Anda di halaman 1dari 23

PERSEPSI

Persepsi adalah proses di mana seseorang


memperoleh informasi dari lingkungan sekitar.
Persepsi memerlukan pertemuan nyata dengan suatu
benda dan juga membutuhkan proses kognisi serta
afeksi.
Persepsi membantu individu untuk menggambarkan
dan menjelaskan apa yang akan dilakukan oleh
individu.
Persepsi seseorang dapat menjelaskan teori tentang
desain arsitektur yang mendasarinya.
Ada beberapa teori mengenai persepsi dan banyak
arsitek tidak tahu tentang teori-teori persepsi tersebut.
Ada dua dasar teori persepsi :
Terfokus pada penerimaan dari pengalaman indera
Pikiran sebagai sistem yang aktif dan saling
berhubungan.
Yang pertama ingin mencoba menjelaskan bagaimana
memahami data-data -sebagai unit persepsi- ditempatkan
bersama di dalam otak.
Para psikolog pendukung empirisme (Titchener,
1910; Helmholtz, 1925; Carr 1935) memakai istilah
asosiasi untuk hal ini.
Transactionalism (Ames, 1960; Ittelson & Cantril
1954), yang sangat mempengaruhi banyak konsep
desain arsitektur dalam masyarakat seperti yang
dianut arsitek Walter Gropius (1947), Lewis
Mumford (1952) dan Clifford Muller (1968)
menekankan peran pengalaman.
Teori-teori Nativism dan Rationalism (Cassireer,
1954; Piaget, 1955; Chomsky, 1957) menekankan ide
bawaan (innate idea) dan terjadinya sebuah
kesimpulan rasional dari sensasi-sensasi.
Wacana yang dikemukakan oleh Christian NorbergSchulz (1964) tentang desain sangat dipengaruhi oleh
pendekatan persepsi ini. Ada empat teori utama tentang
persepsi :
teori Gestalt,
teori Stevens power,
teori Transaksional dan
teori Ekologi.

PENGARUH KONTEKS
Percobaan :
Isi !!! 3 buah mangkuk masing-masing air dingin,
air hangat dan air panas. Kemudian masukkan
telunjuk tangan kanan ke dalam air panas dan
telunjuk tangan kiri ke dalam air dingin, biarkan
hingga satu-dua menit. Angkat kedua telunjuk
dari mangkuk, keringkan dengan menggerakkannya selama satu hingga dua detik. Lalu
masukkan kedua telunjuk tangan secara
bersamaan ke dalam mangkuk berisi air hangat.
Perbedaan yang sangat kontras antara
pengalaman dengan air panas membuat air hangat
terasa dingin dan pengalaman dengan air dingin
membuat air hangat terasa panas.
Apa yang dirasakan pada percobaan tadi merupakan
suatu efek yang dapat menjelaskan aktivitas persepsi.
Prinsip ini dikenal sebagai efek kontras yang paling
dasar dan ekperimennya dilakukan pertama kali oleh
John Locke pada tahun 1690.
Melalui pengalaman tadi, secara tidak langsung dapat
mengubah persepsi.
Efek kontras indera peraba (sentuhan)
merupakan bagian dari pengalaman yang
biasa dihadapi.

Prinsip-prinsip dapat juga didemonstrasikan melalui


penilaian atau pendapat pribadi, yang tidak berhubungan
secara langsung dengan fungsi indera peraba seperti
penilaian visual.
Sebuah percobaan tentang penilaian persepsi secara
visual terhadap arsitektur dilakukan di Glasgow, Inggris.
Para siswa diminta membuat penilaian dari beberapa
foto rumah (skala penilaian 1-10).
Pertama-tama, lima puluh orang diminta memberi
penilaian pada semua foto. Dari pemberian nilai ini,
diseleksi dan dibentuk tiga set foto.
Grup I berisi foto-foto dengan nilai tertinggi.

Grup II berisi foto-foto dengan nilai terendah.

Grup III berisi foto-foto dengan nilai rata-rata.


Setelah itu dibuat penilaian lanjut oleh kelompok siswa
lain. Kali ini, foto rumah yang dianggap netral(grup III)
dinilai setelah diperlihatkan dahulu foto-foto grup I.
Sedangkan kelompok lainnya, diperlihatkan dahulu foto-

foto grup II, baru setelah itu diberikan foto-foto netral.


Hasil penelitian dapat dilihat bahwa nilai rata-rata
foto-foto rumah netral setelah pemberian foto-foto grup
II, lebih tinggi daripada pemberian foto-foto grup I.

Tabel. 1. Nilai rata-rata kesukaan terhadap foto rumah dalam konteks yang berbeda
(Sumber: Canter, 1982)

Pada situasi sosial sehari-hari, banyak penilaian persepsi


yang dilakukan merupakan tipe lain dari pengaruh
konteks yang mempengaruhi derajat penentuan tentang
bagaimana kita mempersepsikan sesuatu.
Sebuah eksperimen dari Sherif (1961)
menunjukkan hal ini dengan jelas.

Dalam eksperimennya, dia menggunakan fenomena


yang disebutnya efek autokinetic, yang dihasilkan
melalui observasi dari sebuah titik cahaya dalam
ruangan gelap.
Meskipun peneliti mempertahankan cahaya tetap diam,
namun setelah beberapa saat para subyek mendapatkan
kesan bahwa cahaya tersebut bergerak. Jumlah dan tipe
gerakan ini berhubungan dengan banyak hal.
Tetapi jika respon dibuat dalam konteks kelompok,
maka respon individu secara perlahan akhirnya
menyerupai norma kelompok.

Gambar 1. ilustrasi efek keanggotaan kelompok terhadap jumlah gerakan


autokinetic yang dipersepsikan. (Sumber: Canter, 1982)

Gambar 1. menunjukkan skema representasi dari


banyaknya gerakan yang pertama kali terlihat oleh dua
orang ketika mereka membuat penilaian sendiri, dan
kemudian secara bertahap ketika mereka membuat
penilaian sebagai anggota dari kelompok yang sama
dalam tiga sesi.

Sebenarnya telah banyak penelitian serupa dalam


pengalaman sehari-hari tentang cara melihat sesuatu
yang sama menjadi bisa berbeda karena selalu
dipengaruhi oleh situasi sosial di mana kita melihatnya.
Sehingga disarankan bagi para arsitek, yang bergelut
dalam wilayah seni visual, bahwa kontribusi sosial
terhadap seni (art) dapat memodifikasi cara pandang
arsitek dalam memandang dunia. Sama halnya seperti
dunia menentukan bagaimana arsitek seharusnya
memandang seni.
Implikasi penting bagi para arsitek tentang keberadaan
pengaruh konteks, bahwa sensasi tidak dapat sungguhsungguh diteliti oleh psikolog secara independen atau
terpisah dari persepsi, kognisi dan aspek-aspek proses
mental lainnya.
) Penglihatan yang tajam, pendengaran sensitif,
penciuman yang peka sangat relatif, karena
lingkungan telah "mempengaruhi" panca indera.
Ini berarti menolak anggapan bahwa tidak ada organ
indera yang dapat dipengaruhi oleh sekelompok orang,
karena sesungguhnya tidak ada lagi yang akurat yang
dapat dihasilkan oleh indera.

Kita berhadapan dengan dunia sebagai makhluk hidup


yang terintegrasi secara sadar, bukan hanya merespon
lewat mata, telinga, dan tangan.

Teori
Gestalt
berpendapat
bahwa
dasar
pengintegrasian adalah organisasi spontan yang
berasal dari masukan sensori kepada otak (Kohler,
1929; Koffka, 1935; Wertheimer, 1938; Ellis, 1939).
Teori Stevens power menunjukkan banyak hal dari
penilaian psikologis berhubungan satu sama lain
dengan fenomena fisik yang memiliki fungsi
rasional.
Teori Transaksional (sering disebut juga information
processing theory) beranggapan ada proses yang
terjadi seperti komputer di dalam otak dan teori ini
menjadi dasar bagi orang-orang yang mendalami
estetika sepeti misalnya Abraham Moles (1966).
Sedangkan teori Ekologi oleh James Gibson (1966)
dan Eleanor Gibson (1969) menyatakan bahwa justru
persepsi yang menjadi dasar dari informasi.

Ullrich Neisser (1977) kemudian menambahkannya


dengan konsep tentang schemata atau "saluran
penghubung antar persepsi dan proses mental yang lebih
tinggi", pada teori dasarnya.

Teori Gestalt merupakan teori yang sangat


mempengaruhi teori desain melebihi teori persepsi
lainnya (Kepes 1944; Ushenko, 1953; de Saumarez,
1964, Issac, 1971; Arnheim, 1977).

TEORI-TEORI PERSEPSI
Kompleksitas selain sebagai prinsip-prinsip umum
persepsi juga merupakan prinsip penilaian relatif
(relative judgement) atau pengaruh dari konteks
terhadap hal yang diamati.
Ada empat teori persepsi yang diuraikan, yaitu:
teori Gestalt,
teori Steven's Power,
teori Transaksional dan
teori Ekologi.
Teori Gestalt
Para pelopor psikologi Gestalt beranggapan ada
bermacam nilai yang didasarkan pada konteks di mana
nilai itu berada. Namun, sementara para penganut
Gestalt membuat anggapan tersebut menjadi hukum universal, banyak juga yang tidak sependapat, karena sudut
pandang tentang persepsi sebenarnya mengarah pada
penyederhanaan (simplifikasi) dan konstansi stimulus
yang dihadirkan di otak (jadi bukan dipengaruhi oleh
konteks lingkungan).
Dalam teori Gestalt, hal paling dasar yang perlu
diperhatikan adalah konsep tentang form, yaitu suatu
elemen yang terstruktur dan tertutup dalam pandangan
visual seseorang.
Ada enam properti yang dapat mempengaruhi persepsi
dari form.
Keenam properti dasar itu sangat penting dalam teori
desain arsitektur, karena properti tersebut memberitahu
bagaimana unit-unit dari lingkungan dapat diamati.
Properti-properti tersebut dikenal juga sebagai "hukumhukum" dari Proksimitas, Similaritas, Closure, Good
continuance, Area and simmetry, serta Figure and
ground.
1. Proksimitas atau kedekatan jarak.
Menurut teori Gestalt, obyek-obyek yang memiliki
jarak yang lebih dekat cenderung dilihat lebih
berkelompok secara visual.

Gambar (i) komposisi nampak lebih mudah terlihat


sebagai baris dan kolom, tetapi pada gambar (ii)
polanya diamati sebagai suatu kesatuan baris saja.
2. Similaritas atau kesamaan
Menurut Gestalt bila elemen-elemen memiliki
similaritas atau kualitas yang sama dalam hal ukuran,
tekstur dan warna, maka elemen-elemen tersebut
cenderung akan diamati sebagai satu kesatuan.

Agar lebih jelas mengenai hukum ini dapat dilihat


bahwa gambar (i) lebih mudah disimpulkan sebagai
kesatuan daripada gambar (ii)

Pada gambar (iii) terjadi situasi konflik karena dapat


terjadi dua kemungkinan yaitu organisasi tersebut
dapat didasarkan pada hukum kedekatan (dari jarak)
atau hukum kesamaan (dari bentuk).
3. Closure atau Ketertutupan
Pada hukum ketertutupan didapati bahwa unit visual
cenderung membentuk suatu unit yang tertutup.

Pada gambar (i) cenderung dianggap sebagai suatu


lingkaran dan pada gambar (ii) dianggap sebagai

bentuk segitiga yang sempurna meskipun sebenarnya


kedua gambar tersebut bukan lingkaran atau segitiga.
Bagian yang terbuka pada gambar tidak terlalu
signifikan mempengaruhi persepsi seseorang.
Persepsi individu sangat tergantung dari fokus
pandangannya, sehingga bagian yang terbuka akan
otomatis dianggap suatu kesatuan tertutup.
4. Good continuance atau Kesinambungan
Hukum kesinambungan ini menyatakan bahwa
seseorang akan cenderung mengamati suatu elemen
yang berkesinambungan sebagai satu kesatuan unit.

Pada gambar (i) terlihat seperti dua garis yang saling


bersilangan bukan gabungan dari dua huruf L yang
bersinggungan di sudutnya. Pada gambar (ii) kita
mengamatinya sebagai garis lengkung dengan latar
belakang bentuk profil tembok benteng, meskipun
berdasarkan hukum ketertutupan dapat dilihat sebagai
beberapa gabungan kesatuan unit-unit bentuk
tertutup.
5. Area and symmetry atau Bidang dan Simetri
Hukum bidang dan simetri menyatakan semakin kecil
area tertutup dan simetris semakin cenderung terlihat
sebagai satu unit.

Pada gambar (i) bentuk yang tertutup cenderung


terlihat sebagai satu unit sehingga terlihat ada 2
persegi (bukan 4!) karena bentuk yang tak selesai
tidak diperhitungan. Pada gambar (ii) terlihat di
sebelah kiri sebuah bentuk pigura sebagai suatu
kesatuan (1 unit persegi empat) sedangkan sebelah
kanan seperti sebuah jendela di dinding (2 unit segi
empat).
6. Figure and ground atau Bentuk dan Latar
Hukum bentuk dan latar menyatakan bahwa sebuah
obyek akan terlihat berbeda ketika sebuah bentuk
memiliki latar yang kontras.

Pada gambar terlihat dua makna gambar yang dapat


dihasilkan. Yang pertama tampak samping muka dua
orang lelaki yang saling berhadapan. Makna kedua
adalah sebuah bentuk kaki tiang balustrade atau siluet
sebuah piala yang terpotong bagian atasnya.

Hukum-hukum di atas menjelaskan adanya tiga prinsip


penting dalam teori Gestalt yang merupakan sebuah
proses berkesinambungan dalam penilaian persepsi,
yaitu isomorphism, field forces dan pragnanz.
Isomorphism
ialah
suatu
hipotesis
yang
menghubungkan bentuk dari proses neurologis dengan
bentuk dari pengalaman persepsi yang menghasilkan
kekuatan-kekuatan (forces).
Field Forces mengindikasikan adanya wilayah, arah
dan kecenderungan dari kekuatan-kekuatan yang
terjadi, di mana semua kekuatan tersebut diatur oleh
prinsip-prinsip Pragnanz
Pragnanz, sebuah mekanisme "membetulkan sendiri"
atau menyempurnakan sebuah bentuk guna mencapai
keadaan seimbang di dalam otak.
Teori Gestalt menyimpulkan bahwa persepsi-persepsi
diorganisasikan ke dalam bentuk-bentuk (figures) dan
latarnya. Pola garis-garis, bidang-bidang, dan obyekobyek terlihat memiliki "kualitas dinamis" tertentu.
Mereka seperti dapat bergerak, punya berat atau malah
bisa terkesan ringan, menyenangkan atau menyedihkan.
Ini menjelaskan isomorphism antara pengalaman
persepsi dan proses-proses neurologis manusia yang
merupakan dasar teori Gestalt dalam hal ekspresi seni
dan arsitektur.
Warisan teori Gestalt juga merupakan hal yang penting
baik dalam bidang psikologi mau pun desain arsitektur.
Observasi-observasi eksperimental dalam menyusun
sebuah lingkungan binaan masih menawarkan banyak
hal tentang desain arsitektur di mana isyu-isyu estetika
formal mengenai kesatuan berkembang. Hal ini
membentuk teori lain yang memakai pendekatan
ekologis.

Teori Stevens' Power


Beberapa persepsi membutuhkan asumsi yang dibuat
mengenai apa yang terjadi pada bagian-bagian indera
atau ada reaksi-reaksi khusus terhadap sensasi-sensasi.
Namun interpretasi juga membutuhkan lebih dari
sekedar penjelasan fisiologis yang sederhana. Stevens
(1975) menunjukkan banyak kasus mengenai penilaianpenilaian psikologis yang berhubungan satu sama lain
dengan fenomena fisik dinilai berdasarkan rasio.

Contohnya, penilaian terhadap terang relatif yang


bersumber dari dua sumber cahaya dapat dibuat lebih
mendekati keadaan sesungguhnya, sedangkan penilaian
terhadap terang absolut justru seringkali keliru.
Konsekuensinya adalah bertambahnya stimulus fisik
secara kuantitatif dapat mengakibatkan perubahan yang
relatif lebih besar dan ini diperlukan agar dapat
dibedakan secara persepsional.
Jadi, penilaian psikologis (psychological judgement)
atau (P) adalah suatu fungsi daya (power) dari besarnya
stimulus fisik (S), yang ditulis dengan rumus:
P = S
(dimana berubah menurut variabel fisik). Hal ini sering
disebut sebagai teori Stevens-Power.
Hal khusus yang membantu kita memahami implikasiimplikasi teori Steven adalah pendapat Stevens dan para
koleganya tentang stimulus non-fisik.
Dia menunjukkan bahwa para kriminal diberi hukuman
yang beratnya berhubungan dengan fungsi power.
Semakin tinggi tingkat kriminalitasnya semakin berat
hukumannya.
Faktanya, hal ini terjadi juga dalam fenomena fisik
sehingga bisa disimpulkan bahwa;
1) penilaian persepsi tidak terisolasi (berdiri sendiri)
dari penilaian psikologis,
2) hal ini menggambarkan hubungan relatif antar
stimulus yang menjadi faktor penting dalam
menentukan penilaian.
Teori Transaksional
Teori ini menjelaskan tentang peranan pengalaman
persepsi dan menekankan hubungan dinamis antara
manusia dan lingkungan.

Persepsi merupakan transaksi di mana lingkungan dan


pengamat saling bergantung satu dengan yang lainnya.
William Ittelson (1960) mendefinisikannya sebagai
berikut:
Persepsi adalah bagian dari proses yang hidup, di
mana setiap orang, dari sudut pandangnya masingmasing menciptakan dunianya..., dalam mencapai
suatu kepuasan.

Teori transaksional membuat beberapa asumsi tentang


proses persepsi, seperti dinyatakan sebagai berikut.
Persepsi bersifat multimodal
Persepsi adalah proses aktif, bukan pasif
Persepsi tak dapat dijelaskan dengan memisahkan
perilaku ke dalam pengamat dan yang diamati
Persepsi tak dapat dijelaskan sebagai respon yang
terkondisi terhadap stimulus
Hubungan manusia-lingkungan adalah dinamis
Citra lingkungan tergantung pada pengalaman masa
lalu pengamat, dan juga tergantung pada motif dan
sikap masa kini
Pengalaman masa lalu terproyeksikan ke situasi
masa kini dalam hubungannya dengan kebutuhan
seseorang
Persepsi diatur dan diperintah oleh harapan-harapan
dan kecenderungan-kecenderungan.
Maka kesimpulannya adalah, informasi yang didapat
seseorang
dari
lingkungan
memiliki
hakekat
probabilistik yang ditentukan melalui tindakan (Ittelson,
1960).
Informasi yang didapat seseorang dari lingkungan
memiliki properti-properti simbolis yang memberi
makna, kualitas ambient (tidak kasat mata),
memunculkan respon-respon emosional, dan pesanpesan motivasional yang menstimulasi kebutuhan.
Seseorang juga menempatkan nilai dan properti estetik
terhadap hal tersebut. Karena manusia butuh mengalami
lingkungan sebagai sebuah pola hubungan yang penuh
makna, maka pengalaman masa lalu membentuk dasardasar pemahaman terhadap hal yang baru.
Orang menggambarkan persepsi mereka baik secara
terstruktur maupun hanya berdasarkan pengalaman saja.
Dalam penjelasan berdasarkan pengalaman terdapat
unsur moods, perasaan, dan laporan diri (selfreports).
Sedangkan penjelasan secara terstruktur melibatkan

laporan mengenai hasil pengamatan yang aktual


tentang struktur fisikal dan sosial di dunia ini.
Kebanyakan arsitek berpikir mengenai dunia secara
lebih struktural ketimbang orang biasa.

Donald Appleyard, seorang arsitek, mengkategorikan


informasi persepsional ke dalam 3 kategori, yaitu:
a) Operational, informasi yang dibutuhkan seseorang
untuk mencapai tujuannya
b) Responsive, berupa karakteristik-karakteristik yang
berbeda dan sangat mengganggu hingga
menimbulkan suatu tindakan tertentu
c) Inferential, informasi yang membentuk sistem
coding untuk mengenali elemen-elemen yang ada
di dunia.

Kontribusi penting dari teori transaksional terhadap teori


desain arsitektur adalah, pengalaman membentuk orang
untuk memberi perhatian kepada lingkungan dan kepada
apa yang penting bagi dirinya.

Teori Ekologi
Pendekatan ekologi sangat radikal dalam membahas
masalah persepsi. Pendekatan ini sangat kontradiktif
terhadap teori Gestalt mengenai isomorphism dan
interpretasi transaksional tentang peran pengalaman
persepsi.
Dari pada menganggap panca indera sebagai saluran dari
sensasi-sensasi, teori ini memandang panca indera hanya
sebagai sistem persepsi (Gibson, 1966), yang dilihat pd
tabel 2 dibawah.

Sementara diakui bahwa persepsi yang multimodal itu


bersifat universal (meski seringkali diabaikan oleh
arsitek), hipotesa bahwa struktur cahaya, gelombang
suara, dan sumber persepsi lainnya dapat menyampaikan
informasi tentang dunia secara langsung tanpa harus
merekonstruksi "data sensoris yang tak bermakna"
merupakan hal yang kontroversial. Dalam hubungannya
dengan persepsi visual, Gibson mencatat selama
lingkungan diterangi, berkas-berkas cahaya yang
berkumpul pada sebuah titik dibentuk dari wajah dan
permukaan bidangnya. Ketika seseorang bergerak,
bentuknyapun berubah. Gibson beranggapan ada
informasi dalam bentuk ini yang perubahannya secara
langsung
dipersepsikan,
tidak
peduli
tingkat
penerangannya, kecuali bahwa detail bentuk mulai
hilang pada tingkat penerangan yang rendah.
Orang menyelidiki lingkungan untuk mempersepsikan
detail-detail dengan menggerakkan mata, kepala dan
tubuhnya.
o Dengan pengalamannya, orang mampu mengidentifikasi detail-detail terhalus dan hubunganhubungan terluas (Gibson & Gibson, 1955).
o Dengan pengalamannya, orang belajar memberi
perhatian terhadap detail yang sebelumnya tidak
terlihat olehnya.

o Setiap gerakan normatif dalam desain arsitektur


membawa perhatian orang ke beberapa variabel
tertentu.
KONSTANSI PERSEPSI RUANG
Ada sebuah fenomena persepsi yang selalu menarik
perhatian para psikolog tetapi orang awam menemui
kesulitan memikirkannya sebagai sebuah fenomena,
yaitu konstansi persepsi.
Banyak orang merasa terkejut ketika sensasi yang
mereka terima dari lingkungan sangat bervariasi walau
persepsi yang mereka rasakan relatif konstan.
Contohnya, sebuah tembok yang bercat putih sebenarnya
tidak mungkin memiliki warna putih yang benar-benar
sama secara keseluruhan, khususnya ketika tembok
sedang disinari cahaya terang. Tetapi kita merasa dan
berpikir bahwa semua bagiannya adalah tembok
berwarna putih kecuali dalam keadaan tertentu.
Demikian pula dengan mata, retina hanya mampu
membentuk gambaran dua dimensi, maka sebuah meja
persegi hanya akan memberikan citra pada retina dalam
bentuk persegi yang tidak sempurna dan bervariasi mulai
dari bentuk permata sampai trapesium tergantung dari
sudut pandang melihatnya. Penggunaan gambar
perspektif berkaitan dengan ini. Arsitek harus
mempelajari bagaimana menggambar dalam bentuk
perspektif.

