Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

LEMBAGA FATWA DI AFRIKA MAJMA AL-BUHUTS AL-ISLAMY


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Lembaga dan Produk Fatwa di Dunia
Dosen Pengampu : Dr. Fuad Thohari, M.Ag.

Disusun oleh :

Sayed Sheri Alfari 11170430000004


Alfan Salsabila Ahmad 11170430000010
Ahmad Syauqibik 11170430000020

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H /2020 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam tak lupa kami curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. beserta para keluarga dan sahabatnya.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah “Lembaga dan Produk Fatwa di
dunia” yang membahas tentang “Lembaga Fatwa Di Afrika Majma Al-Buhuts Al-Islamy”
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Lembaga dan Produk Fatwa
di Dunia. Dalam penyelesaian makalah ini,tidak mungkin terlaksana tanpa pihak-pihak terkait,
oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada;
1. Dr. Fuad Thohari, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Lembaga dan Produk Fatwa di Dunia
2. Orang tua kami yang membantu kami dalam hal moril maupun materi
3. Semua pihak yang telah membantu kami dalam proses penulisan makalah ini
4. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Akhirnya pnulisan makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan,
demikian makalah ini kami selesaikan semoga bisa bermanfaat. Kami mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca karena kami sadar, makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan.
B. Latar Belakang
Negara Timur tengah mengalami situasi politik yang masih belum stabil ketika baru keluar dari
kerajaan Turki Utsmani, ditambah mereka sedang melawan kolonialisme negara eropa kala itu. Maka
atas daar hal tersebut, perlu adanya lembaga khusus yang menangani masalah-masalah politis, sosial,
agama. Agar mesir ini tetap pada jalurnya. Oleh karena itu, Muhammad Ali Pasha berinisiasi
membentuk majma al-buhuts al-islamy sebagai sarana penelitian,riset dan pusat kajian
kebijakan berjalan dan bergerak seiring dengan dinamika sosial dan politik Mesir.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Terbentuknya Majma Al-Buhuts Al-Islamy?
2. Bagaimana Karakteristik Metode Ijtihad Majma Al-Buhuts Al-Islamy?
3. Bagaimana Fatwa dan Analisis Istinbath Hukum Majma’ Fiqh al-Buhuts al-Islamy?
4. Apa Pengaruh Fatwa Di dunia?
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Majma Al-Buhuts Al-Islamy
2. Untuk Mengetahui Karakteristik Metode Ijtihad Majma Al-Buhuts Al-Islamy
3. Untuk Mengetahui Fatwa dan Analisis Istinbath Hukum Majma’ Fiqh al-Buhuts al-Islamy
4. Untuk Mengetahui Pengaruh Fatwa Di dunia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah


Eksistensi Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah sudah ada sejak lama bersamaan dengan
keluarnya mesir dari kekuasaan Turki Utsmani, meskipun dengan nama dan ruang lingkup
terbatas dengan situasi politik. Pada mulanya lembaga ini berdiri pada masa pemerintahan
Muhammad Ali Pasya (1765-1849) dengan nama al-Bi‘sah al-Ilmiyah al-Azhariyah.1
Muhammad Ali Pasya sebagai kepala pemerintahan mengambil langkah-langkah taktis
dan strategis. Secara politik, Mesir baru saja dapat pengakuan dari Turki Utsmani (1805 M),
disamping itu Mesir juga sedang menghadapi Napoleon Bonaparte dari Perancis. Menurut Ali
Pasya masa transisi tersebut memerlukan penanganan serius dan taktis, bilamana tidak ditangani
serius tidak mustahil Mesir akan mengalami instabilitas politik yang akan mengancam
eksistensinya. Bila kondisi ini terjadi,tentunya yang paling diuntungkan adalah pihak penjajah
yang menginginkan Mesir dalam posisi lemah. Sedangkan secara sosiologis, perpindahan
kekuasaan dari Turki Utsmani dan kedatangan Napoleon tentu akan berdampak pada perubahan
budaya Mesir. Jika hal itu tidak disikapi dan antisipasi kemungkinan kebudayaan Mesir akan
tergerus oleh perubahan yang dibawa dari luar sehingga masyarakatnya keluar dari budaya
aslinya.
Salah satu kebijakan taktis dan strategis yang diambil Muhammad Ali Pasya adalah
dengan membentuk sebuah lembaga yang berfungsi sebagai think thank. Lembaga tersebut
difungsikan secara maksimal dengan mengutamakan peran ulama. difungsikan secara maksimal
dengan memanfaatkan sumber daya terutama dari kalangan ulama. Lembaga yang dimaksud
adalah al-Bi‟sah al-Ilmiyyah al-Azhariyyah. Dalam menjalankan fungsinya, lembaga ini sangat
produktif memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan
kepentingan publik termasuk mengawal budaya Mesir dari pengaruh luar.
Al-bi‘sah sebagai lembaga ilmiah dan pusat kajian kebijakan berjalan dan bergerak
seiring dengan dinamika sosial dan politik Mesir. Pada tahun 1961, pemerintah Mesir dan al-
Azhar berupaya melakukan kajian ulang terhadap lembaga ini baik dari sisi eksistensi maupun

1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), hal. 34.
manajemennya di tengah perkembangan sosial dan politik Mesir. Akhir kajian tersebut
merekomendasikan namanya dirubah menjadi Majmu‘ al-Buhuts al-Islamiyyah dan cakupan
kerja dari lembaga ini juga diperluas.
Pasal 10 UU Mesir No. 103 tahun 1961 (UU Pembangunan Al-Azhar) menyebutkan
bahwa Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyah adalah badan tertinggi penelitian Islam, yang mempelajari
semua hal yang berkaitan dengan penelitian, berfungsi untuk memperbarui budaya Islam dan
melepaskannya dari keingintahuan, ketidakmurnian dan efek dari intoleransi politik dan
sektarian. Berkenaan dengan masalah doktrinal atau sosial yang terkait dengan iman, dan untuk
memikul tanggung jawab menyerukan jalan kebijaksanaan Tuhan dan nasihat yang baik.
Lahirnya undang-undang ini menjadi terobosan baru sebagai landasan yuridis. Sedangkan
perluasan cakupan yang dimaksud meliputi keislaman, sosial, ekonomi, politik maupun
kebudayaan dan peradaban. Secara rinci tugas dan wewenang tersebut adalah:2
1. Melakukan pembahasan yang luas dan men dalam masalah-masalah parsia keislaman.
2. Berupaya untuk memperbaharui kebudayaan dan peradaban Islam serta member
sihkannya dari berbagai pengaruh asing, sehingga tercipta kebudayaan dan peradaban
Islam yang sesungguhnya.
3. Menggali kekayaan ilmiah Islam dan menyebarluaskannya.
4. Menjadi penengah dalam berbagai masalah keislaman bilamana terjadi perbedaan
mazhab, sosial, ekonomi.
5. Melakukan amr ma‘ruf nahi mungkar dengan cara yang baik dan bijaksana.
6. Melakukan kajian-kajian ilmiah keislaman dengan menggali sumber-sumber asli dan
klasik baik didalam maupun di luar negeri.
7. Memperluas dan mengembangkan ilmu ke- islaman dan kebudayaan Islam.
8. Mengirim para utusan Universitas al-Azhar keberbagai dunia Islam untuk membantu
mengembangkan ilmu dan kebudayaan Islam serta membantu para mahasiswa yang
menuntut ilmu di Universitas al-Azhar.
9. Membuka kelas khusus bagi para mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu keislaman
melalui program pascasarjana.
10. Menyusun peraturan dan menertibkan pemberian penghargaan ilmiah dan hadiah ilmiah

2
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid III, 1996),
hal.104
untuk mendorong para peminat mengkaji dan mendalami masalah-masalah keislaman.
Pada dasarnya Peraturan Eksekutif Undang-Undang ini juga menetapkan tugas Akademi
Penelitian Islam secara terperinci yang akan membantu mencapai tujuan
pembentukannya. Akademi Penelitian Islam melakukan misinya dalam kerangka pesan
komprehensif Al-Azhar melalui Dewan, komite dan berbagai departemen sebagai
berikut:
a. Dewan Akademi Penelitian Islam
Terdiri dari tidak lebih dari lima puluh anggota ulama senior Islam, yang mewakili
semua aliran pemikiran Islam atau lintas Mazhab, termasuk sejumlah, tidak lebih dari dua
puluh, bukan warga negara Republik Arab Mesir, dan ini menjadi Dewan komposisi global
yang pada akhirnya lembaga ini menjadi satu referensi yang kaitannya dengan penelitian
Islam. Untuk membuat ketekunan dan fatwa. Dewan tersebut diketuai oleh syekh Al-
Azhar. Dewan Dewan terdiri dari anggota komite dasar, yang masing-masing
mengkhususkan diri dalam bidang penelitian di bidang budaya Islam, seperti: Komisi
Penelitian al-Qur‘an, Komite Penelitian Sunah Nabi, Komite Penelitian Fikih, Komite
tentang Keyakinan dan Filsafat, Komite tentang Definisi Islam dan Islam di Yarussalem.
Dewan Dewan Penelitian Islam dan komite-komitenya menindaklanjuti dan mempelajari
isu-isu dan topik-topik yang diangkat di arena lokal dan internasional, dan mengeluarkan
pernyataan yang berisi pendapat Syariah Islam, disamping melakukan kajian mendalam
tentang Islam yang benar dan Islam yang keliru, lembaga ini pula dihadapkan dengan
respon dan koreksi. Seperti pembentukan komite permanen Al- Azhar dan Kementerian
Awqaf Mesir untuk memesan situs di jaringan satelit Nil untuk menjelaskan prinsip-prinsip
Islam dan toleran dan untuk menanggapi apa yang dipublikasikan terhadap Islam di
jaringan lain.

b. Organ dan departemen dari Akademi Penelitian Islam


Administrasi Umum Pelajar Internasional Al-Azhar membuka pintu institut dan
universitasnya bagi siswa sains dari berbagai negara di dunia untuk mempelajarinya, baik
dalam pemberian Al-Azhar, atau pemberian donor lain, atau dengan akun mereka sendiri.
Direktorat Jenderal Mahasiswa Internasional menerima siswa dari Timur dan Barat, dan
mengarahkan masing-masing dari mereka untuk mempelajari tingkat yang sesuai di
lembaga Azhar tiga fase, atau di Universitas Al-Azhar. Kota Islam Al-Bauth :
berspesialisasi dalam pendirian dan subsistensi siswa internasional untuk belajar di Al-
Azhar.
Lembaga Asing Al-Azhar mendirikan beberapa lembaga Al-Azhar di beberapa
negara di mana Al-Azhar tidak dapat merekrut semua siswa dari anak-anak mereka yang
ingin belajar di Al-Azhar. Lembaga-lembaga Azhar asing ini mengikuti sistem, rencana,
kurikulum dan buku pendidikan Al-Azhar, dan tunduk pada pengawasan teknis Al-Azhar.
Kompleks Penelitian Islam dan sektor institut Al-Azhar menyediakan guru, buku, dan
kurikulum. Jumlah lembaga Azhar asing ini adalah lima belas, termasuk 13 lembaga di
Afrika, satu di Kanada, satu di Pakistan .
c. Direktorat Jenderal Misi Islam
Al-Azhar mengirim beberapa cendekiawannya untuk mengajar dan menyebarluaskan
budaya Islam dan Arab di dunia Islam , menjelaskan konsep-konsep Islam yang benar,
dan mengajar anak-anak Muslim kita di luar negeri prinsip-prinsip agama Islam yang
benar dan nilai-nilai agama serta ajarannya, baik dengan mengorbankan Al-Azhar atau
dengan mengorbankan negara-negara peminjam. Jumlah negara tempat para ilmuwan Al-
Azhar diperbantukan menjadi delapan puluh tujuh.
d. Direktorat Jenderal Penelitian, Penulisan, dan Terjemahan
Melalui departemen ini, Akademi Penelitian Islam mengawasi pencetakan Al-Azhar
dan Mesin Cetak Emiri, serta mengeluarkan izin untuk mencetak dan sirkulasi Al-Quran
untuk berbagai penerbit setelah meninjau aset. Serta tinjau rekaman Al-Qur’an untuk
memastikan mereka bebas dari kesalahan. Departemen juga memeriksa literatur agama,
baik dalam bahasa Arab atau asing, apakah penelitian, buku, rekaman, film, lukisan, dll,
untuk memastikan validitasnya dan bebas dari bertentangan dengan hukum Islam.
e. Komite Fatwa
Komite ini bertanggung jawab untuk menerima referendum dari dalam dan luar
negeri, baik melalui wawancara pribadi, telepon atau korespondensi, dan menanggapi
mereka. Serta deklarasi Islam yang ingin memeluk agama Islam, dan memberi mereka
sertifikat untuk melakukannya.
f. Komite Tertinggi untuk Panggilan Islam
Al-Azhar menyelenggarakan kursus pelatihan untuk para imam, pengkhotbah dan
pengkhotbah dari dunia Islam, setiap periode selama tiga bulan, di mana para
pengkhotbah ini dilatih tentang cara-cara untuk memanggil jalan Tuhan dan metode serta
kualitas dari pengkhotbah dan moral sehingga ia dapat melakukan Sekretariat. Untuk
dapat mempengaruhi massa. Ceramah-ceramah juga diberikan oleh para profesor dan
cendekiawan Al-Azhar dalam semua masalah kontemporer, dan bagaimana pengkhotbah
berurusan dengan mereka, dan pandangan hukum Islam tentang masalah-masalah ini,
sehingga penelepon menjadi teladan yang baik untuk mengumpulkan pengetahuan
tentang masalah-masalah zaman, dan bagaimana mengatasinya dengan mengingat ajaran
dan prinsip-prinsip hukum Islam, yang berlimpah solusi Penyembuhan dan perawatan
yang efektif dari semua masalah manusia, atau menghalangi jalan kemajuan dan
kesejahteraan manusia.Ini merupakan tambahan dari bangunan monumental dan juru
bicara lapangan Al-Azhar Sharif di tanah di Mesir dan di luar Mesir, yang merupakan
Sekretariat Jenderal untuk Penyebaran dan Informasi Agama di Kairo dan di semua
bidang dakwah dan bimbingan di semua gubernur.

B. Karakteristik Metode Ijtihad Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah


Majma‘ al-Buhuts sebagai lembaga ilmiah yang berada di bawah naungan
Universitas al-Azhar dalam perjalanannya telah memberikan konstribusi besar dalam
memberikan tuntunan kepada umat Islam diberbagai dunia terutama bagi masyarakat
Mesir. Lembaga ini menjadi referensi di dunia Islam terutama dibidang hukum Islam.
Proses ijtihad dalam menangani suatu persoalan dilakukan secara kolektif dengan
melibatkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang dan ulama lintas mazhab. Model ijtihad
ini merupakan salah satu terobosan dalam sejarah hukum Islam karena sebelumnya
dilakukan secara individual. Tentunya terobosan ini merupakan jawaban terhadap kondisi
riil yang dihadapi umat Islam mengingat pada masa kini adanya keterbatasan pada juris
Islam. Keterbatasan yang dimaksud boleh jadi disebabkan karena kemampuan dalam
penguasaan berbagai disiplin ilmu yang berhubungan langsung dengan masalah yang
muncul. Sebagai- mana diketahui bahwa kecenderungan sekarang adanya spesialisasi (at-
Takha-shush) keilmuan yang semakin tajam termasuk dalam Islam. Spesialisasi tersebut
meliputi bahasa Arab, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan lain sebagainya. Pada bidang
masing-masing itupun terjadi pembidangan lagi. Padahal diantara syarat-syarat ijtihad
yang disebutkan oleh para ushuliyun adalah penguasaan berbagai bidang ilmu-ilmu
keislaman yang hampir nyaris sempurna, tetapi sulit untuk ditemukan.3
Persoalan yang terjadi di tengah masyarakat semakin rumit dan komplit akibat
dari perkembangan dan kemajuan tekhnologi. Interaksi dan aktivitas perbankan,
perdagangan bursa, ragam jenis asuransi, transaksi ekonomi modern, bio-teknologi, isu
gender, HAM dan politik global adalah contoh-contoh masalah kontemporer yang tidak
cukup dibahas dan ditentukan hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Maka, apabila
persoalan-persoalan tersebut hanya diijtihadkan secara individual dan didekati dengan
satu disiplin ilmu tidak akan mungkin menyelesaikan dan menghasilkan pendapat hukum
yang lebih komprehensif karena keterbatasan. Dalam hal itu, diperlukan lembaga ijtihad
yang beranggotakan ulama dari berbagai disiplin ilmu seperti agama, ekonomi, politik,
teknologi, kedokteran, hukum dan sebagainya.4
Berdasarkan hal tersebut, maka Majmu al-Buhuts al-Islamiyyah yaitu satu
lembaga ilmiah yang berada di bawah Universitas al-Azhar Mesir lahir dengan
pendekatan yang berbeda.5 Selain mempertimbangkan perbedaan pendapat mazhab
hukum tertentu, juga mengkaji perdebatan yang terjadi pada lintas mazhab. Artinya,
fatwa dan hasil ijtihad ulama yang berasal dari berbagai mazhab sebelumnya menjadi
pertimbangan untuk melahirkan fatwa baru. Sejauh hasil ijtihad masa lalu dipandang
masih sangat relevan untuk kondisi kekinian, pendapat tersebut menjadi pertimbangan
utama bahkan dengan alasan tertentu kembali diperkuat.
Pertimbangan disiplin ilmu lain dipandang sangat penting karena semakin kaya
dengan pengayaan dan pendekatan tentunya semakin tepat keputusan hukum yang akan
lahir. Salah satu perbedaan penting dari ijtihad yang dilakukan secara individual adalah
keterlibatan banyak orang dan multi disiplin ilmu. Ijtihad model ini dipandang lebih tepat
dalam menjawab persoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Maka apabila hal ini
terwujud, maka hasilnya dalam pandangan Majma‘ al-Buhuts sampai pada tingkat
mutlak.

3
Hasan Muhammad, Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri al-Islami, (Beirut: Muassasah al- Risalah, 1981),
hlm., 496-500.
4
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 115.
5
Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani, Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 42.
Gagasan ini pada konteks Indonesia sudah terimplementasi pula dengan
munculnya beberapa lembaga fatwa di organisasi-organisasi Islam seperti Majelis Tarjih
Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nahdhtul Ulama), Dewan Hisbah (Persis) dan Komisi
Fatwa (MUI). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majma‘ al-Buhuts secara
kelembagaan sudah mempelopori terjadinya ijtihad secara kolektif sebagaimana yang
terdapat dalam keputusan muktama Maret 1964 di Khairo yang menegaskan bahwa
ijtihad dilakukan secara kolektif.6

C. Fatwa dan Analisis Istinbath Hukum Majma’ Fiqh al-Buhuts al-Islamiyah


Terkait produk fatwa yang dikeluarkan, Pada 26 Desember 2007 Majma‘ al-
Buhuts mengeluarkan fatwa tentang ajaran yang dikembangkan oleh Aliran Qadiyaniyah
(Ahmadiyah). Hal itu, dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian besar umat Islam
diberbagai belahan dunia terutama Mesir. Selain ajaran yang dibawanya menyentuh hal-
hal yang bersifat fundemental dan krusial, juga cara mereka membangun gerakan yang
bekerjasama dengan pihak penjajah yang oleh umat Islam lainnya dipandang musuh.
Fatwa tersebut memberikan penjelasan bahwa ajaran yang dibawa dan
dikembangkan oleh Ahmadiyah Qadian adalah keliru dan menyimpang bahkan
difatwakan berada di luar Islam. Hal itu, disebabkan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah
dipandang sudah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Wahyu yang
dipahami oleh Ahmadiyah adalah keliru, karena turunnya wahyu telah berakhir dengan
berakhirnya para nabi. Berbeda halnya dengan ilham yang bisa didapatkan oleh siapapun.
Wahyu yang dimaksudkan didalam QS. An-Nahl ayat 68 adalah dalam artian ilham
Kemudian yang dimaksud dengan term khatam al-anibiyyin yang terdapat didalam QS.
al-Ahzab ayat 40 adalah penutup. Dengan demikian jelas keyakinan Ahmadiyah keliru
karena ini adalah kesesatan yang nyata yang tidak boleh dibiarkan sebagaimana yang
dijelaskan dalam Qs. Al Imran ayat 178.
Begitu juga pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa al-Masih, al-Mahdi dan
jihad berada dalam kekeliruan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Jihad didalam Islam sangat dan amat diperlukan bahkan berperang sekalipun jika

6
Jalaludi Rakhmat, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 42.
kondisinya menuntut untuk itu baik dalam rangka untuk mempertahankan agama maupun
tanah air. Berbeda dengan Ahmadiyah, jihad tidak diperlukan lagi. Ajaran yang
disebarkan oleh Mirza tersebut menimbulkan masalah di internal Islam karena
perbedaannya tidak hanya terkait dengan wilayah ijtihadiyah, tetapi sudah memasuki
ranah yang krusial, yaitu aqidah. Begitu juga didalam menjalankan gerakannya lebih
memilih menggandeng pihak penguasa daripada sesama muslim meskipun penjajah, yang
oleh umat Islam lain menjadi musuh.
Berdasarkan hal itu, Majma‘ al-Buhuts memfatwakan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad tidak ubah seperti Musailamah al-Kazab di masa Nabi Muhammad saw dan
kehadirannya tidak lepas dari kepentingan politik kolonial Inggris bahkan mereka
dilindunginya. Fatwa ini dikeluarkan selain didasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan merujuk kepada mainstream tafsir ulama klasik serta analisis terhadap pendapat
ulama sebelumnya terutama Imam Akbar al- Syeikh Jad al-Haq, Syeikh al-Azhar, yang
menegaskan bahwa orang Islam yang masuk kedalam kelompok ini dipandang sudah
keluar dari islam (murtad). Oleh karena itu, mereka tidak dibolehkan masuk kedalam
mesjid umat Islam.7 Apabila mereka meninggal dunia tidak dibolehkan dimakamkan di
pemakaman umat Islam Hal ini didasarkan kepada QS. al- Taubah ayat 17.
Bersamaan dengan itu, Majma‘ al-Buhuts dalam fatwanya itu merujuk pula
kepada fatwa yang sudah dikeluarkan Dar al-Ifta. Bila dilihat dari sisi proses keluarnya
fatwa tersebut lahir setelah melalui proses kajian dari berbagai perspektif terutama bidang
bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadis dan sejenisnya. Di antara ulama yang terlibat
secara aktif dalam pengkajiannya baik sebagai narasumber maupun peserta aktif adalah
Muhammad al- Khudariy Husein, Syeikh al-Azhar; Husnaini Makhluf, Mufti al-Diyar al-
Misr; Muhammad Abu Zahrah, Ulama Besar al-Azhar; Said Muhammad al-Murshafa,
Dosen Ulumul Hadis Universitas al-Azhar; Muhammad al-Kha- syau’iy, Muhammad
Yusra Ibrahim, Wakil Rektor Universitas Amrikiyah al-Maftuhah.

D. Pengaruh Fatwa di Dunia Internasional


Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah di Mesir. Lembaga yang berada di bawah
Universitas al-Azhar Mesir ini termasuk lembaga kajian hukum yang produktif dalam

7
Majma’ Fiqh al-Buhuts al-Islamiyah: al-Azhar Mesir, 2010, hlm., 61-88.
melahirkan fatwa dan bahkan menjadi rujukan dari berbagai belahan dunia Islam.8 Terlebih
fatwa yang dikeluarkan merupakan hasil ijtiha jama‘i, dimana alam peroses pembentukan
fatwa tersebut melibatkan banyak ulama lintas mazhab serta ilmuwan terkemuka
dibidangnya. Atas dasar tersebut setiap fatwa yang dikeluarkan, berpengaruh di dunia
internasional terkhusu hukum islam.

BAB III
Kesimpulan
Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyah adalah badan tertinggi penelitian Islam, yang
mempelajari semua hal yang berkaitan dengan penelitian, berfungsi untuk memperbarui
budaya Islam dan melepaskannya dari keingintahuan, ketidakmurnian dan efek dari
intoleransi politik dan sektarian. Berkenaan dengan masalah doktrinal atau sosial yang
terkait dengan iman, dan untuk memikul tanggung jawab menyerukan jalan kebijaksanaan
Tuhan dan nasihat yang baik dengan latar belakang politis & sosiologis pada wal
pembentukannya.

Proses ijtihad dalam menangani suatu persoalan dilakukan secara kolektif dengan
melibatkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang dan ulama lintas mazhab. Model ijtihad
ini merupakan salah satu terobosan dalam sejarah hukum Islam karena sebelumnya
dilakukan secara individual.

Salah satu produk fatwa yang dikeluarkan, Pada 26 Desember 2007 Majma‘ al-
Buhuts mengeluarkan fatwa tentang ajaran yang dikembangkan oleh Aliran Qadiyaniyah
(Ahmadiyah). Hal itu, dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian besar umat Islam
diberbagai belahan dunia terutama Mesir. Selain ajaran yang dibawanya menyentuh hal-hal
yang bersifat fundemental dan krusial, juga cara mereka membangun gerakan yang
bekerjasama dengan pihak penjajah yang oleh umat Islam lainnya dipandang musuh.

Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah di Mesir. Lembaga yang berada di bawah


Universitas al-Azhar Mesir ini termasuk lembaga kajian hukum yang produktif dalam

8
M. Syadli, Paradigma Ijtihad Kontemporer, Volume 01, Nomor 01, November 2015:
083-106.
melahirkan fatwa dan bahkan menjadi rujukan dari berbagai belahan dunia Islam. Atas
dasar tersebut setiap fatwa yang dikeluarkan, berpengaruh di dunia internasional terkhusu
hukum islam.

DAFTAR PUSTAKA

Chaoir, Tholhatul dan Ahwan Fanani. Islam dalam berbagai Pembacaan


Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Jilid III,
1996.
Rakhmat, Jalaludi. Ijtihad dalam Sorotan, Mizan, Bandung, 1996.
Muhammad, Hasan. Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri al-Islami, Muassasah al- Risalah, Beirut,
1981.
Syadli, Muhammad. Paradigma Ijtihad Kontemporer, Volume 01, Nomor 01, November
2015
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan
Bintang, Jakarta, 1994.

Anda mungkin juga menyukai