwa khauf (takut) adalah pelita hati, karena dengan takut
baik dan buruk hati seseorang akan tampak.
Pada prinsipnya takut yang dimaksudkan adalah perasaan takut yang ditimbulkan dari
perbuatan yang dilakukan. Seseorang yang diliputi rasa takut, akan berbuat yang lebih baik
agar kelak mendapatkan kebaikan pada waktu yang akan datang. Tindakannya selalu dengan
pertimbangan kebaikan dalam jangka panjang, dan bukan hanya untuk kesenangan sesaat.
Implementasi Khauf
Banyak sekali ungkapan yang memberikan penjelasan tentang khauf (takut). Yakni
antara lain ungkapan Abu Hafs yang menyatakan bahwa takut adalah pelita hati, dan dengan
takut baik buruknya hati seseorang akan tampak. Sementara Abu Umar Al-Dimasyqi
menegaskan, bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih
takut dari takutnya pada setan. Ibnu Jalla’ berpandagan, bahwa manusia yang takut (kepada
Allah) adalah dirinya merasa aman dari hal-hal yang menbuanya takut.
Menurut Al-Wasithi, perasaan takut merupakan pengendali bagi diri seseorang dari
perbuatan yang sia-sia. Karena ia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu melakukan yang
terbaik dengan tanpa adanya keraguan, ia merasa yakin bahwa usaha yang baik akan
menghasilkan kebaikan pula. Ada pun puncak dari perasaan takut adalah sebuah kesadaran
bahwa Allah menguasai wujud manusia yang paling dalam, yang pada akhirnya perasaan
takut itu akan hilang dengan sendirinya, karena takut hanyalah akibat dari rasa inderawi yang
bersifat manusiawi. Sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Husain Ibnu Manshur Al-Hallaj,
bahwa seorang yang takut kepada selain Allah SWT atau berharap kepada selain Allah maka
perasaan takut itu akan mendominasinya dan menutupi dirinya sampai berlapis-lapis. Ada
pun lapisan yang paling tipis adalah keraguan.
Dari banyak ungkapan yang dikemukakan oleh ahli tasawuf di atas, dapat dipahmi
bahwa takut yang dimaksud disini adalah perasaan takut akan akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan yang dilakukkan. Sehingga perasaan ini secara otomatis akan memberikan
dorongann untuk melakukan yang terbaik, sehingga pada masa mendatang ia akan menerima
yang baik pula.
66
D. Raja’
Raja’ dapat dikatakan kebalikan dari khauf. Khauf adalah takut sesuatu
akan terjadi, maka raja’ justru berharap sesuatu agar terjadi.
Ada perbedaan antara berharap (raja’) dengan berangan-angan (tamanni). Raja’
berarti menginginkan sesuatu agar dapat terjadi sesuai dengan keinginan, dengan usaha.
Sementara berangan-angan adalah menginginkan sesuatu terjadi tanpa suatu usaha.
Implementasinya seperti yang di ungkapkan Ibnu Khubaiq, dia membagi harapan
menjadi tiga:
a) Manusia yang melakukan amal kebaikan, dengan harapan amal baiknya akan diterima Allah
SWT.
b) Manusia yang melakukan amal buruk, kemudian bertobat dengan harapan akan mendapatkan
ampunan dari Allah SWT.
c) Orang yang menipu diri dengan terus menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan
ampunan.
Harapan (raja’) akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan
segala aktifitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya.
Untuk itu dasarankan bagi orang yang menyadari atau kejahatan yang dilakukanya,
untuk lebih didominasi perasaan takut (khauf) dan bukan harapan (raja’). Rasa takut
berfungsi sebagai peringatan atas akibat yang ditimbulkan oleh tindakan dimasa yang akan
datang. Dan jika perasan takut dilengkaipi dengan harapan, akan dapat menimbulkan
keberanian yang dapat menghancurkan segala penyakit yang ada dalam diri seseorang.[15]
Harapan (raja’) akan membawa seorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala
aktivitasnya, serta menghilangkan semua keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian
dia akan melakukan segala akivitas terbaiknya dengan penuh keyakinan.

67
E. Syauq
Rindu (Syauq) merupakan luapan perasaan seorang individu yang mengharapkan
untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dirindukan atau yang dicintai, yaitu Allah
SWT.

Implementasi Syauq
Perwujudan rindu (shauq) kepada Allah adalah dengan kita senantiasa mendekatkan
diri kepada Allah dan mendatangkan Allah dalam hati kita melalui cara sholat, berdzikir salah
satunya dengan cara membaca Asmaul husna karena dengan cara-cara itulah kita bisa
menghadirkan Allah dalam hati seseorang. Sholat dapat mencegah orang melakukan
perbuatan keji dan mungkar, jika kita sering mengerjakan kemungkaran maka rasa rindu
(shauq) akan dicabut dari hati kita sebab Allah hanya akan hadir di dalam hati yang suci atau
bersih dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan berdzikir secara terus menerus dalam
keadaan apapun akan mengingatkan manusia kepada Allah sehingga manusia rindu akan
kehadiran Allah di dalam hatinya. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan
berhati-hati dalam tindakan dan tutur katanya agar tidak dibenci oleh Allah dan bisa
mendekatkan diri kepada Allah.

68
F. Uns
Ketika seseorang didekati dan diterima oleh apa yang paling didambakannya, ia akan
merasakan suatu perasaan gembira dan senang yang teramat indah dalam jiwanya. Perasaan
itu adalah uns. Kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, serta rasa sukacita yang membara
karena merasakan kedekatan dengan Allah yang sangat dicintainya.
Implementasi Uns
Keadaan semacam ini dapat di alami seseorang dalam situasi tertentu, misalnya
menikmati indahnya alam semesta, merdunya kicauan burung, atau saat kita bercermin
betapa sangat indahnya diri kita yang di mana seseorang atau sufi benar-benar menikmati
atau merasakan keindahan Allah melalui ciptaanya. Cara ini dapat kita peroleh
dengantadabur alam atau cammping spiritual.

Uns menurut Dr. H. Asep Usmar Ismail. MA dalam bukunya yang berjudul
TASAWUF berarti keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh pada satu titik
setrum, Allah. Tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap,kecuali
Allah. Keadaan ini dapat diraih dengan cara berdiam diri di dalam masjid pada malam hari
dan merenungi dosa-dosa yang telah ia lakukan selama ini.

G. Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat
mempengaruhinya. Ibnu Qoyyim menukil sebuah hadits yang menyatakan “kebenaran
adalah identik dengan ketentraman sedangkan kebohongan adalah identik dengan
keraguan”. Yang dimaksud disini adalah bahwa kebenaran dapat menenangkan hati
sedangkan kebohongan akan dapat menggoyahkan dan meragukan hati, hal ini menjadi
contoh implementasi dari tuma’ninah.
H. Musyahadah
Secara psikologis, kondisi kejiwaan seorang yang musyahadah, senantiasa penuh
dengan pencerahan dalam setiap ruang dan waktu. Seseorang yang mengalami musyahadah,
jiwanya terang benderang, penuh dengan cahaya ketuhanan, seolah mampu mengubah malam
yang gelap gulita menjadi terang benderang oleh cahaya kalbunya,

69
I. Al-Yaqin
Secara umum,al-yaqin adalah suatu kepercayaan atau keyakinan yang kuat dan tidak
tergoyahkan tentang kebenran, berdasarkan kesaksian dari realitas yang ada.
Implementasi al Yaqin
Di dalam kehidupan sehari-hari dilihat dari segi agama, kadang kita percaya dan
yakin akan adanya Allah SWT tetapi terkadang kita melalaikan akan ajaran perintah-Nya
baik secara sadar maupun tidak sadar. Kalau kita cermati tentang masalah ini, terhadap orang
yang melalaikan perintah-Nya bukan berarti orang tersebut tidak percaya akan adanya Allah.
Kepercayaan dan keyakinan itulah yang disebut dengan Yaqin.

70
A. Kesimpulan
Hal atau Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati, karena masuk dalam
hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.
Sedang struktur Ahwalterdiri atas muraqabah, mahabah, khauf, raja’, syauq, uns,
tuma’ninah, musyahadah, dan al-yaqin.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan mampu memberikan ibrah
atau khasanah intelektual terhadap pemahaman pembaca tentang pentingnya Ahwal dalam
implementasi kehidupan sehari-hari.

Tohir, Moenir Nahrowi, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan Menuju Tuhan, Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera, cet.I, 2012
Muhammad, Hasyim, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, cet.I, 2002
Othman Napiah, Ahwal dan Maqamat dalam Ilmu Tasawuf, Malaysia: Universitas Teknologi Malaysia, cet.I, 2001
Amin, Abdul, Rusydi, Musdar, Terjemah Tazkiyatun Nafs, Jakarta: Pena Pundi Aksara, cet.III, 2006
Hakim, Mohammad Luqman, Terjemah Risalah Qusyairiyah, Induk Ilmu Tasawuf,Surabaya: Risalah Gusti, cet.I, 2000
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, cet. IV, 2006
Masyhudi, In’ammuzahidin, Wali-Sufi Gila, Yogyakarta: Khazanah Pustaka Indonesia, cet. I, 2003
Chusnan, Masyitoh, Tasawuf Muhammadiyah: Menyelami Spiritual Leadership AR. Fahruddin, Jakarta: Penerbit Kubah Ilmu, cet.II,
2012
Anwar, Rosihon, Muktar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000

71
Referensi

Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah


Dahlan, Tamrin. 2010. Tasawuf Irfani (Tutup Nasut Buka Luhut). Malang: UIN-Maliki Press
Hadi, Mukhtar. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf (Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf). Yogyakarta: Aura
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tassawuf Islam dan Akhlak Cet. 1. Jakarta: Amzah
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: Referensi
Nata, Abuddin. 2013. Akhlak tasawuf dan karakter mulia. Depok: PT RajaGrafindo Persada

6[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta; 1997, hal.189.
7[2] Martin Lings, membedah tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, hal.19
8[3] Julian Baldick, Islam Mistik “mengantar anda ke dunia tasawuf”, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta;
2002, hal.39.
9[4] Martin Lings, op.cit., hal.17
10[5] Mustafa zahri, Kunci Memahami ILMU TASAWUF, PT.Bina Ilmu, Surabaya; 1995, hal.161-162.

Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya Abu al-Husain, Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, Dar al-Ma’rifah: Beirut, tt.
Al-Jailani Syekh Abdul Qadir, Rahasia Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet. I; DIVA press: Yogyakarta, 2008)
Al-Qusyairiy, al-Risalah al-Qusyairiyah (CD al-Maktabah al-Syamilah)
al-Turmudzi Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan al Turmudzi, Beirut: Dar al Fikr, 1994).

Azra Azyumardi dkk, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006.
Basyuniy Ibrahim, Nasy’ah al-Taswuf al-Islamiy, Dar al-Ma’arif: Mesir, 1119 H[1]
Rahman Fazlur, Islam, Terjemahan oleh Ahsin Muhammad dari Islam, (Bandung: Pustaka, 1984)
Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo Persada: Jakarta), 1997.

Suhrawardi Syekh Syihabuddin Umar, Awarif al-Ma’arif., (ter. Edisi Indonesia Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
Zainul Bahri Media, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada Media: Jakarta), 2005.

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 43
[1]
Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 2001), h. 262-263
[2]
[3] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013), h. 313
[4] Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Illahi Zhahir, Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2000), h. 33
[5] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 320-321
[6] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 323
[7] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 325
[8] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 326
[9] Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, (t.cet; Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 1983), h. 116-117
[10] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 326

[11] Usman Said, op. cit., h. 96


[12] Usman Said, op. cit., h. 98
[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (T. cet. Surabaya: Mahkota, 2002), h. 529
[14] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 332
[15] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 332
[16] Muhammad Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 336
[17] A. Toto Suryana dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (t. cet.; Bandung: Tiga Mutiara, 1997), h. 82
[18] Amatullah Amstrong, op. cit., h. 332
[19] Syaikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar al-Jawi, Terjemah Nasha-Ihul ‘Ibad, (Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2008), h. 84
[20] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, (Cet. I; Semarang: Pustaka, 2004), h. 332

72
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jawi, Syaikh Muhammad Nawawi Ibnu Umar. Terjemah Nasha-Ihul ‘Ibad. Surabaya: Gitamedia Press, 2008.

Amstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 2001.

As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota, 2002.

Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013.

Khaliq, Abdurrahman Abdul dan Ihsan Illahi Zhahir. Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000.

Said, Usman. Pengantar Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara: 1983.

Sholikhin, Muhammad. Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil. Semarang: Pustaka, 2004.

Suryana, A. Toto dkk. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara, 1997.

Tohir, Moenir Nahrowi, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan Menuju Tuhan, Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera, cet.I, 2012
Muhammad, Hasyim, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, cet.I, 2002
Othman Napiah, Ahwal dan Maqamat dalam Ilmu Tasawuf, Malaysia: Universitas Teknologi Malaysia, cet.I, 2001
Amin, Abdul, Rusydi, Musdar, Terjemah Tazkiyatun Nafs, Jakarta: Pena Pundi Aksara, cet.III, 2006
Hakim, Mohammad Luqman, Terjemah Risalah Qusyairiyah, Induk Ilmu Tasawuf,Surabaya: Risalah Gusti, cet.I, 2000
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, cet. IV, 2006
Masyhudi, In’ammuzahidin, Wali-Sufi Gila, Yogyakarta: Khazanah Pustaka Indonesia, cet. I, 2003
Chusnan, Masyitoh, Tasawuf Muhammadiyah: Menyelami Spiritual Leadership AR. Fahruddin, Jakarta: Penerbit Kubah Ilmu, cet.II,
2012
Anwar, Rosihon, Muktar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000

73

Anda mungkin juga menyukai