Anda di halaman 1dari 22

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Kesehatan Anak Makalah Dosen

2019

Tetralogy Fallot (TOF)


Amelia, Putri
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/11570
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
TETRALOGY FALLOT (TOF)

PUTRI AMELIA 19840810 200812 2 003

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019

1
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, sebagai salah satu tulisan pada
Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Tulisan ini berjudul “Tetralogy. Fallot”. Dalam penyelesaian tulisan ini, penulis mendapat
banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu.
Penulis menyadari bahawa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tulisan
ini. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua.

DAFTAR ISI

2
Universitas Sumatera Utara
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 1

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Defenisi 2
2.2. Epidemiologi 2
2.3 Etiologi 2
2.4. Patogenesis 4
2.5. Patofisiologi 6
2.6. Manifestasi Klinis 7
2.7. Diagnosis 9
2.8. Diagnosis Banding 12
2.9. Tatalaksana 13
2.10. Komplikasi 15
2.11. Prognosis 16

BAB 3. KESIMPULAN 17

Daftar Pustaka 18
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan struktural atau susunan jantung dan
pembuluh darah besar intratoraks, yang berpotensi atau secara nyata memberikan pengaruh
1 fungsional yang
signifikan, mungkin sudah terdapat sejak lahir. Di Indonesia, angka kejadian 8 tiap 1000
kelahiran hidup. Secara garis besar PJB dibagi atas dua kelompok, yaitu sianotik dan asianotik.
Pada PJB sianotik terjadi sianosis sentral oleh karena aliran darah paru
2 berkurang akibat obstruksi
aliran keluar ventrikel kanan sehingga terjadi pirau kanan ke kiri.
Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling banyak
ditemukan, yakni lebih kurang 10% dari seluruh kejadian penyakit jantung bawaan. Penyakit
jantung bawaan tersebut memiliki 4 komponen, yaitu defek septum ventrikel, over-riding aorta,

3
Universitas Sumatera Utara
stenosis pulmonal, serta hipertrofi ventrikel kanan. Komponen yang paling penting, yang
menentukan derajat beratnya penyakit, adalah stenosis pulmonal, yang bervariasi dari
3 sangat ringan hingga
berupa atresia pulmonal.
Manifestasi klinis utama berupa sianosis dengan derajat bervariasi tergantung pada
sumber dan jumlah aliran darah paru yang dapat berasal dari duktus arteriosus persisten, major
aortopulmonary collateral arteries (MAPCAs), atau kombinasi keduanya. Pada waktu
4 lahir, bayi biasanya belum
sianotik, tetapi kemudian gejala tersebut muncul setelah tumbuh.
Bayi atau anak dengan tetralogi Fallot memiliki peluang untuk mengalami komplikasi
neurologis. Komplikasi neurologis yang paling utama adalah bencana serebrovaskular
(cerebrovascular accident / stroke) dan abses serebri, yang sangat berpengaruh terhadap
mortalitas maupun morbiditas pasien. Insidensi kedua komplikasi tersebut, berdasarkan
dokumentasi beberapa literatur di negara – negara Barat, adalah 8,6% pada bencana
serebrovaskular dan 13,7% pada abses serebri. Defisit neurologis yang disebabkan oleh
5 komplikasi tersebut dapat
bervariasi berdasarkan deteksi dini.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan refarat ini adalah untuk membahas secara ringkas mengenaidefinisi,
diagnosis, manajemen dan prognosis tetralogi Fallot pada anak.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetralogi Fallot adalah malformasi jantung kongenital sianotik dengan komponen stenosis
pulmonal, defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta yang menyebabkan pangkal aorta
melewati septum ventrikel/ over-riding aorta, serta hipertrofi ventrikel kanan. Penyakit
kompleks tersebut pertama kali dideskripsikan oleh Fallot pada tahun 1881, walaupun kasus -
6 kasus
terebut sebelumnya telah dipaparkan melalui berbagai laporan kasus.

4
Universitas Sumatera Utara
2.2 Epidemiologi
Penyakit ini merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling umum terjadi. Secara
umum, tetralogi Fallot dijumpai pada tiga dari sepuluh ribu bayi baru lahir hidup dan
3,7
merupakan lebih kurang 10% dari seluruh kejadian penyakit jantung bawaan.
Insidensi 3,26% tiap 10.000 kelahiran hidup, atau sekitar 1.300 kasus baru setiap
tahunnya di Amerika Serikat. Penyakit ini merupakan penyakit jantung bawaan terbanyak pada
pasien berusia diatas 1 tahun yang ditangani di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta. Data dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan
bahwa sebagian pasien tetralogi Fallot berusia diatas 5 tahun, serta
3,6 prevalensinya
menurun setelah umur 10 tahun.

2.3 Etiologi
Penyakit jantung bawaan, yang salah satunya tetralogi Fallot, disebabkan oleh gangguan
perkembangan sistem kardiovaskular pada masa embrio. Terdapat peranan faktor endogen,
eksogen, dan multifaktorial (gabungan dari kedua faktor tersebut). Para ahli cenderung
berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang secara terpisah
3
menyebabkan penyakit jantung bawaan.

3
Tabel 2.1. Etiologi Penyakit Jantung Bawaan

5
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Beberapa Faktor Lingkungan yang Dapat Menyebabkan PJB

Keterangan : PDA = patent ductus arteriosus; SP = stenosis pulmonal; TAB = transposisi arteri
besar; DSV = defek septum ventrikel; Koark = koarktasio aorta; TF = tetralogi Fallot; DSA =
defek septum atrium; VKAJKG = ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda; IAA =
interrupted aortic arch; SA = stenosis aorta

Sejauh ini, mutasi pada beberapa gen telah diidentifikasi pada berbagai kasus tetralogi
Fallot, antara lain:
1. NKX2.5 pada 4% kasus.
2. JAG1 pada sindrom Alagille, penyakit dengan insidensi tetralogi Fallot yang tinggi.
3. TBX5 pada sindrom Holt-Oram, penyakit dengan beberapa
pasiennya memiliki tetralogi Fallot.
4. FOXC2 pada lymphedemadistichiasis, penyakit dengan sebagian kecil pasiennya
memiliki tetralogi Fallot.
5. TBX1 pada 15% kasus tetralogi Fallot dengan mikrodelesi kromosom 22q11.2.
6. Gen trisomi 21, 18, dan 13, yang terdapat pada 10% kasus tetralogi Fallot secara
keseluruhan.

Oleh karena itu, secara umum, mutasi gen diduga menjadi etiologi utama terhadap terjadi
6 tetralogi
Fallot.

2.4 Patogenesis
Embriologi jantung bermulai dari adanya tuba. Terdapat dua bagian tuba, yaitu trunkus
arteriosus dan bulbus kordis yang berkembang menuju satu sama bawah, menuju bulbus kordis.

6
Universitas Sumatera Utara
Perputaran ini akan memisahkan aorta dengan arteri pulmonal. Deviasi ke arah anterior dari
perputaran ini menyebabkan tetralogi Fallot. Deviasi antero-septal pada pembentukan lubang
septum ventrikular dapat disertai dengan pembentukan jaringan fibrosa pada septum yang
gagal mengalami proses muskularisasi. Deviasi ini dapat ditemukan pada absennya obsrtuksi
subpulmonal, seperti pada defek septum ventrikel Eisenmenger. Oleh karena itu, pada pasien
dengan tetralogi Fallot, perlu dipastikan adanya morfologi abnormal dari trabekula
septoparietal yang melingkari traktur aliran subpulmonal. Kombinasi adanya deviasi septum
dan trabekulasi septoparietal yang hipertrofi menghasilkan karakteristik adanya obstruksi
aliran ventrikel kanan. Deviasi jaringan muskular pada lubang septum juga menyebabkan
adanya defek septum ventrikel dengan gangguan alignment dan menyebabkan munculnya
overriding dari aorta. Hipertrofi miokardium ventrikel kanan merupakan
8
konsekuensi hemodinamik akibat adanya lesi yang disebabkan oleh deviasi lubang septum.

Gambar 2.1. Kelainan Anatomi pada Tetralogi Fallot


Sumber: Bailliard F, Anderson R. Tetralogy of Fallot. Orphanet Journal of Rare Diseases.
2009 Jan 13;4(2):3.

7
Universitas Sumatera Utara
Sebagai tambahan dari berbagai kelainan terdapat dalam tetralogi Fallot, terdapat beberapa
kelainan lain yang juga dapat terjadi bersamaan dengan penyakit tersebut. Beberapa
6,9
varian atomis dan kelainan yang berkaitan dengan tetralogi Fallot antara lain:
1. Tetralogi Fallot dengan atresia pulmonal
Lesi ini memiliki derajat deviasi septum yang paling berat, dimana pasien memiliki
atresia pulmonal, bukan stenosis, sehingga tidak terdapat aliran darah sama sekali dari
ventrikel kanan ke arteri pulmonalis.
2. Tetralogi Fallot tanpa katup pulmonal
Pada beberapa kasus yang jarang, bagian leaflet dari katup pulmonal tidak bersifat
stenotik maupun atretik, melainkan tidak terbentuk atau tidak hadir. Hal ini
menyebabkan celah antara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis tidak terhalang oleh
adanya katup. Hal ini menyebabkan penumpukan volume secara kronis pada ventrikel
kanan berpindah ke arteri pulmonalis, yang bersamaan dengan hal tersebut
menyebabkan pelebaran pada keduanya. Pada kasus berat, hal ini dapat menyebabkan
penekanan pada saluran pernapasan.
3. Tetralogi Fallot dengan ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda (VKAJKG, double
outlet right ventricle / DORV)
VKAJKG merupakan salah satu penyakit jantung bawaan dimana kedua arteri besar
keluar dari ventrikel kanan, masing – masing dengan konusnya; kedua arteri besar ini
tidak menunjukkan kontinuitas dengan katup mitral. Dengan adanya over-riding aorta,
maka aorta semakin lebih terhubung dengan ventrikel kanan, dibandingkan kiri.
4. Tetralogi Fallot dengan defek septum atrioventrikuaris
Defek septum atrioventrikularis ditemukan pada sekitar 2% kasus tetralogi Fallot. Hal
ini memang tidak secara signifikan mengubah terapi inisial terhadap pasien, namun
terapi pembedahan dan rawatan praoperasi menjadi lebih kompleks.

2.5 Patofisiologi
Komponen yang paling penting, yang menentukan derajat beratnya penyakit, adalah stenosis
pulmonal, yang bervariasi dari sangat ringan sampai sangat berat, bahkan dapat berupa atresia
pulmonal. Stenosis pulmonal ini bersifat progresif, semakin lama semakin berat. Tekanan yang
meningkat akibat stenosis pulmonal menyebabkan darah yang terdeoksigenasi (yang berasal
dari vena) keluar dari ventrikel kanan menuju ventrikel kiri melalui defek septum ventrikel dan
ke sirkulasi sistemik melalui aorta, menyebabkan hipoksemia sistemik dan sianosis. Bila

8
Universitas Sumatera Utara
stenosis pulmonal semakin berat, maka semakin banyak darah dari ventrikel kanan menuju ke
aorta. Pada stenosis pulmonal yang ringan, darah dari ventrikel kanan menuju ke paru, dan
hanya pada aktivitas fisik akan terjadi pirau dari kanan ke kiri. Semakin bertambahnya usia,
maka infundibulum akan semakin hipertrofik, sehingga pasien akan semakin sianotik.
Obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan ini menyebabkan kurangnya aliran darah ke paru
yang menyebabkan hipoksia, maka kompensasi untuk hipoksia adalah terjadinya polisitemia
dan dibentuknya sirkulasi kolateral (jangka
3,10 panjang).

Gambar 2.2. Aliran Darah Jantung pada Tetralogi Fallot


Sumber: Lilly, Leonard S. Pathopyshiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical

th
Students and Faculty. 6 Ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2015. p:394.

Terdapatnya defek septum ventrikel yang besar disertai stenosis pulmonal, maka
tekanan sistolik puncak (peak systolic pressure) ventrikel kanan menjadi sama dengan tekanan
sistolik puncak ventrikel kiri. Karena tekanan ventrikel kiri berada dalam pengawasan
baroreseptor, maka tekanan sistolik ventrikel kanan tidak akan melampaui tekanan sistemik.
Hal inilah yang menerangkan mengapa pada tetralogi Fallot tidak atau jarang terjadi gagal
jantung, karena tidak ada beban volume sehingga ukuran jantung
3
umumnya normal.

9
Universitas Sumatera Utara
2.6 Manifestasi Klinis
Menifestasi klinis tetralogi Fallot mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru lahir
biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh. Manifestasi klinis tetralogi
Fallot mula – mula dapat mirip dengan defek septum ventrikel dengan pirau dari kiri ke kanan
dengan stenosis pulmonal ringan, sehingga anak masih kemerahan. Apabila derajat
3
stenosis bertambah, akan timbul sianosis.
Salah satu manifestasi yang penting pada tetralogi Fallot adalah terjadinya serangan
sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells, paroxysmal hyperpnea) yang ditandai oleh timbulnya
sesak napas mendadak, napas cepat dan dalam, sianosis bertambah, lemas, bahkan dapat pula
disertai kejang atau sinkop. Serangan tersebut dapat berlangsung selama beberapa menit hingga
jam, sehingga hipoksemia dapat berujung pada kerusakan sel – sel otak. Serangan yang hebat
dapat berakhir dengan koma, bahkan kematian. Serangan sianotik bisa timbul mendadak,
walaupun menangis, pergerakan usus, dan menyusui/makan dapat memicunya. Frekuensi
serangan sianotik bertambah pada musim panas dan ada infeksi. Kateterisasi jantung dan
supraventricular tachycardia juga dikatakan dapat memicu terjadinya serangan. Terdapat
berbagai hal yang dapat memicu terjadinya serangan tersebut, sehingga sangat sulit
menentukan faktor – faktor yang pasti. Mekanisme terjadinya serangan sianotik belum
diketahui secara pasti, namun beberapa hipotesis telah dikemukakan, antara lain peningkatan
kontraktilitas infundibular, vasodilatasi perifer, hiperventilasi, dan stimulasi
3,11,12
mekanoreseptor ventrikel kanan.
Anak dengan tetralogi Fallot biasanya belajar untuk meringankan gejala yang
dialaminya dengan posisi jongkok (squatting position) setelah dapat berjalan; setelah berjalan
beberapa lama, anak akan berjongkok untuk beberapa waktu sebelum ia berjalan kembali. Hal
ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi. Hal tersebut mungkin telah dipelajari oleh anak
sejak bayi dengan mengadopsi knee-chest posture. Posisi jongkok dapat menyebabkan
peningkatan resistensi sistemik vaskular dengan melekukkan arteri femoralis, sehingga
menurunkan pirau kanan ke kiri dan meningkatkan aliran darah ke paru. O’Donell dkk
menyimpulkan dalam penilitiannya bahwa mengubah posisi dari berdiri menjadi jongkok dapat
meningkatkan saturasi oksigen saat istirahat maupun setelah melakukan aktivitas disebabkan
oleh alasan anatomis dan berhubungan dengan pirau ventrikel kanan dan aorta. Peneliti juga
mengatakan pada anak normal, posisi jongkok dapat meningkatkan tekanan
3,10,13,14 darah
arteri, curah jantung, dan volume darah sental.

10
Universitas Sumatera Utara
Pada bayi bentuk dada normal, namun pada anak yang lebih besar dapat tampak
menonjol akibat pelebaran ventrikel kanan. Jari tabuh (clubbing fingers) dapat mulai terlihat
setelah pasien berusia 6 bulan. Anak dapat menjadi iritatif dalam keadaan kadar oksigen
berkurang, atau memerlukan asupan oksigen yang lebih banyak, anak dapat menjadi mudah
lelah, mengantuk, atau bahkan tidak merespons ketika dipanggil, menyusu yang terputusputus.
Pada anak dengan tetralogi Fallot, biasanya dijumpai keterlambatan pertumbuhan,
3,15
tinggi dan berat badan dan ukuran tubuh kurus yang tidak sesuai dengan usia anak. 16 Dalam
perjalanan penyakit tetralogi Fallot, hal – hal berikut dapat terjadi:
• Polisitemia sebagai mekanisme kompensasi hipoksia / sianosis.
• Defisiensi relatif zat besi (anemia hipokromik).
• Spell hipoksik pada bayi.
• Gangguan pertumbuhan terjadi bila sianosis berat
• Abses otak dan kejadian serebrovaskular akibat gangguan peredaran darah otak.
• Endokarditis infektif.
• Regurgitasi aorta pada tetralogi Fallot berat dengan aorta yang dilatasi hebat.
• Koagulopati akibat sianosis berat yang lama.

2.7 Diagnosis
Tetralogi Fallot dapat didiagnosis sebelum bayi lahir saat gambaran anatomi jantung mulai
terlihat jelas pada ekokardiografi fetus, biasanya pada usia gestasi 12 minggu. Segera setelah
didiagnosis, disarankan pengamatan antenatal serial dengan interval 6 minggu untuk mengikuti
pertumbuhan arteri pulmonalis, untuk menilai kembali arah arteri paru utama dan
17
aliran duktal dan untuk mengevaluasi, jika ada, kelainan di luar jantung.
Pada anamnesis, tidak hanya ditanyakan riwayat adanya manifestasi klinis dari tetralogi
Fallot, tetapi juga riwayat kehamilan, kelahiran, keluarga, serta pertumbuhan dan
perkembangan pasien. Pada semua pasien, terutama pada neonatus, harus dibedakan apakah
sianosis sentral atau perifer. Sianosis sentral disebabkan oleh faktor jantung atau bukan.
Kebanyakan neonatus normal menunjukkan sianosis perifer pada tangan dan kaki yang kadang
cukup hebat terutama bila udara luar sangat dingin, biasanya menghilang dalam 48 jam dan
jarang nampak setelah 72 jam. Sianosis sentral yang terjadi segera pascalahir adalah
manifestasi hipoventilasi. Sianosis sentral pada saat lahir pada umumnya disebabkan oleh
3
penyakit jantung bawaan.

11
Universitas Sumatera Utara
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan berbagai manifestasi tetralogi Fallot seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Getaran bising jantung jarang teraba. Suara jantung 1 (S1)
normal, sedangkan suara jantung 2 (S2) biasanya tunggal (yakni A2). Terdengar bising ejeksi
sistolik di daerah pulmonal, yang makin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi
(berlawanan dengan stenosis pulmonal murni). Bising ini adalah bising stenosis pulmonal,
bukan bising defek septum ventrikel; darah dari ventrikel kanan yang melintas ke ventrikel kiri
dan aorta tidak mengalami turbulensi oleh karena tekanan sistolik antara ventrikel kanan 3 dan
kiri hampir sama.

Pada pemeriksaan laboratorium umumnya didapatkan kenaikan jumlah eritrosit dan


hematokrit yang sesuai dengan derajat desaturasi dan stenosis. Pasien tetralogi Fallot dengan
kadar hemoglobin dan hematokrit yang rendah atau normal mungkin menderita defisiensi
3
besi.
Gambaran radiologis dada pada bayi dengan tetralogi Fallot umumnya menunjukkan
situs viseral normal, levokardia, ukuran jantung normal, penurunan gambaran vaskular paru,
dan mungkin arkus aorta terletak di sebelah kanan. Apeks jantung nampak kecil dan
3,6
terangkat, dan konus pulmonalis cekung. Gambaran ini mirip dengan bentuk sepatu.

Gambar 2.3 Gambaran Radiologis Pasien Tetralogi Fallot


Sumber: Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan. In: Sastroasmoro S,
Madiyono B editors. Kardiologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1994.p:242

12
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Gambaran EKG Pasien Tetralogi Fallot
Keterangan: Deviasi sumbu QRS ke kanan, kompleks QRS negatif di Lead I dan positif di AvF.
Hipertrofi ventrikel kanan ditandai oleh kompleks QRS yang positif di V1 dan S
yang dalam di V6. Gelombang P yang tinggi di V2 menandakan pembesaran
atrium kanan.
Sumber: Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan. In: Sastroasmoro S,
Madiyono B editors. Kardiologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
1994.p:242

Pada neonatus EKG tidak berbeda dengan anak normal. Pada anak mungkin gelombang
T positif di V1, disertai deviasi axis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan.
Gelombang P di Lead II dapat tinggi (P pulmonal). Hipertrofi biventrikuler dapat terlihat pada
anak dengan tetralogi Fallot yang tidak menunjukkan sianosis. Hipertrofi atrium kanan
3,16
kadang terlihat.
Gambaran ekokardiografi yang mencolok adalah defek septum ventrikel yang besar disertai
over-riding aorta besar, sedangkan arteri pulmonalis kecil; katup pulmonal tidak selalu dapat
jelas dilihat. Infundibulum sempit. Dengan teknik Doppler dapat dilihat arus dari ventrikel
kanan ke aorta, dan dapat diperkirakan perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dengan arteri
pulmonalis, meskipun dalam praktek gambaran Doppler yang bagus tidak mudah diperoleh,
khususnya pada stenosis infundibular yang berat. Stenosis pada cabang arteri
3
pulmonalis perifer, yang dapat sampai 28% kasus, mungkin dapat dideteksi.
16

13
Universitas Sumatera Utara
Gambaran ekokardiografi yang dapat ditemukan:
• Ekokardiografi 2 dimensi dan Doppler dapat memastikan diagnosis dan beratnya

tetralogi Fallot.
• Dari pandangan parasternal long axis terlihat defek septum ventrikel perimembran
subaortik / infundibuler yang besar dengan over–riding aorta.
• Dari pandangan parasternal short axis terlihat anatomi alur keluar ventrikel kanan,
katup pulmonal, annulus dan batang utama arteri pulmonalis, serta cabang kanan dan
kirinya.
• Dengan pemeriksaan Doppler, gradient tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis
dapat dihitung.
• Anomali arteri koroner juga dapat dideteksi dengan ekokardiografi.
• Kelainan penyerta seperti defek septum atrium dan vena cava superior kiri yang
persisten juga dapat terlihat.

Kateterisasi jantung tidak diperlukan bila pasien akan dilakukan tindakan bedah paliatif,
misalnya pembuatan pintasan Blalock-Taussig. Akan tetapi kateterisasi biasanya diperlukan
sebelum tindakan bedah koreksi dengan maksud untuk:
• Mengetahui terdapatnya defek septum ventrikel multipel (5%)
• Mendeteksi kelainan arteri koroner (5%)
• Mendeteksi stenosis pulmonal perifer (28%)

Dengan kateterisasi, dapat dikonfirmasikan terdapatnya penurunan saturasi oksigen


setinggi aorta, peningkatan tekanan di ventrikel kanan, dengan tekanan arteri pulmonalis
normal atau rendah. Dimensi serta kontraktilitas ventrikel kiri, morfologi dan ukuran arteri
pulmonalis, terdapatnya kolateral, serta anatomi arteri koroner dapat didemonstrasikan dengan
angiokardiografi. Hal – hal tersebut sering tidak dapat diperoleh dengan pemeriksaan
ekokardiografi. Pada pasien tetralogi Fallot, kateterisasi dilakukan untuk jantung kanan dan
3 kiri,
serta dilakukan pula diventrikulografi dan aortografi.

2.8 Diagnosis Banding


Beberapa penyakit jantung menunjukkan gambaran klinis yang mirip dengan tetralogi Fallot.
Frekuensi kelainan – kelainan tersebut lebih sedikit daripada tetralogi Fallot, dan harus

14
Universitas Sumatera Utara
dipikirkan sebagai diagnosis banding. Kemiripan gejala klinis dan pemeriksaan penunjuang
pada berbagai kelainan tersebut disebabkan oleh persamaan kelainan anatomis degan
3 tetralogi
Fallot, yakni:
• Terdapat komunikasi kanan dan kiri di tingkat ventrikel melalui defek septum ventrikel
• Terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan (stenosis pulmonal)
• Terdapat pirau kanan ke kiri dengan tingkat ventrikel.

Diagnosis banding dari setiap pasien sianotik dengan murmur adalah termasuk hipertensi
pulmonal persisten pada neonatus, begitu pula dengan lesi sianotik lainnya seperti stenosis
pulmonal berat, malformasi Ebstein, transposisi trunkus arteriosus, trunkus arteri
9
komunis, anomali total drainase vena pulmonalis, dan atresia trikuspid.

2.9 Tatalaksana
Tatalaksana terhadap pasien terdiri dari perawatan medis serta tindakan bedah. Kedua cara
terapi ini seyogyanya tidak dipertentangkan, namun justru saling menunjang; tatalaksana
3
medis yang baik diperlukan untuk persiapan prabedah dan perawatan pascabedah.
3,16
Tatalaksana medis:
1. Pada serangan sianotik akut:
1. Pasien diletakkan dalam knee – chest position.
2. Diberikan O2 masker 5 – 8 liter / menit.

3. Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg /kgBB/subkutan (sebagian ahli menyarankan


intramuscular)
4. Diberikan sodium bikarbonat 1 meq/kgBB/IV untuk koreksi asidosis
5. Diberikan transfusi darah bila kadar hemoglobin <15 g/dl, jumlah darah
rata – rata yang diberikan adalah 5 ml/kgBB
6. Diberikan propanolol 0,1 mg/kgBB/IV secara bolus.
7. Jangan memberikan Digoxin pada saat pasien menderita serangan
sianotik karena akan memperburuk keadaan.
2. Apabila tidak segera dilakukan operasi, dapat diberikan propranolol rumat dengan dosis
1 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Bila pasien mengalami serangan sianotik disertai
dengan anemia relatif, maka diperlukan preparat Fe. Dengan Fe ini akan terjadi
retikulosistosis dan kadar hemoglobin meningkat.

15
Universitas Sumatera Utara
3. Hiegene mulut dan gigi perlu diperhatikan, untuk meniadakan sumber infeksi untuk
terjadi endocarditis infektif atau abses otak.
4. Terjadinya dehidrasi harus dicegah khususnya pada infeksi interkuren.
5. Orang tua perlu diedukasi atau diajarkan untuk mengenali serangan sianotik dan
penanganannya.
16
Tatalaksana intervensi non bedah:
1. Dilatasi alur keluar ventrikel kanan dan katup pulmonal dengan balon, kadang
dilakukan untuk megalami gejala berat.
2. Pemasangan stent pada duktus arteriosus persisten bisa juga dikerjakan bila stenosis
pulmonal berat atau atretik.
Tatalaksana bedah terdiri dari 2 jenis, yakni operasi paliatif untuk menambah aliran darah
baru, dan bedah korektif. Bedah paliatif bertujuan meningkatkan aliran darah pulmoner,
dilakukan pada:
1. Neonatus tetraogi Fallot berat / atresia pulmonar dengan hipoksia berat.
2. Bayi tetraogi Fallot denga annulus pulmonary atau arteri pulmonalis hipoplastik.
3. Bayi tetralogi Fallot dengan usia < 3-4 bulan dengan spell berulang yang gagal diterapi.
4. Bayi tetralogi Fallot dengan berat < 2,5 kg.
5. Anak tetralogi Fallot dengan hipoplastik cabang – cabang arteri pulmonalis (diameter
dibawah ukuran tengah yang dibuat oleh Kirklin).
6. Anomali arteri koroner yang melintang di depan alur keluar ventrikel kanan. Jenis
terapi bedah paliatif yang dikenal:
1. Anastomosis ujung ke sisi (end to side anastomosis) arteri subklavia dengan arteri
pulmonalis proksimal ipsilateral. Tindakan ini disebut prosedur Blalock-Taussig atau
BT shunt.
2. Prosedur Waterston, yaitu anastomosis antara aorta asendens dengan arteri pulmonalis
kanan.
3. Prosedur Glenn, yaitu anastomosis antara vena kava superior dengan arteri pulmonalis
kanan.
Bedah korektif dilakukan pada kasus yang ideal, pada usia yang cukup aman sesuai
kemampuan tiap – tiap institusi. Dilakukan penutupan VSD dan eksisi infundibulum,
3,16
pelebaran annulus pulmonar dan arteri pulmonalis dengan patch bila perlu.

16
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan tindakan bedah, apakah paliatif atau korektif bergantung kepada masing –
masing klinik. Pada umumnya tindakan bedah paliatif dilakukan pada bayi kecil, atau pasien
dengan hipoplasia arteri pulmonalis. Dengan bertambahnya darah ke paru, maka oksigenasi
jaringan akan membaik, sehingga sianosis akan berkurang. Setelah arteri pulmonalis tumbuh
sehingga diameternya memadai, maka tindakan korektif dapat dilakukan. Akhir – akhir ini
terdapat kecenderungan untuk melakukan koreksi total pada pasien tetralogi Fallot pada bayi
3 dibawah
usia 2 tahun bila arteri pulmonalis tidak terlalu kecil.

2.10 Komplikasi
Satu atau lebih komplikasi berikut dapat terjadi pada pasien tetralogi Fallot yang tidak
3
dikoreksi:
1. Bencana serebrovaskular (cerebrovascular accident) dapat terjadi pada pasien berumur
kurang dari 5 tahun, biasanya terjadi setelah serangan sianotik, pascakateterisasi
jantung, atau dehidrasi.
2. Abses otak dapat terjadi pada pasien yang berusia pada pasien yang berusia lebih dari
5 tahun, dengan gejala sakit kepala, muntah – muntah, disertai gejala neurologis. Di RS
Soetomo (1970 – 1985), 20% dari pasien tetralogi Fallot meninggal karena abses otak.
3. Endokarditis infektif dapat terjadi pascabedah rongga mulut dan tenggorok, seperti
manipulasi gigi, tonsilektomi, dan lain – lain. Infeksi lokal di kulit, tonsil, dan
nasofaring juga merupakan sumber infeksi yang dapat mengakibatkan endokarditis.
4. Anemia relatif, yang ditandai dengan hematokrit yang tinggi dibandinkan dengan kadar
hemoglobin. Pada darah tepi didapatkan hipokromia, mikrositosis, dan anisositosis.
5. Trombosis paru. Trombosis lokal pada pumbuluh darah paru kecil, ini akan menambah
sianosis.
6. Perdarahan. Pada polisitemia hebat, trombosit dan fibrinogen menurun hingga dapat
terjadi ptekie, perdarahan gusi. Hemoptisis terjadi pada pasien yang lebih tua karena
lesi trombotik di paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Aftab dkk. di Departemen Kardiologi Pediatri dan
Neurologi Pediatri Rumah Sakit Anak Lahore pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
komplikasi neurologis tetralogi Fallot tidak hanya cerebrovascular accident dan abses otak,
walaupun keduanya memiliki angka kejadian yang paling tinggi. Cerebrovascular accident
terutama dialami oleh pasien berusia kurang dari 2 tahun, sedangkan abses otak pada pasien
berusia lebih dari 2 tahun. Faktor utama yang berkontribusi dalam terjadinya abses serebri pada

17
Universitas Sumatera Utara
pasien – pasien tersebut adalah hipoksia kronis yang berujung polisitemia, imunitas rendah,
dan bypass dari fagosit paru, sedangkan faktor risiko utama pada stroke / cerebrovascular
accident antara lain polisitemia, anemia, serta hipotensi dan dehidrasi berkepanjangan.
Komplikasi neurologis lain, sesuai urutan tinggi angka kejadiannya, adalah
5
perdarahan intrakranial dan menigoensefalitis.
Pada sebuah laporan kasus oleh Bhatnagar dkk. di Afrika pada tahun 2013
mempresentasikan seorang pasien anak laki – laki berusia 3 tahun dengan riwayat tetralogi
Fallot memiliki gejala neurologis, yaitu kelemahan pada ekstremites serta episode kejang.
Setelah dilakukan pemeriksaan, didapati pasien mengalami lesi iskemik di otak. Bhatnagar dkk.
menyimpulkan bahwa sianosis berkepanjangan menimbulkan polisitemia dan anemia, yang
berujung pada tingginya risiko tromboemboli dan infark serebri. Polisitemia tidak hanya
meningkatkan risiko kejadian tersebut, tetapi juga membuat tampilan trombosis vena serebral
18 pada
CT scan. Pemeriksaan MRI juga diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.

2.11 Prognosis
Progresivitas penyakit ini harus dipantau dengan ketat. Pada pasien tetralogi Fallot, apabila
tidak dilakukan operasi, dapat terjadi salah satu atau lebih kemungkinan berikut: 1) pasien
meninggal akibat serangan sianotik, 2) stenosis infundibular makin hebat, sehingga pasien
3
makin sianotik, atau 3) terjadi abses otak atau komplikasi lain.
Secara alamiah, 50% pasien tetralogi Fallot yang tidak dikoreksi akan meninggal pada
umur sekitar 5 tahun, 25% pada usia sekitar 10 tahun, dan hanya 11% saja yang bisa bertahan
hidup sampai umur 25 tahun, 6% sampai umur 30 tahun, dan hanya 3% yang mencapai usia
16
40 tahun.
Prognosis pasien yang lahir pada era saat ini diharapkan akan jauh lebih dengan adanya
kemajuan teknologi dan penanganan medis dan operatif pada dekade – dekade terakhir. Dari
seluruh pasien dengan malformasi kongenital pada jantung, penanganan pasien tetralogi Fallot
tidak berhenti pada saat setelah perbaikan penuh, tetapi berlanjut seumur hidup dengan
pemantauan atau kontrol berkala dengan kardiolog yang ahli dengan penyakit
9 jantung
bawaan.

18
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KESIMPULAN

Tetralogi Fallot adalah malformasi jantung kongenital sianotik dengan komponen stenosis
pulmonal, defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta yang menyebabkan pangkal aorta
melewati septum ventrikel/ over-riding aorta, serta hipertrofi ventrikel kanan.Menifestasi klinis
tetralogi Fallot mencerminkan derajat hipoksia. Pada waktu baru lahir biasanya bayi belum
sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh. Manifestasi klinis tetralogi Fallot mula – mula dapat
mirip dengan defek septum ventrikel dengan pirau dari kiri ke kanan dengan stenosis pulmonal
ringan, sehingga anak masih kemerahan.Tatalaksana terhadap pasien terdiri dari perawatan
medis serta tindakan bedah.Prognosis pasien yang lahir pada era saat ini diharapkan akan jauh
lebih dengan adanya kemajuan teknologi dan penanganan medis dan operatif pada dekade –
dekade terakhir. Dari seluruh pasien dengan malformasi kongenital pada jantung, penanganan
pasien tetralogi Fallot tidak berhenti pada saat setelah perbaikan penuh, tetapi berlanjut seumur
hidup dengan pemantauan atau kontrol berkala dengan kardiolog yang ahli dengan penyakit
jantung bawaan.

19
Universitas Sumatera Utara
Daftar Pustaka

1. Rusepno H, Alatas H, editors. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika;2011.p:705-7
2. Djer M, Madiyono B. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri. 2000;
2(3):155-62.
3. Sastroasmoro S, Madiyono B. Penyakit Jantung Bawaan. In: Sastroasmoro S,
Madiyono B editors. Kardiologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
1994.p:240-251.
4. Rodriguez-Cruz E. Pulmonary Atresia with Ventricular Septal Defect. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/905119-overview# a0112.
5. Aftab S, Usman A, Sultan T. Frequency of Cerebrovascular Accidents and Brain
Abcess in Children with Tetralogy of Fallot. Pakistan Journal of Neurological Sciences
(PJNS). 2015 June 2;10(2);23-6.
6. Keane J, Lock J, Fyler D, Nadas A. Nadas' Pediatric Cardiology. Philadelphia:
Saunders; 2006.p.559-76.
7. Yuniadi Y, Dony YH, Bambang BS. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
FK UI. Buku Ajar Kardiovaskular. Jilid 2. Jakarta: Sagung Seto. 2017. p.537-40.
8. Kleigman RM, et al. Nelson textbook of pediatrics.
th
19 ed. 2011.
Philadelphia:Elsevier-Saunders.
9. Bailliard F, Anderson R. Tetralogy of Fallot. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2009
Jan 13;4(2):1-10.
10. Lilly, Leonard S. Pathopyshiology of Heart Disease: A CollaborativeProject of

th
Medical Students and Faculty. 6 Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

2015. p:393-6.

20
Universitas Sumatera Utara
11. Kothari SS. Mechanism of cyanotic spells in tetralogy of Fallot—the missing link?.
International journal of cardiology. 1992 Oct 1;37(1):1-5.
12. Duro RP , Moura C, Leite-Moreira A. Anatomophysiologic basis of tetralogy of Fallot
and its clinical implications. Revista portuguesa de cardiologia: orgao oficial da
Sociedade Portuguesa de Cardiologia= Portuguese journal of cardiology: an official
journal of the Portuguese Society of Cardiology. 2010 Apr;29(4):591-630.
13. Squatting in Fallot’s tetralogy. British Medical Journal. 1968;4(5629):470
14. O'Donnell TV, McIlroy MB. The circulatory effects of squatting. American heart
journal. 1962 Sep 1;64(3):347-56.
15. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku Ajar Neonatalogi. Jakarta:
IDAI; 2008.
16. Rilantono, Lily I. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. hal.548- 554.
17. Fernandez MMG. Tetralogy of Fallot : From Fetus to Adult. 2010. Portugal: Faculdade
de Midicina Universidade do Porto; 2010.
18. Bhatnagar S, Naware S, Kuber R, Thind SS. Pediatric stroke: Neurological sequelae in
uncorrected tetralogy of fallot. Annals of medical and health sciences research.
2013;3(1a):27-30.

21
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai