Disusun Oleh
UNIVERSITAS NGUDI
WALUYO TAHUN 2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan
rahmatnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Setiap
pembahasan dibahas secara sederhana sehingga mudah dimengerti.
Dalam penyelesaian Makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang.
Namun, pada akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswi yang masih dalam proses
pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
positif, guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan
datang.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................3
B. Tujuan...................................................................................................... 3
C. Manfaat.................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi......................................................................................................4
B. Angka Kejadian.........................................................................................4
C. Etiologi...................................................................................................... 8
D. Patogenesis................................................................................................ 9
E. Gejala Klinis..............................................................................................11
F. Diagnosis...................................................................................................11
G. Pencegahan................................................................................................15
H. Komplikasi.................................................................................................16
I. Prognosis....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu
penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an.
Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin
terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang
belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang
bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju.
Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan,
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis diharapkan
tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan.
B. Tujuan Penulisan
C. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai penyakit
pertussis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun
1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.
Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik
dan paroksimal disertai nada yang meninggi , karena penderita berupaya keras untuk
menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop),
sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali
menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari
batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak
(whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang
intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap
orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan
kekebalan yang menurun.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan
morbiditas penyakit ini mulai menurun.
B. Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60
juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-
vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular
pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen
adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun.
Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan
sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai
semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda
ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 0.9:1. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi
antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan
proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara
bersama sampai 27%.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat
mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di
negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan
pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis
menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah
sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1976.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah
diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan
pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua
dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.
Gambar 1: Peta persebaran pertusis pada tahun 1990, 2000, 2010
Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak peneliti
mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai insinden lebih
tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini dihubungkan dengan tingkat
kekebalan.
C. Etiologi
D. Patogenenis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit
ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari
setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara
sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan.
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-
cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali
batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai
pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau
tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi,
apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan
nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis
pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena
respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%
pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada
binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang
tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan
klinisnya tidak dibenarkan.
H. Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-
anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens
infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B.
pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,
anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian
asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk
selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi
berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis.
Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati
dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3
hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 0C
dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral
selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga
diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi
gejala-gejala penyakit.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai
batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.
I. Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak B.
pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).
J. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio
kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase
rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi
pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan
kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.
BAB III
PENUTUP
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough adalah batuk yang sangat berat
atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa
dengan kekebalan yang menurun.
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta
kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin
tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak
di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi
kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal
berulang dan stridor inspiratori memanjang, ” batuk rejan”.
Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik minotil kecil dan tidak
membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa
didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam
pada agar media Bordet – Gengou. Bordetella pertussis menghasilkan toksin pertusiss (TP).
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi
insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit.
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan
menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak. Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu
kataral, paroksismal, dan konvalesen. Pada tahap paroksismal mulai timbul dalam waktu 10-
14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam
dengan pada tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.
181: 960-965.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 29 Mei 2013
dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.
7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-
1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19.
8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone,
Philadelphia. p.2701..
9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.
12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria,
and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33..
14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm
15. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson
Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 – 965
16. Jackson D.W and Rohani Pejman, Perplexities of Pertussis: recent global
epidemiological trends and their potential causes. Cambridge University Press 2013.
Epidemiol infect. Page1 of 13.
17. Moerman L, et al. The re-emergence of pertussis in Israel. Israel Medical Association
Journal. 2006; 3. 308-311
18. Shinall MC, et al. Potential impact of acceleration of the pertussis vaccine primary
series for infant. Pediatrics. 2008; 122: 1021-1026
19. Mooi FR. Bordetella pertussis and vaccination: the persistance of a genetically
monomorphic pathogen Infection. Genetics and Evolution. 2010; 10: 36-49