Anda di halaman 1dari 32

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb, segala puji bagi Allah SWT yang mana telah memberikan
limpahan kesehatan jutaan kenikmatan jasmani dan rohani. Shalawat serta salam mari kita
haturkan kepada manusia paling sempurna sepanjang masa, sang tauladan umat beragama Nabi
Muhammad SAW yang mana telah memperjuangkan islam dari zaman jahiliah hingga zaman
modern sekarang ini, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ushul Fiqh II yang di
tugaskan oleh Dosen pengampu untuk memahami ilmu tersebut.

Kami membuat makalah ini bermaksud untuk memberikan penjelasan yang mudah di
pahami dalam menerapkan sebagaimana Ilmu Fiqh yang sangat penting untuk di terapkan
dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, dan bernegara. Karena sebagaimana kita pasti
akan terjun di tengah-tengah masyarakat dalam lembaga maupun sebuah organisasi maka dari
itu kita harus dapat menerapkan poin-poin yang ada pada Pembelajaran sebagai bentuk
keilmuan yang dimiliki oleh seoarang yang sudah matang dalam berkehidupan yang lebih baik.

Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberikan manfaat, pengalaman serta
pengetahuan baru, karena sesama manusia harus saling memberikan informasi dan ilmu-ilmu
yang berguna agar dapat mewujudkan negara Indonesia sebagai negara yang jujur dan adil
dalam bertingkah laku maupun bertutur kata dengan memahami Ilmu Fiqh. Apabila ada
kekurangan dari isi makalah yang kami buat kami memohon maaf dan sangat meminta
masukan dari dosen dan teman-teman karena kami masih belajar dalam membuat makalah
tersebut, dan kita tahu bahwa kesalahan adalah dari diri kita masing-masing dan kebenaran
hanyalah milih Allah SWT semata. Wassalamualaikum Wr. Wb.

1|Page
Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................................................... 1

Daftar Isi .................................................................................................................................. 2

Bab I pendahuluan

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 3


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 3
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................................ 3

Bab II Pembahasan

A. Saddu Al-Zari’ah
1) Pengertian Saddu Al-Dzari’ah ......................................................................... 5
2) Kedudukan Saddu Al-Dzari’ah ........................................................................ 6
3) Pengelompokan Saddu Al-Dzari’ah ................................................................ 7
4) Pandangan Ulama tentang Saddu Al-Dzari’ah ................................................
B. Fath Al-DZari’ah .........................................................................................................
1) Pengertian Fath Al-Dzari’ah ............................................................................
2) Kedudukan Fath Al-Dzari’ah ...........................................................................
3) Pandangan Ulama tentang Fath Al-Dzari’ah ...................................................
C. Ijtihad ..........................................................................................................................
1) Pengertian Ijtihad menurut ulama ....................................................................
2) Syarat menjadi mujtahid ..................................................................................
3) Pembagian dan macam-macam ijtihad ............................................................

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................30

Daftar Pustaka .................................................................................................................32

2|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang


Al-Dzari’ah adalah jamak adz-zara’i yang artinya media yang menyampaikan
kepada sesuatu. Sedangakn dalam penfertian istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan
al-dzari’ah adalah, sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada
sesuatu yang berkaitan dengan media syara’, baik yang haram ataupun yang halal (yang
terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan. Oleh
karena itu, dalam kajian ushul fiqh al-dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu sadd al-dzari’ah
dan fath al-dzar’ah. Meskipun al-dzari’ah dapat berarti sadd al-dzari’ah dan fath al-
dzari’ah, namun dikalangan ulama ushul fiqh, jika kata l-dzari’ah disebut secara sendiri,
tidak dalam bentuk kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk
menunjukan pengertian sadd al-dzari’ah.
Dalam melakukan agama adalah kewajiban atas semua muslim yang mukallaf.
oleh karena itu, bagi orang yang akan melaksanakan ajaran agama yang membutuhkan
ijtihad, sedagkan ia tidak mempunyai kemampuan berijtihad, harus menanyakan
kepada orang yang tahu (mampu berijtihad), sehingga dapat mengamalkan ajaran
agama atas dasar petunjuk orang yang tahu itu. Mengikuti petunjuk orang yang tahu
dalam mengamalkan agama itu disebut “taqlid”. Ijtihad dan taqlid serta hal-hal yang
berkaitan dengan itu akan diuraikan dalam bahasan tersendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Saddu Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah?
2. Apa kedudukan Saddu Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah?
3. Bagaimana pengelompokan Saddu Al-Dzari’ah?
4. Bagaimana pendapat para ulama tetang Saddu Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah?
5. Bagaimana pengertian ijtihad menurut ulama?
6. Apa saja syarat untuk menjadi seorang mujtahid?
7. Apa saja macam dan pembagian ijtihad?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian Saddu Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah.
2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Saddu Al-Dzari’ah dan Fath Al-Dzari’ah.
3. Untuk mengetahui apa saja yang dikelompokkan dalam Saddu Al-Dzari’ah.

3|Page
4. Untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama tentang Saddu Al-Dzari’ah dan Fath
Al-Dzari’ah.
5. Untuk memahami apa itu ijtihad menurut pengertian ulama.
6. Untuk mengetahui apa saja syarat yang harus dilakukan untuk menjadi sorang
mujtahid.
7. Untuk mengethaui ada berapa macam dan oembagian dalam ijtihad.

4|Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. Saddu Al-Dzari’ah
1) Pengertian Saddu Al-Dzari’ah
Secara lughowi (bahasa), al-Dzari’ah adalah
‫الو سيلة التى يتو صل بها الى الشيىء سواء كان حسيتا او معنو يتا‬
Jalan ang membawa lepada sesuatu, secara hisi atau ma’nawi, baik atau buruk.
Arti lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan
penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat oleh
Ibnu Qayyim kedalam rumusan definisi tentang dzari’ah, yaitu:
‫ما كان و سيلة وطر يقا الى الشيىء‬
Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada seuatu.
Selanjutnya Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap
dzari’ah itu sebagai berikut:
‫هو امو صل الى اشيىء الممنو ع المشتمل على مفسدة‬
Apa yang menyampaikan kepada sesuatu ang terlarang yang mengandung
kerusakan.
Untuk menempatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata
dzari’ah itu didahului dengan saddu (‫ )سد‬yang artinya “menutup” maksudnya
adalah menutup jaan terjadinya kerusakan.
Wahhab Zuhaili menginginkan definisi yang netral, karena itu ia
memilih definisi yang dikemukakan Ibn Qayyim diatas.
Dalam pembahasan hukum taklifi tentang “wajib” telah diuraikan
tentang hukum melakukan segala sesuatu yang membawa kepada dan
mendahului suatu perbuatan wajib, yang disebut “muqaddimah wajib”. Dari
segi bahwa ia adalah washilah (perantara) kepada suatu perbuatan yang dikenai
hukum, maka ia disebut dzari’ah. Oleh karena itu, para penulis dan ulama ushul
memasukkan pembahasan tentang muqaddimah wajib kedalam pembahasan
tentang dzari’ah, karena sama-sama sebagai perantara kepada sesuatu.1
Badran dan Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan
dzari’ah. Perbedaanya terletak kepada ketergantungan perbuatan pokok yang

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana Prenadamediagroup, hal 449.

5|Page
dituju kepada perantara atau washilah. Pada dzari’ah, hukum perbuatan pokok
tidak tergantung pada perantara. Kalau zina adalah perbuatan pokok dan
khalwat adalah perantara, maka terjadinya zina itu tidak tergantung pada
terjadinya khalwat, artinya tanpa khalwat pun zina dapat juga terjadi. Karena
itu, perantara disini disebut dzari’ah.
Pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara.
Kalau shalat sebagai perbuatan pokok dan wudhu sebagai perantara, maka
keberadaan dan kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu.
Karenanya wudhu disini disebut muqaddimah.
Meskipun Badran dan Zuhaili mengemukakan adanya perbedaan
anatara muqaddimah dengan dzari’ah, namun keduanya berpendapat bahwa
anatar dzari’ah dan muqaddimah itu mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama
sebagai “perantara” untuk sesuatu.
Sebenarnya kalau ingin membedakan diantara keduanya akan lebih tepat
kalau dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang berada dibalik perantara
itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang disuruh, maka
washilahnya disebut muqadimmah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju
adalah perbuatan yang dilarang, maka washilahnya disebut al-zari’ah. Karena
kita harus menjauhi perbuatan yang dilarang, termasuk washilahnya, maka
bahasan disini adalah tentang upaya untuk menjauhi washilahnya, agar
terhindar dari perbuatan pokoknya yang dilaeang. Oleh karenanya poko bahasan
disini adalah tentang saddu al-zari’ah. Tentang membuka zari’ah tidak
dibicarakan karena sudah dijelaskan pada pembahasan tentang muqaddimah
wajib.
2) Kedudukan Saddu Al-Dzari’ah
Meskipun hampir semua ulama dan penulis ushul fiqh menyinggung
tentang saddu al-zari’ah, namun amat sedikit yang membahasnya dalam
pembahasan khusus secara tersendiri. Ada yang menenmpatnkan bahasanya
dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama.2
Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam
menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaanya, mengandung
arti bahwa eskipun syara’ tidak menempatkan secara jelas mengenai hukum

2
Ibid., hlm. 450

6|Page
suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah bagi
suat perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau
dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan
syara’ terhadap perbuatan pokok.3 Masalah ini menjadi perhatian ulama karena
banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya :
a) Surat al-An’aam (6) : 108
‫وال تسبوا الذ ين يد عو ن من دون هللا فيسبوا هللا عدوا بغير علم‬
Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan
mencaci Allah secara memusuhi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-borlh
saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci
dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci
Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.
b) Surat an-Nuur (24): 31
‫وال يضربن بارجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن و تو بوا الئ هللا جميعا ايها المؤمنو ن لعلكم تفلحون‬
Janganlah perempuan itu menghentakan kakinya supaya diketahui orang
perhiasan yang tersembunyi didalamnya.
Sebenrnya menghentakan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan, namun
karena menyebbkan perhiasanya yang tersembunyi dapat diketahui orang
sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka
menghentakana kaki itu menjadi terlarang.
Dari dua contoh diatsa terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada dasarnya perbuata
itu boleh hukumnya. Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi ulama
adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi, yaitu : (1) sisi yag
mendorong untuk berbuat, dan (2) sasaran atau tujuan yang menjadi natijah-
nya, perbuatan itu ada dua bentuk :
1. Natijah-nya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah kepada adalah
baik dan oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya.
2. Natijah-nya buruk. Maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya
adalah juga buruk, dan karenannya dilarang.
3) Pengelompokan Saddu Al-Dzari’ah

3
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, hlm 239.

7|Page
Dzari’ah dapat dikelompokan dengan melihat kepada beberapa segi :
1. Dengan memandangan kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya,
Ibn Qayyim membagi dzari’ah menjadi empat, yaitu :
a. Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada
kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang
membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina
yang membawa pada keruskaan tata keturunan.
b. Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun
ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik yang
sengaja seperti nikah muhalil, atau tidak sengaja seperti mencaci
sembahan agama lain. nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya
boleh, namun dilakukan dengan niat mengahalalkan yang haram
menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain
itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut
dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah
menjadi terlarang melakukanya.
c. Dzari’ah yang semual ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan
untuk keusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan
yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya, seperti
berhiasnya orang perempuan yag baru kematian suami dalam
masa’iddah. Berhiasnya perempuan boelh hukumnya, tetapi
dilakukanya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih
dalam masa ‘iddah keadannya menjadi lain.
d. Dzari’ah yang semula ditentkan untuk mubah, namun terkadang
membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakanya lebih kecil
dibanding kebaikanya. Contoh dalam hal ini melihat wajah
perempuan saat dipinang4.
2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi
membagi dzari’ah kepada emapat jenis, yaitu:
a. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan
terjadi kerusakan.

4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana Prenadamediagroup, hlm 452.

8|Page
Umpamanya menggali lubang ditanah sendiri dekat denga pintu
rumah seseorang diwakt gelap, dan setiap orang yang keluar dari
rumah itu pasti akan terjatuh kedalam lubang tersebut.
Sebenarnya menggali lubang itu boleh-boleh saja. Namun
penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti itu akan
mendatangkan kerusakan.
b. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan
besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukanya perbuatan
yang dilarang.
umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan
minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang
mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-boleh saja dan
tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras,
namun menurut kebiasan, pabrik minuma keras membeli anggur
untuk diolah menjadi minuman keras.
Demikian pula menjual pisau kepada penjahat tersebut,
kemungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau
membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak
dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpamanya jual beli
kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada
riba, namun dalam praktiknya sering dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kerusakan atau perbuatan
telarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan,
belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya
menggali lubang dikebun sendiri yang jarang dilalui oleh orang.
Menurut kebiasaanya tidak ada orang yang berlalu (lewat)
ditempat itu yang akan terjatuh kedalam lubang. Namun tidak

9|Page
tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh kedalam
lubang.5
4) Pandangan Ulama tentang Saddu al-Dzari’ah
Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun
ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddu al-dzari’ah.
Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad
dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Dan kemudian yang
dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan
mudarat atau baik dan buruk.
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudorata sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode saddu al-dzariah itu, meskipun berbeda dalam
kadar penerimaanya. Kalangan ulama malikiyyah yang dikenal banyak
menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak mengguanakan
metode saddu al-dzari’ah.
Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat ulama tentang
saddu al-dzari’ah kedalam tiga kelompok, yaitu :
1. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau berat dugaan
akan menimbulkan kerusakan, seperti pada bentuk dzari’ah ke-1 dan ke-2
dalam pembagian dzari’ah menurut syatibi diatas. Dalam hal ini ulama
sepakat untuk melarang dzari’ah tersebut sehingga dalam kitab-kitab fiqh
mazhab tersebut ditegaskan tentang haramnya menggali lubang ditempat
yang biasa dialalui orang yang dapat dipastikan akan mencelakakan.
Demikian juga haramnya menjual anggur kepada pabrik pengolahan miras
dan diharamkan menjual pisau kepada penjahat yang akan membunuh
korbanya.
2. Dzari’ah yang kemungkinan mendatangka kemudaratan atau larangan,
seperti pada dzari’ah bentuk ke-4 dalam pembagian menurut al-Syatibi
diatas. Dalam hal ini ulama juga sepakat untuk tidak melarangnya, artinya
pintu dzari’ah tidak perlu untuk ditutup (dilarang). Dalam kitab-kitab fiqh
mazhab tidak terdapat larangan menanam dan memperjualbelikan anggur,

5
Ibid,. hlm 453-454.

10 | P a g e
begitu pula tidak ada larangan membuat dan menjual pisau diwaktu normal
serta menggali lubang dikebun sendiri yang tidak pernah dilalui orang.
3. Dzari’ah yang terletak ditengah-tengah anatara kemungkinan membawa
kerusakan dan tidak merusak, sebagaimana pada dzari’ah bentuk ke-3 dalam
pembagian menurut al-syatibi diatas. Dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama. Syalabi mengemukakan bahwa imam maliki
dan ahmad ibn hanbal mengahruskan melarang dzari’ah tersebut,
sedangakan syafi’i dan abu hanifa menyatakan tidak perlu melarangnya.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan peganggan saddu al-
dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi
perbenturan anatar maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan,
maka bole`h dilakukan, dan bila mafsadat yang dominan, maka harus
ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk menjaga kehat-
hatian harus diambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana dirumuskan
dalam kaidah :
‫درأالمفاسدمقدم على جلب المصالح‬
Menolak keruskan diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan.
Bila anatar yang halal dan haram berbaur (bercampur), maka prinsipnya
dirumuskan dalam kaidah :
‫ادا اجتمع الحالل والحرام غلب الحرام‬
Bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram
menghalalkan yang halal.
Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kahti-hatian dalam
beramal, adalah sabda Nabi:
‫دع ما يريبك الى مااليريبك‬
Tinggalkan apa-apa yang meragukanmua unruk mengambil apa-apa yang
tidak meragukanmu.
Ulama yang menolak saddu al-dzari’ah secara mutlak adalah ulama
zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dipaparkan oleh ibnu hazn
yang intisarinya adalah sebagai berikut :
a. Hadist yang dikemukakakan oleh ulama yang mengamalkan saddu
al-dzari’ah itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadis
itu diriwatkan dalam banyak versi yang berbeda perawinya. Maksud
hadist tersebut ialah bahwa yang diharamkan adalah yang

11 | P a g e
menggembala didalam padang yang terlarang, sedangakan yang
menggembala disekitarnya tidak dilarang. Anatara menggembala
didalam dengan disekitar padang itu, hukumnya tidak sama, karena
itu hukumnya kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh).
b. Dasar pemikiran saddu al-dzariah itu adalah ijtihad dengan
berpatokan dengan pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama
zhahariyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar)
seperti ini.
c. Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah
dalam Al-Qur’an atau dalam sunnah dan ijma’ ulama. Adapun yang
ditetapkan diluar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam
hubungannya dalam saddu al-dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian
yang ditettapkan hukumnya dengan nash atau ijma’, hanyalah
hukum pokok atau maqashid, sedangkan pada hukum washilah atau
dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Oleh karena
itu cara seperti ini ditolak, sesuai dengan firman Allah dalam surat
an-nahl (16): 116
‫والتقولوالما تصف ألسنتكم الكذب هذاحالل وهذاحرام لتفتروا على اللهالكذب‬
Janganlah kamu katakan berdasarkan ucapan lisanmu suatu
kebohongan, ini halal dan ini haram, karena mengada-ada
terhadap Allah dalam bentuk bohong.
Dalam pendapat diatas kalangan ulama zhahariyah dengan tegas
menolak saddu al-dzari’ah.
B. Fath al-Dzari’ah
1) Pengertian Fath al-Dzari’ah
Lafadz ‫ فتح‬termasuk isim masdar, dari kata kerja ‫ فتح – يفتح – فتحا‬yang artinya
membuka, sedangkan lafadz ‫ الدريعة‬bentuk mufrod yang jamaknya berupa ‫الدرىع‬
yang berrti washilah, sarana, jalan dan dalil. Dalam pengertian diatas terdapat dalil
pada QS. Al-Jum’ah ayat ,
“ ‫يا ايها الدين امنوا اذا نودي للصالة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكراللهوذروا البيع ذلكم خير لكم ان كنتم‬
‫ “ تعلمون‬yang artinya “hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.”

12 | P a g e
Disini pengertian fath al-dzari’ah secara teminologi adalah menetapkan hukum atas
suatu perbuatan tertentu baik dalam bentuk memperbolehkan (ibahah), kewajiban
(ijab) dan menganjurkan (istihab), karena perbuatan tersebut bila menjadi sarana
perbuatan lain yang memang telah dianjurkan/diperintahkan. Dalam fath al-
dzari’ah pekerjaan sesuatu yang tidak dapat menyampaikan pada yang diperintah
kecuali dengan sesuatu itu, mayoritas ulama fiqh mengungkapkan dengan ungkapan
yang lebih terkenal dari semisal ungkapan suatu yang tidak dapat menyempurnakan
kewajiban kecuali denganya, maka tergolong wajib. Sesuatu yang tidak dapat
menyempurnkan pada perintah, kecuali dengan adanya sesuatu yang diperintah itu,
dan sesuatu yang tidak dapat memerintahkan pada yang dituju, kecuali dengan
sesuatu itu.
Pada tiga ungkapan tersebut mengandung perantara yang mengantarkan kepada hal
yang wajib dan sesuatu yang menjadi pembuka hal yang wajib. Ini adalah tradisi
dikalangan ulama-ulama ushul. Adapun yang dimaksud perintah pada definisi
daiats adalah, sesuatu yang diperintah untuk mengerjakan dan meninggalkan,
karena berita itu mengandung ajakan, permohonan, dan tuntutan. Ini semua masuk
dalam ajakan mengerjakan dan meninggalkan. Lafadz perintah itu merupakan
lafadz yang umum, namun ulama ushul mengkhususkan pada salah satu dua macam
pada lafadz larangan. Maka, yang dimaksud adalah salah satu dua macam ini
(mengerjakan atau meninggalkan) ini adalah pendapat dari abu abbas ibnu
taymiyah.
2) Kedudukan Fath Al-Dzari’ah
Imam malik dan ahmad bin hanbal menjadikan al-dzari’ah sebagai dalil hukum
syara’. Sementara abu hanifah dan asy-syafi’i terkadang menjadikan al-dzari’ah
sebagai dalil. Sebagai contoh, asy-syafi’i membolehkan seseorang yang karena uzur
(seperti sakit dan musafir) meninggalkan shalat jumat dan menggantinya dengan
shalat dhuhur, namun hendaknya ia mengerjakan shalat dhuhur tersebut secara
sembunyi-sembunyi dan diam-diam agar tidak dituduh orang sengaja meninggalkan
shalat jumat. Demikian juga orang yang tidak puasa karena uzur, agar tidak makan
dihadapan orang yang tidak mengetahui uzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah.
Selanjutnya, ulama syi’ah juga menggunakan sadd al-dzari’ah. Akan tetapi ibn
hazm azh-zhahiri sama seklai menolak al-dzari’ah sebagai dalil syara’ (hujjah).
Fath Al-Dzari’ah dapat diambil dalil sebagai sebuah hujjah dengan beberapa
kriteria, sebagai berikut :

