disebut dengan : KUHP) dari banyak Negara, jenis pidana ini tergolong ke
menguasai beberapa bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu
hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi orang Pribumi dengan
batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan azas keseimbangan di dalam
penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang masih
1
Roeslan Saleh. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan. Jakarta.
Aksara Baru. Hal. 25.
2
Sudarto. 1981. Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta
Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Hal. 25
3
Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya Paramita.
Hal. 77.
2
dia mencoba untuk memperbaiki keadaan buruk pada masa lalu dan
memerintahkan agar di tiap- tiap tempat yang ada pengadilannya didirikan bui.
Pada tahun 1919 pemerintah Belanda mengulangi apa yang telah dilakukan oleh
dalam lembaran negara (Staablad 1871 No. 78/ Tuchtreglement van 1871).
4
Ibid. Hal. 76-83.
3
yang ada dalam penjara dan dibagi dalam beberapa bagian menurut
perempuan, tindak pidana berat dan ringan dan lain sebagainya. Kepala
penjara dilarang memasukkan atau mengurung orang jika tidak ada alasan
yang sah.5
baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat
Staatblad 1871 No. 78 mendapat sedikit perubahan. Dalam jangka waktu 1905
untuk 700 orang terpidana, merupakan gabungan Huis van Bewaring (rumah
5
Suwarto. 2007. Disertasi Doktor: Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam
Pembinaan Narapidana Wanita. Medan. Universitas Sumatera Utara. Hal. 101-100.
6
Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta.
Kreasi Wacana. Hal. 139.
4
khusus.7
berupa sangkar negara yang dibuat dari jeruji besi dan tiap-tiap kerangkeng
untuk satu orang dengan maksud mencegah perbuatan cabul antara narapidana
khusus yaitu : (1) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk semua
7
Ibid.
8
Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta.
Kreasi Wacana. Hal. 140.
9
Ibid, hal. 141.
5
penjajahan Belanda, penuh dengan penderitaan yang kini masih terlihat pada
sedemikian rupa secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para
pelanggar hukum. Oleh karena itu namanya menjadi penjara, yaitu tempat
penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas
Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan rumusan
dari tujuan pidana penjara sebagai berikut: “Di samping menimbulkan rasa
10
Ibid, hal. 141 – 142.
11
Suwarto, Op.Cit. Hal. 103.
6
oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah tersesat, diayomi oleh
pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi seorang anggota
dengan salah seorang pemimpin di bidang pemasyarakatan yang telah ada sejak
khalikNya”.13
12
Djoko Prakoso. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta. Liberty. Hal.62
13
Sudarto, Op. cit, hal. 98; lihat juga Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem
Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan, Buku Kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994, hal. 148 yang mengatakan
bahwa Bapak Bachroedin Soerjobroto Seorang Pemikir dan Pelopor Ilmu Pemasyarakatan di Indonesia.
7
No. 12/1995).
14
Soedjono Dirdjosisworo. 1972. Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistem
Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana. Bandung. Alumni. Hal. 87.
8
rapat kerja terbatas Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga tahun 1976
Indonesia. Sesuai dengan tuntutan dari apa yang tercantum dalam sepuluh
15
Suwarto. Op.Cit. Hal. 106.
16
Ibid.
9
pembinaan yang teratur, dan disusun secara matang serta yang dilaksanakan
pemasyarakatan.17
pemasyarakatan ini berlaku untuk segala segi yang ada dalam proses pembinaan
suatu proses sejak seseorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga
17
Soegindo. 1984. Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Ditinjau Dari Segi Hukum, Agama
dan Psychologi. Majalah Pemasyarakatan No. 14. Hal. 15 – 17.
18
G. Suyanto. 1981. Seluk Beluk Pemasyarakatan. BPHN. Departemen Kehakiman
R.I.Hal.7.
19
Suwarto. Op.Cit. Hal. 108.
10
yaitu tahap maximum security sampai batas 1/3 dari masa pidana yang
dijatuhkan. Tahap kedua adalah medium security sampai batas ½ dari masa
pidana yang dijatuhkan. Tahap ketiga, minimum security sampai batas 2/3 dari
masa pidana yang dijatuhkan. Tahap keempat yaitu tahap integrasi dan
berkelakuan baik dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin. Tetapi apabila
ia berkelakuan tidak baik maka ia tidak akan dinaikkan ke tahap berikutnya atau
misalnya ia sudah berkelakuan baik dan naik pada tahap berikutnya, namun ia
khusus diperuntukkan bagi narapidana atau anak didik berdasarkan pada tahap-
20
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hal. 72-73.
