Anda di halaman 1dari 10

M.

K Seminar Arsitektur Periode Semester Ganjil 2011/2012

MAKALAH RINGKASAN PENGARUH FENOMENOLOGI HEIDEGGERIAN TERHADAP PERANCANGAN ARSITEKTUR Dengan Studi Kasus Karya Peter Zumthor

Dosen Pembimbing : DR. Ir. A. Rudyanto Susilo, MSA

Disusun oleh : Bambang P. R. | 04.11.0118

FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN PROGRAM STUDI ARSITEKTUR UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2011

abstrak PENGARUH FENOMENOLOGI HEIDEGGERIAN TERHADAP PERANCANGAN ARSITEKTUR Dengan Studi Kasus Karya Peter Zumthor Fenomenologi merupakan cabang filsafat yang diawali oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20, fenomenologi berfokus pada cara manusia memperoleh pengetahuan yang bersifat epistemologis. Fenomenologi epistemologis dari Husserl kemudian dikembangkan oleh muridnya yaitu Martin Heidegger menjadi pemikiran fenomenologi yang ontologis, berarti fenomenologi digunakan sebagai metoda untuk mepertanyakan ada. Dalam kaitannya dengan arsitektur, Martin Heidegger membuat 3 esai yang digabungkan dalam buku Poetry, Language,Tought. Pemikiran filosofis Heidegger terhadap arsitektur tersebut mempengaruhi arsitek-arsitek praktisi maupun teoretis ternama. Dalam pengamatan penulis, pemikiran fenomenologi dalam arsitektur belum mendapat perhatian banyak dalam sistem pendidikan aristektur khususnya di dalam kurikulum arsitektur Unika Soegijapranata. Padahal banyak arsitek terkenal yang menerapkan metoda fenomenologis dalam perancangan arsitektur. Oleh karena itu penulis berusaha untuk mengupas pemikiran fenomenologi dalam arsitektur ini dengan cara melihat pengaruhnya pada karya arsitek Peter Zumthor Pengidentifikasian pengaruh fenomenologi heideggerian terhadap Peter Zumthor dilanjutan dengan perumusan metoda perancangan fenomenologis yang nantinya dapat diterapkan mahasiswa dalam proses kreatif perancangan arsitekturnya. ============================================================= kata kunci : filsafat, fenomenologi, heidegger, Zumthor, perancangan, metoda, arsitektur Phenomenology is a branch of philosophy initiated by Edmund Husserl in the early of 20th century, phenomenology focuses on how humans acquaire knowledge which is epistemological. Epistemological phenomenology of Husserl was later developed by his student Martin Heidegger into a kind of phenomenological thinking which is ontological, phenomenology is used as a method to question being itself. In relation to architecture, Martin Heidegger makes 3 essays which are incorporated in the book Poetry, Language, Thought. Heideggers pilosophical thought in architecture affects the leading practitioners architects as well as theoretical architects. In the writers obervation, the idea of phenomenology in architecture has not received much attention in the architectural education system especially in the architecture curriculum of Unika Soegijapranata. Though many famous architects who apply phenomenological methods in architectural design. Therefore, the author attempted to strip the phenomenology in architecture by looking at its effects on the work of Peter Zumthor. Identifying the influence of Heideggerian phenomenology in Peter Zumthors works continued with the formulation of the phenomenological method which can later be applied to students in the creative process of architectural design. ============================================================= keyword : philosophy, phenomenology, Heidegger, Zumthor, design, method, architecture