13 | P a g e
1. Berdasarkan firman Allah dalam surat At-taubah ayat 120, yang mengandung
ungkapan dari syari’, pembuat syari’at beberapa perentara. Ayat ini
menunjukkan dengan baiknya perantara dan mengingatkan pada beberapa
ungkapan perantara. Yang diajadikan beberapa pekerjaan para pejuan fii
sabilillah semenjak keluar dari tempatnya hingga kembali kepada
pemukimanya. Sedangkan dia pjuan ada dalam keadaan beribadah. Pekerjaan
ini semua karena menjadi perantara da yang menyempurnakan pada perbuatan
ibadah tersebut.
2. Berdasarkan sabda Nabi SAW, yang artinya “barang siapa yang menempuh
suatu jalan untuk meraih sebuah ilmu, maka allah permudah jalannya surga”
hadist riwayat muslim. Adapun segi-segi dalam sabda nabi ini sebagaimana
pada dalil yang sebelumnya.
3. Ada beberapa perentara yang harus melakukan yang diperintah dari beberapa
tuntutan perintah, maka adanya dalil dari perantara sesuatu yang bisa memberi
faedah perintah dari dalil-dalinya.
3) Pandangan ulama tentang Fath Al-Dzari’ah
Menurut imam al-junaini perintah dengan sesuat yang menyimpan tuntutan itu
butuh pada yang diperintah dalam melakukanya. Contohnya, ketetapan dalam
syari’at butuh sahnya shalat dengan suci. Maka, perintah dengan shalat yang benar
menyimpan pada perintah dengan harus bersuci terlebih dahulu, begitu pula
pendapat dalam semua syarat-syaratnya. Jelas hal itu dimaksud dalam tuntutan dalil
yang ada di pekerjaan (sesuatu) karena yang dituntut dari objek mukhattab (orang
kena perintah). Terjadi pekerjaan yang benar dan harus bisa sesuai enga kaidah
taklif (paksaan) dan tidak mungkin terjadi yang disarankan tanpa adanya syarat.
Menurut muwaffiq ibnu khadamah bahwa yang asal adalah wajib dengan
kewajiban bermaksud. Adapun perantara menjadi wajib dengan perantara wjib yang
dimaksud. Contoh, ada sedang sakit dia tidak bisa shalat kecuali dengan
mengguakan debu (tayammum) karena orang ini mempunya luka yang tidak boleh
terkena air sama sekali, nah perantara wudlu dengan debu tersebut dinamakan
perantara yang wajib jika sebab kewajibannya berbeda.6

6
Saad Al-Ataibi,‫أسس السا سة السرعة فا عدة الذراعع \ فتح الذراعع‬
,selasa 27 shafar 1440.

14 | P a g e
Menurut ibnu sa’di bila allah merintah sesuatu maka, sesuatu itu menjadi
perintah dan dengan sesuatu yang tida bisa menyempurnakan kecuali denga sesuatu
itu, perintah itu tidak semuanya wajib, contohnya terdapat dalam firmah allah yaitu
“makan dan minumlah dan jangan dengan sembarangan” adanya perintah dengan
menunaikan semua syarat-syaratnya yang terjadi dari syari’at, tradisi dan panca
indra yang baik. Sesungguhnya allah telah mensyariatkan beberapa hukum itu.
Maha mengetahui dan maha bijaksana, allah mengetahui sesuatu yang akan terjadi
pada hamba-hambanya dari ketetapan, beberapa syarat dalil yang
menyempurnakan.
C. Ijtihad
1) Pengertian Ijtihad
a. Ijtihad Menurut Arti Kata (Etimologi)

Ijtihad (‫ (االجتهاد‬diambil dari akar kata dalam bahasa arab “jahada” (‫)جهد‬. Bentuk kata
masdar-nya ada dua bentuk yang berbeda artinya:

a. Jahdun (‫ )جهد‬dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Contohnya dapat kita
temukan dalam surat al-An’aam (6): 109: 7

‫وأقسموا باهلل جهد أيما نهم (االنعام‬

Mereka bersumpah dengan Allah sungguh-sungguh sumpah.

b. Juhdun (‫ )جهد‬dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti
sulit, berat, dan susah. Contohnya, firman Allah dalam surat at-Taubah (9): 79:

‫والذين اليجدون االجهد هم فيسخرون منهم (التوبة‬

Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekadar kesanggupannya, makaorangmunafik


itu menghina mereka.

Bila kata ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk mashdar-nya tersebut, pengertiannya


berarti “kesanggupan yang sangat” atau ‘kesungguhan yang sangat.”

Bila arti kata (etimologis) ini dihubungkan dengan arti istilah (definitif) tentang ijtihad,
akan terlihat keserasian artinya karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti

7
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana Pranamediagrup, 2008), hal 257.

15 | P a g e
kesanggupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhan serta
sepenuh hati.

b. Ijtihad Menurut Istilah Teknis Hukum (Definisi)

Banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi “ijtihad”, tetapi satu sama lainnya
tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan kelihatan saling menguatkan dan
menyempurnakan. Di antara definisi tersebut adalah:

1. Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi:

‫بذل الوسع فى نيل حكم شر عى عملى بطريق االستنباط‬

Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara
istinbath.

Dalam definisi ini digunakan kata bazlu al-was’i untuk menjelaskan bahwa ijtihad itu adalah
usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti bila usaha itu ditempuh
dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh,sungguh maka tidak dinamakan ijtihad.

Penggunaan kata syar’i mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad adalah
hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Sebagai fasal (kata
pemisah) dalam definisi itu, kata syar’i ini mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha
menemukan sesuatu yang bersifat aqli, lughawi, dan bissi. Pengerahan kemampuan untuk
menemukan yang demikian tidak disebut ijtihad.

Selanjutnya dalam definisi itu juga disebutkan mengenai cara menemukan hukum syar’i, yaitu
melalui istinbath (‫ ) استتباط‬yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dari
dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha memahami lafaz dan
mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut. Sebagai fasal (kata pemisah) dalam deifnisi, kata ini
mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha mengeluarkan hukum dari nash yang
memang secara jelas telah menunjuk kepada hukum tersebut.

2.Ibnu Subki memberikan definisi sebagai berikut:

‫استفرا غ الفقية الوسح لتحصيل ظن بحكم شرعى‬

16 | P a g e
Pengerahan kemampuan seseorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum
syar’i. 8

Dibandingkan dengan definisi al-Syaukani, Ibnu Subki menambahkan lafaz al-faqih,


mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah sembarang
orang, tetapi orang yang telah mencapai derajat tertentu yang disebut faqih, karena hanya orang
faqih-lah yang dapat berbuat demikian. Usaha yang dilakukan orang awan yang tidak
mempunyai pengetahuan tentang faqih bukan ijtihad.

3. Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi sebelumnya


dengan penambahan kata:

‫بحيث يحس من النفس الحجز عن المزيدفيه‬

dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari pada itu.

Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah:

‫استفراغ الوسح فى طلب الظن بشيى من االحكام الشرعية بحيث يحس من النفس العجز عن المزيدفيه‬

Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’
dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.

Penambahan fasal dalam definisi al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa


pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, pengarahan
kemampuan secara sembrono, asal-asalan atau sekadarnya saja, tidak dinamakan ijtihad.

Dari menganalisis ketiga definisi di atas dan membandingkannya dapat diambil hakikat
dari ijtihad itu sebagai berikut:

a. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal;

b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang
keilmuan yang disebut faqih;

c. Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum
syara’ yang bersifat amaliah;

d. Usaha ijtihad di tempuh melalui cara-cara istinbath. 9

8
Amir syarifuddin, usul fiqih 2, (Jakarta: kencana pranamediagrup, 2008), hal259
9
Ibid., hlm 260

17 | P a g e
1. Hukum Berijtihad

Yang dimaksud dengan hukum berijtihad di sini ialah hukum dari orang yang
melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh’i. Karena yang
berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih (sebagaimana
disebutkan dalam definisi diatas), maka mahkum ‘alaih-nya (subjek atau orang yang dikenai
oleh huum) di sini adalah orang yang faqih. 10

Membicarakan hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi. Pertama dari
segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti
menemtukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat. Kedua dari segi bahwa mujtahid
itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya.

Selanjutnya hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam
menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi apa pun, atau dengan
melihat kepada keadaan dan kondisi tertentu.

Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib
melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’
sendiri tidak menetapkan nya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk
berijtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Quran: 11

1. Surat al-Hasyr (59):2:

‫فاعتبروا يا أولى االبصار (الحشر‬

Artinya: Maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan.

Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk
mengambil iktibar atau pertimbangan dalam berfikir. Perintah untuk mengambil iktibar ini
sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh
tingkah mereka yang tidak baik. Seorang faqih akan dapat mengambil kesimpulan dari ibarat
Allah tersebut bahwa kaum mana pun akan mengalami akibat yang sama bila mereka berlaku
seperti kaum yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini. Cara mengambil iktibar ini merupakan
salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil iktibar berarti
Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib.

10
Amir syarifuddin, usul fiqih 2, (Jakarta: kencana pranamediagrup, 2008), hal261

18 | P a g e
2. Surat an-Nisaa’ (4):59:

):‫ (النساء‬..... ‫والرسول‬


ّ ‫فإن تناز عتم في شيء فردوه إلى هللا‬

Artinya: Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul....

Allah menyuruh mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul. Yang
diperselisihkan itu biasanya sesuatu yang tidak ditetapkan Allah secara jelas dan tegas dalam
firman-Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada Allah dan Rasul berarti
menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran
atau yang ditetapkan Rasul dalam Sunah. Cara seperti ini disebut qiyas (‫)القياس‬. Sedangkan
qiyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad. Karena itu, suruhan (perintah) Allah dan Rasul
ini berarti suruhan untuk berijtihad dan setiap suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib.

Seorang mujtahid dalam kehidupan sehri-harinya pada waktu mengamalkan ajaran


agama sering menemukan hal-hal yang perlu diselesaikan dengan ijtihad. Bertaklid kepada
orang lain tidak di perbolehkan bagi seorang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid. Kalau
tidak berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena tidak memperoleh petunjuk dari dalil
yang kuat.

Dalam kedudukan sebagai faqih yang pendapatnya akan diikuti dan diamalkan oleh
orang lain yang minta fatwa tentang sesuatu, maka hukum berijtihad tergantung kepada
keadaan kondisi mujtahid dan umat di sekitarnya.

Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia
hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus
tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib’ain

(‫)واجب عينى‬.12

Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang berlaku, sedangkan ia
adalah satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut sari
hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad, maka
hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib kifayah (‫)واجب كفا ئى‬. Hal ini bererti bahwa
bila untuk menetapkan hukum atau kasus tersebut telah ada seorang faqih yang tampil untuk
berijtihad, maka faqih yang lain bebas dari kewajiban berijtihad. Namun bila tidak ada seorang

12
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana Pranamediagrup, 2008), hal 262.

19 | P a g e
faqih pun yang berijtihad, sehingga hukumnya luput, maka semua faqih yang ada disitu berdosa
karena meninggalkan kewajiban kifayah.

Bila keadaan yang ditanyakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi
umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka
ijtihad dalam hal ini hukumnya hanyalah sunat (‫ ;)سنة‬artinya tidak berdosa faqih tersebut bila
tidak melakukan ijtihad, namun bila ia berijtihad akan lebih baik.

Berijtihad itu hukumnya haram( ‫ )حرام‬untuk kasus yang telah ada hukumnya dan
ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i, atau bila orang yang melakukan ijtihad itu
belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertama
karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih dan qath’i yang
mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad tidak (belum) memenuhi syarat yang di
tuntut untuk ijtihad.

Dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi,
dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash Al-Quran maupun sunnah, sedangkan
orang yang memiliki kualifikasi sebagi mujtahid ada beberapa orang, maka dalam hal ini
hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya mubah (‫ )مباح‬atau boleh.

2) Syarat Menjadi Mujahid

Dari gambaran umum tentang ijtihad yang diuraikan di atas terlihat bahwa ijtihad itu
adalah kegiatan orang yang memenuhi syarat tertentu dalam melakukan panggilan terhadap
hukum Allah dari petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk hukum
tertentu. Dari sini tampak bahwa unsur pokok dalam berijtihad adalah: (1) orang yang
melakukan ijtihad yang disebut “mujtahid”, (2) dugaan kuat tentang hukum Allah yang terdapat
dalam petunjuk yang menjadi sasaran ijtihad, yang disebut “mujtahad”. Pembicaraan tentang
syarat-syarat berijtihad meliputi kedua unsur pokok tersebut. 13

1. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepribadian menyangkut dua hal:

a. Syarat umum yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah telah balig dan berakal.
Sesorang mujahid itu harus telah dewasa, karena hanya pada orang yang telah dewasa
dapat ditemukan adanya kemampuan. Orang yang belum dewasa atau anak-anak tidak
akan mungkin melakukan ijtihad.

13
al-Bahr al-Muhit az-Zarkasyi fi Usul al-Fiqh (Mesir: Dar as-Safwah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’,
1992)

20 | P a g e
b. Syarat keperibadian khusus. Ijtihad itu merupakan ilmiah secara umum. Namun yang
dilakukan dan dihasikan dalamnya adalah hukum yang dinisbatkan kepada Allah, Oleh
karena itu dituntut pada seorang mujtahid adanya persyaratan keperibadian khusus
yaitu kelamin. Ia harus percaya beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang
berkenaan dengan zat, sifat da perbuatan-Nya. Ia percaya akan keberadaan dan
kemahakuasaan Allah yang mengatur segala segi kehidupan manusia. Ia percaya
kepada kerasulan Nabi Muhammad SAW. dan percaya pula akan fungsi beliau sebagai
penyampai dan penjelas hukum Allah kepada umat manusia.
Adapun beberapa sifat tambahan, seperti: zuhud, wara’, tawadhu’, dan lainnya tidak
merupakan persyaratan untuk sahnya sebuah ijtihad, tetapi merupakan sifat kautamaan bagi
seorang mufti yang menyampaikan hasil ijtihadnya.
2. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan.

a. Mengetahui “ilmu alat”, dalam hal ini adalah bahasa Arab, karena sumber pokok
hukum syara’, yaitu Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab.

Pengetahuan akan behasa Arab ini meliputi seluruh seginya seperti ilmu nahwu, sharaf,
bayan. ma’ani, dan badi’. Dengan kemampuan itu seorang mujtahid dapat menggali
maksud dari kehendak Allah dalam Al-Quran secara tepat.

b. Pengetahuan tentang Al-Quran

Al-Quran adalah sumber asasi hukum syara’. Karena itu seorang mujtahid harus
mempunyai pengetahuan yang baik tentang Al-Quran. Persyaratan ini disepakati olaeh
semua ulama, karena tidak mungkin seseorang dapat memahami syariah, apalagi
menggali dan merumuskan tanpa memiliki pengetahuan tentang Al-Quran. 14

c. Memahami Hadis Nabi


Seorang mujahid harus mempunyai pengetahuan tentang hadis atau sunah Nabi
sebagai sumber kedua hukum Islam. Di antara fungsi hadis adalah sebagai penjelasan
terhadap Al-Quran. Pemahaman akan hadis tersebut meliputi keseluruhannya, baik
yang qauliyah, fi’liyah maupun taqririiyah.
d. Pengetahuan tentang Ijma’ Ulama
Setiap mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang ijma’ ulama. Dengan
demikian, ia akan mengetahui kasus atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan

14
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana Pranamediagrup, 2008), hal 294.

21 | P a g e
hukumnya telah di-ijma’-kan ulama, setidaknya dalam hal-hal yang menyangkut
pokok-pokok kewajiban agama dan hal yang harus diketahui setiap muslim secara
dharuri, seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji serta kewajiban pokok lainnya.
Begitu pula mengenai hal yang secara jelas telah dilarang Allah seperti haramnya zina,
makan daging babi, dan lain-lain sebagainya yang merupakan larangan pokok dalam
agama yang harus diketahui setiap muslim. Meskipun larangan mengenai hal itu
ketentuan hukumnya telah jelas dalam bentuk nash yang ditetpkan Allah, namun
formulasinya dalam bentuk hukum secara terinci adalah hasil karya ijtihad yang
dikukuhkan dengan ijma’ ulama. Ijma’ ini mempunyai kekuatan yang mengikat dan
tidak dapat diingkari.
Dalam hampir semua literatur yang membicarakan tentang syarat-syarat mujtahid,
selalu menyatakan pengetahuan tentang ijma’ ini sebagai syarat. Di antara alasannya
adalah supaya seorang mujahid tidak menetapkan hukum yang menyalahi apa yang
telah ditetapkan ijma’. Hal ini mengandng arti bahwa sesuatu hukum yang telah
ditetapkan berdasarkan ijma’ tidak boleh dibatalkan. Hal ini sesuai dengan pandangan
umum dari jumhur ulama yang menyatakan bahwa nasikh dan mansukh tidak berlaku
dalam ijma’.
e. Pengetahuan tentang qiyas
Qiyas disepakati oleh ulama jumhur sebagai salah satu cara untuk menemukan hukum
Allah. Oleh karena itu, setiap yang akan menggali dan menentukan hukum Allah
(berijtihad) harus mempunyai pengetahuan tentang qiyas. Ia harus mengetahui metode
qiyas serta mengetahui pokok-pokok istinbath yang memungkinkannya membedakan
dan memilih hukum yang paling dekat kepada tujuan syara’. 15
Pengetahuan tentang qiyas menyangkut beberapa bidang:
1. Mengetahui hukum-hukum ashal yang ditetapkan nash sehingga dapat
menghubungkan suatu kasus baru kepada hukum ashal itu. Juga mengetahui
‘illat dan alasan hukum dan hukum yang ditetapkan nash supaya dapat
menetapkan hukum suatu kasus baru yang mengandung ‘illat dan alasan
hukum yang sama dengan yang ditetapkan nash.
2. Mengetahui secara baik kaidah-kaidah qiyas dan persyaratan penggunaannya,
sehingga ia tidak akan menggunakan qiyas dalam ijtihadnya untuk kasus yang
tidak mungkin ditetapkan hukumnya berdasarkan qiyas.

15
Ibid., hal 299.

22 | P a g e
3. Mengetahui metode yang digunakan oleh mujtahid sahabat dalam menemukan
‘illat hukum dan sifat-sifat yang mereka pandang sebagai asas dalam
menetapkan hukum.
f. Pengetahuan tentang maksud Syari’ dalam menetapkan hukum.
Tidaklah Syari’ (Pembuat Hukum, yaitu Allah) menetapkan hukum tanpa maksud
tertentu, artinya setiap hukum yang ditemukan dalam Al-Quran pasti ada tujuannya,
meskipun dalam beberapa tempat kita tidak dapat mengetahuinya. Setiap mujtahid
harus dapat mengetahui maksud Syari’ dalam menetapkan suatu hukum, sehingga
dengan demikian saat mencari dan menggali hukum melalui ijtihad, ia dapat
berpedoman kepada tujuan Syari’ tersebut.
g. Pengetahuan tentang Usul Fiqih
Seorang mujtahid harus harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang usul fiqih,
karena ilmu ini mempelajari apa-apa yang diperlukan untuk berijtihad. Dengan ilmu
ini ia akan mampu mengembalikan furu’ kepada ashal dengan cara yang mudah.
Sebaliknya, bila ia kurang menguasai ilmu usul fiqih, maka akan menemui kesulitan
untuk mengembalikan masalah tersebut dan mungkin keliru.
4. Pembagian dan Jenis Ijtihad
Bila kita telusuri litetarur ushul fiqih, maka pembahasan tentang pembagian dan
macam-macam ijtihad, terdapat bentuk pembahasan yang beda. Ada yang tidak
memisahkan antara keduanya. Namun ada yang membahas kedua masalah itu secara
terpisah, masing-masing dibahas tersendiri secara luas dan mendalam. Karena kedua
masalah tersebut berkaitan erat, maka dalam buku ini keduanya di bahas dalam satu
bahasan. 16
3) Pembagian Ijihad dan macam-macam ijtihad
Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad, di antaranya:
1. Mahdi Fadhl Allah membagi Ijtihad menjadi dua bagian:
a. Ijtihad mutlaq )‫(اجتهاد مطلق‬, yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah
hukum, tidak memilah-milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum
tertentu. Atau bisa disebut dengan ijtihad paripurna. Ulama yang mempunyai
kemampuan meng-istimbath-kan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya;
atau mempinyai kemampuan meng-istimbathkan hukum dari sumber-sumber
hukum yang diakui secara syar’i dan ‘aqli.

16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.

23 | P a g e
b. Ijtihad juz’i )‫ ( اجتهاد جزئى‬atau ijtihad parsial. Karya ijtihad seperti ini adalah
kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalami
bagian yang lain. Pelaku (mujahid)-nya disebut mujtahid juz’i )‫ (مجتهد جزئى‬atau
mujtahid spesialis, yaitu faqih yang mempunyai kemampuan
mengistimbathkan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang
muktabar tanpa kemampuan meng-istimbathkan semua hukum.
Imam mujtahid yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Ahmad) termasuk
kepada bagian pertama (mujahid mutlaq) dan kebanyakan mujahid lainnya
termasuk bagian yang kedua (mujahid juz’i),
2. Muhamad Abu Zahrah dalam bukunya, Usul Fiqih, membai Ijtihad dari segi bentuk
karya ijtihadnya, kepada dua bagian:
a) Ijtihad istimbathi )‫(االستنباطى‬, yaitu kegiatan ijihad yang berusaha menggali dan
menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Ini disebut juga ijtihad
yang paripurna dan secara khusus berlaku di kalangan sekelompok ulama yang
berfungsi mencari hukum furu’ yang amaliah dari dalilnya yang terinci, Imam
mujtahid yang populer itu termasuk dalam kelompok ini.
Ijtihad al-istinbathi ini adalah bentuk asli dari ijtihad itu sedang yang
melaksanakannya adalah mujtahid mutlak atau mujtahid dalam arti sebenarnya.
Contoh dalam hal ini umpamanya ijtihad yang dilakukan oleh imam mazhab
yang empat yang menghasilkan mazhab empat yang populer.
b) Ijtihad tahbiqi )‫(التطبيقى‬, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan
dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan hukum asli temuan imam mujahid
terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian. Masalah hukum dalam
kejadian yang muncul kemudian tersebut ditetapkan hukumnya dengan
menghubungkannya kepada hukum yang telah ditetapkan imam terdahulu.
Dalam hal ini memang tampak ada upaya pengerahan daya ijtihad, namun tidak
menghasilkan hukum yang baru atau orisinil serta tidak menggunakan dalil
syara’ yang muktabar sebagai bahan rujukan, tetapi hanya merujuk kepada
hukum-hukum yang telah ditemukan mujtahid terdahulu.
3. Menurut Ibn Subki, kegiatan ijtihad tathbiqi (yang menerapkan hasil ijtihad mujahid
terdahulu) di atas, terbagi kepada dua:
a. Takhrij al-ahkam )‫ (تخريج االحكام‬yaitu menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang
baru dengan cara menghubungankan kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh imam
mujahid terdahulu. Dalam kejadian yang baru tersebut ada kesebandingan dengan

24 | P a g e
kejadian yang hukumnya telah ditetapkan oleh imam mujahid terdahulu. Dalam hal ini
pendapat imam mujahid terdahulu direntangkan kepada kejadian yang baru, seolah-
olah apa yang baru ditetapkan melalui takhrij al-ahkam tersebut adalah juga pendapat
(qaul) imam mujtahid terdahulu. Pendapat hasil pertentangan ini disebut qaulun
mukharrajun )‫(قول مخرج‬. Sedangkan pendapat imam mujtahid (penentuan), disebut
qaulun manshushun )‫(قول منصوص‬.17
Ijtihad takhriji ini berada dalam lingkup ijtihad mazhab bukan ijtihal mutlaq.
b. Tarjih )‫ (الترجيح‬yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan di kemudian
hari bagi para pengikut seorang imam mujahid dengan memilih dan memilah mana
yang terkuat di antara pendapat yang berkembang diantara berbagai pendapat ulama
mujtahid untuk diikuti dan dijalankan.