Gambar-9. Gambar perspektif sebagai cara mempertahankan


konstansi persepsi. (sumber: Canter, 1982)

Gambar-9 mengilustrasikan cara mempersepsikan


bentuk aktual dalam mempertahankan konstansinya.
Kedua gambar memiliki polygon (persegi banyak) yang
sama namun yang satu terlihat sebagai sebuah meja
karena bentuk segi empatnya sudah diberi kaki.
Di samping konstansi bentuk dan terangnya benda,
manusia juga mengalami konstansi warna dan ukuran
dengan cara yang sama.
Contoh mengenai konstansi persepsi yang bagus adalah
apabila kita "mengetahui" benda tertentu, maka kita
langsung memahaminya sebagai sebuah ukuran, bentuk
dan sebagainya.

Untuk seorang arsitek sebuah batu bata dapat terlihat


sebagai sebuah pola dengan gabungan tekstur warna
merah dan pink yang menarik, sedangkan bagi kebanyakan orang awam batu bata adalah batu bata, yaitu
sesuatu yang digunakan untuk membangun gedung.

Lebih jauh lagi, konstansi sebuah persepsi, baik dari


ukuran, warna, kecemerlangan, atau dimensi persepsi
lainnya hanya dapat dirusak dalam keadaan tertentu,
sebagaimana dibuktikan oleh sebuah penelitian psikologi
(Ames, 1960).

Esensinya adalah konteks dari obyek yang terasa


dipindahkan atau terdistorsi membuat petunjuk-petunjuk
untuk membedakan atribut (seperti ukuran) mengarah
pada impresi yang salah sebagaimana terlihat pada
gambar-10 tentang eksperimen kartu.

Gambar-10. Sebuah eksperimen tentang persepsi kedalaman (a) ditampilkan sebagaimana bentuk aktual yang diterima (b). (sumber: Coren, 1972)

Biasanya kartu-kartu tersebut secara normal diasumsikan


sebagai bentuk dengan ukuran yang sama, namun
faktanya bentuk tersebut memiliki ukuran yang berbedabeda. Bentuk yang ditampilkan adalah petunjukpetunjuk dari jarak, seperti tekstur, kedalaman dan lainlain yang secara normal membantu kita memastikan
ukuran dari obyek, menjadi tidak ada lagi.
Hal tersebut mendistorsikan persepsi terhadap ukuran
dan jarak aktual.
Sebuah contoh arsitektur sederhana pada gambar-11
dapat membantu menjelaskan implikasi tersebut.
Gambar tersebut hanya ilustrasi bangunan dengan dasar
ketinggian internal yang dilihat dari salah satu pojok
ruang makan asrama mahasiswa.

Gambar-11. Contoh sebuah gedung dengan atribut-atribut yang


bertentangan dengan persepsi mengenai ruang yang dibangun
sebelumnya. (sumber Coren, 1972)

Keganjilan ruang diatas berhubungan dengan


pengetahuan yang telah kita miliki sebelumnya, juga
karena ada ekspektansi (dugaan, harapan) terhadap
pintu, jendela dan lampu, yang semua ukurannya
memiliki keterkaitan satu sama lain dan secara
keseluruhan membentuk citra sebuah ruang. Dengan
memainkan ekspektansi, seorang arsitek dapat membuat
efek-efek yang berbeda atau unik mulai dari ruangan
yang tampak biasa (wajar) sampai dengan efek ruangan
yang ganjil atau aneh, tergantung tujuan arsitekturnya.
Secara umum, hal di atas disebut sebagai persepsi ruang.
Sejauh ini - seperti yang dipahami para psikolog agaknya persepsi akan ruang tergantung pada
penggunaan petunjuk-petunjuk yang secara normal
dalam kehidupan sehari-hari diasosiasikan dengan jarak.
Petunjuk-petunjuk ini adalah suatu hal yang biasa
digunakan oleh para seniman.
Contohnya parallax, yaitu perbedaan tekstur dan
ketinggian dengan jarak dan pemusatan dari garis-garis
yang paralel. Petunjuk-petunjuk ini dapat dipelajari
dengan kemungkinan ada petunjuk-petunjuk di mana
fokus dan hubungan yang muncul antara apa yang
dilihat mata dan apa yang dirasakan oleh tangan bisa
berbeda. Namun seberapa cepat kita mempelajari atau
hal ini memang merupakan bakat yang dimiliki dapat
diperdebatkan lebih lanjut. Tetapi terdapat beberapa
fakta yang mengatakan bahwa persepsi ruang yang kita
miliki berkembang sejak kita masih sangat kecil.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, indera
penglihatan kita menerima berbagai macam stimulus
dari obyek yang sama. Kesemuanya muncul secara dua
dimensi dalam retina. Walau pun demikian, dunia yang
kita rasakan secara konstan termanifestasi ke dalam tiga
dimensi. Sebuah meja persegi ditampilkan oleh retina
dengan berbagai macam konfigurasi bentuk dua dimensi.
Hal ini membuat para psikolog bertanya-tanya
bagaimana fenomena aneh tersebut dapat terjadi.
Argumen yang dapat diberikan adalah, hal itu
disebabkan oleh penglihatan dari sudut pandang
berbeda.
Hal ini berarti penerimaan obyek tersebut bukan hanya
disebabkan gambaran di retina melainkan juga karena

persepsi individu itu sendiri. Setiap orang memiliki


rentang pengalaman luas sebagai latarbelakangnya. Dan
persepsi yang muncul tergantung pada berbagai macam
sumber selain retina, seperti pengalaman-pengalaman
yang telah terekam dalam otak.
Dalam kaitannya dengan arsitektur pada kondisi umum
seperti dimaksud Ittelson & Cantril (1954) masih banyak
hal yang perlu dipelajari tentang konstansi lingkungan
(environmental constancies) tentang macam-macam
konstansi.
Walaupun sebuah gereja telah berubah fungsi menjadi
gudang, tetap saja orang akan berpikir bahwa itu adalah
gereja. Sama halnya dengan mengulang suatu
kesimpulan dari hasil diskusi pada bagian referensi yang
termuat dalam appendix buku. Bermacam bentuk
stimulus lingkungan (model-model), memproduksi hasil
yang dapat dibandingkan satu sama lain.
Hal ini mungkin dapat membantu menjelaskan konstansi
persepsi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nagase
(1995). Para fotografer memotret sebuah gedung
terkenal dari berbagai setting jarak. Hasilnya
menunjukkan respon yang sama terhadap gambargambar yang berbeda, tak perduli berapa jarak yang
diambil dalam memotret gedung tersebut.
Konsepsi yang terbentuk (seperti pada kasus meja
persegi) bertambah dan berubah seiring dengan lamanya
mereka mengamati gambar sampai akhirnya menemukan
perbedaan pada gambar-gambar tersebut, sehingga tidak
merespon stimulus dalam cara yang sederhana lagi
seperti pada saat stimulus bersinggungan dengan retina
pertama kali.
AROUSAL
Implikasinya di bidang arsitektur berkembang pada area
penelitian yang memberikan perhatian pada pengaruh
pengaruh konteks lingkungan yang menimbulkan
stimulasi. Aspek-aspek perilaku, seperti kemampuan
dalam memberi perhatian atau perilaku dalam merespon
stimulus, sepertinya menandakan adanya tingkat optimal
dari stimulus lingkungan.
Namun perlu diperhatikan bahwa ide-ide ini tumbuh
dalam penelitian dengan kondisi lingkungan yang
ekstrim (seperti di laboratorium), jauh berbeda dari
pengalaman sehari-hari bahkan terhadap sebuah
pemandangan di jalan yang paling monoton sekalipun.
Sehingga usaha untuk menghubungkan ide-ide arousal
ini dengan lingkungan binaan secara langsung harus
sangat hati-hati.
Penelitian awal dalam area ini dibuktikan pada
percobaan-percobaan alat indera yang bisa melemah
(Hebb, 1972). Pada percobaan ini segala bentuk sensasi

yang diterima subyek dihilangkan atau dijaga sekonstan


mungkin. Subyek berbaring di tempat tidur dalam
keadaan gelap dan memakai alat pendengar (earphones)
yang memutar suara mendesis. Kaki dibungkus sarung
sehingga subyek tidak menerima sensasi yang dapat
membuatnya bergerak. Ternyata subyek hanya mampu
bertahan pada kondisi ini untuk beberapa jam saja. Jelas
kemampuan subyek berkonsentrasi terhadap stimulus
yang spesifik berkurang.
Dari sudut pandang psikologi, hal ini mengindikasikan
adanya tingkat optimal dari aspek stimulus dalam
organisasi persepsi.
Selanjutnya beberapa penelitian menunjukkan bahwa
ada bagian-bagian dalam otak yang secara spesifik
bertanggung jawab untuk memodifikasi dan menyusun
persepsi yang bisa melemahkan tingkat atensi terhadap
stimulus lingkungan.
Beberapa teori berkembang berdasarkan mekanisme ini.
Seperti misalnya perbedaan individual dalam
menghasilkan arousal untuk memberikan fokus atensi
bahkan turut menyumbang kepada teori mengenai
schizophrenia (penyakit jiwa berupa suka mengasingkan diri), dan
yang paling penting untuk bidang arsitektur adalah
sebagai dasar pengalaman estetik.

PERTIMBANGAN PERSEPSIONAL
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai
persepsi yang dipelajari secara mendalam di
arsitek dihadapkan pada banyak pertanyaan
estetika dan seringkali mereka menggunakan
psikologi untuk menjawabnya.

fenomena
psikologi,
mengenai
teori-teori

Pertanyaan mengenai aturan - contohnya proporsi yaitu bagaimana menentukan bentuk atau kombinasi
bentuk yang "indah".
Misalnya golden rule (standar ukuran zaman Yunani)
yang sering dijadikan sebagai sebuah aturan yang
berlaku untuk segala macam bentuk desain. Namun kita
sekarang tahu bahwa kita tidak boleh percaya pada
segala aturan yang ada secara serta merta.
Valentine (1962), yang meneliti tentang masalah estetik,
menunjukkan bahwa golden rule tidak mampu
menghasilkan konfigurasi yang memuaskan. Ada juga
yang menunjukkan bahwa bangunan yang digambar
berdasarkan moduler-nya Le Corbusier, dianggap tidak
lebih bagus dibanding gambar bangunan lain bergaya Le
Corbusier yang memakai proporsi berbeda. Jika persepsi
ini berhubungan dengan konteks dan pengalaman
sebelumnya - tidak seperti hal-hal abstrak yang tidak
melibatkan konteks serta faktor-faktor personal yang
dibawa orang dalam menilai - ini membuktikan
kebenaran tersebut hanya berlaku pada situasi-situasi
tertentu saja.

Apa yang terjadi pada golden rule juga berlaku untuk


warna dan emosi. Kita tak bisa mengharapkan bahwa
warna yang menghasilkan respon tertentu berlaku pada
semua situasi. Disamping fenomena persepsi dan kontras
yang akan memodifikasi efek-efek fisik, variabel
personal lain yang berhubungan dengan pengalaman dan
situasi di mana warna itu dijumpai, memiliki pengaruh
besar dalam mempersepsikan lingkungan.
Contoh, sering diasumsikan ada hubungan yang jelas
antara warna dengan ukuran atau jarak. Banyak arsitek
yang berkata "biru membuat sesuatu lebih jauh dan
merah membuat terlihat lebih dekat," kenyataannya
sedikit sekali penelitian mengenai hal ini dan hasilnya
justru menyatakan bahwa hal tersebut tidak dapat
digeneralisasi seperti yang dibayangkan oleh para arsitek
Pada kasus sebelumnya, kita membahas tentang sikap
dan keyakinan yang berhubungan dengan persepsi.
Contohnya, banyak dosen arsitektur mengatakan
"mahasiswa datang ke kampus dengan pemahaman
warna yang buruk, biru dipakai agar terlihat dekat,
merah untuk rileksasi," kenyataannya diperlukan waktu
dua atau tiga tahun sekolah agar para mahasiswa
mengerti hal itu. Apabila dosen itu "benar", mengapa
perlu begitu lama waktu untuk menyadarinya?

Teori-teori persepsi yang saling kontradiktif menunjukkan adanya sifat mengira-ngira manusia dalam
memahami proses persepsi. Namun, ada beberapa hal
yang dapat dimengerti secara absolut sama, yaitu:
1) persepsi bersifat multimodal,
2) pergerakan memainkan peran penting dalam
persepsi lingkungan,
3) manusia belajar membedakan detail-detail
terhalus dan kelas lingkungan yang lebih luas
melalui pengalamannya.
Hukum Gestalt tentang organisasi visual bisa menjadi
dasar persepsi dalam kaitannya dengan cara manusia
menyusun informasi dari lingkungan. Konsep Gestalt
tentang field force dan isomorphism serta konsep
arsitektur universal tentang standar ekspresif dapat
diperdebatkan, karena cara orang melihat lingkungan
tergantung pada tujuan dan pengalaman orang tersebut.
Di atas semua itu, asumsi bahwa persepsi ditentukan
oleh karakteristik stimulus eksternal sangatlah
meragukan.

PSIKOLOGI WARNA
P ERSEPSI VISUAL WARNA
Pada masa sekarang orang memilih warna tidak hanya
sekedar mengikuti selera pribadi berdasarkan

perasaannya saja, tetapi telah memilihnya dengan penuh


kesadaran akan kegunaannya.

Pada abad ke-15, lama sebelum para ilmuwan


memperkenalkan warna, Leonardo da Vinci
menemukan warna utama yang fundamental, yang
disebut warna utama psikologis, yaitu merah, kuning,
hijau, biru, hitam, dan putih.
Kini para ilmuwan memperkenalkan keterlibatan
warna terhadap cara otak menerima serta
menginterpretasikan warna.
Kemudian perkembangan bidang psikologi juga
membawa warna menjadi objek perhatian bagi para
ahli psikologi.

Para ilmuwan yakin bahwa persepsi visual terutama


bergantung kepada interpretasi otak terhadap suatu
rangsangan yang diterima oleh mata. Warna
menyebabkan otak bekerja sama dengan mata dalam
membatasi dunia eksternal.
Menurut penelitian, manusia mempunyai rasa yang
lebih baik dalam visi dan lebih kuat dalam persepsi
terhadap warna dibandingkan dengan binatang.

Konflik antara warna dan bentuk terhadap persepsi


manusia telah dipelajari oleh ahli-ahli psikologi.
Pengenalan bentuk merupakan proses perkembangan
intelektual
Pengenalan warna merupakan proses intuisi.
Eksperimen menunjukkan bahwa anak-anak bila disuruh
memilih objek yang sama antara warna dan bentuk,
hampir selalu memilih objek yang berwarna.
Marian L. David dalam bukunya Visual Design in
Dress (1987:119), menggolongkan warna menjadi
dua, yaitu warna eksternal dan internal.
Warna eksternal adalah warna yang bersifat fisika.
Warna internal adalah warna sebagai persepsi
manusia, cara manusia melihat warna kemudian
mengolahnya di otak dan cara mengekspresikannya.
Warna dapat mempengaruhi jiwa manusia dengan kuat
atau dapat mempengaruhi emosi manusia.
Warna dapat
seseorang.

pula

menggambarkan

suasana

hati

Pada seni sastra baik sastra lama maupun sastra modern,


puisi maupun prosa, sering terungkap perihal warna baik
sebagai kiasan atau sebagai perumpamaan.
Telah banyak dibuktikan melalui percobaan-percobaan

bahwa warna mempengaruhi kegiatan fisik dan mental.


Warnapun telah dipergunakan untuk alat penyembuhan
penyakit mental.
Pada agama atau kepercayaan-kepercayaan hal tersebut
sering diceritakan. Warna bangunan dengan interiornya
dari zaman Byzantine, Majapahit, Mataram, zaman
Louis XIV ataupun masa kini tentu memiliki perbedaan
warna, sebagai hasil ungkapan zamannya masingmasing. Hal tersebut bukan terjadi secara kebetulan,
sebab sejak rumah atau istana merupakan ungkapan
kehidupan suasana jiwa penghuninya, pemilihan warna
merupakan faktor ekspresi yang penting.
Telah dibuktikan pula bahwa kebanyakan orang
mempunyai reaksi yang hampir sama terhadap warna.
Dalam kasus-kasus perorangan reaksi ini kadang-kadang
berbeda, karena perbedaan kondisi asosiasi sebelumnya
yang terlupakan atau tertunda sehingga mencurigakan.
Sensitivitas perorangan terhadap warna juga berbedabeda, mulai dari yang supersensitif sampai kepada yang
buta warna total, yang mempergunakan inder lainnya
seperti ciuman, rabaan, dan rasa (lidah) dalam
merasakan warna.
PENGARUH WARNA TERHADAP EMOSI
Bila kita perhatikan selera orang terhadap warna itu
berbeda-beda, hal tersebut menunjukkan bahwa warna
berpengaruh terhadap emosi setiap orang. Apabila
seseorang tidak menyukai warna tertentu mungkin ada
sebabnya. Demikian juga respon kita terhadap warna
tertentu, karena warna tersebut pernah dipakai oleh
orang tertentu yang pernah disenanginya. Atau ia tidak
menyukai warna tertentu karena ia pernah mengalami
peristiwa pahit dengan warna tersebut, misalnya ia tidak
menyukai warna kuning karena ia pernah dihukum di
kamar yang dindingnya berwarna kuning.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna merah
bukan warna kesukaan, tetapi warna merah, memiliki
efek emosional yang tajam dibandingkan dengan warna
lainnya. Warna merah menyala sering diibaratkan bunyi
terompet yang melengking pada instrumen musik.
Pada suku Negro New Gunea, warna yang diakui oleh
suku mereka hanya ada tiga yaitu warna merah, hitam,
dan putih. Segala warna lain selain putih dan hitam
disebutnya warna merah. Hal ini sekedar penggambaran
bahwa warna merah lebih merangsang emosi manusia
dibandingkan dengan warna-warna yang lainnya.
Metode Rorschach tentang kedalaman kepribadian
seseorang, bahwa pengalaman tentang warna lebih cepat
dan langsung daripada pengalaman tentang bentuk.

Penggunaan warna biru dan hitam yang berulang-ulang


mengindikasikan kontrol pribadi dan penahan emosi.
Ada kemungkinan bahwa warna memiliki nilai efektif
tertinggi dan memperhatikan ungkapan yang tidak
tertahankan.
Respons manusia terhadap warna merupakan asosiasi
yang
bersifat
naluriah
sebagaimana
kita
mengasosiasikan musik, apakah menyedihkan atau
menggembirakan. Warna dapat mempengaruhi mata
sekuat atau sesensitif bunyi mempengaruhi telinga.
Berikut ini adalah hasil percobaan para ahli ilmu jiwa
serta peneliti-peneliti yang dikenakan kepada manusia.
Sifat warna digolongkan menjadi dua golongan ekstrem
yaitu warna panas dan warna dingin.
Yang termasuk golongan warna panas adalah
keluarga merah/jingga yang memiliki sifat dan
pengaruh hangat, segar, menyenangkan, merangsang, dan bergairah.
Yang termasuk golongan warna dingin adalah
kelompok biru/hijau yang memiliki sifat dan
pengaruh sunyi, tenang, makin tua, dan makin gelap
serta arahnya makin menambah tenggelam dan
depresi.
Warna dingin bila digunakan untuk mewarnai ruangan
akan memberikan ilusi jarak, akan terasa tenggelam atau
mundur. Sebaliknya warna hangat terutama keluarga
merah akan terasa seolah-olah maju ke dekat mata,
memberikan kesan jarak yang lebih pendek.
Beberapa hasil penelitian menurut Maitland Graves dari
bukunya yang berjudul The Art of Color and Design.
1. Warna panas/hangat adalah: keluarga kuning, jingga,
merah.
Sifatnya: positif, agresif, aktif, merangsang.
Warna dingin/sejuk: keluarga, hijau, biru, ungu.
Sifatnya: negatif, mundur, tenang, tersisih, aman.
2. Warna yang disukai mempunyai urutan seperti
berikut:
a. Merah
b. Biru
c. Ungu
d. Hijau
e. Jingga
f. Kuning
Hasil penelitian oleh F.S. Breeds dan SE, Katz.
1. Warna merah lebih populer untuk wanita dan warna
biru lebih populer untuk pria.
2. Sebagian peneliti berkesimpulan bahwa wanita lebih
sensitif terhadap warna daripada pria. Hal tersebut
kemungkinan karena lebih banyak pria yang buta
warna dibandingkan dengan wanita.
3. Warna murni dan hangat disukai untuk ruangan
sempit sementara warna gelap dan warna pastel

disukai untuk ruangan luas.


4. Kombinasi warna yang disukai adalah:
a. Warna-warna kontras atau komplemen.
b. Warna selaras analog atau nada.
c. Warna monokromatik.
Observasi tentang pembagian spektrum menjadi warnawarna panas dan dingin sangat sederhana, jelas, dan
mudah dimengerti, bertalian dengan kepribadian
seseorang.
Menurut penelitian secara umum, warna panas
merangsang anak-anak, orang primitif, sederhana, dan
bersifat ekstrovert.
Warna dingin bersifat tenang, introvert, dewasa, matang.
Kesimpulan ini mungkin terlalu empiris dan luas, karena
reaksi emosional tidak mudah diukur, namun
kesimpulan ini untuk sementara dapat dipegang.
Keluarbiasaan warna terletak dalam hal kesederhanaan
dan kesenangan emosional, bukan perenungan rasional,
kenyataan, dan fakta-fakta yang disederhanakan.
Pada kondisi normal manusia itu menyukai warna dan
memiliki reaksi terhadap warna.

Ada suasana hati yang diasosiasikan dengan lingkungan


yang cerah, hujan atau mendung, gembira atau
membosankan.
Secara umum dapat diasumsikan bahwa sikap responsif
seseorang terhadap warna secara emosional akan
bereaksi secara bebas, dan biasanya secara moral akan
mengagetkan.
Dalam beberapa bentuk gangguan mental, warna
mungkin merupakan unsur yang mengganggu, akan
membingungkan penglihatan seseorang. la akan
menolak atau menghindari warna, ia akan pening, atau ia
akan menutup mata, menghindarinya atau bahkan akan
merusaknya. Kekagetan terhadap warna seperti ini
disebut mania depressive. Pada penyakit jiwa yang berat
penolakan terhadap warna berarti ia lebih menyukai
warna kelabu dan memandang rendah terhadap bendabenda berwarna.
Menurut Rorschach, pada penderita penyakit ayan reaksi
terhadap
warna
dapat
menambah
kemajuan
kesembuhannya.
Dalam bidang penyakit jiwa ada dua jenis reaksi
psikotik dan reaksi neurotik.
Reaksi psikotik adalah kontak dengan dunia realita
hilang.
Sedangkan reaksi neurotik kontak dengan realita
itu tertahan atau tertunda.
Perbedaannya terletak pada kadar beratnya penyakit.

Respon para penderita terhadap pemilihan warna yang


disukai dan warna yang tidak disukai tidak dapat
diterapkan untuk proses penyembuhan, tetapi harus
melalui cara kejutan warna.

Anda mungkin juga menyukai