Anda di halaman 1dari 464

SEMINAR Part I

OPTIMAPREP
BATCH AGUSTUS 2016 No. 1 - 175
1. Kolera
• Infeksi usus oleh Vibrio cholerae
– Bakteri anaerobik fakultatif,
– batang gram negatif yang melengkung
berbentuk koma,
– tidak membentuk spora
– Memiliki single, sheathed, polar flagellum
• Gejala klinis (sangat cepat (24-48 jam)):
– Diare sekretorik profuse, tidak berbau,
bersifat tidak nyeri, seperti warna air
cucian beras
– Muntah  tidak selalu ada
– Dehidrasi  berlangsung sangat cepat,
dengan komplikasi gagal ginjal akut, syok,
dan kematian
– Abdominal cramps

Thaker VV. Cholera. http://emedicine.medscape.com/article/962643-overview


PATHOPHYSIOLOGY OF CHOLERA

V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach

NaCl influx into


G- protein stuck in
Produces exotoxins intestinal lumen to
"on" position
drag water into lumen

Toxins will bind to G-


protein coupled lead to watery
Inactivation of GTPase
receptor (ganglioside diarrhea
receptor)
TERAPI
• Rehidrasi sesuai dengan status dehidrasi
pasien
• Antibiotik, diindikasikan pada pasien
dengan dehidrasi berat di atas 2 tahun.
• Antibiotik yang sensitif untuk strain
vibrio cholerae : Tetrasiklin, doksisiklin,
kotrimoksazol, eritromisin, dan
kloramfenikol
• Erythromycin 12.5 mg/kg/ 6 hours for 3
days.
• azithromycin, 20 mg/kg, in a single dose,
without exceeding 1 g
• Tetrasiklin:
– <8 years: Not recommended
– Single dose: 25 mg/kg PO; not to exceed
1 g/dose
Sumber: WHO Cholera. 2011. | emedicine | PAHO
– Multiple dose: 40 mg/kg/day PO divided
q6hr for 3 days; not to exceed 2 g/day
Guidelines for Cholera Treatment with Antibiotics
DOC FOR SPECIAL
RECOMMENDATION DOC ALTERNATE
POPULATIONS

Ab for cholera Erythromycin is


WHO patients with severe Doxycycline Tetracycline recommended drug
dehydration only for children

Erythromycin or
azithromycin DOC for
Ab for cholera pregnant women and
patients with Ciprofloxacin children
PAHO Doxycycline
moderate or severe Azithromycin Ciprofloxacin &
dehydration doxycycline as
second-line for
children

Ab for severely Erythromycin


MSF dehydrated patients Doxycycline Cotrimoxazole
only Chloramphenicol
2. Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar
yang bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen
glukosa dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena
itu laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-
komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat
di brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Patogenesis
• Laktosa tidak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
• Bila aktivitas laktase turun atau tidak ada  laktosa
tidak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon  tekanan osmotik meningkat  menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus  diare osmotik
• Keadaan ini akan merangsang peristaltik usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
• Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon 
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperti asam asetat, asam butirat, dan asam propionat 
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
• Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon  menghasilkan beberapa
gas seperti hidrogen, metan dan karbondioksida  distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
• Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
• Feses sering mengapung karena kandungan gas yg tinggi dan juga
berbau busuk.
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja  tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas  metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Clinitest
Method Principle
• Clinitest is a reagent tablet based on • Copper sulfate in Clinitest reacts
the Benedict's copper reduction with reducing substances in
reaction, combining reactive urine/stools converting cupric
ingredients with an integral heat sulfate to cuprous oxide.
generating system. • The resultant color, which varies
• The test is used to determine the with the amount of reducing
amount of reducing substances substances present, ranges from
(generally glucose) in urine/stools. blue through green to orange.
• Clinitest provides clinically useful
information on carbohydrate
metabolism.
Clinitest
• The Clinitest® reaction detects all • Testing for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and • Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
• Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
Negative. A result of 0.25% to 0.5% is and intestinal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorption.
absorption abnormality, >= 0.75% is • Similar intestinal absorption
abnormal. deficiencies are associated with short
• Test Limitations: bowel syndrome and necrotizing
Assay results have relevance for enterocolitis.
liquid stool samples; assay results • Stool reducing substances is also
have little relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmotic diarrhea caused by
abnormal excretion of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
3&4. Tatalaksana cairan pada diare
akut

PPM IDAI
Klasifikasi Diare
5. Syok Hipovolemik
• Syok :sindroma klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dalam
mencukupi kebutuhan nutrien dan oksigen baik dari segi pasrokan
maupun utilisasinya untuk metabolisme seluler jaringan tubuh.
• Syok hipovolemik merupakan syok paling sering dijumpai pada anak
• Fase awal syok : kompensasi tubuh  takikardia ekstrimitas dingin,
CRT memanjang pulsasi perifer melemah, TD masih normal
• Kompensasi gagal  hipotermia/hipertermia. Penurunan kesadaran,
urin ↓, asidosis metabolik laktat meningkat
• Fase akhir : TD tidak terukur, nadi tidak teraba, kesadaran makin
turun, anuria dan MODS
6. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dgn supresi produksi hemoglobin karena defek
pada sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri
dari komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala
klinis ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang
mayoritas ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan

Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.


ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe)

• Analisis Hb peripheral blood smear of patient with homozygous beta

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation


Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama kali • Splenektomi  jika memenuhi
jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x berurutan
dengan jarak 2 minggu • Splenomegali masif
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
cooley, gangguan tumbuh kembang ml/kg/tahun
• Transfusi darah selanjutnya jika hb<8
g/dL SAMPAI kadar Hb 10-11 g/dL • Transplantasi (sumsum tulang,
(dlm bentuk PRC rendah Leukosit) darah umbilikal)
• Medikamentosa • Fetal hemoglobin inducer
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari (meningkatkan Hgb F yg
– Kelasi besi  menurunkan kadar Fe membawa O2 lebih baik dari Hgb
bebas dan me<<< deposit hemosiderin).
Dilakukan Jika Ferritin level > 1000 A2)
ng/ul, atau 10-20xtransfusi, atau
menerima 5 L darah. • Terapi gen
– Vitamin E (antioksidan karena banyak
pemecahan eritrosit  stress oksidatif
>>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada terapi
denga n deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
www.studyblue.com
7-9. Anemia Defisiensi Besi
Anemia in Infant
• Anemia (WHO):
– A hemoglobin (Hb) concentration 2 SDs below the mean
Hb concentration for a normal population of the same
gender and age range
• US National Health and Nutrition Examination Survey
(1999 – 2002)→ anemia:
– Hb concentration of less than 11.0 g/dL for both male and
female children aged 12 through 35 months

Robert D. Barker, Frank R. Greer, and The Committee of Nutrition. Diagnosis and Prevention of Iron Defiency and Iron Anemia i n Infants and Young Children (0-3 years of Age.
Pediatrics 2010; 126; 1040.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Tatalaksana Berdasarkan IDAI
Penyerapan Besi (Fe)
• Fe2+ (banyak pada sumber hewani) lebih gampang
diserap darpada bentuk Fe3+ (banyak pada sumber
nabati)
• Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan
besi
• Menghambat: pH, Basa, beberapa antibiotik, teh (mengandung
tanin), kopi, suplemen kalsium, makanan yang mengandung
banyak kalsium seperti produk susu, antacida (karena membuat
pH lambung lebih basa)
• Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah
antasida
• Besi sebaiknya dikonsumsi 1-2 jam setelah mengkonsumsi makan
yang bisa menghambat penyerapan
• Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam  konsumsi
bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan
penyerapan
Tatalaksana
– Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat
lambung kosong,
– Jika terjadi efek samping GI, pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah
makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat
sekitar 40%-50%
– Efek samping:
• Mual, muntah, konstipasi, nyeri lambung
• Warna feses menjadi hitam, gigi menghitam (reversibel)
10. Intersex
• Disorders of sexual development (DSD),
formerly termed intersex conditions
• Intersex is defined as a congenital anomaly of
the reproductive and sexual system (WHO)
• Ambiguous genitalia is a rare condition in
which an infant's external genitals don't
appear to be clearly either male or female.

http://www.mayoclinic.com/health/ambiguous-genitalia/DS00668
Classification
• True hermaphroditism (nama baru Ovotesticular DSD) - children who have:
– Both ovarian and testicular tissues.
– Both genders' internal reproductive organs.
– External genitalia that are partially ambiguous.
– Chromosomes that are either 46, XX, 46, XY, or a mixture (referred to as
"mosaic").
• Gonadal dysgenesis - children who have:
– An undeveloped gonad.
– Internal sex organs that are usually female.
– External genitals that may vary between normal female and normal male, with
the majority female.
– Chromosomes that are 45, X, 46, XY, 46, XX, or a mixture (referred to as
"mosaic").
• Pure gonadal dysgenesis - a female child who has a 46, XY karyotype,
underdeveloped gonads, internal female reproductive organs and female external
genitalia.

http://www.chw.org/display/PPF/DocID/22620/Nav/1/router.asp
Classification
• Pseudohermaphroditism - children who have questionable external
genitalia, but have only one gender's internal reproductive organs.
The term male (gonads are testes) or female (gonads are ovaries)
pseudohermaphrodite refers to the gonadal sex (the gender of the
internal reproductive organs).
• There are two primary causes of male pseudohermaphroditism
(nama baru 46,XY DSD)
– Androgen insensitivity syndrome
– 5-alpha-reductase deficiency
• There are a number of causes of female pseudohermaphroditism
(nama baru 46,XX DSD):
– Congenital adrenal hyperplasia (CAH)
– Overproduction of male hormones before birth
http://www.chw.org/display/PPF/DocID/22620/Nav/1/router.asp
Terminologi Lama dan Baru dari Jenis-Jenis DSD

Previous Revised
Female pseudohermaphrodite 46,XX DSD
Male pseudohermaphrodite 46,XY DSD
True hermaphrodite Ovotesticular DSD
XX male 46,XX testicular DSD
XY sex reversal 46,XY complete gonadal dysgenesis
Gender Dysforia in DSD
• Jenis kelamin biologis didapatkan seseorang saat lahir tergantung dari penampilan
atat genitalianya. Sedangkan identitas gender adalah jati diri jenis kelamin yang
dipercaya dan diyakini oleh individu tersebut.
• Disforia gender (gender dysphoria), sebelumnya dikenal sebagai gangguan identitas
gender, adalah suatu kondisi di mana seseorang mengalami ketidaknyamanan atau
rasa tertekan karena ada ketidakcocokan antara jenis kelamin biologis dengan
identitas gender mereka.
• Psychosexual outcomes in DSD have been most extensively studied in 46, XX CAH
(Congenital adrenal hyperplasia).
• These studies show that the vast majority of those raised as girls develop and
maintain a gender identity as girls/women across the lifespan.
• However, a less strong female identification, some gender discomfort, and even
gender dysphoria occur more often in this group than in women without CAH.
• Reviewing studies on psychosexual outcome in DSD up to 2007, de Vries and
colleagues reported that 10 of 217 (5%) of female-reared adolescent and adult
women with CAH experienced some form of gender dysphoria and made a complete
social gender transition (i.e., lived completely and permanently in the male role).
11&12. Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus
– Kwashiorkor
– Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and


adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition.
http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kwashiorkor Marasmus
Protein  Karbohidrat 

Pemecahan lemah + pemecahan protein


Serum Albumin 

Lemak subkutan 

Tekanan osmotik koloid serum 


Muscle wasting, kulit keriput

Edema Turgor kulit berkurang


13. Infeksi HIV pada bayi dan Anak
• Infeksi pada bayi atau anak oleh HIV (Human
Immunodeficiency Virus) sebagian besar
ditransmisi secara vertikal dari ibu ke bayinya
pada saat proses kehamilan, persalinan (paling
banyak terjadi), dan melalui ASI.
• Transmisi secara horizontal melalui transfusi
produk darah atau penularan lain seperti
kekerasan seksual pada anak jarang
Diagnosis HIV
• Anamnesis • Pemeriksaan fisis
– Ibu atau ayah memiliki risiko – Demam berulang/berkepanjangan
untuk terinfeksi HIV (riwayat – Berat badan turun secara progresif
narkoba suntik, promiskuitas,
– Diare persisten
pasangan dari penderita HIV,
pernah mengalami operasi atau – Kandidosis oral
prosedur transfusi produk darah) – Otitis media kronik
– Riwayat morbiditas yang khas – Gagal tumbuh
maupun yang sering ditemukan – Limfadenopati generalisata
pada penderita HIV. – Kelainan kulit
– Riwayat kelahiran, ASI, – Pembengkakan parotis
pengobatan ibu, dan kondisi
– Infeksi oportunistik yang dapat
neonatal
dijadikan dasar untuk pemeriksaan
laboratorium HIV:
• Tuberkulosis
• Herpes zoster generalisata
• Pneumonia P. Jiroveci
• Pneumonia berat
Bayi dan anak memerlukan tes HIV bila:
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti
TB berat atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau
pneumonia berulang dan diare kronis atau berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan
perlakuan pencegahan penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang
didiagnosis terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara
kandungnya didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua
meninggal oleh sebab yang tidak diketahui tetapi masih mungkin
karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik
yang terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain
6. Anak yang mengalami kekerasan seksual
14. Pemberian ASI pada Ibu dengan
HIV
• Sebanyak 90 % penularan HIV pada anak <13
tahun terjadi pada saat perinatal:
– selama dalam kandungan  Virus HIV bebas dapat
menembus plasenta
– proses persalinan  porsi terbesar penularan virus
HIV terjadi karena bayi menelan cairan di jalan lahir,
perlukaan karena gesekan,
– sesudah kelahiran  pemberian ASI (ASI
mengandung virus bebas ataupun CD4 terinfeksi HIV)
• Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan
transmisi melalui ASI adalah sebanyak 15 %.
• Memberi ASI  memaparkan bayi untuk beresiko
tertular HIV
• Tidak memberi ASI  angka mortalitas tidak berkurang
karena anak – anak yang tidak mendapat ASI beresiko
meninggal akibat penyebab selain HIV
• Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat
beberapa alternatif yang dapat diberikan :
– ASI Eksklusif
– Pemberian ARV
– Memanaskan ASI
1. ASI Eksklusif :
– Pada periode tersebut hanya ASI yang boleh diberikan
pada bayi, tidak termasuk air sekalipun apalagi makanan
padat
– Resiko tertular HIV pada mixed feeding  2-6 x lipat
dibandingkan dengan ASI eksklusif
– Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka karena
virus HIV dapat menular melalui luka.
– Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula karena
susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang
menyebabkan virus dalam ASI lebih mudah masuk

2. Pemberian Antiretrovirus
– Ibu dengan HIV yang mengkonsumsi ARV menurunkan
resiko transmisi HIV melalui ASI  angka penularan ↓
0,9%
3. Memanaskan ASI
– Bila ingin memberikan ASI, dapat dilakukan dengan
memerah ASI lalu memanaskannya sehingga virus HIV mati
– Metode flash heating  ASI ditaruh dalam tempat
kemudian ditaruh di panci kecil berisi air kemudian
dipanaskan  mendidih segera diangkat dan dibiarkan
dingin sampai suhu tubuh
– Cara ini tidak mengganggu kadar vitamin A, mnurunkan
kadar vitamin B2 dan B6
15. Resusitasi Neonatus
Kattwinkel J, Perlman JM. Part 15: neonatal resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909 –S919
Rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan
dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan.
• Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian
warna kulit tidak dapat diandalkan.
• Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan
dengan udara dibanding dengan oksigen 100%.
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan
oksimetri.
• Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban
bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi.
• Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit
untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup
untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat
pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
• Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
• Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation a nd
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation a nd
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
16. Sepsis Neonatorum
• Sindrom klinik penyakit sistemik akibat infeksi
yang terjadi pada satu bulan pertama kehidupan.
Mortalitas mencapai 13-25%
• Jenis :
– Early Onset = Dalam 3 hari pertama, awitan tiba-tiba,
cepat berkembang menjadi syok septik ( Group B
Streptococcus (GBS))
– Late Onset = setelah usia 3 hari, sering diatas 1
minggu, ada fokus infeksi, sering disertai meningitis
(Coagulase-negative Staphylococcus)
• Tanda awal sepsis pada bayi baru lahir tidak
spesifik → diperlukan skrining dan pengelolaan
faktor risiko

Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010.
Kriteria Infeksi, SIRS, Sepsis, Sepsis Berat,
dan Syok Septik

Sindrom disfungsi Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah mendapatkan pengobatan
multiorgan optimal

Goldstein B., Giroir B., Randolph A., Pedriatric Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8.
Kriteria SIRS Neonatorum
Skrining
• Kecurigaan besar sepsis bila :
– Bayi umur sampai dengan usia 3 hari
• Riwayat ibu dengan infeksi rahim, demam dengan
kecurigaan infeksi berat, atau ketuban pecah dini
• Bayi memiliki dua atau lebih gejala yang tergolong
dalam kategori A, atau tiga atau lebih gejala pada
kategori B
– Bayi usia lebih dari 3 hari
• Bayi memiliki dua atau lebih temuan Kategori A atau
tiga atau lebih temuan Kategori B
Kelompok Temuan berhubungan dengan Sepsis
Kategori A Kategori B
Kesulitan Bernapas (>60x/menit, retraksi Tremor
dinding dada, grunting, sianosis sentral,
apnea)
Kejang Letargi atau lunglai, malas minum
padahal sebelumnya minum dengan baik
Tidak sadar Mengantuk atau aktivitas berkurang
Suhu tubuh tidak normal (sejak lahir dan Iritabel, muntah, perut kembung
tidak memberi respons terhadap terapi)
atau suhu tidak stabil sesudah
pengukuran suhu selama tiga kali atau
lebih
Persalinan di lingkungan yang kurang Tanda-tanda mulai muncul setelah hari
higienis ke-empat
Kondisi memburuk secara cepat dan Air ketuban bercampur mekonium
dramatis
17. Tetralogi Fallot
ToF
18. Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume splitting

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the lower


valve left sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejection murmur, best


heard at left middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
19. Gagal Ginjal Akut
• Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak
yang mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk
mempertahankan homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5
mg/dL per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per
hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8
ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA
– GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis
– GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat
atau kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP
– GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi
saluran kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi dapat dinaikkan secara
ginjal bertahap sampai maksimum
• Pemberian cairan disesuaikan 10 mg/kgBB/kali. (pastikan
dengan keadaan hidrasi kecukupan sirkulasi dan bukan
merupakan GGA pascarenal).
• Koreksi gangguan • Bila gagal dengan
ketidakseimbangan cairan medikamentosa, maka
elektrolit dilakukan dialisis peritoneal
• Natrium bikarbonat untuk atau hemodialisis.
mengatasi asidosis metabolik
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya
asidosis
20-21. Infeksi Saluran Kemih
• UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang
tidak disirkumsisi)
• Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%),
Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending.
• Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien:
– Neonatus: Suhu tidak stabil, irritable, muntah dan diare, napas tidak
teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis
– Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan
pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau
menyengat
– Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah,
mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin
berbau menyengat
Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview
American Academic of Pediatrics. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and
management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).
120. ISK
• 3 bentuk gejala UTI:
– Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
– Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkontinensia, urin berbau
– Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala
• Pemeriksaan Penunjang :
– Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB)
– Biakan urin dan uji sensitivitas
– Kreatinin dan Ureum
– Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
• Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>10 5 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI


Tatalaksana
• Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari
kelainan yang mendasari
• Umum (Suportif)
– Masukan cairan yang cukup
– Edukasi untuk tidak menahan berkemih
– Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
– Hindari konstipasi
• Khusus
– Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik
selama 7-10 hari
– Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin,
amoksisilin, kecuali jika :
• Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik
• Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak)
• Pada bayi muda
– Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (7.5
mg/kg IV sekali sehari) + ampisilin (50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3
parenteral
– Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada
neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
– Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis
22-24. Sindrom Nefrotik
• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik
dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Starling’s Law of the Capillary

Pc = hydrostatic pressure of capillary


πc = protein (oncotic) pressure of capillary
Pi = hydrostatic pressure of interstitial fluid
πi = protein osmotic (oncotic) pressure of the interstitial fluid

Net movement out of capillary into interstitium (ml/min)

FLOWnet = (Pc – Pi) – (πc – πi)

Basically, movement is governed by (hydrostatic pressure – protein (oncotic) pressure)


• Capillary endothelium is permeable to
water
• Water, ions, small molecules diffuse across A Pc πc V
• Capillaries are relatively impermeable to
proteins
• Plasma protein remains in vascular system
to exert oncotic pressure
• The oncotic pressure tends to cause fluid
to move from interstitial fluid to plasma Pi πi
• Capillary pressure tends to cause fluid to Filtration Absorption
move from plasma to interstitial fluid
• Edema : Accumulation of fluid in interstitial space (due to filtration out of the capillaries)
• Usually caused by a disruption in Starling forces, that exceeds the ability of lymphatic
system to return it to the circulation
Diagnosis
• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
25-27. Glomerulonefritis akut Pasca
Streptokokus
• Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana
terjadi inflamasi pada glomerulus
• Acute poststreptococcal glomerulonephritis is the archetype of
acute GN
• GNA pasca streptokokus terjadi setelah infeksi Streptokokus beta
hemolitikus Grup A nefritogenik → deposit kompleks imun di
glomerulus
• Diagnosis
– Anamnesis: Riwayat ISPA atau infeksi kulit 1-2 minggu sebelumnya,
hematuri nyata, kejang atau penurunan kesadaran, oliguri/anuri
– PF: Edema di kedua kelopak mata dan tungkai, hipertensi, lesi bekas
infeksi, gejala hipervolemia seperti gagal jantung atau edema paru
– Penunjang: Fungsi ginjal, komplemen C3, urinalisis, ASTO
• Terapi: Antibiotik (penisilin, eritromisin), antihipertensi, diuretik

Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephritis. http://emedicine.medscape.com/article/240337-overview


Mekanisme GNAPS
• Terperangkapnya kompleks antigen-antibodi
dalam glomerulus yang kemudian akan merusak
glomerulus
• Proses autoimun kuman Streptokokus yang
bersifat nefritogenik dalam tubuh menimbulkan
badan autoimun yang merusak protein
glomerulus (molecular mimicry)
• Streptokokus nefritogenik dan membran basalis
glomerulus mempunyai komponen antigen yang
sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membran basalis glomerulus.
Sindrom Nefritik Akut
Pemeriksaan Penunjang
• Urinalisis
– Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• ASTO meningkat (ASTO: the antibody made
against streptolysin O, an immunogenic, oxygen-
labile hemolytic toxin produced by most strains of
group A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik,
hiperfosfatemia, dan hipokalsemia pada
komplikasi gagal ginjal akut
Penatalaksanaan
• The major goal is to control edema and blood pressure
• During the acute phase of the disease, restrict salt and water. If significant
edema or hypertension develops, administer diuretics.
– Loop diuretics (Furosemide 1 mg/kg/kali, 2-3 kali per hari)
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers or angiotensin-
converting enzyme inhibitors are useful
• Restricting physical activity is appropriate in the first few days of the illness but
is unnecessary once the patient feels well
• Specific therapy:
– Treat patients, family members, and any close personal contacts who are infected.
– Throat cultures should be performed on all these individuals. Treat with oral penicillin G (250
mg qid for 7-10 d) or with erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to
penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
28. Bronkiolitis
• Infection (inflammation) at
bronchioli
• Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncytial virus
(RSV)
• Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
• Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
29. Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Diagnosis Pneumonia (WHO)
Di samping batuk Batuk dan/atau dyspnea Dalam keadaan yang
atau kesulitan ditambah min salah satu: sangat berat dapat
bernapas, hanya • Kepala terangguk-angguk
dijumpai:
terdapat napas • Tidak dapat menyusu
• Pernapasan cuping hidung
cepat saja. atau minum/makan,
• Tarikan dinding dada bagian

VERY SEVERE
PNEUMONIA

SEVERE PNEUMONIA

PNEUMONIA
bawah ke dalam atau memuntahkan
• Foto dada menunjukkan semuanya
infiltrat luas, konsolidasi • Kejang, letargis atau
tidak sadar
Selain itu bisa didapatkan pula • Sianosis
tanda berikut ini:
• Distres pernapasan
• takipnea berat
• Suara merintih (grunting)
pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar:
crackles (ronkii), Suara
pernapasan menurun, suara
napas bronkial
Tatalaksana Pneumonia

• rawat jalan
PNEUMONIA

SEVERE-VERY SEVERE PNEUMONIA


• ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam). Bila anak memberi respons yang baik dlm
• Kotrimoksasol 24-72 jam, lanjutkan selama 5 hari. Selanjutnya
(4 mg TMP/kg dilanjutkan dgn amoksisilin PO (15 mg/ kgBB/kali tiga kali
BB/kali) 2 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
sehari selama • Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau
3 hari atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
Amoksisilin letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan
(25 mg/kg berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali
BB/kali) 2 kali IM atau IV setiap 8 jam).
sehari selama • Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera
berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-
3 hari. kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai
alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV
sekali sehari).
• Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter
nasofaringeal.
30. Derajat Serangan Asma
Alur
Penatalaksanaan
Serangan Asma
31
32. Diagnostic Criteria and Typical Total Body Deficits
of Water and Electrolytes in Diabetic Ketoacidosis

• Diagnostic criteria* • Typical deficits


– Blood glucose: > 250 mg – Water: 6 L, or 100 mL per
per dL (13.9 mmol per L) kg body weight
– pH: <7.3 – Sodium: 7 to 10 mEq per
– Serum bicarbonate: < 15 kg body weight
mEq/L – Potassium: 3 to 5 mEq per
– Urinary ketone: ≥3+ kg body weight
– Serum ketone: positive at – Phosphate: ~1.0 mmol
1:2 dilutions† per kg body weight
– Serum osmolality: variable

*Not all patients will meet all diagnostic criteria,


depending on hydration status, previous
administration of diabetes treatment and
other factors.
Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA. Diabetic ketoacidosis. In: Porte D Jr,
Sherwin RS, eds. Ellenberg and Rifkin's Diabetes mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.: Appleton &
Lange, 1997;827–44.
CLASSIC TRIAD OF DKA
Prinsip Tatalaksana DKA
33-34. Pathology: Congenital
Hypotyroidism

http://php.med.unsw.edu.au/embryology
/index.php?title=File:Congenital_hypothyr
oidism.jpg

• Causes:
– Deficient production of thyroid
hormone
• Disgenesis congenital
Hypothyroidism
• Iodine deficiencyendemic goiter
– Defect in thyroid hormonal
receptor activity
Hipotiroid kongenital pada Anak
• Hipotiroid kongenital ditandai produksi hormon tiroid yang
inadekuat pada neonatus
• Penyebab:
– Defek anatomis kelenjar tiroid atau jalur metabolisme hormon
tiroid
– Inborn error of metabolism
• Merupakan salah satu penyebab retardasi mental yang
dapat dicegah. Bila terdeteksi setelah usia 3 bulan, akan
terjadi penurunan IQ bermakna.
• Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya diagnosis
etiologi ditegakkan sebelum usia 2 minggu dan normalisasi
hormon tiroid (levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.

Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview


• Most affected infants have few or no symptoms,
because their thyroid hormone level is only slightly low.
However, infants with severe hypothyroidism often
have a unique appearance, including:
– Dull look
– Puffy face
– Thick tongue that sticks out
• This appearance usually develops as the disease gets
worse. The child may also have:
– Choking episodes
– Constipation
– Dry, brittle hair
– Jaundice
– Lack of muscle tone (floppy infant)
– Low hairline
– Poor feeding
– Short height (failure to thrive)
– Sleepiness
– Sluggishness
– Bradycardia Neeonatal hypothyroidism. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/
33-34. Kretinisme
• Kretin merupakan keadaan hipotiroid berat dan ekstrim
yang terjadi pada waktu bayi dan anak yang ditandai
dengan kegagalan pertumbuhan
• Kretinisme endemik merupakan kretinisme yang terjadi
pada bayi yang lahir pada daerah dengan asupan
yodium yang rendah serta goiter endemik; sehingga
mengalami kekurangan yodium yang berat pada masa
fetal
• Kretinisme sporadik biasanya merupakan kretinisme
akibat hipotiroid kongenital
• Seseorang dikatakan kretin endemik jika ia lahir di
daerah gondok endemik dan menunjukkan dua gejala
atau lebih: retardasi mental, tuli sensorineural nada
tinggi, gangguan neuromuskular
Manifestasi Klinis
• 3 tipe kretinisme sporadik:
– Tipe nervosa: RM berat, bisu tuli, strabismus,
paresis sistem piramidalis tungkai bawah, spastik
ataksik (motor rigidity)
– Tipe miksedema: RM dengan derajat lebih ringan;
dan tanda hipotiroid klinis seperti perawakan
pendek, miksedema, kulit kering, rambut jarang,
perkembangan seksual terhambat, spastik tungkai
bawah, gangguan gaya jalan
– Tipe campuran: gabungan antara keduanya
Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan kadar hormon TSH, fT4, dan T3
• Pada pemeriksaan radiologis:
– Bone age: temuan radiologis yang tipikal pada
kretinisme adalah bone age yang terlambat. Pusat
osifikasi sering mengalami malformasi dan
memiliki bentuk yang ireguler
– Pemeriksaan skintigrafi kelenjar tiroid (sidik tiroid)
– USG bisa dijadikan alternatif sidik tiroid
35. Defisiensi Yodium
• Defisiensi yodium yang • Manifestasi klinis:
parah berpengaruh pada – Endemic goiter
sintesis hormon tiroid – Hipotiroid: fatigue, weight
dan/atau pembesaran gain, cold intolerance, dry
tiroid. skin (karenga keringat yang
berkurang), constipation,
• Spektrum Iodine or depression
deficiency disorders – Kretinism
(IDDs): endemic goiter, – Retardasi mental
hypothyroidism,
cretinism, decreased • Tx: yodium 150 mcg/day
fertility rate, increased (pd ps. Yg tdk hamil),
infant mortality, and levotiroksin, radioactive
mental retardation iodine, bedah (jika
kompresif)
Patofisiologi
• Saat pertama terjadi defisiensi iodium 
pembesaran tiroid sbg proses adaptif (goiter) 
benjolan difus lama kelamaan nodular 
beberapa nodul menjadi autonomous &
mensekresikan hormon tirod yg tidakbergantung
pada TSH.  hormon tiroid yg disekresikan oleh
kelenjar normal berkurang untuk menjaga
euthyroidism sedangkan kelenjar yang
autonomous bisa menyebabkan hyperthyroidism.
• Ketika defisiensi iodium semakin parah 
produksi hormon tiroid jauh berkurang  pasien
mengalami hipotiroid
• Recommended daily • defisiensi iodium postnatal
allowance (RDA) menurut pada bayi dan anak bisa
WHO: mengganggu perkembangan
– Adults and adolescents > 12 mental dan psikomotorik (
years - 150 mcg/day terutama kemampuan memori
– Pregnant women & Lactating dan bahasa)
women - 200 mcg/day • Retardasi mental yang
– Children aged 7-12 years - 120 disebabkan karena kekurangan
mcg/day iodium posnatal bisa bersifat
– Children aged 2-6 years – 90 reversible dengan terapi
mcg/day
hormon tiroid.
– Infants – 50 mcg/day
• Retardasi mental karena
kekuraan iodium prenatal
bersifat ireversibel
36. Cushing syndrome
SDS= standard deviation score
37. Pubertas Prekoks
• Definisi: tanda-tanda • GnRH dependent
maturasi seksual sebelum (central) : early
usia 8 tahun pada reactivation of
perempuan dan 9 tahun Hypothalamus-pitutary-
pada laki-laki gonad axis
• Lebih banyak pada • GnRH independent
perempuan (peripheral): autonom
• Perempuan  idiopatik; sex steroid , not affected
laki-laki  kelainan CNS by Hypothalamus-
pitutary-gonad axis
• Variant
– thelarche prematur
– adrenarche prematur
Etiologi
GnRH dependent (sentral) GnRH independent (perifer)
• idiopatik • Lelaki (isoseksual)
• kelainan SSP – adrenal: tumor, CAH
– tumor – testes : tumor sel Leydig,
– non-tumor: pasca infeksi, familial testotoksikosis
radiasi, trauma, kongenital – gonadotropin-secreting
tumor:
• Iatrogenik • non SSP: hepatoma,
• keterlambatan diagnosis germinoma, teratoma
pada GIPP • SSP: germinoma, adenoma
(LH secreting)
• Heteroseksual
– peningkatan aromatisasi
perifer
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Etiologi
GnRH independent Stadium Tanner
(perifer)
• perempuan (isoseksual)
– McCune Albright
– Hipotiroid berat
• heteroseksual
– adrenal: tumor, CAH
– Tumor
ovarium:arrhenoblasto
ma
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala + Tanda
GnRH Dependent Precoccious GnRH Dependent Precoccious
Puberty Puberty
• Selalu isoseksual • Isoseksual atau
• perkembangan tanda-tanda heteroseksual (late onset
pubertas CAH, tumor adrenal)
• mengikuti pola stadium • perkembangan seks
pubertas normal sekunder tidak sinkron
• gambaran hormonal: (volume testes tidak sesuai
dengan stadium pubertas -
peningkatan aktivitas lebih kecil)
hormonal di seluruh poros
• peningkatan kadar seks
steroid tanpa disertai
peningkatan kadar GnRH
dan LH/FSH
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” -
karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
38. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan
dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat
akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A
• Virus RNA (Picornavirus)
ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-rata
28 hari)
• Hepatitis A tidak pernah
menjadi kronik

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis A
• Self limited disease dan tidak • Diagnosis
menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
– Fatique Alanine Transferase)
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – imunoglobulin
– Jaundice  karena – Kebersihan yang baik
hiperbilirubin – Sanitasi yang baik
– Bile keluar dari peredaran • Tatalaksana:
darah dan dieksresikan ke urin
 warna urin gelap – Simptomatik
– Feses warna dempul (clay- – Istirahat, hindari makanan
coloured) berlemak dan alkohol
– Hidrasi yang baik
– Diet
Penanda
Serologis
Hepatitis
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
39. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatit
i s B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus
e 1 2 3
Influ nza Ulangan 1 kaliptia tpahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tia 3 t ahun
Hepatit
i s A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
40. Vaksin HepB pada Bayi Baru lahir
41-43. Mumps (Parotitis Epidemica)
• Acute, self-limited, systemic
viral illness characterized by
the swelling of one or more
of the salivary glands,
typically the parotid glands.
• Caused by a specific RNA
virus, known as Rubulavirus,
genus Paramyxovirus.
• This Paramyxovirus is highly
infectious to nonimmune
individuals and is the only
cause of epidemic parotitis
Mumps (Parotitis Epidemica)
• The transmission mode is person to person via
respiratory droplets and saliva, direct contact, or
fomites.
• Incubation period of 16-18 days
• Prodromal symptoms : low-grade fever, malaise,
myalgias, headache, and anorexia; these symptoms can
last 3-5 days.
• After the prodromal period, one or both parotid glands
begin to enlarge. Initially, local parotid tenderness and
same-sided earache can occur
• Approximately one third of postpubertal male patients
develop unilateral orchitis.
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis,
Sensorineural hearing loss/deafness, Guillain-Barr
é syndrome, Thyroiditis, Myocarditis, orchitis in
males who have reached puberty
• Treatment : Conservative, supportive (analgetics).
No antiviral agent is indicated for viral illness, as it
is a self-limited disease.
• Prevention : Vaccinating children with MMR
should be established and maintained in all
communities
Mumps
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis, Sensorineural
hearing loss/deafness, Guillain-Barr é syndrome,
Thyroiditis, Myocarditis, orchitis (terjadi pada laki-laki
usia postpubertal)
– Rerata usia onset pubertas pada laki-laki adalah 12 tahun,
maka pada soal lebih tepat jawaban meningitis (ps. Masih
10 tahun)
• Treatment : Conservative, supportive (analgetics). No
antiviral agent is indicated for viral illness, as it is a self-
limited disease.
• Prevention : Vaccinating children with MMR should
be established and maintained in all communities
44. Acute Suppurative Parotitis
• Sialadenitis: inflammation of salivatory glands
• The major salivary glands are the paired parotid, submandibular,
and sublingual glands. The minor salivary glands line the mucosa of
the lips, tongue, oral cavity, and pharynx.
• Acute sialadenitis is a bacterial inflammation of the salivary gland.
• It typically affects one major salivary gland, most commonly the
parotid  acute suppurative parotitis
• common in medically debilitated, hospitalized, or postoperative
patients.
• Retrograde bacterial contamination from the oral cavity is thought
to be the inciting etiology.
– Stasis of salivary flow secondary to dehydration or decreased oral
intake allows bacterial migration into the gland parenchyma.
• Predisposing factors for acute sialadenitis include diabetes mellitus,
hypothyroidism, renal failure, and Sjögren syndrome
Acute Suppurative Parotitis
• The most common bacterial cause of acute
sialadenitis is Staphylococcus aureus,
• Patients with acute sialadenitis typically
present with acute onset of pain and swelling
of the affected gland.
• Physical examination may reveal induration,
edema, and extreme localized tenderness.
• Massage of the gland may express pus from
the respective intraoral orifice
Treatment
• Management involves treating the infection and reversing
the underlying medical condition and predisposing factors.
• This includes stimulation of salivary flow by application of
warm compresses, administration of sialagogues such as
lemon drops or vitamin C lozenges,10 hydration, salivary
gland massage, and oral hygiene.
• Empiric antimicrobial therapy is initially directed at gram-
positive and anaerobic organisms, penicillin + beta-
lactamase inhibitors (e.g., amoxicillin-clavulanate
[Augmentin]) are recommended.
• Rarely, acute suppurative sialadenitis can lead to abscess
formation; surgical drainage is indicated in these cases.

http://www.aafp.org/afp/2014/0601/p882.html
Intraoral view of purulence emanating from
the parotid duct orifice in a patient with acute
suppurative parotitis.
45. Hand-Foot-Mouth
Disease
• Hand-foot-and-mouth disease (HFMD) is an acute viral illness that
presents as a vesicular eruption in the mouth, but it can also involve
the hands, feet, buttocks, and/or genitalia.
• Coxsackievirus A type 16 (CVA16) is the etiologic agent involved in
most cases of HFMD
• Physical findings: Initially, macular lesions appear on the buccal
mucosa, tongue, and/or hard palate ; rapidly progress to vesicles
that erode and become surrounded by an erythematous halo
– Lesions may also be found on the hands, feet, buttocks, and genitalia
– A fever of 38-39°C may be present for 24-48 hours
• Symtomps: Sore mouth or throat, Malaise, rarely, vomiting occurs in
HFMD cases caused by EV-71
Hand-Foot-Mouth Disease
• Management:
– adequate fluid intake to prevent dehydration
– Spicy or acidic substances may cause discomfort
– Intravenous hydration may be necessary if the patient
has moderate-to-severe dehydration or if discomfort
precludes oral intake
– antipyretics
– Pain treated with acetaminophen or ibuprofen
– Direct analgesia may also be applied to the oral cavity
via mouthwashes or sprays
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
46. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatit
i s B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus
e 1 2 3
Influ nza Ulangan 1 kaliptia tpahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tia 3 t ahun
Hepatit
i s A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang
p setia tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
47. Laringomalasia
• Laringomalasia adalah kelainan kongenital dimana
epiglotis lemah
• Akibat epiglotis yang jatuh, akan menimbulkan stridor
kronik, yang diperparah dengan gravitasi (berbaring).
• Pada pemeriksaan laringoskopi direk dapat terlihat
laring berbentuk omega
• Laringomalasia biasanya terjadi pada anak dibawah 2
tahun, dimulai dari usia 4-6 minggu, memuncak pada
usia 6 bulan dan menghilang di usia 2 tahun.
• Sebagian besar kasus tidak memerlukan tatalaksana.
48. Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
– Basil batang gram positif
– Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
– Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina atau palisade
• Gejala:
– Gejala awal nyeri tenggorok
– Bull-neck (bengkak pada leher)
– Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring, tonsil, uvula,
palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan sekitarnya edema.
– Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab tenggorok, jika bisa
diambil dibawah selaput pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood agar (CTBA), medium
hoyle dan medium tinsdale, media loeffler

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
• Obat:
– Antitoksin: 40.000 Unit ADS IM/IV, skin test
– Anbiotik: Penisillin prokain 50.000 Unit/kgBB IM
per hari selama 7 hari atau eritromisin 25-50 kgBB
dibagi 3 dosis selama 14 hari
– Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi
saluran repirasi (Pemberian oksigen dengan nasal
prongs dapat membuat anak tidak nyaman dan
mencetuskan obstruksi)
– oksigen harus diberikan, jika mulai terjadi
obstruksi saluran respiratorik dan perlu
dipertimbangkan tindakan trakeostomi.

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


Difteri
• Obat (cont…)
– Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
– Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa nasogastrik.
– Indikasi krikotirotomi/ trakeostomi/intubasi : Terdapat
tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang
berat
– Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan
kortikosteroid pada difteri.
• Dianjurkan pada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
• Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti.
• Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, po tiap 6-8 jam pada
kasus berat selama 14 hari.
49. Spontaneous bleeding
(without injury)

SUPERFICIAL, MULTIPLE DEEP, SOLITARY


petechiae, hematoma,
purpura, hemarthrosis
ecchymoses

platelet disorder coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
B L E E D IN G

Mild Severe

intervention

stopped
continues

prolonged delayed

Platelet disorder Coagulation disorder


Kuliah Hemostasis FKUI.
Simple schematic diagram to diagnose hemostasic disorders

Kuliah Hemostasis FKUI.


Kelainan Pembekuan Darah

http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
Bleeding Disorder
• Liver disease: mengalami kelainan hemostasis primer berupa
trombositopenia dan juga kelainan hemostasis sekunder
(koagulopati) karena liver adalah tempat utama penghasil
prokoagulan dan antikoagulan
• vWF disease terjadi akibat defisiensi faktor vWF yang bertugas
membangun jembatan adhesi platelet dengan dinding vaskular
yang terluka pada hemostasis primer dan memiliki tugas tambahan
mengikat dan menstabilisasi faktor VIII yang tidak stabil. Manifestasi
utama vWF disease adalah purpura (BT memanjang, APTT bisa
sedikit memanjang)
• HSP (henoch schonlein purpura) kelainan vaskulitis yang
diperantarai oleh IgA pada pembuluh darah kecil, ditandai dengan
adanya purpura, kelainan ginjal, kelainn GI (melena)
• Kawasaki disease: an acute febrile vasculitic syndrome of early
childhood Fever (Enanthem, Bulbar conjunctivitis, Rash, Internal
organ involvement, Lymphadenopathy, Extremity changes)
• Pada soal, terdapat gejala berupa ekimosis
dan purpura, maka jawaban yang tepat adalah
pilihan penyakit hemostasis primer yang
disbabkan oleh kelainan vaskular dan
trombosit, seperti HSP, ITP, DHF, von
willebrand disease
50. ITP
• Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang disebut
juga autoimmune thrombocytopenic purpura, morbus
Wirlhof, atau purpura hemorrhagica, merupakan
kelainan perdarahan akibat destruksi prematur
trombosit yang meningkat akibat autoantibodi yang
mengikat antigen trombosit.
• Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan
insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun.
• Patofisiologi: Peningkatan destruksi platelet di perifer,
biasanya pasien memiliki antibodi yang spesifik
terhadap glikoprotein membran platelet (IgG
autoantibodi pada permukaan platelet)
ITP: Cardinal Features
• Trombositopenia <100,000/mm3
• Purpura dan perdarahan membran mukosa
• Diagnosis of exclusion
• 2 jenis gambaran klinis
– ITP akut
• Biasanya didahului oleh infeksi virus dan menghilang dalam 3 bulan.
– ITP kronik
• Gejala biasanya mudah memar atau perdarahan ringan yang
berlangsung selama 6 bulan
• >90% kasus anak merupakan bentuk akut
• Komplikasi yang paling serius: perdarahan. Perdarahan
intrakranial penyebab kematian akibat ITP yg paling sering
(1-2% dr kasus ITP)
Anamnesis
• Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah
infeksi virus, atau bakteri (infeksi saluran napas atas,
saluran cerna), bisa juga terjadi setelah vaksinasi rubella,
rubeola, varisela, atau setelah vaksinasi dengan virus hidup.
• Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit
didalam darah. Diawali dengan perdarahan kulit berupa
petekie hingga lebam.
• Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid,
kuinidin/kuinin, aspirin dapat memicu terjadinya
kekambuhan.
• Obat yang mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko
timbulnya perdarahan.
• Pemeriksaan fisis
– Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada kulit
dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus urogenital).
– Pembesaran limpa terjadi pada 10-20 % kasus.
• Pemeriksaan penunjang
• Darah tepi :
– Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal.
– Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
– Anemia bisa terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak
– Trombositopenia. Besar trombosit umumnya normal, hanya
kadang ditemui bentuk trombosit yang lebih besar (giant
plalets),
– Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
• Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang:
– Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik.
– Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila gagal terapi
selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya pembesaran hepar/ lien/kelenjar getah bening dan pada
laboratorium ditemukan bisitopenia.
THT - KL
51. Rhinitis
Diagnosis Karakteristik
Rinitis alergi Riwayat atopi (+), gejala: bersin, hidung gatal, rinorea encer,
hidung tersumbat. Tanda: mukosa edema, basah, pucat atau
livid, dengan sekret encer.
Rinitis akut Panas, kering, gatal di hidung Bersin berulang, hidung
tersumbat, ingus encer+demam, sefalgia. Rinoskopi anterior:
mukosa merah & bengkak.
Rinosinusitis Hidung tersumbat, rinorea, post nasal drip, nyeri daerah sinus.
Rinoskopi anterior: mukosa edema & hiperemis.
Transiluminasi: sinus suram. Foto waters: air fluid level,
perselubungan, mukosa menebal.
Polip white-greyish/pale soft tissue containing fluid at meatus
medius. Symptoms: nasal obstruction, nasal discharge,
hyposmia, sneezing, pain, frontalache.
Deviasi septum Riwayat trauma hidung, nyeri kepala dan sekitar mata.
Rinoskopi anterior: deviasi bentuk C/S, dislokasi, krista, spina,
sinekia.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
TonsiloPharyngitis
• Modified Centor score and
management options using
clinical decision rule.
• Other factors should be
considered (e.g., a score of 1,
but recent family contact with
documented streptococcal
infection).

• GABHS = group A beta-


hemolytic streptococcus;
• RADT = rapid antigen detection
testing.

• Adapted with permission from


McIsaac WJ, White D,
Tannenbaum D, Low DE. A
clinical score to reduce
unnecessary antibiotic use in
patients with sore throat. CMAJ.
1998;158(1):79.
Tonsillitis
• Acute tonsillitis:
• Bacterial: GABHS, pneumococcus, S.
viridan, S. pyogenes.
• Detritus  follicular tonsillitits
• Detritus coalesce  lacunar tonsillitis.
• Sore throat, odinophagia, fever, malaise,
otalgia.
• Th: penicillin or erythromicin

• Chronic tonsillitis
• Persistent sore throat, anorexia, dysphagia, &
pharyngotonsillar erythema
• Lymphoid tissue is replaced by scar 
widened crypt, filled by detritus.
• Foul breath, throat felt dry.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Diagnostic handbook of otorhinolaryngology.
52. Epistaksis
Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum
– Nadi, napas, tekanan darah

• Hentikan perdarahan
– Bersihkan hidung dari darah & bekuan
– Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000-1/10000 atau lidokain 2%
– Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan

• Cari faktor penyebab untuk mencegah rekurensi


– Trauma, infeksi, tumor, kelainan kardiovaskular, kelainan darah,
kelainan kongenital
Epistaksis
• Epistaksis Posterior
– Perdarahan berasal
dari a. ethmoidalis
posterior atau a.
sphenopalatina, sering
sulit dihentikan.
– Terjadi pada pasien
dengan hipertensi
atau arteriosklerosis.
– Terapi: tampon
bellocq/posterior
selama 2-3 hari.
– Turunkan TD bila
terjadi hipertensi
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
53. OTITIS MEDIA

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


Tympanic Membrane Anatomy
Otitis Media
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi  sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media
Otitis Media Akut
• Th:
– Oklusi tuba: dekongestan topikal
(ephedrin HCl) Hyperaemic stage
– Presupurasi: AB minimal 7 hari
(ampicylin/amoxcylin/
erythromicin) & analgesik.
– Supurasi: AB, miringotomi.
– Perforasi: ear wash H2O2 3% & AB.
– Resolusi: jika sekret tidak
berhenti AB dilanjutkan hingga 3
minggu.
Suppuration stage
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
http://pediatrics.aappublications.org/content/131/3/e964.full
http://contemporarypediatrics.modernmedicine.com/contemporary-pediatrics/news/acute-otitis-media-update-2015?page=full
Timpanometri
• Definisi:
– Pemeriksaan untuk mengetahui kondisi dan fungsi
dari telinga tengah
Interpretasi:
• Tipe A
• Fungsi telinga tengah normal
• Tipe As
• terdapat kekakuan pada tulang-tulang
pendengaran atau membran timpani co:
otoskresosis, membran timpani berparut
• Tipe Ad
• keadaan membran timpani yang flaksid atau
diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari
tulang-tulang pendengaran
• Tipe B
• cairan di telinga tengah (kavum timpani),
misalnya pada otitis media efusi
• Tipe C
• keadaan membran timpani yang retraksi dan
malfungsi dari tuba Eustachius
54. Kelainan Telinga Luar
• Hematoma of the auricle
– Severe blunt trauma to the auricle may cause hematoma.
– Edematous, fluctuant, & ecchymotic pinna.
– If left untreated may cause infection  perichondritis.
– Th/: incision & drainage/needle aspiration  pressure bandage

• Perichondritis of the Auricle


– Most often as a result of trauma, with penetration of the skin &
a contaminated wound.
– The auricle becomes hot, red, swollen, & tender after the
contaminating injury
– infection under the perichondrium  necrosis of the cartilage
 fibrosis  severe auricular deformity (cauliflower ear)
– Th/: antibiotics. If there is fluctuance from pus  drainage.

• Keloid
– May develop at the same piercing site on the lobe.
Kelainan Telinga Luar
• Pseudokista
• Benjolan di daun teling yang
disebabkan oleh kumpulan cairan
kekuningan di antara lapisan
perikondrium & tulang rawan
telinga.

• Biasanya pasien datang karena


benjolan di daun telinga yang tidak
nyeri & tidak diketahui
penyebabnya.

• Terapi: cairan dikeluarkan secara


steril, lalu dibalut tekan sengan
semen gips selama 1 minggu supaya
perikondrium melekat pada tulang
rawan kembali.
• Preauricular Cyst
– A less severe congenital condition,
the preauricular cyst and/or sinus
tract, may occur just anterior to a
normally formed external ear.
– This usually presents as a small
fistula in the skin anterior to the
helix at the upper tragus.
– The associated sinus tract can
develop a dilated cyst with
repeated infection and abscess
formation.
– In problem cases, surgical excision,
with complete removal of the
tract, is the answer.
55. Mastoiditis
• Acute mastoiditis
– the result of extension of acute otitis media into the mastoid air cells with
suppuration & bone necrosis.
• Symptoms:
– Pain, otorrhoea (usually creamy & profuse), increasing deafness.
• Signs:
– fever, tenderness over mastoid antrum, swelling in the postauricular region,
pinna is pushed down & forward, the tympanic membrane is either perforated
and the ear discharging, or it is red and bulging.
• Investigation: CT scanning shows opacity & air cell coalescence.
• Treatment:
– Antibiotics IV. If the organism is not known and there is no pus to culture, start
amoxycillin & metronidazole immediately.
– Cortical mastoidectomy. If there is a subperiosteal abscess or if the response
to antibiotics is not rapid and complete, cortical mastoidectomy must be
performed.

Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat.


Mastoiditis
– As the infection progresses, edema and erythema of the
postauricular soft tissues with loss of the postauricular crease
develop  anteroinferior displacement of the pinna.

– If a subperiosteal abscess has developed, fluctuance may be


elicited in the postauricular area.

– Rarely, a mastoid abscess can extend into the neck (Bezold's


abscess) or the occipital bone (Citelli abscess).

– CT scan provides information about the extent of the


opacification of the mastoid air cells, the formation of
subperiosteal abscess, & the presence of intracranial
complications.

Current diagnosis & treatment in otorhinolaryngology.


Radiologi

Foto Deskripsi
Waters Maxillary, frontal, & ethmoidal sinus
Schedel PA & PA: frontal sinus
lateral Lateral: frontal, sphenoidal, & ethmoidal sinus

Schuller Lateral mastoid


Towne Posterior wall of maxillary sinus
Caldwell Frontal sinus
Rhese/oblique Posterior of ethmoidal sinus, optic canal, &
floor of orbit.
Radiologi
• Schuller projection:
– Acute mastoiditis: Diffuse haziness or clouding of mastoid
air cells, destruction of intercellular septa (loss of
trabecular pattern) & the lateral sinus plate appears more
prominent

– Chronic mastoiditis: Diffuse sclerosis of cellular mastoid


and prominence of periantral triangle

– Cholesteatomas: Cholesteatomas are radiolucent and can


only be diagnosed if they erode bone. An erosion of
mastoid antrum is seen as an area of translucency in a
sclerotic mastoid.
56. Rinitis
Diagnosis Clinical Findings
Rinitis alergi Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa
edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.

Rinitis vasomotor Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu:
asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa
edema, konka hipertrofi merah gelap.
Rinitis hipertrofi Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala:
hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak &
mukopurulen.
Rinitis atrofi / Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa
ozaena pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau,
hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media &
inferior, sekret & krusta hijau.
Rinitis Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor
medikamentosa topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus.
Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang
berlebihan.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
57.Ototoxic Medication
• Injury to the ear caused by medication
• Target damage:
– Cochlea
• Hearing loss
– Usually commencing with high frequencies but often eventually
progressing to the lower frequencies that encompass speech
– Unilateral or bilateral and may fluctuate in severity
• Tinnitusconstant or fluctuate
– Vestibulum
• Balance-related problems (e.g., disequilibrium)
– spinning sensation that is often aggravated by motion and is associated
with nausea
– Stria vascularis
• Epithelium that is uniquely able to produce endolymph in the
cochlea.
• Excessive endolymph is responsible for Meniere's syndrome.
• Faktor Risiko:
– Renal Impairmentmost of
the ototoxic medication s are
renally eliminated
– Defisiensi magnesium
– Aminoglycoside risk factors
• therapy that exceeds two
weeks in duration
• extremes of age
• family history of ototoxicity
• Peak and trough levels that
are elevated beyond those
required for a therapeutic
response.[
– Salicylates risk factors
• excessive doses
• increased age
• dehydration
Aminoglycoside
• Targetted cochlea and stria vascularis
• Examples: kanamycin, neomycin, amikacin,
streptomycin, gentamicin
• Neomycin is the worst offender relating to
cochleotoxicity
• It can cause congenital deafness, if administered to
pregnant women
• Topical otic preparation
– Aminoglycoside topical are especially toxic when instilled
into the ear Contraindication for patients with tympanic
membrane perforation, e.g acute otitis media
http://www.medscape.com/viewarticle/515901
58. Rhinitis
• Rhinitis atropi
– Primer/idiopatik/ozaena
• Infeksi bakteri kronik adalah salah satu penyebab utama,
tersering Klebsiella ozaena, lainnya: coccobacillus foetidus
ozaenae, Bacillus mucosus, Diphteroid bacillus, Bacillus
pertusis, H. ifluenzae, P. aeruginosa, & spesies proteus.
• Faktor lain: autoimun, gangguan hormonal, status gizi
kurang, defisiensi besi
• Triad diagnosis: foetor, krusta hijau, & cavum nasi lapang.
– Sekunder
• Timbul sekunder karena penyakit lain
Rhinitis atrofikans
• Rhinitis atrophy
– inflamasi hidung dengan karakteristik atrophy dari mukosa,
tulang turbinates dan saraf.
• Epitel kolumner bersilia dari mukosa nasal digantikan oleh
epitel gepeng berlapis
• Kavitas nasal dipenuhi krusta kehitaman, hijau dan
kering berbau, obstruksi pernafasan karena sekret
• Terdiri atas rinitis atrofi :
– Primer/idiopatik  penyebab tidak diketahui
– Sekunder
• Infeksi bakteri kronis merupakan penyebab utama 
Klebsiella ozaena, Cocobacillus foetidus ozaenae dll
• Penanganan irigasi nasal, pemindahan krusta, antibiotik
lokal
59. OTITIS MEDIA
Otitis media supuratif kronik
• Infeksi kronik dengan sekresi persisten/ hilang
timbul (> 2 bulan) melalui membran timpani
yang tidak intak.

• Mekanisme perforasi kronik mengakibatkan


infeksi persisten:
– Kontaminasi bakteri ke telinga tengah secara
langsung melalui celah
– Tidak adanya membran timpani yang intak
menghilangkan efek "gas cushion" yang
normalnya mencegah refluks sekresi nasofaring.

• Petunjuk diagnostik:
– Otorea rekuren/kronik
– Penurunan pendengaran
– Perforasi membran timpani

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Otitis Media Supuratif Kronik
Klasifikasi OMSK:

• Tipe benign/mucosal:
– Tidak melibatkan tulang.
– Tipe perforasi: sentral.
– Th/: ear wash with H2O2 3% for 3-5 Large central perforation
days, ear drops AB & steroid,
systemic AB

• Tipe malignant/tulang:
– Melibatkan tulang atau
kolesteatoma.
– Tipe perforasi: marginal atau attic.
– Th/: mastoidektomi.
Cholesteatoma at attic
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
type perforation
Otitis Media Supuratif Kronik
• Tanda dini OMSK tipe maligna:
– Adanya perforasi marginal atau atik,
– Tanda lanjut
• abses atau fistel aurikular,
• polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang
berasal dari dalam telinga tengah,
• terlihat kolesteatoma pada telinga tengah (sering
terlihat di epitimpanum),
• sekret berbentuk nanah & berbau khas,
• terlihat bayangan kolesteatoma pada foto mastoid.
Terapi OMSK
• OMSK tipe benigna: • OMSK tipe Maligna
– Secara umum terapi OMSK – Terapi medis OMSK bertujuan
jinak adalah konservatif. mengeringkan penyakit
– Obat yang dapat digunakan sebelum operasi atau
berupa obat cuci telinga menangani komorbiditas
H2O2 3% selama 3-5 hari, – Antibiotik yang digunakan
antibiotik (penggunaan adalah fluorokuinolon (tetes)
antara 1-2 minggu) dan karena tidak ototoksik.
antibiotik oral.
– Miringoplasti atau
timpanoplasti dapat
dilakukan setelah dua
bulan ketika keadaan
sekret sudah kering.
Otitis Media
• Tujuan operasi otitis media kronik:
– Eradikasi infeksi dan sekret, memperbaiki
membran timpani, memperbaiki pendengaran,
membuang kolesteatoma.

• Jenis-jenis operasi pada OMSK:


– Timpanoplasti tanpa mastoidektomi
– Attikotomi
– Timpanomastoidektomi

Handbook of otolaryngology–head and neck surgery. Thieme Medical Publishers, Inc. 2011.
60. Otitis Media
Otitis Media Akut
• Etiologi:
Streptococcus pneumoniae 35%,
Haemophilus influenzae 25%,
Moraxella catarrhalis 15%.
 Perjalanan penyakit otitis media akut:
1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram.
2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema.
3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol.
4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang.
5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali
normal. Jika perforasi  sekret berkurang.
1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
61. Otitis Media
Otitis media efusi
– Obstruksi tuba Eustachius  tekanan
negatif  transudasi
– Penurunan pendengaran, tidak nyeri
jika tidak terinfeksi atau perubahan
tekanan yang cepat
– Jika masih ada udara  perubahan
posisi kepala menimbulkan sensasi
lembab dengan suara gelembung
– Bisa ada tinnitus, desiran/gemuruh
nada rendah, atau tinitus pulsatil dari
suara arteri.

1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, & throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
61. Otitis Media
• Chronic serous otitis media/glue ear/mucous OM
– If a serous effusion continues for weeks  the
mucous glands of the middle ear & eustachian
tube tend to proliferate & secrete more actively
 the fluid can progressively thicken “glue”
(gelatinous mucus).

– Findings:
• As fluid increases & thickens, with loss of any air
content, the drum may look darker, thick, or dull.
• The serous and mucous ear effusions are usually
sterile & do not cause the diffuse thick redness .
• Audiometry will document conductive hearing
loss.
– Th: myringotomy & inserting ventilation pipe
(Grommet)

1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Menner, a pocket guide to ear. 2003.
Hipertrofi Adenoid

• Gejala:
– Obstruksi nasal
– Rinorea
– Mendengkur
– Nafas lewat mulut
• Hipertrofi adenoid akan
menyebabkan oklusi
tuba sehingga terjadi
otitis media efusi
62. Abses Leher Dalam
Diagnosis Clinical Features

Abses peritonsil Odynophagia, otalgia, vomit, foetor ex ore, hypersalivation, hot


potato voice, & sometimes trismus.

Abses parafaring 1.Trismus, 2. Angle mandible swelling, 3. Medial displacement of


lateral pharyngeal wall.

Abses Retrofaring In children: irritability,neck rigidity, fever,drolling,muffle cry,


airway compromise
In adult: fever, sore throat, odynophagia, neck tenderness,
dysnea
Submandibular Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus
abscess often found. If spreading fast  bilateral, cellulitis  ludwig
angina
Ludwig/ludovici Swelling bilaterally, hypersalivation, airway obstrution caused by
angina retracted tongue, odynophagia, trismus, no purulence (no time
to develop)
1) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Cummings otolaryngology. 4th ed. Mosby; 2005.
Abses Leher Dalam
Peritonsillar abscess
Inadequately treated tonsillitis  spread of infection  pus formation between the
tonsil bed & tonsillar capsule

Symptoms & Signs


Quite severe pain with referred otalgia
Odynophagia & dysphagia  drooling
Irritation of pterygoid musculature by pus & inflammation  trismus
unilateral swelling of the palate & anterior pillar  displace the tonsil downward & medially 
uvula toward the opposite side

Therapy
Needle aspiration: if pus (-)  cellulitis  antibiotic. If pus (+)  abscess .
If pus is found on needle aspirate, pus is drained as much as possible.
Abses Leher Dalam

• Peritonsillar abscess

 Parapharyngeal abscess

 Retropharyngeal abscess
Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003.
Buku Aja r THT-KL FKUI; 2007.
63. Kelainan Telinga Luar
• Noninfected pits
– Pinpoint hole in
front of the ear
or above tragus
– Nondraining
– Lacks swelling

http://emedicine.medscape.com/article/845288-overview#a8
Cysts
– Slowly enlarging preauricular mass
– Usually nontender if uninfected
– Associated pit usually adjacent to
cyst
http://emedicine.medscape.com/article/845288-overview#a8
• Preauricular Cyst
– A less severe congenital condition,
the preauricular cyst and/or sinus
tract, may occur just anterior to a
normally formed external ear.
– This usually presents as a small
fistula in the skin anterior to the
helix at the upper tragus.
– The associated sinus tract can
develop a dilated cyst with
repeated infection and abscess
formation.
– In problem cases, surgical
excision, with complete removal
of the tract, is the answer.
Infected pits - Cellulitis and abscess
• Red, swollen
• Draining purulent material
• Granulation around pit
• Tender
64. Tuberculous Laryngitis
• Its a chronic layngitis • Laryngeal involvement affects
• Secondary infection spread the posterior portion of the
from the initial site in the true vocal cords, the arytenoid
lungs cartilages, and the
• Tubercular nodule-like growths intraarytenoid space
are formed in the larynx tissue – nodular, exophytic lesion or an
area of mucosal ulceration
• usually seen in the 3rd to 4th – Formation of granulation tissue
decade in male and cellular swellingpseudo
• Risk factors: oedem
– consumption of tobacco • Most infection are sputogenic,
– Alcohol few are hematogenous, rarely
– malnutrition, lymphogenous
– immunodeficiency • Hematogenous mostly seen in
– being homeless. patients suffering from miliary
tuberculosis

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3476812/pdf/12070_2008_Article_111.pdf
Clinical Manifestation
• Hoarseness of voice • Diagnosis:
• Dysphagia or – Clinical manifestation
odynophagia – Sputum examination
• Stridor – Chest X-Ray
– Biopsy:
• Otalgia • Caseous necrosis and multiple
• Cough granuloma
• Weight loss • Treatment:
• Fever – Same as primary pulmonary
TB
• Night sweating
http://emedicine.medscape.com/article/763767-overview#a8

65. Benda Asing di Hidung


• Benda asing yang sering:
– Penghapus, pil, baterai, cincin, ssedotan, kelereng

• Gejala:
– Nyeri
– Perdarahan
– Efek iritasirinitis, sinusitis, otitis media akut, tetanus, perforasi septum nasii

• Tata laksana:
– Bila benda dapat terlihat dan terjaangkau dengan mudah
• Instrumen  Pinset bayonet, alligator forsep, hooked probe
– Benda yang kecil dan bulat
• Balloon catheters memakai folley catheters no. 5-8F
– Benda yang besar dan menyumbat total
• Tekanan positifekspiratory paksa pada hidung yang terkena
– Benda yang berbentuk sferis, licin dan mudah terlihat
• Suction

Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed.


Pinset bayonet

Balloon catheters
Pinset telinga

Cerumen hook Alligator forcep


66. Epistaksis
• Epistaksis anterior:
– Epistaksis tersering pada anak, terletak pada kavum nasi
anterior
– Sumber: pleksus kisselbach plexus atau a. ethmoidalis
anterior
– Dapat terjadi karena infeksi & trauma ringan, mudah
dihentikan.
– Penekanan dengan jari selama 10-15 menit akan menekan
pembuluh darah & menghentikan perdarahan.
– Jika sumber perdarahan terlihat  kauter dengan AgNO3, jika
tidak berhenti  tampon anterior 2 x 24 jam.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


67. Uji Penala
• Uji pendengaran dengan garputala dapat
membedakan ketulian karena tuli konduktif

Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach Diagnosis


Positif Tidak ada Sama dengan normal
lateralisasi pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke memanjang Tuli konduktif
telinga yang sakit
Positif Lateralisasi ke memendek Tuli
telinga yang sehat
68. Pembagian Komplikasi Otitis
Media (Souza dkk, 1999)
• Komplikasi Otitis Media dibagi
menjadi:
– Komplikasi Intratemporal 
telinga tengah, rongga mastoid,
telinga dalam
– Komplikasi Ekstratemporal :
• Komplikasi intrakranial  abses
ekstradura, abses subdura, abses
otak, meningitis, tromboflebitis
sinus lateralis, hidrosefalus otikus
• Komplikasi ekstrakranial  abses
retroaurikuler, abses Bezold’s,
abses zigomatikus
http://www.medscape.com/viewarticle/463782_3

Abses Bezolds
• A rare complication of mastoiditis
• Pathogenesis:
– The mastoid tip is composed of thin-
walled air cells
– Accumulation of pus from the mastoiditis,
erodes the thin medial side of mastoid tip
• Clinical manifestation:
– The symptoms may present with acute or
chronically, with time of symptom onset to
diagnosis ranging from 3 days to 3 years
– neck pain
– neck mass
– post auricular pain
– Otalgia
– Otorrhea
– hearing loss
– Less commonly, fever, headache, hearing
loss, facial paralysis, or cervical
lymphadenopathy.
69. Audiologic Testing in Pediatric
• Brainstem evoked response audiometry:
– BERA is a series of scalp-recorded electrical potentials
generated in the auditory nerve and brainstem during the
first 10 to 20 ms after the onset of a transient stimulus.
– Can be used in infant, children, adults, & comatose patient.

Buku ajar THT KL FKUI


Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
Audiologic Testing in Pediatric
• Behavioral observation audiometry
– Behavioral reflex audiometry: to observe reflex
evoked by sound  eye widening, grimacing,
auropalpebral reflex, moro reflex, cessation reflex.
– Behavioral response audiometry (5-6 month)  to
evoke spesific response: moving head toward sound.

• Play audiometry (2-5 year)


– a kid is trained to do spesific task (games) when
hearing sound stimulus.
Buku ajar THT KL FKUI
Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
Audiologic Testing in Pediatric
• Tympanometry:
– To assess middle air condition by placing probe
tone in ear canal to sense the pressure based on
the sound energy reflected from middle ear.

• Otoacoustic emission:
– objective, noninvasive, and rapid measures used
to determine cochlear outer hair cell function.
– Evoked OAE are acoustic signals generated by the
cochlea in response to auditory stimulation.
Buku ajar THT KL FKUI
Current diagnosis & treatment in otolaryngology. 2nd ed. McGraw-Hill.
Audiologic Testing in Pediatric
• Pure tone audiometry:
– The audiogram is a graph that depicts threshold as a
function of frequency. Threshold is defined as the softest
intensity level that a pure tone (single frequency) can be
detected 50% of the time.
70. Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
– Basil batang gram positif
– Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
– Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina
atau palisade
• Gejala:
– Gejala awal nyeri tenggorok
– Bull-neck (bengkak pada leher)
– Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring,
tonsil, uvula, palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan
sekitarnya edema.
– Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
http://4.bp.blogspot.com/
Difteri
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood
agar (CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale 
medium selektif untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
– Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah
telurit (Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi
selama 24 jam koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-
hitam.
– Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
• Pemeriksaan : Pemeriksaan Gram & Kultur;
sediaan berasal dari swab tenggorok, jika bisa
diambil dibawah selaput pseudomembran
• Obat:
– Antitoksin: 40.000 Unit ADS IM/IV, skin test
– Anbiotik: Penisillin prokain 50.000 Unit/kgBB IM per
hari selama 7 hari atau eritromisin 25-50 kgBB dibagi
3 dosis selama 14 hari
– Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran
repirasi (Pemberian oksigen dengan nasal prongs
dapat membuat anak tidak nyaman dan mencetuskan
obstruksi)
– oksigen harus diberikan, jika mulai terjadi obstruksi
saluran respiratorik dan perlu dipertimbangkan
tindakan trakeostomi.
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.
Difteri
• Obat (cont…)
– Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
– Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa nasogastrik.
– Indikasi krikotirotomi/ trakeostomi/intubasi : Terdapat
tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang
berat
– Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan
kortikosteroid pada difteri.
• Dianjurkan pada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
• Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti.
• Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, po tiap 6-8 jam pada
kasus berat selama 14 hari.
Tindakan Kesehatan Masayarakat
• Rawat anak di ruangan isolasi
• Lakukan imunisasi pada anak serumah sesuai
dengan riwayat imunisasi
• Berikan eritromisin pada kontak serumah
sebagai tindakan pencegahan (12.5 mg/kgBB,
4xsehari, selama 3 hari)
• Lakukan biakan usap tenggorok pada keluarga
serumah

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


71. Component of the
Facial Nerve
Innervation to muscles derived from the 2nd branchial
arch:
1. Stapedius muscle -- dampens movement of the
ossicles (inserts on stapes of middle ear)
2. Posterior auricular muscle -- posterior movement of
pinna
3. Stylohyoid muscle -- elevates hyoid bone
4. Posterior belly of digastric -- elevates hyoid bone,
depresses mandible
5. Muscles of facial expression -- blinking, smiling,
frowning, facial movements
1. The Stapedius muscle dampens movement of the ossicles

Stapedius muscle dampens movement of the


ossicles protecting the inner ear from damage from
loud noises
72. TULI

Rinne Weber Schwabach Diagnosis


Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal
pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke telinga Memanjang Tuli konduktif
yang sakit
Positif Lateralisasi ke telinga Memendek Tuli sensorineural
yang sehat

• Tes bisik
– Panjang ruangan minimal 6 meter
– Nilai normal: 5/6-6/6

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


73. Vertigo
• Dizziness/pusing:
– Vertigo/vestibular dizziness
• Sensasi badan terasa berputar
• Penyebab: sistem vestibuler

– Nonvertiginous/nonvestibular
dizziness
• Imbalance, disekuilibrium (rasa
akan jatuh), sinkop/presinkop
(rasa akan pingsan, seperti
melayang)
• Penyebab: sistem nonvestibular
– Sistem propriospetif, sistem
visual
– Kardiovaskular (hipotensi,
anemia, aritmia)
– Psikogenik, hiperventilasi
Vertigo

• Sistem vestibular:
– Perifer: kanalis semisirkularis & organ otolitik
(sakula dan utrikula), nervus vestibularis
– Sentral: batang otak, serebelum, lobus temporal.
Vertigo
• Perbedaan vertigo sentral & perifer

• Oscillopsia: sensasi pandangan yang bergerak menjauh & mendekat


(osilasi)
Vertigo
• Vertigo of central origin
Condition Details
Migraine Vertigo may precede migraines or occur
concurrently
Vascular disease Ischemia or hemorrhage in vertebrobasilar
syndrome can affect brainstem or cerebellum
function
Multiple sclerosis Demyelination disrupts nerve impulses which can
result in vertigo
Vestibular epilepsy Vertigo resulting from focel epileptic discharges in
the temporal or parietal association cortex
Cerebellopontine tumours Benign tumours in the interal auditory meatus
Dismetria
• Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk
memulai atau menghentikan suatu gerak motorik
halus.
• Terjadi akibat adanya gangguan pada serebelum
atau saraf – saraf propioseptif.
• Untuk menguji adanya suatu dismetria bisa
dilakukan beberapa pemeriksaan:
– finger to nose test
– Disdiadokinesis
– Rebound test
74. GANGGUAN PENDENGARAN

• Otosklerosis
– Spongiosis tulang stapes (tersering)  rigid  tidak bisa menghantarkan
suara ke labirin
– Otosklerosis terkait faktor genetik, ¼-2/3 pasien memiliki saudara dengan
kelainan serupa.
– Rasio perempuan: laki-laki 2:1.
– Ketulian mulai timbul pada usia 10-30 tahun dan bersifat progresif.

• Gejala & tanda:


– Tuli bilateral progresif, tetapi asimetrik
– Tinnitus
– Paracusis Willisii: mendengar lebih baik pada ruangan ramai
– Schwarte sign: membran timpani eritema karena vasodilatasi pembuluh darah
promontorium.
– Tuba Eustachius intak, tidak ada riwayat trauma atau penyakit telinga lain

• Terapi: stapedectomy atau stapedomy; diganti dengan prosthesis.


75. Disorders of Tongue
• Glossitis- presents as pain, irritation or burning, hypogeusia,
or dysgeusia
• Atrophic glossitis
– Due to filiform de-papillation
– Mild patchy erythema to a completely smooth, atrophic,
beefy-red surface
– Etiology - pernicious anemia, protein and other nutritional
deficiencies, chemical irritants, drug reactions,
amyloidosis, sarcoidosis, vesiculobullous diseases, oral
candidiasis and systemic infections
– Moeller or Hunter glossitis of pernicious anemia affects
the lateral aspects and tip of the tongue respectively
Condition Clinical presentation Causes
Median rhomboid glossitis Smooth, shiny, erythematous, Often associated with candidal
sharply circumscribed, rhomboid infection
shaped plaque; usually
asymptomatic, but burning or
itching possible; dorsal midline
location

Atrophic glossitis Smooth, glossy appearance with Caused by underlying disease,


red or pink background medication use, or nutritional
deficiencies (e.g., iron, folic acid,
vitamin B12, riboflavin, niacin)

oral hairy leukoplakia White, hairy appearing Epstein-Barr virus super


lesions on lateral border of infection; associated with
immunocompromise, human
tongue
immunodeficiency virus infection

Geographic tongue Bare patches on dorsal tongue Associated with fissured tongue,
surrounded by serpiginous, inversely associated with tobacco
raised, slightly discolored border use

Tongue-tie (ankyloglossia) Shortened frenulum limiting Congenital, adhesion of frenulum


tongue protrusion,
breastfeeding difficulties
http://emedicine.medscape.com/article/1075227-clinical

Kandidosis Oral
JENIS KLINIS GAMBARAN KLINIS
Kandidosis Pseudomembran Akut • Plak putih serupa susu pada
(Thrush) mukosa --> Diangkat --> dasar
eritema

Kandidosis Eritematosa Atrofik • Area eritematosa terutama


Akut dan Kronik pada hard palate, namun
dapat pula pada dorsum lidah
atau mukosa bukal
• berkaitan dengan pemakaian
denture
Kandidosis Hiperplasia Kronik • Plak putih yang tidak dapat
• Kandidosis Oral Kronik (Leukoplakia diangkat
Kandida)
• Sindrom Kandidosis Endokrin
• Kandidosis Mukokutaneus
Terlokalisasi Kronis
• Kandidosis Kronik Difus

Denture Related Stomatitis • Eritema dan edema kronik


pada mukosa yang berkontak
dengan denture
Kelitis Angular • Lesi pada sudut mulut
• perih, eritema dan fissura
Disorders of Tongue…
Median rhomboid glossitis Atrophic Glossitis
Disorders of Tongue…
Geographic Tongue Ankyloglossia
Disorders of Tongue…
Hairy tongue Oral hairy leukoplakia
SEMINAR KULIT
76. Askariasis (Cacing Gelang)
• Gejala
– Rasa tidak enak pada
perut (gangguan
lambung); kejang perut,
diselingi diare;
kehilangan berat badan;
dan demam.
Albendazole
• Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang

• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan
jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing  produksi ATP
sebagai sumber energi <<  kematian cacing

• Kontra Indikasi:
– Ibu hamil (teratogenik), menyusui
– Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun

• Dosis sediaan : 400 mg per tablet.


– Dewasa dan anak diatas 2 tahun : 400 mg sehari sebagai dosis tunggal.
– Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan
makanan.

• Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit
kepala, mulut terasa kering
Pirantel Pamoat

• Indikasi: cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi

• Cara kerja: Melumpuhkan cacing  mudah keluar bersama tinja


• Dapat diminum dalam keadaan perut kosong, atau diminum
bersama makanan, susu, atau jus

• Dosis: Tunggal, sekali minum  10 mg/kg BB, tidak boleh


melebihi 1 gram
– Jika berat badan 50 kg, dosisnya menjadi 500 mg.
– Bentuk sediaannya adalah 125 mg per tablet, 250 mg per
tablet, dan 250 mg per ml sirup
Obat Dosis
Albendazol 400 mg sehari sebagai dosis tunggal
Mebendazol 100 mg, PO 2x/hari selama 3 hari
Pirantel Pamoat 10 mg/kg BB, dosis tunggal
77. Pioderma
• Folikulitis (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut yang
ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau
perih.

• Furunkel (Staph. Aureus): peradangan folikel rambut dan


jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul
perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa
nyeri.

• Furunkulosis: beberapa furunkel yang tersebar.

• Karbunkel (Staph. Aureus): kumpulan dari beberapa furunkel,


ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi
membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak.
• Impetigo krustosa/vulgaris/ kontagiosa/
Tillbury Fox (Strep. Beta hemolyticus) :
peradangan  vesikel yang dengan cepat
berubah menjadi pustul  pecah krusta
kering kekuningan seperti madu. Predileksi
spesifik lesi terdapat di sekitar lubang
hidung, mulut, telinga atau anus.

• Impetigo bulosa/ cacar monyet (Staph.


Aureus): peradangan yang memberikan
gambaran vesikobulosa dengan lesi bula
hipopion (bula berisi pus)

• Ektima (Strep. Beta hemolyticus):


peradangan yang menimbulkan kehilangan
jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal).
Pioderma: Impetigo
• Pemeriksaan Penunjang
– Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari dasar lesi dengan pewarnaan
Gram
– Pemeriksaan darah rutin kadang kadang ditemukan leukositosis

• Komplikasi: Erisipelas, selulitis, ulkus, limfangitis, bakteremia

• Terapi:
• Antibiotika topikal:
• DOC: mupirocin (Bactroban), basitrasin, asam fusidat (Fucidin) dan
retapamulin (Altargo)  2x/hari selama 7 hari
• Alternatif: salep/krim klindamisin, gentamisin
• Antibiotika oral:
• Sefalosforin, amoxiclav, cloxacillin, dicloxaxillin, alternatif: eritromisin,
klindamisin
• DOC anak: Cephalexin http://emedicine.medscape.com/article/965254-overview
Gandahusada S, et al. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit FKUI. Jakarta:2004

78. Taeniasis Saginata


• Etiologi:
– Taenia saginata
• Morfologi
– Cacing dewasa4-12 m
• Skoleks
• Leher
• Strobilaproglotid
– Proglotid gravid15-30
cabang
– TelurTelur bulat
berdinding tebal, memiliki
stria radial

http://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/gen_info/faqs.html
• Gejala klinisringan
– Perut tidak nyaman
nyeri ulu hati
– Mual dan muntah
– Nafsu makan turun
– Berat badan turun
• Diagnosis
– Ditemukan proglotid
bergerak aktif dlm tinja
– Eosinofilia
• Th/: Prazikuantel

http://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/biology.html
Taenia sp. : Taeniasis
Taenia Solium Taenia Saginata
• Skoleks: mempunyai 4 batil isap • Skoleks: mempunyai 4 batil
dan rostelum dgn 2 baris kait
isap, tanpa kait-kait
• Gejala ec cacing: subklinis, nyeri
ulu hati, mencret, mual, • Gejala ec cacing: subklinis,
konstipasi, sakit kepala nyeri ulu hati, mencret,
mual, konstipasi, sakit
• Gejala ec sistiserkosis: kepala
pseudohipertrofi otot, miositis,
demam tinggi, eisonofilia,
epilepsi, meningoensefalitis,
hidrosefalus
Taenia sp. : Proglotid

Taenia Saginata Taenia Solium


• Proglotid memiliki cabang • Proglotid memiliki canag
uterus sebanyak 15-30 buah uterus sebanyak 7-12 buah
PERBEDAAN KARAKTERISTIK
T. s a g i n a t a T. s o l i u m
Penyakit Taeniasis Taeniasis dan sistiserkosis
Panjang cacing dws 4-12 m 2-4 m & 8 m
∑ proglotid 1000-2000 800-1000
Skolek Tanpa rostelum/kait-kait Punya rostelum + kait-kait

Proglotid Keluar sendiri scr aktif Keluar bersama tinja 2-3 progl.
satu-satu
Matang Ovarium 2 lobus Ovarium trilobus
Gravid 15-30 cabang lateral 7-12 cabang lateral
∑ telur/proglotid 100.000 30.000-50.000
Larva Cystisercus bovis Cystisercus cellulose
Hospes perantara Sapi Babi dan manusia
Cara infeksi Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung
mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis)
bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)
79. Prurigo
• The term ‘prurigo‘
designates an intensely
pruritic skin lesions that
have no apparent cause
– characterized by dome-
shaped papules topped
with a small vesicle or
crust
– Secondary excoriation
due to scratching

Principles of pediatric dermatology


http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter36.htm
Etiology
• External factors: • Endocrine factors:
– insect bites – Food and drug allergy.
– ectoparasites, • Infections:
– allergic contactants. – internal septic focus
– Physical factors such as such as chronic tonsillitis
heat, cold and light and sinusitis
• Internal factors:
– Emotional stress and
different psychogenic
factors
Clinical Manifestations
• Eruption consists of • The large, more or less
small, irritable papules, symmetrical nodules
usually most numerous and the intense pruritus
on the extensor aspects usually establish the
of the limbs, the upper diagnosis
trunk and the buttocks
• Crusting and scaling
may cover recently
excoriated lesions
Insect Bite
• Etiologi
– Nyamuk, kutu, skabies, lebah dan serangga lain

• Faktor Risiko
– Pakaian terbuka, paparan terhadap serangga (kebun dll), hunian
padat, higienitas rendah, binatang peliharaan

• Gejala dan Tanda


– Nyeri (sengatan), gatal, urtikaria, bagian tengah terdapat
vesikel/bula dengan isi jernih/hemoragik  nekrosis

• Tatalaksana
– Dinginkan lesi, losion kalamin atau anestesi lokal,
steroid topikal potensi sedang bila terdapat
urtikaria
– Reaksi anafilaksis  injeksi adrenalin
http://www.dermnetnz.org/arthropods/bites.html
80. Verucca Vulgaris
• Verruca: hiperplasi epidermis akibat
pertumbuhan epithel yang disebabkan oleh
Human Papilloma Virus (”kutil” atau ”Warts”).
• Nama berdasarkan lokasinya yaitu
– Verruca Vulgaris (Common Warts) dengan predileksi
khususnya di ekstremitas bagian ekstensor
– Verruca Plantaris (Plantar Warts) dengan predileksi
pada telapak kaki
– Verruca Plana (Flat Warts) dengan predileksi pada
muka dan leher
– Condyloma Accuminata (Genital Warts).
• Pemeriksaan Fisik
– Tanda Patognomonis Papul hiperkeratotik berwarna
kulit sampai keabuan dengan permukaan verukosa.
– Papul ini dapat dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku.
– Apabila permukaannya rata, disebut dengan veruka
plana.
– Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi sepanjang
goresan (fenomena Koebner).
81. Pioderma: Erisipelas
• Penyakit infeksi akut oleh
Streptococcus beta hemolyticus,
menyerang epidermis dan dermis

• Gejala: udem, eritema berwarna


merah cerah, berbatas tegas.
Predileksi: tungkai bawah
• Gejala konstitusi: demam, malaise

• Terdapat keterlibatan limfatik dan


juga limfadenopati, jika sering residif
dapat menjadi elefantiasis

• Pengobatan: elevasi tungkai,


antibiotik sistemik, diuretik (bila
edema)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Erisipelas: Terapi
• Terapi simptomatik untuk nyeri dan demam
• Hidrasi oral
• Kompres dingin
• Elevasi dan imobilisasi tungkai yang terkena  untuk
mengurangi bengkak, inflamasi, dan nyeri
• Kompres air garam: pada lesi ulkus dan nekrotik,
diganti tiap 2-12 jam
• Operasi: debridement bila ada
infeksi parah dengan nekrosis
atau gangren

http://emedicine.medscape.com/article/1052445-treatment
Pioderma: Selulitis

• Disebabkan oleh
staphylococcus atau
streptococcus, atau
infeksi jamur (jarang)

• Gejala dan tanda


– Infiltrat difus kemerahan
dengan batas tidak tegas

• Terapi
– Flucloxacillin, eritromisin,
clarithromycin
Pioderma: Selulitis vs Erisipelas
Penyakit Keterangan
Erisipelas -Infeksi akut oleh Streptococcus
-Mengenai dermis dan subkutan bagian atas
-Eritema merah cerah, batas tegas, pinggirnya meninggi, tanda
inflamasi (+)
-lymphangitis
-Predileksi: tungkai bawah
-Lab: leukositosis
-Jika sering residif dapat terjadi elefantiasis
Selulitis -Infeksi akut terutama oleh Staphylococcus
-Mengenai seluruh jaringan subkutan, difus
-Infiltrat difus (batas tidak tegas) di subkutan, tanda inflamasi (+)
-Predileksi: tungkai bawah
-Lab: leukositosis
Phlegmon Selulitis yang mengalami supurasi dan pecah

Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2008, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI Hal 58-61
82. Psoriasis vulgaris
• Bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar berlapis-lapis dan transparan

• Predileksi
• Skalp, perbatasan skalp-muka, ekstremitas ekstensor (siku & lutut), lumbosakral
• Khas: fenomena tetesan lilin, Auspitz sign, Kobner sign

• Patofisiologi
– Genetik: berkaitan dengan HLA
– Imunologik: diekspresikan oleh limfosit T, sel penyaji antigen dermal, dan keratinosit
– Pencetus: stress, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolisme, obat,
alkohol, dan merokok

• Tata laksana
– Topikal: preparat ter, kortikosteroid, ditranol, tazaroen, emolien, dll
– Sistemik: KS, sitostatik (metotreksat), levodopa, etretinat, dll
– PUVA (UVA + psoralen)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Psoriasis Vulgaris
Tanda dan Gejala
• Perburukan lesi skuama kronik
• Onset cepat pada banyak area kecil
dengan skuama dan kemerahan
• Baru terinfeksi radang tenggorokan
(streps), virus, imunisasi, obat
antimalaria, trauma
• Nyeri (terutama pada kasus psoriasis
eritrodermis atau pada sendi yang
terkena arthritis psoriasis)
• Pruritus
• Afebril
• Kuku distrofik
• Ruam yang responsif terhadap steroid
• Konjungtivitis atau blepharitis

http://emedicine.medscape.com/article/1943419-overview
Psoriasis Vulgaris: Tanda Khas

Tanda Penjelasan

Fenomena Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada


tetesan lilin goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya indeks
bias.

Fenomena Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat


Auspitz papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang
berlapis-lapis hingga habis.

Fenomena Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang timbul


Kobner akibat trauma pada kulit sehat penderita psoriasis, kira-kira
muncul setelah 3 minggu.
Tipe Psoriasis
Tipe
Plak • Bentuk paling umum
Psoriasis • Lesi meninggi dasar kemerahan dan tertutup sisik putih (sel kulit mati)
• Predileksi: kulit kepala, lutut, siku, punggung, dan kulit yang sering
terkena trauma
• Terasa gatal dan nyeri, dapat retak dan berdarah
Psoriasis • Tersering kedua
Gutata • Lesi berbentuk titik/ plak kecil
• Dimulai pada masa anak-dewasa muda, dapat merupakan kelanjutan
dari infeksi streptokokus.
Inverse • Lesi berwarna merah, pada lipatan kulit
Psoriasis • Tampak licin dan mengkilat
• Dapat muncul bersama tipe lain
Psoriasis • Pustul berwarna putih (bula steril) dikelilingi dasar kemerahan
Pustular • Isi pus adalah sel darah putih
• Tidak menular
• Paling sering muncul di tangan dan kaki
Nail • Perubahan warna kuku menjadi kuning-kecoklatan, permukaan menjadi
Psoriasis tidak rata (sering berbentuk pit kecil multipel)
83. Sindrom Stevens-JohnsonTEN
• Sindrom yang mengenai kulit, selaputlendir di orifisium,
dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan
sampai berat
• Penyebab: alergi obat (>50%), infeksi, vaksinasi, graft vs
host disease, neoplasma, radiasi
• Reaksi hipersensitivitas tipe 2
• Trias kelainan
– Kelainan kulit: eritema, vesikel, bula
– Kelainan mukosa orifisium: vesikel/bula/pseudomembran pada
mukosa mulut (100%), genitalia (50%). Berkembang menjadi
krusta kehitaman
– Kelainan mata: konjungtivitis
• Komplikasi: bronkopneumonia, gangguan elektrolit, syok
• Pengobatan: KS sistemik-oral, antibiotik, suportif

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Steven
Johnson
Syndrome
treatment

UK Guidelines 2016
British Journal of Dermatology (2016)174
Recommendations
• The SJS/TEN MDT should be coordinated by a
specialist in skin failure, usually dermatology
and/or plastic surgery, and should include
clinicians from intensive care, ophthalmology
and specialist skincare nursing
• barrier-nursed in a side room controlled for
humidity, on a pressure-relieving mattress,
with the ambient temperature raised to
between 25 °C and 28°C

UK Guidelines 2016
British Journal of Dermatology (2016)174
• Monitor fluid balance carefully; catheterize if
appropriate/necessary.
• Fluid replacement can be guided by urine
output and other end-point measurements 
lactate
• After establishing adequate IV fluid
replacement initially, oral administration of
fluids should be progressively increased,if
tolerated
UK Guidelines 2016
British Journal of Dermatology (2016)174
• Respiratory symptoms and hypoxaemia on
admission should prompt urgent discussion
with an intensivist and rapid transfer to the
ICU or burn centre, as deterioration requiring
mechanical ventilation is likely
• There is no conclusive evidence to
demonstrate the benefit of any one
(corticosteroids, IVIG, Cyclosporine)
intervention over conservative management

UK Guidelines 2016
British Journal of Dermatology (2016)174
Penggunaan Kortikosteroid pada SSJ
• Keadaan umum baik • Lesi menyeluruh
dan lesi tidak dengan KU buruk
menyeluruh – Dexametason 4-6 x 5 mg
– Prednison 30-40 mg sehari
sehari – Selama 2-3 hari
– Tappering off setiap hari
dikurangi 5 mg
– Setelah 5 mg
sehariganti prednison
oral, tappering off 20 mg
sehari, 10 mg sehari,
berhenti setelah 10 hari

Ilmu Kulit dan Kelamin, 2007


84. Melasma
• Etiologi
– Paparan matahari, kehamilan, terapi hormon (pil KB dll), obat dan produk kecantikan,
hipotiroidism

• Efloresensi
– Makula hiperpigmentosis, umumnya simetris, warna coklat muda-tua, predileksi di daerah pipi,
dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu

• Tatalaksana
– Hentikan terapi hormon (bila ada), gunakan sunblock & produk kecantikan yang lembut
– Hidrokuinon 2-4% (krim atau lotion) selama 2-4 bulan
– Krim/gel/lotion asam azelaik 2x/hari (aman untuk kehamilan)
– Kortikosteroid krim

http://www.dermnetnz.org/colour/melasma.html
Manifestasi klinis
• Makula hiperpigmentasi
berwarna kecoklatan,
bahkan kadang biru atau
hitam
• Distribusi 1 dari 3
– Centrofacial  dahi, dagu,
pipi, hidung dan bibir atas
– Malar  hidung dan pipi
– Mandibula  ramus
mandibula
• Lampu wood  melanin
dapat divisualisasi
Melasma: Diagnosis Banding
MELASMA SUN-DAMAGE PIGMENTATION
• Melanosit merespon perubahan • Lentigo, keratosis seboroik,
hormonal  kronik dan sulit freckles, sun spots, liver spots)
sembuh • Hanya dipermukaan kulit
• Dapat mengenai dermis • Muncul acak di semua area
wajah
• Plak coklat muda-tua di dahi,
pipi, dagu, atas bibir • Tidak simetris
• Berhubungan dengan perubahan
• Simetris tekstur kulit (keriput, garis)
• Diskolorisasi pekat dan • Tidak berhubungan dengan
mengenai epidermis-dermis hormon namun paparan
• Berhubungan dengan hormonal matahari
• Paparan matahari, panas, dan • Respon baik terhadap terapi
kelembaban dapat laser
memperparah • Tidak termasuk kondisi kronik

http://www.celibre.com/difference-between-melasma-and-sun-damage.aspx
Seborrheic keratosis
• The most common benign skin
neoplasm.
• Occur in aging population (>40
yo)
• Diagnosis is easy to make
clinically, biopsy is usually not
necessary
• Tend to occur on trunk most
often, but can appear on head
and extremities
• tend to occur in sun-exposed
areas
• Lesions contained entirely in
epidermis
Pigment accumulating in the skin cells (keratinocytes)

Freckles

Localised proliferation of melanocytes

Lentigo
Nevus
85. Dermatitis Seboroik/Ptiriasis Sika
• Segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi
dan berpredileksi di tempat-tempat seboroik
• Etiologi: belum diketahui pasti
– Kelainan konstitusi berupa status seboroik yang diturunkan
– Pertumbuhan Pityrosporum ovale yang berlebihan
– Proliferasi epidermis yang meningkat
– Faktor predisposisi: kelelahan, stres emosional, infeksi, defisiensi imun
• Gejala: eritema, skuama agak kekuningan yang berminyak
• Predileksi: kepala, scalp, dahi, postaurikular, leher, lipat
nasolabial, liang telinga luar, dada, areola mammae, lipatan
mammae, interskapular, umbilikus, lipat paha, anogenital

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Faktor Risiko
• Genetik.
• Faktor kelelahan.
• Stres emosional.
• Infeksi.
• Defisiensi imun.
• Pria > wanita
• Usia bayi bulan 1 dan usia
18-40 tahun.
• Kurang tidur.
Dermatitis Seboroik
Fakto Risiko
• Hormonal
• Malassezia sp. Pada kulit
• Kekurangan nutrisi
• Gangguan SSP
• Genetik
Dermatitis Seboroik: Terapi
• Anti inflamasi (imunomodulator)
– Steroid topikal atau inhibitor calcineuron
– Shampo seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal,
losio yang dioleskan pada kulit kepala atau krim pada kulit

• Keratolitik
– Tar, asam salisiklik dan shampo zinc pyrithion
• Anti Fungi
– Gel ketokonazol (Nizoral) 1x/hari dalam dua minggu
– Satu kali sehari regimen desonide (Desowan) dermatitis
seboroik pada wajah
– Shampo selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai 2-
3x/minggu
– Ketokonazole (krim atau gel foaming) dan terbinfin (Lamisil) oral
dapat berguna
– Anti jamur topikal lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan
flukonazole (Diflucan)  mempunyai efek anti inflamasi juga
86. Reaksi Kusta

• Suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang


ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang
kadang- kadang disertai dengan gejala sistemik

• Dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan


fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan
pada pasien kusta.

• Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada


saat pengobatan, maupun sesudah pengobatan  paling sering
terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya
pengobatan.
Reaksi Kusta: Jenis
REAKSI DESKRIPSI
Pure neuritis leprosy Jenis lepra yang gejalanya berupa neuritis saja

Lepra Tuberkuloid Bentuk stabil dari lepra, lesi minimal, gejala lebih
ringan. Tipe yg termasuk TT (Tuberkuloid polar), Ti (
Tuberkuloid indenfinite), BT (Borderline Tuberkuloid)

Reaksi Reversal Lesi bertambah aktif (timbul lesi baru, lesi lama
menjadi kemerahan), +/- gejala neuritis. Umum
pada tipe PB
Eritema Nodusum Nodul Eritema, nyeri, tempat predileksi lengan dan
Leprosum tungkai, Umum pada MB
Fenomena Lucio Reaksi berat, eritematous, purpura, bula, nekrosis
serta ulserasi yg nyeri
Reaksi Kusta: Tipe 1
(Reaksi Reversal)

• Rekasi hipersensitivitas tipe IV


(Delayed Type Hypersensitivity Reaction)

• Terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL)

• Biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat


pengobatan

• Patofisiologi
– Terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman
kusta dikulit dan syaraf  berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati
akibat pengobatan yang diberikan
Reaksi Kusta: Tipe 2

• Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

• Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III

• Terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL)

• Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL

• Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul
pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT)

• Patofisiologi: Manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada


pembuluh darah.
http://emedicine.medscape.com/article/1075227-clinical

87. Kandidosis Oral


JENIS KLINIS GAMBARAN KLINIS
Kandidosis Pseudomembran Akut • Plak putih serupa susu pada
(Thrush) mukosa --> Diangkat --> dasar
eritema

Kandidosis Eritematosa Atrofik • Area eritematosa terutama


Akut dan Kronik pada hard palate, namun
dapat pula pada dorsum lidah
atau mukosa bukal
• berkaitan dengan pemakaian
denture
Kandidosis Hiperplasia Kronik • Plak putih yang tidak dapat
• Kandidosis Oral Kronik (Leukoplakia diangkat
Kandida)
• Sindrom Kandidosis Endokrin
• Kandidosis Mukokutaneus
Terlokalisasi Kronis
• Kandidosis Kronik Difus

Denture Related Stomatitis • Eritema dan edema kronik


pada mukosa yang berkontak
dengan denture
Kelitis Angular • Lesi pada sudut mulut
• perih, eritema dan fissura
Kandidosis Oral
• Pemeriksaan Risk Factors
– Luka di mulut di kerok untuk • HIV/AIDS
diambil sampelnya
• Cancer treatments
– Kultur saliva kuantitatif
– Pewarnaan sediaan dengan PAS • Organ transplantation
atau Gridley stain (terwarna • Diabetes
pink), atau GMS (terwarna • Corticosteroid use
coklat-hitam)
• Dentures
• Terapi • Broad-spectrum antibiotic use
– Pasien imunosupresi (HIV, • Heavy Smoking
kemoterapi, prolonged
antibiotik)  antifungal
profilaksis
– Obat kumur oral (0,12%
chlorhexidine) untuk pengguna
denture atau sebagai kontroler
terhadap kandidosis oral

http://emedicine.medscape.com/article/1075227-treatment
Oral Leukoplakia
• Definition: a whitish
patch or plaque that
cannot be characterized
clinically or pathologically
as any other disease, and
is not associated with
any physical or chemical
causative agent, except
the use of tobacco.
• between 5% and 25% of
these lesions are
premalignant
Etiology Histopathology
No etiologic factor can be identified for most • Features highly variable
persistent oral leukoplakias (idiopathic – Ranging from
leukoplakia). Known causes of leukoplakia hyperkaratosis and
include the following: hyperplasia to atrophy and
– Trauma (eg, chronic trauma from a sharp severe dysplasia
or broken tooth or from mastication may – Significant intrapathologist
cause keratosis) and interpathologist
– Tobacco use: Chewing tobacco is variation in diagnosing
probably worse than smoking. dysplasia
– Alcohol – Molecular studies
– Infections (eg, candidosis, syphilis,
indicated
Epstein-Barr virus infection): Epstein-Barr • Pada pemeriksaan
virus infection causes a separate and kerokan leukoplakia,
distinct non–premalignant lesion termed tidak ditemukan jamur
hairy leukoplakia.
– Chemicals (eg, sanguinaria)
– Immune defects: Leukoplakias appear to
be more common in transplant patients.
Erythroleukoplakia
Verrucous or Nodular Leukoplakia

Carcinoma(leukoplakia appearing)
Leukoplakia Treatment
• Stopping risk faktor such as tobacco, alcohol
• Surgical treatment if persists
– scalpel, laser or freezing (cryotherapy)
– Hystopathologic review of the tissue
• Medical treatment not effective
88.Paronychia
• Localized superficial infection • If extends to overlying
or abcess of the lateral nail proximal nail: eponychia
fold • S. aureus
• Most common infection in the – Thumb sucking/nail biting –
anaerobes
hand – Chronic – candida
• Caused by frequent trauma to
area
– Nail biting
– Manicuring
– Dishwashing
– Finger sucking (children
• Swelling and tenderness of the
soft tissue next to the nail fold
• May have associated cellulitis
Management:
• If no frank abscess
frequent hot soaks & antibiotics
• If pus is present
incision and drainage
– Follow up 24-48 h.
– Most resolve in 5-10 days
• If pus has tracked beneath the nail
remove an adjacent longitudinal section
• If eponychia is resulted
remove the entire nail plate
89. Cutaneous Anthrax
• 95% of all cases globally
• Incubation: 2 to 3 days
• Spores enter skin through open wound or
abrasion
• Papule → vesicle → ulcer → eschar
• Case fatality rate 5 to 20%
• Untreated – septicemia and death

Center for Food Security and Public Health,


Iowa State University, 2011
Day 6
Day 2

Day 4

Day 6
Day 6

Day 10
Center for Food Security and Public Health,
Iowa State University, 2011
The Organism
• Bacillus anthracis
• Large, gram-positive, non-
motile rod
• Two forms
– Vegetative, spore
• Over 1,200 strains
• Nearly worldwide distribution

Center for Food Security and Public Health,


Iowa State University, 2011
Terapi Cutaneous Anthrax
• Penularan dari alam:
– Penicillin V 500 mg, PO, 4x/hari selama 7–10 hari

• Penularan akibat bioterorism (aerosol, hirup):


– Ciprofloxacin 500 mg, PO, 2x/hari atau
levofloxacin 500 mg, IV)/PO per 24 jam × 60 hari

Sumber: http://cid.oxfordjournals.org/content/early/2014/06/14/cid.ciu296.full
90. Cutaneous Larva Migrans
(Creeping Eruption)
• Peradangan berbentuk linear,
berkelok-kelok, menimbul dan
progresif
• Penyebab: Ancylostoma braziliense
dan Ancylostoma caninum
• Larva masuk kulit, menimbulkan rasa
gatal dan panas, diikuti lesi linear
berkelok-kelok, menimbul,
serpiginosa membentuk terowongan
• Gatal hebat pada malam hari
• Th/:
– Topikal: Tiabendazol cream 10-
15%,salep albendazol 2%, kloretil
spray
– Oral: Albendazol 400mg dosis
tunggal selama 3 hari berturut

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
91. Tatalaksana Malaria
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale
• Lini pertama
– Menggunakan ACT: artesunat + amodiakuin atau
dihydroartemisinin piperakuin (DHP)
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun
primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25
mg/kgBB

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama)


– Kina + primakuin
– Dosis:
• Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari
• Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila
relaps)
Tatalaksana Malaria Malariae dan
Malaria Mix (Falciparum + Vivaks)

• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari

• Malaria Mix
– ACT
– Dosis primakuin hari pertama 0.75 mg/kgBB
– Hari 2-14 primakuin dosis 0.25 mg/kgBB
92. Neurodermatitis
• Nama lain: Liken Simplek kronikus/Liken Vidal  sebuah
peradangan kulit kronis, gatal, sirkuskripta
• Penebalan kulit akibat gesekan atau garukan berulang
• Gatal (dengan atau tanpa penyebab patologis kulit) 
garukan berulang  trauma mekanis  likenifikasi
• Daerah
– Kulit kepala, belakang leher, tungkai atas atau bawah, vulva dan
skrotum
• Etiologi
– Tercetus oleh alergi atau stress
• Terapi
– Steroid topikal
– Atasi penyebab

http://emedicine.medscape.com/article/1123423-treatment
Etiopatogenesis
• Etiology
– Multiple; Atopic dermatitis, insect bite, psychogenic
Dasar pruritus garukan likenifikasi

ok pelepasan mediator /
aktivitas enzim

Peneliti lain :
Garukan respon thdp stres emosional
Neurodermatitis: Tatalaksana
• Tata laksana neurodermatitis:
– Edukasi bahwa garukan akan memperburuk lesi
– Antipruritus: antihistamin dengan efek sedatif
– Kortikosteroi topikal atau intalesi
– Ter yang mempunyai efek antiinflamasi
96. LIKEN SIMPLEK KRONIS

Sinonim
– Neurodermatitis Sirkumkripta
– Liken Vidal

Definisi
– Peradangan kulit kronis
– Gatal >>> ok garukan /
– Sirkumskrip gosokan berulang
– Likenifikasi
Gejala Klinis
Subjektif : Ukuran :
• Sangat gatal lentikular – plakat
– malam → gangguan tidur
Lesi :
Objektif : tunggal / multipel
Lokasiditemukan pada
daerah yang mudah digaruk
tengkuk, sisi leher, tungkai Efloresensi
bawah, pergelangan/punggung Std awal : edem,
kaki, kepala, paha medial, eritem, papul
ekstensor lengan, skrotum /
vulva berkelompok
Bentuk : lonjong Std lanjut : likenifikasi,
hiperpigmentasi,
skuama kering
PENGOBATAN
UMUM
– Garukan  / -

KHUSUS :
Antihistamin
efek sedatif

Topikal
KS : potensi kuat
KS + TER
KS intra lesi
93. Tuberkulosis Kutis: Klasifikasi
• Berdasarkan penyebaran infeksi
– Eksogen, endogen, limfogen, dan hematogen

• Berdasarkan Banyaknya BTA (mikroskop biopsi kulit)


– Multibasiler dan pausibasiler

• Berdasarkan riwayat tuberkulosis


– Primer (belum pernah terinfeksi TB) dan Sekunder
Tuberkulosis Kulit: Gambaran Klinis
JENIS TB GAMBARAN KLINIS EFLORESENSI
KUTIS
Tuberkulosis • Pada orang yang belum pernah terinfeksi TB
Inokulasi • Inokulasi bakteri langsung pada kulit
Primer • Lesi awal berupa papul/nodul  2-3 minggu  ulkus: keras, dangkal, tidak
(Chancre) nyeri, dasar granulasi

Skrofuloderma • Penyebaran pada kelenjar limfe, terutama superfisial (leher, lipat paha,
ketiak)
• Pembesaran KGB tanpa nyeri & tanda radang  membesar & berkonfluensi
 lunak & kenyal (abses dingin)  pecah  fistel  ulkus memanjang: livid,
bergaung, dasar berupa jaringan granulasi & pus seropurulen, ada jembatan
kulit
TB Orifisialis • TB kutis sekitar orifisium
• Akibat kontak langsung dengan sputum
• Nyeri, tepi tidak rata (punched-out), dasar tertutupi pseudomembran fibrin
& mudah berdarah
TB Miliaris • Pada TB paru yang sudah menyebar (meningen)
Akut • Lokasi tersering: badan
• Makula & papul eritema multipel, ukuran < 5 mm, meninggalkan sikatrik
• PX/ diaskopi: apple jelly colour

http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_219Pendekatan%20Klinis%20Infeksi%20Tuberkulosis%20pada%20Kulit.pdf
Tuberkulosis Kulit: Gambaran Klinis
JENIS TB GAMBARAN KLINIS
KUTIS
TB Gumosa • Infiltrasi subkutan, lunak, berbatas tegas, kronis, destruktif
• Akibat penyebaran mikrobakteria yang dorman secara hematogen

TB Verukosa • Infeksi eksogen pada individu yang pernah terinfeksi


Kutis • Terjadi pada tempat yang mudah mengalami trauma
• Plak hiperkeratosis atau plak verukosa dengan tepi inflamasi yang tidak nyeri
• Meluas secara perlahan
• Permukaan kulit mengalami fisura dengan eksudat & krusta
• Bagian tepi tersusun serpiginosa, bagian tengah mengalami involusi

Lupus Vulgaris • TB kutis paling sering


• Hematogen atau limfogen
• Papul/plak merah kecoklatan, batas tegas atau
• Ulkus/nodul hiperkeratosis
• Diaskopi: Aplle jelly colour
• Kronis: skar, deformitas, KSS

Tuberkulid • Reaksi hipersensitivitas terhadap bakteri


• Terjadi pada host dengan imunitas baik, tes tuberkulin (+)
• Varian: eritema induratum of Bazin (Nodular tuberculid), tuberkulid
papulonekrotik, Lichen Skrofulosorum
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_219Pendekatan%20Klinis%20Infeksi%20Tuberkulosis%20pada%20Kulit.pdf
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_219Pendekatan%20Klinis%20Infeksi%20Tuberkulosis%20pada%20Kulit.pdf
TB KUTIS: SKROFULODERMA
• Penjalaran perkontinuitatum dari organ dibawah kulit yang
diserang penyakit TB (kelenjar getah bening, sendi, tulang)
• Lokasi
– leher : dari tonsil atau paru
– ketiak : dari apeks pleura
– lipat paha : dari ekstremitas bawah  KGB Inguinal lateral
• Perjalanan penyakit:
– Awal : limfadenitis TB
• KGB membesar tanpa tanda radang akut
– Periadenitis
• perlekatan kelenjar dengan jaringan sekitar sekitar
– Perlunakan tidak serentak cold abses  Pecah
– Fistelmemanjang, tidak teratur, sekitarnya livide menggaung
tertutup pus seropurulen
– Sikatrik  skin bridge
• DD/ : limfosarkoma, limfoma malignum, hidradenitis
supurativa LGV
Periadenitis
Limfadenitis TB

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Cold Abses
Fistel Sikatrik → skin bridge

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Tuberculous Chancre
• Afek primer : papul,
pustule, ulkus indolen,
menggaung,
disekitarnya livide
• Masa tunas: 2-3 minggu
Limfangitis, limfadenitis
setelah afek primer
• (tuberculin positif)
Semua di atas: komplek
primer
Ulkus dengan indurasi
TUBERKULOSIS KUTIS VERUKOSA
• Berbeda dgn skrofuloderma, penjalaran tipe verukosa
terjadi secara eksogen
• Kuman masuk melalui kulit pada orang yang sudah
terinfeksi TB (primer)
• Predileksi : punggung tangan, tungkai bawah, kaki
(tempat yang lebih sering terkena trauma)
• Gambaran klinisnya khas sekali: Bentuk bulan sabit
akibat penjalaran serpiginosa
• Papul lentikuler diatas kulit yang eritematosa
• Dapat pula menjalar ke perifer sehingga terbentuk
sikatriks di tengah
TB Kutis
Verukosa
TB Kutis Gumosa
• Secara hematogen
(dari paru) infiltrate
subkutan, batas tegas,
menahun melunak,
destruktif
• DD: guma sifilis,
frambusia, mikosis
profunda
TB Kutis Orifisialis/ ulserosa
• Di sekitar orifisium:
– TB paru ulkus di mulut, bibir
– TB saluran cerna ulkus di sekitar anus
– TB saluran kemih ulkus pada genital
• Disebabkan karena kekebalan sangat
kurang
• Didapatkan ulkus menggaung, dinding
livide
94. Ulkus pada Tungkai Bawah
Penyakit Keterangan

Ektima • Infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi
• Ulkus superfisial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk cawan dengan
dasar merah dan tepi meninggi

Ulkus • Ulkus tropikum adalah ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada tungkai
tropikum bawah, dan lebih sering ditemukan pada anak-anak kurang gizi di daerah tropik
• Bentuk ulkus lonjong atau bulat, tertutup oleh jaringan nekrotik dan secret serosanguinolen
yang banyak dan meleleh

Ulkus • Dasar ulkus terlihat jaringan granulasi atau bahan fibrosa. Dapat juga terlihat eksudat yang
Varikosum banyak. Kulit sekitarnya tampak merah kecoklatan akibat hemosiderin
/stasis • Kulit sekitar luka mengalami indurasi, mengkilat, dan fibrotik
vena • Daerah predileksi yaitu daerah antara maleolus dan betis, tetapi cenderung timbul di sekitar
maleolus medialis
Ulkus Statis/varikosum (Eksem Venosum)
• Ulkus pada tungkai bawah, yang
disebabkan oleh gangguan aliran
darah vena
• Predileksi
– Maleolus medialis
• Faktor risiko
– Usia tua, obesitas, trauma pda
tungkai, DVT, flebitis,
• Soliter, dangkal, tertutup jaringan
nekrotik, tepi tidak meninggi,
jaringan sekitar hiperpigmentasi
• Terapi
– Elevasi tungkai, antibiotik, atasi
penyebab

Buku Ajar ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-5


Ulkus Venosum
Ulkus Venosus
• Elevasi Kaki:
– Meningkatkan venous return akibat gravitasi
– Mengurangi tekanan pada jaringan
– Meningkatkan aliran arteriol
– Meringankan gejala insufisiensi vena (mengurangi
nyeri dan pembengkakan)
EVALUATION

CHARACTERISTICS VENOUS ARTERIAL


APPEARANCE Irregular, dark pigmentation, Irregular, smooth edge, minimum
sometimes fibrotic, granulation, to no granulation, usually deep
usually shallow. with a punched out appearance.

LOCATION Distal lower leg, medial malleolus. Distal lower leg/feet/toes, lateral
malleolus, anterior tibial area.

PEDAL PULSES Usually present. May be diminished or absent.

PAIN May be present. Usually improves Usually painful especially with leg
with leg elevation. elevation.

DRAINAGE Moderate to large. Minimal to none.

TEMPERATURE May be increased. May be decreased.

SKIN CHANGES Flaking, dry, hyperpigmented. Thin, shiny, hairless, yellow nails.
3.
95.
CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013
96. Kusta/Morbus Hansen
• Penyakit infeksi kronik akibat infeksi
Mycobacterium leprae
• Gejala klinis:

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Tuberculoid Lepromatous
• Makula hipopigmentasi hipestesi yang • Nodul atau papul sewarna dengan
berbatas tegas, berjumlah beberapa lesi. kulit atau sedikit eritematosa.
Makula memiliki tepi yang meninggi dengan
ukuran dari yang kecil hingga dapat • Lesi membesar; Lesi baru muncul
menutupi seluruh badan. dan berkonfluens.
• Tepi Eritematosa atau keunguan dengan • Later: symmetrically distributed
hipopigmentasi pada bag. tengah. Berbatas nodules, raised plaques, diffuse
tegas dan meninggi, seringkali annular dan dermal infiltrate, which on face
membesar pada ba.tepi, dengan daerah results in loss of hair (lateral
sentral menjadi atropi atau terdepresi. eyebrows and eyelashes) and
• Lesi lanjut anestetik, tidak adanya adneksa leonine facies (lion's face).
kulit (sweat glands, hair follicles).  test
pinprick, temperature, vibration • Bilaterally symmetric involving
• Dapat mengenai berbagai daerah termasuk
earlobes, face, arms, and buttocks,
muka. or less frequently the trunk and
• May be a thickened nerve on the edge of the lower extremities.
lesion; large peripheral nerve enlargement • More extensive nerve involvement
frequent (ulnar).

Wolff K. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical dermatology, 5th ed. McGraw-Hill; 2007.
Tipe Lesi Batas Permukaan BTA Lepromin
I Makula Jelas Halus agak - +
hipopigmentasi berkilat,
anestesi
TT Makula eritematosa Jelas Kering - + kuat
bulat/lonjong, bagian bersisik,
tengah sembuh anestesi
BT Makula eritematosa Jelas Kering +/- + lemah
tidak teratur, mula- bersisik,
mula ada tanda anestesi
kontraktur
BB Plakat, dome-shaped, Agak Agak kasar, + -
punched-out jelas agak berkilat
BL Makula infiltrat merah Agak Halus + -
jelas berkilat
LL Makula infiltrat difus Tidak Halus + kuat -
berupa nodus simetri, jelas berkilat
saraf terasa sakit
97. Malaria the disease
• Malaria tertiana: 48h
between fevers (P. vivax
and ovale)

• Malaria quartana: 72h


between fevers (P.
malariae)

• Malaria tropica: irregular


high fever (P. falciparum)
98. Fascioliasis
• Biasanya menginfeksi duktus biliaris dan hati,
namun dapat mengenai bagian tubuh yang lain
• 50% asimptomatik, dapat muncul gejala dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu
• Fase Akut: gejala muncul akibat migrasi parasit
dari intestinal ke dan melewati hati

• Gejala dan Tanda


– Masalah GI seperti mual, muntah, nyeri perut,
– Demam, ruam, dan sulit bernapas dapat terjadi
http://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2001/fascioliasis/Fasciola.htm

Fase Infeksi
• Acute Phase
– Rarely seen in humans
– Occurs only when a large number of metacercariae are ingested at once.
– After 4-7 days after ingestion: Fever, tender hepatomegaly, and abdominal pain the most frequent
symptoms
– vomiting, diarrhea, urticaria (hives), anemia, and may all be present.
– Caused by the migration of the F. hepatica larvae throughout the liver parenchyma., the larvae
penetrate the liver capsule
– Migration continues for 6-8 weeks until the larvae mature and settle in the bile ducts.
• Chronic Phase
– Much more common in human populations
– Biliary cholic, abdominal pain, tender hepatomegaly, and jaundice, severe anemia (In children)
– These symptoms reflect the biliary obstruction and inflammation caused by the presence of the large
adult worms and their metabolic waste in the bile ducts.
– Inflammation of the bile ducts eventually leads to fibrosis and a condition called "pipestem liver", a
term describing the white appearance of the biliary ducts after fibrosis portal cirrhosis and death.
• Halzoun
– a type of Fasciola hepatica infection in which the worm settles in the pharynx
– This occurs when an individual consumes infected raw liver.
– The young adult worms then attach themselves to the pharyngeal mucosa which causes considerable
pain, edema, and bleeding that can interfere with respiration
– The adults can live in the biliary ducts, causing symptoms for up to 10 years.
• Ectopic Infection
– Ectopic infections through normal transmission are infrequent but can occur in the peritoneal cavity,
intestinal wall, lungs, subcutaneous tissue, and very rarely in other locations.
Fasciola Hepatica: Siklus Hidup
Fasciola Hepatica: Telur pada Mikroskopik

A, B, C: Telur Fasciola hepatica. Pengecatan: iodine.


A,B bentuk membulat; C. Terlihat operculum pada terminal
Fasciola Hepatica: Tatalaksana

• DOC: Triclabendazole
– Dosis: 10 mg/kg/dosis, dalam 2 dosis terpisah 12-
24 jam

• Alternatif: Nitazoxanide
– Untuk fase kronik
– 2x500 mg/hari selama 7 hari
Nama cacing Gejala Klinis Morfologi Bentuk

Fasciola Gangguan GIT • Cacing pipih spt daun


hepatika mual, muntah, nyeri • Cacing dewasa memiliki
abdomen, demam batil isap kepala dan
Peradangan, perut
penebalan,sumbatan • Telursulit dibedakan
sal.empedusiroris dengan F.buski, sdkt
periporta melebar pada
abopercular
• Telur dikeluarkan belum
matang, matang dalam
air berisi mirasidium
Fasciolopsis Sebagian besar • Cacing dewasa memiliki
buski asimptomatik. batil isap kepala dan
Nyeri perut perut
(epigastrium),diare kronik • Telurelips,dinding
diselingi konstipasi,tinja transparan,operkulum
berisi makanan yang tidak kecil nyaris tidak
tercerna,anemia akibat terlihat,imatur(tidak
perdarahan ada embrio)
ulkus/abses,reaksi alergi
thdp komponen
cacing,obstruksi usus
99. Urinary Tract Infection (UTI)
Pathophysiology
1. Infection spreads from renal pelvis to renal cortex
2. Kidney grossly edematous; localized abscesses in cortex
surface
3. E. Coli responsible organism for 85% of acute pyelonephritis;
also Proteus, Klebsiella

Manifestations
1. Demam dan menggigil yang tiba-tiba
2. Malaise
3. muntah
4. Nyeri pinggang
5. Nyeri dan nyeri ketok Costovertebral
6. Urinary frequency, dysuria
99. Mikrobiologi

SIM : Sulfide
indole motility
1. Gram negatif, dapat memfermentasi laktosa
2. Gram negatif, dapat memfermentasi laktosa
3. Gram positiftidak tumbuh koloni
4. Gram negatif, tidak dapat memfermentasi laktosa
Tes indentifikasi (IMViCIndol, metil, Voges,citrat)
Identifikasi bakteri enterobactericeae

• Tes indoluntuk membedakan bakteri batang gram


negatif dalam famili Enterobacteriaceaemerubah
triptofan menjadi indole
– tes indol +
• Escherichia coli
• Haemophilus influenzae
• Proteus sp. (not P. mirabilis and P. penneri)
• Vibrio sp
– Tes indol –
• most Bacillus sp.
• Enterobacter sp.
• most Klebsiella sp.
• Proteus mirabilis,
• Pseudomonas sp.
http://www.eplantscience.com/index/microbiology_methods/diagnostic_microbiology_in_action/isolation_techniques_for_enteric_pathogens.
php
Proteus mirabilis dan ISK
• Bakteri batang gram negatif, berflagella (bergerak aktif)
• Proteus dapat memfermentasi glukosa dengan
menghasilkan gas, namun tidak dapat memfermentasi
laktosa, sehingga berwarna putih kekuningan pada agar Mc
Conkey
• Infeksi saluran kemih dan mengeluarkan zat yang dapat
memfasilitasi pembentukan batu di saluran kemih
• Patogenesis:
– Produksi enzim urease  hidrolisis urea menjadi amonia 
urin >> basa  memicu pembentukan kristal sitruvit & kalsium
karbonat
– Endotoksin  induksi respon inflamasi  hemolisin
• Gejala: sistitis, urgensi, hematuria
Swarming Phenomenon
• Swarming adalah terbentuknya zona konsentrik pada
pertumbuhan bakteri yang menutupi permukaan media
pertumbuhan agar darah
• Ditemukan pada P. mirabilis dan P. vulgaris
• Bakteri tsb memiliki flagela dan bersifat sangat motil sehingga
menimbulkan pola pertumbuhan yang khas dan aroma ikan asin
100. Mobus Hansen
Pausibasilar Multibasilar
Lesi kulit •1-5 lesi •>5 lesi
(makula datar, papul •Hipopigmentasi/eritema •Distribusi lebih simetris
meninggi, nodus) •Distribusi tidak simetris •Hilangnya sensasi kurang
•Hilangnya sensasi yang jelas
jelas
Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi)

• Kriteria Diagnosis Lepra:


• Lesi hipopigmentasi dengan gangguan sensibilitas
• Penebalan saraf
• BTA (+)
• Pemeriksaan
– Bakterioskopik: Ziehl-Neelsen
– Histopatologik: sel datia Langhans, atau sel Virchow
– Dengan biopsi kulit
– Serologik: MLPA, ELISA, ML dipstick
ILMU PENYAKIT MATA
101. Blepharitis
• Blefaritis  peradangan pada kelopak mata
• Blefaritis terdiri atas dua jenis :
– Blefaritis Anterior  peradangan pada tepi kelopak mata bagian
luar tepatnya pada daerah tumbuhnya bulu mata
• Etiologi : infeksi bakteri (stafilokokus), seboroik, alergi atau infeksi
tungau
• Gejala klinis : kelopak merah, gatal, bersisik terdapat ulkus-ulkus kecil
sepanjang tepi palpebra, bulu mata cenderung rontok  stafilokokus

– Blefaritis posterior  mengenai tepi bagian dalam kelopak mata


yang langsung bersentuhan dengan konjungtiva bulbi
• Terjadi akibat kelenjar meibom memproduksi sebum secara iregular
Terdapat peradangan muara meibom, sumbatan muara oleh sekret
kental  terjadi overgrowth bakteri
• Akne rosasea dan seboroik
Blepharitis
102. Contact Lens Related Eye
Infection
• Keratitis is the most • Risk Factor :
serious complication of – Extended wear lenses
contact lens wear – Sleeping in your contact
• Approximately 90% of MK lenses
in CL wearers is – Reduced tear exchange
associated with bacterial under the lens
infection – Enviromental factor poor
hygiene
• Symptomps
– Blurry vision, unusual
redness of the eye, pain in
the eye, tearing or
discharge from eye,
fotofobia, foreign body
sensation
Microbacterial keratitis related contact
lens wear
• Etiology :
– The most common bacterial
pathogens associated with MK :
Staphylococcus and Pseudomonas
species  more frequent in
temperate climate regions.
– Fungal keratitis  is more frequent
in tropical or sub-tropical climates.
Fusaria are the most common
fungal pathogen associated with
CL related fungal keratitis.
– Acanthamoeba keratitis seems to
be a growing clinical problem in CL
wearers,
– viral keratitis is poor understood

Dyavaiah M, et.al Microbial Keratitis in Contact Lens Wearers. JSM Ophthalmol 3(3): 1036 (2015)
Bacterial keratitis Fungal keratitis Acanthamoba
Risk factor - Sleeping with CLs among Possible risk factors of CL storage cases and poor
CL wearers fungal keratitis are ocular hygiene practices such as usage
- Patients with diabetes injury, long-term therapy of homemade saline rinsing
mellitus, dementia or with topical or systemic solutions and rinsing of lenses
chronic alcoholism steroids, with tap water Other risk
appeared to be at higher immunosuppressive agents, factors include CL solution
risk and underlying diseases reuse/topping off, rub to clean
- Trauma was rarely a such as pre-existing corneal lenses, shower wearing lenses,
factor surface abnormality and lens replaced (quarterly), age of
wearing CLs case at replacement (<3
months), extended wear and
lens material type
Clinical The predominant clinical CL associated Fusarium Itching, redness, pain, burning
manifestation features reported in keratitis include central sensation, ring infiltrate in
bacterial keratitis were lesions, paraxial lesions, and corneal, multiple
eye pain and redness the peripheral lesions in the pseudodendritic lesions, loss of
with a decrease in visual eye [31]. Patients with vision. Painless acantamoeba
acuity and stromal Candida infections were keratitis  fotofobia but no
infiltration reported to have a severe ocular pain
visual outcome

Diagnosis Microscopic observation CL associated Fusarium Corneal scraping and CL


of corneal scraping using keratitis include central solution  cyst and
stained smears is useful lesions, paraxial lesions, and trophozoyte
for diagnosis of bacterial the peripheral lesions in the
keratitis. eye [31]. Patients with
Candida infections were
reported to have a severe
visual outcome
103-104. HORDEOLUM
• Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata
• Infeksi staphylococcus pada kelenjar sebasea
• Gejala: kelopak bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal,
merah, nyeri bila ditekan, ada pseudoptosis/ptosis akibat
bertambah berat kelopak
• Gejala
– nampak adanya benjolan pada kelopak mata bagian atas atau
bawah
– berwarna kemerahan.
– Pada hordeolum interna, benjolan akan nampak lebih jelas
dengan membuka kelopak mata.
– Rasa mengganjal pada kelopak mata
– Nyeri takan dan makin nyeri saat menunduk.
– Kadang mata berair dan peka terhadap sinar.
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• 2 bentuk :
 Hordeolum internum: infeksi kelenjar Meibom di dalam tarsus. Tampak
penonjolan ke daerah kulit kelopak, pus dapat keluar dari pangkal rambut
 Hordeolum eksternum: infeksi kelenjar Zeiss atau Moll. Penonjolan
terutama ke daerah konjungtiva tarsal
• Pengobatan
– Self-limited dlm 1-2 mingu
– Kompres hangat selama sekitar 10-15 menit, 4x/hari
– Antibiotik topikal (salep, tetes mata), misalnya: Gentamycin, Neomycin,
Polimyxin B, Chloramphenicol
– Jika tidak menunjukkan perbaikan : Antibiotika oral (diminum), misalnya:
Ampisilin, Amoksisilin, Eritromisin, Doxycyclin
– Insisi bila pus tidak dapat keluar

Hordeolum Eksterna Hordeolum Interna


Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/htxt/Hordeolum.htm
105-107. Glaukoma
• Glaukoma adalah penyakit
saraf mata yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan
bola mata (TIO Normal : 10-
24mmHg)
• Ditandai : meningkatnya
tekanan intraokuler yang
disertai oleh pencekungan
diskus optikus dan pengecilan
lapangan pandang
• TIO tidak harus selalu tinggi,
Tetapi TIO relatif tinggi untuk
individu tersebut.
Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14
Glaukoma
• Jenis Glaukoma :
 Primer yaitu timbul pada mata yang mempunyai bakat bawaan, biasanya
bilateral dan diturunkan.
 Sekunder yang merupakan penyulit penyakit mata lainnya (ada penyebabnya)
biasanya Unilateral
• Mekanisme : Gangguan aliran keluar humor akueus akibat kelainan sitem
drainase sudut kamera anterior (sudut terbuka) atau gangguan akses
humor akueus ke sistem drainase (sudut tertutup)
• Pemeriksaan :
 Tonometri : mengukur tekanan Intraokuler (TIO)
 Penilaian diskus optikus : pembesaran cekungan diskus optikus dan
pemucatan diskus
 Lapang pandang
 Gonioskopi : menilai sudut kamera anterior  sudut terbuka atau sudut
tertutup
• Pengobatan : menurunkan TIO  obat-obatan, terapi bedah atau laser
Glaukoma

glaucoma that develops after the


3rd year of life 360
Jenis Glaukoma
Causes Etiology Clinical
Acute Glaucoma Pupilllary block Acute onset of ocular pain, nausea, headache, vomitting, blurred vision,
haloes (+), palpable increased of IOP(>21 mm Hg), conjunctival injection,
corneal epithelial edema, mid-dilated nonreactive pupil, elderly, suffer
from hyperopia, and have no history of glaucoma
Open-angle Unknown History of eye pain or redness, Multicolored halos, Headache, IOP steadily
(chronic) glaucoma increase, Gonioscopy Open anterior chamber angles, Progressive visual
field loss

Congenital abnormal eye present at birth, epiphora, photophobia, and blepharospasm, buphtalmus
glaucoma development, (>12 mm)
congenital infection
Secondary Drugs (corticosteroids) Sign and symptoms like the primary one. Loss of vision
glaucoma Eye diseases (uveitis,
cataract)
Systemic diseases
Trauma
Absolute glaucoma end stage of all types of glaucoma, no vision, absence of pupillary light
reflex and pupillary response, stony appearance. Severe eye pain. The
treatment  destructive procedure like cyclocryoapplication,
cyclophotocoagulation,injection of 100% alcohol

http://emedicine.medscape.com/articl e/1206147
Mekanisme Glaukoma
Angle-closure (acute) glaucoma
• The exit of the aqueous humor fluid is sud
• At least 2 symptoms:
– ocular pain
– nausea/vomiting
– history of intermittent blurring of vision with halos
• AND at least 3 signs:
– IOP greater than 21 mm Hg
– conjunctival injection
– corneal epithelial edema
– mid-dilated nonreactive pupil
– shallower chamber in the presence of occlusiondenly
blocked

http://emedicine.medscape.com/article/798811
Open-angle (chronic) Glaucoma

• Most common type


• Chronic and progressive → acquired
loss of optic nerve fibers
• Open anterior chamber angles
• Visual field abnormalities
• An increase in eye pressure occurs
slowly over time → pushes on the
optic nerve
• Funduskopi: cupping and atrophy of
the optic disc
• Risk factors
– elevated intraocular pressure,
advanced age, black race, and
family history

http://emedicine.medscape.com/article/1206147
Tatalaksana Glaukoma Akut
• Tujuan : merendahkan tekanan bola mata secepatnya kemudian bila tekanan normal dan
mata tenang → operasi
• Supresi produksi aqueous humor
– Beta bloker topikal: Timolol maleate 0.25% dan 0.5%, betaxolol 0.25% dan 0.5%,
levobunolol 0.25% dan 0.5%, metipranolol 0.3%, dan carteolol 1% dua kali sehari dan
timolol maleate 0.1%, 0.25%, dan 0.5% gel satu kali sehari (bekerja dalam 20 menit,
reduksi maksimum TIO 1-2 jam stlh diteteskan)
– Pemberian timolol topikal tidak cukup efektif dalam menurunkan TIO glaukoma akut
sudut tertutup.
– Apraclonidine: 0.5% tiga kali sehari
– Brimonidine: 0.2% dua kali sehari
– Inhibitor karbonat anhidrase:
• Topikal: Dorzolamide hydrochloride 2% dan brinzolamide 1% (2-3 x/hari)
• Sistemik: Acetazolamide 500 mg iv dan 4x125-250 mg oral (pada glaukoma akut
sudut tertutup harus segera diberikan, efek mulai bekerja 1 jam, puncak pada 4
jam)
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
Tatalaksana Glaukoma Akut
• Fasilitasi aliran keluar aqueous humor
– Analog prostaglandin: bimatoprost 0.003%, latanoprost 0.005%, dan travoprost 0.004%
(1x/hari), dan unoprostone 0.15% 2x/hari
– Agen parasimpatomimetik: Pilocarpine
– Epinefrin 0,25-2% 1-2x/hari
• Pilokarpin 2% setiap menit selama 5 menit,lalu 1 jam selama 24 jam
– Biasanya diberikan satu setengah jam pasca tatalaksana awal
– Mata yang tidak dalam serangan juga diberikan miotik untuk mencegah serangan
• Pengurangan volume vitreus
– Agen hiperosmotik: Dapat juga diberikan Manitol 1.5-2MK/kgBB dalam larutan 20% atau urea
IV; Gliserol 1g/kgBB badan dalam larutan 50%
– isosorbide oral, urea iv
• Extraocular symptoms:
– analgesics
– antiemetics
– Placing the patient in the supine position → lens falls away from the iris decreasing pupillary
block
• Pemakaian simpatomimetik yang melebarkan pupil berbahaya
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007. &
emedicine
108. Normal Tension Glaukoma
• Normal Tension Glaukoma yang terdapat pada satu ujung
spektrum glaukoma sudut terbuka kronis merupakan bentuk yang
tersering menyebabkan pengecilan lapangan pandang bilateral
progressif asimptomatik yang muncul perlahan dan sering tidak
terdeteksi sampai terjadi pengecilan lapangan pandang yang
ekstensif.
• Tipe glaukoma dimana nervus optic rusak dan kehilangan
kemampuan melihat dan lapangan pandang, muncul pada
glaukoma sudut terbuka namun tekanan intra okuler yang normal
(<22 mmHg)

Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14


Normal tension Glaucoma Diagnostic Criterias
Diagnostic criteria Diagnostic tests
1. Intraocular tension Tonometry
2. Optic nerve head changes Ophthalmoscopy
3. Visual field defects Perimetry
4. Angle of ant. Chamber Gonioscopy
OPTIC NERVE HEAD CHANGES
Early Changes Advanced Changes:
• Vertically oval cup • Notch/Thinning of
• Asymmetry of C:D ratio neuroretinal rim
between two eyes(>0.2) • Pallor of neuroretinal rim
• Enlarged C:D Ratio (>0.5) • Superficial disc haemorrhages
• Pallor Areas • Cupping of disc
• Bayonetting Sign
• Lamellar Dot Sign

Glaucomatous optic atrophy:


• Neural disc is destroyed
• Optic nerve head appears
white and deeply excavated
Increased C:D Ratio
Cupping of discs and Bayonetting sign

Thinning of neuroretinal rim

Bayonetting sign
109-110. PTERIGIUM
• Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva,
bersifat degeneratif dan invasif
• Terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas
ke daerah kornea
• Mudah meradang
• Etiologi: iritasi kronis karena debu, cahaya
matahari, udara panas
• Keluhan : asimtomatik, mata iritatif, merah,
mungkin terjadi astigmat (akibat kornea
tertarik oleh pertumbuhan pterigium), tajam
penglihatan menurun
• Tes sonde (-)  ujung sonde tidak kelihatan
pterigium
• Pengobatan : konservatif; Pada pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi,
pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Pada pterigium derajat 3-4
dilakukan tindakan bedah
DERAJAT PTERIGIUM
• Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
• Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
• Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
• melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
• Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan
PTERIGIUM – DIAGNOSIS BANDING
111. MENENTUKAN JENIS ASTIGMATISME BERDASARKAN
KEDUDUKANNYA DI RETINA

• Prinsipnya: selalu lihat besarnya sferis di kedua rumus baik


rumus silinder plus maupun silinder minus (makanya
kenapa harus tahu transposisi)
• Contoh: OD rumusnya ∫-4,00 C+1,00 X 1800  sferis= -4D
(MIOP di aksis 180) dan rumus satu lagi ∫-3,00 C-1,00 X 90
 sferis= -3D (MIOP di aksis 90) untuk mata kanan.
• Bayangan di kedua aksis jatuh di depan retina maka jenis
astigmatnya miopik kompositus, bukannya astigmat mikstus
Soal
• Pada soal diketahui OD dikoreksi dengan lensa
S-4.00 C-1.50 dengan aksis (90o)
• Jika di transposisi maka menjadi S-5.5 C+1.50
aksis (180o)
Artinya satu titik
jatuh di depan
retina (miopia)

S-4.00 C+1.50 dengan aksis (90o)


S-5.5 C-1.50 aksis (180o)
Artinya satu titik jatuh di Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa OS
depan retina (miopia) pada pasien tersebut memiliki astigmatisma
miop kompositus
112. KELAINAN • Miopia secara klinis :
– Simpleks: kelainan fundus ringan, < -6D

REFRAKSI -MIOPIA – Patologis: Disebut juga sebagai miopia


degeneratif, miopia maligna atau miopia
progresif, adanya progresifitas kelainan
• MIOPIA  bayangan difokuskan di depan fundus yang khas pada pemeriksaan
retina, ketika mata tidak dalam kondisi oftalmoskopik, > -6D

berakomodasi (dalam kondisi cahaya atau • Miopia berdasarkan ukuran dioptri lensa :

benda yang jauh) – Ringan : lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00


Dioptri
• Etiologi:
– Sedang : lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00
– Aksis bola mata terlalu panjang  Dioptri.
miopia aksial – Berat : lensa koreksinya > 6,00 Dioptri.

– Miopia refraktif  media refraksi yang • Miopia berdasarkan umur :

lebih refraktif dari rata-rata: – Kongenital : sejak lahir dan menetap pada
masa anak-anak.
kelengkungan kornea terlalu besar
– Miopia onset anak-anak : di bawah umur
• Dapat ditolong dengan menggunakan 20 tahun.
kacamata negatif (cekung)
– Miopia onset awal dewasa : di antara
umur 20 sampai 40 thn.
– Miopia onset dewasa : di atas umur 40
tahun (> 40 tahun).
KELAINAN REFRAKSI – KOREKSI MIOPIA
• Pada miopia, pemilihan kekuatan
lensa untuk koreksi prinsipnya adalah
dengan dioptri yang terkecil dengan
visual acuity terbaik.
• Pemberian lensa dgn kekuatan yg
lebih besar akan memecah berkas
cahaya terlalu kuat sehingga bayangan
jatuh di belakang retina, akibatnya
lensa mata harus berakomodasi agar
bayangan jatuh di retina.
• Sedangkan lensa dgn kekuatan yg
lebih kecil akan memecah berkas
cahaya dan jatuh tepat di retina tanpa
lensa mata perlu berakomodasi lagi.
113. Presbiopia
Pemeriksaan dengan
kartu Jaeger untuk
melihat ketajaman
penglihatan jarak
dekat.
– The card is held 14
inches (356 mm) from
the persons's eye for
• Koreksi→ lensa positif untuk menambah
kekuatan lensa yang berkurang sesuai usia the test. A result of
• Kekuatan lensa yang biasa digunakan: 14/20 means that the
+ 1.0 D → usia 40 tahun person can read at 14
+ 1.5 D → usia 45 tahun inches what someone
+ 2.0 D → usia 50 tahun with normal vision can
+ 2.5 D → usia 55 tahun read at 20 inches.
+ 3.0 D → usia 60 tahun
http://www.ivo.gr/files/items/1/145/51044.jpg
114. Herpes Zooster Ophtalmicus
• Herpes zoster ophthalmicus occurs when the
varicella-zoster virus is reactivated in the
ophthalmic division of the trigeminal nerve
• The virus damages the eye and surrounding
structures by secondary perineural and
intraneural inflammation of sensory nerves
• Although herpes zoster ophthalmicus most often
produces a classic dermatomal rash, a minority of
patients may have only ophthalmic findings,
limited mainly to the cornea
Shaikh S, Cristopher N. Evaluation and Management of Herpes zooster ophtalmicus. (Am Fam Physician 2002;66:1723-30,1732.
115-116. Konjungtivitis
Conjunctivitis is swelling (inflammation) or infection of
the membrane lining the eyelids (conjunctiva)

Pathology Etiology Feature Treatment


Bacterial staphylococci Acute onset of redness, grittiness, topical antibiotics
streptococci, burning sensation, usually bilateral Artificial tears
gonocci eyelids difficult to open on waking,
Corynebacter diffuse conjungtival injection,
ium strains mucopurulent discharge, Papillae
(+)
Viral Adenovirus Unilateral watery eye, redness, Days 3-5 of → worst, clear
herpes discomfort, photophobia, eyelid up in 7–14 days without
simplex virus edema & pre-auricular treatment
or varicella- lymphadenopathy, follicular Artificial tears →relieve
zoster virus conjungtivitis, pseudomembrane dryness and inflammation
(+/-) (swelling)
Antiviral →herpes simplex
virus or varicella-zoster virus
http://www.cdc.gov/conjunctivitis/about/treatment.html
Pathology Etiology Feature Treatment
Fungal Candida spp. can Not common, mostly occur in Topical antifungal
cause conjunctivitis immunocompromised patient,
Blastomyces after topical corticosteroid and
dermatitidis antibacterial therapy to an
Sporothrix schenckii inflamed eye
Vernal and Allergy Chronic conjungtival bilateral Removal allergen
atopic inflammation, associated atopic Topical antihistamine
family history, itching, Vasoconstrictors
photophobia, foreign body
sensation, blepharospasm,
(cobblestone pappilae, Horner-
trantas dots in vernal); papillae
(in Atopic)
Inclusion Chlamydia several weeks/months of red, Doxycycline 100 mg PO
trachomatis irritable eye with mucopurulent bid for 21 days OR
sticky discharge, acute or Erythromycin 250 mg
subacute onset, ocular irritation, PO qid for 21 days
foreign body sensation, watering, Topical antibiotics
unilateral ,swollen lids,chemosis
,Follicles
117. KONJUNGTIVITIS VERNAL
• Nama lain:
– spring catarrh
– seasonal conjunctivitis
– warm weather conjunctivitis
• Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit
diidentifikasi)
• Epidemiologi:
– Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-10
tahun sejak awitan
– Laki-laki > perempuan
– Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah
– Temperate climate > warm climate > cold climate (hampir
tidak ada)
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
• Gejala & tanda:
– Rasa gatal yang hebat, dapat
disertai fotofobia
– Sekret ropy
– Riwayat alergi pada RPD/RPK
– Tampilan seperti susu pada
konjungtiva
– Gambaran cobblestone
(papila raksasa berpermukaan
rata pada konjungtiva tarsal)
– Tanda Maxwell-Lyons (sekret
menyerupai benang &
pseudomembran fibrinosa • Komplikasi:
halus pada tarsal atas, pada • Blefaritis & konjungtivitis
pajanan thdp panas)
stafilokokus
– Bercak Trantas (bercak
keputihan pada limbus saat
fase aktif penyakit)
– Dapat terjadi ulkus kornea
superfisial
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
118. Keratitis Herpes Simpleks

• Herpes simpleks virus (HSV) keratitis, sama dengan penyakit herpes simpleks
lainnya dapat ditemukan dalam dua bentuk: primer atau rekuren.
• Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan oleh HSV tipe 1, namun
pada balita dan orang dewasa, dapat juga disebabkan oleh HSV tipe 2. Lesi
kornea yang disebabkan kedua virus tersebut tidak dapat dibedakan.
• Kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV mengandung sel-sel raksasa berinti
banyak.
• Virus dapat dibiakkan di dalam membran khorioallantoik embrio telur ayam
dan di dalam jaringan seperti sel-sel HeLa .
• Identifikasi akurat virus dilakukan menggunakan metode PCR

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
• Tanda dan gejala:
– Infeksi primer biasanya berbentuk
blefarokonjungtivitis vesikular, kadang disertai
keterlibatan kornea. Umumnya self-limmited tanpa
menyebabkan kerusakan mata yang signifikan.
– Iritasi, fotofobia, peningkatan produksi air mata,
penurunan penglihatan, anestesi pada kornea,
demam.
– Kebanyakan unilateral, namun pada 4-6% kasus dapat
bilateral
– Lesi: Superficial punctate keratitis -- stellate erosion --
dendritic ulcer -- Geographic ulcer
• Dendritic ulcer: Lesi yang paling khas pd keratitis HSV.
Berbentuk linear, bercabang, tepi menonjol, dan memiliki
tonjolan di ujungnya (terminal bulbs), dapat dilihat dengan
tes flurosensi.
• Geographic ulcer. Lesi defek epitel kornea berbentuk spt
amuba
Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007
• Tatalaksana:
– Dokter umum: RUJUK SEGERA
– Debridement
– Antivirus topikal,
kortikosteroid (pertimbangan
khusus)
• Topical antiviral: trifluridine 1%
8x/day (watch for epithelial
toxicity after 1 week fo therapy),
acyclovir 3% drops initially
5x/day gradually tapering down
but continued for at least 3 days
after complete healing; if
resistant, consider ganciclovir
0.15% gel initially 5x/day.
– Bedah
– Mengontrol reaktivasi HSV:
hindari demam, pajanan sinar
matahari berlebihan,
imunosupresi, dll
Keratitis herpes zoster
• Bentuk rekuren dari keratitis Varicella
• Lesi pseudodenditik: lesi epitel yang menonjol dengan ujung
mengerucut, sedikit tonjolan pada ujungnya (terminal bulbs)

Keratitis varicella
• Bentuk infeksi primer pada mata dari virus Varicella
• Ciri khas: lesi pseudodendritik disertai lesi pada stroma kornea
dan uveitis

Keratitis marginal
• Keratitis non infeksius, sekunder setelah konjungtivitis bakteri, terutama Staphylococcus
• Keratitis ini merupakan hasil dari sensitisasi tubuh terhadap produk bakteri. Antibodi dari
pembuluh darah di limbus bereaksi dgn antigen yang terdifusi ke dalam epitel kornea

Keratitis bakteri
• Biasanya unilateral, terjadi pd org dengan penyakit mata sebelumnya atau mata
org yang menggunakan kontak lens
• Infiltrat stroma berwarna putih, edema stroma, pembentukan hipopion
A
119. ULKUS KORNEA
• Gejala Subjektif
• Ulkus kornea adalah hilangnya – Eritema pada kelopak mata dan
sebagian permukaan kornea konjungtiva
akibat kematian jaringan kornea – Sekret mukopurulen
– Merasa ada benda asing di mata
• ditandai dengan adanya infiltrat – Pandangan kabur
supuratif disertai defek kornea – Mata berair
– Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi
bergaung, dan diskontinuitas ulkus
jaringan kornea yang dapat – Silau
terjadi dari epitel sampai stroma. – Nyeri
– nfiltat yang steril dapat menimbulkan
• Etiologi: Infeksi, bahan kimia, sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
perifer kornea dan tidak disertai dengan
trauma, pajanan, radiasi, sindrom robekan lapisan epitel kornea.
sjorgen, defisiensi vit.A, obat-
obatan, reaksi hipersensitivitas, • Gejala Objektif
– Injeksi siliar
neurotropik
– Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan
adanya infiltrat
– Hipopion
• Ulkus kornea pneumokokal Ulkus kornea
– Streptokokus pneumonia
– Muncul 24-48 jam setelah
inokulasi pd kornea yg abrasi
Bakterial
– Khas sebagai ulkus yang • Ulkus kornea stafilokokus
menjalar dari tepi ke arah – Ulkus sering indolen, mungkin disertai
tengah kornea (serpinginous). sedikit infiltrat dan hipopion
– Ulkus seringkali superfisial
– Ulkus bewarna kuning keabu-
– Obat: vankomisin
abuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang • Ulkus kornea pseudomonas
– Pseudomonas aeruginosa
menggaung.
– Awalnya berupa infiltrat kelabu/ kuning di
– Ulkus cepat menjalar ke tempat yang retak
dalam dan menyebabkan – Terasa sangat nyeri
perforasi kornea, karena – Menyebar cepat ke segala arah krn adanya
eksotoksin yang dihasilkan enzim proteolitik dr organisme
oleh streptokok pneumonia. – Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
hijau kebiruan
– Efek merambat  ulkus – Berhubungan dengan penggunaan soft
serpiginosa akut lens

– Obat: mofifloxacin, Obat: mofifloxacin, gatifloxacin,
siprofloksasin, tobramisin, gentamisin
gatifloxacin, cefazolin
An inflammatory or more seriously, infective condition of the cornea
involving disruption of its epithelial layer with involvement of the
corneal stroma
Causative Agent Feature Treatment
Fungal Fusarium & candida species, conjungtival Natamycin,
injection, satellite lesion, stromal infiltration, amphotericin B,
hypopion, anterior chamber reaction Azole derivatives,
Flucytosine 1%
Protozoa infection associated with contact lens users swimming in
(Acanthamoeba) pools
Viral HSV is the most common cause, Dendritic Acyclovir
lesion, decrease visual accuity
Staphylococcus Rapid corneal destruction; 24-48 hour, stromal Tobramycin/cefazol
(marginal ulcer) abscess formation, corneal edema, anterior in eye drops,
segment inflammation. Centered corneal ulcers. quinolones
Pseudomonas
Traumatic events, contact lens, structural (moxifloxacin)
Streptococcus malposition
connective tissue RA, Sjögren syndrome, Mooren ulcer, or a
disease systemic vasculitic disorder (SLE)
120. Komplikasi keratitis
• Chronic corneal inflammation
• Chronic or reccurant viral infection of cornea
• Corneal ulcers
• Permanent vision loss
• Irregular astigmatism: Another possible complication
of these infections is uneven healing of the stroma,
resulting in irregular astigmatism.
• Corneal perforation: This is one of the most feared
complications of bacterial keratitis that may result in
secondary endophthalmitis and possible loss of the
eye.
121. Keratitis/ulkus Fungal
• Gejala  nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-lama
berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
• Pemeriksaan oftalmologi :
– Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and feathery
borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
– Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
– Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma
• Faktor risiko meliputi :
– Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
– Terapi steroid topikal jangka panjang
– Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases

Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Keratitis/ ulkus Fungal
• Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
– Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance”
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik
sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).

Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur

Lesi satelit (panah merah) pada


keratitis jamur

Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).

Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


122. DAKRIOSISTITIS
• Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct
with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus
or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies,
after trauma or due to granulomatous diseases.
• Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum,
fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth
• Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin
abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and
culture
• Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of
lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
DAKRIOSISTITIS – ANATOMI DUKTUS LAKRIMALIS
123. Xeroftalmia
XN. NIGHT BLINDNESS
• Vitamin A deficiency can interfere with rhodopsin
production, impair rod function, and result in
night blindness.
• Night blindness is generally the earliest
manifestation of vitamin A deficiency.
• “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus
night-blind)
• Night blindness responds rapidly, usually within
24—48 hours, to vitamin A therapy
Xerophthalmia (Xo)
Stadium :
XN : night blindness (hemeralopia)
X1A : xerosis conjunctiva
X1B : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot)
X2 : xerosis cornea
X3A : Ulcus cornea < 1/3
X3B : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea
XS : Corneal scar
XF : Xeroftalmia fundus
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS AND
BITOT’S SPOT
• The epithelium of the • Conjunctival xerosis first
conjunctiva in vitamin A appears billateraly, in the
deficiency is transformed temporal quadrant, as an
from the normal columnar isolated oval or triangular
to the stratified squamous, patch adjacent to the
with loss of goblet cells, limbus in the interpalpebral
formation of a granular cell fissure.
layer, and keratinization of
the surface.
• Clinically, these changes are
expressed as marked
dryness or unwettability,
the affected area appears
roughened, with fine
droplets or bubbles on the
surface.
124. Trichiasis
• Suatu kelainan dimana bulu mata
mengarah pada bola mata yang
akan menggosok kornea atau
konjungtiva
• Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain seperti
pemfigoid, trauma kimia basa dan
trauma kelopak lainnya, blefaritis,
trauma kecelakaan, kontraksi
jaringan parut di konjungtiva dan
tarsus pada trakoma
• Gejala :
– Konjungtiva kemotik dan hiperemi,
keruh
– Erosis kornea, keratopati dan ulkus
– Fotofobia, lakrimasi dan terasa
seperti kelilipan
– blefarospasme
Trichiasis
• Tatalaksana: • Tatalaksana bedah untuk
– Yang utama: bedah
– Lubrikan seperti artificial tears dan
trikiasis yg disebabkan
salep untuk mengurasi iritasi akibat krn kelainan anatomi:
gesekan – Entropion: dilakukan
– Atasi penyakit penyebab trikiasis, cth tarsotomi
SSJ, ocular cicatrical pemphigoid)
• Tatalaksana Bedah trikiasis – Posterior lamellar scarring:
segmental (fokal) Grafting
– Epilasi: dengan forsep dilakukan
pencabutan beberapa silia yang salah
letak, dilakukan 2-3 kali. Biasanya
dicoba untuk dilakukan epilasi terlebih
dahulu. Trikiasis bisa timbul kembali.
– Elektrolisis/ elektrokoagulasi, ES: nyeri
– Bedah beku (krioterapi): banyak
komplikasi
– Ablasi denga radiofrekuensi: sangat
efektif, cepat , mudah, bekas luka
minimal
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

125. KATARAK-SENILIS
• Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang • 4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at
terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 this stage, lens may become swollen due to
tahun continued hydration  ‘intumescent cataract’),
matur, hipermatur
• Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak • Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan
• Etiologi :belum diketahui secara pasti  kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang
multifaktorial: • Penyulit : Glaukoma, uveitis
 Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan • Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
pengaruh genetik
 Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi
yang sangat kuat mempunyai efek buruk
terhadap serabu-serabut lensa.
 Faktor imunologik
 Gangguan yang bersifat lokal pada lensa,
seperti gangguan nutrisi, gangguan
permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi
cahaya matahari.
 Gangguan metabolisme umum
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
126. Kontrasepsi: Kondom
• Terbuat dari karet sintetis yang tipis, berbentuk silinder,
dengan muaranya berpinggir tebal, yang digulung rata
• Standar kondom: ketebalan 0,02 mm
• Cara Kerja
– Mencegah sperma masuk ke saluran reproduksi wanita
– Sebagai alat kontrasepsi
– Pelindung terhadap infeksi atau transmisi mikroorganisme
penyebab PMS
• Manfaat
– Angka kegagalan rendah (2-12 kehamilan/100/tahun)
– Tidak mengganggu ASI dan hormon lainnya
– Mencegah penularan PMS
– Mengurangi insiden kanker serviks
– Mencegah ejakulasi dini dan imunoinfertiitas
127. Efek Samping KB Suntik
Depo provera (progesteron)

• Medroxyprogesterone
– Menghambat ovulasi, pengentalan mukus dan lapisan
uterus, dapat meringankan nyeri endometriosis
• Efektivitas: 99%
• Sebaiknya penggunaan tidak > 2 tahun 
pengeroposan tulang
• Diberikan IM/3 bulan

• Efek samping
– Siklus menstruasi iregular atau tidak haid (paling sering)
– Sakit kepala, depresi, pusing, jerawat, perubahan napsu
makan, kenaikan BB
https://www.drugs.com/depo-provera.html
128. Kontrasepsi AKDR
• Efektifitasnya tinggi (0,6-0,8 % kehamilan)
• Efektif segera setelah pemasangan
• Metode jangka panjang ( 10 tahun proteksi dari CuT -380A dan
tidak perlu diganti)
• Tidak mempengaruhi hubungan seksual
• Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk
hamil
• Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A)
• Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
• Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus
(bila tidak terjadi infeksi)
• Digunakan pada usia produktif (15-49 tahun) sampai menopause
(1 tahun atau lebih setelah haid terakhir )
• Tidak ada interaksi dengan obat-obat
129. AKDR: Infeksi

• Infeksi yang terjadi > 20 hari setelah


pemasangan  kemungkinan bukan karena
IUD
• Pap smear: untuk mendeteksi etiologi
• Aff IUD: tidak diharuskan, hanya pada kasus
tertentu atau terbukti STD
• Aff IUD dilanjutkan dengan copper IUD atau
KB jenis lain

http://www.medscape.com/viewarticle/718183_5
DIAGNOSIS PERDARAHAN SERVIKS BESAR UTERUS GEJALA LAIN
Abortus imminens Sedikit-sedang Tertutup lunak Sesuai usia • Tes kehamilan +
kehamilan • Nyeri perut
• Uterus lunak

Abortus insipiens Sedang-banyak Terbuka lunak Sesuai atau lebih • Nyeri perut >>
kecil • Uterus lunak
Abortus inkomplit Sedikit-banyak Terbuka lunak Lebih kecil dari usia • Nyeri perut >>
kehamilan • Jaringan +
• Uterus lunak

Abortus komplit Sedikit-tidak ada Tertutup atau Lebih kecil dari usia • Sedikit atau
terbuka lunak kehamilan tanpa nyeri
perut
• Jaringan keluar
±
• Uterus kenyal
Abortus septik Perdarahan berbau Lunak Membesar, nyeri • Demam
tekan • leukositosis
Missed abortion Tidak ada Tertutup Lebih kecil dari usia • Tidak terdapat
kehamilan gejala nyeri
perut
• Tidak disertai
ekspulsi jaringan
konsepsi
130 & 131
132. Jenis Abortus
• Dua jenis abortus
– Abortus spontan dan abortus provokatus
• Abortus spontan
– terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis, disebut juga
keguguran (miscarriage)
• Abortus provokatus
– Sengaja sengaja dilakukan tindakan (Cunningham
dkk.,2010)
Abortus Provokatus: Bentuk
• Abortus provokatus medisinalis
– Dilakukan atas dasar indikasi vital
– Tindakan harus disetujui oleh tiga orang dokter yang merawat ibu
hamil (Dokter yang sesuai dengan indikasi penyakitnya, Dokter
anestesi, Dokter ahli Obstetri dan Ginekologi)
– Indikasi vital
• Penyakit ginjal, jantung, penyakit paru berat, DM berat,
karsinoma

• Abortus provokatus kriminalis


– Tenaga yang tidak terlatih  sering menimbulkan ‘trias’
komplikasi: perdarahan, trauma alat genitalia/jalan lahir, infeksi
hingga syok sepsis
133. Persalinan dengan Alat Bantu: Vakum
Alat bantu berupa cup penghisap yang menarik kepala bayi dengan
lembut

INDIKASI KONTRA INDIKASI


• Ibu • Ibu
– Kelelahan ibu  masih kooperatif – Ibu dengan resiko tinggi ruptur
dan dapat mengejan uteri
– Partus tak maju – Kondisi ibu tidak boleh
– Toksemia gravidarum mengejan
– Ruptur uteri iminens – Panggul sempit (CPD)
– Memperpendek persalinan kala II, • Janin
penyakit jantung kompensasi, – Bayi prematur (belum memiliki
penyakit fibrotik moulage yang baik  kompresi
• Janin forceps  perdarahan
periventrikular)
– Adanya gawat janin (ringan)
– Letak lintang, presentasi muka,
• Waktu presentasi bokong, kepala janin
– Kala persalinan lama menyusul
Persalinan dengan Vakum
Syarat
• Pembukaan lengkap atau hampir lengkap
• Presentasi kepala
• Cukup bulan (tidak premature)
• Tidak ada kesempitan panggul
• Anak hidup dan tidak gawat janin
• Penurunan hodge II/III
• Kontraksi baik/ terdapat his
• Ibu kooperatif dan masih mampu untuk
mengedan
EKSTRAKSI VAKUM VS EKSTRAKSI FORCEPS

KEUNGGULAN VAKUM KERUGIAN VAKUM

• Tehnik pelaksanaan relatif lebih • Proses persalinan


mudah membutuhkan waktu yang
• Tidak memerlukan anaesthesia lebih lama
general • Tenaga traksi pada ekstraktor
• Ukuran yang akan melewati vakum tidak sekuat ekstraksi
jalan lahir tidak bertambah cunam
(cawan penghisap tidak • Pemeliharaan instrumen
menambah ukuran besar ekstraktor vakum lebih rumit
bagian anak yang akan melwati • Ekstraktor vakum lebih sering
jalan lahir) menyebabkan icterus
• Trauma pada kepala janin relatif neonatorum
rendah
134. Persalinan dengan Alat Bantu: Forceps
• Janin dilahirkan dengan tarikan cunam/ forceps di kepalanya
• Forceps/cunam: Logam, terdiri dari sepasang sendok (kanan-kiri)

INDIKASI KONTRA INDIKASI


• Ibu • Ibu
– Sama dengan ekstraksi vakum, – Sama seperti pada ekstraksi
hanya ibu sudah tidak mampu vakum
mengejan/ his tidak adekuat

• Janin • Janin
– Adanya gawat janin – Sama seperti pada ekstraksi
vakum
• Waktu
– Nullipara: 3 jam dengan anelgesi
lokal, 2 jam tanpa anelgesi lokal
– Multipara: 2 jam dengan anelgesi
lokal, 1 jam tanpa anelgesi lokal
135. Pil KB
• Apabila lupa minum pil KB satu hari  minum
begitu ingat
• Apabila lupa minum pil KB dalam 2 hari 
minum 2 pil sekaligus di hari saat ingat dan 2
pil lagi keesokan harinya
• Bila lupa minum lebih dari 2 hari  gunakan
kondom saat berhubungan dan ganti dengan
kontrasepsi lain (kontrasepsi darurat)
136. Plasenta
Plasenta Previa
Previa
• Gejala dan Tanda
• Perdarahan tanpa sebab, tanpa rasa nyeri serta berulang
• Darah: merah segar
• Bagian terbawah janin belum masuk PAP dan atau disertai dengan
kelainan letak karena letak plasenta previa berada di bawah janin
(Winkjosastro, 2002).

• Pemeriksaan
• Risiko plasenta akreta >> pada
kehamilan dengan plasenta
previa
• USG: >> lakuna plasenta pada 15-
20 minggu  gambaran moth-
eaten atau swiss cheese
http://www.acog.org/Resources-And-Publications/Committee-Opinions/Committee-on-
Obstetric-Practice/Placenta-Accreta
137. Distosia Kelainan Tenaga
• His Normal: mulai dari fundus menjalar ke korpus, dominasi di fundus
dan disertai relaksasi yang merata

• Jenis Kelainan His


– Inersia Uteri (Kontraksi Uterus Hipotonik)
• His lemah, pendek, jarang  tidak adekuat untuk mebuka serviks dan mendorong
janin
– His terlalu kuat (Kontraksi Uterus Hipertonik)
• His terlalu kuat dan terlalu efisien sehingga persalinan terlalu cepat
– Incoordinate uterine contraction
• Tidak ada koordinasi antara kotraksi bagian atas, tengah dan bawah; tidak ada
dominasi fundus

• Faktor predisposisi
– Primigravida, terutama primi tua
– Kelainan letak janin/disporposi fetopelviks
– Peregangan rahim yang berlebihan: gemeli, hidramnion
Inersia Uteri: Tatalaksana
1. Periksa keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya bagian
terbawah janin dan keadaan janin

2. Bila kepala sudah masuk PAP, anjurkan pasien untuk jalan-jalan

3. Buat rencana untuk menentukan sikap dan tindakan yang akan


dikerjakan misalnya pada letak kepala :
a. Oksitosin drips 5-10 IU dalam 500 cc dextrose 5%, dimulai dengan 12 tpm,
dinaikkan 10-15 menit sampai 40-50 tpm. Tujuan: agar serviks dapat
membuka.
b. Bila his tidak >> kuat setelah pemberian oksitosin  stop  istirahat
Pada malam hari berikan obat penenang (valium 10 mg)  ulang lagi
pemberian oksitosin drips
a. Bila inersia uteri + CPD  seksio sesaria
b. Bila semula his kuat  inersia uteri sekunder, ibu lemah, dan partus telah
berlangsung lebih dari 24 jam (primi) dan 18 jam (multi) oksitosin drips
tidak berguna  Selesaikan partus sesuai dengan hasil pemeriksaan dan
indikasi obstetrik lainnya (Ekstrasi vakum, forcep dan seksio sesaria)

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


138. Inversio Uteri

G E J A L A & TA N DA TERAPI
• Syok • Reposisi dalam anestesi
• Fundus uteri sama sekali setelah syok teratasi
tidak teraba atau teraba • Bila plasenta belum lepas 
lekukan pada fundus plasenta jangan dilepaskan
• Kadang tampak sebuah dulu sebelum reposisi 
massa yang merah diluar dapat menimbulkan
vulva  fundus yang
terbalik; atau teraba massa perdarahan banyak
berpermukaan kasar dalam • Reposisi dapat dilakukan
vagina manual atau operasi
• Perdarahan
139. Prolaps Uteri
Definisi
•Penurunan uterus dari posisi anatomis yang seharusnya

•Insidens: meningkat dengan bertambahnya usia

Gejala dan Tanda


•Manifestasi klinis yang sering didapatkan adalah keluarnya massa dari
vagina dan adanya gangguan buang air kecil hingga disertai hidronefrosis
•Sitokel (BAK sedikit-sedikit, tidak tuntas, stres inkontinensia), rektokel
(konstipasi), koitus terganggu, leukorea (ec jongesti daerah serviks), luka
gesek pada portio, enterokel (rasa berat dan penuh pada panggul),
servisitis (bisa menyebabkan infertilitas), menoragia ec bendungan

Komplikasi
•Keratinasi mukosa vagina dan portio, ulkus dekubitus, hipertrofi serviks,
gangguan miksi & stres inkontinensia, ISK, infertilitas, gangguan partus,
hemoroid, inkarserasi usus
140. Asam Folat dan Kehamilan

• Kebutuhan akan folic acid sampai 50-100 μg/hari pada


wanita normal dan 300-400 μg/hari pada wanita hamil
sedangkan hamil kembar lebih besar lagi

• Dosis
– Untuk defisiensi asam folat: 250-1000 mcg (microgram)
per hari
– Untuk wanita hamil dalam menghindari defek pada tube
nerual: Minimal 400 mcg asam folat per hari
– Wanita dengan riwayat kehamilan sebelumnya memiliki
komplikasi defek tube neural biasanya mengkonsumsi 4mg
asam folat per hari pada sebulan pertama sebelum
kehamilan dan diteruskan hingga 3 bulan setelah konsepsi
Spina bifida
141. Induksi & Akselerasi Persalinan
• Definisi
– Induksi: upaya menstimulasi uterus untuk memulai persalinan
– Augmentasi atau akselerasi: meningkatkan frekuensi, lama, dan
kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. (Saifuddin, 2002)

• Indikasi (Oxford, 2013)


– KPD, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis,
PEB, hipertensi akibat kehamilan, IUFD) dan PJT, insufisiensi
plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri
doppler

• Kontraindikasi (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002)


– CPD, plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio
caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa
previa, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif
• a
Proses Induksi/Akselerasi
• Kimia
– Prostaglandin E2 (PGE2) gel atau pesarium
– Prostaglandin E1 (PGE1): misoprostol atau cytotec tab 100-
200 mcg
– Oksitosin IV
• Protokol dosis rendah (1 – 4 mU/menit) atau dosis tinggi (6 – 40
mU/menit)

• Mekanik
– Kateter Transservikal (Kateter Foley)
– Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
– Stripping membrane
– Induksi Amniotomi
– Stimulasi putting susu
142. Kehamilan Ektopik Terganggu
• Kehamilan yang terjadi
diluar kavum uteri

• Gejala/Tanda:
– Riwayat terlambat
haid/gejala & tanda hamil
– Akut abdomen
– Perdarahan pervaginam
(bisa tidak ada)
– Keadaan umum: bisa baik
hingga syok
– Kadang disertai febris
– Tidak ada kantong gestasi
143. Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

TIPE KOMPLIT T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam • Seperti tipe komplit hanya
setelah amenorea lebih ringan
• Uterus membesar secara • Biasanya didiagnosis
abnormal dan menjadi lunak sebagai aborsi inkomplit/
• Hipertiroidism missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy kehamilan
induced hypertension
• Tanpa kista lutein
• Peningkatan hCG 100,000
mIU/mL
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
144. Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
•Kuretase dengan kuret tumpul 
seluruh jaringan hasil kerokan di
PA
•7-10 hari sesudahnya  kerokan
ulangan dengan kuret tajam, agar
ada kepastian bahwa uterus
betul-betul kosong dan untuk
memeriksa tingkat proliferasi sisa-
sisa trofoblas yang dapat
ditemukan
145. Menopause

• Premenopause
• Pada akhir premenopause: respon ovarium thd FSH <<  kadar estrogen <<
• Perimenopause
• Kadar estrogen menurun drastis  gejala premenopause: hot flashes, vagina kering,
keringat malam, dan libido <<
• Menopause
• Gejala: hot flashes, keringat malam, vagina kering, mood swing, libido <<, BB >>, nyeri
kepala, keriput, depresi, menstruasi tidak teratur/berhenti
http://www.menopause-faq.com/premenopause-signs-and-symptoms.htm
146. Indikasi SC (Mochtar R, 2002: 118)
Indikasi Ibu
•Plasenta previa sentralis/lateralis (posterior)/totalis, CPD, partus lama, ruptur uteri
mengancam, partus tak maju, distosia serviks. pre-eklampsia dan hipertensi, disfungsi uterus,
distosia jaringan lunak

Indikasi Janin
•Letak lintang, letak bokong, presentasi rangkap bila reposisi tidak berhasil, presentasi dahi dan
muka (letak defleksi) bila reposisi dengan cara-cara lain tidak berhasil
•Gemelli menurut Eastman, sectio caesarea dianjurkan
– Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu (shoulder presentation)
– Bila terjadi interlok (locking of the twins)
– Distosia oleh karena tumor
– Gawat janin

Kelainan Uterus
•Uterus arkuatus
•Uterus septus
•Uterus duplekus
• Terdapat tumor di pelvis minor yang mengganggu masuk kepala janin ke pintu atas panggul
147. Hipotiroid dan Kehamilan
• Gejala
– Rasa lelah, kenaikan BB, konstipasi (serupa dengan gejala
hamil)

• DOC: Levotiroksin 100-150 mcg/hari, PO

• Target: Serum TSH < 2.5 mIU per L

• Pada kehamilan
– Thyroid binding globulin meningkat akibat kenaikan kadar
estrogen  penyesuaian dosis levotiroksin: kadar >>

http://www.aafp.org/afp/2014/0215/p273.html
148. Palpasi Leopold
1. Leopold I: Mengetahui letak fundus uteri dan bagian lain yang terdapat pada
bagian fundus uteri

2. Leopold II: Menentukan punggung dan bagian kecil janin di sepanjang sisi
maternal

3. Leopold III: Membedakan bagian persentasi dari janin dan sudah masuk dalam
pintu panggul

4. Leopold IV: Mengetahui sejauh mana bagian presentasi sudah masuk PAP dan
Memberikan informasi tentang bagian presentasi: bokong atau
kepala,sikap/attitude, (fleksi atau ekstensi), dan station (penurunan bagian
presentasi)
149. Partus Lama
• Definisi (Syarifuddin, AB.,2002)
– Fase laten lebih dari 8 jam
– Persalinan telah berlangsung 12 jam/ lebih, bayi belum lahir
– Dilatasi serviks dikanan garis waspada persalinan aktif

• Etiologi
– Kelainan letak janin
– Kelainan-kelainan panggul
– Kelainan his
– Pimpinan partus yang salah
– Janin besar atau ada kelainan kongenital
– Primitua
– Perut gantung, grandemulti
– Ketuban pecah dini
150. Kala II Persalinan
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir
dengan lahirnya bayi. Disebut sebagai kala pengeluaran bayi

• Gejala dan Tanda


– Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi.
– Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau
vaginanya
– Perineum menonjol
– Vulva-vagina dan sfingter ani membuka.
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala dua  ditentukan melalui periksa dalam (informasi


objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Masase uterus dan kompresi bimanual 151. ATONIA
Oksitosin 10 IU IM & infus 20 IU dalam 500 ml NS/RL 40 tpm UTERI:
Infus untuk restorasi cairan & jalur obat esensial
TATALAKSANA

Perdarahan terus berlangsung Identifikasi sumber


perdarahan lain
• Laserasi jalan
Uterus tidak berkontraksi lahir
• Hematoma
parametrial
Kompresi bimanual
Kompresi aorta abdominalis • Ruptur uteri
Tekan segmen bawah atau aorta • Inversio uteri
abdominalis • Sisa fragmen
plasenta

Berhasil Tidak berhasil

Tampon uterus & Rujuk

Terkontrol Ligasi a. uterina & ovarika Perdarahan masih

Transfusi Rawat & Observasi HISTEREKTOMI Transfusi


152. TORCH: Terapi Toksoplasma

• Untuk wanita hamil (CDC):


– DOC: Spiramisin (trimester I dan II)
• Dosis: 100 mg/kgBB/hari selama 30-45 hari

– Pirimetamin/sulfadiazin & leucovorin (Trimester II


akhir & III) dan bila terdapat kemungkinan janin
terinfeksi (pemeriksaan cairan amnion pada minggu
18)
• Dosis Pirimetamin: 100 mg di hari 1  lanjut 25-50 mg/hari
• Dosis Sulfadiazin: 4 x 1 gram/hari
• Dosis Leucovorin (asam folat): 7.5 mg/hari selama 4-6
minggu

http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/health_professionals/
153. Cracked Nipple
• Perawatan puting payudara
– Jangan digosok terlalu keras atau menggunakan sabun 
meningkatkan kekeringan dan iritasi
– Apabila basah/terlalu lembab  diangin-anginkan

• Tatalaksana
– Gunakan ASI/lanolin/krim untuk melembabkan
– Tetap susui bayi
– Gunakan nipple shield sebagai alternatif terakhir  karena
dapat mengurangi produksi ASI
154. Karakteristik beberapa IMS
Penyakit/Pemeriksa Karakteristik Gambaran
an
Gonorrhea/Gram Duh purulen kadang-kadang disertai darah.
Diplokokus gram negatif.

Trikomoniasis/Sedia Duh seropurulen kuning/kuning kehijauan, berbau


an basah atau tidak enak, berbusa. Strawberry appearance.
biakan

Vaginosis bakterial/ Duh berbau tidak enak (amis), warna abu-abu


Gram homogen, jarang berbusa. Clue cells.

Kandidosis vaginalis/ Duh berwarna kekuningan, disertai gumpalan seperti


KOH kepala susu berwarna putih kekuningan. Sel ragi,
blastospora, atau hifa semu.
155. Efek Samping Pil KB
• Efek samping biasa
– Flek atau perdarahan menstruasi << dan peningkatan nyeri
menstruasi
– Peningkatan risiko clotting
– Spotting diatara masa haid
– Nyeri dan bengkak pada payudara
– Mual dan nyeri perut
– Mood changes
– Retensi cairan tubuh

• Efek samping serius (perlu penanganan)


– Pandangan kabur, nyeri perut hebat, sakit kepala hebat, bengkak/
nyeri apda kaki, nyeri dada, serangan jantung, penyumbatan
pembuluh darah, stroke
https://www.drugs.com/article/birthcontrolpill-risks-benefits.html
156. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
• Infeksi pada traktus genital atas wanita yang melibatkan
kombinasi antara uterus, ovarium, tuba falopi, peritonium
pelvis, atau jaringan penunjangnya.
• PID terutama terjadi karena ascending infection dari traktus
genital bawah ke atas
• Patogen: Dapat berupa penyakit akibat hubungan seksual atau
endogen (Tersering: N. Gonorrhea & Chlamydia Trachomatis)
• Faktor Risiko:
 Kontak seksual
 Riwayat penyakit menular seksual
 Multiple sexual partners
 IUD

PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012


Urethritis GO
• Pemeriksaan
– Sediaan langsung: diplokokus gram
negatif
– Kultur: Agar Thayer Martin
Diagnosis Pilihan Pengobatan
Infeksi GO tanpa komplikasi pada serviks, urethra, Lini pertama: Ceftriaxone (250 IM, SD) atau
faring, atau rektum Cefixim (400 mg PO, SD)
Ditambah
Terapi untuk Klamidia bila infeksi klamidia tidak
dapat disingkirkan: Azitromisin (1 g, PO, SD) atau
Soksisiklin (100 mg PO bid selama 7 hari)

Alternatif:
Ceftizoxime (500 mg IM, SD) atau
Cefotaxime (500 mg IM, SD) atau
Spectinomycin (2 g IM, SD)
Atau Cefotetan (1 g IM, SD) + probenecid (1 g PO,
SD) atau
Cefoxitin (2 g IM, SD) + probenecid (1 g PO, SD)
Longo DL. Harrison’s principles of internal medicine, 18th ed. McGraw-Hill;2012.
157. KPD: Tatalaksana
KETUBAN PECAH DINI

MASUK RS
• Antibiotik
• Batasi pemeriksaan dalam
• Observasi tanda infeksi & fetal distress

PPROM
• Observasi:
PROM
• Temperatur
• Fetal distress
• Kelainan Obstetri
Kortikosteroid
• Fetal distress
Letak Kepala
• Letak sungsang
• CPD
• Riwayat obstetri buruk Indikasi Induksi
• Grandemultipara • Infeksi
• Elderly primigravida • Waktu
• Riwayat Infertilitas
• Persalinan obstruktif

Berhasil
• Persalinan pervaginam
Gagal
Sectio Caesarea • Reaksi uterus tidak ada
• Kelainan letak kepala
• Fase laten & aktif memanjang
• Fetal distress
• Ruptur uteri imminens
• CPD
158. KISTA BARTHOLIN
Kelenjar Bartholin: Kista Duktus Bartholin:
• Bulat, kelenjar seukuran kacang • Kista yang paling sering
terletak didalam perineum pintu
masuk vagina arah jam 5 & jam 7 • Disebabkan oleh obstruksi
• Normal: tidak teraba sekunder pada duktus akibat
• Duktus: panjang 2 cm & terbuka inflamasi nonspesifik atau
pada celah antara selaput himen trauma
& labia minora di dinding lateral
posterior vagina • Kebanyakan asimptomatik
159. Pemeriksaan pada Plasenta Previa
• Pemeriksaan luar
– Bagian terbawah janin biasanya belum masuk PAP, ada kelainan letak janin
– Pemeriksaan inspekulo: perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum

• USG
– Biometri janin, indeks cairan amnion, kelainan kongenital, letak dan derajat
maturasi plasenta. Lokasi plasenta sangat penting karena hal ini berkaitan
dengan teknik operasi yang akan dilakukan

• CTG: dilakukan pada kehamilan > 28 Minggu

• Laboratorium
– Darah perifer lengkap
– Bila dilakukan PDMO atau operasi, perlu diperiksa faktor pembekuan darah,
waktu perdarahan dan gula darah sewaktu pemeriksaan lainnya dilakukan
atas indikasi medis
160. Medikamentosa Kehamilan: TT
• Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT
yang telah diperoleh selama hidupnya

• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT

• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


161. Sisa Plasenta
• Etiologi
– His kurang baik, tindakan pelepasan
plasenta yang salah, plasenta akreta,
atonia uteri

• Tanda dan Gejala


– Perdarahan dari rongga rahim setelah
plasenta lahir, dapat segera atau
tertunda
– Uterus tidak dapat berkontraksi
secara efektif

• Penanganan
– Pengeluaran plasenta secara manual
– Kuretase
– Uterotonika

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/150/jtptunimus-gdl-fujifatmaw-7485-2-babii.pdf
162. KB Hormonal dan Menopause

• DMPA (Suntik) menurut Ali Baziad (1991: 48)


• Cepat menghilangkan keluhan hot flushes dan insomnia pada
hampir 70% wanita, mencegah kehilangan kalsium tubuh

• Pemakaian pil kombinasi pada masa perimenopause


(Erlina, 2008)
– Mengurangi keluhan vasomotor, keluhan insomnia, kelelahan dan
keluhan traktus urogenital
– Konsumsi dosis rendah yang teratur, akan mengurangi efek hot
flushes dan kekeringan vagina

http://lib.unnes.ac.id/2137/1/4249.pdf
163. MH pada Kehamilan
• MH tereksaserbasi selama kehamilan  harus
diterapi
• WHO: standar rejimen pengobatan MH dapat
dilanjutkan selama kehamilan dan masa
menyusui

• * Thalidomid
– Dulu digunakan untuk tatalaksana hiperemesis
gravidarum
– Peningkatan insiden cacat kongenital (t.u amelia)

http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/10.html
164. Kontrasepsi AKDR
• Efektifitasnya tinggi (0,6-0,8 % kehamilan)
• Efektif segera setelah pemasangan
• Metode jangka panjang ( 10 tahun proteksi dari CuT -380A dan
tidak perlu diganti)
• Tidak mempengaruhi hubungan seksual
• Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk
hamil
• Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A)
• Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
• Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus
(bila tidak terjadi infeksi)
• Digunakan pada usia produktif (15-49 tahun) sampai menopause
(1 tahun atau lebih setelah haid terakhir )
• Tidak ada interaksi dengan obat-obat
165. Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia  untuk tatalaksana kejang
– PEB  pencegahan kejang
• Dosis
– MgSO4 IV: 4 gram selama 20 menit untuk dosis awal 
lanjutkan 6 gram selama 6 jam untuk dosis rumatan
– MgSO4 IM: 5 gram pada bokong kiri dan 5 gram pada bokong
kanan
• Syarat pemberian MgSO4
– Terdapat refleks patella, tersedia kalsium glukonas, dan jumlah
urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam

Sumber: Buku Kesehatan Ibu di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Dasar dan Rujukan
166. Indikasi SC (Mochtar R, 2002: 118)
Indikasi Ibu
•Plasenta previa sentralis/lateralis (posterior)/totalis, CPD, partus lama, ruptur uteri
mengancam, partus tak maju, distosia serviks. pre-eklampsia dan hipertensi, disfungsi uterus,
distosia jaringan lunak

Indikasi Janin
•Letak lintang, letak bokong, presentasi rangkap bila reposisi tidak berhasil, presentasi dahi dan
muka (letak defleksi) bila reposisi dengan cara-cara lain tidak berhasil
•Gemelli menurut Eastman, sectio caesarea dianjurkan
– Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu (shoulder presentation)
– Bila terjadi interlok (locking of the twins)
– Distosia oleh karena tumor
– Gawat janin

Kelainan Uterus
•Uterus arkuatus
•Uterus septus
•Uterus duplekus
• Terdapat tumor di pelvis minor yang mengganggu masuk kepala janin ke pintu atas panggul
167. Hipertiroid pada Kehamilan
• DOC (PTU dan methimazole)
– PTU (utama)
• Efek teratogenik <<
• Efek samping: Hipotiroid pada janin
– Methimazole (jarang digunakan di Indonesia)
• efek teratogenik berupa sindrom teratogenik ‘embriopati
metimazole’ yang ditandai dengan atresi esofagus atau koanal

• Β blocker (propanolol)
– Mengurangi gejala akut hipertiroid
– Efek samping pada kehamilan akhir: hipoglikemia pada
neonatus, apnea, dan bradikardia yang biasanya bersifat
transien dan tidak lebih dari 48 jam
– Dibatasi sesingkat mungkin dan dalam dosis rendah (10-15
mg per hari)
Abalovich M, Amino N, Barbour LA, Cobin RH, Leslie J, Glinoer D, et al. Management of Thyroid Dysfunction during Pregnancy and
Postpartum. J. Endocrinol. Metabolism. 2007; 92(8): S1-S47
168. Kandidosis Vagina

• Terjadi terutama karena meningkatnya pemakaian antibiotik, pil KB,


dan obat lain  perubahan pH vagina  pertumbuhan candida

• Sering ditemukan pada wanita hamil, menstruasi, DM

• Gejala
– Mengenai mukosa vulva (labia minora) dan vagina.
– Bercak putih, kekuningan, heperemia, leukore seperti
susu pecah, dan gatal hebat
– Dapat meluas ke kulit sekitar: lesi madidans dan satelit
– Dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih
169. Pre Eklampsia & Eklampsia
• Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik
– Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum
usia kehamilan 20 minggu)
– Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau
trombosit <100.000 sel/uL pada usia kehamilan > 20
minggu

• Eklampsia
– Kejang umum dan/atau koma
– Ada tanda dan gejala preeklampsia
– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi,
perdarahan subarakhnoid, dan meningitis)

Sumber: Buku pelayanan kesehatan Ibu di Fasilitas


Kesehatan dasar dan Rujukan
170. KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

MAL Mulai segera • Manfaat kesehatan bagi ibu • Harus benar-benar ASI eksklusif
dan bayi • Efektivitas berkurang jika sudah
mulai suplementasi

Kontrasepsi • Jangan sebelum 6-8mg • Akan mengurangi ASI • Merupakan pilihan terakhir bagi
Kombinasi pascapersalinan • Selama 6-8mg pascapersalinan klien yang menyusui
• Jika tidak menyusui mengganggu tumbuh • Dapat diberikan pada klien dgn
dapat dimulai 3mg kembang bayi riw.preeklamsia
pascapersalinan • Sesudah 3mg pascapersalinan
akan meningkatkan resiko
pembekuan darah

Kontrasepsi • Bila menyusui, jangan • Selama 6mg pertama • Perdarahan ireguler dapat
Progestin mulai sebelum 6mg pascapersalinan, progestin terjadi
pascapersalinan mempengaruhi tumbuh
• Bila tidak menyusui kembang bayi
dapat segera dimulai • Tidak ada pengaruh pada ASI
AKDR • Dapat dipasang • Tidak ada pengaruh terhadap • Insersi postplasental
langsung ASI memerlukan petugas terlatih
pascapersalinan • Efek samping lebih sedikit khusus
pada klien yang menyusui
Kondom/Sper • Dapat digunakan setiap Tidak pengaruh terhadap laktasi Sebaiknya dengan kondom dengan
misida saat pascapersalinan pelicin
171. Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis
yang selalu ada Kadang-kadang ada kemungkinan

• Uterus tidak berkontraksi dan lembek • Syok Atonia uteri


• Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)

• Perdarahan segera • Pucat Robekan jalan


• Darah segar yang mengalir segera setelah • Lemah lahir
bayi lahir • Menggigil
• Uterus kontraksi baik
• Plasenta lengkap

• Plasenta belum lahir setelah 30 menit • Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
• Perdarahan segera (P3) berlebihan
• Uterus kontraksi baik • Inversio uteri akibat tarikan
• Perdarahan lanjutan

• Plasenta atau sebagian selaput • Uterus berkontraksi tetapi TFU Tertinggalnya


(mengandung pembuluh darah) tidak tidak berkurang atau kontraksi sebagian plasenta
lengkap hilang-timbul
• Perdarahan segera
172. Pemeriksaan HPP

• Pemeriksaan abdominal
• Pemeriksaan perineal
• Pemeriksaan spekulum untuk serviks dan
vagina
• Pemeriksaan bimanual
• Pemeriksaan plasenta
173. Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
174. Kehamilan Gemelli: Diagnosis
Anamnesis
• Ibu mengatakan perut tampak lebih buncit dari seharusnya
umur kehamilan
• Gerakan janin lebih banyak dirasakan ibu hamil
• Uterus terasa lebih cepat membesar
• Pernah hamil kembar atau terdapat riwayat keturunan

Pemeriksaan Inspeksi dan Palpasi


• Kesan uterus lebih besar dan cepat tumbuhnya dari biasa
• Teraba gerakan-gerakan janin lebih banyak
• Banyak bagian-bagian kecil teraba
• Teraba 3 bagian besar janin
• Teraba 2 balotemen
175. Edukasi Pemakaian Kondom Pria

• Keluarkan kondom dari pembungkusnya dengan


hati-hati
• PAStikan kondom tidak kering dan
sobek/berlubang
• Masukkan kondom ke penis saat ereksi, buka
gulungan sampai batang penis tertutupi semua
• Lepas kondom diluar vagina, jangan sampai ada
sperma yang tertinggal
• Ikat kondom dan buang di tempat sampah

Anda mungkin juga menyukai