Anda di halaman 1dari 6

Beriman Kepada Qadha dan

Qadar
Definisi Qadha dan Qadar
Secara bahasa qadar berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran, sedangkan qadha berasal
dari qadhaa yaqdhii qadhaa-an wa taqdhiyyatan yang berarti:

 Penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat (Fushilat, 41: 10)

 Pemutusan, hukuman. Pengertian ini terdapat di ayat (Al-Mu’min, 40:20)

 Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada ayat (Al-Israa, 17:23)

 Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat (Al-Hijr, 15: 66)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tentang qadha dan qadar: “Para ulama’
berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan
bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya),
sedangkan Qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.” Beliau
kemudian menegaskan: “Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua
istilah tersebut bila dikumpulkan (Qadar-Qadha’), maka mempunyai makna berbeda, tapi bila
dipisahkan antara satu dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama.” (Lihat: kitab Al-
Qadha’ wal Qadar).

Dalil-dalil Wajibnya Beriman Kepada Qadha dan Qadar


Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, dimana tidaklah sempurna
dan sah iman seseorang kecuali beriman kepada perkara ini. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar
adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada
qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan
qadar, maka pendustaannya itu merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syaikh al-Islam,
8/258). Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban
yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an
dan hadits berikut ini.

Dalil-dalil Al-Qur’an:

ِ ‫َب َما ِإ َّل ي‬


‫ُصي َبنَا لَن قُل‬ َ ‫ّللاِ َو َعلَى َمو َّلنَا ه َُو لَنَا‬
َ ‫ّللاُ َكت‬ َ ‫ال ُمؤ ِمنُونَ فَل َيت ََو َك ِل‬
“Katakanlah, ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.
Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakkalah orang-orang yang
beriman.” (At-Taubah, 9:51).
‫َمعلُوم ِبقَدَر ِإ َّل نُن َِزلُهُ َو َما خَزَ ائِنُهُ ِعندَنَا ِإ َّل شَيء ِمن َو ِإن‬
“Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr, 15:21)

‫شيَدَة ب ُُروج فِي ُكنتُم َولَو ال َموتُ يُد ِر ُك ُك ُم تَ ُكونُوا أَينَ َما‬ َ ‫صب ُهم َوإِن ُم‬ ِ ُ ‫سنَة ت‬ َ ‫ّللاِ ِعن ِد ِمن َه ِذ ِه يَقُولُوا َح‬ َ ‫يَقُولُوا‬
ِ ُ ‫سيِئ َة ت‬
َ ‫صب ُهم َوإِن‬
‫ّللاِ ِعن ِد ِمن ُكل قُل ِعندِكَ ِمن َه ِذ ِه‬ َ ‫َحدِيثًا يَفقَ ُهونَ َيكَادُونَ َّل القَو ِم َهؤ َُّل ِء فَ َما ِل‬
“Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di
dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan,
‘Ini dari sisi Allah’, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, ‘Ini dari
engkau (Muhammad)’. Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’. Maka mengapa orang-
orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit
pun).” (4:78)

‫اب َما‬
َ ‫ص‬َ َ ‫صيبَة ِمن أ‬ ِ ‫ّللاِ َعلَى ذَلِكَ إِ َن نَب َرأَهَا أَن قَب ِل ِمن ِكتَاب فِي إِ َّل أَنفُ ِس ُكم فِي َو َّل اْلَر‬
ِ ‫ض فِي ُم‬ َ ‫يَسِير‬
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah
tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu
mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57:22)

َ ‫يض َو َما أُنثَى ُكل ت َح ِم ُل َما يَعلَ ُم‬


ُ‫ّللا‬ ُ ‫بِ ِمقدَار ِعندَهُ شَيء َو ُكل ت َزدَاد ُ َو َما اْلَر َحا ُم ت َِغ‬
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa yang kurang sempurna dan
apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala sesuatu ada usuran di sisiNya.” (13:8)

Dalil-dalil As-Sunnah:
- “dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“ (H.R. Muslim)
- “…dan ketahuilah jika umat bersatu padu untuk memberi manfaat kepadamu dengan
sesuatu, maka tidak akan sampai manfaat itu kecuali yang telah ditetapkan Allah
untukmu; jika mereka bersatu padu untuk mencelakaimu, maka engkau tidak akan celaka
kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu. Pena sudah diangkat dan lembaran catatan
sudah kering.” (HR. Tirmidzi)

