Qadar
Definisi Qadha dan Qadar
Secara bahasa qadar berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran, sedangkan qadha berasal
dari qadhaa yaqdhii qadhaa-an wa taqdhiyyatan yang berarti:
Penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat (Fushilat, 41: 10)
Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada ayat (Al-Israa, 17:23)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tentang qadha dan qadar: “Para ulama’
berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan
bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya),
sedangkan Qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.” Beliau
kemudian menegaskan: “Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua
istilah tersebut bila dikumpulkan (Qadar-Qadha’), maka mempunyai makna berbeda, tapi bila
dipisahkan antara satu dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama.” (Lihat: kitab Al-
Qadha’ wal Qadar).
Dalil-dalil Al-Qur’an:
شيَدَة ب ُُروج فِي ُكنتُم َولَو ال َموتُ يُد ِر ُك ُك ُم تَ ُكونُوا أَينَ َما َ صب ُهم َوإِن ُم ِ ُ سنَة ت َ ّللاِ ِعن ِد ِمن َه ِذ ِه يَقُولُوا َح َ يَقُولُوا
ِ ُ سيِئ َة ت
َ صب ُهم َوإِن
ّللاِ ِعن ِد ِمن ُكل قُل ِعندِكَ ِمن َه ِذ ِه َ َحدِيثًا يَفقَ ُهونَ َيكَادُونَ َّل القَو ِم َهؤ َُّل ِء فَ َما ِل
“Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di
dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan,
‘Ini dari sisi Allah’, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, ‘Ini dari
engkau (Muhammad)’. Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’. Maka mengapa orang-
orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit
pun).” (4:78)
اب َما
َ صَ َ صيبَة ِمن أ ِ ّللاِ َعلَى ذَلِكَ إِ َن نَب َرأَهَا أَن قَب ِل ِمن ِكتَاب فِي إِ َّل أَنفُ ِس ُكم فِي َو َّل اْلَر
ِ ض فِي ُم َ يَسِير
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah
tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu
mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57:22)
Dalil-dalil As-Sunnah:
- “dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“ (H.R. Muslim)
- “…dan ketahuilah jika umat bersatu padu untuk memberi manfaat kepadamu dengan
sesuatu, maka tidak akan sampai manfaat itu kecuali yang telah ditetapkan Allah
untukmu; jika mereka bersatu padu untuk mencelakaimu, maka engkau tidak akan celaka
kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu. Pena sudah diangkat dan lembaran catatan
sudah kering.” (HR. Tirmidzi)
2. Penulisan Takdir (Al-Kitabah). Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah Ta’ala menulis
dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan
sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan yang dijaga”. Tidak
ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
- (al-Hadiid, 57/22-23)
- (al-Hajj, 22: 70)
- (Al-An’am, 6: 38)
- القَلَ َم للاُ َخلَقَ َما أَ َو َل إِ َن، لَهُ قَا َل: قَا َل !اُكتُب: ب
ِ قَا َل أَكتُبُ ؟ َو َماذَا َر: السَا َعة ُ تَقُو َم َحتَى شَيء ُك ِل َمقَادِي َر اُكتُب
“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman
kepadanya, ‘Tulislah….’ Ia bertanya, ‘Rabb, apa yang harus aku tulis?’ Dia berfirman,
‘Tulislah ketetapan-ketetapan tentang segala sesuatu (apa yang ada dan yang bakal ada)
sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
3. Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah
mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang
menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya.
Begitu pula sebaliknya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu,melainkan karena Dia tidak
menghendakinya. Allah Ta’ala berfirman,
- (Fathir, 35: 44)
Dalil tentang masyi`atullah, di antaranya sebagai berikut.
- (At-Takwir, 81: 29)
- (Al-An’am, 6: 39)
- (Ya-sin, 36: 82)
- ُْ َ ه
ّْللا ُي ِردْ مَن ِْ ِخيرًا ب ُْ ين فِي ُي َف ِقه
َ ه ِْ الد
ِ
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih
(memahami) agama ini.” (HR Bukhari)
Jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak. Dan
apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada.
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui. Maka dalam (bingkai) ilmu
ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta. Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan
karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan. Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau
biarkan (tanpa pertolongan). Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada
yang beruntung. Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik.
4. Penciptaan-Nya (Al-Khalqu). Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus
mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb
semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
- (Az-Zumar, 39: 62)
- ( Al-Furqan, 25: 2)
- (As-Shafat, 37: 96)
- َ صانِع ُك َل يَصنَ ُع
ّللاَ إِ َن َ ُصنعَتَه
َ َو
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang ber-buat dan juga sekaligus
perbuatannya.” (HR. Bukhari dalam Khalq Af’aalil ‘Ibaad)
Macam-macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman
azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun
sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah Ta’ala memerintahkan al-Qalam (pena)
untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini
berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
اب َما
َ صَ َ صيبَة ِمن أ ِ ّللاِ َعلَى ذَلِكَ إِ َن نَب َرأَهَا أَن قَب ِل ِمن ِكتَاب فِي إِ َّل أَنفُ ِس ُكم فِي َو َّل اْلَر
ِ ض فِي ُم َ يَسِير
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57: 22)
2. Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika
pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal,
kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan
َْ ُل ث
م ُْ س ِْ ك إِلَي
َ ه ُير ُْ َخ المَل
ُْ ه فيَن ُف ُّ
َْ الرو،
ِْ ح فِي ْ كلِمَاتْ بِأَرب:
َعِ َو ُيؤ َم ُْر َ ب َ ِه ب
ِْ كت ِْ ِرزق،
ِ ه َ َوَأ، ه
ِْ ِجل َ أَوْ و
َ َو َع، َْش ِقي
ِْ ِمل
ْس ِعيد َ
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya
dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)
3. Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Terdapat pada
firman Allah Ta’ala di surah (Ad-Dukhan, 44: 4 – 5)
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam
setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan
peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
4. Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam
satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa,
menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua
yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan.”(Ar-Rahman, 55: 29)
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan
dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
(Yang benar), Bahwa takdir (hanya boleh) diimani dan tidak boleh dijadikan sebagai alasan.
Barangsipa yang berhujjah dengan takdir, hujjahnya tertolak, dan barangsiapa yang berudzur
dengan takdir, udzurnya tidak bisa diterima. Bila hujjah dengan takdir bisa diterima, maka Allah
tidak akan mengazab seorang pun baik di dunia maupun di akhirat: pencuri tidak bisa dihukum
potong, pembunuh tidak boleh dihukum bunuh, tidak perlu ada jihad fi sabilillah dan tidak perlu
ada amar ma’ruf nahi munkar.
2. Istiqamah.
سانَ ِإ َن ِ َسهُ ِإذَا َهلُوعًا ُخلِق
َ اْلن َ شر َم َ صلِينَ ِإ َّل َمنُوعًا الخَي ُر َم
َ سهُ َو ِإذَا َج ُزوعًا ال َ ال ُم
“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-
orang yang mengerjakan shalat.” (Al-Ma’arij, 69: 19-22)
3. Selalu berhati-hati.
ّللاِ َمك َر أَفَأ َ ِمنُوا َ الخَا ِس ُرونَ القَو ُم إِ َّل
َ ّللاِ َمك َر يَأ َمنُ فَ َال
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf, 7: 99)
4. Sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan. Karena jiwa yang beriman itu
mengetahui bahwa Allah yang telah menentukan kebaikan dan keburukan itu Maha Bijaksana
dan Maha Penyayang.
5. Berani dan siap berkorban, sebagaimana ungkapan Salman Al-Farisi ketika ditanya tentang
makna ”hingga kamu beriman kepada qadar”, beliau menjawab, ”Hingga kamu beriman
kepada qadar adalah kamu mengetahui bahwa yang tidak ditetapkan bagimu tidak akan
menimpamu dan apa yang akan menimpamu tidak akan meleset.”