11
atau untuk tahap medium security saja ataupun untuk tahap minimum security
untuk medium security dan blok C untuk tahap minimum security lembaga
Purpose”.22
No. 31/1999) dalam Pasal 7 ayat (2), bahwa pembinaan narapidana terdiri atas
a. Tahap awal
c. Tahap akhir.
21
Bachtiar Agus Salim. 1985. Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia. Disertasi
Doktor : Universitas Sumatera Utara. Hal. 188 – 189.
22
Ibid, Hal. 192.
12
merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang
sistem peradilan pidana sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari
dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu bersifat positif, apabila
bekas narapidana menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian
23
Suwarto. Op.Cit. Hal. 118
24
Irwan Petrus Panjaitan. 1992. Persepsi Bekas Narapidana Terhadap Pola Pembinaan
Narapidana Melalui Sistem Pemasyarakatan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Hal. 139 – 141.
25
Suwarto. Op.Cit. Hal. 126.
14
di antara ahli hukum pidana. Perlu diketahui bahwa terdapat gap antara apa
yang disebut dengan pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai
yang murni hukum (purely legal matter). Misalnya seperti J.D. Mabbot
hukum yang telah ditetapkan, bukan orang jahat. Dan seseorang yang “tidak
meskipun seseorang tersebut bisa jadi adalh seorang yang jahat dan telah
Artinya bahwa jika seseorang telah melanggar ketentuan hukum yang telah
26
Rudolph J. Gerber and Patrick D. Mc Anany. 1972. Contemporery Punishment : Views,
Explanations, and Justifications. Notre Dame. University of Notre Dame Press. Hal. 329-450. Lihat juga
dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Diskriminalisasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 73.
27
J.D. Mabbott. 1995. Punishment, Punishment and the Death Penalty: The Current Debate,
Robert M. Baird & Struart E. Rosenbaum (Ed.). New York. Brometheus Books. Hal. 19.
28
Ibid.
15
tidak peduli baik seseorang tersebut adalah oramg jahat atau tidak, orang
theorieen), menurut teori ini adalah bahwa pidana yang telah dijatuhkan
tindak pidana (quia peccatum est).31 Pidana merupakan hal yang harus
teori ini adalah adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut
Johannes Andreanes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori ini
29
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Op.Cit. Hal. 74.
30
Dwidja Priyatno. 2009. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung. PT.
Rafika Aditama. Hal.22.
31
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. PT.
Alumni. Hal. 10.
16
32
Ibid.
33
Ibid. Hal. 13-12.
34
Dwidja Priyanto. Op.Cit. Hal.26.
17
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi diamping itu teori ini
kehidupan masyarakat.36
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang
Rumawi: “Nemo pridens punit quia peccatum est, sed ne peccetur” yang
memiliki arti bahwa tidak seorang normal pun dipidana karena telah
35
Ibid. Hal. 12.
36
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.Cit. Hal. 16.
18
melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan
jahat.37
Berbeda dengan ciri pokok atau karakteristik yang ada pada teori
ini :38
kejahatan yang telah terpidana lakukan, namun di sisi lain dia berpendirian
37
Ibid.
38
Ibid. Hal. 17.
39
Ibid. Hal 19.
19
yang sangat besar.40 Uraian Van Dijk et all tersebut sesuai dengan pendapat
40
J. J. M. van Dijk, H. I. Sagel Grande, L. G. Toornvliet. 1997. Actuele Crimminologic.
Soemitro (Penerjemah). Surakarta. Universitas Sebelas Maret Press. Hal. 226
41
Madhe Sathi Astuti. 1997. Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana. Malang. IKIP
Malang. Hal. 224.
20
lebih lanjut atas aliran modern yang dicetuskan oleh Fillipo Gramatica.
Tujuan utama dari teori ini adalah untuk mengintegrasikan setiap individu
anti sosial, yaitu adanya peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan
1. John Kaplan
42
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Op.Cit. Hal. 12.
21
2. Emile Durkheim
43
Ibid. Hal.20.
44
Ibid.
22
sehat.47
45
Widodo. 2009. Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime. Yogyakarta. Laksbang
Mediatama. Hal. 78.
46
Ibid.
47
Ibid.
23
b. Pembinaan Narapidana
Setelah Sahardjo mengemukakan pembaharuan terhadap sistem
diubah. Maka tujuan pembinaan yang semula untuk membuat mereka yang
menjadi narapidana agar menjadi jera, kini tujuan itu diubah agar narapidana
dibina untuk kemudian dimasyarakatkan atau dengan kata lain dapat kembali
48
Sri Wulandari. Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Terhadap Tujuan Pemidanaan. Jurnal Ilmiah. Universitas Tujuh Belas Agustus. Semarang. Hal. 10.
49
Widodo. Op.Cit. Hal.79.
24
pembinaan.
50
C.I. Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta. Djambatan. Hal. 2.
25
untuk memberikan bekal dan membentuk sikap mental terpidana agar tidak
dan menjadi insan yang berbudi luhur. Maka dalam pelaksanaan sistem
yaitu:53
51
Sri Wulandari. Op.Cit. Hal. 2.
52
Ibid.
53
CI. Harsono. Op. cit. Hal. 51
26
bagian dari diri narapidana dahulu tinggal, merupakan bagian yang sama
karena komponen yang terakhir inilah yang ikut serta melakukan pembinaan
terhadap narapidana.54
54
Ibid. Hal. 52-78.
27
narapidana.56
dapat terjadi proses perubahan dalam diri narapidana yang mengarah kepada
adanya, dengan bentuk pembinaan seperti saat ini. Sekalipun gagasan itu
telah berjalan lebih dari seperempat abad, namun sampai saat ini belum ada
gagasan tersebut.
55
Sri Wulandari. Op.Cit.. Hal. 7.
56
Ibid.
28
pendekatan yang hampir sama dengan nilai dan pendekatan yang terdapat
pelanggar hukum sebagai orang yang mengidap penyakit dan karenanya harus
57
Adrianus Meliala, dkk. 2005. Restorative Justice System. Artikel. FISIP Universitas
Indonesia. Hal. 1.
58
Ibid. Hal. 4.
29
cara memberi makan yang lebih banyak, pelayanan kesehatan yang lebih
dan sebagainya.60
sebagai suatu hal yang membantu proses pembinaan, sebab hal ini tidak
59
Romli Atmasasmita. 2005. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung. Refika
Aditama. Hal. 11.
60
Muladi. 1995. Pencegahan dan Pembinaan Residivis dan Prespektif Sistem Peradilan
Pidana. Semarang. Universitas Diponegoro. Hal. 89.
61
Ibid. Hal. 90.
30
yang lahir dari pemikiran mashab modern, yang kemudian diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995. Pola individual ini diatur dalam Pasal 12
yang berbunyi :
berbagai segi baik dilihat dari segi keamanan dan pembinaan serta menjaga
dari segi keamanan dan pembinaan serta menjaga pengaruh negatif yang dapat
31
of Offender ditentukan, bahwa: “Pria dan wanita sejauh mungkin harus ditahan
pria tetapi juga wanita keseluruhan gedung yang dialokasikan untuk wanita
program yang sesuai dengan lama pidana yang dijalani oleh narapidana
Hal ini berdampak pada control yang sudah mulai sulit dilakukan mengingat
62
Lihat Pasal 8, dalam Standard Minimum Rules (SMR). Tentang Hak-Hak Narapidana.
32
jumlah narapidana atau tahanan saat ini. Di Indonesia, jumlah petugas saat ini
adalah hanya 23.015 orang. Bahkan dalam beberapa LAPAS atau Rumah
oleh Djisman Samosir, memang harus diakui bahwa di dalam penjara terjadi
kelas kakap dengan para penjahat semula.9 Adapun tujuannya mencegah agar
63
“Penjara Kebihan Penghuni”. Harian Kompas, Sabtu tanggal 21 Desember 2012. Dalam
Widodo. Op.Cit. Hal.17.
64
Prisonitation (Prisonisasi) adalah istilah yang digunakan oleh TP. Morris dalam bukunya
yang berjudul “Pentoville” (1963) untuk menggambarkan tingkah laku nyata narapidana yang bertujuan
untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara namun sebenarnya mereka menolak untuk mentaati
aturan.
65
Suwarto, Jurnal Equality. 2007. Vol. 12 No. 2. Ide Indivudualisasi Pidana Dalam Pembinaan
Narapidana Dengan Sistem Pemasyarakatan.
33
tidak terjadi pemaksaan maupun pengaruh antara narapidana yang satu dan
dan berguna.66
dan lamanya pidana tidak dapat terwujud. Demikian juga dalam hal pembinaan
66
Rahmat Hi. Abdullah. Op.Cit. Hal. 55.
34
dengan narapidana pencurian maupun yang lainnya, sehingga bentuk dan cara
Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak terlepas juga dari kualitas dan
kuantitas petugas, peran serta masyarakat / pihak swasta, dan kerjasama dengan
Lembaga Pemasyarakatan.67
67
Suwarto. Op.Cit. Hal. 167.
68
Donald Clemmer. 1970. “Prisonization” dalam the Socioloty of Punishment & Correction,
Edited by Norman Jahnston. Jhon Wrlyandsons. Inc New York. Hal. 479.
35
Dari pengertian dan ciri-ciri prisonisasi diatas, maka dapat ditarik suatu
pada staf pemasyarakatan bahwa hal itu berpotensi untuk melemahkan wibawa
petugas dan prisonisasi itu sendiri dapat berakibat pada terganggunya proses
konsep hukum dan fungsi penjara yang berorientasikan kepada pembinaan bagi
pelaku tindak pidana, yang mana ditegaskan dalam konsep ke-4 (empat) yang
mengatakan bahwa negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau
69
Suwarto. Op.Cit. Hal. 168.
36
pembinaan narapidana. Bila hal ini diabaikan, maka hak- hak narapidana
dalam Pasal 12 UU No. 12/1995 butir e, yakni sesuai dengan kebutuhan atau
70
Suwarto. Op.Cit. Hal. 170.
37
71
Suwarto. Op.Cit. Hal. 169
38
karena pada intinya adalah pengakuan dan penghormatan atas hak-hak asasi
cara penyampaian keluhan kemudian diatur lebih lanjut dalam pasal yang sama
ayat (3) dan dalam ayat (4) diatur dalam Keputusan Menteri.
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.
72
Adnan Buyung Nasution. 1993. Perspektif HAM Dalam Pembinaan Terpidana dan
Narapidana (Beberapa Pokok Pikiran), Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pemasyarakatan
Terpidana II. Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 3-4. Dalam Suwarto, Op.Cit. Hal.
169.
39
diatur dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun
2012 tentang perubahan kedua atas PP No. 32/1999 tentang Syarat dan Tata
Pasal 43A
1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana
karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan precursor
narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan
Negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pasal 43 ayat (2) juga harus
memenuhi persyaratan:
a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b) telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa
pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut
paling sedikit 9 (Sembilan) bulan;
c) telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa
masa pidana yang wajib dijalani; dan
d) telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang
menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:
1. kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi Naarapidana Warga Negara Indonesia, atau
2. tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme
secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang
dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
41
Pasal 43B
5) Dalam hal batas waktu sebagai mana dimaksud pasal (4) instansi
terkait tidak menyampaikan rekomendasi secara tertulis, Direktur
Jenderal Pemasyarakatan menyampaikan pertimbangan Pembebasan
Bersyarat kepada Menteri;
6) Ketentuan mengenai tata cara pemberian Pembebasan Bersyarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 34 ayat (2) yang kemudian diubah dalam PP No. 28 tahun 2006 tentang
yaitu ketentuan dalam Pasal 34 mengalami perubahan antara lain, pada ayat
28/2006, Pasal 36 tentang asimilasi ayat (2). Lebih lanjut kemudian mengalami
perubahan dalam PP No. 99/2012, yaitu dalam pasal 36, penambahan pasal 36A
dalam Pasal 42 dan cuti menjelang bebas diatur dalam Pasal 49. Dalam PP No.
28/2006 mengenai cuti mengunjungi keluarga di atur dalam Pasal 41 dan cuti
waktu, namun juga diharapkan menjadi wujud upaya yang dilakukan oleh
berbeda dari sistem kepenjaraan dengan ciri khas nya yaitu kerja paksa. Prinsip
ini terlihat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g. UU No. 12/1995, yang mengatakan
narapidana berhak atas pekerjaan, dan untuk itu narapidana menerima upah atau
premi.
melatih bekerja bagi narapidana, agar bila keluar dari lembaga pemasyarakatan
73
C.I. Harsono, Op. cit. hal. 22.
44
secara jelas terdapat di dalam Pasal 5, Pasal 12 dan Pasal 14 UU No. 12/1995.
narapidana adalah seorang penjahat, serta menjadi pedoman bagi petugas dalam
74
Sanusi Has. 1977. Dasar-dasar Penologi. Medan. Monora. Hal. 100.
75
Saroso. 1976. Pemasyarakatan, dalam Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan.
Bandung. Binacipta. Hal. 63.
76
Suwarto. Op.Cit. Hal. 176.
45
alat penguasa dengan tujuan agar setiap anggota masyarakat yang mempunyai
masyarakat.77
77
Ibid.