Disusun oleh :
A. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam tak lupa kami curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. beserta para keluarga dan sahabatnya.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah “Lembaga dan Produk Fatwa di
dunia” yang membahas tentang “Lembaga Fatwa Di Afrika Majma Al-Buhuts Al-Islamy”
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Lembaga dan Produk Fatwa
di Dunia. Dalam penyelesaian makalah ini,tidak mungkin terlaksana tanpa pihak-pihak terkait,
oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada;
1. Dr. Fuad Thohari, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Lembaga dan Produk Fatwa di Dunia
2. Orang tua kami yang membantu kami dalam hal moril maupun materi
3. Semua pihak yang telah membantu kami dalam proses penulisan makalah ini
4. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Akhirnya pnulisan makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan,
demikian makalah ini kami selesaikan semoga bisa bermanfaat. Kami mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca karena kami sadar, makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan.
B. Latar Belakang
Negara Timur tengah mengalami situasi politik yang masih belum stabil ketika baru keluar dari
kerajaan Turki Utsmani, ditambah mereka sedang melawan kolonialisme negara eropa kala itu. Maka
atas daar hal tersebut, perlu adanya lembaga khusus yang menangani masalah-masalah politis, sosial,
agama. Agar mesir ini tetap pada jalurnya. Oleh karena itu, Muhammad Ali Pasha berinisiasi
membentuk majma al-buhuts al-islamy sebagai sarana penelitian,riset dan pusat kajian
kebijakan berjalan dan bergerak seiring dengan dinamika sosial dan politik Mesir.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Terbentuknya Majma Al-Buhuts Al-Islamy?
2. Bagaimana Karakteristik Metode Ijtihad Majma Al-Buhuts Al-Islamy?
3. Bagaimana Fatwa dan Analisis Istinbath Hukum Majma’ Fiqh al-Buhuts al-Islamy?
4. Apa Pengaruh Fatwa Di dunia?
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Majma Al-Buhuts Al-Islamy
2. Untuk Mengetahui Karakteristik Metode Ijtihad Majma Al-Buhuts Al-Islamy
3. Untuk Mengetahui Fatwa dan Analisis Istinbath Hukum Majma’ Fiqh al-Buhuts al-Islamy
4. Untuk Mengetahui Pengaruh Fatwa Di dunia
BAB II
PEMBAHASAN
1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), hal. 34.
manajemennya di tengah perkembangan sosial dan politik Mesir. Akhir kajian tersebut
merekomendasikan namanya dirubah menjadi Majmu‘ al-Buhuts al-Islamiyyah dan cakupan
kerja dari lembaga ini juga diperluas.
Pasal 10 UU Mesir No. 103 tahun 1961 (UU Pembangunan Al-Azhar) menyebutkan
bahwa Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyah adalah badan tertinggi penelitian Islam, yang mempelajari
semua hal yang berkaitan dengan penelitian, berfungsi untuk memperbarui budaya Islam dan
melepaskannya dari keingintahuan, ketidakmurnian dan efek dari intoleransi politik dan
sektarian. Berkenaan dengan masalah doktrinal atau sosial yang terkait dengan iman, dan untuk
memikul tanggung jawab menyerukan jalan kebijaksanaan Tuhan dan nasihat yang baik.
Lahirnya undang-undang ini menjadi terobosan baru sebagai landasan yuridis. Sedangkan
perluasan cakupan yang dimaksud meliputi keislaman, sosial, ekonomi, politik maupun
kebudayaan dan peradaban. Secara rinci tugas dan wewenang tersebut adalah:2
1. Melakukan pembahasan yang luas dan men dalam masalah-masalah parsia keislaman.
2. Berupaya untuk memperbaharui kebudayaan dan peradaban Islam serta member
sihkannya dari berbagai pengaruh asing, sehingga tercipta kebudayaan dan peradaban
Islam yang sesungguhnya.
3. Menggali kekayaan ilmiah Islam dan menyebarluaskannya.
4. Menjadi penengah dalam berbagai masalah keislaman bilamana terjadi perbedaan
mazhab, sosial, ekonomi.
5. Melakukan amr ma‘ruf nahi mungkar dengan cara yang baik dan bijaksana.
6. Melakukan kajian-kajian ilmiah keislaman dengan menggali sumber-sumber asli dan
klasik baik didalam maupun di luar negeri.
7. Memperluas dan mengembangkan ilmu ke- islaman dan kebudayaan Islam.
8. Mengirim para utusan Universitas al-Azhar keberbagai dunia Islam untuk membantu
mengembangkan ilmu dan kebudayaan Islam serta membantu para mahasiswa yang
menuntut ilmu di Universitas al-Azhar.
9. Membuka kelas khusus bagi para mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu keislaman
melalui program pascasarjana.
10. Menyusun peraturan dan menertibkan pemberian penghargaan ilmiah dan hadiah ilmiah
2
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid III, 1996),
hal.104
untuk mendorong para peminat mengkaji dan mendalami masalah-masalah keislaman.
Pada dasarnya Peraturan Eksekutif Undang-Undang ini juga menetapkan tugas Akademi
Penelitian Islam secara terperinci yang akan membantu mencapai tujuan
pembentukannya. Akademi Penelitian Islam melakukan misinya dalam kerangka pesan
komprehensif Al-Azhar melalui Dewan, komite dan berbagai departemen sebagai
berikut:
a. Dewan Akademi Penelitian Islam
Terdiri dari tidak lebih dari lima puluh anggota ulama senior Islam, yang mewakili
semua aliran pemikiran Islam atau lintas Mazhab, termasuk sejumlah, tidak lebih dari dua
puluh, bukan warga negara Republik Arab Mesir, dan ini menjadi Dewan komposisi global
yang pada akhirnya lembaga ini menjadi satu referensi yang kaitannya dengan penelitian
Islam. Untuk membuat ketekunan dan fatwa. Dewan tersebut diketuai oleh syekh Al-
Azhar. Dewan Dewan terdiri dari anggota komite dasar, yang masing-masing
mengkhususkan diri dalam bidang penelitian di bidang budaya Islam, seperti: Komisi
Penelitian al-Qur‘an, Komite Penelitian Sunah Nabi, Komite Penelitian Fikih, Komite
tentang Keyakinan dan Filsafat, Komite tentang Definisi Islam dan Islam di Yarussalem.
Dewan Dewan Penelitian Islam dan komite-komitenya menindaklanjuti dan mempelajari
isu-isu dan topik-topik yang diangkat di arena lokal dan internasional, dan mengeluarkan
pernyataan yang berisi pendapat Syariah Islam, disamping melakukan kajian mendalam
tentang Islam yang benar dan Islam yang keliru, lembaga ini pula dihadapkan dengan
respon dan koreksi. Seperti pembentukan komite permanen Al- Azhar dan Kementerian
Awqaf Mesir untuk memesan situs di jaringan satelit Nil untuk menjelaskan prinsip-prinsip
Islam dan toleran dan untuk menanggapi apa yang dipublikasikan terhadap Islam di
jaringan lain.
3
Hasan Muhammad, Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri al-Islami, (Beirut: Muassasah al- Risalah, 1981),
hlm., 496-500.
4
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 115.
5
Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani, Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 42.
Gagasan ini pada konteks Indonesia sudah terimplementasi pula dengan
munculnya beberapa lembaga fatwa di organisasi-organisasi Islam seperti Majelis Tarjih
Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nahdhtul Ulama), Dewan Hisbah (Persis) dan Komisi
Fatwa (MUI). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majma‘ al-Buhuts secara
kelembagaan sudah mempelopori terjadinya ijtihad secara kolektif sebagaimana yang
terdapat dalam keputusan muktama Maret 1964 di Khairo yang menegaskan bahwa
ijtihad dilakukan secara kolektif.6
6
Jalaludi Rakhmat, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 42.
kondisinya menuntut untuk itu baik dalam rangka untuk mempertahankan agama maupun
tanah air. Berbeda dengan Ahmadiyah, jihad tidak diperlukan lagi. Ajaran yang
disebarkan oleh Mirza tersebut menimbulkan masalah di internal Islam karena
perbedaannya tidak hanya terkait dengan wilayah ijtihadiyah, tetapi sudah memasuki
ranah yang krusial, yaitu aqidah. Begitu juga didalam menjalankan gerakannya lebih
memilih menggandeng pihak penguasa daripada sesama muslim meskipun penjajah, yang
oleh umat Islam lain menjadi musuh.
Berdasarkan hal itu, Majma‘ al-Buhuts memfatwakan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad tidak ubah seperti Musailamah al-Kazab di masa Nabi Muhammad saw dan
kehadirannya tidak lepas dari kepentingan politik kolonial Inggris bahkan mereka
dilindunginya. Fatwa ini dikeluarkan selain didasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan merujuk kepada mainstream tafsir ulama klasik serta analisis terhadap pendapat
ulama sebelumnya terutama Imam Akbar al- Syeikh Jad al-Haq, Syeikh al-Azhar, yang
menegaskan bahwa orang Islam yang masuk kedalam kelompok ini dipandang sudah
keluar dari islam (murtad). Oleh karena itu, mereka tidak dibolehkan masuk kedalam
mesjid umat Islam.7 Apabila mereka meninggal dunia tidak dibolehkan dimakamkan di
pemakaman umat Islam Hal ini didasarkan kepada QS. al- Taubah ayat 17.
Bersamaan dengan itu, Majma‘ al-Buhuts dalam fatwanya itu merujuk pula
kepada fatwa yang sudah dikeluarkan Dar al-Ifta. Bila dilihat dari sisi proses keluarnya
fatwa tersebut lahir setelah melalui proses kajian dari berbagai perspektif terutama bidang
bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadis dan sejenisnya. Di antara ulama yang terlibat
secara aktif dalam pengkajiannya baik sebagai narasumber maupun peserta aktif adalah
Muhammad al- Khudariy Husein, Syeikh al-Azhar; Husnaini Makhluf, Mufti al-Diyar al-
Misr; Muhammad Abu Zahrah, Ulama Besar al-Azhar; Said Muhammad al-Murshafa,
Dosen Ulumul Hadis Universitas al-Azhar; Muhammad al-Kha- syau’iy, Muhammad
Yusra Ibrahim, Wakil Rektor Universitas Amrikiyah al-Maftuhah.
7
Majma’ Fiqh al-Buhuts al-Islamiyah: al-Azhar Mesir, 2010, hlm., 61-88.
melahirkan fatwa dan bahkan menjadi rujukan dari berbagai belahan dunia Islam.8 Terlebih
fatwa yang dikeluarkan merupakan hasil ijtiha jama‘i, dimana alam peroses pembentukan
fatwa tersebut melibatkan banyak ulama lintas mazhab serta ilmuwan terkemuka
dibidangnya. Atas dasar tersebut setiap fatwa yang dikeluarkan, berpengaruh di dunia
internasional terkhusu hukum islam.
BAB III
Kesimpulan
Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyah adalah badan tertinggi penelitian Islam, yang
mempelajari semua hal yang berkaitan dengan penelitian, berfungsi untuk memperbarui
budaya Islam dan melepaskannya dari keingintahuan, ketidakmurnian dan efek dari
intoleransi politik dan sektarian. Berkenaan dengan masalah doktrinal atau sosial yang
terkait dengan iman, dan untuk memikul tanggung jawab menyerukan jalan kebijaksanaan
Tuhan dan nasihat yang baik dengan latar belakang politis & sosiologis pada wal
pembentukannya.
Proses ijtihad dalam menangani suatu persoalan dilakukan secara kolektif dengan
melibatkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang dan ulama lintas mazhab. Model ijtihad
ini merupakan salah satu terobosan dalam sejarah hukum Islam karena sebelumnya
dilakukan secara individual.
Salah satu produk fatwa yang dikeluarkan, Pada 26 Desember 2007 Majma‘ al-
Buhuts mengeluarkan fatwa tentang ajaran yang dikembangkan oleh Aliran Qadiyaniyah
(Ahmadiyah). Hal itu, dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian besar umat Islam
diberbagai belahan dunia terutama Mesir. Selain ajaran yang dibawanya menyentuh hal-hal
yang bersifat fundemental dan krusial, juga cara mereka membangun gerakan yang
bekerjasama dengan pihak penjajah yang oleh umat Islam lainnya dipandang musuh.
8
M. Syadli, Paradigma Ijtihad Kontemporer, Volume 01, Nomor 01, November 2015:
083-106.
melahirkan fatwa dan bahkan menjadi rujukan dari berbagai belahan dunia Islam. Atas
dasar tersebut setiap fatwa yang dikeluarkan, berpengaruh di dunia internasional terkhusu
hukum islam.
DAFTAR PUSTAKA