Rukun-rukun Iman Kepada Qadha dan Qadar


Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut:
1. Ilmu Allah Ta’ala (Al-Ilmu). Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepada Ilmu
Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada
makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Hal ini bisa kita temukan
dalam beberapa ayat Al-Qur’an berikut ini.
- (At-Thalaq, 65: 12)
- (Al-Hasyr, 59: 22)
- (Al-An’am, 6: 59)

2. Penulisan Takdir (Al-Kitabah). Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah Ta’ala menulis
dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan
sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan yang dijaga”. Tidak
ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
- (al-Hadiid, 57/22-23)
- (al-Hajj, 22: 70)
- (Al-An’am, 6: 38)
- ‫القَلَ َم للاُ َخلَقَ َما أَ َو َل إِ َن‬، ‫لَهُ قَا َل‬: ‫قَا َل !اُكتُب‬: ‫ب‬
ِ ‫قَا َل أَكتُبُ ؟ َو َماذَا َر‬: ‫السَا َعة ُ تَقُو َم َحتَى شَيء ُك ِل َمقَادِي َر اُكتُب‬
“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman
kepadanya, ‘Tulislah….’ Ia bertanya, ‘Rabb, apa yang harus aku tulis?’ Dia berfirman,
‘Tulislah ketetapan-ketetapan tentang segala sesuatu (apa yang ada dan yang bakal ada)
sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

3. Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah
mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang
menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya.
Begitu pula sebaliknya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu,melainkan karena Dia tidak
menghendakinya. Allah Ta’ala berfirman,
- (Fathir, 35: 44)
Dalil tentang masyi`atullah, di antaranya sebagai berikut.
- (At-Takwir, 81: 29)
- (Al-An’am, 6: 39)
- (Ya-sin, 36: 82)
- ُْ َ ‫ه‬
ْ‫ّللا ُي ِردْ مَن‬ ِْ ِ‫خيرًا ب‬ ُْ ‫ين فِي ُي َف ِقه‬
َ ‫ه‬ ِْ ‫الد‬
ِ
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih
(memahami) agama ini.” (HR Bukhari)
Jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak. Dan
apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada.
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui. Maka dalam (bingkai) ilmu
ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta. Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan
karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan. Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau
biarkan (tanpa pertolongan). Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada
yang beruntung. Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik.

4. Penciptaan-Nya (Al-Khalqu). Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus
mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb
semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
- (Az-Zumar, 39: 62)
- ( Al-Furqan, 25: 2)
- (As-Shafat, 37: 96)
- َ ‫صانِع ُك َل يَصنَ ُع‬
‫ّللاَ إِ َن‬ َ ُ‫صنعَتَه‬
َ ‫َو‬
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang ber-buat dan juga sekaligus
perbuatannya.” (HR. Bukhari dalam Khalq Af’aalil ‘Ibaad)

Macam-macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman
azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir
tersebut adalah sebagai berikut.

1. Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun
sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah Ta’ala memerintahkan al-Qalam (pena)
untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini
berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
‫اب َما‬
َ ‫ص‬َ َ ‫صيبَة ِمن أ‬ ِ ‫ّللاِ َعلَى ذَلِكَ إِ َن نَب َرأَهَا أَن قَب ِل ِمن ِكتَاب فِي إِ َّل أَنفُ ِس ُكم فِي َو َّل اْلَر‬
ِ ‫ض فِي ُم‬ َ ‫يَسِير‬
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57: 22)

َ ‫اص ب ِن َعم ِرو ب ِن‬


‫ّللاِ َعب ِد َعن‬ ِ َ‫س ِمعتُ َقا َل الع‬َ ‫سو َل‬ َ -‫وسلم عليه للا صلى‬- ‫َب « يَقُو ُل‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َ ‫ّللاُ َكت‬
َ ‫ِير‬ ِ ِ‫يَخلُقَ أَن قَب َل ال َخالَئ‬
َ ‫ق َمقَاد‬
‫ت‬
ِ ‫س َم َوا‬
َ ‫ض ال‬َ ‫ف بِخَمسِينَ َواْلَر‬َ ‫سنَة أَل‬
َ – ‫شهُ – قَا َل‬ُ ‫اء َعلَى َو َعر‬
ِ ‫»ال َم‬
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku telah mendengar
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah telah menuliskan seluruh takdir
makhluk-makhluk, 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas
air”. (HR. Muslim)

2. Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika
pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal,
kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan
َْ ُ‫ل ث‬
‫م‬ ُْ ‫س‬ ِْ ‫ك إِلَي‬
َ ‫ه ُير‬ ُْ َ‫خ المَل‬
ُْ ‫ه فيَن ُف‬ ُّ
َْ ‫الرو‬،
ِْ ‫ح فِي‬ ْ ‫كلِمَاتْ بِأَرب‬:
‫َعِ َو ُيؤ َم ُْر‬ َ ‫ب‬ َ ِ‫ه ب‬
ِْ ‫كت‬ ِْ ِ‫رزق‬،
ِ ‫ه‬ َ َ‫وَأ‬، ‫ه‬
ِْ ِ‫جل‬ َ ‫أَوْ و‬
َ ‫ َو َع‬، ْ‫َش ِقي‬
ِْ ِ‫مل‬
ْ‫س ِعيد‬ َ
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya
dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)

3. Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Terdapat pada
firman Allah Ta’ala di surah (Ad-Dukhan, 44: 4 – 5)
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam
setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan
peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.

4. Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam
satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa,
menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua
yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan.”(Ar-Rahman, 55: 29)

Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan
dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

Memperdalam Masalah Qadar Dilarang


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang terlalu dalam (berkutat terus-menerus) pada
masalah qadar. Sikap kita tiada kecuali taslim dan iman kepadanya. Hal ini tergambar dari
hadits berikut ini,
- Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui
kami sementara kami sedang berselisih dalam masalah taqdir, kemudian beliau marah
hingga wajahnya menjadi merah sampai seakan akan pipinya seperti buah delima yang
dibelah, lalu beliau bertanya, ‘Apakah kalian diperintahkan seperti ini atau apakah aku
diutus kepada kalian untuk masalah ini? Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum
kalian adalah lantaran perselisihan mereka dalam perkara ini. Karena itu, aku tekankan
pada kalian untuk tidak berselisih dalam masalah ini.'” (HR. Tirmidzi)
- Abdul Malik bin harun bin ‘Antharah mendapatkan riwayat dari bapaknya dari kakeknya,
beliau berkata: “Seseorang mendatangi Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, lalu
bertanya: ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’, beliau menjawab: ‘Jalan yang gelap
janganlah engkau jalani’, orang ini mengulangi pertanyaannya: ‘Beritahukan kepadaku
tentang takdir?’, dijawab oleh beliau: ‘Laut yang dalam maka janganlah engkau menyelam
ke dalamnya’, orang ini mengulangi pertanyaannya, ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’
Beliau menjawab: ‘Rahasia Allah maka jangan engkau membebani dirimu’”. (Lihat kitab
Asy Syari’ah, karya Al Ajurry, 1/476).
- Berkata Imam Thahawi, “Prinsip qadar adalah rahasia Allah terhadap makhlukNya yang
tidak diketahui rahasia tersebut oleh malaikat yang terdekat dan juga oleh Nabi yang diutus.
Terlalu memperdalam masalah ini akan mengantarkan sikap pasifisme, tangga yang
menghalangi hidayah dan sederajat dengan orang yang melampaui batas. Sebagaimana
firman Allah, “Allah tidak ditanya terhadap apa yang Dia lakukan akan tetapi merekalah
yang akan ditanya (Al-Anbiya, 21:23).”Muhammad bin Wasi’ (seorang tabi’in) pernah
ditanya oleh Bilal bin Abi Burdah (Wali Bashrah): “Bagaimana pendapatmu tentang qadha’
dan qadar, wahai Abu Abdillah?” Maka beliau menjawab dengan jawaban yang singkat
padat tegas: “Wahai Amir, Allah Ta’ala tidak akan menanyai hambaNya tentang qadha’ dan
qadar pada hari kiamat nanti. Namun Dia akan bertanya tentang amal mereka.”

Batalnya Berhujjah Dengan Qadar


Allah menolak argumentasi orang-orang musyrik dengan alasan qadar Allah dan kehendakNya
terhadap kemusyrikan dan kemaksiyatan mereka. Firman Allah,
‫سيَقُو ُل‬َ َ‫ّللاُ شَا َء لَو أَش َر ُكوا الَذِين‬
َ ‫ب َكذَلِكَ شَيء ِمن َح َرمنَا َو َّل آبَا ُؤنَا َو َّل أَش َركنَا َما‬ َ َ‫سنَا ذَاقُوا َحتَى قَب ِل ِهم ِمن الَذِينَ َكذ‬ َ ‫هَل قُل بَأ‬
َ َ
‫صونَ ِإ َّل أنتُم َو ِإن الظ َن ِإ َّل تَتَبِعُونَ ِإن َلنَا َفتُخ ِر ُجوهُ ِعلم ِمن ِعندَ ُكم‬ َ ُ ُ َ
ُ ‫أج َمعِينَ لَ َهدَا ُكم شَا َء فَلَو البَا ِلغَة ال ُح َجة فَ ِلل ِه قُل تَخ ُر‬
“Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan
mempersekutukanNya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa
pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai
mereka merasakan azab Kami. Katakanlah, “Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat
kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya
mengira.” Katakanlah, “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki,
niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” (Al-An’am, 6:148-149)

 (Yang benar), Bahwa takdir (hanya boleh) diimani dan tidak boleh dijadikan sebagai alasan.
Barangsipa yang berhujjah dengan takdir, hujjahnya tertolak, dan barangsiapa yang berudzur
dengan takdir, udzurnya tidak bisa diterima. Bila hujjah dengan takdir bisa diterima, maka Allah
tidak akan mengazab seorang pun baik di dunia maupun di akhirat: pencuri tidak bisa dihukum
potong, pembunuh tidak boleh dihukum bunuh, tidak perlu ada jihad fi sabilillah dan tidak perlu
ada amar ma’ruf nahi munkar.

Beriman Kepada Qadha dan Qadar Tidak Menghalangi Untuk Berusaha


Sesungguhnya iman kepada qadar adalah wajib sebagaimana berusaha juga wajib. Keduanya
tidak saling menghilangkan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya beriman kepada
qadha dan qadar akan tetapi mereka tidak meninggalkan usaha.

Makna Beriman Kepada Qadha dan Qadar


Beriman kepada Qadha dan Qadar menurut Ibnu Taimiyah mencakup:
1. Beriman kepada ilmu Allah yang Maha Dahulu bahwa Dia mengetahui perbuatan-perbuatan
hamba-hambaNya sebelum perbuatan-perbuatan tersebut dilakukannya.
2. Beriman kepada catatan tentang hal tersebut di Lauh Mahfuzh.
3. Beriman kepada kehendak Allah yang telah terjadi dan kekuasaanNya yang menyeluruh
4. Beriman kepada ciptaan Allah terhadap setiap makhluk dan bahwa Dia adalah Khalik sedang
selainnya adalah makhluk.

Dampak Beriman Kepada Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Muslim


1. Jalan yang membebaskan kesyirikan. Dia mengetahui bahwa segala urusan ada di Tangan
Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya. Bagaimana ia akan tunduk kepada hamba yang
terbuat dari tanah? Ibnu Rajab mengatakan, “Barangsiapa yang memahami dengan jelas bahwa
setiap makhluk yang ada di atas tanah adalah tanah, maka tidak akan mendahulukan ketaatan
kepada tanah dari pada kepada Rabbnya “tuhan-tuhan” itu. Bagaimana ia membuat senang
tanah dengan membuat murka Raja Yang Maha Pemberi? Sungguh ini sesuatu yang aneh.”

2. Istiqamah.
‫سانَ ِإ َن‬ ِ َ‫سهُ ِإذَا َهلُوعًا ُخلِق‬
َ ‫اْلن‬ َ ‫شر َم‬ َ ‫صلِينَ ِإ َّل َمنُوعًا الخَي ُر َم‬
َ ‫سهُ َو ِإذَا َج ُزوعًا ال‬ َ ‫ال ُم‬
“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-
orang yang mengerjakan shalat.” (Al-Ma’arij, 69: 19-22)

3. Selalu berhati-hati.
‫ّللاِ َمك َر أَفَأ َ ِمنُوا‬ َ ‫الخَا ِس ُرونَ القَو ُم إِ َّل‬
َ ‫ّللاِ َمك َر يَأ َمنُ فَ َال‬
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf, 7: 99)

4. Sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan. Karena jiwa yang beriman itu
mengetahui bahwa Allah yang telah menentukan kebaikan dan keburukan itu Maha Bijaksana
dan Maha Penyayang.

5. Berani dan siap berkorban, sebagaimana ungkapan Salman Al-Farisi ketika ditanya tentang
makna ”hingga kamu beriman kepada qadar”, beliau menjawab, ”Hingga kamu beriman
kepada qadar adalah kamu mengetahui bahwa yang tidak ditetapkan bagimu tidak akan
menimpamu dan apa yang akan menimpamu tidak akan meleset.”

Anda mungkin juga menyukai