PENDAHULUAN Latar belakang pribadi dari pemilihan judul adalah kegelisahan saya selama dalam mengalami pendidikan arsitektur secara formal, bahwa selama beberapa tahun belajar, saya seperti belum memiliki rasa tentang ruang, yaitu sensitifitas terhadap ruang secara rasional dan empiris sekaligus, yang saya asumsikan dapat dipelajari melalui pendalaman pengalaman fenomenologis. Ilmu arsitektur akademis yang saya alami rasanya seperti berjarak dari pengalaman fenomenologis ini, faktor-faktor di dalam arsitektur di analisis secara saintifik, melalui ilmu-ilmu struktur, sistem bangunan, perkotaan, hingga proses mendesain pun melalui sebuah pendekatan saintifik (glass box) yang terpilahpilah dalam langkah-langkah tertentu. Menurut pemikiran fenomenologis, pemikiran saintifik tidak dapat mewakili pengalaman manusia secara keseluruhan, pemikiran sains memisahkan antara manusia (subjek) dan arsitektur (objek), padahal terdapat ikatan yang personal antara manusia dan arsitektur yang bersifat intuitif, yang berbeda tiap satu orang dan lainnya. Mengapa mempelajari fenomenologi ini penting terhadap arsitektur? bukankah arsitektur diciptakan tidak untuk seorang arsitek? tapi diciptakan untuk orang awam yang tidak mengerti mengenai teori-teori desain, teori struktur, dan teoriteori estetis. Diasumsikan dengan kepekaan terhadap ruang yang dipelajari melalui fenomenologi dalam arsitektur, seorang arsitek bisa menciptakan sebuah karya arsitektur yang dapat dirasakan, dan dinikmati oleh orang awam berdasarkan pengalamannya sendiri. METODOLOGI Penelitian dilakukan melalui studi literatur, membongkar pemikiran Heidegger, kemudian melihat pengaruhnya pada pemikiran peter Zumthor lalu mengkaji metoda perancangan Zumthor melalui proses kreatif dari bryan lawson yang diharapkan akan menghasilkan sebuah metoda merancang fenomenologis. Untuk jelasnya nampak pada gambar dibawah

Gambar 1. Kerangka penelitian 3

KAJIAN TEORI FENOMENOLOGI HUSSERL Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 1938). Fenomenologi Husserl disebut sebagai fenomenologi transendental. Fenomenologi transendental adalah fenomenologi yang berusaha meraih pemahaman tentang obyek-obyek melalui pengenalan yang terus menerus dan semakin mendalam. Tabel 1. Perbandingan Filsafat Fenomenologi dengan Filsafat Idealis dan Empiris. Titik tolak Tokoh Hipotesis utama IDEALIS Subyek Descartes Kesadaran adalah yang sejati DUALISME (subyek-obyek) dengan keutamaan pada subyek EMPIRIS Obyek Locke, berkeley, Hume Realitas adalah yang sejati DUALISME (subyek-obyek) dengan keutamaan pada obyek FENOMONOLOGIS Fenomena Husserl, Heidegger, Merleau-Ponty, dll. Kesejatian didapat dari pengalaman sehari-hari Menolak DUALISME subyekobyek. Karena pengalaman meliputi hubungan saling mempengaruhi antara subyek dan obyek

Sifat

FENOMENOLOGI HEIDEGGER Fenomenologi Heidegger merupakan transformasi dari Fenomenologi Husserl. Heidegger memiliki sebuah pertanyaan filosofis yang menurutnya fundamental namun (menurutnya) dilupakan/dianggap sudah ada begitu saja (taken for granted) oleh filsuf-filsuf terdahulu. Heidegger mempertanyakan apakah itu Ada. Untuk mempertanyakan apakah itu Ada, Heidegger harus kembali mempertanyakan entitas yang bisa mempertanyakan Ada yaitu manusia (ada yang mempertanyakan ada). Oleh Heidegger manusia tidak disebut dengan istilah manusia tapi disebutnya dengan istilah Dasein, karena menurut dia istilah manusia terlalu bersifat genetik padahal yang dimaksud adalah keberadaan manusia, karena itu Heidegger memakai istilah Dasein yang berarti ada-di-sana yang menunjukkan ciri eksistensial manusia bukan ciri biologisnya. Kunci Pemikiran Heidegger yang terkait dengan arsitektur : 1. Nearness Bagi heidegger nearness (kedekatan) lebih bersifat non-fisik (perasaan, pemikiran) daripada kedekatan fisik, walaupun tidak menutup kemungkinan kedekatan secara fisik itu meningkatkan kedekatan secara non-fisik. Hal-hal yang dekat dengan kita dekat dalam konsepsi nearness / kedekatan heidegger disebut sebagai thing bukan sekedar object.

2. so it seems so it seems, diletakkan di dalam tanda kutip karena merupakan sebuah konsep tersendiri dari Heidegger. Diterjemahkan secara bebas sebagai terlihat seperti adalah cara manusia mengalami kejadian sehari-hari secara langsung. Bagi Heidegger cara mengalami manusia itu lebih penting daripada penjelasan saintifik maupun filosofis. 3. Thing and object Heidegger menawarkan konsep Thing pada benda-benda yang kita alami sehari-hari dimana manusia mempunyai kedekatan fisik maupun intelektual dengannya. Di dalam Thing tidak ada pemisahan antara Subject (manusia) dengan Object (benda), Thing mewakili obyek dan persepsi manusia terhadapnya dalam satu kesatuan. Singkatnya Object berangkat dari ide (baca: idea plationik), sementara Thing berangkat dari kedekatan kita dengan obyek dalam kegiatan sehari-hari. 4. Fourfold Bagi Heidegger fourfold sebuah kondisi keberadaan dimana manusia mengalami sesuatu. Karena fourfold selalu ada dalam keberadaan manusia, fourfold berfungsi sebagai existential foothold atau sebagai tempat berpijak/berorientasi eksistensi manusia1. Fourfold adalah kunci pemikiran Heidegger dalam arsitektur, fourfold melingkupi thing, dimana thing adalah tempat manusia berorientasi. Karena itu fourfold erat kaitannya dengan eksistensial manusia. 5. Gathering Gathering atau dalam penerjemahan saya berarti mengumpulkan, adalah konsep Heidegger mengenai Thing dan manusia. Thing memiliki potensi untuk mengumpulkan manusia (gathering) . Adanya Thing tidak dapat dipisahkan oleh manusia karena Thing tercipta karena adanya kedekatan manusia. 6. Architecture is not enough Bagi Heidegger arsitektur terlalu fokus pada aspek estetis dan kurang memperhatikan prioritas orang-orang yang membangun dan tinggal di tempat itu untuk mereka sendiri. 7. Building and Dwelling 8. Bagi Heidegger building dwelling merupakan satu kesatuan aktifitas dimana aktifitas tersebut mengikat manusia pada suatu tempat/place. Building dwelling adalah usaha manusia untuk mengidentifikasikan dirinya dengan suatu tempat. Mengutip heidegger dwelling to be a peaceful acomodation between individual and the world. 9. Place and Space Eksistensi dari manusia terefleksi pada kegiatan menciptakan sebuah tempat/place menjadi nyata (Sharr, 2007:55). Sementara space/ruang adalah sebuah wilayah yang memiliki batas-batas, dimana di dalam batas tersebut manusia menciptakan place/tempat. 10. Poetic Measuring Cara mengukur menurut Heidegger adalah mencakup seluruh sensor tubuh, penilaian, imajinasi, insting dan emosi secara individual. Karena pengukuran puitis (poetic measuring) membutuhkan kepekaan tertentu,
1

Konsep fourfold menekankan kesadaran manusia akan keberadaannya di atas bumi dan dibawah langit. Ini menjadi inspirasi dari christian norberg-schulz untuk mengembangkan konsep genius loci yang dikembangkan oleh peter frampton menjadi critical regionalism yang kemudian di ikuti oleh arsitek-arsitek seperti Tadao Ando, Ken Yeang dll.

kebanyakan contoh-contoh pengukuran puitis terdapat pada karyakarya sastra, dimana penulis yang mahir mampu mendeskripsikan suasana/sesuatu apapun dengan mendetail dan emosional. Jadi bisa disimpulkan arsitektur adalah sebuah bentuk dari pengukuran yang puitis (poetic measuring) PEMBAHASAN Peter Zumthor Zumthor lahir di Basel, Swiss pada 26 April 1943. Anak seorang tukang kayu, lulus dari Kunstgewerbeschule ("school of arts and crafts") pada tahun 1963 dan melanjutkan studinya pada bidang desain industri di Pratt Institute, New York City pada tahun 1966. Pada tahun 1968 dia menjadi arsitek konservasi untuk Departemen Preservasi Monumen di Graubunden Swiss. Hingga kini Zumthor berpraktek di kota tempat kelahirannya, membuka studio kecil karena dia tidak ingin mendapatkan proyek-proyek yang terlalu besar, yang baginya sulit untuk menerapkan metoda perancangannya yang sangat intuitif dan personal. Zumthor mendapatkan Pritzker Prize of Architecture pada tahun 2009, sebuah penghargaan yang sangat bergengsi di bidang arsitektur. Thinking Architecture Merupakan sebuah buku karya Peter Zumthor yang menjelaskan pemikiranpemikirannya terhadap arsitektur. Bagi Zumthor, arsitektur bukan merupakan pengejawantahan teori-teori saja. Senafas dengan pendapat Heidegger bahwa pemikiran teoretis yang abstrak, misalnya pemikiran saintifik ataupun filosofis, sebenarnya berjarak dengan kehidupan sehari-hari. Arsitektur bagi Zumthor merupakan respon langsung terhadap kebutuhan manusia yang dilakukan melalui konstruksi dan material yang di konfigurasikan agar menimbulkan makna dan mampu melayani kebutuhan manusia. Pada halaman pertama buku Thinking Architecture Peter Zumthor menuliskan ingatan tentang pengalamannya semasa kecil tentang sebuah taman di rumah bibinya secara deskriptif dan mendetail. Pengalaman masa kecil Zumthor terhadap dapur bibinya tersebut menanamkan ide tentang dapur hingga Zumthor berprofesi sebagai arsitek. Ide tersebut bisa tertanam karena Zumthor memiliki kenangan yang mendalam terhadapnya. Bagi Zumthor kenangan-kenangan arsitektural tersebut menjadi sumber inspirasi yang nantinya di eksplorasi lebih lanjut dalam perancangan. Dalam merancang Zumthor berusaha menciptakan makna dari konfigurasi material. Karena material itu sendiri menurut Zumthor tidak bermakna, pemaknaan muncul dari konfigurasi material antara satu sama lain secara utuh, dan pemaknaannya pun bergantung pada konteks dimana konfigurasi material itu berada. Karena itu dalam merancang harus selalu di evaluasi secara terus menerus pengaruh material terhadap pemaknaan dalam konteksnya. Bagi Zumthor proses pemaknaan menyangkut perasaan dan pemahaman. Dimana pemahaman manusia terhadap sesuatu itu selalu terkait dengan masa lalu, manusia memaknai berdasar kenangan dan ingatan. Karena itu arsitektur sebaiknya mampu membangkitkan ingatan manusia sehingga bisa memaknai arsitektur secara lebih mendalam. I believe that the real core of all architectural work lies in the act of construction (Zumthor,2006:11) melalui konstruksi sebuah karya arsitektur lahir di dunia. Yang tadinya hanya berupa ide, menjadi material yang nyata dan menjadi bagian dari dunia. Selain itu, yang ingin Zumthor katakan adalah bahwa dalam

konstruksi tertanam jiwa dari pembangunnya, dimana kerja keras dan kesungguhan dalam proses konstruksi menjadi bagian inheren (melekat) dari arsitektur. Bagi Zumthor arsitektur memiliki hubungan fisik secara khusus dengan kehidupan, tidak hanya sekedar penyampai pesan, atau simbol,2 namun arsitektur adalah pelingkup manusia, menjadi latar belakang dari kehidupan yang berlangsung didalam maupun di sekitarnya.3 Arsitektur yang baik harus memiliki kualitas arsitektural yang melekat pada dirinya sendiri, memiliki hubungan fisik secara khusus dengan kehidupan. Arsitektur bukan hanya sebagai media atau simbol. Karena simbol-simbol tersebut sudah ada dimana-dimana (televisi,radio,iklan,baliho,dll) yang begitu semrawut. Arsitektur harus mampu menjadi oase dari ruwetnya simbol-simbol dimana esensi arsitektural dapat dirasakan, arsitektur menjadi latar belakang dari kehidupan manusia yang berlangsung didalamnya maupun disekitarnya. Bahasa arsitektur tidak berbicara melalui style, arsitektur diciptakan pada saat tertentu, dengan konteks tertentu, dengan penghuni tertentu yang masingmasing memiliki karakteristik tersendiri yang tidak dapat diwakili hanya oleh style. Arsitektur yang baik bagi Zumthor adalah arsitektur berdiri disana sebagai bagian dari lansekap, tidak menjadi representasi dari simbol-simbol, tidak membuat kita berpikir tentang makna-makna yang ada dibaliknya. Arsitektur menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (Zumthor, 2006: 17). Sasaran desain arsitektur Zumthor adalah bangunan yang bersama waktu tumbuh menjadi bagian sejarah dari tempatnya. Arsitektur yang merupakan buatan manusia tentunya menimbulkan intervensi pada lingkungan. Namun intervensi tersebut sebaiknya tidak mengganggu keutuhan tempat tersebut. Sebagai contoh bila kita melempar batu ke tengah telaga, maka bentuk dasar telaga tentunya berubah, tapi telaga masih tetap telaga, arsitektur seharusnya seperti itu juga. Dalam pembuatan gambar kerja, Zumthor terus melakukan pengolahan gambar kerja hingga mencapai titik dimana suasana yang dicari telah dicapai dan berhenti mengolah gambar kerja sebelum hal-hal tambahan yang kurang penting muncul dan merusak fokus dari desain. Gambar arsitektur bagi Zumthor bukan hanya ilustrasi mengenai ide-ide arsitektur namun menjadi bagian dari proses berarsitektur yang prosesnya berakhir dengan pembangunan obyek arsitektur. Bagi Zumthor proses mendesain adalah permainan antara perasaan dan logika. Utamakan pada perasaan namun gunakan logika sebagai pengontrol. Momenmomen pencerahan penyelesaian desain akan didapat jika kita bersabar dan bersungguh dalam mengerjakan proyek (Zumthor, 2006: 20). Kadang pada saat menyelesaikan permasalahan desain, menurut Zumthor, arsitek harus melepaskan pengetahuan keilmuan arsitektur yang didapat di akademi, dan pengetahuan tentang kesejarahan arsitektur. Penyelesaian masalah desain merupakan sebuah dialog dengan permasalahan pada konteks dan saat itu juga, sehingga penyelesaian desain merupakan sebuah penemuan (invention) (Zumthor, 2006: 11). Ketika sebuah desain arsitektur hanya mengikuti tradisi atau style, desain tersebut kurang dapat merespon fungsi-fungsi kontemporer yang
2

Ini mungkin bertentangan dengan konsep-konsep arsitektur postmodern dimana peran bahasa dalam arsitektur mendapat perhatian besar. 3 architecture has its own realm. It has a special physical relationship with life. I do not think of it primarily as either message or a symbol, but as an envelope and backround for life which goes in and around it, a sensitive container for the rythm of footsteps on the floor, for the concetration of work, for the silence of sleep h.12-13

terjadi yang mungkin berbeda dengan kebutuhan tradisi dan style. Namun jika karya arsitektur hanya berkutat dengan masalah-masalah fungsi, bangunan arsitektur menjadi tidak terikat pada tanah dimana dia berdiri, menjadi hal asing dengan lingkungan sekitarnya. Ketika Zumthor akan mendesain sebuah bangunan di sebuah site, dia mendatangi site tersebut dan merasakan bentuknya, sejarahnya, dan segala macam kualitas yang dapat ditangkap secara inderawi. Pada saat itu pula imajinasi Zumthor melayang ke kualitas tempat tempat yang pernah ia kunjungi sebelumnya maupun suasana arsitektural apapun yang pernah dia lihat di lukisan, film, teater, bahkan literatur (Zumthor, 2006: 26). Zumthor lalu berusaha menghubungkan apa yang dia alami pada site dengan imajinasi suasana arsitektural yang telah ia alami ke dalam sebuah desain arsitektur. Sementara pengaruh pemikiran Heidegger terhadap Peter Zumthor dapat dilihat dalam tabel dibawah. Tabel 2. Pengaruh Fenomenologi Heideggerian Pada Peter Zumthor No 1 2 Heideggerian Nearness So it seems Peter Zumthor arsitektur itu tidak untuk dilukiskan atau ditulis tapi untuk di alami secara utuh There was a time when i experienced architecture without thinking about it. Bahwa arsitektur di alami tanpa memikirkannya berarti bahwa arsitektur dialami tanpa ada asumsi-asumsi sains maupun filosofis. 4

3 4 5 6 7 8 9

Thing and Object Fourfold Gathering Architecture is not enough Building and dwelling Place and space Poetic Measuring

When i design a building, i frequently find myself sinking into old, half-forgotten memories, and then i try to recollect what the remembered architectural situation was really like..

PROSES KREATIF Arsitek dalam mendesain melalui sebuah proses kreatif. Mulai dari inspirasi yang abstrak dan intangible menjadi sebuah bentuk yang tangible. Saya menggunakan creative process berdasarkan Bryan Lawson sebagai kerangka untuk mengkategorikan pemikiran fenomenologis dalam perancangan Zumthor agar mudah dipahami, skema creative process tersebut adalah :

konsep building and dwelling benar-benar menolak keberadaan arsitek. Arsitektur seharusnya sesuatu yang muncul alami. Sementara Zumthor sendiri adalah seorang arsitek, jadi tidak mungkin pemikiran ini dimasukkan dalam pengaruhnya pada Zumthor

Gambar 2. Skema Proses Kreatif menurut Bryan Lawson METODA MERANCANG FENOMENOLOGIS Setelah kita mempelajari tulisan Zumthor dalam bukunya Thinking Architecture. Dengan menggunakan skema proses kreatif berdasarkan Bryan Lawson maka akan kita coba mengklasifikasikan pola-pola perancangan Zumthor yang bersifat fenomenologis5 sebagai berikut : 1. First Insight Dalam metoda fenomenologis, insight harus di alami secara langsung tanpa perantara, misalnya untuk mendesain di sebuah site kita tidak bisa hanya menyelidiki site berdasarkan gambar dan analisis-analisis yang sudah ada, kita harus terjun sendiri ke lapangan merasakan site dengan seluruh panca indera, merasakan tanahnya, udaranya, bagaimana waktu berjalan ditempat itu, melakukan kontak dengan warga sekitar untuk mempelajari sejarahnya. Kemudian pendekatan tersebut tidak boleh dilakukan hanya sepintas, namun harus terus menerus dan berulangulang, sehingga kita benar-benar mengetahui kondisi dari site secara personal dan mendalam. Hal ini sangat mutlak dalam metoda perancangan fenomenologis. Selain itu kita harus selalu membuka panca indera dan perasaan dimanapun kita berada agar perbendaharaan kualitas-kualitas arsitektural yang kita miliki menjadi kaya. Kekayaan perbendaharaan kualitas arsitektural ini menjadi modal dalam merancang secara fenomenologis. 2. Preparation & Incubation Dalam perancangan fenomenologis, intuisi perannya sangat besar. Kita jangan ragu untuk menggunakan intuisi kita sebesar-besarnya namun penggunaan intuisi tersebut harus dibatasi oleh penggunaan logika. 3. Illumination & Verification Pada tahap ini, metoda fenomenologis tidak terlalu berbeda dengan metoda merancang arsitektur pada umumnya.
5

Sudah jelas pengaruh fenomenologi heideggerian pada Peter Zumthor karena secara eksplisit dijelaskan pengaruhnya oleh Zumthor pada bukunya Thinking Architecture.

PENUTUP Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa pengaruh filsafat fenomenologi Heideggerian sangat besar pengaruhnya pada proses mendesain Peter Zumthor walaupun tidak seluruhnya diterapkan, karena sebenarnya Heidegger menolak peran arsitek dalam menciptakan sebuah karya arsitektur, bagi Heidegger arsitektur harus muncul secara alami. Proses perancangan fenomenologis membutuhkan pendekatan yang sangat personal, dalam kesimpulan saya tidak semua proyek arsitektur dapat diterapkan metoda fenomenologis, metoda perancangan fenomenologis cocok digunakan untuk yang tidak terlalu besar dengan deadline yang tidak terlalu ketat. Karena proses perancangan fenomenologis memerlukan pendekatan yang terus-menerus, berulang dan mendalam.

DAFTAR PUSTAKA 1. Adian, Donny Gahral. Pengantar Fenomenologi. Depok: Penerbit Koekoesan, 2010. 2. Bertens, K (editor). Fenomenologi Eksistensial. Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2006. 3. Heidegger, Martin. Poetry, Language,Thought. New York: Harper Colophon, 1975 4. Pallasmaa, Juhani. The Eyes of The Skin, Architecture and Senses. Wiley, 2005 5. Sharr, Adam. Heidegger for Architects, New York: Routledge, 2007 6. Siregar, Laksmi G. Makna Arsitektur. Jakarta: UIPress, 2008 7. Zumthor, Peter. Peter Zumthor Works Building and Projects: 1979 1997. Birkhauser, 1998 8. Zumthor, Peter. Thinking Architecture. Birkhauser, 2006 9. Zumthor, Peter. Thermae Vals. Verlag Scheidegger Sr Spiess AG, Zurich, 2007.

10

Anda mungkin juga menyukai