Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK 6

SKENARIO 2

“Dadaku Berdebar-debar”

NAMA KELOMPOK :

Nadia Hidayati (6130018047)

Firda Ellysa Rifayanti (6130018048)

Reghina Salsabila Ayuantia N (6130018049)

Moch. Hilmi Nizar Defriansyah (6130018050)

Muhammad Farhan Andi Pratama (6130018051)

Zulvatunnada (6130018052)

Fitria Agustina (6130018053)

Elrica Lydia Safitri (6130018054)

Muhammad Dimas Assegaf (6130018055)

TUTOR :

Dr. Bastiana Bermawi, SpPK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2020
LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

No
Materi yang dinilai Prosentase Nilai
.
1. Ketepatan pemilihan kata kunci dalam peta konsep 25%  
2. Kesesuaian hubungan kata kunci dalam peta konsep 25%  
Kesesuaian jawaban learning objective dengan kasus
3. 25%  
scenario
4. Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%  

Dosen Pembimbing

Dr. Bastiana Bermawi, SpPK


Skenario 2 “Dada ku berdebar”

Ny. Tatung 35th, datang ke RS dengan keluhan benjolan di leher sejak 5 hari yanglalu. Keluhan
disertai dengan dada sering berdebar-debar, sering berkeringat. Pasien juga merasa nafsu makannya
meningkat namun berat badan tidak dapat naik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 130/90 mmHg,
Hr 100x/mnt dengan irama irreguler, RR 20x/mnt, suhu 36.8 ̊C. pada pemeriksaan Kepala leher
didapatkan exopthalmus (+). pada pemeriksaan status lokalis teraba benjolan merata hampir di seluruh
leher konsistensi lunak, berbatas tegas, bergerak jika menelan, nyeri tekan (-), vaskularisasi
meningkat. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan TSH menurun. Pemeriksaan USG : nodul solid
semikistik, uk.5 cm, hipovaskuler tdk tmpk kalsifikasi. Hasil pemeriksaan FNAB hapusan cukup sel
dgn sebaran sel sel epitel folikel dgn ltr belakang bahan koloid.

STEP 1 (KATA SULIT)


1. Exopthalmus : kondisi salah satu atau kedua bola mata yang menonjol keluar
2. Hipovasculer : munculnya satu atau dua pembuluh darah di permukaan tumor.
3. Kalsifikasi : merujuk pada lintasan metabolisme yang merekatkan senyawa kalsium
pada pembuluh darah atau organ jaringan.
4. TSH : hormon yang dihasilkan hipofisis anterior untuk stimulasi
perkembangan kelenjar tiroid.
5. Irreguler : tidak teratur.
6. Vaskularisasi : proses pembentukan pembuluh darah secara normal atau berlebihan.
7. Koloid : campuran heterogen dari beberapa zat yang tersebar merata dalam
suatu medium.
STEP 2 KATA KUNCI
1. Ny Tatung 35th
2. Benjolan di leher sejak 5 hari
3. Keluhan penyerta (Dada sering berdebar-debar,sering berkeringat,nafsu makan meningkat,
BB tidak bisa naik)
4. Pemeriksaan fisik (TD 130/90mmhg,HR 100x/menit irama ireguler,RR 20x/menit,suhu
36,8c )
5. Pemeriksaan lab ( TSH turun)
6. Pemeriksaan USG ( nodul semikistik 5cm,hipovaskuler, tanpa kalsifikasi)
7. Peemeriksaan status lokalis (benjolan merata hampir di seluruh leher konsistensi lunak,
berbatas tegas, bergerak jika menelan, nyeri tekan (-), vaskularisasi meningkat)
8. Pemeriksaan FNAB (hapusan cukup sel dgn sebaran sel sel epitel folikel dgn ltr belakang
bahan koloid.)
9. Pemeriksaan kepala leher ( exopthalmus + )
STEP 3 (RUMUSAN MASALAH)
1. Mengapa sering berkeringat?
2. Megapa pasien berdebar debar tapi tidak diserrtai nyeri dada?
3. Apa penyebab benjolan di leher?
4. Mengapa irama jantung irreguler?
5. Bagaimana proses patogenesis benjolan di leher?
6. Apakah hubungan penurunan TSH dengan timbulnya benjolan pada leher?
7. Apa penyebab terjadinya peningkatan nafsu makan tanpa disertai kenaikan berat badan
pada pasien ini?
8. Apa penyebab terjadinya exopthalmus?
9. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik?

JAWABAN RUMUSAN MASALAH

1. karena hormon tiroid akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga hal tsb dapat menyebabkan
peningkatan metabolisme basal dengan suhu tubuh hingga 2x lipat dan ketika hal itu terjadi
pasien dapat berkeringat berlebihan.

2. kondisi peningaktan hormon tiroid akan menyebabkan peningkaan metabolisme sel sehingga nadi
meningkat, sehingga takikardi dan terasa berdebar debar. Nyeri negatif karena tidak ada
inflamasi.

3. karena terjadi peningkatan hormon tiroid sehingga kelenjar membengkak karena sedang aktif
mensintesis.

4. efek ionotropikyang langsung dari hormon tiroid yang keluar secara berlebihan sehingga
meningkatkan rasio ekskresi rantai panjang alfa dan beta sehingga otot jantung kontraksii lebih
cepat.

5. diagnosis pembesaran di leher TSH turun sehingga bisa disimpulkan sementara pasien
Hipertiroidisme, hipertiroidisme dibagi jadi 2 yaitu

a. hipertiroidisme dengan radioidine normal ;


1. Grave disease – Ig salah reseptor

2. toxic adenoma – hambatan reseptor TSH

3. excess iodine – akan menggeser prmbentukan hormon tiroid semakin banyak

b. hipertiroidime dengan absen radioiodine :

1. konsumsi hormon tiroid

6. TSH turun kearena ada Ab Ig yang disebut TSI yang memiliki reseptor sama dengan TSH
kemudian tingginya TSI mmerangasng aktivasi CAMP dalam sel yang menyebabkan
hipertiroidisme benjolan di leher

7. asupan glukosa dalam darah menurun akibat metabolisme basal meningkat , sehingga merangsang
glikolisis akhornya glukosa darah turun, TNM pada otak untuk merangsang nafsu makan
sehingga nafsu makan meningkat. Lipolisis dan proteolisis berlebihan menyebababkan
pemecahan lemak sehingga terjadi susah naik berat badan.

8. kelebihan hormon tirotiropin serta akibat paparan janka panjang dari TSH menyebabkan
penambhan lemak retrobulber dan infiltrasi limfosit.terdapat reaksi imun terhadap Ag retrobulbar
akibatnya inflamasi retrobulbar dengan pembengkakan otot,infitrlsi limfosit, akumulasi asam
mukopolisakarida dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar.

9. TD 130/90 naik, HR normal, RR normal, suhu normal

HIPOTESIS
Pembesaran kelenjar tiroid karena terjadi peningkatan sintesis hormon tiroid
menimbulkan gejala benjolan di leher dan tanda dada berdebar tapi tidak nyeri,nafsu makan
meningkat tanpa disertai peningkatan berat badan. Untuk mengakkan diagnosis dapat dilaukan
pemeriksaan fisik, fisik kepala leher dan pemeriksaan penunjang USG,FNAB, dan
laboratorium. Diduga pasien mengalami hipertiroidisme. Diberi terapi dan jika tidak ditangani
dengan cepat akan menyebabkan komplikasi, oleh karena itu,pasien diharap agar bertawakal
dan optimis untuk kesembuhan penyakitnya.
STEP 4 ( MIND MAPPING)
STEP 5 (LEARNING OBJECTIVE)
1. Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi , patolgi dan biomolekuler
2. Menjelaskan patologi dan biomolekuler terjadinya benjolan pada kasus di atas.
3. Menganalisis patofisiologi keluhan pasien
4. Mengetahui patologi dan klasifikiasi pada kasus diatas
5. Menerapkan prinsip sakit dan penegakkan diagnostik berdasarkan riwayat penyakit
6. Ilmu patologi dalam penetapan pemeriksaan penunjang dan lanjutan
7. Iilmu kedokteran pencegahan,ilmu kedokteran islami dan farmakologi dalam tatalaksana
secara definitif, informatif dan symtomatif

STEP 7 (JAWABAN LEARNING OBJECTIVE)

1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi,etiologi, dan epidemiologi Penyakit Graves

DEFINISI

Penyakit graves penyakit autoimun yang ditandai oleh hipertiroidisme karena


autoantibodi yang beredar. Immunoglobulin yang menstimulasi tiroid (TSI) mengikat dan
mengaktifkan reseptor thyrotropin, menyebabkan kelenjar tiroid tumbuh dan folikel tiroid
meningkatkan sintesis hormon tiroid. Penyakit Grave, bersama dengan Hashimoto tiroiditis,
diklasifikasikan sebagai kelainan tiroid autoimun. (Kumar,2013)

ETIOLOGI

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan thyroid-
stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor
(TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves
berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti
hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy.
(Antonelli,2020)
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita
mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50%
dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan auto antibodi tiroid didalam darahnya.
Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi
pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.
(Yeung,2018)
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin, periode post
partum, kromosom X, dan radiasi eksternal.
1) Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara mengelompok
dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan
pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besarnya dalam
beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang
abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita
penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.
Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memproduksi
immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam mengatur fungsi limfosit
T-supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan
limfosit B untuk membuat TSAb.

2) Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ spesifik,
yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid (thyroid
stimulating antibody atau TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a) persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
b) diwariskannya HLA khusus dan gen lain yang berespon immunologik khusus
c) rendahnya sel T dengan fungsi supresor
d) adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
e) adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi
f) stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T
g) adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Keadaan normal sistem imun tidak bereaksi atau memproduksi antibodi yang
tertuju pada komponen tubuh sendiri yang disebut mempunyai toleransi imunologik
terhadap komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan sistem imun mulai bereaksi
terhadap komponen diri maka mulailah proses yang disebut autoimmunity. Akibatnya
ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen tubuh, dan terjadilah
penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode prenatal. Toleransi diri ini dapat
berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai faktor, misalnya gangguan faktor
imunologik, virologik, hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat
berefek secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi
dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya seringkali
autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan. (Antonelli,2020)
Pada penyakit Graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang
biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya TSAb,
Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons
CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb. Setelah terikat
dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH dan merangsang
adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu reseptor TSH pada setiap sel tiroid.
Kecuali berbeda karena efeknya yang lama, efek seluler yang ditimbulkannya identik
dengan efek TSH yang berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan
transfer pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi
hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya
pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya
TSAb dapat disebabkan oleh:
a) Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi yang dapat
bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak diteliti adalah
organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini mempunyai
binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit graves juga
menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.
b) Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal komponen
tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik, sehingga
bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.
c) Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim
tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan
mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-
menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi
karena rangsangan interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper
inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit Graves adalah kondisi
autoimmun dimana terbentuk antibodi terhadap reseptor TSH. Penyakit graves adalah
gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi dengan faktor endogen dan
faktor lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan
HLA-DR juga gen non HLA seperti TNF-β, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen
4), dan gen reseptor TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor
infeksi.
3) Trauma Psikis
Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan konversi dari
T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid
justru turun. Secara teoritis stres mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper,
meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress
akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific
mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.
4) Radiasi Tiroid eksternal
Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah mengalami radioterapi
daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis radiasi ini yang merusak kelenjar
tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta menyulut
penyakit tiroid autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam pada subset sel T,
yang mendorong disregulasi imun.
5) Chorionic Gonadothropin Hormon
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh jaringan
trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara imunologik cross-
react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG (yang mempunyai sub unit
alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG. Secara klinis gejala tirotoksikosis ini
terlihat pada hyperemesis gravidarum, dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai
menurunnya TSH, kalau hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila
muntahnya berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal.

EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi
penyakit Graves’ di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat Sebuah studi yang dilakukan di
Olmstead Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-kira 30 kasus per 100.000 orang per
tahun . Prevalensi tirotoksikosis pada ibu adalah sekitar 1 kasus per 500 orang. Di antara
penyebab tirotoksikosis spontan, penyakit Graves’ adalah yang paling umum 3 . Penyakit
Graves’ merupakan 60-90% dari semua penyebab tirotoksikosis di berbagai daerah di dunia.
Dalam Studi Wickham di Britania Raya, dilaporkan 100-200 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. Insidensi pada wanita di Inggris telah dilaporkan 80 kasus per 100.000 orang per tahun.
Pada populasi umum prevalensi gangguan fungsi hormon tiroid diperkirakan 6%
(Antonelli,2020)
Penyakit Grave’s sering dijumpai pada wanita muda berusia 40-60 tahun. Jika tidak
diobati, penyakit Graves dapat menyebabkan tirotoksikosis parah. Krisis tirotoksik yang
mengancam jiwa (yaitu, Thyroid Storm) dapat terjadi. Tirotoksikosis berat yang berlangsung
lama menyebabkan penurunan berat badan yang parah dengan katabolisme tulang dan otot
Komplikasi jantung dan komplikasi psikokognitif dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan. Penyakit Graves juga dikaitkan dengan oftalmopati, dermopati, dan acropachy.
(Yeung,2018)
Thyroid storm adalah keadaan tirotoksikosis yang berlebihan. Penyakit ini terjadi pada
pasien yang mengalami tirotoksikosis yang tidak dikenali atau tidak diobati dengan baik dan
peristiwa pencetus superimposed seperti operasi tiroid, operasi nonthyroidal, infeksi, atau
trauma. Ketika thyroid storm pertama kali dijelaskan, angka kematian akut hampir 100%.
Dalam praktik saat ini, dengan terapi agresif dan pengenalan dini sindrom, angka kematian
sekitar 20% (Yeung,2018)

2. Mahasiswa dapat menjelaskan patologi dan biomolekuler terjadinya benjolan pada kasus di
atas.
Hipertiroidisme terjadi karena sintesis yang tinggi dari sekresi hormon tiroid. Graves
disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan hipertiroidisme. Graves
Disease(GD) adalah kelainan autoimun sistemik yang ditandai dengan infiltrasi sel T spesifik
antigen tiroid ke dalam thyroid stimulating hormone receptor (TSH-R) yang merupakan jaringan
penekan. Stimulasi autoantibodi (Ab) pada GD mengaktifkan TSH-R yang mengarah ke
hiperplasia tiroid dan produksi serta sekresi hormon tiroid yang tidak terkontrol. Diagnosis GD
langsung pada pasien dengan tirotoksikosis yang dikuatkan secara biokimia, TSH-R-Ab positif,
kelenjar tiroid yang hipervaskular dan hipoekoik (ultrasonografi), serta terkait dengan orbitopati
(Kahaly, 2018).

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan hormone tiroid. Hal ini
disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan TIH oleh Tiroid Stimulating Immunoglobulin
yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi hormone tiroid secara terus
menerus. Ketika produksi hormone tiroid telah dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan
memberikan umpan balik negative kepada hipotalamus untuk mengeluarkan TIH (Tiroid
Inhibiting hormone) yang akan menurunkan produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH
tidak akan memberikan efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh TSI
sehingga kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone tiroidnya. Ketika
dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone tiroid, maka akan didapatkan
hasil berupa peningkatan hormone T3 dan T4 tanpa adanya peningkatan hormone TSH
(Guyton, 2007)

Graves Disease adalah penyakit autoimun spesifik organ yang manifestasi utamanya adalah
karena sirkulasi autoanti-body (Ab) yang menstimulasi thyroid stimulating hormone
receptor(TSH-R) yang mengarah ke hipertiroidisme dan gondok. TSH-R menstimulasi Ab
yang sebagian besar berasal dari isotipe IgG1 dan berikatan dengan epitop diskontinyu dalam
domain kaya leusin pada domain ekstraseluler TSH-R, yang secara kasar dibatasi oleh asam
amino (Smith, 2016). Antibodi ini merangsang produksi hormon tiroid yang tidak terkontrol
oleh poros hipotalamus-hipofisis. Mengaktifkan antibodi meniru aksi thyrotropin pada
reseptornya melalui inisiasi yang serupa, tetapi tidak identik (Kahaly, 2018).

TSH-R juga berinteraksi dengan reseptor IGF1 (IGF1R) pada permukaan tirosit dan pada
fibroblast orbital, dengan interaksi TSH-R-Ab dengan TSH-R yang mengaktifkan jalur hilir
IGF1R dan pensinyalan TSH-R. Stimulasi TSH-R-Ab yang bersirkulasi mengikat pada TSH-R
meningkatkan produksi cAMP intraseluler, yang mengarah pada pelepasan hormone tiroid
dan pertumbuhan tirosit. Sekitar 30% pasien GD memiliki anggota keluarga yang juga
memiliki Graves Disease atau Tiroiditis Hashimoto. Studi lain menunjukkan bahwa 80%
kerentanan terhadap GD adalah genetik. Ada asosiasi mapan antara alel kompleks
histokompatibilitas utama dengan GD, dengan kerentanan dilakukan dengan haplotipe HLA-
DR3 dan HLA-DR4. Lokasi kerentanan lain di mana hubungan telah direplikasi termasuk yang
di sitotoksik T antigen-4 limfosit, protein tirosin fosfatase non-reseptor-22, faktor transkripsi
ritsleting leusin dasar 2, dan CD40.

Panel A menunjukkan model teoritis patogenesis penyakit Grave intrathyroidal. Imunoglobulin


yang menstimulasi tiroid memicu produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan
mengaktifkan reseptor thyrotropin, sehingga membatalkan peranpengaturan normal
trombositin. Selain itu, sel imun infiltrasi seperti Sel B dan T dan sel yang mempresentasikan
antigen menghasilkan steroid 1β, 6, dan 12; interferon-γ; faktor nekrosis tumor α; Ligan CD40;
dan sitokin lainnya. Sitokin ini, pada gilirannya, mengaktifkan dan mempertahankan
peradangan dan mengubah perilaku sel-sel epitel tiroid. Obat-obatan antitiroid dapat
menipiskan produksi hormon tiroid dan ekspresi sitokin intrathyroidal dan dengan demikian
memodulasi proses autoimun.

Panel B menunjukkan model teoritis patogenesis oftalmopati terkait tiroid. Orbit menjadi
diinfiltrasi oleh sel B dan T dan CD34 + fibrosit. Fibrosit yang diturunkan dari sumsum tulang
berdiferensiasi menjadi fibroblas CD34 +, yang selanjutnya dapat berdiferensiasi menjadi
miofibroblas atau adiposit. CD34 + fibroblas dapat menghuni orbit dengan perumahan
fibroblas CD34−. Semua sel ini dapat menghasilkan sitokin, tergantung pada sinyal molekuler
yang mereka temui di lingkungan mikro. Ini termasuk interleukin 1β, 6, 8, dan 16; faktor
nekrosis tumor α (TNF-α); RANTES (diatur pada aktivasi, sel T normal diekspresikan dan
disekresikan); dan ligan CD40. Sitokin ini, pada gilirannya, mengaktifkan fibroblas orbital.
Fibroblas CD34 + mengekspresikan reseptor tirotropin, tiroglobulin, dan antigen tiroid lainnya
dalam kadar rendah. Imunoglobulin yang menstimulasi tiroid mengaktifkan kompleks reseptor
thyrotropin-like growth factor 1 (IGF-1), yang mengarah pada ekspresi molekul inflamasi dan
sintesis glikosaminoglikan. Selain itu, immuno-globulin yang diarahkan melawan reseptor
IGF-1 dapat mengaktifkan pensinyalan dalam fibroblast orbital, yang mengarah pada produksi
sitokin dan hyaluronan. Fibroaktif sitokin mensintesis hyaluronan dan glikosamino-glikans
lainnya, yang memperluas jaringan orbital dan menyebabkan propresi dan kompresi saraf
optik. Selain itu, lemak orbital mengembang, mungkin sebagai konsekuensi dari adipogenesis.
MHC menunjukkan kompleks histokompatibilitas utama, dan TGF-β mentransformasikan
faktor pertumbuhan β (Smith, 2016).

GAMBARAN MIKROSKOPIK GRAVES DISEASE (Robbins, 2014)

Pada pembesaran rendah, hiperplasia tiroid ini ditandai dengan banyak lipatan papiler
(▶) dalam folikel. Ini adalah penyakit autoimun di mana autoantibodi terhadap reseptor TSH
merangsang pertumbuhan sel epitel folikel dan merangsang adenilat siklase untuk
meningkatkan produksi hormon tiroid. Ada hubungan dengan alel HLA-DR3. Seluruh kelenjar
tiroid menjadi diperbesar secara difus menjadi ukuran normal dua atau tiga kali lipat. Pasien
dapat mengalami kelebihan β-adrenergik dengan demam, diare, intoleransi panas, takikardia,
penurunan berat badan, tremor, dan kegugupan. Exophthalmos dan dermopati infiltratif
(myxedema pretibial) adalah fitur klinis yang khas dari penyakit Graves.
Pada perbesaran yang lebih tinggi, penampilan kolumnar yang tinggi dari sel epitel
folikel hiperplastik jelas. Vakuola kecil dan bening () muncul di sebelah setiap sel,
menunjukkan peningkatan proses koloid untuk menghasilkan peningkatan output hormon
tiroid yang mengarah ke hipertiroidisme. Umpan balik pada thyrotroph adenohypophyseal
menurunkan TSH serum, sedangkan serum T4 tinggi. Penyakit Graves dapat diobati dengan β-
blocker untuk mengurangi efek β-adrenergik, dengan obat antitiroid seperti propylthiouracil,
dan dengan tiroidektomi subtotal.

3. Mahasiswa mampu menganalisis patofisiologi pasien

Lebih dari 95% hipertiroidisme disebabkan karena morbus Grave (struma disfus
toksik) Dan morbus Plummer(struma nodusa toksik).Kalau morbus Grave disebabkan karena
proses autoimun,yang membuat TSI (Tyroid Stimulating Hormon) dan mengikat reseptor TSH
sel folikel.

Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga
kali dari ukuran normalnya,disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel
folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali
dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Hal ini menyebabkan pada pemeriksaan status
lokalis teraba benjolan merata, berbatas tegas, dan bergerak jika menelan.

Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
menyerupai TSH, biasanya bahan - bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang disebut
TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin) yang berikatan dengan reseptor membran yang
sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan -bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP
dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam,
berbeda dengan efek .

Pada keluhan pasien seperti dada berdebar debar dan juga sering berkeringat hal ini
dikarenakan saat terjadi hipertiroidisme laju metabolisme meningkat diatas normal sehingga
hormon tiroid akan bersifat kalorigenik. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang
ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps
saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan
terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita
mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal juga
merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler.

Saat hipertiroidisme terjadi, kelenjar tiroid dipaksa mensekresikan hormon hingga


diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel - sel sekretori kelenjar tiroid
membesar. Hal ini mengapa saat pemeriksaan fnab hapusan ditemukan sel sel epitel folikel yg
berlatar belakang koloid .(Ross, 2016)

Oksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai


daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.
Proptosis bola mata terjadi akibat adanya edema jaringan lunak di rongga orbita, sehingga
tekanan di dalam rongga orbita meningkat, dan sebagai mekanisme dekompresi bola mata
menonjol ke depan. Edema jaringan lunak terjadi di jaringan lemak dan otot ekstraokuler,
terutama rektus lateral dan medial, dan karena jumlah jaringan lemak lebih banyak daripada
otot sehingga dominasi edema berada di jaringan lemak. Usia dibawah 40 tahun memiliki
kecenderungan edema lebih banyak di jaringan lemak dibandingkan otot-otot ekstraokuler, dan
sebaliknya terjadi pada mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Tipe pembesaran pada otot
rektus lateral dan medial ini adalah “tendon sparing” yang berarti tidak terdapat pembengkakan
pada tendon bila dilihat dengan CT scan (dengan ataupun tanpa kontras) dan memberikan
gambaran khas tracking (gambaran seperti rel kereta api). (Bahn, 2010)

4. Mahasiswa mampu mengetahui klasifikasi pada kasus

Berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi 2. Yaitu

1. Hipertiroid primer : terjadinya hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid itu sendiri,
contohnya:
a. Penyakit grave
b. Functioning adenoma
c. Tocix multinodular adenoma
d. Tiroiditis
2. Hipertiroid sekunder : jika penyebab hipertiroid berasal dari luar kelenjar tiroid
a. Tumor hipofisis
b. Pemberian hormone tiroid dalam jumlah besar
c. Pemasukan iodium berlebihan
(Baradero,Marry,dkk)
Hipertiroid memiliki klasifikasi klinis dan subklinis. Hipertiroid klinis bila Kadar TSH
<0.3 mIU/L dan disertai dengan beberapa manifestasi klinis (Abdulraouf, 2011). Sedangkan
hipertiroid subklinis dikarakteristikkan dengan kadar TSH serum rendah yaitu <0.1 mIU/L
dengan level normal dari free T3 dan free T4. Penyebabnya sama dengan hipertiroid klinis,
hanya tambahannya, dapat disebabkan karena pengobatan hormon tiroid yang berlebihan pada
kejadian hipotiroid (Abdulraouf, 2011). Hipertiroid subklinis biasanya terjadi pada pengobatan
levothyroxine (obat pengganti hormon tiroid), penyakit Grave’s ringan, dan pada goiter
multinodular toksik yang ringan. (Nining Kurniawati. 2015)
Thamrin (2007) mengklasifikasikan hipertiroidisme menjadi empat bagian:
a. Goiter Toksik Difusa (Grave’s Disease)
Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh dimana
zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar tiroid untuk me
mproduksi hormon tiroid terus menerus. Grave’s disease lebih banyak ditemukan pada
wanita daripada pria, gejalanya dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia
20 – 40 tahun. Faktor keturunan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada si
stem kekebalan tubuh, yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.
b. Penyakit Tiroid Nodular (Nodular Thyroid Disease)
Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak disertai d
engan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya timbul seiring
dengan bertambahnya usia.
c. Subakut Tiroiditis
Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan mengakibatk
an produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah. Umumnya gejala meng
hilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.
d. Postpartum Tiroiditis
Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah melahirkan dan terjadi s
elama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara perlahan-lahan.
5. Menerapkan prinsip sakit dan penegakkan diagnostik berdasarkan riwayat penyakit

Tiroid merupakan kelenjar endokrin murni terbesar dalam tubuh manusia yang terletak
di leher bagian depan, terdiri atas dua bagian (lobus kanan dan lobus kiri). Panjang kedua lobu
s masing-masing 5 cm dan menyatu di garis tengah, berbentuk seperti kupu-kupu. Penyakit ata
u gangguan tiroid adalah suatu kondisi kelainan pada seseorang akibat adanya gangguan kelenj
ar tiroid, baik berupa perubahan bentuk kelenjar maupun perubahan fungsi.

Menurut kelainan bentuknya, gangguan tiroid dapat dibedakan dalam 2 bentuk :

1 Difus
Pembesaran kelenjar yang merata, bagian kanan dan kiri kelenjar sama-sama membesar dan di
sebut struma difusa.
2 Nodul
Terdapat benjolan seperti bola, bisa tunggal (mononodosa) atau banyak (multinodosa), bisa pa
dat atau berisi cairan (kista) dan bisa berupa tumor jinak/ganas.

Menurut kelainan fungsinya, gangguan tiroid dibedakan dalam 3 jenis :

1. Hipotiroid
Kumpulan manifestasi klinis akibat berkurangnya atau berhentinya produksi hormon tiroid.
2. Hipertiroid
Disebut juga tirtoksikosis, merupakan kumpulan manifestasi klinis akibat kelebihan hormon tir
oid.
3. Eutiroid
Keadaan tiroid yang berbentuk tidak normal tapi fungsi normal.

Pada Hipertiroid, kelebihan hormon tiroid menyebabkan proses metabolic dalam tubuh
berlangsung lebih cepat. Beberapa gejala yang diarakan oleh Ny. Tatung merujuk ke gejala pa
da hipertiroidisme seperti exopthalmus atau mata yang melotot, naiknya tensi darah menjadi 1
30/90 mmHg, nafsu makan yang meningkat namun tidak diikuti dengan kenaikan berat badan,
respiratory rate yang meningkat menjadi 20x/menit, tekanan nadi / heart rate 100x/menit tetap
i irregular, berdebar-debar serta berkeringat yang tidak wajar atau berlebihan. Selain itu penega
kan diagnosis Hipertiroid juga dapat diperkuat dengan hasil pemeriksaan lab yang menyatakan
bahwa TSH menurun yang merupakan tanda dari hipertiroidisme. (Kemenkes.2015)

Hipertiroid juga dapat dibedakan antara klinis jelas (overt) dan klinis tidak jelas
(subklinis). Hipertiroid klinis atau tirotoksikosis ditandai dengan peningkatan kadar T3 dan T4
dan penurunan kadar TSH serum. (Ida.2017) Hipertiroid kebanyakan disebabkan oleh struma d
ifusa toksik (Graves disease) selain itu juga dapat disebabkan oleh Plummer’s disease, dengan
perbandingan 60% karena Graves disease dan 40% karena Plummer’s disease. Gejala klinis da
ri hipertiroidisme dipengaruhi oleh bnayak factor, termasuk umur penderita, lamanya menderit
a hipertiroid dan kepekaan organ terhadap kelebihan kadar hormone tiroid. Manifestasi klinis y
ang paling sering dirasakan adalah nafu makan yang baik atau meningkat tetapi tidak diikuti de
nagn kenaikan berat badan, kelelahan atau kelemahan otot, tremor, gugup, berdebar-debar, keri
ngat berlebihan, tidak tahan panas, palpitasi dan pembesaran kelenjar tiroid serta payah jantung.
Gejala ini dapat berlangsung ebberapa hari hingga beberapa tahun. Bahkan penderita juga tida
k menyadari penyakitnya.

Pembesaran tiroid difus serta tanda-tanda tirotoksikosis terutama berupa ophtamophat


hy dan dermopathy biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis. Pada scenario ini, ditemukan
adanya gejala ophtalmopathy yang berupa exopthalmus atau mata yang menonjol. Adanya exo
pthalmus ini disebabkan karena antibody IgG juga dapat bekerja pada jaringan ikat di sekitar o
rbita yang memiliki protein yang menyerupai reseptor TSH. Pengikatan reseptor tersebut meny
ebabkan pembentukan sitokin, membantu pembentukan glikosisaminoglikan yang hidrofilik pa
da jaringan fibroblast di sekitar orbita yang berakibat pada peningkatan tekanan osmotic, penin
gkatan volume otot ekstra ocular, akumjlasi cairan dan secara klinis menimbulkan ophtalmopa
thy.

Untuk menegakkan diagnosis apakah pasien menderita hipertiroid atau tidak, ada inde
ks Wayne yang dapat menjadi patokan untuk perhitunagn. Menurut indeks Wayne jika menya
mpai poin lebih dari atau sama dengan 20, maka dapat dikatakan hipertiroid.
Produksi T4,
T3 yang tinggi tersebut berasal dari stimulasi antibodi stimulasi hormon tiroid (TSH-Ab) atau
thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) yang berinteraksi dengan reseptor TSH di membran
epitel folikel tiroid, yang mengakibatkan peningkatan aktivitas saraf simpatis tubuh. Salah
satunya peningkatan saraf simpatis di jantung, sehingga impuls listrik dari nodus SA jantung
meningkat, menyebabkan kontraksi jantung meningkat lalu mengakibatkan fraksi ejeksi darah
dari ventrikel berkurang dan meningkatkan tekanan darah serta denyut nadi. (Desty.2016)
Oleh karena itu dari scenario atau kasus didapatkan :

A. Diagnosis utama = hiperthyroid (grave disease)


Keluhan utama : Benjolan di leher.
Anamnesis :
Benjolan besar sejak 5 hari yang lalu, dada sering berdebar-debar, sering
berkeringat,nafsu makan meningkat tanpa peningkatan berat badan, exopthalmus (+),
riwayat menstruasi tidak diketahui. ( didapatkan gejala klinis tersebut karena terjadinya
peningkatan metabolisme tubuh, akibat adanya peningkatan jumlah hormon tiroksin
yang berlebihan )
Pemeriksaan fisik :
Status generalis : TD 130/90 mmHg, Hr 100x/mnt dengan irama irreguler,
RR 20x/mnt, suhu 36.8 ̊C.
Status lokalis : kepala leher didapatkan exopthalmus, benjolan merata pada
leher depan konsistensi lunak, berbatas tegas, bergerak jika menelan, nyeri tekan (-),
vaskularisasi meningkat. (
Pemeriksaan penunjang :
Lab : TSH (turun).
Usg thyroid : nodul solid semikistik, uk.5 cm, hipovaskuler tidak tampak
kalsifikasi. ( bukan tanda keganasan )
FNAB : hapusan cukup sel dgn sebaran sel sel epitel folikel dgn latar
belakang bahan koloid. ( bukan tanda keganasan )

B. Diagnosis banding =
1. Adenoma hipofisis -> tumor pada hipofisis menyebabkan peningkatan TSH.
2. Plummer disease (nodul toksik)
Toxic Multinodular Goiter atau Plummer disease adalah pembesaran tiroid yang paling
tidak ada dua nodul yang befungsi secara otonom memproduksi hormon tiroid dengan
jumlah yang berlebih. TMNG merupakan penyebab yang tersering untuk terjadinya
hipertiroidisme pada orang yang lebih tua. TMNG merupakan proses yang berkembang
lambat dengan beberapa nodul, beberapa diantaranya menjadi otonom dan dapat berevolusi
untuk menyebabkan tirotoksikosis. Pada penyakit Graves, biasanya hamper tiroidektomi.
(Antoine.2011)
3. Goiter :
Goiter non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas
dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium
yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin.
Goiter non toksik, adalah pembesaran kelenjar tiroid difus, bukan sebagai akibat proses
inflamasi ataupun neoplasma dan tidak ada hubungannya dengan kelainan fungsi tiroid
Penyebab goiter non toksik paling sering di seluruh dunia adalah defisiensi yodium, namun
demikian pasien dengan goiter non toksik sporadik umumnya penyebabnya masih belum
diketahui. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut goiter nodusa. Goiter nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan
hipotiroidisme disebut goiter nodusa non toksik. (Ni Luh.2012)
Pembesaran kelenjar tiroid akibat defisiensi yodium,riwayat terkena paparan
radiasi,tiroiditis autoimun (tiroiditis hashimoto) , sintesis hormon tiroid yang kurang akan
mencetuskan peningkatan produksi TSH yang akan menyebabkan peningkatan selularitas
dan hiperplasi pada kelenjar tiroid.
Goiter nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut
goiter nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang
berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien
mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea
(sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam
nodul. (Ni Luh.2012)

C. Prognosis = baik karena apabila mendapatkan penanganan yang tepat dengan pembedahan
menghasilkan angka kematian hanya sekitar 0,2% bahkan pada penelitian terbaru ada yang
melaporkan 0% kejadian

6. Mahasiswa Dapat Mengetahui ilmu patologi dalam menetapkan pemeriksaan penunjang.

Kepekatan serum TSH, FT4, dan FT3 dapat diukur dengan Modular E 170 analyzer
(penentu kadar imun elektro kimia berpendaran cahaya swakerja lengkap/fully automated
electrochemiluminescent immunoassay) dengan nilai perujukan (referensi) TSH: 0,27–4,2
mIU/L, FT4: 12–23 pmol/L, dan FT3: 4–7,8 pmol/L. Dalam mengukur serum antibodi tiroid
peroksidase menggunakan callibre enzymelinked immunosorbent assay dengan nilai referensi
normal: £ 2 U/mL.

Evaluasi biokimia TSH dan hormon tiroid merupakan tes diagnosis awal yang paling
penting pada individu dengan kecurigaan hipertiroid atau krisis tirotoksikosis berdasarkan
gejala klinis. Pengukuran serum TSH memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas paling tinggi,
pada hipertiroidisme, serum TSH < 0,01 mU/L atau bahkan tidak terdeteksi. Untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis dilakukan juga pemeriksaan serum hormon tiroid, akan
didapatkan peningkatan kadar hormon tiroid pada penderita hipertiroidisme. Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan ialah RAIU (Radioactive Iodine Uptake) dan thyroid scanning untuk
mengetahui penyebab tirotoksikosis apabila tidak ditemukan manifestasi grave disease, pada
pasien dengan kontraindikasi dilakukan RAIU maka dapat dilakukan pemeriksaan TRAb
(Thyroid Stimulating Hormone Receptor Antibodies). USG dapat membedakan massa apakah
nodul atau kista, dan memperkirakan ukuran tiroid, aliran vaskuler, pemandu untuk dilakukan
FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy). Pemeriksaan yang selanjutnya dilakukan pada pasien
ini ialah pemeriksaan biokimia dengan hasil peningkatan fT4 dengan nilai 7,67 dan penurunan
TSHs.

7.Ilmu kedokteran pencegahan,ilmu kedokteran islami dan farmakologi dalam tatalaksana secara
definitif, informatif dan symtomatif

Penatalaksanaan penyakit struma dilakukan berdasarkan ukuran struma, semakin besar


ukuran struma maka akan menimbulkan banyak keluhan, terdapat beberapa penatalaksanaan
meliputi:
a. Pengobatan
Pasien dengan satu atau lebih nodul tiroid yang mengalami hipertiroid diberikan obat
anti tiroid.
b. Terapi radioiodine
Merupakan terapi alternatif untuk single toxic adenoma atau toxic multinodular goiter.
Tujuan dari terapi ini adalah untuk mempertahankan fungsi dari jaringan tiroid normal.
Radioiodine juga digunakan untuk mengurangi volume nodul pada nontoksik multinodular
goiter.
c. Pembedahan
Tujuan pembedahan adalah untuk mengurangi massa fungsional pada hipertiroid,
mengurangi penekanan pada esophagus dan trakhea, mengurangi ekspansi pada tumor atau
keganasan (Tarwoto, 2012).
1) Pembedahan tiroidektomi
Tiroidektomi secara umum merupakan tindakan bedah yang cukup aman. Persiapan
praoperasi yang baik akan mencegah timbulnya komplikasi pada angka yang sangat kecil.
Kurang dari 2-3 persen. Komplikasi terbanyak adalah cedera nervus rekuren dan hipoparatiroid
permanen meskipun hematom pasca tiroidektomi relatif jarang terjadi komplikasi ini sangat
serius dan dapat berakibat fatal. Insiden hematom pasca tiroidektomi dilaporkan antara 0,1
sampai 1,1 persen.
Kunci untuk meningkatkan keberhasilan dari penanganan tiroid sampai saat ini adalah
pemahaman yang seksama terhadap fisiologi dan
anatomi dari kelenjar tiroid. Perkembangan besar dalam teknik dan instrumentasi pembedahan
serta kemajuan antisepsis dan teknik anestesi juga penting. Ketika tiroidektomi aman untuk
dikerjakan, komplikasi spesifik dari tindakan ini harus dapat diketahui, termasuk mencegah
perlukaan nervus rekuren laringeus dan menghindari kecelakaan atau pengangkatan kelenjar 2
paratiroid. Teknik pembedahan yang berkembang saat ini berdasar pada prinsip sama, yakni
melakukan diseksi kapsul cukup luas dengan meminimalkan diseksi terhadap nervusrekuren
laringeus dan preservasi suplai darah ke kelenjar paratiroid.
Ukuran struma merupakan salah satu faktor resiko dari komplikasi operasi tiroidektomi.
Hipertiroidism dan ukuran tumor merupakan dua faktor yang akan saling menguatkan resiko
yang lebih sedikit dibandingkan struma toksik atau karsinoma tiroid. Komplikasi tiroidektomi
total pada struma multi nodul berkisar 1%. Resiko komplikasi tidak menghalangi ahli bedah
untuk melakukan tindakan tiroidektomi total bilamana diperlukan.
Komplikasi tersering terjadi pada operasi tiroid adalah paralisis nervus rekuren laringeus,
hipoparatiroidism dan perdarahan pasca operasi. Studi terhadap tiroidektomi total pada tumor
jinak akhir-akhir ini melaporkan kejadian paralisis nervus rekuren laringeus berkisar antara
0,3-1,7% dan hipoparatiroidism permanen berkisar 0,7-3%. Kegagalan identifikasi nervus
rekuren laringeus meningkatkan resiko terjadi kerusakan terhadapnya, Implantasi potongan
kelenjar paratiroid kedalam otot sebagian besar diterima sebagai langka efektif untuk
menghindari hipoparatiroid berkepanjangan.
Timbulnya paresis korda vokalis kanan pada pasien ini dapat disebabkan oleh karena
trauma terhadap nervus laringeus superior. Tindakan operasi yang dikerjakan oleh operator
yang belum berpengalaman dan dalam proses pendidikan, memungkinkan terjadinya resiko
operasi lebih tinggi dibandingkan mereka yang sudah cukup berpengalaman dan melakukan
teknik operasi lebih baik.
Komplikasi dapat dikurangi dengan melakukan kontrol perdarahan dan pengalaman
dalam manajemen masalah trakea. Pengalaman operator sangat penting untuk mendapatkan
hasil operasi yang baik dan mengurangi terjadinya operasi. Perdarahan terjadi karena teknik
operasi atau gangguan metabolik. Kejadian perdarahan lebih tinggi pada hipertiroidism, yang
menggambarkan adanya vaskularikasi yang lebih besar pada struma tersebut. Komplikasi
primer berhubungan dengan penyakit tiroid terdiri dari perlukaan nervus rekuren laringeus,
hipoparatiroidi dan perdarahan pasca operasi. Komplikasi yang kurang tampak adalah badai
tiroid, infeksi symphatic nerve injury. Perdarahan pasca operasi merupakan komplikasi yang
sering terjadi.
Dari hasil penelitian Widodo (2009) menjelaskan bahwa Perdarahan pasca operasi yang
terjadi diakibatkan oleh karena terlepasnya ligasi dari cabang vena jugularis anterior kiri. Hal
ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan etiologi perdarahan pasca tiroidektomi bisa
terdiri dari:
a) Terlepasnya ikatan pembuluh darah
b) Terbukanya pembuluh darah vena yang dikauter
c) Muntah
d) Manuver valsavah
e) Peningkatan tekanan darah selama fase pemulihan
Hematom biasanya terjadi pada operasi dengan ruang mati yang cukup lebar. Jika strap muscle
tertutup sangan ketat, hematom tidak akan terjadi dibawah kulit. Meskipun bekuan darah akan
terdapat dibawah strap muscle sepanjang peritrakea rongga leher dalam. Pada kasus penelitian
terjadi komplikasi perdarahan dan hematom pasca tiroidektomi yang cukup berat dan
mengancam jiwa. Pasien mengalami gangguan jalan napas dan didapatkan edema hipofaring,
sehingga dilakukan pemasangan endotracheal tube dan dilanjutkan dengan trakeostomi
(Widodo, 2009). Trakeostomi merupakan tindakan membuat lubang pada dinding depan atau
anterior trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi
dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga. Sedangkan menurut
waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi yang pertama trakeostomi darurat dan
segera dengan persiapan sarana sangat kurang dan yang kedua trakeostomi berencana
(persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (Soepardi & Iskandar, 2012).
Trakeostomi biasanya dilakukan pada pasien yang diintubasi dalam jangka lama. Selain itu,
trakeostomi diperlukan pada situasi yang tidak memungkinkan dilakukannya intubasi,
misalnya pada hambatan mekanis struktur laring (stenosis supraglotis, glottis dan pada
sebagian kaus, juga stenosis subglotis) dan trakea, misalnya akibat peradangan mukosa, tumor,
iritasi, benda asing atau paralisis pita suara. Bila dibandingkan dengan intubasi, trakeostomi
akan mengurangi volume ruang mati dan mempermudah pembersihan bronkus (penghisapan
secret bronkus). Hal tersebut akan sangat bermanfaat pada penyakit pulmonal dengan
pembentukan secret yang berlebih dan pada penanganan pasien koma (ketiadaan reflex batuk).
Pada keadaan darurat, misalnya setelah inhalasi benda asing, intubasi dan trakeostomi efektif
terkait juga terkadang tidak dapat dilakukan. Pada keadaan tersebut, pembukaan saluran napas
dapat dilakukan secara langsung melalui fungsi trakea atau insisi ligamentum cricothyroideum
atau corucum (Nagel & Gurkov, 2012).
Penyulit operasif trakeostomi yang langsung timbul antara lain perdarahan dari struktur yang
mengalami cedera, misalnya pembuuh darah tiroid atau vena jugularis anterior.Emboli udara
sangat langka, dan pada dasarnya dapat terjadi. Cedera cartilage cricoidea disertai dengan
risiko perikondritis dan stenosis. Selain itu, terjadi emfisema iatrugenik di dalam kulit leher
tetapi keadaan ini biasanya cepat memulih. Penyulit post operatif mencakup pembentukan
krusta. Karena itu, hygiene kanula perlu dijaga secara hati-hati. Selain itu, hamper setiap
pasien mengeluh distagia (terutama pada penggunaan cuff ) dan sensasi penekanan subglotis.
Pembentukan nekrosis di dalam trakea jarang terjadi, yang biasanya dipicu penempatan pipa
yang tidak tepat atau tekanan cuff yang terlalu tinggi. Bila dinding posterior mengalami hal
tersebut, suatu fistula trakeo-esofageal dapat terbentuk. Pada “dekanulasi berpenyulit”,
pengeluaran kanula trakea sulit dilakukan karena adanya granulasi, pembentukan stenosis atau
perikondritis. Terutama pada anak, trakeostomi perlu dilakukan hanya bila terdapat indikasi
absolut karena anatomi struktur sekitar area tersebut sangat berisiko (adanya timus, letak
brachiocephalica yang tinggi) dan edema subglotis cepat terbentuk. Selain itu, obstruksi
saluran napas sering ditimbulkan infeksi pada usia anakanak dan sembuh spontan setelah 2-3
hari.
Indikasi trakeostomi meliputi:
a. Mengatasi obstruksi laring
b. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seprti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen
yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi itu.
Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
c. Mempermudah pengisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
d. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
e. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk
bronkoskopi (Soepardi & Iskandar, 2012).
Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena secret dapat menyumbat, sehingga
akan terjadi asfiksia. Oleh karena itu secret di trakea dan kanul harus sering diisap ke luar, dan
kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya 2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam
kanul luar. Pasien dapat dirawat di ruang perawatan biasa dan perawatan trakeostomi sangatlah
penting. Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu lama, maka kanul luar harus
dibersihkan 2 minggu sekali.Kain kasa di bawah kanul harus diganti setiap basah, untuk
menghindari terjadinya dermatitis (Soepardi & Iskandar, 2012). Udara pernapasan pasien yang
ditrakeostomi tidak dapat lagi dilembabkan dan dihangatkan secara memadai. Udara yang
kering akan menimbulkan pembentukan krusta. Selain itu, rangsang batuk pada banyak pasien
dengan peningkatan sekresi bronkus menjadi tertekan (terutama pada pasien koma). Jadi,
pembersihan bronkus diperlukan untuk menghindari penyumbatan jalan napas. Selain
penghisapan steril, inhalasi uap atau air garam juga dapat diberikan untuk tujuan tersebut.
Granulasi mukosa akibat iritasi pipa terutama memerlukan perawatan lanjutan secara hati-hati
terutama pada pasien yang diintubasi dalam jangka lama atau pasien yang ditrakeostomi
(Nagel & Gurkov, 2012).
Perawatan trakeostomi menurut Novialdi dan Azani, S. (2017) meliputi:
a. Pembersihan secret atau biasa disebut trakeobronkial toilet
b. Membersihkan anak kanul
c. Mengganti balutan
d. Humidifikasi untuk menjaga kelembapan
Tujuan perawatan trakeostomi:
a. Untuk mencegah sumbatan pipa trakeostomi ( pluging)
b. Untuk mencegah infeksi
c. Meningkatkan fungsi pernafasan(ventilasi dan oksigenasi)
d. Bronkial toilet yang efektif
e. Mencegah pipa tercabut
Perawatan pasien pasca trakeostomi sangatlah penting karena perawatan yang buruk dapat
mengakibatkan kematian. Kematian yang sering terjadi biasanya disebabkan oleh sumbatan
pada kanul karena penumpukan sekret.
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan.
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan
bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui melakukan
fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi kejiwaan,
sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi aesthesis yaitu yang
berhubungan dengan kecantikan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulraouf G, Carin R. Hyperthyroidism: A Stepwise Approach To Management. Departement of


Family and Community Medicine, University of Missourw-Columbia. The Journal of Family
Practice. Vol 60 (7)

Agung Pranoto,Sony Wibisono. The role of medical treatment in Goiter. Divisi metabolisme
endokrin,departemen of Internal Medicine Dr Soetomo General Hospital,Surabaya,Indonesia

Antonelli, A., Ferrari, S. M., Ragusa, F., Elia, G., Paparo, S. R., Ruffilli, I., … Fallahi, P.
(2020). Graves’ disease: epidemiology, genetic and environmental risk factors and viruses. Best
Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism,
101387. doi:10.1016/j.beem.2020.101387 

Ariani, Desty. 2016. Ny. Z 47 Tahun dengan Penyakit Graves. Lampung. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung

Bahn RS. Mechanisms of disease Grave’s ophthalmopaty. N Engl J Med.2010. 362:726-38

Baradero, Marry,dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Endokrin. Jakarta: EGC

Darmayanti, N L A, Setiawan, I G B & Maliawan, S. 2012. Endemic Goiter. Denpasar. Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar

Digonnet, A, Willemse, E, Dekeyser, C, Aubin, N de S, Michel, M & Andry, G. 2011. Surgical


Management of Toxic Multinodular Goiter. Belgium. Free University of Brussels.

Guyton A.C and J.E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC

Kahaly, George J., Luigi Bartalena, Lazlo Hegedus, Laurence Leenhardt, Kris Poppe, Simon
H. Pearce. 2018. 2018 European Thyroid Association Guideline for Management of Graves’
Hyperthyroidism. European Thyroid Journal 2018(7): 167-186
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. Jakarta. Kemenkes RI

Kumar,2013. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta : EGC

Kurniawati Nining, Decroli Eva,dkk. 2015. Hubungan Kadar F4 dengan Gejala Klinis yang Terkait
efek Simpatis berdasarkan Indek Wayne pada Nagari Koto Salak Kabupaten Dharmasraya.
Jurnal Kesehatan Andalas: Vol 4(2)

Nagel, P., Gurkov, R. 2012. Dasar- Dasar Ilmu THT. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Novialdi, & Azani, S. 2017. Hidung Telinga Tenggorokan Bedah Kepala Leher (THT-KL). Fakultas
kedokteran Universitas Andalas.

Permana, I Gede. 2018. Impending Krisis Tiroid pada Struma Multinodusa Toksik dengan
Pneumonia Komunitas. Bali. Universitas Udayana

Robbins, S.L and R.S Cotran. 2014. Atlas of Pathology 3rd Edition. Philadelphia: SAUNDERS
Ross DS, Burch HB, Cooper DS, dkk. 2016 American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis
and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis .THYROID.
American Thyroid Association 2016: 26:1

Smith, Terry J., Laszlo Hegedus. 2016. Graves’ Disease. The New England Journal of
Medicine 375(16): 1552-1565

Sunarto Reksoprawiro. Surgical treatment of grave disease. Divisi bedah kepala leher,bagian SMF
ilmu beedah,Fakulta Kedokteran Universitas Airlangga,Surabaya

Tarwoto, Dkk. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: Trans Info
Medikal.

Widodo R, 2009. Pemberian Makanan, Suplemen, dan Obat Pada Anak. Jakarta: EGC.

Wirawati, I A P. 2017. Pemeriksaan Tiroid. Denpasar. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Den
pasar

Yeung, 2018. Graves Disease. Medscape. Diakses dari https://emedicine.medscape.com. 25


Maret 2020. 5;03

Anda mungkin juga menyukai