Anda di halaman 1dari 27

REFARAT

“TUMOR PARU”

Dokter Muda:

Elisa Rinaldo Perdamenta Ginting Munthe (23010034)

Dokter Pembimbing:

dr. Ivan Doli Benardo Munthe, M.Ked (Paru), Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDIKALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP


NOMMENSEN

MEDAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun refarat dengan judul “Tumor
Paru”. Penyusunan referat ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan selama
menjalani Kepaniteraan Klinik di Departemen Pulmonologi Rumah Sakit Umum
Daerah Sidikalang.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada
dr. Ivan Doli Benardo Munthe, M.Ked (Paru), Sp.P sebagai pebimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan selama kepaniteraan klinik di Departemen
Pulmonologi Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan yang
harus diperbaiki, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai
pihak yang sifatnya membangun. Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Sidikalang, 30 Agustus 2023

Elisa Rinaldo Perdamenta Ginting

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................2
2.1 Anatomi Sistem Pernafasan..............................................................................2
2.2 Definisi Tumor Paru..........................................................................................5
2.3 Etiologi Tumor Paru..........................................................................................6
2.4 Karsinogenesis Tumor Paru.............................................................................6
2.5 Klasifikasi Tumor Paru.....................................................................................8
2.6 Diagnosis Tumor Paru.......................................................................................9
A. Anamnesis......................................................................................................9
B. Pemeriksaan Fisik.......................................................................................10
C. Pemeriksaan Patologi Anatomi.................................................................10
D. Pemeriksaan Radiologi...............................................................................12
E. Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................13
F. Penentuan Stadium Tumor:.......................................................................13
2.7 Diagnosis Banding Tumor Paru.....................................................................15
2.8 Tatalaksana Tumor Paru................................................................................16
2.9 Prognosis Tumor Paru...................................................................................19
2.10 Pencegahan....................................................................................................20
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................21

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jenis Epitel Saluran Napas……………………………………………4

Gambar 2.2 Karsinogenesis…………………………………………………………7

Gambar 2.3 Tumor Paru Primer…………………………………………………...8

Gambar 2.4 Tumor Paru Sekunder………………………………………………...9

Gambar 2.5 Staging Tumor Paru Menggunakan Bronkoskopi…………………15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker paru merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di dunia.


Menurut data Global Burden of Cancer (Globocan) pada tahun 2020 angka kejadian
kanker paru menempati urutan kedua tertinggi di dunia yaitu sebanyak 2.206.771
kasus dengan kematian tertinggi yaitu 1.796.144 kasus. 1 Sedangkan di Indonesia
kanker paru menempati urutan ketiga dengan angka kejadian sebanyak 34.783 kasus
dan menjadi salah satu keganasan dengan angka kematian tertinggi yaitu sebesar
30.843.2 Tingginya angka kematian disebabkan oleh adanya keterlambatan dalam
penegakan diagnosis. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(Kemenkes) tumor paru menjadi penyebab kematian utama pada laki-laki sebesar
21.8% dan perempuan 9.1%. Menurut data Kemenkes, kanker paru merupakan salah
satu kanker yang menyebabkan satu per tiga dari seluruh kematian akibat kanker pada
laki-laki. Pada tahun 2019 kejadian kanker paru di Indonesia paling banyak terjadi di
provinsi Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Selatan.3

Kanker paru disebabkan oleh berbagai faktor risiko yang dapat dikendalikan
yaitu merokok, paparan radon, polutan indoor, polutan outdoor, penyakit paru kronik
dan karsinogen di lingkungan kerja sedangkan yang tidak dapat dikendalikan yaitu
usia, jenis kelamin dan genetik. Sebagian besar pasien kanker paru datang dalam
keadaan stadium lanjut sehingga biaya berobat besar dan usia harapan hidup rendah
sementara hingga saat ini belum ada metode skrining untuk kanker paru yang
memuaskan sehingga perlu upaya yang lebih keras untuk promotif dan preventifnya.
Berdasarkan data diatas, upaya utama yang harus dilakukan adalah mengendalikan
faktor resiko kanker paru.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Pernafasan


Sistem pernafasan dibentuk oleh beberapa struktur. Seluruh struktur tersebut
terlibat dalam proses respirasi eksternal yaitu suatu proses pertukaran oksigen antara
atmosfer dan darah serta pertukaran karbondioksida antara darah dan atmosfer.
Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas antara darah dan atmosfer sedangkan
respirasi internal adalah proses pertukaran gas antara darah sirkulasi dan sel jaringan
diseluruh sistem tubuh. Struktur yang membentuk sistem pernapasan dibedakan
menjadi principal structure dan accessory structure. Yang termasuk kedalam struktur
utama sistem pernapasan adalah saluran udara yaitu jalan napas, saluran napas dan
parenkim paru. Yang dimaksud jalan napas adalah nares, internal nose, external nose,
sinus paranasal, faring, dan laring. Sedangkan saluran napas adalah trakea, nronkus
dan bronkiolus. Terdapat banyak perbedaan pengertian mengenai saluran udara
pernapasan bagian atas, disebutkan bahwa upper airway mulai dari nares sampai
karina. Parenkim paru adalah organ berupa kumpulan kelompok alveoli yang
mengelilingi cabang-cabang pohon bronkus. Paru kanan terdiri dari 3 lobus yaitu
lobus kanan atas, tengah kanan, dan kanan bawah. Paru kiri memiliki dua lobus yaitu
atas kiri dan kiri bawah Setiap lobus memiliki bronkus lobusnya masing-masing.5
Struktur pelengkap sistem pernapasan adalah struktur penunjang yang
diperlukan untuk bekerjanya sistem pernapasan itu sendiri. Struktur pelengkap terdiri
dari costa, otot penyusun dinding toraks, muskulus pada abdomen, diafragma dan
pleura. Dinding toraks dibentuk oleh 12 os costa, 12 os vertebra torakalis, 1 os
sternum, 2 os clavicular dan 2 os scapula. Muskulus penyusun rongga dada terdiri
dari muskulus ekstremitas superior ( m. pektoralis mayor, m. pektoralis minor, m.
serratus anterior dan m. subclavius), muskulus anterolateral abdominal (m. abdominal
oblikus eksternus dan m. rektus abdominis), dan muskulus toraks intrinsik (m.
interkostalis eksterna, m. interkostalis interna, m. sternalis, m. toraksis transversus).

2
Otot pernapasan dibagi menjadi otot inspirasi utama (m. interkostalis eksterna, m.
interkartilaginus parasternal dan otot diafragma), accessory respiratory muscle (m.
sternokleidomastoideus, m. skalenus anterior, m. skalenus medius, m.skalenus
posterior). Pada saat bernapas seperti biasa (quiet breathing), untuk ekspirasi tidak
diperlukan kegiatan otot cukup dengan daya elastis paru saja maka udara dalam paru
akan keluar saat ekspirasi tetapi saat serangan asma diperlukan active breathing
dimana diperlukan kerja m. interkostalis interna, m. interkartilaginus parasternal, m.
rectus abdominis, dan m. oblikus abdominis eksterna. Otot ekspirasi tersebut juga
bekerja pada saat berbicara, menyanyi, batuk, bersin dan mengedan.5
Diafragma merupakan septum berupa jaringan muskulotendineus yang
memisahkan rongga toraks dengan rongga abdomen. Terdapat tiga aperture pada
diafragma, yaitu hiatus aortikus yang dilalui oleh aorta desendens, vena azigos dan
ductus torasikus, adanya hiatus esophagus yang dilalui oleh esophagus, dan aperture
yang dilalui oleh vena kava inferior. Pleura dibentuk oleh jaringan yang berasal dari
mesodermal. Pleura dibedakan jadi pleura viseralis yang melapisi paru dan pleura
parietalis yang melapisi dinding dalam hemitoraks. Di antara kedua pleura terbentuk
ruang yang disebut rongga pleira yang sebenarnya tidak berupa rongga tapi ruang
potensial. Pada keadaan normal, rongga pleura berisi cairan pleura dalam jumlah
yang sangat sedikit (0,1-0,2 ml/kgBB), jadi hanya berupa lapisan cairan pleura
setebal 10-20 um yang menyelaputi kedua belah pleura. Meskipun sangat tipis, cairan
ini telah dapat memisahkan lapisan pleura viseralis dengan pleura parietalis agar tidak
saling bersinggungan atau berlengketan.5

3
Gambar 2.1 Jenis Epitel Saluran Napas5

Tindakan respirologik seperti intubasi trakea, pemeriksaan bronkoskopi, atau


pemeriksaan bronkografi harus dilakukan melalui saluran udara pernapasan bagian
atas (hidung, fairng, dan laring). Sepertiga anterior rongga hidung dibagi menjadi dua
oleh septum nasi. Ostium nasalis interna merupakan bagian paling sempit di rongga
hidung. Udara yang dihirup melalui ostium ini mendapat tahanan 50% dibanding dari
mulut. Palatum molle membagi faring menjadi dua bagian yaitu region nasofaring
dan region orofaring. Pada nasofaring, terdapat jaringan limfoid yang membentuk
lingkaran; adenoid termasuk didalamnya. Tonsil yang terletak antara tenggorok
anterior dan posterior membatasi rongga mulut dengan orofaring. Laring terdiri atas
kartilago, pita suara, otot dan ligamentum. Semuanya menjaga agar jalan napas
terbuka selama bernapas dan menutup ketika sedang menelan.5
Batasan saluran udara pernapasan bagian atas dan saluran bagian bawah
adalah pinggir bawah kartilago krikoidea. Saluran udara pernapasan bagian bawah
dimulai dari ujung trakea (pinggir bawah kartilago krikoidea) sampai bronkiolus

4
terminalis. Bagian yang tidak berkartilago disebut trakea membranosa dan berada di
sebelah posterior. Bronkus utama kanan lebih pendek dibanding kiri. Dinding saluran
napas dilapisi oleh sepitel semu berlapis (pseudostratified) bersilia yang membentuk
kolumnar tetapi makin ke chepal menjadi lebih pipih. Terdapat sel basal yang
terdapat mulai dari trakea sampai bronkiolus, sel intermediate bentuk kolumnar diatas
sel basal yang akan menjadi sel bersilia, kulchitsky cell (argyrophil cell) merupakan
sel endokrin, sel bersilia yang mendorong mukus yang menuju rongga mulut dan
kelainan nya disebut sindroma young, brush cell untuk absorbsi cairan, sel goblet
yang menghasilkan musin untuk melapisi dinding jalan napas dan menangkap
partikel debu, serous cell yang banyak di cephalad, sel clara untuk mrmproduksi
cairan yang memetabolisme toksin.5
Terdapat dua buah paru, yaitu paru kanan dan kiri. Paru kanan memiliki tiga
lobus sedangkan paru kiri memiliki dua lobus. Lobus paru terbagi menjadi beberapa
segmen. Paru kanan memiliki 10 segmen dan kiri 8 segmen. Alveolus dibentuk oleh
dua sel yaitu pneumosit tipe I (skuamosa) dan pneumosit tipe II (kuboid/granular)
yang berperan sebagai sel progenitor epitel alveoli yang akan menjadi sel tipe I.
fungsi sel pneumosit tipe II adalah menghasilkan surfaktan. Paru mendapat darah dari
arteri pulmonalis dan arteri bronkialis. Arteri pulmonalis bercabang dua mengikuti
bronkus utama kanan dan kiri untuk bercabang membentuk ramifikasi yang
menyalurkan darah ke interstisial paru. tekanan darah pada arteri pulmonalis sangat
rendah sehingga memungkinkan pertukaran gas dengan baik. Darah yang disalurkan
oleh arteri bronkialis sampai ke saluran pernapasan, septa interlobular, dan pleura.
Sepertiga darah yang meninggalkan paru melalui vena azigos menuju vena cava
sedangkan dua pertiga menuju vena pulmonalis ke atrium kiri.5

2.2 Definisi Tumor Paru


World Health Organization (WHO) mendefinisikan kanker paru sebagai
tumor ganas yang berasal dan tumbuh pada epitel saluran pernapasan (bronkus,

5
bronkiolus dan alveolus). Tumor paru merupakan suatu neoplasma yang berkaitan
erat dengan kanker paru karena sebagian besar tumor paru bersifat ganas.6
2.3 Etiologi Tumor Paru
Tumor paru dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan faktor resiko
yaitu dapat dan tidak dapat di modifikasi. Faktor yang dapat di modifikasi adalah
asap rokok, makanan, lingkungan sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi adalah
faktor genetik dan jenis kelamin. Seseorang dengan riwayat keluarga yang mengalami
kanker paru akan meningkatkan resiko terjadinya kanker paru pada keturunannya.
Laki-laki lebih berpotensi mengalami kanker paru dibandingkan perempuan, hal ini
berkaitan dengan kebiasaan merokok yang lebih tinggi pada laki-laki. Polusi udara
dan paparan lingkungan yang mengandung bahan karsinogenik seperti gas radon,
kromium, dan asbestos dapat menginduksi terjadinya kanker paru khususnya pada
pasien yang selalu berkontak dengan asap, debu, ataupun polusi kendaraan.6
2.4 Karsinogenesis Tumor Paru
Kanker merupakan sel yang tumbuh tidak terkendali dan dapat trerjadi pada
seluruh sel tubuh termasuk paru. secara garis besar proses karsinogensis memiliki 4
tahap yaitu tumor initiation, tumor promotion, malignant conversion dan tumor
progression. Proses tersebut membutuhkan peran faktor lingkungan seperti pajanan
yang lama dengan zat karsinogenik dari luar tubuh. Faktor genetik seperti mutasi
germ-line pada gen p-53, retinoblastoma (gen Rb), atau gen epidermal-growth factor
receptor (EGFR) ternyata memiliki kerentanan untuk mengalami kanker paru walau
tidak ada pajanan dengan faktor lingkungan.

6
Gambar 2.2 Karsinogenesis4

Tumor initiation (inisiasi) terjadi akibat kerusakan genetik irreversible pada


sel normal. Karsinogen maupun jejas kronis dapat menyebabkan kelainan/perubahan
struktur Deoxyribonucleic Acid (DNA) kemudian mengaktivasi gen proto-onkogen
atau menginaktivasi tumor suppressor gene. Tahap selanjutnya yaitu tumor
promotion merupakan ekspansi/proliferasi awal klon sel tertentu yang sebelumnya
telah terinisiasi (clonal expansion). Semakin sering sel membelah maka kemungkinan
untuk terjadinya mutasu juga semakin besar dan terakumulasi sehingga sel-sel
tersebut menjadi ganas. Kumpulan sel tersebut disebul lesi preneoplastik. Malignant
conversion adalah kerusakan atau perubahan genetik yang terus berlanjut akan
menyebabkan lesi preneoplastik berubah menjadi ganas. Tahap ini merupakan
transformasi sel preneoplastik menjadi kelompok sel yang memiliki fenotik ganas
seperti proliferasi berlebihan dan tidak terkendali, tidak lagi membutuhkan hormon
pertumbuhan atau kemampuan untuk menghindari proses apoptosis. Proses ini
biasanya dimediasi melalui aktivasi gen proto-onkogen maupun inaktivasi tumor
suppressor gene yang berlebihan dan tidak terkendali. Tahap terakhir yaitu tumor
progression, tahap ini menunjukkan bahwa sel-sel tersebut telah menjadi berfenotip

7
ganas dan memiliki kecenterungan untuk lebih agresif seiring berjalannya waktu.
Contohnya adalah mulai dari proses angiogenesis, invasi dan mengalami infiltrasi ke
jaringan di sekitarnya lalu akhirnya bermetastasis ke jaringan lain yang dekat maupun
jauh.4
2.5 Klasifikasi Tumor Paru
Tumor paru dapat diklasifikasikan menjadi7 :
A. Tumor Paru Primer
Tumor ini merupakan tumor yang berasal dari jaringan paru dan dibedakan
berdasarkan sifat sel tumor apakah jinak atau ganas. Beberapa jenis sel tumor
jinak adalah hemartoma, fibroma, kondroma, lipoma, leiomioma, tumor vaskular
dan mesotelioma sedangkan sel tumor ganas diantaranya adalah adenokarsinoma
paru, karsinoma paru anaplastik sel besar, karsinoma paru anaplastik sel kecil,
dan karsinoma alveolar.5

Gambar 2.3 Tumor Paru Primer8


B. Tumor Paru Sekunder
Jenis Tumor paru ini berasal dari terjadinya metastasis tumor primer di organ
lain dan menyebar ke paru-paru. biasanya terdapat gambaran cannon ball
appereance.

8
Gambar 2.4 Tumor Paru Sekunder8
2.6 Diagnosis Tumor Paru
Penegakan diagnosis tumor paru dapat dilakukan melalui :

A. Anamnesis
Melalui anamnesis dapat diketahui keluhan utama, perjalanan
penyakit, dan faktor yang mempengaruhi untuk terjadinya penyakit yang
dialami pasien. Gambaran yang ditemui pada pasien tumor paru biasanya
terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Keluhan utama yang
sering di keluhkan pasien:

a. Batuk, dengan atau tanpa dahak


b. Hemoptysis
c. Dyspnea
d. Suara serak
e. Benjolan di leher
f. Sulit menelan
g. Nyeri dada
Beberapa gejala tidak khas yang biasa menyertai tumor paru
diantaranya:
a. Penurunan nafsu makan

9
b. Penurunan berat badan
c. Demam hilang timbul.3,4,5

B. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dinilai keadaan umum, vital sign, status gizi, limfadenitis
pada region cervical atau axilla, dan abnormalitas pada pemeriksaan
toraks. Hepatosplenomegali, asites dan nyeri ketok tulang biasanya juga
dapat ditemukan pada pasien tumor paru. terdapatnya massa yang besar
pada paru ditandai dengan sesak napas dengan suara napas tambahan pada
auskultasi. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) menandakan telah
terjadi penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada, kepala dan lokasi
lain menjadi petanda penyebaran venektasi (pelebaran vena) di dinding
dada dengan edema di leher, wajah dan lengan berkaitan dengan sindrom
vena kava superior. Sindroma horner sering terjadi pada tumor yang
terletak di apeks (Pancoast tumor) thrombus pada vena ekstremitas
ditandai dengan edema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan
sistem hemostasis (peningkatan D-Dimer) menjadi tanda bahwa telah
terjadi deep vein thrombosis (DVT). Pada kanker yang telah bermetastasis
ke tulang ditandai dengan fraktur patologis. Tanda gangguan neurologis
akan didapati jika kanker telah menyebar ke otak atau tulang belakang.3,4

C. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Pengambilan sampel untuk dilakukan pemeriksaan patologi anatomi
dapat dilakukan dengan :
a. Bronkoskopi
Tindakan bronkoskopi adalah suatu pemeriksaan dengan mengambil
jaringan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas dan bertujuan
untuk diagnostik. Dilihat apakah terdapat massa intrabronkus atau
perubahan mukosa saluran napas seperti terdapat nodul, hiperemis,
mudah berdarah, atau stenosis infiltratif. Gambaran yang abnormal

10
sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi dinding bronkus, bilasan,
sikatan, atau kerokan bronkus.
b. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada
posisi jam 1 bila tumor ada di kanan akan memberikan informasi
ganda yakni didapati bahan untuk sitologi dan informasi metastasis
KGB subkarina atau paratrakeal.
c. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Apabila lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk
fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus TBLB harus dilakukan.
d. Biopsi Aspirasi Jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan misalnya
karena sangat mudah berdarah atau mukosa licin berbenjol maka
sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum karena bipasan dan biopsi
bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
e. Transthoracic Biopsy (TTB)
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, tindakan ini
dilakukan dengan bantuan fluoroscopic angiograpy. Tetapi apabila
lesi yang ditemukan ternyata lebih kecil dari 2 cm dan terletak lebih
di bagian sentral maka dapat dilakukan tindakan TTB dengan
bantuan alat penunjang lain yaitu dengan menggunakan CT-Scan.
f. Sitologi Sputum
Tindakan ini dilakukan dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk
merangsang pengeluaran sputum cair, kemudian sputum segera di
kirim ke laboratorium patologi anatomi. Apabila sputum berupa
sediaan apusan maka dilakukan fiksasi kemudian segera dilakukan
pembacaan.

11
g. Torakoskopi Medik
Dengan tindakan ini maka tumor di bagian perifer paru, pleura
visceralis, pleura parietalis dan mediastinum dapat dilihat dan di
biopsi.
h. Biopsi Lain
Biopsi daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB
supraklavikula dan cara lain tidak dapat menunjukkan jenis sel
kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan jika terdapat efusi
pleura.3,4,6

D. Pemeriksaan Radiologi
Penentuan lokasi tumor primer, lokasi metastases, dan penentuan
stadium penyakit berdasarkan sistem TNM dapat dilakukan dengan
pemeriksaan radiologi seperti foto toraks, bone scan, USG abdomen dan
CT-Scan brain.
a. Foto toraks
Pada massa tumor dengan ukuran lebih dari 1 cm dapat terlihat
dengan pemeriksaan PA/Lateral. Tanda yang menunjukkan
keganasan adalah tepi yang ireguler, tumor satelit tumor, dan
indentasi pleura.
b. CT-Scan
Ukuran tumor lebih kecil dari 1 cm dapat dideteksi dengan
pemeriksaan ini disertai tanda-tanda keganasan, dan kondisi lain
seperti penekanan bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis, efusi
pleura yang tidak masid dan invasi ke mediastinum meski masih
asimtomatik. Melalui pemeriksaan ini juga dapat dilihat keterlibatan
KGB untuk menentukan stage karena pembesaran KGB (N1 s/d N3)
dapat dideteksi.

12
c. Pemeriksaan radiologi lain
CT-Brain untuk mendeteksi metastasis ke tulang kepala/jaringan
otak, bone scan/bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh
jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada tidaknya
metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ intraabdominal.

E. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin untuk melihat hemoglobin,
leukosit, trombosit, fungsi hati dan hungsi ginjal. Tumor marker pada
kanker paru adalah Carcinoma Embryonic Antigen (CEA), Neuron-
Spesific Enolase (NSE) dan Cytokeratine Fragments 19 (Cyfra 21-1)

F. Penentuan Stadium Tumor:


1. Tumor primer/Primary Tumor (pT)
a. pTX : tumor primer tidak dapat dinilai atau tumor dibuktikan
dengan adanya sel ganas pada dahak atau bilasan bronkus tetapi
tidak dapat divisualisasikan dengan pencitraan atau bronkoskopi
b. pT0 : tidak ada bukti tumor primer
c. pTis : karsinoma in situ, karsinoma sel skuamosa in situ,
adenokarsinoma in situ (pola lepid murni dan ≤ 3 cm)
d. pT1mi : adenokarsinoma invasif minimal (≤ 3 cm dengan pola
dominan lepid dan invasi ≤ 5 mm)
e. pT1a : tumor berukuran ≤ 1 cm atau jarang merupakan tumor
superfisial dan menyebar dengan ukuran berapa pun dengan
komponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang dapat
meluas ke proksimal bronkus utama
f. pT1b : tumor > 1 cm tetapi ≤ 2 cm
g. pT1c : tumor > 2 cm tetapi ≤ 3 cm

13
h. pT2 : tumor > 3 cm tetapi ≤ 5 cm atau mengenai bronkus utama
tanpa memandang jarak ke karina tanpa mengenai karina,
menginvasi pleura visceral (PL1 atau PL2) atau berhubungan
dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas ke
daerah hilus yang melibatkan sebagian atau seluruh paru-paru
a) pT2a : tumor > 3 cm tetapi ≤ 4 cm atau mempunyai 1 ciri di
atas dan ukurannya tidak dapat ditentukan
b) pT2b : tumor > 4 cm tetapi ≤ 5 cm
i. pT3 : tumor > 5 cm tetapi ≤ 7 cm atau langsung menyerang
pleura parietal (PL3), dinding dada (termasuk tumor sulkus
superior), saraf frenikus atau perikardium parietal atau adanya
nodul tumor terpisah di lobus yang sama
j. pT4 : tumor > 7 cm atau tumor dengan ukuran berapapun yang
menyerang diafragma, mediastinum, jantung, pembuluh darah
besar, trakea, saraf laring berulang, esofagus, badan vertebra atau
karina atau adanya nodul tumor terpisah di lobus ipsilateral yang
berbeda

2. Kelenjar Getah Bening Regional (pN)


a. pNX : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
b. pN0 : tidak ada metastasis kelenjar getah bening regional
c. pN1 : metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial
ipsilateral, hilus ipsilateral, atau intrapulmoner, termasuk
keterlibatan melalui perluasan langsung
d. pN2 : metastasis pada kelenjar getah bening mediastinum
ipsilateral atau subkarinal
e. pN3 : metastasis pada mediastinum kontralateral, hilus
kontralateral, skalene ipsilateral/kontralateral, atau kelenjar getah
bening supraklavikula

14
3. Metastasis Jauh (pM)
a. pM0 : tidak ada metastasis jauh
b. pM1a : nodul tumor terpisah di lobus kontralateral, nodul pleura,
nodul perikardial, efusi pleura ganas, atau efusi perikardial ganas
c. pM1b : metastasis ekstratoraks tunggal pada satu organ
(termasuk satu kelenjar non regional)
d. pM1c : beberapa metastasis ekstratoraks pada satu organ atau
beberapa organ.9

Gambar 2.5 Staging Tumor Paru Menggunakan Bronkoskopi10

2.7 Diagnosis Banding Tumor Paru


1. Tumor mediastinum

15
Salah satu diagnosis banding tumor paru adalah tumor mediastinum.
Tumor yang berada di rongga mediastinum. Gambaran klinis dapat berupa
batuk darah, batuk kronis, sesak napas, nyeri dada, penurunan berat badan,
malaise, penurunan nafsu makan, demam yang hilang timbul, dan sindrom
paraneoplastik.10
2. Tuberculoma
Tuberculoma merupakan infeksi sistem saraf pusat oleh kuman
mycobacterium tuberculosis. Proses inflamasi sering disertai edema perifokal.
Sebagian besar lesi tuberkuloma terletak di intraparenkim dengan lokasi di
otak tetapi lebih sering berada di hemisfer. Medulla spinalis juga dapat
menjadi tempat ditemukannya tuberculoma.11
3. Metastasis Tumor Paru
Tumor primer dari organ lain dapat bermetastasis ke parenkim paru
sehingga menjadi metastasis tumor paru, sedangkan kanker paru primer
definisikan sebagai tumor ganas yang berasal dari sel epitel saluran napas atau
bronkus.6

2.8 Tatalaksana Tumor Paru


A. Thoracic Surgery
Tindakan ini dianggap sebagai standar perawatan bagi penderita kanker paru
stadium awal yang dianggap cukup sehat. Teknik bedah modern telah dikembangkan,
termasuk Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) yang kurang invasif untuk
reseksi paru. Lobektomi bedah torakoskopi dengan bantuan video juga memiliki
risiko komplikasi total yang lebih rendah dan masa rawat inap di rumah sakit yang
lebih singkat.12
B. Radiotheraphy
Pengobatan menggunakan radioterapi terus berkembang dan kini terdapat
berbagai teknik yang digunakan untuk mengobati kanker paru-paru dengan tujuan
kuratif. Stereotactic Ablatif Radiotheraphy (SABR), yang telah dikembangkan untuk

16
digunakan pada kanker paru-paru sejak awal tahun 2000an, namun tidak banyak
digunakan di Inggris hingga akhir tahun 2000an, mampu menghantarkan radiasi dosis
besar dengan presisi tinggi 1–2 mm. untuk lesi kecil <1 cm 3 menggunakan sistem
koordinasi 3D eksternal yang dihubungkan dengan gerakan selama siklus
pernapasan. Prosedur ini terutama diperuntukkan bagi orang-orang dengan kanker
stadium awal yang tidak mampu/tidak mau menjalani reseksi bedah karena penyakit
penyerta medis. Tindakan ini dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup 3 tahun
sebesar 55,8% dengan SABR pada kanker paru T1–2 N0 M0. Selain meningkatkan
kelangsungan hidup secara keseluruhan, SABR juga memiliki tingkat pengendalian
penyakit lokal yang lebih baik dibandingkan dengan radioterapi konvensional dalam
jangka waktu 3 tahun.12,13
C. Radiofrequency
Tindakan ini digunakan untuk pengobatan tumor hati primer atau sekunder,
Radiofrequency Ablation (RFA) untuk tumor paru pertama kali dijelaskan pada tahun
2000an dan obat ini digunakan untuk tumor paru perifer stadium awal atau metastasis
pada pasien yang tidak dapat dioperasi secara medis. Di bawah panduan CT, jarum
yang dapat diperluas dan berisi beberapa elektroda dimasukkan secara perkutan ke
dalam lesi paru. Arus sinusoidal kemudian dialirkan melalui elektroda yang
menyebabkan kerusakan sel akibat panas dan nekrosis koagulasi. Sebagai alternatif,
probe gelombang mikro dapat digunakan untuk mencapai efek ablatif yang
sama. Komplikasi yang paling umum dilaporkan adalah pneumotoraks; namun, hanya
4-16% pasien yang memerlukan pemasangan chest drain. Tidak ada penelitian yang
membandingkan hasil RFA dengan reseksi bedah; meskipun demikian, rangkaian
kasus melaporkan 75% kelangsungan hidup keseluruhan pada kanker paru stadium I
yang tidak dapat dioperasi.12
D. Kemoterapi
Berbeda dengan pengobatan untuk sel kecil, kemoterapi untuk Non Small Cell
Lung Carcinoma (NSCLC) telah mengalami revolusi dalam beberapa tahun terakhir
dan menjadi semakin tepat sasaran dan disesuaikan secara individual untuk setiap

17
pasien berdasarkan identifikasi mutasi genetik pemicu; Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR), Epidermal Growth Factor Receptor thr790met (EGFR T790M),
Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK) dan ROS proto-onkogen 1 (ROS-1). Oleh
karena itu, menjadi semakin penting untuk mendapatkan diagnosis histologis pada
mereka yang cukup sehat secara fisik untuk menjalani pengobatan, terutama karena
pengobatan baru ini lebih dapat ditoleransi oleh pasien dibandingkan kemoterapi
standar. Gagasan pengobatan yang ditargetkan berdasarkan subtipe histologis kanker
paru-paru pertama kali menjadi jelas ketika orang-orang dengan adenokarsinoma
ditemukan memiliki kelangsungan hidup yang lebih baik dengan kemoterapi
cisplatin/pemetrexed dibandingkan dengan cisplatin/gemcitabine, sedangkan hal
sebaliknya terjadi pada mereka yang memiliki tipe histologis sel skuamosa.12
Pengobatan pertama yang ditargetkan secara genetik untuk NSCLC adalah
gefitinib. Ini adalah pengobatan yang diberikan secara oral yang mempengaruhi
EGFR melalui penghambatan tirosin kinase. EGFR adalah protein permukaan
transmembran yang diaktifkan oleh pengikatan faktor pertumbuhan
epidermal. Setelah terikat, domain tirosin kinase intraseluler menyebabkan
serangkaian peristiwa, terutama sintesis DNA dan proliferasi sel. Pada sekitar 15%
orang dengan NSCLC, kendali domain tirosin kinase di EGFR hilang karena mutasi
pada gen EGFR yang menyebabkan proliferasi tidak terkendali. Ketika pertama kali
diberikan kepada semua pasien NSCLC, gefitinib ditemukan memiliki respons pada
subkelompok pasien tertentu, terutama orang Asia, wanita, penderita
adenokarsinoma, dan tidak pernah merokok Saat ini terdapat beberapa pengobatan
yang disetujui oleh The National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
untuk digunakan pada orang dengan NSCLC positif mutasi EGFR: erlotinib, afatanib,
dan gefitinib. Perawatan bertarget lainnya yang telah disetujui oleh NICE adalah
crizotinib untuk NSCLC positif mutasi ALK / ROS-1 dan osimertinib untuk NSCLC
positif mutasi EGFR T790M.12
Kelas pengobatan sistemik terbaru adalah immune checkpoint inhibitor yaitu
pembrolizumab, nivolumab, dan atezolizumab. Mereka bertindak melalui

18
programmed death-ligant 1/2 (PD-L1 dan PD-L2) dan programmed death 1 (PD-1)
yang terprogram. PD-L1 dan PD-L2 merupakan protein yang diduga menekan sistem
imun dengan cara berikatan dengan reseptor PD-1 pada sel T teraktivasi (yang
bertanggung jawab menyebabkan kematian sitotoksik sel kanker bila diaktifkan oleh
antigen tumor). Beberapa sel kanker ditemukan mengekspresikan PD-L1 dan PD-L2
pada membran selnya, sehingga secara efektif memberikan perlindungan dari sistem
kekebalan. Imunoterapi ini memblokir jalur reseptor PD-L1/2 dan PD-1, sehingga
menghilangkan rem pada sistem kekebalan tubuh, sehingga sel-sel kanker dapat
diidentifikasi dan mengalami kematian yang dimediasi oleh sel T sitotoksik. 12,13
E. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif spesialis juga mempunyai peran penting dalam perawatan
kanker paru-paru dan banyak upaya telah dilakukan untuk mengoptimalkan
penggunaannya dan meningkatkan hasil pasien. Mengintegrasikan perawatan
suportif dini yang ditingkatkan untuk orang-orang dengan kanker stadium lanjut ke
dalam perawatan onkologi standar telah direkomendasikan oleh American Society of
Clinical Oncology, yang, setelah melakukan tinjauan sistematis terhadap uji klinis
menyimpulkan terdapat bukti kuat bahwa perawatan paliatif dini meningkatkan
kualitas hidup, mengurangi depresi dan meningkatkan kepuasan terhadap
perawatan; namun, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa hal ini
meningkatkan kelangsungan hidup. Integrasi ini bisa dibilang merupakan penggunaan
sumber daya yang lebih hemat biaya dibandingkan menyetujui penggunaan beberapa
pengobatan yang ditargetkan secara sistemik karena tidak ada satu pun uji coba
perawatan suportif yang ditingkatkan yang menunjukkan peningkatan biaya
dibandingkan perawatan rutin.12

2.9 Prognosis Tumor Paru


Small Cell Lung Cancer (SCLC), dengan adanya perubahan terapi dalam 15-
20 tahun belakangan ini harapan hidup rata-rata (median survival time) yang awalnya

19
<3 bulan meningkat menjadi 1 tahun. Pada kelompok limited disease, harapan hidup
rata-rata naik menjadi 1-2 tahun, sedangkan 20% dari jumlah tersebut tetap hidup
dalam 2 tahun. Sebanyak 30% pasien meninggal karena komplikasi lokal dari tumor,
70% meninggal karena karsinomatosis dan 50% bermetastasis ke otak.
Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC). Pada pasien yang dilakukan tindakan
bedah kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi sebesar 30%. Sebanyak 75%
karsinoma skuamosa meninggal akibat komplikasi torakal, 25% karena ekstra torakal,
2% diantaranya meninggal karena gangguan sistem saraf pusat. 40% adenokarsinoma
dan karsinoma sel besar meninggal akibat komplikasi torakal, 55% karena ekstra
torakal. 15% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar bermetastasis ke otak dan 8-
9% meninggal karena kelainan sistem saraf pusat. Harapan hidup rata-rata pasien
tumor metastasis bervariasi dari 6 bulan sampai 1 tahun dan hal ini sangat tergantung
pada performance status (skala karnofsky), luasnya penyakit, dan adanya penurunan
berat badan dalam 6 bulan terakhir.13

2.10 Pencegahan
Pencegahan yang paling utama adalah tidak merokok sejak usia muda.
Berhenti merokok dapat mengurangi resiko terkena kanker paru. pencegahan dengan
chemoprevention banyak dilakukan dengan memakai derivate asam retinoid,
karotenoid, vitamin C, selenium, dan lain-lain. Jika seseorang beresiko terkena
kanker paru maka penggunaan betakaroten, retinol, isotretinoin ataupun N-acetyl-
cystein dapat meningkatkan resiko terkena kanker paru pada perokok sehingga
penggunaan chemoprevention ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.13

20
BAB III
KESIMPULAN

Tumor paru masih menjadi penyebab kematian tertinggi hingga saat ini.
Tingginya angka kematian disebabkan oleh keterlambatan dalam penegakan
diagnosis yang biasanya telah mengalami metastasis sehingga terlambat untuk di
tangani. Tumor paru dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu berdasarkan faktor
resiko yang dapat dan tidak dapat di modifikasi. Faktor yang dapat di modifikasi
adalah paparan asap, kebiasaan merokok, makanan, lingkungan sedangkan yang tidak
dapat dimodifikasi adalah usia, faktor genetik dan jenis kelamin.

Proses karsinogensis memiliki 4 tahap yaitu tumor initiation, tumor


promotion, malignant conversion dan tumor progression. Proses tersebut
membutuhkan peran faktor lingkungan seperti pajanan yang lama dengan zat
karsinogenik dari luar tubuh. Tumor paru dibedakan menjadi primer dan sekunder,
tumor paru primer merupakan tumor yang berasal dari jaringan paru dan dibedakan
berdasarkan sifat sel tumor apakah jinak atau ganas. Sedangkan tumor sekunder
adalah yang tumuh dari organ lain kemudian bermetastasis ke paru. Pemeriksaan
yang biasa digunakan adalah bronkoskopi untuk mengambil jaringan agar dapat
dipastikan ada tidaknya sel ganas dan bertujuan untuk diagnostik. Tumor marker
yang biasanya ditemukan adalah CEA, NSE dan Cyfra 21-1.

Tatalaksaan dengan thoracic surgery, radioterapi, radiofrekuensi, kemoterapi


dan paliatif masih terus di kembangkan untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Prognosis penyakit tergantung stadium sehingga paya preventif menjadi faktor yang
sangat penting untuk menurunkan angka kejadian tumor paru seperti berhenti
merokok dan menghindari pajanan zat karsinogenik.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. The Global Cancer Observatory - All cancers. Int Agency Res Cancer -
WHO [Internet]. 2020;419:199–200. Available from:
https://gco.iarc.fr/today/home

2. Sutnick AI, Gunawan S. Cancer in Indonesia. JAMA J Am Med Assoc.


1982;247(22):3087–8.

3. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan Kanker


Paru. Kementeri Kesehat Republik Indones [Internet]. 2015;1–47. Available
from: http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKProstat.pdf

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Faktor


Risiko Kanker Paru. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. 2018. p. 29.

5. R Darmanto Djojodibroto. Respirologi (Respiratory Medicine). 2nd ed.


Suyono YJ, Melinda E, editors. EGC; 2016. 5–185 p.

6. Horn L, Lovly CM. Neoplasm of the Lung. In: Harrison’s Principles of


Internal Medicine. 20th ed. Mc Graw Hill; 2018. p. 537–53.

7. Soeroso NN, Afiani D, Tarigan SP, Qodry F. The Characteristic of Secondary


Lung Tumours in Medan. Open Access Maced J Med Sci. 2019;7(16):2623–5.

8. Soeroso LS. Mutiara Paru “Atlas Radiologi dan Ilustrasi Kasus.” Usman, Amir
Z, Soeroso NN, editors. EGC; 2017. 1–40 p.

9. Bychkov A. Lung General Staging. In: Pathology Outline [Internet]. 2022.


Available from:
https://www.pathologyoutlines.com/topic/lungtumorstaging.html

10. Syahruddin E, Zaini J, Soehardiman D, Aniwidyaningsih W, Icksan AG, Mety

22
SH, et al. Kanker Paru. In: Pedoman Penstagingan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia; 2019. p. 1–12.

11. Perez-malagon CD, Barrera-rodriguez R, Lopez-gonzalez MA, Alva-lopez LF.


Diagnostic and Neurological Overview of Brain Tuberculomas : A Review of
Literature. 2021;13(12):1–9.

12. A AGSJ, B DRB, Jones GS, Baldwin DR. Recent advances in the management
of lung cancer. J Clin Med. 2018;18(2).

13. Amin Z. Kanker Paru. In: BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. 6th ed.
EGC; 2014. p. 2998–3007.

23

Anda mungkin juga menyukai