Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUMOR DADA

(KANKER PARU DAN TUMOR MEDIASTINUM)


Dosen Pengampu : Titi I. Afelya, M.Kep., Ns., Sp. Kep.MB & Hotnida Erlin Situmorang,
S. Kep., Ns., M.Ng

Kelompok 9 Nama Anggota :

1. Hesti Arnolda Rumaropen (2020081024149)/tidak aktif

2. Lidwina Ursula Widyaningsih Sirken (2020081024198)

3. Noviyanti May (2020081024193)

4. Christine A. T. Simopiaref (tidak aktif)

5. Gunawan Balalembang (tidak aktif)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan Karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul “ ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN TUMOR DADA (KANKER PARU DAN TUMOR MEDIASTINUM) “selesai tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Medikal Bedah Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi kita semua.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Titi I. Afelya, M.Kep., Ns., Sp. Kep.MB &
Hotnida Erlin Situmorang, S. Kep., Ns., M.Ng selaku dosen mata kuliah Medikal Bedah yang
telah memberikan tugas ini untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi kami.

Kami selaku penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada makalah ini .Oleh
karena itu kritik dan saran dari seluruh pihak senantiasa kami harapakan demi
kesempurnaan makalah yang sudah kami buat.Semoga makalah ini dapat membawa
pemahaman dan pengetahuan bagi kita semua.

Jayapura, 30 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………….……… iii

BAB 1 PENDAHULUAN ………………………….………………………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………………………………………… 1

1.2 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………………….…………….… 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………………………..….…… 3

2.1 KANKER PARU ………………………………………………………………………………………….……..… 4

A. KONSEP MEDIS……………………………………………………………………………………………..…5

1. Definisi Kanker Paru…………….………………...…………………..…………..…………………………… 6

2. Anatomi Fisiologi…………………………...……………………………………………………….………….....7

3. Etiologi ………………………….………………………………...……………….…………………………………8

4. Manifestasi Klinis…………………………………………………………………………….………….…………9

5. Patofisiologi………………………………….………………………..…….……………………………….……….10

6. Pathway…………………………….………………………………………………….………………………….……11

7. Pemeriksaan Fisik……………………………………………………………….………………………………...12

8. Pemeriksaan Penunjang dan Interprestasi……………………………………………………………….13


9. Penatalaksanaan Medis………………………………………………………………………………………….14

B.PROSES KEPERAWATAN……………………………………………………………………………………………14

1. Pengkajian ……………………………………………………………………………………………………...………..15

2. Diagnosis Keperawatan (NANDA, SDKI) ……………………………………………………………………16

3. Intervensi (EBNP)………………………………………………………................................................................17

a Tujuan (NOC, SLKI) ………………………………………………………………………………………………..18

b Rencana Keperawatan (NIC, SIKI)……………………………………………………………………..…… 19

2.2 TUMOR MEDIASTINUM…………………………………..………………………………..……..……..……..19

A. KONSEP DASAR……………………………………………………………………………………………………..20

1. Definisi Tumor Mediastinum…………………………………………………………………………....………21

2. Anatomi fisiologi…………………………………….…….…………………………………………………………22

3. Etiologi………………………………………………………………………………………….……………………….23

4. Manifestasi Klinis…………………………………………………………………………………………..…………24

5. Patofisiologi………………………………………………………….……………………….……………………….25

6. Pathway…………………………………………………………………………………………………………………..26

7. Pemeriksaan Fisik…………………………………………………………………………………………………….27

8. Pemeriksaan Penunjang dan Interprestasi……………………………………………………………….28

9. Penatalaksanaan Medis………………………………………………………………………………………….29
B.PROSES KEPERAWATAN……………………………………………………………………………………………29

1. Pengkajian …………………………………………………………………………………………………………….....30

2. Diagnosis Keperawatan (NANDA, SDKI) ……………………………………………………………………31

3. Intervensi (EBNP)………………………………………………………................................................................32

a Tujuan (NOC, SLKI) …………………………………...……………………………………………………………..33

b Rencana Keperawatan (NIC, SIKI)…………………………………………………………………………… 34

BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………….……………………….………………34

3.1 Kesimpulan …………………………………………………….……………………………….…………………… 35

3.2 Saran ……………………………………………………………..……………………………..…………….……… 36

3.3 DAFTAR PUSTAKA …………….………………………………………….………………………………………37

3.4 RUBLIK PENILAIAN……………………………………………………………………………………………….38


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker paru /Tumor mediastinum merupakan salah satu jenis penyakit paru yang
memerlukan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis ini membutuhkan
keterampilan dan sarana yang tidak sederhana dan membutuhkan pendekatan
multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang erat antara ahli
radiologi dan ahli paru.(PDPI,2003) Di Amerika serikat kematian karena kanker paru
mencapai 36 % dari seluruh kematian kanker pada laki-laki, merupakan penyebab pertama
kematian laki-laki, (Mangunegoro, 1990). Mayo lung mendapatkan kematian akibat kanker
paru terhadap penderita kanker paru didapatkan angka 3,1 per 1000 orang tiap tahun.
Prevalensi penyakit tumor atau kanker di Indonesia menurut Riskesdas 2018 adalah 1,79
per 1000 penduduk dan untuk provinsi NTT terdapat 3 pasien. Menurut konsep masa kini
kanker adalah penyakit gen. sebuah sel normal akan menjadi sel kanker apabila oleh
berbagai sebab terjadi ketidakseimbangan antara fungsi onkogen dengan sel tumor
supresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel. Perubahan atau mutasi gen
yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen . perubahan ini berjalan dalam
beberapa tahap atau dikenal dengan proses multichep karsinogenesis. Perubahan pada
kromosom ,misalnya hilangnya heterogenitas kromosom atau LOH juga diduga sebagai
mekanisme ketidaknormalan pertumbuhan sel pada sel kanker.

Kanker paru diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kanker paru primer dan kanker
paru sekunder. Kanker paru primer adalah sel kanker yang berasal dari paru, sedangkan
kanker paru sekunder adalah sel kanker yang 2 menyebar dari anggota tubuh lain,
termasuk kanker payudara dan kanker kolorektal (Sungging Haryo W, dkk, 2011: 46).
Kanker paru primer dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Small Cell Lung Cancer (SCLC) dan
Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) (Varalakhshmi, 2013: 1). Tahapan perkembangan
SCLC terdapat dua tahap, yaitu tahap terbatas dan tahap ekstensif, sedangkan tahapan
perkembangan NSCLC terdapat 6 tahap, yaitu tahap tersembunyi, stadium 0, stadium I,
stadium II, stadium III, dan stadium IV (Global Bioscience, 2013). Pemeriksaan awal yang
dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker paru adalah pemeriksaan radiologi paru yaitu
melalui foto paru. Foto paru atau sering disebut Chest X-Ray (CXR) adalah suatu proyeksi
radiografi dari paru (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003: 5), yang sering digunakan
untuk screening (deteksi dini) penyakit paru. Citra dari foto paru akan memberikan hasil
yang berbeda antara paru-paru yang sehat dan yang tidak sehat. Adanya nodul di paru-
paru pada citra foto paru menunjukkan bahwa paru-paru tidak sehat, akan tetapi nodul ini
tidak serta merta menjadi indikasi kanker paru karena nodul dapat disebabkan oleh
penyakit paru lain seperti pneumonia atau tuberculosis (Udeshani, et al, 20011: 425).
Nodul yang terdeteksi pada paru-paru dikategorikan menjadi dua yaitu non cancerous
nodule (benign atau tumor jinak) dan cancerous nodule (malignant atau tumor ganas)
(Japanese Society of Radiology Technology, 1997).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aroor et al, dari 35 kasus massa mediastinum yang
dikonfirmasi dengan CT Scan, sebagian besar termasuk dalam kelompok dekade ke-3 dan
ke-5 dengan usia rata-rata 45,4 tahun.9 Berdasarkan jenis kelamin, tumor mediastinum
diketahui dapat ditemukan baik pada pria maupun wanita.1 Berdasarkan hasil penelitian
di RS Persahabatan Jakarta pada tahun 2000-2001 dan 2002-2006, menunjukkan kasus
tumor mediastinum lebih banyak terjadi pada laki-laki (70,6%) daripada wanita
(29,4%).7,10 Jenis kelamin bukan merupakan predileksi terhadap tumor mediastinum
namun berdasarkan jenis sel tumor ditemukan perbedaan yang bermakna.10 Data dari
Framinghan Heart Study didapatkan peningkatan dua kali lipat prevalensi tumor
mediastinum anterior pada perokok (0,4%) dari penelitian sebelumnya. Hal ini nantinya
dapat meningkatkan risiko kanker paru pada penderita. Dua belas pasien dari 23 kasus
tumor mediastinum anterior yang diteliti adalah perokok.11

Selain itu masalah keperawatan yang biasanya muncul pada pasien dengan tumor
mediastinum adalah sesak napas dan nyeri. Untuk masalah sesak napas penanganan yang
biasanya diberikan adalah pengaturan posisi dan pemberian oksigen. Sedangkan untuk
masalah nyeri dilakukan tindakan mengatasi nyeri yaitu program relaksasi dan pemberian
terapi analgesik.

1.2 Tujuan Penulisan


Penulis mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien kanker paru dan
tumor mediastinum
BAB II

TINJUAN PUSTAKA
2.1 KANKER PARU

A. Konsep Medis

1. Definisi Kanker Paru

Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan
paru-paru yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen lingkungan, terutama
asap rokok (Suryo, 2010 : 27). Menurut World Health Organization(WHO), kanker
paru-paru merupakan penyebab kematian utama dalam kelompok kanker baik pada
pria maupun wanita. Sebagaian besar kanker paru-paru berasal dari sel-sel di dalam
paru-paru, tetapi bisa juga berasal dari kanker di bagian tubuh lain yang menyebar
ke paru-paru(Suryo, 2010 : 27). Karsinoma bronkogenik atau kanker paru dapat
berupa metastasis atau lesi primer. Kebanyakan tumor ganas primer dari sistem
pernapasan bawah bersifat epithelial dan berasal dari mukosa percabangan
bronkhus (Muttaqin, 2008: 198).

2. Anatomi Fisiologi
- Anatomi
Sistem organ yang terkait dengan penyakit ini adalah sistem pernafasan. Sistem
pernafasan terdiri dari :
 Hidung (Nasal)
Rongga hidung dilapisi oleh epitelium gergaris. Terdapat sejumlah kelenjar
sebaseus yang ditutupi oleh bulu kasar. Partikel-partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambutrambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan
partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet
dan kelenjar serosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam
rongga hidung, dan ke superior di dalam sistem pernafasan di bagian bawah menuju
ke faring. Dari sini lapisan mukus akan tertekan atau dibatukkan keluar. Air untuk
kelembaban diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai ke udara
inspirasi berasal dari jaringan di bawahnya yang kaya akan pembuluh darah. Jadi
udara inspirasi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga bila udara mencapai
faring hampir bekas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh, dan kelembabannya
mencapai 100%

 Faring Terdapat di bawah dasar tengkorak di belakang rongga hidung dan rongga
mulut, dan di depan ruas tulang leher. Merupakan pipa yang menghubungkan
rongga mulut dengan esofagus. Faring terbagi atas 3 bagian : nasofaring di belakang
hidung, orofaring di belakang mulut, dan faring laringeal di belakang laring. Rongga
ini dilapisi oleh selaput lendir yang bersilia. Di bawa selaput lendir terdapat jaringan
kulit dan beberapa folikel getah bening. Kumpulan folikel getah bening ini disebut
adenoid. Adenoid akan membesar bila terjadi infeksi pada faring.

 Laring Terletak di depan bagian terendah faring. Laring merupakan rangkaian


cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan di sana terdapat pita suara. Di
antara pita suara terdapat ruang berbentuk segitiga yang bermuara ke dalam trakea
dan dinamakan glotis. Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas, penutupan
glotis, dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk
daun, berperanan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam
esofagus. Namun jika benda asing masih mampu untuk melampaui glotis, maka
laring yang mempunyai fungsi batuk akan membantu menghalau benda dan sekret
keluar dari saluran pernafasan

 Trakea dan cabang-cabangnya Panjangnya kurang lebih 9 cm. Trakea berawal dari
laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima, trakea bercabang
menjadi dua bronkus. Trakea tersusun atas enam belas sampai dua puluh lingkaran
tak lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa.
Letaknya tepat di depan esofagus. Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri
atas epitelium bersilia. Tempat percabangan bronkus disebut karina. Karina
memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan spasme dan batuk yang kuat jika
dirangsang. Struktur bronkus sama dengan trakea. Bronkusbronkus tersebut tidak
simetris. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar dan merupakan kelanjutan
dari trakea yang arahnya hampir vertikal, sebaliknya bronkus kiri lebih panjang dan
lebih sempit dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan
kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus
yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu
saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis
memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm. Bronkiolus dikelilingi oleh otot polos
bukan tulang rawan sehingga bentuknya dapat berubah. Setelah bronkiolus
terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru, yaitu tempat
pertukaran gas. Asinus terdiri dari :

a) bronkiolus respiratorius

b) duktus alveolaris

c) sakus alveolaris terminalis

Merupakan struktur akhir paru-paru. terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai


dari trakea sampai sakus alveolaris terminalis. Alveoli terdiri dari satu lapis tunggal
sel epitelium pipih, dan di sinilah darah hampir langsung bersentuhan dengan
udara. Dalam setiap paru-paru terdapat sekitar 300 juta alveolus dengan luas
permukaan total seluas sebuah lapangan tenis.

 Paru-paru Merupakan alat pernafasan utama. Paru-paru merupakan organ yang


elastis, berbentuk kerucut, dan letaknya di dalam rongga dada. Karena paru-paru
saling terpisah oleh mediastinum sentral yang di dalamnya terdapat jantung dan
beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru memiliki apeks (puncak paru-
paru) dan basis. Paru-paru ada dua. Paru-paru kanan lebih besar dari pada paru-
paru kiri. Paru-paru kanan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris, paru-
paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Setiap lobus tersusun atas lobula. Paru-paru
dilapisi suatu lapisan tipis membran serosa rangkap dua yang mengandung kolagen
dan jaringan elastis yang disebut pleura. Yang melapisi rongga dada dan disebut
pleura parietalis dan yang menyelubungi tiap paru-paru disebut pleura viseralis. Di
antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan
pleura yang memudahkan kedua permukaan tersebut bergerak dan mencegah
gesekan antara paru-paru dan dinding dada yang pada saat bernapas bergerak
(cairan surfaktan). Dalam keadaan sehat, kedua lapisan tersebut satu dengan yang
lain erat bersentuhan. Tetapi dalam keadaan tidak normal, udara atau cairan
memisahkan kedua pleura tersebut dan ruang diantaranya menjadi jelas. Tekanan
dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, mencegah kolaps
paruparu.Secara umum saluran udara pernapasan adalah sebagai berikut : dari
nares anterior menuju ke cavitas nasalis, choanae, nasopharynx, larynx, trachea,
bronchus primarius, bronchus secundus, bronchus tertius, bronchiolus, bronchiolus
terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus alveolaris, atrium alveolaris, sacculus
alveolaris, kemudian berakhir pada alveolus tempat terjadinya pertukaran udara
(Budiyanto, dkk, 2008). Tractus respiratorius dibagi menjadi 2 bagian :

a) zona konduksi, dari nasal sampai bronciolus terminalis, zona konduksi berfungsi
sebagai penghangat, pelembab, dan penyaring udara pernapasan.
b) zona respiratorik, mulai dari bronciolus respiratorius sampai alveolus. zona
respiratorik untuk pertukaran gas (Guyton & Hall, 2007).

- Fisiologi Proses fisiologi pernapasan dimana oksigen dipindahkan dari udara ke


dalam jaringan, dan karbondioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi
menjadi 3 stadium.
1) Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam
dan keluar paru-paru.

2) stadium kedua adalah transportasi, yang terdiri dari beberapa aspek :

a) Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan

b) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar


c) Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah

3) Stadium terakhir adalah respirasi sel atau respirasi interna, yaitu pada saat
metabolik dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai
sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru. Jumlah udara yang
diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali bernapas disebut volume tidal yaitu
sekitar 500 ml. Kapasitas vital paru-paru, yaitu jumlah udara maksimal yang dapat
diekspirasi sesudah inspirasi maksimal sekitar 4500 ml. Volume residu, yaitu
jumlah udara yang tertinggal dalam paru-paru sesudah ekspirasi maksimal sekitar
1500 ml (Saifuddin,2008).

3. Etiologi
Etiologi kanker paru menurut Arif Muttaqin (2008: 198-199) :

- Merokok Kanker paru beresiko 10 kali lebih tinggi dialami perokok berat
dibandingkan dengan bukan perokok. Peningkatan faktor resiko ini berkaitan
dengan riwayat jumlah merokok dalam tahun (jumlah bungkus rokok yang
digunakan setiap hari dikali jumlah tahun merokok) serta faktor saat mulai
merokok (semakin muda individu mulai merokok, semakin besar resiko
terjadinya kanker paru). Faktor lain yang juga dipertimbangkan termasuk
didalamnya jenis rokok yang diisap (kandungan tar, rokok filter dan kretek).
- Polusi udara Ada berbagai karsinogen telah diidentifikasi, termasuk didalamnya
adalah sulfur, emisi kendaraan bermotor, dan polutan dari pengolahan dan
pabrik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa insiden kanker paru lebih besar
didaerah perkotaan sebagai akibat penumpukan polutan dan emisi kendaraan.
- Polusi lingkungan kerja Pada keadaan tertentu, karsinoma bronkogenik
tampaknya merupakan suatu penyakit akibat polusi di lingkungan kerja. Dari
berbagai bahaya industri, yang paling berbahaya adalah asbes yang kini banyak
sekali diproduksi dan digunakan pada bangunan. Resiko kanker paru diantara
para pekerja yang berhubungan atau lingkungannya mengandung asbes ±10 kali
lebih besar daripada masyarakat umum. Peningkatan resiko ini juga dialami oleh
mereka yang bekerja dengan uranium, kromat, arsen (misalnya insektisida yang
digunakan untuk pertanian), besi, dan oksida besi. Resiko kanker paru akibat
kontak dengan asbes maupun uranium akan menjadi lebih besar lagi jika orang
itu juga perokok.
- Penyaki-penyakit paru Kehadiran penyakit-penyakit paru tertentu, khususnya
chronic obstructive pulmonary disease (COPD), dikaitkan dengan suatu risiko
yang meningkat sedikit (empat sampai enam kali risiko dari seorang bukan
perokok) untuk mengembangkan kanker paru bahkan setelah efek-efek dari
menghisap rokok serentak telah ditiadakan.
- Rendahnya asupan vitamin A Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
perokok yang dietnya rendah vitamin A dapat memperbesar resiko terjadinya
kanker paru. Hipotesis ini didapat dari berbagai penelitian yang menyimpulkan
bahwa vitamin A dapat menurunkan resiko peningkatan jumlah sel-sel kanker.
Hal ini berkaitan dengan fungsi utama vitamin A yang turut berperan dalam
pengaturan diferensiasi sel.
- Faktor herediter Terdapat juga bukti bahwa anggota keluarga dari penderita
kanker paru memiliki resiko yang lebih besar mengalami penyakit yang sama.
Walaupun demikian masih belum diketahui dengan pasti apakah hal ini benar-
benar herediter atau karena faktor-faktor familial.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi kanker paru (Danusantoso, 2000)
1) Gejala awal Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh
obstruksi bronkus

2) Gejala umum
a) Batuk Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk
mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang
sampai titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen dalam berespon
terhadap infeksi sekunder
b) Infeksi saluran nafas bawah berulang
c) Hemoptisis Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor
yang mengalami ulserasi
d) Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan
e) Kelelahan
f) Suara serak
g) Nyeri atau disfungsi pada organ yang jauh menandakan metastasis

5. Patofisiologi
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen / sub bronkus menyebabkan
cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Perluasan
dari lesi primer paru adalah carcinoma bronchogenic, tumor pada epithelium
jalan nafas. Tumor-tumor ini dibedakan berdasarkan tipe selnya, yaitu : small
cell, atau oat cell, carcinoma, dan non-small-cell carcinoma. Small cell carcinoma
kira-kira 25% dari kanker paru, tumbuh dengan cepat dan menyebar secara dini.
Tumor-tumor ini memiliki unsurunsur paraneoplastik, ini berarti tumor ini
menghasilkan lokasi metastasis yang dipengaruhi oleh tumor secara tidak
langsung. Small cell carcinoma bisa mensintesis bahan bioaktif dan hormon yang
berperan sebagai adrenocorticotropin (ACTH), hormon antidiuretik (ADH), dan
sebuah parathormon seperti hormon dan gastrin releasing peptide. Angka Non
small-cell carcinoma mencapai 75% dari angka kanker paru. Tiap tipe sel
berbeda dari segi insiden, penampakan dan cara penyebaran.Kanker
bronkogenik, tanpa memperhatikan tipe sel, cenderung menjadi agresif, lokal
invasif, dam memiliki penyebaran / metastasis lesi yang luas / jauh. Tumor
dimulai sebagai lesi mukosa yang tumbuh menjadi bentuk massa yang melewati
bronki atau menyerang jaringan sekitar paru. Semua tipe sering menyebar
melalui sistem kelenjar getah bening yang membengkak dan organ lain.
(LeMone, Priscilla & Karen M. Burke, 2000). Kanker paru cenderung
bermetastasis ke kelenjar limpa, otak, tulang, hati dan organ lainnya.
Kebingungan (konfusi), gangguan berjalan dan keseimbangan, sakit kepala,
perubahan perilaku bisa saja merupakan manifestasi dari metastasis pada otak.
Tumor yang menyebar ke tulang akan menyebabkan nyeri pada tulang tersebut,
fraktur, dan bisa saja menekan spinal cord, seperti halnya trombositopenia dan
anemia jika sumsum tulang di invasi oleh tumor. Ketika hati di serang, gejala
dari kelainan fungsi hati dan obstruksi biliari meliputi jaundice (penyakit
kuning), anoreksia, nyeri pada kuadran kanan atas (Sylvia & Wilson, 2006).
Sindrom vena cava superior, obstruksi sebagian atau seluruh vena cava superior
berpotensi menyebabkan komplikasi pada kanker paru, terutama pada saat
tumor menginvasi ke mediastinum superior atau kelenjar limpa mediastinal.
Baik akut maupun subakut gejalanya dapat dicatat. Terlihat edema pada leher
dan wajah klien, sakit kepala, pening, gangguan penglihatan, dan sinkop. Vena
bagian atas dada dan vena di leher akan mengalami dilatasi ; terjadinya sianosis.
Edema pada cerebral akan mengubah tingkat kesadaran; edema pada laring
dapat merusak sistem pernafasan.
6. Pathway
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum:
b. Tanda vital:
c. Tekanan Darah : Normal, jika tidak ada riwayat hipertensi
d. Nadi : Meningkat (Normal 80-100x/menit)
e. RR : Meningkat (Normal 16-24x/menit)
f. Suhu : Biasanya normal (36,5-37,5) kecuali jika ada inflamesi
Pengkajian Fisik (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)

a. Kepala Inspeksi: kepala simetris, rambut tersebar merata berwarna


hitam kaji uban), distribusi normal, kaji kerontokan rambut jika sudah
32 dilakukan kemoterapi Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak
terdapat lesi, tidak ada perdarahan, tidak ada lesi.
b. Mata Inspeksi: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor,
refleks pipil terhadap cahaya (+/+), kondisi bersih, bulu mata rata dan
hitam Palpasi: tidak ditemukan nyeri tekan, tidak teraba benjolan
abnormal
c. Telinga Inspeksi: telinga simetris, lubang telinga bersih tidak ada
serumen, tidak ada kelainan bentuk. Palpasi: tidak ada nyeri tekan,
tidak teraba benjolan abnormal
d. Hidung Inspeksi: hidung simetris, hidung terlihat bersih, terpasang
alat bantu pernafasan
e. Mulut Inspeksi: mukosa bibir lembab, mulut bersih, lidah berwarna
merah, gigi bersih tidak ada karies gigi Palpasi: tidak ada pembesaran
tonsil
f. Dada Inspeksi: Betuk dada kadang tidak simetris, kaji adanya retraksi
dada 33 Palpasi: Pengembangan paru tidak simetris, kaji adanya
kemungkinan flail chest Perkusi: Suara paru sonor Auskultasi: Ada
suara nafas tambahan Wheezing
g. Abdomen Inspeksi: bentuk abdomen datar Palpasi: tidak terdapat
nyeri tekan Perkusi: Kaji adanya ketegangan abdomen Auskultasi: Kaji
adanya penurunan bising usus karena penurunan nafsu makan
h. Urogenital Inspeksi: Tidak terpasanga alat bantu nafas
i. Ekstremitas Inspeksi: ekstremitas biasanya sulit digerakkan karena
takut sesak nafas Palpasi: akral dingin, tidak ada edema, tugor kuit
baik.
j. Kulit dan kuku Inspeksi : Turgor kulit tidak baik, tidak ada lesi, kuku
berwarna pink Palpasi : kondisi kulit lembab, CRT

8. Pemeriksaan Penunjang dan Interprestasi


- Pemeriksaan penunjang yang digunakan pada kanker paru terdiri dari
pemeriksaan radiologi, patologi anatomi, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan lain yang spesifik untuk kanker paru.
- Pemeriksaan Radiologi
1. Rontgen toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk
menilai pasien dengan kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan
hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi dan tindakan selanjutnya dapat
ditentukan. Jika pada rontgen toraks ditemukan lesi yang dicurigai
sebagai keganasan, maka pemeriksaan CT scan toraks harus
dilakukan untuk mengevaluasi lesi tersebut. 
2. CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting
untuk mendiagnosa dan menentukan stadium kanker paru, dan
menentukan segmen paru yang terlibat secara tepat disertai
keterlibatan kelenjar getah bening dan metastasis ke organ sekitar.
CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar adrenal untuk menilai
kemungkinan metastasis hingga regio tersebut. MRI diperlukan untuk
mengevaluasi pasien dengan tumor pada sulkus superior (pancoast
tumor) dan dapat memberikan gambaran yang lebih baik
dibandingkan CT-Scan. 
Pemeriksaan lain diperlukan bila terdapat kecurigaan metastasis jauh. CT
scan kepala / MRI kepala dengan kontras diindikasikan bila terdapat
kemungkinan metastasis ke otak.USG abdomen untuk mendeteksi
kemungkinan penyebaran pada abdomen. Bone Scintigraphy dapat
dilakukan untuk mendeteksi metastasis tulang terutama bila terdapat
peningkatan kalsium dan alkali fosfatase. PET Scan dapat dilakukan untuk
evaluasi hasil pengobatan dan mendeteksi metastasis jauh. [1-5]

- Pemeriksaan Patologi Anatomi


Spesimen kanker paru bisa didapatkan melalui bronkoskopi, biopsi
transtorakal, cairan pleura, sputum, dan biopsi dengan jarum halus pada
kelenjar getah bening. Biopsi transtorakal  merupakan tindakan biopsi paru
transtorakal yang dapat dilakukan dengan bantuan USG atau CT-Scan untuk
mendapatkan jaringan kanker paru. 
Pada lesi sentral yang dicurigai sebagai keganasan, spesimen dapat diambil melalui
sputum dan bronkoskopi. Bila hasil negatif, dilanjutkan dengan biopsi transtorakal.
Pada lesi perifer yang dicurigai sebagai keganasan, spesimen dapat diambil melalui
biopsi transtorakal dengan bantuan CT Scan. Bila hasil negatif, dilanjutkan dengan
torakoskopi dan torakotomi. [1-5]
Hasil biopsi kemudian dilakukan pemeriksaan sitologi (biopsi jarum halus, cairan
pleura dan sputum) dan histopatologi untuk jaringan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menentukan apakah jaringan bersifat benigna atau maligna.
Pemeriksaan molekul Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR), Kirsten Rat
Sarcoma (KRAS), Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK), gen BRAF, gen ROS-1,
dan programmed death-ligand 1 (PD-L1) dapat dilakukan untuk menentukan
gambaran molekular sebagai acuan untuk terapi target. 

Sum
ber: Openi, 2014.

- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada kanker paru yaitu darah
lengkap, fungsi hati dan fungsi ginjal. Pemeriksaan elektrolit, blood urea
nitrogen, kalsium dan magnesium perlu dilakukan untuk mengevaluasi
gejala paraneoplastik. Pemeriksaan alkali fosfatase dapat ditambahkan
untuk mendeteksi kemungkinan metastasis tulang tapi hasilnya tidak
spesifik untuk kondisi tersebut. Analisa gas darah diperlukan untuk pasien
dengan sesak napas yang mengarah pada gagal napas.
Pemeriksaan penanda tumor carcinoembryonic antigen (CEA) dan
CYFRA-21 dapat digunakan sebagai faktor prognostik dalam memprediksi
respons terapi dan kesintasan pada kanker paru bukan sel kecil terutama
pada pasien yang tidak diketahui mutasi EGFRnya atau pada karsinoma sel
skuamosa. Kombinasi CEA dan CYFRA-21 diperkirakan dapat membantu
diagnosis kanker paru bukan sel kecil pada nilai dua kali lipat dari
standar cut off nya, tetapi masi diperlukan penelitian lebih lanjut. (CEA,
CYFRA).

9. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan kanker paru disesuaikan dengan jenisnya dan terdiri dari


pembedahan, kemoterapi, radioterapi dan terapi target. Penentuan terapi saat
ini lebih difokuskan pada gambaran molekular dari masing-masing kanker. [1-5]

- Kanker Paru bukan Sel Kecil


Pilihan pengobatan sangat tergantung pada stadium penyakit, tampilan umum
penderita, komorbiditas, tujuan pengobatan dan cost-effectiveness. Modalitas
penanganan yang tersedia adalah bedah, radiasi, kemoterapi, dan terapi target.

- Bedah
Modalitas ini adalah terapi utama untuk sebagian besar kanker paru bukan sel
kecil, terutama stadium I-II dan stadium IIIA yang masih dapat direseksi setelah
kemoterapi neoajuvan. Jenis pembedahan yang dapat dilakukan adalah
lobektomi, segmentektomi dan reseksi sublobaris. Pilihan utama adalah
lobektomi yang menghasilkan angka kehidupan yang paling tinggi. Namun, pada
pasien dengan komorbiditas kardiovaskular atau kapasitas paru yang lebih
rendah, pembedahan segmentektomi dan reseksi sublobaris paru dilakukan.
Kini, reseksi sublobaris sering dilakukan bersamaan dengan Video Assisted
Thoracoscopy.

- Radioterapi
Radioterapi dalam tata laksana kanker paru bukan sel kecil dapat berperan di
seluruh stadium sebagai terapi kuratif definitif, kuratif neoajuvan, kuratif ajuvan
maupun paliatif.
Radioterapi kuratif definitif sebagai modalitas terapi dapat diberikan pada
kanker paru bukan sel kecil stadium awal (Stadium I) yang secara medis tidak
dapat dioperasi atau yang menolak dilakukan operasi setelah evaluasi bedah
thoraks.
Pada stadium lokal lanjut (Stadium II dan III), radioterapi diberikan konkuren
dengan kemoterapi. Pada pasien yang tidak bisa mentoleransi kemoradiasi
konkuren, dapat juga diberikan kemoterapi sekuensial disertai radiasi atau
radiasi saja.
Pada pasien Stadium IIIA resektabel, kemoterapi preoperasi dan radiasi pasca
operasi merupakan pilihan terapi. Pada pasien Stadium IV, radioterapi diberikan
secara paliatif untuk mengurangi gejala seperti nyeri, perdarahan, obstruksi.

- Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoajuvant pada stadium dini,
atau sebagai ajuvan pasca pembedahan. Terapi ajuvan dapat diberikan pada
kanker paru bukan sel kecil stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada kanker paru bukan
sel kecil stadium lanjut, kemoterapi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan
jika status performa pasien baik (Karnofsky >60; WHO 0-2). Namun, fungsi
kemoterapi terbesar adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan stadium
lanjut. Perlu diperhatikan efek samping yang ditimbulkan dari masing-masing
obat kemoterapi.

- Terapi Target  dan Imunoterapi


Studi terbaru pada tata laksana kanker paru sekarang difokuskan untuk terapi
target untuk kanker paru bukan sel kecil. Pemeriksaan molekuler diperlukan
untuk menentukan sensitivitas dari terapi yang digunakan.

- Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) merupakan reseptor tirosin


kinase yang sering mengalami gangguan pada tumor epitelial.
Peningkatan aktivitas dari EGFR meningkatkan proliferasi sel dan
pertumbuhan tumor. Mutasi EGFR lebih banyak ditemukan pada
adenokarsinoma (30% dibandingkan dengan jenis kanker paru lainnya
2%) dan lebih banyak ditemukan pada pasien yang tidak pernah
merokok (45%).dibandingkan dengan yang merokok (7%). Mutasi
somatik pada gen ini memberikan respon klinis terhadap pengobatan
dengan inhibitor EGFR (erlotinib, afatinib, gefitinib dan osimertinib)
dalam peningkatan kesintasan dibandingkan dengan kemoterapi. 
Kirsten Rat Sarcoma (KRAS) merupakan downstream GTPase dari EGFR, Mutasi
KRAS banyak ditemukan pada jenis tumor yang wild type terhadap EGFR
dan Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK). Mutasi pada gen ini menyebabkan
aktivasi pensinyalan Ras secara terus menerus. Mutasi ini juga lebih banyak
ditemukan pada adenokarsinoma dibandingkan kanker paru bukan sel kecil
yang lain tetapi lebih banyak ditemukan pada perokok. Oleh karena
merupakan downstream dari EGFR, inhibitor EGFR tidak efektif pada tumor yang
mengekspresikan KRAS sehingga merupakan prediktor negatif untuk efektivitas
terapi dengan inhibitor EGFR maupun kemoterapi ajuvan. 
Gen anaplastic lymphoma kinase (ALK) mengkode reseptor tirosin kinase.
Mutasi pada gen ini juga banyak ditemukan pada adenokarsinoma dengan
gambaran histologi acinar atau signet ring cell.Pasien kanker paru yang
mengekspresikan ALK umumnya berusia lebih muda dan memiliki paparan
minimal terhadap asap rokok. Alectinib, crizotinib dan ceritinib merupakan
inhibitor selektif dari ALK dan met-tirosin kinase yang terbukti dapat
mengecilkan dan menstabilkan  ukuran tumor pada pasien yang
mengekspresikan gen ini. 
Gen BRAF merupakan protoonkogen yang meregulasi transduksi sinyal
serine/threonine protein kinase yang berpengaruh pada proliferasi sel dan
survival. Mutasi BRAF ditemukan pada 1-4% kanker paru bukan sel kecil
terutama adenokarsinoma. Mutasi ini berkaitan dengan riwayat paparan asap
rokok. Mutasi BRAF V600E banyak ditemukan pada wanita yang tidak merokok,
sedangkan mutasi BRAF non V600E lebih banyak ditemukan pada perokok.
Mutasi BRAF V600E dapat digunakan sebagai target untuk dabrafenib dan
trametinib. [4,9,10]
ROS-1 merupakan protoonkogen pada kromosom 6q22 yang mengkode reseptor
tirosin kinase dimana memiliki homologi yang tinggi dengan ALK pada
domainnya. Ekspresi ROS-1 banyak ditemukan pada pasien yang lebih muda,
tidak pernah merokok dan orang Asia. Ditemukan pula pasien dengan ekspresi
ROS-1 sensitif pada inhibitor kinase termasuk di dalamnya crizotinib.[4,9,10]
Imunoterapi merupakan terapi baru di bidang onkologi yang menggunakan
sistem imun untuk melawan kanker. Imunoterapi bekerja dengan memodulasi
sistem imun agar dapat menyerang sel kanker, menghambat pertumbuhan sel
kanker, mencegah metastasis atau membantu meningkatkan efektivitas sistem
imun. Salah satu strategi imunoterapi adalah menarget mekanisme
perlindungan kanker untuk melawan sistem imun. Pendekatan ini menarget
jalur immune checkpoint yang berfungsi untuk mengatur respon imun terhadap
patogen,  dimana dilakukan inhibisi pada CTLA4 dan PD-L1. CTLA4 memiliki
peran penting dalam menurunkan aktivasi, proliferasi dan efektor dari sel T.
Iplimumab yang dikombinasi dengan kemoterapi dianjurkan untuk terapi
kanker paru bukan sel kecil stadium lanjut. PD-L1 berperan dalam mencegah
aktivasi sel T sehingga terjadi toleransi dan mencegah autoimunitas. Nivolumab
merupakan salah satu inhibitor PD-L1 yang telah direkomendasikan untuk
pengobatan kanker paru bukan sel kecil.

- Kanker Paru Sel Kecil


Berbeda dengan kanker paru bukan sel kecil, pasien dengan kanker paru sel
kecil tidak memberikan respon yang baik terhadap terapi target. Pilihan terapi
pada kanker paru sel kecil ditentukan berdasarkan stadium penyakit.

- Stadium Terbatas
Pilihan modalitas terapi pada stadium ini adalah kombinasi dari kemoterapi
berbasis-platinum dan terapi radiasi toraks. Kemoterapi dilakukan paling
banyak 4-6 siklus, dengan peningkatan toksisitas yang signifikan jika diberikan
lebih dari 6 siklus. Regimen terapi kombinasi yang memberikan hasil paling baik
adalah kemoradiasi konkuren, dengan terapi radiasi dimulai dalam 30 hari
setelah awal kemoterapi. Pada pasien usia lanjut dengan status performa
WHO>2, dapat diberikan kemoterapi sisplatin, sedangkan pasien dengan status
performa WHO0-1 dapat diberikan kemoterapi dengan karboplatin. Setelah
kemoterapi, pasien dapat menjalani radiasi kranial profilaksis. Reseksi bedah
dapat dilakukan dengan kemoterapi ajuvan atau kombinasi kemoterapi dan
radiasi terapi ajuvan pada TNM stadium dini, dengan/tanpa pembesaran
kelenjar getah bening. [1,2]
- Stadium Lanjut
Pilihan utama modalitas terapi stadium ini adalah kemoterapi kombinasi. Pilihan
lain adalah radiasi paliatif pada lesi primer dan lesi metastasis.

- Sindrom Vena Kava Superior


Sindrom vena kava superior merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
kanker paru dengan angka kejadian 60-80%. Pada pasien ini perlu dilakukan
elevasi kepala, pemberian oksigen dan pemantauan asupan cairan. Pemberian
diuretik dan kortikosteroid dapat membantu mengurangi gejala. Terapi definitif
dari keadaan ini adalah radioterapi, kemoterapi atau pemasangan stent pada
vena kava.

- Dukungan Nutrisi
Malnutrisi pada pasien kanker paru terjadi sebesar 46%. Penyebab malnutrisi
karena gangguan metabolisme terkait dengan adanya sel tumor, dengan gejala
penurunan berat badan (BB), kesulitan makan atau minum akibat efek terapi
antikanker.
Skrining gizi dilakukan untuk mendeteksi gangguan nutrisi, gangguan asupan
nutrisi, serta penurunan berat badan dan indeks massa tubuh sedini mungkin.
Skrining gizi dimulai sejak pasien didiagnosis kanker dan diulang sesuai dengan
kondisi klinis pasien. Pada pasien dengan hasil skrining abnormal, perlu
dilakukan penilaian objektif dan kuantitatif asupan nutrisi, kapasitas fungsional,
dan derajat inflamasi sistemik. Disarankan untuk melakukan skrining rutin pada
semua pasien kanker lanjut, baik yang menerima maupun tidak menerima terapi
antikanker, untuk menilai asupan nutrisi yang tidak adekuat, penurunan berat
badan dan IMT yang rendah, dan apabila berisiko, maka dilanjutkan dengan
penilaian status gizi disertai tata laksananya.

- Disabilitas pada Pasien Kanker Paru


Pada kanker paru, penyakit dan penanganannya dapat menimbulkan gangguan
fungsi pada manusia sebagai makhluk hidup seperti gangguan fisiologis, psikologis
ataupun perilaku yang berpotensi mengakibatkan terjadinya keterbatasan dalam
melakukan aktivitas (disabilitas) dan partisipasi sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Perlunya konsultasi kepada dokter spesialis rehabilitasi medik untuk mengatasi
beberapa keterbatasan aktivitas dan hambatan partisipasi.

- Follow-Up
Setelah terapi awal menunjukkan penilaian respon komplit atau respon parsial,
pasien menjalani pemeriksaan setiap 3-4 bulan selama 2 tahun pertama.
Kemudian, pasien dapat menjalani pemeriksaan setiap 6 bulan selama 3 tahun
berikutnya. Pemeriksaan yang dilakukan termasuk anamnesis, pemeriksaan
fisik, CT Scan dan pemeriksaan laboratorium. Jika ditemukan lesi baru,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada pasien yang mengalami rekurensi,
dapat dilakukan radioterapi atau kemoterapi lini kedua.

- Rujukan
Pasien dengan gambaran foto polos dada dan CT Scan yang mengarah pada
kanker paru sebaiknya segera dikirim pada tim multidisiplin kanker dan
umumnya melalui dokter spesialis paru dahulu. Pasien dengan gambaran
radiologi normal tetapi secara klinis mengarah pada kanker paru juga
disarankan untuk dikirim pada tim multidisiplin kanker. Bila pasien sedang
menunggu hasil radiologi dan terdapat hemoptisis dengan riwayat merokok
berusia >40 tahun, sindrom vena kava superior atau stridor maka perlu segera
dirujuk pada tim multidisiplin kanker untuk evaluasi lebih lanjut.
B. Proses Keperawatan

1. Pengkajian Riwayat pasien dan keluarga:

a. Pengetahuan tentang jenis kanker & stadium

b. Pengobatan kanker sebelumnya; Perilaku pasien/ keluarga terhadap pengobatan


Pengalaman efek samping dan tingkat keparahannya

Cara untuk meminimalkan efek samping Efektifitas untuk menurunkan insiden dan
keparahan efek samping

c. Diet ( Asupan nutrisi)

d. Pengobatan alternatif /komplementer

e. Pengetahuan tujuan dari pengobatan

2.Diagnosa Keperawatan

1.Kerusakan pertukaran gas, yang berhubungan dengan penurunan kapasitas paru


sekunder terhadap destruksi jaringan

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif, yang berhubungan dengan obstruksi tumor dan
peningkatan sekresi trakeobronkial.

3. Nyeri, yang berhubungan dengan tekanan tumor pada jaringan penunjang dan erosi
jaringan. Masalah yang mungkin muncul :

 Muncul sputum pada jalan nafasnya yang mengganggu pernafasan.


 Kekurangan nutrisi yang disebabkan batuk yang melelahkan.
 Aktivitas juga menurun karena nyeri pada dadanya.
 Koping pada individu tersebut menjadi tidak efektif
 Pertukaran gas diparu-paru menjadi terganggu karena jalan nafasnya
terhambat.

Diagnosa Keperawatan

 Bersihan jalan nafas tidak efektif


 Ketakutan /Anxietsa
 Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis
 Gangguan rasa nyaman , nyeri
 Pola nafas tidak efektif b/d penurunan energi, fatigue, nyeri, obstruksi
trakeobronkial ansietas.
 Intoleransi aktifitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen,
dispneu, kelemahan umum, hilang berat badan, depresi.
 Keseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh b/d proses penyakit aktif
(Hipermetabolisme), anoreksia, nausea , vomiting.
 Kelemahan b/d hipermetabolisme, kecenderungan emosi tidak tertahan, tidak
nyaman, perubahan kimia tubuh.

3. Intervensi
2.2 TUMOR MEDIASTINUM

A. Konsep Dasar

1. Definisi Tumor Mediastinum

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di mediastinum yaitu rongga imaginer di antara
paru kiri dan kanan. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah besar, trakea, timus, kelenjar
getah bening dan jaringan ikat. Tumor mediastinum dibagi atas 4 bagian, yaitu mediastinum
superior, anterior, medial dan posterior. Angka kejadian tumor neurogenik di mediastinum
posterior sekitar 20–30% dari keseluruhan tumor mediastinum

2. Anatomi fisiologiAnatomi Fisiologi Mediastinum bagian medial dari rongga dada


(interpleural) dibatasi oleh :

1) dada inlet superior

2) superior diafragma
3) bagian belakang torakal 12 Mediastinum di bagi menjadi:

1) Superior mediastinumterletak di antara tulang rusuk pertama dan sudut sternum.

2) Inferior mediastinumterletak di antara sudut sternaldan diafragmaBagian inferior


mediastinumdibagi menjadi:

1) Anterior mediastinum

2) Meddle mediastinum

3) Posterior mediastinum 

3. Etiologi

1. Anterior mediastinum
a. Sel kuman (germ cell): mayoritas dari sel kuman neoplasma (60-
%) adalah tumor jinak dan bisa ditemukan pada laki-laki dan
perempuan.
b. Lymphoma: tumor ganas termasuk penyakit Hodgkin dan limfoma
non-Hodgkin
c. Timoma dan kista timus: penyebab paling sering dari massa kista.
Mayoritas timoma adalah tumor jinak yang terkandung dalam kapsul
fibrosa. Namun 30% dari timoma dapat menjadi lebih agresif dan
menjadi invasive melalui kapsul fibrosa
d. Massa tiroid mediastinum: biasanya tumbuh jinak, seperti gondok,
kadang-kadang bisa menjadi kanker.

2.Middle maediastinum
Kista bronkogenik: pertumbuhan tumor jinak yang berasal dari
- respiratori
- b Limfadenopati mediastinal: pembesaran kelenjar limpa
o Kista pericardial: pertumbuhan tumor jinak yang dihasilkan dari
o “out-pouching” dari pericardium.
o Massa tiroid mediastinum: biasanya tumbuh jinak, seperti gondok,
o kadang-kadang bisa menjadi kanker.
o Tumor trakea: termasuk neoplasma trakea dan massa non-euplastic
o seperti tracheobronchopathia osteochondroplastica (tumor jinak).

o Kelainan pembuluh darah: termasuk aneurisma aorta dan diseksi


o aorta
3. Posterior mediastinum
o a. Extramedullary haematopoiesis: penyebab yang jarang dari massa
o yang terbentuk dari perluasan sumsum tulang belakang dan berkaitan
o dengan anemia berat.
o b. Limfadenopati mediastinal
o c. Neuroenteric kista mediastinum: pertumbuhan langka yang
o melibatkan saraf dan elemen gastrointestinal
o d. Neurogenik neoplasma mediastinum: penyebab paling umum dari
tumor mediastinum posterior, diklasifikasikan sebagai neoplasma
seluubung saraf, neoplasma sel ganglion dan neoplasma sel
paraganglionic. Sekitar 70% dari neoplasma neurogenik adalah jinak.
Kelainan esofagus termasuk akalasia esofagus, neoplasma esofagus
dan hernia hiatus. Kelainan paravertebral termasuk kelainan menular,
ganas dan trauma tulang belakang dada.

4. Manifestasi Klinis

Tumor mediastinum anterior (bagian depan)

Limfoma merupakan salah satu tumor yang sering terjadi di mediastinum anterior. Tumor
yang menyerang sistem limfatik ini bisa dibagi menjadi dua jenis, yaitu limfoma
Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin.
Selain limfoma, tumor yang bisa terjadi di mediastinum anterior adalah:

 Timoma dan kista timus


 Tumor sel germinal (TSG)
 Massa tiroid mediastinum

Tumor mediastinum bagian tengah


Salah satu jenis tumor mediastinum bagian tengah adalah kista bronkogenik yang tumbuh
pada saluran pernapasan.
Tumor lainnya yang juga sering terjadi di mediastinum tengah adalah:

 Kista perikardium, yaitu tumor jinak pada lapisan jantung.


 Limfadenopati mediastinum atau pembesaran kelenjar getah bening.
 Tumor trakea dan tumor kerongkongan.

Tumor mediastinum posterior (bagian belakang)


Tumor neurogenik merupakan tumor yang paling sering terjadi di mediastinum posterior.
Tumor ini sifatnya jinak.
Selain itu, jenis tumor lain yang bisa terjadi di bagian ini adalah:

 Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening.


 Extramedular hematopoeisis, yaitu tumor pada sumsum tulang.
 Kista neuroenterik, yaitu benjolan langka pada sistem saraf dan gastrointestinal.

Beberapa gejala yang sering dikaitkan dengan tumor mediastinum adalah batuk, sesak
napas, nyeri dada, demam, berkeringat di malam hari, berat badan turun tanpa penyebab
yang jelas, suara serak, hingga pembengkakan kelenjar getah bening.

5. Patofisiologi

Tanda dan gejala tumor mediastinum menurut Mukty, Abdul, 2002. Adalah:

1. Mengeluh sesak nafas, nyeri dada, nyeri dan sesak pada posisi tertentu (menelungkup)

2. Sekret berlebihan

3. Batuk dengan atau tanpa dahak

4. Riwayat kanker pada keluarga atau pada klien.

5. Pernafasan tidak simetris


6. Unilateral Flail Chest

7. Effusi pleura

8. Egophonia pada daerah sternum

9. Pekak/redup abnormal pada mediastinum serta basal paru

10. Wheezing unilateral/bilateral

11. Ronchi Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat
dilakukan foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi
peningkatan ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur
mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan gejala akibat penekanan atau
invasi ke struktur mediastinum. (Brunner & Suddart, 2002) Kebanyakan tumor
mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup besar
disertai keluhan dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya. Tanda dan
gejala yang timbul tergantung pada organ yang terlibat (Somantri, Irman. 2007):

a. Batuk, sesak, atau stridor bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea dan atau
bronkus utama.

b. Disfagia bila terjadi penekanan atau invasi pada esofagus.

c. Sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang
ganas dibandingkan dengan tumor jinak.

d. Suara serak dan batuk kering bila nervus laringeal terlibat

e. Paralisis diafragma timbul apabila terjadi penekanan pada nervus frenikus

f. Nyeri dada pada tumor neurogenik atau pada penekanan pada sistem syaraf. Nyeri dada
timbul paling sering pada tumor mediastinum anterosuperior. Nyeri dada yang serupa
biasanya disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding dada posterior dan nervus
interkostalis. Kompresi batang trakhebronkus biasanya memberikan gejala seperti
dispnae, batuk, pneumonitis berulang atau gejala yang agak jarang yaitu stidor.
Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan disfagia atau gejala obstruksi. Keterlibatan
nervus laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus brakialis masing-masing
menimbulkan paralisis plika vokalis, sindrom horner dan sindrom pancoast. Tumor
mediastinun yang menyebabkan gejala ini paling sering berlokalisasi pada mediastinum
superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa menyebabkan paralisis diafragma
6. Pathway
7. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitarnya.
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu:

1) B1 (Breathing) Terjadi sesak napas, dada tertekan, nyeri dada berulang, hiperventilasi,
batuk produktif ataupun nonproduktif, penggunaan otot diafragma, pernapasan diafragma
dan perut meningkat, laju pernapasan meningkat, terdengar stridor, ronchi pada lapang
paru, terdengar suara napas abnormal.

2) B2 (Blood) Denyut nadi meningkat, disritmia, vasokontriksi pembuluh darah.

3) B3 (Brain) Penurunan kesadaran, gelisah, letargi.

4) B4 (Bledder) Produksi urin menurun

5) B5 (Bowel) Mual muntah, anoreksia, disfagia, nyeri telan, berat badan menurun.

6) B6 (Bone and Skin) Kulit pucat, sianosis, turgor menurun, tonus otot menurun, lemah.

8. Pemeriksaan Penunjang dan Interprestasi

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis tumor mediastinum


adalah (Brunner & Suddart, 2002):

1. Foto thoraks Dari foto thoraks PA atau lateral untuk menentukan lokasi tumor anterior,
medial atau posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan
lokasinya yang pasti.

2. Tomografi Dapat menentukan lokasi tumor, mendeteksi klasifikasi pada lesi yang sering
ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid, dan kadangkadang timoma. Teknik ini
semakin jarang digunakan.
3. CT-Scan toraks dengan kontras Dapat mendeskripsikan lokasi, kelainan tumor secara
lebih baik, kemungkinan jenis tumor, misalnya pada teratoma dan timoma, menentukan
stage pada kasus timoma dengan cara mencari apakah

9.Penatalaksanaan Medis

Kemoterapi yang sering digunakan adalah cisplatin based rejimen, kombinasi cisplatin

dengan doksorubisin dan siklofosfamid (CAP), kombinasi cisplatin dengan doksorubisin,


vinkristin Penatalaksanaan tumor mediastinum tergantung sifat tumor, jinak atau ganas.
Tindakan yang dapat dilakukan pada tumor mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah,
sedangkan penatalaksanaan secara umum untuk tumor yang bersifat ganas adalah
multimodaliti, yaitu bedah, kemoterapi, dan radiasi. Selain itu kemoradioterapi dapat juga
diberikan sebelum prosedur pembedahan (neoadjuvan) atau sesudah prosedur
pembedahan (adjuvan). Berikut adalah penatalaksanaan yang dapat dilakukan
berdasarkan jenis tumor. (Syahruddin, Elisna, dkk. 2010):

1. Penatalaksanaan sangat tergantung pada invasif atau tidaknya tumor, staging, dan klinis
penderita

2. Terapi untuk timoma adalah bedah, tetapi sangat jarang kasus penderita datang pada
stage 1 atau non invasif, sehingga terapi multimodalitilah yang dapat memberikan hasil
yang lebih baik.

3. Jenis tindakan bedah untuk kasus ini adalah Extended Thymo Thymectomy (ETT) atau
reseksi komplet (Extended Resection = ER), yaitu mengangkat kelenjar timus beserta
jaringan lemak sekitarnya sampai jaringan perikard dan debulking reseksi sebagian atau
pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin. Reseksi komplet ini diyakini dapat
mengurangi risiko invasi dan meningkatkan umur harapan hidup

4. Radioterapi harus diberikan pada kasus timoma invasif atau reseksi sebagian untuk
kontrol ketat, tetapi tidak direkomendasikan untuk yang telah menjalani reseksi komplet.
Dosis radiasi yang dapat diberikan adalah 3500-5000 cGy dan harus dihindarkan
pemberian lebih dari 6000 eGy untuk mencegah terjadinya radiation-induced injury .
B.PROSES KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Anamnesis Tumor mediastinum sering tidak menampakkan gejala dan terdeteksi pada saat
dilakukan foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi
peningkatan ukuran tumor, yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur
mediastinum. Sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan gejala akibat penekanan atau
invasi ke struktur mediastinum.

a. Identitas Pada tumor timoma dan tumor teratoid dijumpai pada semua umur terutama
pada golongan dewasa muda dan ada predeleksi jenis kelamin. Kista bronkogenik sering
ditemukan pada anak atau menjelang dewasa muda. Timoma banyak terjadi pada usia 40-
60 tahun.

b. Keluhan utama Keluhan utama yang sering muncul adalah sesak nafas dan nyeri dada
yang berulang dan tidak khas, batuk atau batuk darah bila ada. Pada beberapa kasus,
kebanyakan klien mencari pelayanan medis karena keluhan infeksinya. Predisposisi
penyakit saluran pernafasan lain seperti ISPA dan influenza sering terjadi dalam rentang
waktu yang relatif lama dan berulang.

c. Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit saluran pernafasan lain seperti ISPA, influenza sering
terjadi dalam rentang waktu yang relatif lama dan berulang

d. Riwayat Penyakit Keluarga Adanya anggota keluarga yang menderita tumor mempunyai
risiko lebih tinggi menderita tumor daripada orang yang tidak mempunyai keturunan
penyakit tumor.

e. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual Adanya kesimpulan penekanan diagnosis medis


karsinoma akan memberikan dampak terhadap keadaan status psikologis klien.
Mekanisme koping biasanya maladaptif yang diikuti perubahan mekanisme peran dalam
keluarga, kemampuan ekonomi untuk pengobatan, serta prognosis yang tidak jelas
merupakan faktor-faktor pemicu kecemasan dan ketidakefektifan koping individu dan
keluarga.

2. Diagnosis Keperawatan (NANDA, SDKI)


1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, nyeri, penurunan
ekspansi paru dan proses inflamasi.

2) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi


trakeobronkial, obstruksi bronkial sekunder karena invasi tumor.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran udara ke alveoli atau
ke bagian utama paru dan perubahan membran alveoli kapiler (atelektasis, edema paru,
effusi, perdarahan aktif dan sekresi berlebihan).

4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake


inadekuat, peningkatan metabolisme dan proses keganasan.

5) Nyeri akut berhubungan dengan invasi kanker ke pleura dan dinding dada.

3. Intervensi
Evaluasi yang diterapkan dalam membuat kasus ini adalah menggunakan teknik evaluasi
SOAP & SOAPIE. Tujuan dilakukan evaluasi SOAP adalah untuk menentukan perkembangan
kesehatan Klien, melalui efektifitas, efesiensi dan produktifias dari tindakan keperawatan,
dari tindakan keperawatan yang telah dibuat untuk menilai Asuhan Keperawatan,
mendapat umpan balik, sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan
keperawatan
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kanker paru /Tumor mediastinum merupakan salah satu jenis penyakit paru yang
memerlukan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis ini membutuhkan
keterampilan dan sarana yang tidak sederhana dan membutuhkan pendekatan
multidisiplin kedokteran.

Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru-
paru yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen lingkungan, terutama asap rokok
(Suryo, 2010 : 27). Menurut World Health Organization(WHO), kanker paru-paru
merupakan penyebab kematian utama dalam kelompok kanker baik pada pria maupun
wanita. Sebagaian besar kanker paru-paru berasal dari sel-sel di dalam paru-paru, tetapi
bisa juga berasal dari kanker di bagian tubuh lain yang menyebar ke paru-paru(Suryo,
2010 : 27). Karsinoma bronkogenik atau kanker paru dapat berupa metastasis atau lesi
primer. Kebanyakan tumor ganas primer dari sistem pernapasan bawah bersifat epithelial
dan berasal dari mukosa percabangan bronkhus (Muttaqin, 2008: 198)

3.2 Saran

Berdasarkan hasil makalah yang telah kami buat ada beberapa poin sebagai
saran kami terhadap Askep Kanker Paru & tumor Mediastinum yaitu :

1. Penegakkan diagnose terhadap pasien Kanker Paru yang tepat


2. Penegakkan diagnose terhadap pasien Tumor Mediastinum
yang tepat

Hal-hal tersebut sudah dituliskan dengan baik namun apabila dilampirkan


studi kasus pasien secara langsung maka hal tersebut akan lebih spesifik lagi.

3.3 Daftar Pustaka


Jilani TN, Siddiqui AH. Mediastinal Cancer. StatPearls Publishing. 2020.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513231/

Duwe BV, Sterman DH, Musani AI. Tumors of the Mediastinum. CHEST. 2005 Oct
1;128(4):2893–909.

Almeida PT, Heller D. Anterior Mediastinal Mass. StatPearls Publishing. 2020.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546608/

Busroh ID. Tumor Mediastinum: tata laksana dan beberapa data. PIT IKABI,Jogjakarta, 4-6
Juli 1991.h. 1–14

Strollo DC, Rosado-dechristenson Ml, Jett JR. Primary mediastinal tumors. Part II. Tumor of
the middle and posterior mediastinum. Chest 1997; 112: 1344–57.

Tumor mediastinum, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia. 2003: 9.

33 with Masaoka A, Monden Y, Nakahara K, Tanioka T. Follow-up study oh thymomas with


special reference to their clinical stages.

Cancer 1981; 48(11): Temes R, Chavez T, Mapel D, Ketai L, Crowell R, Key C, et al. Mukty,
Abdul Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Primary
mediastinal malignancies: finding in 219 patients.

West J Med 1999; 170(3): Venuta F, Rendina EA, Anile M, de Giacomo T, Vitolo D, Coloni GF.
Thymoma and thymic carcinoma. Eur J Cardio-Thorac. 2012;60: Wilkinson, M. Judith Buku

Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC. diakses pada 27 Nopember diakses pada
4 Nopember pdf diakses pada 4 Nopember diakses pada tanggal 6 Nopember

Alimul . A. H.. (2008) Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Ed. 5.

Salemba Medika. Jakarta Anwar A. 2014. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 8 No 8.
Brunner & Suddarth.2000.

Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 1. Jakarta:EGC Bulechek,dkk. 2013. Nursing


Intervention Classification Edisi 6.Elsevier

3.4 Rublik Penilaian


Kelompok 9

Judul Makalah : ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUMOR DADA

(KANKER PARU DAN TUMOR MEDIASTINUM)

Hari/tanggal : Minggu, 3 Oktober 2021

ASPEK PENILAIAN
A. LAPORAN MAKALAH
Item penilaian Kurang Cukup Baik Sangat baik
(45-55) (56-72) (72-79) (80-100)
1. Sistematika penulisan
2. Komponen makalah: Konsep
Medis
3. Komponen makalah: proses
keperawatan
4. Referensi
Catatan perbaikan:

B. PRESENTASI KELOMPOK
Item penilaian Kurang Cukup Baik Sangat baik
(45-55) (56-72) (72-79) (80-100)
1. Media penyajian (ppt)
2. ketepatan waktu presentasi
3. Kerjasama tim (partisipasi
anggota tim
4. Penguasaan materi oleh
presenter
5. Kepercayaan diri
C. SESI DISKUSI
No. NIM Nama Sikap Komunikasi Penguasaan Catatan
materi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dst.
Catatan Perbaikan:

Anda mungkin juga menyukai