Adapun macam-macam ijtihad antara lain yaitu:

Dalam menetapkan macam-macam iyjtihad para ahli membagi ijtihad dengan melihat kepada
beberapa titik pandang yang berbeda :

1. Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, ada tiga macam :
a. Ijtihad bayani (‫)اال جتهاد البيا نى‬, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum
yang ada dalam nash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapanya
maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad bauyani ini hanya
dalam batas pemahama terhadap nash dan menguatkan salah satu
diantara beberapa pemahaman yang bebeda. Dalam hal ini, hukumnya
tersurat dalam nash, namun tidak memberikan jawaban yang pasti.
Ijtihad disini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil
nash itu. Berdasarkan firman allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 228
) 228 :‫والمطلقا ت يتر بصن با نفسهن ثال ثة قروء(البقرة‬
Istri-istri yang terletak hendaknya ber’iddah tiga kali quru’ .
Dalam ayat itu disebutkan batas waktu iddah yaitu tiga kali quru’,
namun lafadz quru’ itu memiliki dua pengertian yang berbeda: bisa
berarti suci, bisa juga berarti haid.
b. Ijtahad qiyasi (‫ )االجتهادالقياسى‬yaitu ijtihad untuk menggali dan
menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan
dalilnya secara tersurat dalam nash, baik secara qath’i maupun secara

17
Ibid., Ushul al-Fiqh

25 | P a g e
dzanni, juga tidak ada ijma’ dalam menentukan hukumnya. Ijtihad
dalam hal ini menentapkan hukum suatu kejadian (peristiwa) dengan
merujuk pada kejadian yang telah ada hkumnya, karena antara dua
peristiwa itu ada kesamaan dalam ‘illat hukumnya.
c. Ijtihad istishlahi (‫)االجتهاد االستصال حي‬, yaitu karya ijtihad untuk menggali,
menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara menerapkan
kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat
nash, baik qath’i maupun zhanni, dan tidak memungkinkan mencarai
kaitanya dengan nash yang ada, juga belum dipustukan dalam ijma’.
Dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ketiga ini hanyalah jiwa hukum
syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik
dalam bentuk mendatangkan manfaat maupun menghindarkan mudarat.
2. Al-Syatibi dalam kitabnya al-muwafaqat melihat bentuk ijtihad dari segi
mungkin atau tidak mungkin terhenti kegiatannya. Dalam hal ini, ia membagi
ijtihad kepada dua macam :
a. Ijtihad yang tidak mungkin terganti kegiatanya. Ijtihad dalam bentuk ini
adalah yang disebut tahqiq al-manath atau ijtihad dalam menjelaskan
hukum. Bentuk ijtihad ini adalah apa yang disebutkan dengan ijtihad bayani
yang dikemukakan oleh salam madzkur diatas, yang keberadaanya diakui
oleh semua pihak.
b. Ijtihad yang mungkin terhenti kegiatanya. Ijtihad dalam hal ini ada dua
macam, yaitu: tanqih al-manath dan dan tarikh al-manath. Tampaknya
rumusan bentuk ijtihad rumusan al-syatibi ini sama dengan ijtihad qiyasi
yang diuraikan diatas.

Dari segi keterkaitanya ijtihad itu dengan hasil ijtihad mazhab yang sudah ada sebelumnya
ijtihad itu dibagi menjadi :

1. Ijtihad intiqa’iy ijtihad yang kerjanya adalah memilih dan mengambil satu pendapat
dari beberapa pendapat yang telah ada dalam mazhab yang diperkirakan lebih
mendatangkan maslahat atau kemudahan dalam beramal. Umpamanya menetapkan
awal waktu melempar jumrah pada hari-hari tasryiq. Yang terdapat dalam mazhab pada
umumnya adalah waktunya adalah adalah setelah tergelincir matahari. Dalam keadaan
waktu jamaahnya hanya sedikit, penetapan waktu ini tidak mendatangkan masalah.

26 | P a g e
Namun pada waktu ini jamaah yang akan melempar jumrah jutaan dalam waktu yang
sam pembatasan waktu ini menimbulkan masalah.
2. Ijtihad insya’iy, yaitu ijtihad yang menghasilkan pendapat yang belum pernah
dikemukaakan oleh ulama mazhab sebelumnya, namun ijtihad ini pun tidak langsung
mengambil kesimpulan dari jalan pendapat ulama sebelumnya dalam menetapkan
hukum. Umpamanya gambar dalam bentuk fotografi. Yang terlarang dalam islam
adalah gambar makhluk hidup melalui lukisan. Larangan ini didasarkan kepada
larangan melukis karena yang demikian berarti telah menandingi allah dalam membuat
makhluk hidup. Oleh karena fotografi itu bukan dibuat oleh orang tetapi dihasilkan
melalui pantulan gambar, maka tidak terdapat unsur menandangi allah dalam mencipta.
Oleh karena itu ulama kontemporer hukum bolehnya menggambar makhluk hidup.
3. Dari segi yang dicapai melalui ijtihad, al-syatibi membagi ijtihad itu menjadi dua
bentuk :
a. Ijtihad mu’tabar yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai
penemuan hukum, yaitu ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yag mempunyai
kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan.
b. Ijtihad fhairu mu’tabar yaitu ijtihad yang seacara hukum tidak dapat dipandang
sebagai cara dalam menentukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.
4. Al-Mawardi (dari penaukilan as-syaukani) membagi ijtihad dari sudut kegiatan ijtihad
dalam kaitanya, dengan cara yang digunakan. Menurut titik pandang ini, ijtihad itu ada
delapan macam :
a. Ijrihad yang kegiatan mengeluarkan hukum dari makna tujuan yang terdapat dalam
nash. Umpamanya, firman allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 276:
‫يمحق هللا الربا وير بي الصدقات‬
Allah memusnahkan riba dan meumbuhsuburkan shadaqah
Dalam hal ini ijtihad mencoba menembus maka illat dari ayat ini, yairu karena riba
itu merusak dan merugikan, berbeda dengan shadaqah yang menguntungkan.
b. Ijtihad yang kegiatanya mengeluarkan hukum dari kemiripian yang mengeluarkan
nash. Umpamanya menetapkan status seorang hamba sahaya, apakah statusnya
sebagai seorang manusia atau sesosok hewan. Disatu sisi, hamba sahaya itu
mempunyai kemiripan dengan manusia yang merdeka, karena ia juga punya hak

27 | P a g e
dan dibebani beberapa beban hukum, juga punya hak untuk memiliki, seperti untuk
diberi hibah atau sedekah oleh orang lain.
c. Ijtihad yang kegiatanya mengeluarkan hukum dari keumuman lafadz nash.
Umpamanya untuk menetapkan pihak yang berhak memaafkan suami yang
menceraikan istrinya sebelum dicampuri. Mengenai kewajiban membayar mahar,
telah ditetapkan hukumnya, yaitu setetngah dari mahar yang dinyatakan dalam ijab-
qobul.
d. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kumpulan nash. Umpamanya
ijtihad dalam menetapkan kadar mut’ah, yaitu kewajiban mahar yang harus dibayar
suami yang menceraikan istrinya sebelum dicampuri, sedangkan besarnya mahar
tersebut belum dijelaskan. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2) : 236:
‫ومتعو هن على الموسع قدره وعلى المقتر قدره‬
Hendaklah kamu berikan mut’ah kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuanya dan orang yang miskin menurut kemampuanya.
Ijtihad dalam hal ini berlaku untuk menetapkan jumlah mut’ah itu dengan melihat
kepada keadaan kaya dan miskinya suami yang bersangkutan.
e. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keadaan-keadaan yang terdapat
dalam nash. Umapamanya ijtihad dalam menetapkan dam (denda) pada haji
tamattu’ yang dinyatakan dalam S. Al-Baqarah (2): 196:
‫فمن لم يجد فصيا م ثالثة ايا م في الحخ و سبعة اذارجعتم‬
Barang siapa yang tidak memperoleh (hewan yang akan disembelih) hendaklah
puasa tiga hari diwaktu haji dan tujuh hari setelah kembali.
Kewajiban puasa tujuh hari itu, pelaksanaanya dapat berarti setelah meninggalkan
tanah suci atau setelah kembali ditengah keluarganya. Ijtihad disini menetapkan
salah satu diantara dua keadaan tersebut yang dominan.
f. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil (petunjuk yang kuat)
dalam nash. Umapamnay ijtihad dalam menetapkan ukuran kewajiban suami atas
nafkah istrinya seperti yang terdapat dalam QS. At-Taubah (65): 7:
‫لينفق ذو سعة من سعته‬
Orang yang mampu hendaknya memberikan nafkah sesuai dengan
kemampuannya....
Dalam ayat ini tidak dijelaskan berapa ukuran kewajiban nafkah suami atas istrinya
itu. Namun dari penunjukan nash, mujtahid dapat mengeluarkan hukumnya. Untuk
orang kaya sebanyak dua mud, sebagai ukuran maksimal kewajiban seorang yang

28 | P a g e
harus dibayar dalam fidyah. Untuk suami yang miskinsebanyak satu mud, sebagai
ukuran minimal yang diterapkan sunnah dalam kafarah bagi orang yang
mencampuri istri dibulan ramadhan.
g. Ijtihad yang kegiatanya mengeluarkan hukum dari ‘amarat (petunjuk yang kurang
kuat) dalam nash. Umpamanya ijtihad dalam menetapkan arah kiblat bagi orang
yang samar tentang kiblat. Ijtihad dalam hal ini adalah untuk menetapkan arah kiblat
dengan menggunakan tanda-tanda dan petunjuk seperti arah tiupan angin dan
kedudukan bintang sebagaimana sidyaratkan dalam ayat diatas. Ketujuh ojtihad
tersebut memepunyai keterkaitan yang kuat dengan nash.
h. Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum bukan dari nash juga bukna dari
prinsip nash. Bentuk ijtihad ini lepas dari keterkaitannya dengan nash baik secara
langsung maupun tidak langsng. Oleh karena ini, ijtihad jenis ini diperdebatkan oleh
kalangan ulama.
5. Ijtihad dilihat dari segi pelaksanaanya atau segi siapa yang terlibat langsung dalam
melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu. Dalam hal ini
mengandung kemungkinana bahwa yang melakukan ijtihad dapat lebih dari satu orang.
Hal ini timbul mengingat kejadian yang padanya itu berlaku hukum sudah begitu
berkembang ehingga tidak dapat lagi dipecahkan masalahnya hanya dari satu titik
pandang dan dikaji hanya dari satu disiplin ilmu. Dalam segi ini ijtihad dibagi menjadi
dua macam:
a. Ijtihad fardi atau ijtihad perseorangan, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya satu
orang. jenis ijtihad ini memungkinkan untuk dilakukan jika masalah atau kasus
yang menjadi objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi ditengah masyarakat yang
sderhana, sehingga tidak memerlukan penelitian atau kajian dari berbagai disiplin
ilmu.
b. Ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang
secara kolektif (bersama). Ijtihad dalam bentuk ini tejadi karena masalah yang
diselesaikan sangat kompleks (rumit) meliputi bidang yang luas, sehingga perlu
melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan
oleh seorang apesialis pada satu bidang tertentu.

29 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Penutup
Dalam pembahasan hukum taklifi tentang “wajib” telah diuraikan tentang
hukum melakukan segala sesuatu yang membawa kepada dan mendahului suatu
perbuatan wajib, yang disebut “muqaddimah wajib”. Dari segi bahwa ia adalah
washilah (perantara) kepada suatu perbuatan yang dikenai hukum, maka ia disebut
dzari’ah. Oleh karena itu, para penulis dan ulama ushul memasukkan pembahasan
tentang muqaddimah wajib kedalam pembahasan tentang dzari’ah, karena sama-
sama sebagai perantara kepada sesuatu. Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah
satu dalil dalam menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaanya,
mengandung arti bahwa eskipun syara’ tidak menempatkan secara jelas mengenai
hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah
bagi suat perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau
dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’
terhadap perbuatan pokok.
fath al-dzari’ah secara teminologi adalah menetapkan hukum atas suatu
perbuatan tertentu baik dalam bentuk memperbolehkan (ibahah), kewajiban (ijab)
dan menganjurkan (istihab), karena perbuatan tersebut bila menjadi sarana
perbuatan lain yang memang telah dianjurkan/diperintahkan. Dalam fath al-
dzari’ah pekerjaan sesuatu yang tidak dapat menyampaikan pada yang diperintah
kecuali dengan sesuatu itu, mayoritas ulama fiqh mengungkapkan dengan ungkapan
yang lebih terkenal dari semisal ungkapan suatu yang tidak dapat menyempurnakan
kewajiban kecuali denganya, maka tergolong wajib. Sesuatu yang tidak dapat
menyempurnkan pada perintah, kecuali dengan adanya sesuatu yang diperintah itu,
dan sesuatu yang tidak dapat memerintahkan pada yang dituju, kecuali dengan
sesuatu itu.
hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan
ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’
sendiri tidak menetapkan nya secara jelas dan pasti. Dari gambaran umum tentang
ijtihad yang diuraikan di atas terlihat bahwa ijtihad itu adalah kegiatan orang yang
memenuhi syarat tertentu dalam melakukan panggilan terhadap hukum Allah dari
petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk hukum tertentu. Dari
sini tampak bahwa unsur pokok dalam berijtihad adalah: (1) orang yang melakukan

30 | P a g e
ijtihad yang disebut “mujtahid”, (2) dugaan kuat tentang hukum Allah yang terdapat
dalam petunjuk yang menjadi sasaran ijtihad, yang disebut “mujtahad”.
Pembicaraan tentang syarat-syarat berijtihad meliputi kedua unsur pokok tersebut.

31 | P a g e
Daftar Pustaka

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana Prenadamediagroup, 2008.

Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.

Al-ataibi, al-Saad, ,‫ أسس السا سة السرعة فا عدة الذراعع \ فتح الذراعع‬, selasa 27 shafar 1440.

Az Zarkasyi, al-Bahr al-Muhit. Ushul al-Fiqh. Mesir: Dar as-Safwah li at-Tiba’ah wa an-Nasyr
wa at-Tauzi’, 1992.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.

32 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai