Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Utama)


Harga Diri Rendah

2. Definisi
1) Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan
dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).
2) Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan Videbeck, 1998).
3) Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri,
marasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).

3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


Berbagai faktor menunjang terjadinya terjadinya perubahan dalam konsep-diri
seseorang. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah padamasa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.menjelang dewasa awal sering
gagal disekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan
cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya (Yosep, 2009).
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan orang
tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan, atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis
ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
Situasional. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang terjadi
secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban pemerkosaan,
atau menjadi narapidana, sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di
rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan
penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan
yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan
petugas kesehatan yang kurng menghargai klien dan keluarga.
Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.
Baik faktor perdisposisi maupun presipitasi di atas bila telah memengaruhi
seseorang baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak, maka dianggap telah
memengaruhi koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme
koping individu tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi
lebih lanjut dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan
untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang mengalami isolasi
sosial dapat membuat klien asyik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga
dapat muncul resiko perilaku kekerasan.

4. Tanda dan Gejala


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah kronis:
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri.
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) Selera makan berkurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah.
5. A. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Harga diri rendah kronis Subjektif:
 Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna
 Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
 Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk
beraktivitas atau berkerja
 Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan
diri (mandi, berhias, makan, atau toileting)
Objektif:
 Mengkritik diri sendiri
 Perasaan tidak mampu
 Pandangan hidup yang pesimistis
 Tidak menerima pujian
 Menurunkan produktivitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri
 Kurang memperhatikan perawatan diri
 Berpakaian tidak rapi
 Berkurangnya selera makan
 Tidak berani menatap lawan bicara
 Lebih banyak menundunk
 Bicara lambat dengan nada suara lemah

B. Pohon Masalah (gambaran pohon masalah)


Resiko tinggi (Risti) Perilaku Kekerasan

Effect Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial

Core Problem Harga Diri Rendah Kronis

Causa Koping Individu tidak Efektif

6. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah Kronis

7. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Rencana tindakan keperawatan pada klien
 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
b. Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat dilakukan.
c. Membatu klien menetukan kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan klien.
d. Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dipilih.
e. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien.
f. Menganjurkan klien memasukan jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien,
b. Melatih kemampuan keduanya
c. Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal harian.
 Tindakan keperawatan untuk klien
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien.
Perawat dapat melakukan hal-hal berikut utuk membantu klien
mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki.
1) Mendiskusikan bahwa klien maasih memiliki sejumlah kemampuan
dan aspek positif seperti kegiatan klien di rumah, adanya keluarga dan
lingkungan terdekat klien.
2) Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan klien.
b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan
saat ini setelah mengalami bencana.
2) Mantu klien menyebutkannya dan berikan penguatan terhadap
kemampuan diri yang berhasil diungkapkan klien.
3) Perlihatkan respons yang konduktif dan jadilah pendengar yang aktif.
c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan sesuai
dengan kemampuan. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan
dan pilih sebagai kegiatan yang akan dilakukan sehari-hari.
2) Bantu klien menetapakan aktivitas yang dapat dilakukan secara
mandiri. Tentukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan bantuan
minimal dan bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat
klien. Berikan contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan
klien. Lakukan penyusunan aktivitas bersama klien dan buatlah daftar
aktivitas atau kegiatan sehari-hari klien.
d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan kegiatan (yang
sudah dipilih klien yang akan dilatih.
2) Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan yang
akan dilakukan klien.
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap kemajuan yang
diperlihatkan klien.
e. Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuan.
Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan tersebut, saudara dapat
melakukan hal-hal berikut:
1) Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilakukan.
2) Berikan pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat yang dapat
dilakukan klien setiap hari.
3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
4) Menyusun daftar setiap aktivitas yang sudah dilakukan bersama klien
dan keluarga.
5) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
setelah melaksanakan kegiatan
6) Yakikan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
oleh klien.
2. Rencana tindakan keperawatan pada keluarga.
 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
klien beserta proses terjadinya.
Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.
a. Melatih keluarga untuk memperaktikan cara merawat klien harga diri
rendah.
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien harga
dri rendah.
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga
a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat.
b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
 Tindakan keperawatan untuk keluarga.
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien.
b. Jeleskan kepada keluarga tentang kondisi klien yang mengalami gangguan
konsep diri; harga diri rendah kronis.
c. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien.
d. Jelaskan cara-cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga diri
rendah kronis.
e. Demostrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga
diri rendah kronis.
f. Bantu klien menyusun rencana kegiatan klien di rumah.
8. Referensi Laporan Pendahuluan
Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Utama)


Isolasi Sosial

2. Definisi
1) Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegegelan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).
2) Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan maupun komunikasi dengan orang lain (Rawlins, 1993).
3) Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
prilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(Depkes RI, 2000).
4) Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain
karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegegelan. Klien mengalami kesulitan dalam
berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan
mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman
(Balitbang, 2007).
5) Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan
sikap yang negatif dan mengancam (Townsend, 1998).
6) Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi
dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien
yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada perilaku menarik diri
(Townsend, 1998).
7) Kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
tingkat maladaptif, dan gangguan fungsi individu dalam hubungan sosialnya
(Stuart dan Sundeen, 1998).
3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi
1) Faktor Predisposisi
 Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perrkembangan yang
harus dipenuhiagar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-
tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal:
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya.
Masa Bermain Mengambangkan otonomi dan awal perilaku mandiri.
Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung jawab dan hati
nurani
Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama dan berkompromi.
Masa Praremaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis
kelamin.
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau bergantung
pada orang tua.
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan teman,
mencari pasangan, menikah dan mempunyai anak.
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui.
Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan
keterikatan dengan budaya.

 Faktor Komunikasi dalam Keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah
dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind)
yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang
saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi
dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan
diluar keluarga.

 Faktor Sosial Budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suati
faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini
disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap
anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis,
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
 Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat memengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien
skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur
yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk
sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.
2) Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal
dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
 Faktor eksternal
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh
faktor sosial budaya seperti keluarga.
 Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemempuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.

4. Tanda dan Gejala


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial.
 Kurang spontan.
 Apatis (acuh terhadap lingkungan).
 Ekspresi wajah kurang berseri.
 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
 Mengisolasi diri.
 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
 Asupan makanan dan minuman tergangggu.
 Retensi urin dan feses.
 Aktivitas menurun.
 Kurang energi (tenaga).
 Rendah diri.
 Postur tubuh berubah, misalnya sikapfetus/janin (khususnya pada posisi tidur).
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah,
sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak
dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori:
halusinasi dan resiko tinggi mencederai diri, orang lain bahkan lingkungan. Perrilaku
yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebebkan intoleransi aktivitas yang
akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah
dalam hidupnya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak normal (koping individu
tidak efektif). Peran keluarga cukup besar dalam mendorong klien agar mampu
menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem pendukungnya tidak baik (koping
keluarga tidak efektif) maka akan mendukung seseorang memiliki harga diri rendah.

5. A. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji


Masalah Keperawatan Data yang perlu Dikaji
Isolasi Sosial Subjektif:
 Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.
 Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani
perawat dan meminta untuk sendirian.
 Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang
lain.
 Tidak mau berkomunikasi.
 Data tentang klien biasanya didapat dari keluarga yang
mengetahui keterbatasan klien (suami, istri, anak, ibu,
ayah, atau teman dekat).

Objektif:
 Kurang spontan.
 Apatis (acuh terhadap lingkungan).
 Ekspresi wajah kurang berseri.
 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan
kebersihan diri.
 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
 Mengisolasi diri.
 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan
sekitarnya.
 Asupan makanan dan minuman terganggu.
 Retensi urin dan feses.
 Aktivitas menurun.
 Kurang berenergi dan bertenaga.
 Rendah diri.
 Postir tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin
(khususnya pada posisi tidur).

B. Pohon Masalah (gambar pohon masalah)

Risti Mencederai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan

Defisit Perawatan Diri PPS : Halusinasi

Intoleransi Aktivitas Isolasi Sosial


Harga Diri Rendah Kronis

Koping Keluarga Tidak Efektif Koping Keluarga Tidak Efektif


6. Diagnosa Keperawatan
Isolasi sosial.

7. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Rencana tindakan keperawatan untuk klien.
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
 Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial.
 Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
 Berdiskusi dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
 Mengajarkan kepada klien tentang cara berkenalan dengan satu orang.
 Menganjurkan kepada klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain dalam kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
 Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara berkenalan dengan
satu orang.
 Membangtu klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
 Memberikan kesempatan kepada klien berkenalan dengan dua orang atau lebih.
 Menganjurkan kepada klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

2) Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga


Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial beserta proses terjadinya.
 Menjelaskan cara-cara merawat klien isolasi sosial.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.
 Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien isolasi sosial.
 Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien isolasi sosial.
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga.
 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat.
 Menjelasjkan follow up klien setelah pulang.
8. Referensi Laporan Pendahuluan
Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Utama)


Perubahan Presepsi Sensori: Halusinasi

2. Definisi
1) Perubahan persepsi: halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana
klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi
sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa
adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan, atau pengecapan) Cook dan Fontaine (1987).
2) Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari lingkungan
(Depkes RI, 2008).
3) Suatu keadaan di mana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang
mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal) disertai dengan suatu
pengurangan berlebih-lebihan atau kelainan berespons terhadap stimulus
(Towsend, 1998).
4) Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran, penglihatan,
taktil, atau penciuman yang tidak ada stimulus eksternal (Antai Otong, 1995).
5) Gangguan penyerapan/presepsi pasca indra tanpa adanya rangsangan dari luar.
Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran individu
tersebut panuh dan baik. Gangguan ini dapat terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien
berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien
dan tidak dapat dibuktikan (Wilson, 1983).

3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


1) Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang memengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh
baik dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi faktor
perkembangan, sosiokultural, biokomia, psikologi, dan genetik.
 Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stres dan kecemasan
 Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang
membesarkannya.
 Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokomia seperti buffofenon dan
dimethytransferase (DMP).
 Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres
dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
 Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menujukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepkan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memelurkan energi ekstra untuk
menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien
dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek yang ada di
lingkungan, dan juga suasana yang sepia atau terisolasi sering menjadi pencetus
terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusonigenik.

4. Tanda dan Gejala


Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri-ciri yang objektif dan subjektif pada klien
dengan halusinasi.

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif


Halusinasi dengar (klien  Bicara atau tertawa sendiri  Mendengar suara-suara
mendengar suara atau bunyi  Marah-marah tanpa sebab atau kegaduhan
 Mendekatkan telinga ke arah 
yang tidak ada hubungannya Mendengar suara yang
tertentu
dengan stimulus yang nyata  ngajak bercakap-cakap
Menutup telinga
 Mendengar suara menyuruh
atau lingkungan).
melakukan sesuatu yang
berbahaya
Halusinasi Penglihatan  Menunjuk-nunjuk ke arah Melihat bayangan, sinar,
(klien melihat gambaran
bentuk geometris, kartun,
yang jelas atau samar tertentu melihat hantu atau monster.
terhadap adanya stimulus  Ketakutan pada sesuatu yang
tidak jelas
yang nyata dari lingkungan
dan oranmg lain tidak
melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus-endus seperti Membaui bau-bauan seperti
(klien mencium suatu
sedang membaui bau-bauan bau darah, urin, feses, dan
bauyang muncul dari
tertentu. terkadang bau-bau tersebut
sumber tertentu tanpa  Menutup hidung menyenangkan bagi klien.
stimulus yang nyata).
Halusinasi Pengecapan  Sering meludah Merasakan rasa seperti darah,
(klien merasakan sesuatu  Muntah urine, atau feses.
yang tidak nyata,sering
meludah biasanya
merasakan rasa makanan
yang tidak enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-garuk  Mengatakan ada serangga
(klien merasakan sesuatu
permukaan kulit di permukaan kulit
pada kulitnya tanpa ada  Merasakan seperti tersengat
stimulus yang nyata). listrik.
Halusinasi Kinestetik  Memegang kakinya yang Mengatakan badannya
(klien merasa badannya
dianggapnya bergerak melayang di udara
bergerak dalam suatu
sendiri.
ruangan atau anggota
badannya bergerak)
Halusinasi Fiseral  Memegang badannya yang  Mengatakan perutnya
(perasaan tertentu timbul
dianggap berubah bentuk menjadi mengecil setelah
dalam tubuhnya)
dan tidak normal seperti minum soft drink.
biasanya.

5. A. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji


Masalah Keperawatan Data yang perlu Dikaji
Perubahan persepsi sensori: Subjektif:
 Klien mengatakan mendengar sesuatu.
halusinasi
 Klien mengatakan melihat bayangan putih.
 Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik.
 Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap, seperti
feses.
 Klien mengatakan kepalanya melayang di udara.
Objektif:
 Klien terlihat bicara atai tertawa sendiri saat dikaji.
 Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.
 Berhenti bicara di tengah-tengah kalimat untuk
mendengarkan sesuatu.
 Disorientasi.
 Konsentrasi rendah.
 Pikiran cepat berubah-ubah.
 Kekecuan alur pikiran.
B. Pohon masalah (gambaran pohon masalah)
Effect Risiko Tinggi Kekerasan

Care Problem Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Causa Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

6. Diagnosis Keperawatan
Perubahan persepsi sensori: halusinasi.

7. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Rencana Tindakan Keperawatan untuk klien
 Tujuan/strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi jenis halusinasi.
b. Mengidentifikasi isi halusinasi.
c. Mengindentifikasi waktu halusinasi.
d. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi.
e. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi.
f. Mengidentifikasi respons klien terhadap halusinasi
g. Mengajarkan klien menghardik halusinasi.
h. Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam
jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap
dengan orang lain.
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksana 3 (SP 3) untuk klien.
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan
(kegiatan yang biasanya dilakukan klien di rumah)
c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien.
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur.
c. Mengajurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
 Tindakan keperawatan untuk klien.
a. Membantu klien mengenali halusinasi.
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu klien
mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klien terkait isi
halusinasi (apa yang didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi,
frekuensi terjadinya halusinasi muncul, dan perasaan klien saat halusinasi
muncul (komunikasinya sama dengan pengkajian di atas).
b. Melatih klien mengontrol halusinasi.
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengedalikan halusinasi pada
klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi
seseorang. Keempat cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercaka-
cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal dan
mengonsumsi obat secara teratur.
2) Rencana Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien
 Tujuan/strategi pelaksanaan.
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawata klien.
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi yang dialami klien
beserta proses terjadinya.
c. Menjelaskan cara-cara merawat klien halusinasi.
Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untu keluarga.
a. Melatih keluarga mempraktikan cara merawata klien halusinasi.
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat klien halusinasi.
 Tindakan keperawatan untuk keluarga klien
Keluarga merupakan faktor vital dalam penanganan klien gangguan jiwa di
rumah. Hal ini mengingatkan keluarga adalah sistem pendukung terdekat dan
orang yang bersama-sama dengan klien selama 24 jam. Keluarga sangat
menentukan apakah klien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang
mendukung klien secara konsisten akan membuat klien mampu
mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian, jika
keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan untuk
memulihkan kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu, perawat harus melatih
keluarga klien agar mampu merawat klien gangguan jiwa di rumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga
tahap. Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami oleh
klien dan pentingnya peran keluarga untuk mendukung klien. Tahap kedua
adalah melatih keluarga untuk merawat klien dan tahap yang ketiga yaitu
melatih keluarga untuk merawat klien langsung.
Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan gejala
halusinasi, proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian obat, dan pemberian aktivitas kepada klien), serta
sumber-sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.
8. Referensi Laporan Pendahuluan
Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Utama)


Perubahan Proses Pikir: Waham

2. Definisi
1) Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998).
2) Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000).
3) Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespon stimulus internal dan eksternal
melalui proses interaksi atau informasi secara akurat ( Keliat, 1999).

3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Prespitasi


Secara umum dapat dikatakan segala sesuatu yang mengancam harga diri dan
keutuhan keluarga merupakan penyebab terjadinya waham. Selain itu kecemasan,
kemampuan untuk memisahkan dan mengatur persepsi mengenai perbedaan Antara
apa yang dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun sehingga segala sesuatu sukar
lagi dibedakan, mana rangsangan dari pikiran dan rangsangan dari lingkungan
(Keliat, 1998).
1) Faktor Predisposisi
 Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang.Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir dengan
gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi
intelektual dan emosi tidak efektif.
 Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
 Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
 Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di
otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
 Faktor Genetik
2) Faktor Presipitasi
 Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
 Faktor Biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
 Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses pikir: waham adalah sebagai
berikut:
 Menolak makan.
 Tidak ada penelitian pada perawatan diri.
 Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan.
 Gerakan tidak terkontrol.
 Mudah tersinggung.
 Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
 Tidak bisa membedakan antara kenyataan dengan yang bukan kenyataan.
 Menghindar dari orang lain.
 Mendominasi pembicaraan.
 Berbicara kasar.
 Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan.

5. A. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji

Masalah Keperawatan Data Yang Perlu Dikaji


Perubahan proses pikir: Subjektif:
waham kebesaran  Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang
paling hebat.
 Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran
atau kekuatan khusus.

Objektif:
 Klien terus bicara tentang kemampuan yang
dimilikinya.
 Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.
 Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
B. Pohon masalah (gambaran pohon masalah)
Effect Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Core Problem Perubahan Sensori Waham

Causa Isolasi sosial: Menarik diri

Harga Diri Rendah Kronis


6. Diagnosa Keperawatan
Perubahan proses pikir: waham kebesaran

7. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Rencana tindakan keperawatan pada klien.
Strategi pelaksanaan 1 ( SP 1) untuk klien.
 Membantu orientasi realitas
 Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
 Membantu klien memenuhi kebutuhannya
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 2 ( SP 2) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Berdiskusi tentang kemampuan yang dimilki
 Melatih kemampuan yang dimiliki
Strategi pelaksanaan 3 ( SP 3) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
Tindakan keperawatan untuk klien:
 Tidak mendukung atau membantah waham klien
 Yakinkan klien berada dalam keadaan aman
 Observasi pengaruh waham terhadap kegiatan sehari-hari
 Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi karena
dapat menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah
 Jika klien terus menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti
membicarakannya
 Berikan pujian bila penampilan dan orientasi klien sesuai dengan realitas
 Diskusikan dengan klien kemampuan realitas yang dimilikinya pada saat
yang lalu dan saat ini
 Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang
dimilikinya
 Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah
 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional
klien
 Berbicara dalam konteks realitas
 Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan realitasnya
 Berikan pujian yang sesuai
 Jelaskan pada klien mengenai program pengobatannya ( manfaat, dosis
obat, jenis dan efek samping obat yang diminum serta cara meminum obat
yang benar)
 Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti minum obat tanpa
konsultasi
2) Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga
Strategi pelaksanaan 1 ( SP 1) untuk keluarga.
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham yang dialami klien
beserta proses terjadinya
 Menjelaskan cara-cara merawat klien waham
Strategi pelaksanaan 2 ( SP 2) untuk keluarga.
 Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien waham
 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien waham
Strategi pelaksanaan 3 ( SP 3) untuk keluarga.
 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat
 Menjelaskan follow up klien setelah pulang
Tindakan keperawatan untuk keluarga klien.
 Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien
 Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham di rumah,
follow up dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang tepat untuk
klien
 Diskusikan dengan keluarga tentang obat klien (nama obat, dosis,
frekuensi, efek samping dan akibat penghentian obat).
 Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan.

8. Referensi Laporan Pendahuluan


Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Masalah Utama)


Defisit Perawatan Diri

2. Definisi
Defisit Perawatan Diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK
(toiletting).

3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah
kelelahan fisik dan penurunan kesadaran. Menurut Depkes (2000), penyebab kurang
perawatan diri, adalah :
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.

4. Tanda dan Gejala


 Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau
mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh serta masuk dan keluar kamar mandi.
 Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien
juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan
pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian dan menggunakan sepatu.
 Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat
tambahan, mendapatkan makanan, membuka kontainer, memanipulasi makanan
dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkan makanan ke
dalam mulut, melengkapi makanan, mencerna makanan menurut cara yang
diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup
makanan dengan aman.
 BAB/BAK (toiletting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban
atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk
toiletting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram
toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan perawatan diri di atas biasanya diakibatkan karena stressor
yang cukup berat dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri
rendah), sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik
dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan, maupun BAB/BAK. Bila tidak
dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami
masalah risiko tinggi isolasi sosial.

5. A. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Defisit Perawatan Diri Subjektif:
 Klien mengatakan dirinya malas mandi karena
airnya dingin atau di RS tidak tersedia alat
mandi.
 Klien mengatakan dirinya malas berdandan.
 Klien mengatakan ingin disuapin makan.
 Klien mengatakan jarang membersihkan alat
kelaminnya setelah BAB/BAK.
Objektif:
 Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan
kotor.
 Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai
dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor
dan tidak rapi, pakaian tidak sesual, tidak
bercukur (laki-laki), atau tidak berdandan
(wanita).
 Ketidakmampuan makan secara mandiri
ditandai dengan ketidakmampuan mengambil
makan sendiri/ makan berceceran, dan makan
tidak pada tempatnya.
 Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai dengan BAB/BAK tidak pada
tempatnya, tidak membersihkan diri dengan
baik setelah BAB/BAK.
B. Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri
Effect Risiko Tinggi Isolasi Sosial

Core Problem Defisit Perawatan diri

Causa Harga Diri Rendah Kronis

6. Diagnosis Keperawatan
Defisit perawatan diri

7. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Rencana tindakan keperawatan untuk klien.
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
 Mengkaji kemampuan klien melakukan perawatan diri meliputi
mandi/kebersihan diri, berpakaian/berhias, makan, serta BAB/BAK secara
mandiri.
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
 Memberikan latihan cara melakukan mandi/kebersihan diri secara mandiri.
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
 Memberikan latihan cara berpakaian/berhias secara mandiri.
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 4 ( SP 4) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
 Memberikan latihan cara makan secara mandiri.
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.
 Memberikan latihan cara BAB/BAK secara mandiri.
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi/membersihkan diri, berpakaian/ berhias, makan, dan BAB/BAK.
Tindakan keperawatan untuk klien:
 Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri yang meliputi
mandi/membersihkan diri,berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK secara
mandiri.
 Memberikan latihan cara melakukan mandi/membersihkan diri,
berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK secara mandiri.
 Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang
perawatan diri.
2) Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
 Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh klien untuk menjaga perawatan diri.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.
 Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri klien dan membantu
mengingatkan klien dalam merawat diri (sesuai jadwal yang telah
disepakati).
 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien yang mengalami defisit
perawatan diri.
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga.
 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam
merawat diri.
 Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
Tindakan keperawatan untuk keluarga klien.
Keluarga dapat meneruskan melatih klien dan mendukung agar kemampuan
klien dalam perawatan dirinya meningkat.Serangkaian intervensi ini dapat
Saudara lakukan dengan cara sebagai berikut:
 Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri.
 Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat dan membantu klien dalam
merawat diri (sesuai jadwal yang telah disepakati).
 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam
merawat diri.

8. Referensi Laporan Pendahuluan


Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:
Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Utama)


Risiko bunuh diri

2. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber
lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang
jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang
mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995).

3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


1) Faktor predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (1997), Lima faktor predisposisi bunuh diri antara
lain :
 Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah
gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
 Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
 Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian
negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan perceraian.
Kekuatan dukungan social sangat penting dalam menciptakan intervensi yang
terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab masalah, respons
seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.

 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting
yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
 Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotonin, adrenalin,
dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui ekaman gelombang
otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2) Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.

4. Tanda dan Gejala


Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan
klien.
1) Mempunyai ide untuk bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4) Impulsif
5) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
6) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan )
8) Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah, dan
mengasingkan diri)
9) Kesehatan mental (scara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi, psikosis, dan
menyalahkangunakan alkohol)
10) Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyaki kronis atau terminal)
11) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier)
12) Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13) Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14) Pekerjaan.
15) Konflik interpersonal.
16) Latar belakang keluarga.
17) Orientasi seksual.
18) Sumber-sumber personal.
19) Sumber-sumber social.
20) Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
5. A. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji
Masalah keperawatan Data yang perlu dikaji
Risiko bunuh diri Subjektif:
 Mengungkapkan keinginan bunuh diri
 Mengungkapkan keinginan untuk mati
 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
 Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri
sebelumnya dari keluarga
 Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
dosis obat yang mematikan
 Mengungkapkan adanya konflik interpersonal
 Mengungkapkan telah terjadi korban perilaku
kekerasan saat kecil

Objektif:
 Impulsif
 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan
(biasanya menjadi sangat patuh)
 Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan
penyalahgunaan alkohol)
 Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau
penyakit terminal)
 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan,
atau kegagalan dalam karier)
 Status perkawinan yang tidak harmonis

B. Pohon masalah (gambaran pohon masalah)

Effect bunuh diri

Core problem risiko bunuh diri

Causa isolasi sosial

harga diri rendah kronis


6. Diagnosa keperawatan
Risiko bunuh diri

7. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosa keperawat.
a. Tujuan : Pasien tetap aman dan selamat
b. Tindakan : Melindungi pasien
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka
saudara dapat melakukan tindakan berikut :
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat yang
aman.
b. Menjauhi semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang).
c. Memastikan bahwa klien benar-benar telah meminum obatnya, jika klien
mendapat obat.
d. Memeriksa apakah pasien benar-benar bahwa saudara akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

2) Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien percobaan bunuh diri


a. Tujuan : Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang
mengancam atau mencoba bunuh diri.
b. Tindakan :
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang
berbahaya disekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara teratur.

3) Tindakan keperawatan untuk pasien isyarat bunuh diri


Tujuan:
a. Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya.
b. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya.
c. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.
d. Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
 Tindakan keperawatan:
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b. Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
1) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
2) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang posittif.
3) Meyakinkan pasien bahwa dirinya berarti untuk orang lain.
4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh klien.
5) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.
2) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara penyelesaian
masalah.
3) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik.

4) Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan anggota keluarga yang


menunjukkan isyarat bunuh diri.
Tujuan : Keluarga mampu merawat klien dengan risiko bunuh diri
Tindakan keperawatan :
a. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri.
1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang pernah
muncul pada pasien.
2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umunya muncul pada pasien
beresiko bunuh diri.
b. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri.
1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila pasien
memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain:
 Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien ditempat yang
mudah diawasi, jangan biarkan pasien mengunci diri di kamarnya atau
jangan meninggalkan pasien sendirian dirumah.
 Menjauhkan barang-barang yang bisa untuk bunuh diri. Jauhkan psien
dari barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri, seperti: tali,
bahan bakar minyak/bensin, api, pisau atau benda tajam lainnya zat
yang berbahaya seperti obat nyamukatau racun serangga.
 Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan pengawasan
apabila tanda dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah
melonggarkan pengawasan, walaupun pasien tidak menunjukan tanda
dan gejala untuk bunuh diri.
 Menganjurkan keluarga untuk mempraktikkan cara tersebut diatas.
c. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila pasien
melakukan percobaan bunuh diri, antara lain:
1) Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat untuk
menghentikan upaya bunuh diri tersebut.
2) Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas mendapatkan
bantuan medis.

d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi


pasien.
e. Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan.
f. Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol secara
teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya.
g. Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai prinsip 5
benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya, benar cara
penggunaannya, benar waktu penggunaannya dan benar pencatatannya.

8. Referensi Laporan Pendahuluan


Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Kasus (Masalah Keperawatan Jiwa Utama)


Perilaku Kekerasan

2. Definisi
 Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995).
 Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam
Harnawati, 1993).
 Setiap aktivitas bila tidak di cegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan
Sundeen, 1998).
 Suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara
fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).
 Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien
sendiri, lingkungan, termasuk orang lain, dan barang-barang (Maramis, 1998).
 Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan verbal dan fisik
(Ketner et al., 1995).

3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


1) Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat bebrapa teori yang dapat menjelaskan
tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan diantaranya sebagai berikut:
 Teori Biologik
Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut:
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timhulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif.
b. Pengaruh biokimis, menurut Goldten dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epineprin, neropineprin, dopamine,
asetilkolin dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hornon androgen dan
norepineprin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan
serebrospinal merupakan faktor predisposisi yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sagat erat kaitannya
dengan genetik termasuk genetik tipe katiotipe XYY, yang umumnya
dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal (narapidana).
d. Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak, (khususnya pada limbik dan lobus
temporal), trauma otak, penyakit enssefalitis, epilepsy, (epilepsy lobus
temporal) terbukti berpengaruh perilaku agresif dan tindak kekerasan.
 Teori psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan dapat membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga
diri pelaku tindak kekerasan
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang di
pelajari, individu yang memilki pengaruh biologik terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal
dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
 Teori sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.
 Internal adalah semua faktor yang depat menimbulkan kelemahan,
menurunnya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol, dan lain-lain.
 Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis,
dan lain-lain.
Neburut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut:
 Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
 Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu.
 Ketidakpastian seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa
 Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat
dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa
frustasi.
 Kematian anggota yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

4. Tanda dan Gejala


1) Fisik: mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2) Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
3) Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/ orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
4) Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan
dan menuntut.
5) Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata sarkasme.
6) Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keraguan-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat.
7) Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran
8) Perhatian: bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

5. A. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang dikaji


Masalah keperawatan Data yang perlu di kaji
Perilaku kekerasan Subjektif:
 Klien mengancam
 Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
 Klien mengatakan dendam dan jengkel
 Klien mengatakan ingin berkelahi
 Klien menyalahkan dan menuntut
 Klien meremehkan
Objektif:
 Mata melotot/pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Wajah memerah dan tegang
 Postur tubuh kaku
 Suara keras

B. Pohon Masalah (Gambar Pohon Masalah)


Resiko tinggi menciderai diri, orang lain, dan lingkungan

Halusinasi Perilaku kekerasan Pps: halusinasi

regimen terapeutik
inefektif regimen terapeutik
inefektif
regimen terapeutik
inefektif
Koping keluarga
Tidak efektif

6. Diagnosa Keperawatan
Perilaku kekerasan

7. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Rencana tindakan keperawatan untuk klien.
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
 Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
 Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
 Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
 Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
 Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan
 Membantu klien mempraktikan latihan cara mengontrol fisik I
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien.
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klien
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara meminum obat
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Tindakan keperawatan untuk klien.
 Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di masa
lalu dan saat ini
 Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
 Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik
kekerasan fisik, psikologis, sosial, spiritual maupun lingkungan
 Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang bisa dilakukan pada saat
marah baik terhadap diri sendriri, orang lain maupun lingkungan
 Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya
 Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara
fisik(pukul kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obatan, sosial,
verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun
spiritual (shalat atau berdoa sesuai keyakinan klien)
2) Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dialami
klien beserta proses terjadinya.
 Menjelaskan cara-cara merawat klien perilaku kekerasan.
Strategi pelaksaan 2 (SP 2) untuk keluarga.
 Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien perilaku kekerasan.
 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien perilkau kekerasan.
Strategi pelaksaan 3 (SP 3) untuk keluarga.
 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat.
 Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
Tindakan keperawatan untuk keluarga.
 Diskusikan bersama keluarga masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien
 Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi penyebab,
tanda dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku kekerasan
 Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan
a) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melkukan tindakan
yang telah diajarkan oleh perawat
b) Ajarkan keluarga untuk membrikan pujian kepada klien bila anggota
keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat
c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila klien
menunjukan gejala-gejala perilaku kekerasan
Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera dilaporkan
kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.

8. Referensi Laporan Pendahuluan


Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai