Anda di halaman 1dari 45

1

SEJARAH PEMIDANAAN DI INDONESIA

A. Sejarah Pidana Penjara di Indonesia


Pidana penjara sesungguhya adalah salah satu jenis pidana perampasan

kemerdekaan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya

disebut dengan : KUHP) dari banyak Negara, jenis pidana ini tergolong ke

dalam pidana pokok, termasuk Negara Indonesia.1

Namun di masa penjajahan Belanda, pada saat itu Belanda mulai

menguasai beberapa bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu

diadakan peradilan untuk orang-orang Pribumi. Hukum yang berlaku yaitu

hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi orang Pribumi dengan

batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan azas keseimbangan di dalam

penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang masih

dipertahankan adalah pembakaran, penusukan dengan keris, penderaan,

mencap dengan besi panas, perantaian, dan hukuman kerja paksa.2

Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto3,

1
Roeslan Saleh. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan. Jakarta.
Aksara Baru. Hal. 25.
2
Sudarto. 1981. Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta
Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Hal. 25
3
Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya Paramita.
Hal. 77.
2

yang dilakukan beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan,

rumah tahanan pada zaman Penjajahan Belanda ada tiga macam:

1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota.

2. Ketingkwartier, merupakan tempat buat orang-orang perantauan.

3. Vrouwentuchthuis adalah tempat menampung orang-orang perempuan


Bangsa Belanda yang karena melanggar kesusilaan (overspel).

Tahun 1800–1816 ketika Raffles memimpin pemerintahan pada saat itu,

dia mencoba untuk memperbaiki keadaan buruk pada masa lalu dan

memerintahkan agar di tiap- tiap tempat yang ada pengadilannya didirikan bui.

Pada tahun 1919 pemerintah Belanda mengulangi apa yang telah dilakukan oleh

Raffles, dimana orang-orang dibagi:

1. Orang-orang yang dipidana kerja paksa dengan memakai rantai.

2. Orang-orang yang dipidana kerja paksa biasa dengan mendapat upah.

Pada tahun 1870 didirikan Departemen Justise yang kemudian

merancang peraturan untuk penjara-penjara di Hindia Belanda, yang dimuat

dalam lembaran negara (Staablad 1871 No. 78/ Tuchtreglement van 1871).

Peraturan ini memerintahkan supaya dipisah-pisahkan:4

a. Golongan Indonesia dengan golongan Eropa

b. Perempuan dengan laki-laki.

c. Terpidana berat dengan terpidana lainnya.

4
Ibid. Hal. 76-83.
3

Tiap penjara diwajibkan untuk mengadakan daftar catatan orang- orang

yang ada dalam penjara dan dibagi dalam beberapa bagian menurut

golongannya, seperti golongan Indonesia dan Golongan Eropa, laki-laki dan

perempuan, tindak pidana berat dan ringan dan lain sebagainya. Kepala

penjara dilarang memasukkan atau mengurung orang jika tidak ada alasan

yang sah.5

Perubahan besar dalam sistem penjara dan perbaikan keadaan penjara

baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat

mulai didirikan, pegawai-pegawai yang dianggap cakap dalam urusan

kepenjaraan mulai direkrut. Di penjara Glodok diadakan percobaan dengan

cara memberikan pekerjaan dalam lingkungan pagar tembok penjara kepada

beberapa narapidana kerja paksa. 6 Sehubungan dengan percobaan ini, maka

Staatblad 1871 No. 78 mendapat sedikit perubahan. Dalam jangka waktu 1905

sampai 1918 didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh. Penjara-

penjara pusat biasanya berukuran sangat besar, dengan kapasitas kira-kira

untuk 700 orang terpidana, merupakan gabungan Huis van Bewaring (rumah

penjara pidana berat), yang sukar untuk mengurusnya karena masing-masing

golongan menghendaki cara perlakuan yang

5
Suwarto. 2007. Disertasi Doktor: Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam
Pembinaan Narapidana Wanita. Medan. Universitas Sumatera Utara. Hal. 101-100.
6
Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta.
Kreasi Wacana. Hal. 139.
4

khusus.7

Pada tahun 1925 di Penjara Cipinang pemerintah melakukan percobaan

penjara dengan mengadakan tempat tidur yang terpisah untuk setiap

narapidana, yang kemudian disebut sebagai “chambretta” yaitu sel yang

berupa sangkar negara yang dibuat dari jeruji besi dan tiap-tiap kerangkeng

untuk satu orang dengan maksud mencegah perbuatan cabul antara narapidana

satu dengan yang lainnya.8

Pada tahun 1930 diadakan perubahan terhadap penjara, yaitu :9


1) Pembagian narapidana laki-laki yang mendapat pidana lebih dari 1
(satu) tahun dalam 2 (dua) golongan sesudah diselidiki lebih dulu di
clearing- house di Surabaya dan Glodok yaitu :
a. Golongan yang dipandang mudah untuk dididik baik.
b. Golongan yang dipandang sukar untuk dididik baik.
2) Mengadakan bagian semacam reformatory seperti di Elmira (yang
diperuntukkan pemuda-pemuda dari 16 sampai 30 tahun) di penjara
Malang, Madiun dan Sukamiskin, untuk golongan tersebut di atas.
3) Mengadakan psychopaten (perbaikan orang sakit jiwa) di Glodok.
4) Mengadakan sistem cellilousie.
5) Penjara untuk golongan Eropa di Semarang di pindah ke Sukamiskin.
6) Kursus-kursus untuk pegawai kepenjaraan.
7) Mengangkat seorang pegawai reklasaring.
8) Mendirikan dana reklasaring.

Pada tahun 1931 ada beberapa penjara yang mempunyai kedudukan

khusus yaitu : (1) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk semua

golongan yang terpelajar dan berkedudukan dalam masyarakat. (2) Penjara

Sukamiskin diberikan percetakan. (3) Di penjara Cipinang

7
Ibid.
8
Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta.
Kreasi Wacana. Hal. 140.
9
Ibid, hal. 141.
5

dilanjutkan percobaan dengan chambretta (tempat tidur yang terpisah untuk

narapidana). (4) Bagian- bagian untuk orang-orang komunis di penjara

Padang dan Glodok dihapuskan dan dipindah ke Pamekasan. (5) Penjara

untuk anak-anak di Pamekasan dihapuskan dan digunakan untuk orang-orang

yang dituduh komunis dan penjara anak-anak di Banyubiru dan Tangerang.

(6) Mengadakan percobaan dengan ploeg–stukloon system (7 (tujuh) atau 8

(delapan) orang bekerja bersama-sama dengan mendapat upah).10

Sejarah masa lampau tentang gambaran penjara pada zaman

penjajahan Belanda, penuh dengan penderitaan yang kini masih terlihat pada

bangunan-bangunan penjara dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang

sedemikian rupa secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para

pelanggar hukum. Oleh karena itu namanya menjadi penjara, yaitu tempat

untuk membuat jera.11

Kemudian pada zaman kemerdekaan tercetuslah gagasan

pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidatonya saat

penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas

Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan rumusan

dari tujuan pidana penjara sebagai berikut: “Di samping menimbulkan rasa

derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing

terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi

10
Ibid, hal. 141 – 142.
11
Suwarto, Op.Cit. Hal. 103.
6

seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan lain,

tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung makna bahwa

tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat

oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah tersesat, diayomi oleh

pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi seorang anggota

masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.12

Jika berbicara tentang sistem pemasyarakatan, maka tidak terlepas

dengan salah seorang pemimpin di bidang pemasyarakatan yang telah ada sejak

zaman Hindia Belanda, yaitu Bachroedin Soerjobroto. Beliau mengemukakan,

bahwa prinsip pemasyarakatan itu adalah “pemulihan kembali kesatuan

hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan, yang terjalin antara manusia

dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan masyarakat,

manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan alamnya dan (dalam

keseluruhan ini manusia sebagai makhluk Tuhan, manusia dengan

khalikNya”.13

12
Djoko Prakoso. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta. Liberty. Hal.62
13
Sudarto, Op. cit, hal. 98; lihat juga Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem
Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan, Buku Kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994, hal. 148 yang mengatakan
bahwa Bapak Bachroedin Soerjobroto Seorang Pemikir dan Pelopor Ilmu Pemasyarakatan di Indonesia.
7

Walaupun istilah penjara telah diubah menjadi lembaga

pemasyarakatan, namun pelaksanaannya masih menghadapi beberapa masalah,

antara lain :14

a. Gedung-gedung penjara peninggalan Belanda masih tetap

dipergunakan, karena merubah sesuai dengan cita-cita

pemasyarakatan memerlukan biaya yang sangat besar.

b. Petugas-petugas pemasyarakatan masih sedikit sekali yang

memahami tujuan pemasyarakatan.

c. Masalah biaya dan masyarakat yang masih belum dapat menerima

narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan Indonesia terus

melakukan segala macam upaya perbaikan dan penyempurnaan

penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Undang-Undang

No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan : UU

No. 12/1995).

B. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan


Kemudian, amanat Presiden Republik Indonesia dalam konferensi dinas

Pemasyarakatan tahun 1964, menyampaikan arti penting pembaharuan pidana

penjara di Indonesia, yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi

14
Soedjono Dirdjosisworo. 1972. Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistem
Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana. Bandung. Alumni. Hal. 87.
8

pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian disusun suatu

pernyataan tentang Hari Lahir Pemasyarakatan Republik Indonesia pada hari

Senin tanggal 27 April 1964 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia.15

Selanjutnya dalam sambutan Menteri Kehakiman RI dalam pembukaan

rapat kerja terbatas Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga tahun 1976

menegaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem

pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam Konferensi Dinas Direktorat

Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat.16

Maka dirumuskanlah sepuluh (10) prinsip dasar yang kemudian menjadi

salah satu landasan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Republik

Indonesia. Sesuai dengan tuntutan dari apa yang tercantum dalam sepuluh

prinsip Pemasyarakatan itu, maka perlakuan terhadap narapidana dan anak

didik harus berpedoman pada pembinaan. Kesepuluh prinsip yang dihasilkan

dalam Konferensi Lembang tersebut, dinilai sangat baik untuk digunakan

sebagai dalam menjalankan pembinaan narapidana dan anak didik. Maka

sebaiknya para petugas lembaga pemasyarakatan yang ada di seluruh Indonesia

diharapkan dapat berusaha dengan maksimal untuk melaksanakannya. Dengan

demikian perlakuan terhadap narapidana dan anak didik adalah melakukan

pembinaan, agar narapidana itu menjadi manusia yang berguna di masa

mendatang. Program pembinaan harus disusun

15
Suwarto. Op.Cit. Hal. 106.
16
Ibid.
9

sedemikian rupa dan dengan segala pertimbangan, agar manfaatnya dapat

dirasakan oleh narapidana dan anak didik, kemudian diharapkan menumbuhkan

kesadaran hukum narapidana dan anak didik secara baik. Program-program

pembinaan yang teratur, dan disusun secara matang serta yang dilaksanakan

dengan penuh kesadaran dan kelayakan akan menjamin integritas sistem

pemasyarakatan.17

Mengenai struktur sistem pemasyarakatan, tentang perubahan yang

dilakukan sebagai berikut: pemasyarakatan berorientasi pada pengayoman dan

pembinaan.18 Pembinaan narapidana dan anak didik berdasarkan sistem

pemasyarakatan ini berlaku untuk segala segi yang ada dalam proses pembinaan

pemasyarakatan. Baik untuk pembinaannya di dalam lembaga pemasyarakatan

maupun mengenai pembinaannya di luar lembaga pemasyarakatan.19

Sistem pemasyarakatan di dalamnya terdapat proses pemasyarakatan

yang diartikan sebagai suatu proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai

suatu proses sejak seseorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga

Pemasyarakatan sampai dengan kembali kedalam kehidupan masyarakat.

Proses pembinaan ini dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap. Tahap pertama,

17
Soegindo. 1984. Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Ditinjau Dari Segi Hukum, Agama
dan Psychologi. Majalah Pemasyarakatan No. 14. Hal. 15 – 17.
18
G. Suyanto. 1981. Seluk Beluk Pemasyarakatan. BPHN. Departemen Kehakiman
R.I.Hal.7.
19
Suwarto. Op.Cit. Hal. 108.
10

yaitu tahap maximum security sampai batas 1/3 dari masa pidana yang

dijatuhkan. Tahap kedua adalah medium security sampai batas ½ dari masa

pidana yang dijatuhkan. Tahap ketiga, minimum security sampai batas 2/3 dari

masa pidana yang dijatuhkan. Tahap keempat yaitu tahap integrasi dan

selesainya 2/3 dari masa pidana sampai habis masa pidananya.20

Tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan di atas hanya diberikan

apabila narapidana benar-benar mengikuti aturan-aturan yang telah berlaku di

dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta mengikuti pembinaan yang diberikan

oleh petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan tekun hingga

berkelakuan baik dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin. Tetapi apabila

ia berkelakuan tidak baik maka ia tidak akan dinaikkan ke tahap berikutnya atau

misalnya ia sudah berkelakuan baik dan naik pada tahap berikutnya, namun ia

membuat keributan dan mengadakan pemberontakan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan, atau bahkan melarikan diri lalu kemudian tertangkap lagi,

maka ia kembali ke tahap pertama (tahap maximum security).

Untuk itu secara idealnya setiap Lembaga Pemasyarakatan secara

khusus diperuntukkan bagi narapidana atau anak didik berdasarkan pada tahap-

tahap sebagaimana telah dijelaskan di atas. Misalnya Lembaga Pemasyarakatan

khusus untuk narapidana pada tahap maximum security saja

20
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hal. 72-73.
11

atau untuk tahap medium security saja ataupun untuk tahap minimum security

saja. Ini disebut lembaga pemasyarakatan “Single Purpose”.21

Kenyataan dalam prakteknya sekarang ini di seluruh Indonesia, dalam

satu Lembaga Pemasyarakatan secara sekaligus melaksanakan ketiga tahap

tersebut; artinya satu lembaga pemasyarakatan untuk tahap maximum security,

medium security dan minimum security sekaligus bersama-sama, hanya

dipisahkan blok sendiri, misalnya blok A untuk maximum security, blok B

untuk medium security dan blok C untuk tahap minimum security lembaga

pemasyarakatan semacam ini disebut lembaga pemasyarakata “Multi

Purpose”.22

Setelah keluarnya UU No. 12/1995, pembinaan narapidana diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut dengan : PP

No. 31/1999) dalam Pasal 7 ayat (2), bahwa pembinaan narapidana terdiri atas

3 (tiga) tahap yaitu :

a. Tahap awal

b. Tahap lanjutan, dan

c. Tahap akhir.

21
Bachtiar Agus Salim. 1985. Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia. Disertasi
Doktor : Universitas Sumatera Utara. Hal. 188 – 189.
22
Ibid, Hal. 192.
12

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia

Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana

dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yakni 1. Pembinaan Kepribadian yang

meliputi : a. Pembinaan berbangsa dan bernegara; b. Pembinaan kemampuan

intelektual (kecerdasan); c. Pembinaan kesadaran hukum; d. Pembinaan

mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Kemudian yang kedua yakni: 2.

Pembinaan Kemandirian, dan program-program yang diberikan adalah:

a. Keterampilan untuk mendukung usaha mandiri; b. Ketrampilan untuk

mendukung usaha industri kecil; c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai

dengan bakat para narapidana masing-masing; d. Keterampilan untuk

mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian (perkebunan) dengan

menggunakan teknologi madya.

Oleh karena itu, maka sesungguhnya sistem pemasyarakatan dibentuk

untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang

baik, dan juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan

diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta

merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan Indonesia lebih

menekankan kepada aspek pembinaan Narapidana, Anak Didik

Pemasyarakatan, atau Klien Pemasyarakatan yang mempunyai ciri-ciri

preventif, kuratif, rehabilitatif, dan edukatif. Lembaga pemasyarakatan


13

sebagai salah satu wadah pembinaan narapidana, pada hakekatnya harus

mampu berperan di dalam pembangunan manusia seutuhnya sebagai wadah

untuk mendidik manusia terpidana agar menjadi manusia yang berkualitas.23

Posisi Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan di dalam

sistem peradilan pidana sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari

sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum,

bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan (supression of crime).24

Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh lembaga

pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-kemungkinan penilaian yang

dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu bersifat positif, apabila

bekas narapidana menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian

itu dapat negatif, bahkan mencela lembaga pemasyarakatan jika mantan

narapidana yang pernah dibina menjadi seorang residivis.25

C. Hubungan Antara Pemidanaan dan Pembinaan Narapidana


a. Teori dan Tujuan Pemidanaan
Kemudian mengenai pemidanaan, masih terus terjadi diskusi yang

membahas terkait dengan masalah pemidanaan antar ahli filsafat maupun

23
Suwarto. Op.Cit. Hal. 118
24
Irwan Petrus Panjaitan. 1992. Persepsi Bekas Narapidana Terhadap Pola Pembinaan
Narapidana Melalui Sistem Pemasyarakatan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Hal. 139 – 141.
25
Suwarto. Op.Cit. Hal. 126.
14

di antara ahli hukum pidana. Perlu diketahui bahwa terdapat gap antara apa

yang disebut dengan pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai

metode untuk memaksakan kepatuhan. Dengan adanya perubahan dalam

sentimen publik, kemajuan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, adanya

kesatuan polisi penuh, factor-faktor inilah yang kemudian mendorong untuk

adanya adaptasi metode-metode pemidanaan.26

Sebagian berpandangan bahwa pemidanaan adalah sebuah persoalan

yang murni hukum (purely legal matter). Misalnya seperti J.D. Mabbot

memandang bahwa seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum

“penjahat”, sepenuhnya adalah seseorang yang telah melanggar ketentuan

hukum yang telah ditetapkan, bukan orang jahat. Dan seseorang yang “tidak

bersalah” adalah seseorang yang belum melanggar suatu ketentuan hukum,

meskipun seseorang tersebut bisa jadi adalh seorang yang jahat dan telah

melanggar ketentuan hukum-hukum lain.27 Sebagai seorang retributivis,

Mabbot berpandangan bahwa pemidanaan merupakan akibat wajar yang

disebabkan bukan dari hukum melainkan dari pelanggarakan hukum.28

Artinya bahwa jika seseorang telah melanggar ketentuan hukum yang telah

ditetapkan dalam suatu tatanan hukum, maka

26
Rudolph J. Gerber and Patrick D. Mc Anany. 1972. Contemporery Punishment : Views,
Explanations, and Justifications. Notre Dame. University of Notre Dame Press. Hal. 329-450. Lihat juga
dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Diskriminalisasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 73.
27
J.D. Mabbott. 1995. Punishment, Punishment and the Death Penalty: The Current Debate,
Robert M. Baird & Struart E. Rosenbaum (Ed.). New York. Brometheus Books. Hal. 19.
28
Ibid.
15

tidak peduli baik seseorang tersebut adalah oramg jahat atau tidak, orang

tersebut harus tetap dipidana.29

Kemudian untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai dalam

pemidanaan, maka dalam dunia ilmu hukum pidana telah berkembang

beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu :30

1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);


2. Teori relative atau teori tujuan (ultarian/doeltheorieen);
3. Teori penggabungan (integrative);
4. Teori perlindungan sosial (sosial defence).

Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings

theorieen), menurut teori ini adalah bahwa pidana yang telah dijatuhkan

semata-mata adalah karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau

tindak pidana (quia peccatum est).31 Pidana merupakan hal yang harus

dijatuhkan sebagai bentuk dari sebuah pembalasan kepada seseorng yang

telah melakukan kejahatan. Hal yang mendasari dijatuhkannya pidana dalam

teori ini adalah adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut

Johannes Andreanes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori ini

adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of

29
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Op.Cit. Hal. 74.
30
Dwidja Priyatno. 2009. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung. PT.
Rafika Aditama. Hal.22.
31
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. PT.
Alumni. Hal. 10.
16

justice). Sedangkan pengaruh-pengaruh daripada dijatuhkannya pidana

menurut teori ini adalah sekunder.32

Mengenai tuntutan keadilan yang bersifat absolut ini, Immanuel Kant

berpendapat dalam bukunya yang berjudul “Philosophy of Law”, bahwa

pidana meurpakan suatu tuntutan kesusilaan. Dan Kant memandang bahwa

pidana adalah sebagai “Kategorische Imperatief” yakni seseorang harus

dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan. Kemudian Kant

berpendapat bahwa pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai

suatu tujuan, melainkan suatu upaya untuk mencerminkan keadilan

(uitdrukking van de gerechtigheid).33

Kemudian Karl. O. Christiansen mengatakan bahwa teori absolut

memiliki ciri pokok atau karakteristik, yaitu diantaranya adalah :34

1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;


2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya untuk kesejahteraan
masyarakat;
3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
4. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan murni yang
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.

Salah seorang tokoh yang menganut teori absolut yang terkenal

adalah Hegel. Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis

sebagai konsekuensi dari timbulnya suatu kejahatan yang dilakukan oleh

32
Ibid.
33
Ibid. Hal. 13-12.
34
Dwidja Priyanto. Op.Cit. Hal.26.
17

seseorang. Kejahatan dianggap sebagai pengingkaran terhadap ketertiban

hukum suatu Negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka

pidana merupakan “Negation der Negation” (peniadaan atau pengingkaran

terhadap pengingkaran). Teori Hegel kemudian dikenal sebagai “quasi-

mathematic”, yaitu : wrong being (crime) is the negation of right; and

punishment is the negation of that negation.35

Selanjutnya mengenai teori relatif atau teori tujuan

(ultarian/doeltheorieen), menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk

memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Kedudukan pidana dianggap

bukan hanya sebagai suatu bentuk pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi diamping itu teori ini

dianggap mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi

kehidupan masyarakat.36

Maka dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak

pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang

membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan

melakukan kejahatan. Inilah makna ucapan dari Seneca seorang filosof

Rumawi: “Nemo pridens punit quia peccatum est, sed ne peccetur” yang

memiliki arti bahwa tidak seorang normal pun dipidana karena telah

35
Ibid. Hal. 12.
36
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.Cit. Hal. 16.
18

melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan

jahat.37

Berbeda dengan ciri pokok atau karakteristik yang ada pada teori

absolut, Karl. O. Christiansen mengemukakan teori relatif sebagai berikut

ini :38

1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);


2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat
untuk adanya pidana;
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
5. Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung
unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan
tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Pellegegrino Rossi (1787-1848) adalah penulis pertama yang

mengajukan teori penggabungan (integrative). Sekalipun ia tetap

menganggap pembalasan merupakan asas dari pidana dan bahwa beratnya

penjatuhan pidana tidak boeh melebihi penderitaan yang diciptakan atas

kejahatan yang telah terpidana lakukan, namun di sisi lain dia berpendirian

bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh, salah satunya adalah

perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.39

37
Ibid.
38
Ibid. Hal. 17.
39
Ibid. Hal 19.
19

Menurut teori ini, dalam konsepsi pemidanaan diperlukan adanya

pemilahan antara tahap-tahap pemidanaan yang berbeda-beda. Misalnya,

pada ancaman pidana di dalam Undang-Undang, proses penuntutan, proses

peradilan, serta pelaksanaan pidana. Dalam setiap tahap diperlukan adanya

asas-asas tertentu yang dikhususkan. Jaksa di dalam mengemukakan

tuntutan pidana (rekuisitor), misalnya dalam tindak pidana berkategori

beratdapat mengutamakan unsur pembalasan dan prevensi umum. Kemudian

pada tahap pelaksanaan pidana, harus memperhatikan prevensi khusus, yaitu

aspek resosialisasi terpidana. Berbeda dengan pemidanaan terhadap tindak

pidana berkategori ringan, tujuan pidana lebih difokuskan pada pribadi si

pelaku untuk di resosialisasi. Pada pelaksanaan denda prevensi khusus

dianggap kurang berarti, tetapi justru sanksi alternative mempunyai peran

yang sangat besar.40 Uraian Van Dijk et all tersebut sesuai dengan pendapat

Made Sadhi Astuti, bahwa teori gabungandibagi menjadi 3 (tiga) golongan,

yaitu sebagai berikut :41

a) Teori Gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, tetapi


pembalasan tersebut tidak boleh melampaui batas dan cukup
untuk mempertahankan tata tertib;
b) Toeri Gabungan yang menitikberatkan pada upaya
mempertahankan tata tertib masyarakat. Menurut teori ini tujuan
pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib masyarakat,
namun penderitaan yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat
daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana;

40
J. J. M. van Dijk, H. I. Sagel Grande, L. G. Toornvliet. 1997. Actuele Crimminologic.
Soemitro (Penerjemah). Surakarta. Universitas Sebelas Maret Press. Hal. 226
41
Madhe Sathi Astuti. 1997. Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana. Malang. IKIP
Malang. Hal. 224.
20

c) Teori Gabungan yang menganggap bahwa pidana memenuhi


keharusan pembalasan dan keharusan melindungi masyarakat,
memberikan titik berat yang sama antara pembalasan dengan
perlindungan masyarakat. Tujuan pidana bertalian erat dengan
jenis kejahatan yang dilakukan dan nilai-nilai budaya bangsa
yang bersangkutan.
Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan

lebih lanjut atas aliran modern yang dicetuskan oleh Fillipo Gramatica.

Tujuan utama dari teori ini adalah untuk mengintegrasikan setiap individu

ke dalam tertib sosial dan bukan menitikberatkan terhadap pemidanaan atas

kejahatannya. Teori ini mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban

pidana agar dapat digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan

anti sosial, yaitu adanya peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan

kebutuhan untuk kehidupan bersama, akan tetapi sesuai dengan pendapat

dan kehendak masyarakat pada umumnya.42

Kemudian jika berbicara tentang tujuan pemidanaan, berikut ini

dikemukakan pendapat para sarjana, diantaranya yaitu :

1. John Kaplan

Disamping telah mengemukakan adanya empat teori


mengenai dasar-dasar pembenaran pidana (yaitu teori
Retribution, Detterrence, Incapacitation dan Rehabilitation), John
Kaplan mengemukakan pula adanya dasar-dasar pembenaran
pidana yang lain, yaitu :
a. Untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds);
b. Adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational
effect);

42
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.Cit. Hal. 12.
21

c. Mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace


keeping function).43

2. Emile Durkheim

Fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan


kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau
diguncangkan oleh adanya kejahatan (the function of punishment
is to create a possibility for the release of emotions that are
aroused by the crime).44

Sehubungan dengan pengkajian terhadap tujuan pemidanaan di

Indonesia, perlu diuraikan tentang kententuan Undang-Undang No.12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Rancangan Undang-Undang

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Indonesia

Tahun 2007. Bahwa menurut sejarah, sejak tahun 1963 di Indonesia

dikenal istilah sitem pemasyarakatan. Sistem tersebut adalah sebagai

pengganti sistem pemenjaraan yang sebelumnya telah dianut oleh Negara

Republik Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Sebagaimana telah

dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, bahwa pengertian pemasyarakatan adalah

kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Bianaan Pemasyarakatan

berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan merupakan bagian

akhir dari sistem pemidanaan dalam tata

43
Ibid. Hal.20.
44
Ibid.
22

tata peradilan pidana.45

Kemudian dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No.12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan diuraikan sebagai berikut :46

Narapidana bukan saja objek melainkan juga sebagai subjek yang


tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu melakukan
kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenai pidana, sehingga tidak
harus diberantas. Yang harus diberantas adalah factor factor yang
dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban- kewajiban sosial
lain yang dapat dikenakan pidana.

Berdasarlan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

konsep pemasyarakatan di Indonesia didasarkan pada teori gabungan,

yang secara sekaligus memuat unsur penderitaan, pembinaan, dan upaya

menertibkan kehidupan masyarakat. Dapat dilihat bahwa kehidupan

narapidana di dalam LAPAS dibatasi sehingga mereka merasakan

penderitaannya karena kemerdekaannya dirampas. Kemudian di dalam

LAPAS mereka mendapatkan pembinaan untuk kemudian dapat hidup

kembali di tengah kehidupan masyarakat sebagai sujek yang baru dan

sehat.47

Pada awalnya, pembinaan narapidana dengan sistem

pemasyarakatan ada karena melihat bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai

lagi dengan perkembangan nilai-nilai yang tumbuh di

45
Widodo. 2009. Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime. Yogyakarta. Laksbang
Mediatama. Hal. 78.
46
Ibid.
47
Ibid.
23

masyarakat. Pemidanaan yang murni menggunakan sistem kepenjaraan

dianggap tidak akan berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan48,

sebagaimana tercantum dalam Bagian Ke Satu Paragraf 1 Pasal 55 yang

mengatur tentang tujuan pemidanaan, yaitu :49

(1) Pemidanaan Bertujuan :


a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.

b. Pembinaan Narapidana
Setelah Sahardjo mengemukakan pembaharuan terhadap sistem

kepenjaraan untuk diubah menjadi sistem pemasyarakatan pada tahun 1964

yang dibahas dalam Konferensi Kepenjaraan di Lembang Bandung, maka

sejak saat itu perlakuan terhadap narapidana di Negara Indonesia mulai

diubah. Maka tujuan pembinaan yang semula untuk membuat mereka yang

menjadi narapidana agar menjadi jera, kini tujuan itu diubah agar narapidana

dibina untuk kemudian dimasyarakatkan atau dengan kata lain dapat kembali

menjalani hidup di lingkungan masyarakat sebagaimana sebelum mereka

melakukan kejahatan dan menjadi narapidana. Sebutan

48
Sri Wulandari. Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Terhadap Tujuan Pemidanaan. Jurnal Ilmiah. Universitas Tujuh Belas Agustus. Semarang. Hal. 10.
49
Widodo. Op.Cit. Hal.79.
24

bagi penjara kemudian diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam

beberapa hal perlakuan terhadap narapidana memang lebih manusiawi,

narapidana tidak lagi dianggap sebagai obyek, melainkan sebagai subyek

pembinaan.

Kemudian gagasan Sahardjo dirumuskan kedalam 10 (sepuluh)

prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana, yang kemudian dikenal

dengan Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan, yaitu sebagai berikut ini :50

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan


kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan
berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari
Negara.
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan
dngan bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk
atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus
dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat
mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan
lembaga atau Negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus
ditujukan untuk pembangunan Negara.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai
manusia meskipun ia tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada
narapidana bahwa ia itu penjahat.
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.
10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

50
C.I. Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta. Djambatan. Hal. 2.
25

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem, yang mana dalam

sebuah sistem terdapat komponen-komponen yang saling berakaitan di

dalamnya. Pemasyarakatan dinilai sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut melalui

pendidikan rehabilitasi dan reintegrasi narapidana.51 Orientasi pelaksanaan

pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dimaksudkan

untuk memberikan bekal dan membentuk sikap mental terpidana agar tidak

mengulangi tindak pidananya, menginsafi kesalahannya, memperbaiki diri

dan menjadi insan yang berbudi luhur. Maka dalam pelaksanaan sistem

pembinaan tersebut memerlukan keterpaduan antara komponen-konponen

penting yang ada dalam proses pembinaan narapidana,52 terdapat setidaknya

ada empat komponen penting yang ada dalam pembinaan narapidana,

yaitu:53

1. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri.


2. Keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat.
3. Masyarakat, adalah orang-orang yang berada di sekeliling narapidana
pada saat masih diluar lembaga pemasyarakatan, dapat masyarakat
biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat.
4. Petugas, dapat berupa petugas Kepolisian, pengacara, petugas
keagamaan, petugas sosial, petugas lembaga pemasyarakatan, BAPAS,
Hakim Wasmat dan lain-lain.

51
Sri Wulandari. Op.Cit. Hal. 2.
52
Ibid.
53
CI. Harsono. Op. cit. Hal. 51
26

Keempat proses di atas dianggap sebagai komponen paling penting

dalam proses menjalankan sistem pembinaan narapidana karena keempat

komponen tersebut adalah komponen terdekat yang ada di dalam sistem

pembinaan narapidana itu sendiri.

Secara singkat kemudian dijelaskan sebagai berikut ini. Bahwa

proses pembinaan narapidana harus berangkat dari diri narapidana sendiri,

dengan maksud bahwa keinginan untuk menjalani proses pembinaan harus

berangkat dalam diri narapidana. Kemudian selain itu, keluarga merupakan

bagian aktif yang berperan dalam sistem pembinaan narapidana. keluarga

diaharapkan dapat ikut membina narapidana karena keluarga adalah bagian

terdekat yang ada dalam diri narapidana. Kemudian masyarakat sebagai

bagian dari diri narapidana dahulu tinggal, merupakan bagian yang sama

kedudukannya dengan keluarga. Masyarakat diharapkan dapat ikut membina

narapidana dengan cara tidak mengasingkan narapidana dan menganggap

bahwa narapidana adalah seseorang yang jahat. Serta peran petugas

pemasyarakatan, pemerintahan dan kelompok masyarakat dianggap sebagai

bagian terpenting dalam penentuan keberhasilan pembinaan narapidana,

karena komponen yang terakhir inilah yang ikut serta melakukan pembinaan

terhadap narapidana.54

54
Ibid. Hal. 52-78.
27

Kemudian berbicara tentang tujuan pembinaan adalah

pemasyarakatan, yang kemudian dapat dibagi dalam tiga hal yaitu:55

1. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan


tindak pidana.
2. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam
membangun bangsa dan negaranya.
3. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Prinsip yang diatas dianggap adalah prinsip yang paling mendasar

dalam membina narapidana, dinamakan prinsip dasar pembinaan

narapidana.56

Dengan diterapkannya sistem pemasyarakatan maka diharapkan

dapat terjadi proses perubahan dalam diri narapidana yang mengarah kepada

kehidupan yang positif setelah beliau selesai menjalani pidananya untuk

tidak mengulangi kejahatan dan kembali menjalani proses pemidanaan.

Gagasan Sahardjo dianggap telah dilaksanakan dengan perangkat apa

adanya, dengan bentuk pembinaan seperti saat ini. Sekalipun gagasan itu

telah berjalan lebih dari seperempat abad, namun sampai saat ini belum ada

gagasan baru untuk merubah, menggantikan atau menambah peraturan atas

gagasan tersebut.

55
Sri Wulandari. Op.Cit.. Hal. 7.
56
Ibid.
28

D. Sistem Pembinaan Narapidana Dengan Pola Individual dalam Pasal 12

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Nilai-nilai sebagaimana terkandung dalam sistem pemasyarakatan

merupakan prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Konferensi Dinas

Direktrorat Pemasyarakatan pada tanggal 27 April 1964 di Lembang Jawa

Barat, yang telah menghasilkan sepuluh prinsip dasar pemasyarakatan.

Kesepuluh prinsip pemasyarakatan tersebut telah menunjukkan dasar nilai dan

pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat

dalam instrumen internasional tentang perlakuan terhadap narapidana,

sebagaimana termuat dalam peraturan-peraturan Standar Minimum Rules

(SMR) yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).57

Sistem pemasyarakatan dan peraturan Standar Minimum Rules (SMR)

bagi perlakuan terhadap narapidana menganut filosofi penghukuman yang

bersifat pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang menganggap pelaku

pelanggar hukum sebagai orang yang mengidap penyakit dan karenanya harus

disembuhkan dengan serangkaian pembinaan yang terstruktur.58 Dalam hal ini

hakikat pemasyarakatan telah sesuai dengan falsafah pemidanaan modern, yaitu

“treatment”. Treatment lebih menguntungkan bagi penyembuhan

57
Adrianus Meliala, dkk. 2005. Restorative Justice System. Artikel. FISIP Universitas
Indonesia. Hal. 1.
58
Ibid. Hal. 4.
29

penjahat, sehingga tujuan dari sanksi bukanlah menghukum, melainkan

memperlakukan atau membina pelaku kejahatan.59

Pengertian pembinaan (treatment) harus dibedakan dengan pengertian

gerakan kemanusiaan (humanitarianism), misalnya seperti perlakuan dengan

cara memberi makan yang lebih banyak, pelayanan kesehatan yang lebih

memadai, pelatihan kemandirian yang lebih terstruktural artinya sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai, pendekatan secara emosional terhadap narapidana,

dan sebagainya.60

Treatment merupakan upaya yang secara spesifik direncanakan untuk

melakukan perbaikan karakteristik psikologi seseorang. Dilain hal harus

dibedakan pula dengan rehabilitasi yang nampak dalam bentuk latihan

vokasional, rekreasi, kegiatan keagamaan, cuti bersyarat yang sifatnya hanya

sebagai suatu hal yang membantu proses pembinaan, sebab hal ini tidak

berkaitan langsung dengan persoalan pelaku.61

Melalui sistem pemasyarakatan ini pembinaan yang dilakukan kepada

narapidana dinilai lebih bersifat manusiawi dengan tetap menjunjung tinggi

harkat dan martabat mereka sebagai seorang manusia. Perlakuan ini

dimaksudkan untuk menempatkan narapidana sebagai seorang subjek di

59
Romli Atmasasmita. 2005. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung. Refika
Aditama. Hal. 11.
60
Muladi. 1995. Pencegahan dan Pembinaan Residivis dan Prespektif Sistem Peradilan
Pidana. Semarang. Universitas Diponegoro. Hal. 89.
61
Ibid. Hal. 90.
30

dalam proses pembinaan dengan tujuan akhirnya adalah untuk mengembalikan

narapidana ke tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna

(resosialisasi). Resosialisasi merupakan salah satu tujuan dari pola individual

yang lahir dari pemikiran mashab modern, yang kemudian diatur dalam

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995. Pola individual ini diatur dalam Pasal 12

yang berbunyi :

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan


penggolongan atas dasar:
a. Umur
b. Jenis kalamin
c. Lama pidana yang dijatuhkan
d. Jenis kejahatan, dan
e. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.
(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS
Wanita.

Adapun penggolongan narapidana sebagaimana yang tercantum dalam

Pasal 12 tersebut perlu untuk dilaksanakan, mengingat dampaknya dalam

berbagai segi baik dilihat dari segi keamanan dan pembinaan serta menjaga

pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya.

Adapun penggolongan narapidana sebagaimana yang tercantum dalam

Pasal 12 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 dinilai sangat perlu, baik dilihat

dari segi keamanan dan pembinaan serta menjaga pengaruh negatif yang dapat
31

berpengaruh terhadap narapidana lainnya. Berdasarkan penggolongan umur,

dimaksudkan penempatan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan

hendaknya dikelompokkan sesuai dengan usianya tidak jauh berbeda, misalnya

Lembaga Pemasyarakatan Anak (yang selanjutnya disebut sebagai : Lapas

Anak). Sedangkan penggolongan berdasarkan jenis kelamin dimaksudkan

penetapan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan seharusnya

dipisahkan antara lapas laki-laki dan lapas wanita.

Kemudian diatur lebih lanjut, sehubungan dengan adanya klasifikasi

berdasarkan jenis kelamin, dalam Standard Minimum Rules of The Treatment

of Offender ditentukan, bahwa: “Pria dan wanita sejauh mungkin harus ditahan

di lembaga-lembaga terpisah dalam suatu lembaga yang menerima bukan saja

pria tetapi juga wanita keseluruhan gedung yang dialokasikan untuk wanita

harus sama sekali terpisah”.62

Maka dengan melihat dan melakukan pembinaan dari segi lamanya

pidana, sehingga diharapkan pembinaan yang dilakukan dapat memberikan

program yang sesuai dengan lama pidana yang dijalani oleh narapidana

tersebut. Dalam pelaksanaannya di dalam LAPAS, pembinaan yang diberikan

terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut sebagai : WBP)

berdasarkan segi lamanya pidana dirasa kurang maksimum. Dikarenakan

keterbatasan daya tampung LAPAS yang hampir merata diseluruh Indonesia.

Hal ini berdampak pada control yang sudah mulai sulit dilakukan mengingat

62
Lihat Pasal 8, dalam Standard Minimum Rules (SMR). Tentang Hak-Hak Narapidana.
32

sangat terbatasnya jumlah petugas, sebagaimana dijelaskam oleh Adi Suyatno,

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia, bahwa jumlah petugas tidak sebanding dengan

jumlah narapidana atau tahanan saat ini. Di Indonesia, jumlah petugas saat ini

adalah hanya 23.015 orang. Bahkan dalam beberapa LAPAS atau Rumah

Tahanan (selanjutnya disebut dengan : RUTAN), seorang petugas dapat

mengawasi 80 narapidana, hal ini dinilai dangat memprihatinkan.63

Jenis kejahatan juga merupakan salah satu karakteristik dalam

pembinaan narapidana. Untuk itu di dalam melakukan pembinaan terhadap

narapidana haruslah dipisah-pisahkan berdasarkan jenis kejahatannya, seperti

narkotika, pencurian, penipuan, penggelapan, pembunuhan dan lain-lain. Hal

ini dilakukan untuk menghilangkan prisonisasi.64 Sebagaimana dikemukakan

oleh Djisman Samosir, memang harus diakui bahwa di dalam penjara terjadi

prisonisasi atas narapidana, artinya narapidana itu tepengaruh oleh nilai-nilai

yang hidup di penjara seperti kebiasaan-kebiasaan dan budaya di penjara

tersebut.65 Selanjutnya Tongat mengatakan upaya ini dilakukan atas

pertimbangan untuk memperkecil kemungkinan komunikasi antara penjahat

kelas kakap dengan para penjahat semula.9 Adapun tujuannya mencegah agar

63
“Penjara Kebihan Penghuni”. Harian Kompas, Sabtu tanggal 21 Desember 2012. Dalam
Widodo. Op.Cit. Hal.17.
64
Prisonitation (Prisonisasi) adalah istilah yang digunakan oleh TP. Morris dalam bukunya
yang berjudul “Pentoville” (1963) untuk menggambarkan tingkah laku nyata narapidana yang bertujuan
untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara namun sebenarnya mereka menolak untuk mentaati
aturan.
65
Suwarto, Jurnal Equality. 2007. Vol. 12 No. 2. Ide Indivudualisasi Pidana Dalam Pembinaan
Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan.
33

tidak terjadi pemaksaan maupun pengaruh antara narapidana yang satu dan

narapidana lainnya, maupun bentuk pemerasan terlebih-lebih prisonisasi.

Untuk itu maka narapidana ditempatkan dalam ruangan yang berbeda-beda

sesuai dengan jenis kejahatan yang mereka lakukan. Berdasarkan jenis

kejahatan ini maka seharusnya dilakukan pembinaan yang sesuai dengan

narapidana agar dapat mengembalikan narapidana menjadi manusia yang baik

dan berguna.66

Sedangkan untuk apa yang dimaksud dengan kriteria lainnya sesuai

dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan, seperti misalnya

disesuaikan dengan jenis kejahatan, kewargaan negara, dan tahap

pembinaan narapidana yang bersangkutan.

