hizbut-tahrir.or.id
mediaumat.com
Tafsir Ibnu Katsir
(Terjemahan
Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir)
Imam Syaukani di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan:
:
.
. :
:
.
:
.
Pada asalnya, kata al-syirah dan al-syariiah bermakna jalan terang yang bisa
mencapai air. Selanjutnya kata ini digunakan dengan makna, agama (diin) yang
disyariatkan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Sedangkan kata al-minhaaj: jalan
terang dan jelas. Abu al-Abbas Mohammad bin Yazid al-Mubarrad: Kata al- 1
syariiah bermakna ibtidaa al-thariiq (permulaan jalan), sedangkan alminhaaj bermakna jalan yang berulang-ulang (al-thariiq almustamirah). Makna ayat ini [QS. al-Maidah: 48] adalah: Sesungguhnya Allah
Swt. menjadikan Taurat untuk pemeluknya, Injil untuk pemiliknya, dan alQuran untuk pemeluknya. Ini terjadi sebelum penghapusan syariat-syariat
terdahulu oleh al-Quran. Adapun setelah turunnya al-Quran, maka tidak ada
syirah dan minhaaj, kecuali yang dibawa oleh Nabi Mohammad Saw. (Imam
Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 319)
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang (QS. Al Maidah (5): 48)
,
,
, ,
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang zalim. (QS. al-Maidah [5]: 45)
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang fasik. (QS. al-Maidah [5]: 47)
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44)
Ketiga ayat tersebut bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah Swt. Ketiga ayat tersebut turun berkenaan
dengan kaum Yahudi dan Nasrani, akan tetapi tidak bisa dibatasi hanya untuk
mereka. Sebab ungkapannya bersifat umum. Kata man yang berkedudukan
sebagai syarat memberi makna umum, sehingga tidak dikhususkan kepada
kelompok tertentu. (al-Razi, al-Tafsr al-Kabr, vol. 12, 6; alSyaukani, Fath al-Qadr, vol. 2, 53; al-Qinuji, Fath al-Bayn, vol. 3, 428)
Dalam kaidah yang rajih disebutkan:
Tidak semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah
secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara
cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfir (pengkafiran)
Barangsiapa yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, sungguh dia telah
kafir. Dan barangsiapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya, maka
dia adalah dzalim-fasik. (al-Thabari, Jmi al-Bayn, vol. 10; al-Wahidi, alWasth f Tafsr al-Qurn al-Majd, vol. 2, 191; Ibnu Katsir, Tafsr al-Qurn
alAzhm, vol. 2 , 80; al-Syaukani, Fath al-Qadr, vol. 2, 56; alSamarqandi, Bahr al-Ulm, vol. 1, 439)
Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam Nidzm alHukm f al-Islm menuturkan:
,
,
,
Dan sungguh Allah telah memerintahkan sulthon dan penguasa untuk
berhukum dengan apa yang Allah Swt. turunkan kepada Rasul-Nya; dan
menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau meyakini tidak layaknya apa
yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat, fasik,
dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak
meyakininya. (Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim al-Zallum, Nidzm
al-Hukm f al-Islm (Beirut: Dar al-Ummah, 2002), 20)
Pandangan demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili merupakan pandangan
jumhur Ahlussunnah. (al-Zuhayli, Tafsr al-Munr, vol. 5, 206)
Penguasa yang meyakini Islam tetapi tidak memerintah dengan Islam adalah
penguasa yang zalim dan FASIK.
Berkaitan dengan sosok yang sah memangku kepemimpinan negara maka
harus memenuhi tujuh syarat: Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan
budak), adil (BUKAN FASIK) serta mampu memikul tugas-tugas dan
tanggung jawab kepala negara. Jika seseorang tidak memiliki salah satu syarat
ini, dalam pandangan hukum Syariah, ia tak boleh menjadi kepala negara.
Adapun tidak berhukum dengan hukum Islam karena MENGINGKARI Islam
dan menganggap Islam itu TIDAK LAYAK untuk memutuskan perkara, maka
itu merupakan kekufuran. Kita berlindung hanya kepada Allah dari hal itu.
&
}
Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong
terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi
sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu
hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. (QS. al-Isra [17]: 73-74)
Baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh Syariah, sedangkan buruk adalah
apa yang dinyatakan buruk oleh Syariah. (Al-Baqillani, Al-Anshaf fima Yajibu
Itiqaduhu wa la Yajuzu al-Jahlu bihi, hlm. 50)
Alasannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Adhuddin al-Iji (w. 757 H)
jelas, bahwa dalam perkara yang terkait dengan pujian dan celaan, serta pahala
dan dosa, hanya Syariah yang bisa menentukan, bukan akal. (Al-Iji, AlMawaqif fi Ilm al-Kalam, hlm. 323-324). Ini berbeda dengan Muktazilah,
yang menyatakan bahwa akal bisa saja memutuskan baik dan buruk.
Karena itu ketika negara menghasilkan dan menerapkan hukum dengan
bersumber pada akal, maka praktik seperti ini bukan merupakan praktik Ahlus
Sunnah meski mereka yang melakukan itu mengklaim sebagai pengikut Ahlus
Sunnah.
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya [313]
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul-pun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. (4) An Nisaa': 64)
[313]
Dipahami dari ayat-ayat sebelumnya bahwa menganiaya dirinya ialah:
berhakim kepada selain Nabi Muhammad Saw.
Allah SWT menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah taat Syariah:
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, pada saat menafsirkan QS. An Nisaa': 65,
menyatakan, Allah SWT bersumpah dengan mengatasnamakan diri-Nya sendiri
Yang Maha Mulia dan Maha Suci, sesungguhnya seseorang belumlah beriman
secara sempurna hingga ia berhakim kepada Rasulullah SAW. dalam seluruh
urusan.
Semua yang Rasulullah putuskan merupakan kebenaran yang wajib diikuti baik
lahir maupun batin. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: tsumma laa
8
yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadlaita wa yusallimuu tasliimaa:
yakni, jika mereka telah berhakim kepadamu (Muhammad SAW), mereka
wajib mentaatimu (mentaati keputusan yang diambil Nabi SAW) di dalam
batin-batin mereka; dan mereka tidak mendapati perasaan ragu di dalam diri
mereka atas apa yang telah kamu putuskan; dan lalu mengikutinya (keputusan
Nabi SAW tersebut) baik dzahir maupun bathin. Kemudian, mereka berserah
diri kepada itu (keputusan Nabi SAW), dengan penyerahan diri yang bersifat
utuh, tanpa ada ganjalan sedikitpun, tanpa ada penolakan sedikitpun, dan tanpa
ada penyelisihan sedikitpun; sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,
Nabi SAW bersabda Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul(Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS.
An-nisa [4]: 59)
Menurut Ibnu Katsir ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak
berhukum merujuk kepada Al Quran dan as-Sunnah dan merujuk pada selain
keduanya dalam perkara yang diperselisihkan maka ia tidak beriman kepada
Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346)
Dinyatakan oleh al-Khazin bahwa ayat ini menjadi dalil orang-orang yang
tidak meyakini wajibnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti sunnah
dan hukum yang berasal dari Nabi Saw. bukanlah orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir. (Tafsir al-Khazin vol.2 hal.120)
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk
mentaati penguasa mukmin (khalifah) yang selalu berpegang teguh kepada
Syariat Allah Swt. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk
Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah
Azza wa Jalla. (HR. Ahmad dari Ali ra.)
Rasul Saw. membatasi ketaatan itu hanya dalam kemakrufan. Rasul Saw.
bersabda:
Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf. (HR. Ahmad,
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai)
Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, Abu Jafar menyatakan,
melakukan amar maruf nahi anil mungkar; yakni memerintahkan manusia
untuk mengikuti Nabi Muhammad Saw., dan agamanya yang berasal dari sisi
Allah Swt.; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar
kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan
ajaran yang dibawanya dari sisi Allah. (Imam al-Thabariy, Tafsir alThabariy, surat Ali Imron (3): 104)
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berpidato di hadapan kaum Muslim yang
datang untuk berbaiat:
10
Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat kepadaku. (AthThabari, Trkh ath-Thabari, II/238)
Imam Syaukaniy ketika menafsirkan firman Allah Swt., surat An Nisa ayat 59
menjelaskan:
:
Ulil amriy adalah para imam, sulthan, qadliy, dan setiap orang yang memiliki
kekuasaan Syariyyah bukan kekuasaan thaghutiyyah. (Imam alSyaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 166)
10
11
Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat amir atas kalian
seorang (yang asalnya) hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar
dan taatilah dia selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah. (HR. atTirmidzi)
Handzalah bin ar-Rabi ra.sahabat sekaligus jurutulis Rasulullah Saw.
menyebutkan bahwa tanpa Khilafah umat Islam bisa hina dan sesat
sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. (Ath-Thabari, Trkh at-Thabari, hal.
776)
:
11
: .
.
Dari Ibnu Abbas ra. berkata, Umar bin Khoththob ra. pernah berkata: Sungguh
aku sangat khawatir akan berlangsung masa yang begitu lama di tengah-tengah
umat Islam, hingga (suatu saat nanti) akan ada yang berkata: Kami tidak
menemukan had rajam dalam Kitabullah (Al-Quran). Maka (dengan
demikian) mereka menjadi sesat karena telah meninggalkan kewajiban yang
telah Alloh turunkan. Ketahuilah bahwa hukum rajam itu adalah benar adanya
bagi siapa-siapa yang berzina sedang ia telah muhshon (telah menikah dan
telah menggauli pasangannya), jika telah ada bayyinah (alat bukti berupa 4
orang saksi laki-laki atau yang setara dengannya), atau kehamilan (di pihak
wanita), atau pengakuan (si pelaku). (Shahh al-Bukhri, hadits no. 6829)
Berkata Sufyan (perowi): Begini yang aku hafal (dari perkataan Umar bin
Khaththab): Ketahuilah bahwa Rosululloh Saw. benar-benar menerapkan
12
hukum rajam, dan kami juga menerapkannya sepeninggal Beliau. (HR. AlBukhori)
Baiat umat kepada Khalifah mengharuskan umat mendengar dan taat kepada
Khalifah yang mereka baiat. Tentu, ini berlaku selama Khalifah itu masih
takwa kepada Allah SWT, menjalankan hukum-hukum-Nya atas rakyatnya,
serta menjalankan semua tanggung jawab dan kewajibannya sesuai Syariah.
Umat wajib menaati dan menolong Khalifah selama kondisinya belum
berubah, meski ia menjadi penguasa (Khalifah) sepanjang hidupnya.
(Samarah, An-Nizhm as-Siysiy fi al-Islm Nizhm al-Khilfah ar-Rsyidah,
hlm. 67)
12
13
13
14
14
Tawl, 1/393, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995; al-Baidhawi, Anwr atTanzl wa Asrr at-Tawl, 1/221, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1998;
Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsr Gharib al-Qurn, 2/436; al-Wahidi anNaisaburi, Al-Wasth f Tafsr al-Qurn al-Majd, 2/73; as-Samarqandi, Bahr
al-Ulm,1/364; al-Jazairi, Aysar at-Tafsr, 1/499, Nahr al-Khair, Madinah.
1993)
Az-Zamakshyari dan al-Nasafi menuturkan, hal itu disebabkan karena
kezaliman dan permusuhannya terhadap Rasulullah Saw. yang melampaui
batas; bisa juga karena dia menyerupai setan; atau karena dia dipilih untuk
dijadikan sebagai hakim selain Rasulullah Saw. dan berhakim kepada setan.
(Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyf, 1/514 dan an-Nasafi, Madrik at-Tanzl wa
Haqiq at-Tawl)
Jika dihubungkan dengan sabab nuzul ayat ini, penafsiran itu memang relevan.
Sebab, pemuka Yahudi itulah yang dijadikan sebagai hakim untuk memutuskan
perselisihan. Pengertian thght ini tidak terbatas untuk Kaab bin al-Asyraf.
Semua orang yang menduduki posisi dan peran yang sama dengannya tercakup
dalam lingkup makna thght.
Ibnu Katsir dan al-Zuhaili menegaskan, makna thght lebih umum dari Kaab
bin al-Asraf yaitu orang-orang yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah
serta berhukum kepada selain keduanya berupa kebatilan adalah thght yang
dimaksud ayat ini. (Ibnu Katsir, Tafsr al-Qurn al-Azhm, 1/634; azZuhaili, At-Tafsr al-Munr, 5/132)
Abdurrahman al-Sadi juga memaknai thght dalam ayat ini adalah setiap
orang yang berhukum dengan selain syariah Allah (kullu man hakama bi
ghayri syarillh). (As-Sadi, Taysr al-Karm ar-Rahmn, 1/215, Jamiyyah
Ihya al-Turats al-Islami, tt. 2000)
Thght dalam ayat ini adalah semua hakim yang memutuskan perkara dengan
hukum selain al-Quran dan as-Sunnah. Keinginan mereka berhakim
kepada thght itu menunjukkan adanya kontradiksi pada sikap mereka.
Mereka mengaku mengimani al-Quran dan as-Sunnah yang diturunkan oleh
Allah, tetapi dalam praktiknya justru berhukum kepada yang lain.
15
15
Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang
telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa AlQuran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu
sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. (TQS al-Anam [6]: 114)
"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami
atasnya, maka perbuatan itu tertolak" (HR. Bukhari no. 2550; Muslim no.
1718)
16
16
Syariat Rasulullah SAW. bathin maupun dzahir [an tushiibahum fitnah]: yakni
(dia akan tertimpa) fitnah di hati mereka; mulai terkena kekufuran,
kemunafikan, atau bidah. [Au yushiibahum adzaabun alim]: yakni terkena
hukuman di dunia; mulai dari terkena had, penjara, atau dibunuh. (Imam Ibnu
Katsir, Tafsir al-Quran al-Adziim, QS. An Nuur (24):63)
Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama)
kami ini, yang bukan bagian darinya, maka tertolak. (HR. Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah)
Menurut Imam asy-Syafii, al-muhdatsah (perkara baru yang diada-adakan)
yang menyalahi al-Kitab atau as-Sunnah atau ijmak merupakan bidah
dhalalah. (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtj 4/436)
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafal:
Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan kami maka tertolak. (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Ibn Majah, dll.)
Mereka berkata: Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan)
dalam urusan ini? Katakanlah: Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di
tangan Allah. (QS. Ali Imran [3]: 154)
17
17
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhantuhan selain Allah serta mempertuhankan al-Masih putra Maryam. Padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. [9] at-Taubah: 31)
Dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain bahwa
kaum Yahudi dan Nasrani itu mengikuti pendeta dan rahib mereka dalam
perkara yang mereka halalkan dan mereka haramkan. (al-Suyuthi, al-Durr alMantsr, vol. 3, 354-355; Ibnu Katsir, Tafsr al-Qurn al-Azhm, vol. 2
(Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), 432)
Asy-Syaukani menyatakan,Sesungguhnya mereka menaati pendeta-pendeta
mereka, dalam perintah dan larangannya. Pendeta-pendeta itu menempati
kedudukan sebagai tuhan-tuhan karena mereka ditaati sebagaimana layaknya
tuhan-tuhan. (al-Syaukani, Fath al-Qadr, vol. 2, 452)
Pengertian itu didasarkan pada penjelasan Rasulullah Saw. terhadap ayat ini.
Diriwayatkan dari Adi bin Hatim:
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di
18
leherku. Rasulullah Saw. bersabda, Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari
lehermu. Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau
membaca ayat ini: Ittakhadz ahbrahum wa ruhbnahum min dni Allh,
hingga selesai [QS. (9) at-Taubah: 31]. Saya berkata, Sesungguhnya kami
tidak menyembah mereka. Beliau bertanya, Bukankah para pendeta dan rahib
itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengharamkannya;
menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya. Aku
menjawab, Memang begitulah. Beliau bersabda, Itulah ibadah
(penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. (HR.
ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim; Bisa juga dilihat dalam al-Thabari, Jmi al-
18
19
Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menulis surat
kepada penduduk Najran, di antara isinya:
20
Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar
kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba
(manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia
menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju
keadilan Islam. (Ibnu Jarir ath-Thabari, Trkh al-Umam wa al-Muluk,
ii/401, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut)
Orang-orang yang berpaling dari Syariat Allah dan hanya mengikuti akal dan
hawa nafsunya juga ditutup hati, pendengaran dan penglihatannya dari
20
Apakah engkau tidak melihat bagaimana orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhan dan Allah menyesatkan mereka atas dasar ilmu,
menutup pendengaran mereka dan menjadikan penutup pada penglihatan
mereka. Maka siapakah yang memberikan petunjuk kepada mereka selain
Allah?. Maka tidakkah engkau mengambil pelajaran? (QS. Al-Jatsiyah [45]:
23)
21
Tidaklah yang diucapkan Rasul itu berasal dari hawa nafsunya. Ucapan Rasul
itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepada dirinya. (QS. anNajm [53]: 3-4).
Segala ucapan dan tindakan Rasulullah Saw. pasti bersumber dari wahyu,
bukan dari hawa nafsu. (Abu Bakar al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, III/526)
Segala perbuatan Rasul Saw. pasti tidak menyalahi wahyu.
22
(*
23
Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS. Thaha: 123-124)
Menurut Imam Ibnu Katsir makna berpaling dari peringatan-Ku adalah:
menyalahi Perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku,
23
Dan berkatalah Rasul, Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan alQuran ini sebagai sesuatu yang diabaikan. (QS. al-Furqan [25]: 30)
Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsr al-Qurn
al-Azhm, mencontohkan sikap hajr al-Qurn (meninggalkan atau
mengabaikan al-Quran). Di antaranya adalah menolak untuk mengimani dan
membenarkan al-Quran; tidak mau menyimak dan mendengarkannya, bahkan
membuat kegaduhan dan pembicaraan lain sehingga tidak mendengar al-Quran
saat dibacakan; tidak mentadaburi dan memahaminya; tidak mengamalkan dan
mematuhi perintah dan larangannya, dan berpaling darinya lalu berpaling
kepada selainnya, baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, ucapan,
atau thariqah yang diambil dari selain al-Quran.
Allah SWT mensifati kaum yang melakukan hal itu dengan sifat yang sangat
jelek. Hal itu seperti ketika Allah SWT mensifati kaum Yahudi di dalam
firman-Nya:
24
24
25
26
26
27
tidak bergantung pada taqlid buta, angkuh dan takabur, berdasarkan indikasi
dalil:
28
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh
jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah
mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada Syariah, bukan
pada akal.
28
adalah apa saja yang disukai Allah, atau diridhai Allah. Pada hakikatnya yang
buruk bagi manusia itu adalah apa saja yang tidak disukai atau dibenci oleh
Allah.
Abu Bakar al-Baqilani di dalam al-inshf menyatakan, Semua kaedah-kaedah
Syara menunjukkan bahwa al-hasan (yang terpuji) adalah apa yang dipuji oleh
Syara dan dibolehkannya; sedangkan al-qabh (yang tercela) adalah apa yang
dicela oleh Syara, diharamkan dan dilarangnya.
Penilaian suatu perbuatan sebagai terpuji atau tercela juga harus mengikuti
Syara.
Allah SWT tegaskan bahwa al-Quran dengan segala isinya adalah datang dari
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Diturunkan Kitab ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. az-Zumar [39]: 1; al-Jatsiyah [45]: 2; al-Ahqaf [46]: 2)
Al-Hakm (Maha Bijaksana) yakni dalam firman-firman, perbuatan, qadar
dan syariah-Nya. (Tafsr Ibn Katsr)
Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawid al-Ahkm f Mashlih alAnm halaman 13 menyatakan, Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan
akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan Syariah.
Maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh Syariah; mafsadat
adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh Syariah. Dalam hal ini,
para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi bin Khadij 29
berkata, pamannya berkataketika Rasul Saw. melarang mereka
dari muzraah/mukhbarah, yaitu menyewakan lahan pertanian:
Rasulullah Saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi
kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi
kami. (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad).
29
Rahmat[an] lil alamin itu menjadi sifat dari Islam secara keseluruhan: akidah,
syariah/ hukum-hukumnya termasuk khilafah, jihad, hudud, dll. Rahmat[an] lil
alamin secara sempurna hanya akan terwujud ketika Islam secara keseluruhan
diterapkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan.
Imam Jafar ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa
Faydh arh-Rahmani karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata,
Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia
menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya,
tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap
perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang
dibuat tuannya untuk dirinya. (Imam Jafar ash-Shadiq)
Kaidah ushul fiqih:
[
]
Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum Syara . (Lihat AnNabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, juz 3 hlm. 20) di mana kelak dia
akan dihisab oleh Alloh Swt. berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkanNya.
[93 92 :]
Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua (92), tentang
apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (93) (QS. Al-Hijr: 92-93)
30
Hadits Nabi menjelaskan:
Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan
sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (HR. at-Turmudz, Ab Dwud, Ahmad)
30
Rasul Saw. memerintahkan agar hukum Islam ditegakkan terhadap siapa saja,
termasuk terhadap orang-orang dekat dan orang-orang yang kuat secara politik
ataupun ekonomi. Rasul Saw. bersabda:
Tegakkanlah oleh kalian hudd Allah atas orang dekat atau jauh dan janganlah
celaan para pencela menghalangi kalian. (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, alBaihaqi)
Hadits ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang lain oleh Abu Dawud di
dalam Al-Marsl dan dikutip oleh al-Baihaqi di dalam Marifah as-Sunan wa
al-Atsar dari Makhul dari Ubadah bin ash-Shamit. Dinyatakan bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda:
Tegakkanlah hudd Allah baik di perjalanan atau sedang mukim, atas orang
yang dekat maupun jauh, dan jangan pedulikan di jalan Allah celaan orang
yang suka mencela. (HR. Abu Dawud)
Hadits ini jelas memerintahkan untuk menegakkan hudd Allah tanpa
deskriminasi. Kata hudd Allah ini bukan berarti bahwa yang diperintahkan
hanya sanksi jenis had (hudd) saja, sementara sanksi
jenis jinyah, tazr dan mukhlaft tidak diperintahkan. Perintah untuk
menegakkan hukum-hukum Syariah dalam semua jenisnya tetap wajib.
31
31
Hal itu ditegaskan dalam hadits dari Aisyah ra. bahwa kaum Quraisy pernah
terguncang dengan perkara seorang perempuan Bani Makhzum yang mencuri.
Seseorang berkata, Siapa yang bisa berbicara kepada Rasulullah Saw.?
Mereka berkata, Tidak ada orang yang berani melakukan itu kecuali Usamah
bin Zaid, yang dikasihi Rasulullah Saw. Lalu Usamah berbicara kepada beliau.
Beliau lalu bersabda, Apakah engkau memintakan pengampunan dalam salah
satu had di antara hudd (hukuman-hukuman) Allah? Kemudian beliau berdiri
dan berpidato:
32
32
Rasa tidak suka tidak boleh berpengaruh dalam penegakkan hukum Allah
SWT.
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Maidah [5]: 8)
Ada berbagai riwayat pada masa Khulafa ar-Rasyidin hukum Allah ditegakkan
atas para pelaku dosa, mereka dibawa ke hadapan khalifah atau wakilnya untuk
ditegakkan hukum Islam terhadapnya.
Abu Dawud ath-Thayalisi telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari
Hudhayn Abiy Sasan ar-Raqasyi, ia berkata:
33
Aku mendatangi Utsman bin Affan dan kepadanya didatangkan al-Walid bin
Uqbah dia telah minum khamar dan disaksikan oleh Humran bin Aban dan
seorang laki-laki lain, maka Utsman berkata kepada Ali: Tegakkan
terhadapnya hadd
33
orang dari kalangan Arab menjadi kafir, Abu Bakar memerangi mereka. Abu
Bakar berkata:
Demi Allah aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.
Zakat adalah hak harta. Demi Allah seandainya sekelompok orang
menghalangi dariku apa yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah Saw.
pasti aku perangi mereka atas keengganan mereka itu.
Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan
hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa
yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi
kalian untuk menaatinya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Syariah umat para rasul sebelum Rasulullah Saw. bukanlah syariah bagi kita.
Syariah sebelum kita telah dihapus dengan Islam. Allah SWT berfirman:
34
34
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka
dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan
pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang
selalu mereka perolok-olokkan itu. (QS. [40] al-Mumin: 83)
Dijelaskan oleh para mufassir bahwa ulah perbuatan yang dimaksud adalah
perbuatan dosa dan maksiat.
Al-Baghawi menafsirkannya sebagai: bi syu dzunbihim (karena keburukan
35
dosa-dosa mereka). (Al-Baghawi, Malim at-Tanzl, vol. 3, 417)
Ibnu Katsir memaknainya: bi sabab al-mash (karena kemaksiatankemaksiatan). (Ibnu Katsir, Tafsr al-Qurn al-Azhm, vol. 3 (Beirut: Dar alFikr, 2000), 1438)
Al-Zamakhsyari dan Abu Hayyan menuturkan: bi sabab mashhim wa
dzunbihim (karena perbuatan maksiat dan dosa mereka). (Az-Zamaksyari, AlKasysyf, vol. 3, 467; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsr al-Bahr al-Muhth,vol. 4
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 360)
35
Dengan ungkapan yang agak berbeda, pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh Syihabuddin al-Alusi, al-Baidhawi, al-Samarqandi, al-Nasafi, al-Khazin,
dan al-Shabuni. (Al-Alusi, Rh al-Man, vol. 11, 48; as-Samarqandi, Bahr
al-Ulm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 14; anNasafi, Madrik at-Tanzl wa Haqiq at-Tawl, vol. 2, 31; al-Khazin, Lubb
at-Tawl fi Mani at-Tanzl, vol. 3, 393; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafsr, vol.
2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 442)
Kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah Swt.:
Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan tangan kalian
sendiri. (QS. asy-Syura [42]: 30)
Ayat ini memastikan bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di
muka bumi adalah pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan
Syariah-Nya.
Jika zina dan riba telah tampak menyebar di suatu kampung maka
sesungguhnya mereka telah menghalalkan diri mereka dari azab Allah. (HR.
ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim)
36
Pemaparan Abu al-Aliyah dikutip oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini:
Siapa saja yang bermaksiat di muka bumi, sungguh dia telah berbuat
kerusakan, sebab kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu
dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dinyatakan:
Sungguh satu hukuman had yang ditegakkan di muka bumi lebih disukai
penduduknya daripada mereka diguyur hujan 40 hari.
36
Itulah hukum-hukum Allah. Karena itu janganlah kalian melanggar hukumhukum itu. (QS. al-Baqarah [2]: 229)
37
38
Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An-Nisa [4]: 69)
Kaum Mukmin mengerjakan amal shalih, yang berarti seluruh tindakannya
berpatokan dengan Syara, orang-orang kafir justru sebaliknya. Mereka sama
sekali tidak mengindahkan itu, tidak mempedulikan batasan halal atau haram
yang semestinya mengikat perbuatan mereka.
38
39
39
yang tidak disyariatkan bagi kaum Muslim. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir, 1/149-150)
Menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) mencakup perkara aqidah,
ibadah, hari raya, pakaian khas kekafiran mereka, adat istiadat, atau gaya hidup
yang memang merupakan bagian dari ciri-ciri khas kekafiran mereka (fi
khasha`ishihim). (Imam Shanani, Subulus Salam, 4/175; Ali Ibrahim Masud
Ajiin, Mukhalafah Al Kuffar fi As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 14)
Dalam semua hal yang menyalahi Akidah dan Syariah, seorang Muslim
dilarang berbuat atas idenya sendiri maupun menirunya dari kaum kafir.
Seorang muslim diharamkan berpartisipasi dalam kekufuran maupun
kemaksiatan. Allah SWT berfirman:
40
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang 40
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS. AlMaaidah: 50)
Sayyid Quttub dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran menjelaskan: Makna jahiliyah
telah ditentukan batasannya oleh nash ini. Jahiliyah sebagaimana diterangkan
Allah dan didefinisikan oleh Quran-Nya adalah hukum buatan manusia.
Karena, ini berarti ubudiyah (pengabdian) manusia terhadap manusia, keluar
dari ubudiyah kepada Allah, dan menolak uluhiyyah Allah. Kebalikan (yaitu
sisi lain) dari penolakan ini adalah mengakui uluhiyyah sebagian manusia dan
hak ubudiyah bagi mereka selain Allah.
41
Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh
al-Kitab dan as-Sunnah (Kullu ma dalla alayhi al-kitab wa as-sunnah), baik
dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya. (Ibnu
Taimiyah, As-Siyasah as-Syariyah, hlm. 15)
Menurut Imam al-Qurthubi, keadilan adalah setiap apa saja yang diwajibkan
baik berupa akidah Islam maupun hukum-hukum Islam (Kullu syayyin
mafrudhin min aqaid wa ahkam). (Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam AlQuran, X/165)
41
42
42