RUPTUR URETRA
Disusun oleh :
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Ruptur
Uretra”, yang penulis ajukan untuk melengkapi tugas stase di bagian Bedah Urologi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Konsulen
Sub Bagian Ilmu Bedah Urologi sebagai pembimbing penulis yang telah memberikan
waktu dan kesempatannya untuk membimbing dalam proses penulisan makalah ini
hingga penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Penulis akhirnya
mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian makalahini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Anatomi Uretra .............................................................................. 1
1.2 Definisi ........................................................................................... 3
1.3 Epidemiologi .................................................................................. 3
1.4 Klasifikasi .......................................................................................... 4
1.5 Etiologi ............................................................................................... 6
1.6 Faktor Resiko ..................................................................................... 7
1.7 Patofisiologi ....................................................................................... 7
1.8 Manifestasi Klinis .............................................................................. 8
1.9 Diagnosis........................................................................................ 8
BAB II TATALAKSANA .................................................................................. 11
2.1 Trauma Uretra Laki-laki ................................................................ 11
2.2 Trauma Uretra Perempuan ............................................................. 14
BAB III KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS .................................................... 16
3.1 Komplikasi..................................................................................... 16
3.2 Prognosis ........................................................................................ 16
BAB IV PENCEGAHAN .................................................................................... 17
BAB V KESIMPULAN ..................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Aliran darah venous menuju pleksus venosus prostaticus dan ke vena pudenda
interna. Aliran limfe dari uretra pars prostatika dan pars membranosa dibawa oleh
pembuluh-pembuluh limfe yang berjalan mengikuti vasa pudenda interna menuju
lymphonodus iliaca interna (Sebagian besar) dan ke lymphonodus iliaca eksterna
(Sebagian kecil). Aliran limfe dari uretra pars spongiosa, Sebagian besar dibawa
menuju lymphonodus inguinalis profunda dan sebagian besar dibawa menuju ke
lymphonodus iliaca interna. Uretra pars prostatica menerima persarafan dari
pleksus nervosus prostaticus. Uretra pars membranosa dipersarafi oleh nervus
cavernosus penis, pars spongiosa dipersarafi oleh pleksus nervosus vesicalis dan
pleksus nervosus uretrovaginalis, dan pars kaudalis dipersarafi oleh nervus
pudendus.(2)
Pada uretra terdapat fingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
vesica urinaria dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan antara uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas
otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga pada saat vesica urinaria
penuh, sfingter ani terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris yang
dipersarafi oleh system somatic yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan
seseorang. Pada saat miksi, sfingter ani terbuka dan tertutup saat menahan
2
kemih.(2)
Panjang uretra pada pria sekitar 8 inci (20 cm), sedangkan pada wanita
sekitar 11/2 inci (4 cm) dengan diameter 8 mm, yang berada dibawah simfisis
pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Perbedaan Panjang inilah yang
menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urin lebih sering terjadi pada pria.
Di dalam uretra bermuara kelenjar pariuretra, diantaranya adalah kelenjar skene.
Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri
atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan otot levator ani
berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di dalam vesica urinaria pada
saat muncul perasaan ingin berkemih. Miksi terjadi jika tekanan intravesica
melebihi tekanan intrauretra yang mengakibatkan terjadinya kontraksi otot
detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.(1)
1.2 Definisi
Ruptur uretra merupakan salah satu kegawatdaruratan urologi dimana
terjadi kerusakan kontinuitas uretra yang dapat disebabkan oleh ruda paksa
yang datang dari luar (baik patah tulang panggul, “Straddle injury”) atau dari
dalam (seperti kateterisasi, tindakan-tindakan melalui uretra). Dalam menegakkan
kasus ruptur uretra dapat dicurigai jika terdapat adanya riwayat meknisme
terjadinya trauma sekitar area perut bawah atau selangkangan. Hal tersebut
disertai dengan gejala klinis berupa keluhan berkemih, hingga hilangnya
kemampuan untuk berkemih. Kecurigaan tersebut harus dapat diikuti dengan
konfirmasi dari pemeriksaan fisik dan penunjang. (3,4)
1.3 Epidemiologi
Data epidemiologi yang ada kebanyakan hanya mencatat kejadian cedera
uretra, namun tidak spesifik untuk ruptur uretra. Cedera uretra paling sering
disebabkan oleh iatrogenik seperti pembedahan atau pemasangan kateter urine.
Kejadian striktur uretra 32% terkait kateterisasi, 2.2-9.8% terkait operasi trans-
uretra (transurethral resection of the prostate/TURP maupun transurethral
resection of the bladder/TURB), 6% terkait radioterapi, 0.5-32% terkait
prostatektomi radikal.(5)
3
Sebuah publikasi tahun 2011 melaporkan insidensi ruptur uretra sekitar
3.5-28.8% pada pasien laki-laki dengan fraktur pelvis. Belum ada data
epidemiologi mengenai ruptur uretra di Indonesia.(6)
Cedera uretra pada dasarnya tidak mengancam nyawa secara langsung,
namun kondisi medis (trauma) lainnya yang terjadi bersamaan yang sering kali
membahayakan nyawa fraktur pelvis dan perdarahan internal, trauma toraks,
abdomen, maupun spinal. Namun, jika tidak ditangani secara adekuat,
ekstravasasi urine yang terjadi dapat menyebabkan infeksi, sepsis, uremia, bahkan
kematian.(5)
Publikasi tahun 2011 menyatakan bila dibiarkan tanpa penatalaksanaan,
infeksi sekunder akan terjadi dalam 2 minggu, diikuti dengan kematian dalam 2
minggu berikutnya.(7)
4
Gambar 2. Klasifikasi Goldman(9)
Terdapat beberapa sistem klasifikasi untuk cedera uretra, salah satunya adalah
sistem Goldman (Gambar 1). Sistem klasifikasi Goldman merupakan klasifikasi
mekanik anatomi terpadu dari ruptur uretra yang paling umum digunakan, terdiri
dari lima tipe, yaitu:(10)
• Tipe 1 : Uretra posterior meregang tapi utuh
• Tipe 2 : Cedera uretra posterior murni dengan robekan uretra membranosa
di atas diafragma urogenital (UGD); sebagian atau lengkap
• Tipe 3 : Kombinasi cedera uretra anterior dan posterior dengan
keterlibatan UGD; sebagian atau lengkap
• Tipe 4 : Cedera leher kandung kemih dengan ekstensi ke uretra
• Tipe 4a: Cedera pangkal kandung kemih dengan ekstravasasi periuretra
• Tipe 5 : Cedera uretra anterior murni; sebagian atau lengkap
Klasifikasi lain yaitu berdasarkan American Association for the Surgery of
Trauma (AAST) diketahui berguna untuk mengetahui derajat cedera uretra dan
memiliki keuntungan karena tidak tergantung pada anatomi.(9)
5
Gambar 3. Klasifikasi AAST(9)
1.5 Etiologi
Etiologi ruptur uretra dibagi menjadi etiologi iatrogenik dan
noniatrogenik. Penyebab iatrogenik seperti pembedahan prostat lebih sering
terjadi. Etiologi tersering ruptur uretra adalah akibat iatrogenik, seperti tindakan
kateterisasi, tindakan operatif transuretra, serta radiasi/pembedahan prostat.
Etiologi noniatrogenik tersering untuk cedera/ruptur uretra anterior yaitu trauma
tumpul, sementara ruptur uretra posterior terkait fraktur pelvis (72%).
Etiologi noniatrogenik ruptur uretra anterior, antara lain:(5)
1. Trauma tumpul; tersering pada pars bulbosa akibat straddle injury (cedera
pada posisi mengangkang, misalnya benturan pada
selangkangan/perineum)
2. Penile fracture (10-20%); umumnya terjadi secara tidak sengaja saat
sedang berhubungan seksual
3. Trauma tembus: umumnya akibat luka tembak
4. Masuknya benda asing; umumnya akibat tindakan seksual yang salah atau
adanya kelainan psikiatrik.
Etiologi noniatrogenik ruptur uretra posterior, antara lain:(7)
1. Fraktur pelvis (72%); tersering akibat kompresi lateral pada gelang
panggul
2. Kecelakaan kendaraan bermotor (68-84%); baik pengemudi, penumpang,
atau yang tersering pejalan kaki
3. Jatuh dari ketinggian (6-25%) atau direct crushing injury.
6
1.6 Faktor Resiko
Trauma uretra dapat disebabkan trauma tumpul, trauma tajam, atau trauma
iatrogenik. Penyebab cedera uretra biasanya dapat dibagi lagi menjadi cedera
anterior atau posterior. Dengan beberapa pengecualian, cedera anterior melibatkan
mekanisme crushing, sedangkan cedera posterior melibatkan mekanisme sheering
forces. Cedera uretra anterior lebih sering terjadi pada trauma kendaraan
bermotor, straddle injury, dan trauma tumpul / tembus seperti pada luka tembak
dan luka tusuk, sedangkan fraktur pelvis dan etiologi iatrogenik lebih sering pada
cedera uretra posterior. Cedera iatrogenik sekunder akibat kateterisasi yang tidak
tepat dan instrumentasi transurethral adalah penyebab paling umum di seluruh
dunia. Penyebab trauma uretra lainnya adalah perilaku seksual, fraktur penis, dan
stimulasi intralumen uretra.(9)
1.7 Patofisiologi
Ruptur uretra sering terjadi bila seorang penderita patah tulang panggul
karena jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Ruptur uretra dapat dibagi menjadi 2
yaitu:(5)
1. Ruptur uretra posterior
2. Ruptur uretra anterior
Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur pelvis. Akibat fraktur
tulang pelvis terjadi robekan pars membranaseae karena prostat dan uretra
prostatika tertarik ke cranial bersama fragme fraktur. Sedangka uretra
membranaseae terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat
terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum puboprostatikum robek, sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke
cranial.(5)
Ruptur uretra anterior atau cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh
terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras seperti
batu, kayu atau palang sepeda dengan tulang simpisis. Cedera uretra anterior
selain oleh cedera kangkang juga dapat di sebabkan oleh instrumentasi urologik
seperti pemasangan kateter, businasi dan bedah endoskopi. Akibatnya dapat
terjadi kontusio dan laserasi uretra karena straddle injury yang berat dan
7
menyebabkan robeknya uretra dan terjadi ekstravasasi urine yang biasa meluas ke
skrotum, sepanjang penis dan ke dinding abdomen yang bila tidak ditangani
dengan baik terjadi infeksi atau sepsis.(5)
1.9 Diagnosis
1.9.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Ruptur uretra posterior
Ruptur uretra posterior harus dicurigai jika terdapat tanda fraktur pelvis.
Perdarahan per uretra merupakan tanda utama dari rupture uretra posterior,
ditemukan pada 37%-93% penderita dengan cedera urethra posterior. Dengan
timbulnya darah, setiap instrumentasi terhadap urethra ditunda sampai
keseluruhan urethra sudah dilakukan pencitraan (uretrografi). Darah di
introitus vagina ditemukan pada 80% penderita perempuan dengan fraktur
pelvis dan cedera urethra.(11)
Retensi urin pada pameriksaan Rectal Toucher didapatkan floating prostat
yakni prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma
urogenital.(11)
2. Ruptur uretra anterior
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis.
8
Korpus spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh
fasia Buck dan fasia Colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus
spongiosum darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia
Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun
jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh
fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding
abdomen. Oleh karena itu, robekan ini memberikan gambaran seperti
kupu- kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-
kupu.(11,12)
Gambar 4. Ruptur uretra pars anterior dengan perdarahan per uretra hematom
kupu-kupu
9
10
BAB II
TATALAKSANA
2.1 Tatalaksana(13)
Tatalaksana awal kegawatdaruratan bertujuan untuk menstabilkan kondisi
pasien dari keadaan syok karena perdarahan; dapat berupa resusitasi cairan dan
balut tekan pada lokasi perdarahan.Pemantauan harus dilakukan pada hidrasi
agresif. Selanjutnya, drainase urin harus segera dilakukan karena
ketidakmampuan berkemih. Pemantauan status volume serta drainase urin
membutuhkan pemasangan kateter uretra, namun pemasangan kateter uretra
masih kontoversial mengingat risiko ruptur inkomplit menjadi komplit karena
prosedur pemasangannya. Diversi dengan kateter suprapubik lebih disarankan.
11
Gambar 5. Algoritma manajemen ruptur uretra anterior laki-laki(5)
12
pemasangan kateter suprapubik. Jangka waktu 3-6 bulan dianggap cukup
untuk menunda operasi sambil menunggu terbentuknya jaringan parut
yang stabil dan penyembuhan luka. Tindakan berdasarkan saatnya dibagi
menjadi: 13
Segera: <48 jam setelah trauma
Primer ditunda: 2 hari- 2 minggu setelah trauma
Ditunda: >3 bulan setelah trauma.
• Trauma Tajam
Eksplorasi segera melalui retropubis dilanjutkan dengan perbaikan
primer atau realignment endoskopik dilakukan setelah pasien dalam
kondisi stabil, dan pada rupture komplit yang disertai cedera leher buli
atau rektal. Stenosis uretra anterior dapat terbentuk walaupun realignment
endoskopik berhasil. Pada pasien tidak stabil atau gagal operasi, EAU dan
AUA merekomendasikan diversi suprapubik dilanjutkan dengan tindakan
uretroplasti. Uretroplasti dilakukan tidak lebih dari 14 hari setelah trauma
untuk mencegah diversi suprapubik yang terlalu lama. Uretroplasti dapat
dilakukan dalam 2 minggu setelah trauma, jika defek pendek dan pasien
dapat diposisikan litotomi.
13
Gambar 6. Algoritma manajemen ruptur uretra posterior laki-laki(5)
14
Gambar 7. Algoritma manajemen ruptur uretra wanita(5)
15
BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
3.1 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada ruptur uretra dapat berupa komplikasi segera
atau komplikasi lambat. Komplikasi segera mencakup infeksi sekunder, formasi
abses, hingga mencapai keadaan yang ekstrem seperti gangren fourniers.
Komplikasi lambat yang dapat terjad berupa striiktur uretra dan stenosis,
obliterasi lumen uretra, formasi fistula uretrokutan, inkontinensia urin, dan
disfungsi ereksi. Cedera yang ditimbulkan oleh iatrogenik menyebabkan ruptur
uretra parsial dan merupakan jenis yang paling sering menimbulkan komplikasi di
atas.(8)
Adapun komplikasi dari pelvic fracture urethral injury (PFUI) adalah
terjadinya formasi striktur, fistua uretrokutaneus, disfungsi ereksi, inkontinensia
urin, dan nyeri. Pasien harus diobservasi selama satu tahun menggunakan
uroflowmetri, uretrogram retrogade, dan atau sistoskopi.(14)
3.2 Prognosis
Cedera pada uretra umumnya tidak mengancam jiwa namun seringnya
berkaitan dengan cedera traumatik lainnya baik cedera tajam maupun cedera
tumpul yang dapat menyulitkan pengobatan. Prognosis umumnya baik, namun
beberapa pasien mengalami sekuele jangka panjang, ruptur uretra yang terjadi
pada anak-anak memiliki prognosis yang cukup sulit karena jaringannya tidak
begitu berkembang sehingga memiliki vaskularisasi yang lebih sedikit. Prognosis
terkait fungsi seksual dan kontinensia pada anak harus ditinjau kembali ketika
anak memasuki fase pubertas.(8,14)
Prognosis ruptur uretra pada dewasa adalah maginal, bergantung pada
proses repair segera, dini, atau lambat. Pasien yang mendapat tindakan
realignment segera atau dini mengalami striktur sebanyak 53% dan inkontinensia
sebanyak 3%, serta disfungsi ereksi sebanyak 36%. Pasien yang menjalami
kateterisasi suprapubik dan repair yang terlambat mengalami striktur sebanyak
97%, inkontinensia sebanyak 4%, dan disfungsi ereksi sebanyak 19%.(8)
16
BAB IV
PENCEGAHAN
17
BAB V
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19
13. Kusumajaya C. Diagnosis dan Tatalaksana Ruptur Uretra. Cdk-264.
2018;45(5):340–2
14. Doiron C, Rourke KF. An Overview of Urethral Injury. Can Urol Assoc j.
2019;13:61–6
15. Kilgore LC. Shingleton HM. Recognizing injuries to the urinary tract. Dalam
Sanz LE. ed Gynecologic surgery 2 th ed. Massachusetts : Blackwell Sciene,
1995, 317-323
20