Jika dilihat idealnya dari Pasal 12 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan ini, maka narapidana ditempatkan dan dibina

berdasarkan karakteristiknya sebagaimana telah dijelaskan di atas, sehingga

tujuan pembinaan dapat tercapai dengan baik. Namun, dalam pelaksanaanya

dapat dilihat ketidaksesuaian pelaksanaan dengan isi Pasal 12 sebagaimana

yang tercantum dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 (selanjutnya

disebut : UU No. 12/1995) tersebut, karena jumlah narapidana yang melebihi

kapasitas sehingga penempatan narapidana berdasarkan umur, jenis kejahatan,

dan lamanya pidana tidak dapat terwujud. Demikian juga dalam hal pembinaan

narapidana, tidak dipisah-pisahkan antara narapidana narkotika

66
Rahmat Hi. Abdullah. Op.Cit. Hal. 55.
34

dengan narapidana pencurian maupun yang lainnya, sehingga bentuk dan cara

pembinaannya sama untuk seluruh narapidana.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak terlepas juga dari kualitas dan

kuantitas petugas, peran serta masyarakat / pihak swasta, dan kerjasama dengan

lembaga swadaya masyarakat sebagaimana dikemukakan diatas mengenai

unsur-unsur yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan pada

Lembaga Pemasyarakatan.67

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pemisahan narapidana

berdasarkan jenis kejahatannya, dilakukan untuk menghindari adanya pengaruh

prisonisasi terhadap narapidana. Sehubungan dengan itu Clemmer

mengemukakan beberapa ciri prisonisasi:68

a. Special Vocubulary, adanya sejumlah kata atau istilah “khusus” yang


digunakan dalam berkomunikasi lahirnya istilah “khusus” di atas
disebabkan adanya proses belajar dalam pertukaran kata dari sesama
narapidana ataupun mengkombinasikan beberapa kata agar tidak
diketahui oleh orang luar.
b. Social Etrafication, adanya perbedaan latar belakang kehidupan
narapidana dan jenis kejahatan yang dilakukan mengakibatkan
munculnya stratifikasi yang dapat dibedakan menjadi kelompok elit,
kelompok menengah, kelompok narapidana yang terbelakang.
c. Primary group, adanya kelompok utama yang anggotanya terdiri dari
beberapa orang narapidana saja, terutama bagi narapidana yang lebih
mengutamakan tindak kriminal.

67
Suwarto. Op.Cit. Hal. 167.
68
Donald Clemmer. 1970. “Prisonization” dalam the Socioloty of Punishment & Correction,
Edited by Norman Jahnston. Jhon Wrlyandsons. Inc New York. Hal. 479.
35

d. Leadership, adanya seorang pemimpin dalam kelompok utama yang


berfungsi sebagai mediator dalam berhubungan dengan kelompok
lainnya yang lebih besar.

Dari pengertian dan ciri-ciri prisonisasi diatas, maka dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa dengan adanya prisonisasi dapat menimbulkan “ketakutan”

pada staf pemasyarakatan bahwa hal itu berpotensi untuk melemahkan wibawa

petugas dan prisonisasi itu sendiri dapat berakibat pada terganggunya proses

pembinaan. Dapat dikatakan demikian, karena narapidana lebih cenderung taat

atau patuh kepada narapidana yang menjadi “pimpinan”, sehingga kewajiban

narapidana untuk mematuhi aturan Lembaga Pemasyarakatan tidak ditaati.

Demikian pula ketenteraman dan ketenangan di dalam proses pembinaan lebih

ditentukan oleh “pimpinan” atau kelompok tertentu. Di samping itu prisonisasi

cenderung menyebabkan narapidana tertentu menjadi tertekan, hal ini dapat

menjadi pemicu kerusuhan di dalam lembaga pemasyarakatan.69

Hal ini juga dipertegas dalam konferensi Dinas Direktorat

Pemasyarakatan yang pertama pada tahun 1964, yang kemudian menentukan

konsep hukum dan fungsi penjara yang berorientasikan kepada pembinaan bagi

pelaku tindak pidana, yang mana ditegaskan dalam konsep ke-4 (empat) yang

mengatakan bahwa negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau

lebih jahat. Untuk itulah maka pola individual sebagaimana telah

69
Suwarto. Op.Cit. Hal. 168.
36

tercantum dalam Pasal 12 UU No. 12/1995 patut untuk diterapkan dalam

pembinaan narapidana. Bila hal ini diabaikan, maka hak- hak narapidana

menjadi tertindas, sedangkan prinsip pola individual jelas untuk melindungi

hak-hak narapidana menjadi tidak maksimal dalam pelaksanaannya.

Kemudian menganai maksud kriteria lainnya, sebagaimana tercantum

dalam Pasal 12 UU No. 12/1995 butir e, yakni sesuai dengan kebutuhan atau

perkembangan pembinaan, misalnya disesuaikan dengan jenis kejahatan,

kewargaan negara, dan tahap pembinaan narapidana yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa pembinaan narapidana wanita

di LAPAS dilaksanakan di LAPAS wanita. Hal ini dimaksudkan agar tidak

terjadi percampuran antara narapidana laki-laki dengan narapidana wanita yang

dapat menimbulkan dampak negatif bagi narapidana. Namun berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Suwarto dalam disertasinya, di daerah lain

masih terdapat lembaga pemasyarakatan campuran, seperti lembaga

pemasyarakatan Tebingtinggi dan lembaga pemasyarakatan Siantar, walaupun

jumlah narapidana wanitanya sedikit namun tetap saja dikatakan campuran.70

Sehubungan dengan terlindunginya hak-hak narapidana, hal ini

tercantum di dalam Pasal 14 UU No. 12/1995, hak-hak tersebut adalah :

a. Hak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

70
Suwarto. Op.Cit. Hal. 170.
37

b. Hak mendapat perawatan rohani maupun jasmani;


c. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. Hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. Hak menyampaikan keluhan;
f. Hak mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang
tidak dilarang;
g. Hak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaannya;
h. Hak memperoleh kunjungan oleh keluarga, pengacara, orang-orang
tertentu.
i. Hak mendapatkan remisi;
j. Hak mendapatkan cuti, kunjungan keluarga atau untuk berasimilasi;
k. Hak mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. Hak mendapatkan cuti menjelang bebas;
m. Hak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan hak-hak narapidana

tersebut maka pemerintah menetapkan beberapa peraturan, yaitu :71

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
3. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 03-PK.0402 Tahun 1991
tentang Cuti Mengunjungi Keluarga bagi narapidana.
4. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01-PK. 04.01 Tahun 1999
tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

71
Suwarto. Op.Cit. Hal. 169
38

Bahwa narapidana tetap berkedudukan sebagai warga Negara, maka

perlindungan terhadap hak-hak narapidana tetap menjadi bagian penting,

karena pada intinya adalah pengakuan dan penghormatan atas hak-hak asasi

manusia agar negara dalam pelaksanaan sanksi pidananya tidak merampas

seluruh hak-hak asasi dari warga negara yang terpidana.72

Sebagaimana yang tercantum dalam PP No. 32 /1999 Pasal 26 ayat (3),

bahwa setiap Narapidana berhak menyampaikan keluhan yang dirasa dapat

menganggu hak-hak asasi narapidana sebagai seorang manusia. Mengenai tata

cara penyampaian keluhan kemudian diatur lebih lanjut dalam pasal yang sama

ayat (3) dan dalam ayat (4) diatur dalam Keputusan Menteri.

Kemudian dalam PP No. 32 /1999 Pasal 1 ayat (7) tantang hak-hak

narapidana mengenai pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan

Narapidana di luar Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan setelah

menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya dengan

ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.

Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan

Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi,

Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah :

72
Adnan Buyung Nasution. 1993. Perspektif HAM Dalam Pembinaan Terpidana dan
Narapidana (Beberapa Pokok Pikiran), Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pemasyarakatan
Terpidana II. Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 3-4. Dalam Suwarto, Op.Cit. Hal.
169.
39

Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas adalah proses


pembinaan Narapidana di luar Rumah Tahanan atau Lembaga
Pemasyarakatan, berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP serta
Pasal 14, Pasal 22 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan.
Lebih lanjut ketentuan mengenai pemberian pembebasan bersyarat ini

diatur dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun

2012 tentang perubahan kedua atas PP No. 32/1999 tentang Syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut

sebagai : PP No. 99 Tahun 2012). Dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 9 PP

No.99/2012, menyebutkan bahwa:

Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


Pasal 43
1) Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak
Sipil, berhak mendapatkan Pembebasan Bersyarat;
2) Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per
tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut
tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan;
b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-
kurangnya 9 (Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum
tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana;
c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan
bersemangat; dan
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan
Narapidana.
3) Pembebasan Bersyarat bagi anak Negara diberikan setelah menjalani
pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
40

4) Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan


menteri;
5) Pembebasan Bersyarat dicabut jika Narapidana atau Anak Didik
Pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
6) Ketentuan mengenai pencabutan Pembebasan Bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan
Menteri;

Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal

43A dan Pasal 43B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43A
1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana
karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan precursor
narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan
Negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pasal 43 ayat (2) juga harus
memenuhi persyaratan:
a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b) telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa
pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut
paling sedikit 9 (Sembilan) bulan;
c) telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa
masa pidana yang wajib dijalani; dan
d) telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
1. kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi Naarapidana Warga Negara Indonesia, atau
2. tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme
secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang
dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
41

2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika


dan precursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum
sesuai dengan ketentuan peratuaran perundang-undangan;

Pasal 43B

1) Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat


(1) diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari
Direktur Jenderal Pemasyarakatan;
2) Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan
kepentingan keagamaan, ketertiban umum, dan rasa keadilan
masyarakat;
3) Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meminta rekomendasi
dari instansi terkait, yakni:
a. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal
Narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme,
kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi
manusia yang berat dan/atau kejahatan transnasional terorganisasi
lainnya;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika
Nasional, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana
dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan precursor
narkotika, psikotropika; dan
c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung,
dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana
dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.
4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
secara tertulis oleh instansi terkait dalam jangka waktu paling lama
12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi
dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan;
42

5) Dalam hal batas waktu sebagai mana dimaksud pasal (4) instansi
terkait tidak menyampaikan rekomendasi secara tertulis, Direktur
Jenderal Pemasyarakatan menyampaikan pertimbangan Pembebasan
Bersyarat kepada Menteri;
6) Ketentuan mengenai tata cara pemberian Pembebasan Bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.

Mengenai syarat pemberian remisi yang diatur dalam PP No. 32/1999

Pasal 34 ayat (2) yang kemudian diubah dalam PP No. 28 tahun 2006 tentang

perubahan atas PP No. 32/1999 (selanjuya disebut dengan : PP No. 28/2006)

yaitu ketentuan dalam Pasal 34 mengalami perubahan antara lain, pada ayat

(2) mengenai syarat pemberian remisi. Yang kemudian juga mengalami

perubahan dalam PP No. 99/2012 tentang perubahan kedua atas PP

No.32/1999, yaitu dicantumkan dalam Pasal 34A, 34B dan 34C.

Demikian juga halnya tentang asimilasi yang diatur dalam PP No.

32/1999 Pasal 37, yang kemudian mengalami perubahan dalam PP No.

28/2006, Pasal 36 tentang asimilasi ayat (2). Lebih lanjut kemudian mengalami

perubahan dalam PP No. 99/2012, yaitu dalam pasal 36, penambahan pasal 36A

dan 38A, dan perubahan pada pasal 39.

Mengenai cuti mengunjungi keluarga, dalam PP No. 32/1999 diatur

dalam Pasal 42 dan cuti menjelang bebas diatur dalam Pasal 49. Dalam PP No.

28/2006 mengenai cuti mengunjungi keluarga di atur dalam Pasal 41 dan cuti

menjelang bebas dalam Pasal 42 A. Mengenai cuti mengujungi keluarga


43

dan cuti menjelang bebas tidak mengalami perubahan maupun penambahan

pasal dalam PP 99/2012.

Upaya melindungi hak-hak narapidana selama berlangsungnya proses

pemasyarakatan diikuti dengan memberikan pekerjaan kepada narapidana, hal

ini merupakan upaya yang dilakukan untuk memberikan motivasi kepada

narapidana agar mempunyai semangat hidup kembali di dalam lingkungan

masyarakat dengan bekal yang diberikan di dalam lembaga pemasyarakatan

dalam proses pembinaan. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana

merupakan wujud dari prinsip pemasyarakatan yang mengatakan bahwa

pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak hanya bersifat mengisi

waktu, namun juga diharapkan menjadi wujud upaya yang dilakukan oleh

lembaga pemasyarakatan dalam mewujudkan sistem pemasyarakatan yang

berbeda dari sistem kepenjaraan dengan ciri khas nya yaitu kerja paksa. Prinsip

ini terlihat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g. UU No. 12/1995, yang mengatakan

narapidana berhak atas pekerjaan, dan untuk itu narapidana menerima upah atau

premi.

Sifat pemberian pekerjaan bagi narapidana adalah pembinaan dengan

melatih bekerja bagi narapidana, agar bila keluar dari lembaga pemasyarakatan

dapat menerapkan kepandaiannya sebagai bekal hidupnya dan tidak lagi

melakukan tindak pidana.73 Dalam hal ini, pekerjaan itu

73
C.I. Harsono, Op. cit. hal. 22.
44

ditujukan untuk pendidikan, di mana banyak dilakukan percobaan, hasil

produksi tidak diharapkan, pekerjaan dipilih berdasarkan minat, kemampuan

terpidana itu sendiri.74

Oleh karena itu kepada narapidana harus diberikan pendidikan agama

dan diberi kesempatan kepadanya untuk melaksanakan ibadahnya. Kepada

narapidana harus ditanamkan rasa persatuan, rasa kebangsaan Indonesia, harus

ditanamkan jiwa bermusyawarah agar bermanfaat ke arah yang positif.

Narapidana harus diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan untuk kepentingan

bersama dan kepentingan umum.75

Di dalam prinsip pemasyarakatan hal itu ditegaskan melalui prinsip

pemasyarakatan yang mengatakan bahwa setiap orang adalah manusia dan

harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Prinsip ini

secara jelas terdapat di dalam Pasal 5, Pasal 12 dan Pasal 14 UU No. 12/1995.

Prinsip pemasyarakatan ini sekaligus menghindari stigma masyarakat bahwa

narapidana adalah seorang penjahat, serta menjadi pedoman bagi petugas dalam

melakukan proses pemasyarakatan.76

Sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana, lembaga

pemasyarakatan berfungsi melakukan pencegahan dan penanggulangan

74
Sanusi Has. 1977. Dasar-dasar Penologi. Medan. Monora. Hal. 100.
75
Saroso. 1976. Pemasyarakatan, dalam Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan.
Bandung. Binacipta. Hal. 63.
76
Suwarto. Op.Cit. Hal. 176.
45

kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan

alat penguasa dengan tujuan agar setiap anggota masyarakat yang mempunyai

perilaku menyimpang dapat dibina, sehingga tercapai hidup secara normal di

masyarakat.77

Untuk itu di dalam melakukan pembinaan narapidana berdasarkan pola

individual sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 UU No. 12/1995 harus

dilaksanakan dengan seksama sehingga tujuan pemasyarakatan dapat tercapai.

77
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai