Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PENDAHULUAN LEPTOSPIROSIS

KEPERAWATAN MEDIKAL

oleh :
Purwita Lestari
NIM 172310101187

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LAPORAN PENDAHULUAN LEPTOSPIROSIS

KEPERAWATAN MEDIKAL

disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Medikal


Dosen pengampu : Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp. Kep.MB

oleh :
Purwita Lestari
NIM 172310101187

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah mata kuliah keperawatan maternitas yang
berjudul “Laporan Pendahuluan Leptospirosis”.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas terstruktur dalam menempuh
pembelajaran di semester ini. Dalam pengerjaan makalah ini kami banyak
melibatkan berbagai pihak yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh
karena itu kami sampaikan terimakasih kepada:
1. Ns. Jon Hafan S, M.Kep., Sp.Kep.MB selaku dosen penanggung jawab
mata kuliah Keperawatan Medikal,
2. Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB dosen yang telah membimbing
dalam penyelesaian tugas ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
ini dengan baik,
3. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam dalam pembuatan makalah
ini.

Kami menyadari jika makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari
itu kami membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, demi
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah kami dapat bermanfaat
menambah wawasan kita semua.

Jember, 10 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
BAB I TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................1
1.1 Definisi ..................................................................................................1
1.2 Anatomi dan Fisiologi ...........................................................................1
1.3 Epidimiologi ..........................................................................................4
1.4 Etiologi ..................................................................................................5
1.5 Klasifikasi (Jika Ada) ............................................................................6
1.6 Patofisiologi ..........................................................................................8
1.7 Manifestasi Klinis ...............................................................................10
1.8 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................11
1.9 Penatalaksanaan Medis .......................................................................11
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TEORI ...................14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS .................32
3.1 Pengkajian ...........................................................................................32
3.2 Diagnosa ..............................................................................................38
3.3 Intervensi .............................................................................................41
3.4 Evaluasi ...............................................................................................49
BAB IV PATHWAYS ..........................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................51

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Darah ....................................................................................................1


Gambar 2.2 Bakteri Leptospira ................................................................................5
Gambar 2.3 Proses Penularan Leptospirosis ............................................................8
Gambar 4.1 Pathway Leptospirosis .......................................................................50

iv
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Leptospirosis adalah penyakit yang bersumber dari binatang (zoonosis)
yang bersifat akut. Leptospirosis disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk
spiral dalam genus Leptospira, yang ditularkan secara langsung dan tidak
langsung dari hewan ke manusia (CDC, 2015). Leptospirosis sebagai penyakit
zoonosis artinya dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia atau
sebaliknya. Jika dilihat dari transmisinya, leptospirosis disebut sebagai penyakit
direct zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya
memerlukan satu vertebrata saja (Kemenkes RI, 2014).
Di beberapa negara, penyakit leptospirosis disebut sebagai penyakit
“demam urine tikus”. Leptospirosis ditularkan melalui kontak dengan air, lumpur,
tanaman yang telah tercemar oleh air seni dari rodent (tikus) dan hewan lain yang
mengandung bakteri Leptospira (Kemenkes RI, 2014).

1.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Darah


.
Pembuluh darah kapiler mempunyai diameter 7-9 mm, berfungsi dalam
pertukaran air, O2, CO2, nutrien, zat kimia antar darah dan jaringan sekitar.
Dinding dilapisi endotel dan mempunyai struktur membran basal. Bagian tubuh

1
yang mengandung banyak kapiler darah adalah hepar, ginjal, paru, mata dan otot.
Darah adalah jaringan penyambung khusus yang terdiri atas sel-sel dan banyak
irterstitial ekstrasel. Darah berfungsi untuk mentransport zat makanan ke jaringan
tubuh, menghantarkan hormon antar bagian tubuh.
Dalam bagian fungsional sirkulasi darah terdapat arteri, vena dan kapiler
darah. Arteri berfungsi untuk mentranspor darah ke jaringan di bawah tekanan
tinggi. Arteriol adalah cabang-cabang kecil arteri dan berfungsi sebagai kendali
menentukan darah yang akan dilepaskan pada kapiler. Kapiler darah berfungsi
dalam pertukaran zat makanan, cairan, elektrolit, hormon, dan bahan-bahan
lainnya. Sedangkan venula mengumpulkan darah dari kapiler dan bergabung
menjadi vena. Vena berfungsi sebagai saluran mengangkut darah dari venula ke
jantung. Darah dibentuk dari 2 bagian yaitu: elemen atau sel-sel darah, dan
plasma. Elemen tersusun atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit), dan trombosit.
Sel darah merah (eritrosit) tidak memiliki inti sel, mitokondria atau ribosom.
Sel darah merah mengandung hemoglobin yang mengangkut sebagian besar
oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sel darah merah diproduksi di sumsum
tulang belakang yang berespon terhadap faktor pertumbuhan hemopoeietik,
terutama eritroprotein, dan memerlukan zat besi, asam folat serta vitamin B12
untuk melakukan sintesis (Tanto dkk, 2014).
Sel darah putih (leukosit) dibentuk di sumsum tulang dari sel-sel progenitor.
Selanjutnya sel-sel tersebut berdiferensiasi menjadi limfosit T dan B, monosit dan
makrofag. Limfosit B menghasilkan antibodi, limfosit T menghasilkan zat kimia
yang menghancurkan mikroorganisme dan memberikan informasi ke sel darah
putih lainnya bahwa telah terjadi infeksi, monosit mengalami proses pematangan
dan menjadi makrofag, dan makrofag digunakan ketika terjadi reaksi peradangan
(Tanto dkk, 2014).
Trombosit berperan penting dalam proses hemostatis. Dalam keadaan
normal bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui edaran darah tanpa menempel pada
sel-sel endotel vaskular. Akan tetapi beberapa detik setelah kerusakan pembuluh
darah trombosit ditarik ke daerah tersebut sebagai respon terhadap kolagen yang

2
terpajan di lapisan sub endotel pembuluh darah. Serotonin dan zat kimia termasuk
ADP menyebabkan trombosit berubah bentuk dan menjadi lengket. Pada
leptospirosis biasanya terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit).
Darah yang dikumpulkan dan dicegah dari pembekuan dengan
menambahkan antikoagulan (heparin, sitrat, dan sebagainya), bila disentrifuge
akan terpisah, menjadi lapisan-lapisan yang menggambarkan heterogenitasnya.
Hasil yang diperoleh dengan sedimentasi dilakukan dalam tabung gelas ukuran
standard adalah hematokrit. Hematokrit memungkinkan memperkirakan volume
kumpulan eritrosit per unit volume darah. Nilai normalnya adalah 40-50% pada
laki-laki dewasa, 35-45% pada perempuan dewasa, kira-kira 35% pada anak-anak
sampai berusia 20 tahun, dan 45-60% pada bayi yang baru lahir. Cairan
translusen, kekuningan dan sedikit kental yang terletak di atas bila hematrokrit
diukur adalah plasma darah. Bentuk elemen darah terpisah dalam 2 lapisan yang
mudah dibedakan. Lapisan tepat di atasnya (1% volume darah) yang berwarna
putih atau kelabu, dinamakan buffy coat yang terdiri atas leukosit dan trombosit.
Leukosit, sebagian diantaranya adalah fagositik, merupakan salah satu dari
pertahanan utama terhadap infeksi dan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem
vaskuler darah. Dengan menembus dinding kapiler, sel-sel ini terkonsentrasi
dengan cepat dalam jaringan dan berpartisipasi pada peradangan. Sistem vaskuler
darah juga merupakan alat transport oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2);
yang pertama terutama terikat pada hemoglobin eritrosit, sedangkan yang terakhir,
selain terikat pada protein eritrosit (terutama hemoglobin), juga diangkut dalam
bentuk larutan dalam plasma sebagai CO2 atau dalam bentuk HCO3. Plasma
darah adalah suatu larutan aqueous yang mengandung zat-zat dengan berat
molekul besar dan kecil yang merupakan 10% volumenya. Plasma darah terdiri
dari protein-protein plasma merupakan, garam-garam anorganik 0,9% dan sisanya
yang 10% terdiri atas beberapa senyawa organik dari berbagai asal – asam amino,
vitamin, hormon, lipid, dan sebagainya.

3
1.3 Epidimiologi
Leptospirosis terjadi di berbagai belahan dunia tetapi pada umumnya di
wilayah tropis dan subtropis dengan curah hujan yang tinggi. Leptospirosis
merupakan penyakit endemis di sejumlah negara bahkan di dunia. Sejumlah
Negara di wilayah Asia Tenggara telah melaporkan adanya kasus Leptospirosis
dari waktu ke waktu dan sebagian besar negara di wilayah Asia Tenggara
merupakan wilayah endemis Leptospirosis. Berdasarkan laporan beberapa tahun
terakhir, insiden kasus Leptospirosis secara global di perkirakan dari 0,1-1 per
100.000 per tahun di daerah beriklim sedang dan 10-100 per 100.000 pertahun di
daerah tropik lembab. Insiden penyakit ini dapat mencapai lebih dari 100 per
100.000 per tahun pada keadaan wabah dan paparan tinggi pada kelompok risiko.
Di Indonesia, penyakit ini termasuk re-emerging disease, sehingga sewaktu-
waktu dapat muncul secara sporadik serta berpotensi untuk menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB). Indonesia merupakan negara tropis dengan kejadian
Leptospirosis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Anggraini dkk (2019),
Indonesia memiliki insiden Leptospirosis tinggi yaitu sebesar 2,5% - 16,45% atau
7,1% dan termasuk peringkat ketiga di dunia di bawah Uruguay dan India.
Jumlah kematian akibat penyakit Leptospirosis di Indonesia menurut data
informasi Dirtjen P2P, semakin meningkat dari tahun 2014 hingga tahun 2016.
Tahun 2011 merupakan kasus paling banyak dengan 857 kasus dengan 82 kasus
kematian (CFR 9, 56%) hal tersebut di karenakan terjadinya KLB di provinsi Di
Yogyakarta. Sedangkan tahun 2014 hingga bulan Oktober dilaporkan sebanyak
411 kasus dengan kematian sebanyak 56 kasus (CFR 13,63%).
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi kedua setelah Jawa Tengah yang
memiliki masalah kesehatan akibat penyakit Leptospirosis pada tahun 2016 yaitu
sebesar 102 kasus dengan jumlah kematian 6 jiwa (5,88 %) (Anggaini dkk, 2019).

4
1.4 Etiologi

Gambar 2.2 Bakteri Leptospira

Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen Leptospira interrogans


dari genus Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili
Trepanometaceae. Bakteri Leptospira berbentuk spiral dan ujungnya seperti kait.
Bakteri Leptospira berukuran 0,1 mm x 0,6 mm sampai 0,1 mm x 20 mm.
Leptospira dibagi menjadi dua serovarian yaitu L. Interrogate dan L. Biflexa. L.
Interrogate dan bersifat pathogen sehingga berpotensi menyebabkan penyakit
pada hewan dan manusia) dan serovarian L. Biflexa bersifat non pathogen/
saprophytic (dianggap tidak menyebabkan penyakit). Reservoir utama dari
leptospirosis adalah tikus. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan
Leptospirosis adalah rodent (tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing,
kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah
dapat sebagai karrier dari Leptospira (Kemenkes RI, 2014).
Penyebaran penyakit leptospirosis dapat meluas ke wilayah lainnya akibat
urine tikus yang mengandung kuman Leptospira mencemari air yang
menggenang. Munculnya penyakit Leptospira dipengaruhi faktor-faktor risiko
antara lain lingkungan yang terkontaminasi Leptospira, lingkungan kumuh dan
kuranganya fasilitas pembuangan sampah, maraknya habitat tikus ditempat
pemukiman, daerah persawahan dan lahan bergambut serta air tergenang yang
dicemari oleh urine tikus yang mengandung kuman Leptospira (CDC, 2015).

5
1.5 Klasifikasi (Jika Ada)
Berdasarkan tingkat keparahan penyakit, Nasronudin (2011)
mengklasifikasikan leptospirosis menjadi 2 yaitu ringan (anikterik) dan berat
(ikterik).
1) Leptospirosis Anikterik
Pada umunya gejala yang ditunjukkan ringan. Pada sebagian pasien,
leptospirosis anikterik dapat sembuh sendiri dan biasanya gejala kliniknya
akan menghilang 2-3 minggu.
2) Leptospirosis Ikterik
Leptospirosis ikterik umumnya dianggap sebagai leptospirosis berat. Pada
leptospirosis jenis ini demam dapat terjadi secara persisten, fase imun terjadi
overlapping dengan fase lepstospiremia.
Berdasarkan diagnosis, Cahyadi (2019) mengklasifikasikan penyakit
leptospirosis diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :
1) Kasus suspek, apabila ada gejala klinis tetapi belum ada dukungan tes
laboratorium. Kasus suspek ditandai dengan adanya demam akut, dapat
tanpa atau disertai dengan sakit kepala, nyeri otot, malaise, conjungtival
suffusion, dan ada riwayat terpapar lingkungan yang terkontaminasi
leptospira dalam kurun waktu 2 minggu (Cahyadi, 2019).
Faktor risiko tersebut kasus suspek antara lain :
a. Terjadi kontak dengan air yang terkontaminasi leptospira atau urine
tikus yang terkontaminasi leptospira
b. Kontak dengan sungai atau danau dalam aktifitas mandi, mencuci atau
bekerja
c. Kontak dengan persawahan ataupun perkebunan (berkaitan dengan
pekerjaan) yang tidak menggunakan alas kaki
d. Kontak erat dengan binatang, seperti babi, sapi, kambing, anjing yang
dinyatakan terinfeksi leptospira
e. Terpapar dengan bangkai hewan, cairan infeksius hewan seperti cairan
kemih

6
f. Memegang spesimen hewan/manusia yang diduga terinfeksi
Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya
g. Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontak dengan
sumber infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim penyelamat
atau SAR, tentara, pemburu, dan para pekerja di rumah potong hewan,
toko hewan peliharaan, perkebunan, pertanian, tambang, serta pendaki
gunung, dan lain-lain.
2) Kasus probable, adalah gejala klinis sesuai leptospirosis tetapi hasil tes
serologi dipstick, lateral flow atau dri dot positif. Kasus probable ditandai
dengan nyeri betis, ikterik atau jaundice, perdarahan, sesak napas, oliguria
atau anuria, aritmia jantung, batuk dengan atau tanpa hemoptisis, dan ruam
kulit. Kasus probable memiliki gambaran laboratorium trombositopenia
(<100.000 sel/mm), leukositosis dengan neutrofilia >80%, bilirubin total >2
g%, peningkatan SGPT, penggunaan uji cepat IgM anti leptospira (Cahyadi,
2019).
3) Kasus konfirmasi, apabila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
hasil positif, yang ditandai dengan :
a. Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
b. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif
c. Sero konversi microscopic agglutination test (MAT) dari negatif
menjadi positif

7
1.6 Patofisiologi

Gambar 2.2 Proses Penularan Leptospirosis

Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit, konjungtiva, atau


mukosa yang melapisi faring, mulut, esofagus, bronkus dan alveolus. Bakteri
leptospira dapat masuk melalui inhalasi droplet dan minum air yang sudah
terkontaminasi dengan bakteri leptospira. Bakteri leptospira yang tidak virulen
gagal bermultiplikasi dan dihilangkan dalam aliran darah setelah mengalami 2
hari infeksi. Sedangkan bakteri leptospira yang virulen mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan (Nasronudin, 2011). Masa inkubasi Leptospirosis antara 2-30
hari, masa inkubasi rata-rata 7-10 hari. Fase patofisiologi leptospirosis dibagi
menjadi 2 fase, yaitu fase lepstopiremia dan fase imun. Fase lepstopiremia
berkaitan langsung dengan efek toksik bakteri leptospira. Fase leptospiremia
berlangsung pada 4-9 hari. Bakteri leptospira masuk ke aliran darah sistemik dan
terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai arah dan organ tubuh. Efek toksik
berdampak pada tipe sel yang dikenal dengan neurotoksin, leukotoksin,
kardiotoksin, hepatotoksin. Pada dinding sel terdapat lipopolisakarida yang
merupakan bagian integral dari membran luar. Sedangkan pada permukaan
membran luar terdapat komponen lipid A (mempunyai efek toksik) dan antigen O.

8
Lipid A toksik dapat mengekspresi sel host untuk memproduksi protein bioaktif
termasuk sitokin. Pada fase septik peptidoglikan dari dinding sel Leptospira
menginduksi sekresi TNFα dan monosit, yang berdampak luas pada respon
inflamasi lokal dan sistemik sehingga menyebabkan kerusakan kapiler dan lesi
sistemik. Interkasi lipoprotein membran luar leptospira dan sel imun
menyebabkan 3 peristiwa penting yaitu :
1) Produksi sitokin oleh monosit dan makrofag. Sitokin yang diproduksi seperti
IL 1, IL 6, IL 8, TNF α. IL 1, IL 6, dan IL 8 memicu produksi prostaglandin
dari hipotalamus, sehingga menyebabkan demam, anoreksia, nyeri dan
kerusakan sel endotel.
2) Sirkulasi darah di paru, hati, ginjal terganggu. Arteriol mengalami
vasokontriksi dalam waktu singkat dan terjadi vasodilatasi berkepanjangan.
Hal tersebut meningkatkan tekanan cairan sehingga terjadi peningkatan
perpindahan filtrat plasma ke ruang interstitial. Sel-sel endotel renggang
akibat sekresi histamin, bradikinin sehingga permeabilitas kapiler meningkat.
3) Terjadi gangguan pada kaskade koagulasi menyebabkan kelebihan konsumsi
fibrinogen dan trombosit sehingga terjadi insufisiensi pembekuan.
Rangkaian ketiga peristiwa tersebut menyebabkan kelainan pada sel, jaringan,
dan organ. Pada fase septik gejala yang timbul seperti sindrom semacam flu, pada
fase ini dapat ditemukan leptospira di dalam darah. Selanjutnya diikuti fase imun
yang berlangsung pada hari ke-4 sampai ke-30 dengan tanda produksi antibodi
dan sekresi leptospira dalam urine, serta muncul manifestasi seperti rush kulit,
gangguan ginjal dan hati. Pada fase imun berkaitan dengan respon imun ketika sel
B atau sel T berikatan dengan protein yang dianggap asing. Protein asing berperan
sebagai antigen dan bersifat imunogenik, sehingga dapat menstimulasi sel T dan
sel B menjadi aktif. Respon sel B memicu peradangan pada pembuluh darah kecil.
Vaskulitis menyebabkan kebocoran plasma serta ekstravasasi sel, termasuk
perdarahan dapat muncul. Leptospira terutama menyerang hati dan ginjal.
Kerusakan yang diakibatkan toksin terjadi pada lapisan endotel kapiler.
Pembentukan antibodi pada paparan pertama sel B memerlukan waktu 2 minggu
hingga lebih dari setahun (Nasronudin, 2011). Sistem imun humoral dan seluler

9
akan bekerja sehingga kuman akan dieliminasi dari tubuh, kecuali pada mata,
ginjal, mata dan otak. Pada ketiga organ ini, leptospira dapat berjalan selama
beberapa minggu atau bulan. Pada ginjal, terutama tubulus akan terbentuk koloni
pada dinding lumen yang menghasilkan endotoksin dan masuk ke urin. Pada mata
leptospira tingga di humor akueous menyebabkan uveitis kronik (Tanto dkk,
2014).

1.7 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi leptospirosis sekitar 7-14 hari (rata-rata 10 hari) (Tanto dkk,
2014). Menurut Nasronudin (2011) manifestasi klinis leptospirosis dibagi menjadi
2 yaitu anikterik dan ikterik. Sebanyak 90% individu yang terpapar leptospira
berkembang menjadi leptospirosis anikterik dan sebanyak 10% berkembang
menjadi ikterik.
1) Leptospirosis Anikterik
a. Fase septik : berlangsung 3 sampai 7 hari ditandai demam, sakit kepala,
nyeri otot, nyeri abdomen, mual, muntah
b. Fase Imun : berlangsung mulai hari ke 4 minggu pertama sampai 1 bulan,
ditandai dengan demam semakin menurun, gejala berkurang : sakit
kepala, meningitis, hepatosplenomegali, manifestasi pada paru, uveitis
2) Leptospirosis Ikterik
a. Fase septik : berlangsung 3 sampai 7 hari sama dengan anikterik
b. Fase imun : berlangsung hari ke 10 sampai ke 30. Gejala semakin terlihat
ditandai ikterik, perdarahan pulmoner, miokarditis, disfungsi hepatorenal,
vaskulitis, disfungsi ginjal, diatesis hemoragik

10
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tanto dkk (2014) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
pada leptospirosis adalah sebagai berikut :
a. Darah lengkap : leukositosis/ normal, neutrofilia, peningkatan LED
b. Urinalisis : proteinuria, leukositoria, dan sedimen sel toraks
c. Kimia darah : bila terdapat hepatomegali, bilirubin, darah dan transaminase
meningkat. Apabila terdapat komplikasi di ginjal dapat terjadi peningkatan
BUN, ureum, dan kreatinin
d. Kultur, spesimen darah atau cairan serebrospinal pada fase leptospiremia
e. Deteksi antigen : metode RIA (Radioimmunoassay) untuk mendeteksi
leptospira 104-105 leptospira/ml dan metode ELISA yang dapat mendeteksi
leptospira sampai 105/ml.
f. Pengecekan dengan mikroskop gelap dapat mendeteksi leptospira sampai
104/ml.
g. Serologis, microscopic agglutination test (MAT) seperti uji carik celup,
macroscopic slide agglutination test (MSAT), polymerasae chain reaction
(PCR), silver stain, fluorescent antibody stain dan mikroskop lapang pandang
gelap
h. Biomolekuler dengan PCR (Polymerase Chain Reaction)

1.9 Penatalaksanaan Medis


1.9.1 Pencegahan secara Medis
Pencegahan secara medis leptospirosis menurut Nasronudin (2011)
dapat menggunakan doksisiklin. Bagi individu yang berisiko tinggi terpapar
oleh leptospira atau akan mengunjungi daeran endemik leptospirosis dapat
menggunakan doksisiklin 200 mg per minggu.
1.9.2 Pengobatan
Menurut Tanto dkk (2014) tatalaksana medis adalah sebagai berikut :
1) Leptospirosis ringan
a. Doksisiklin, dosis 2x100 mg
b. Ampisilin, 4x500 – 750 mg

11
c. Amoksisilin, 4x500 mg
2) Leptospirosis sedang/berat
a. Penisilin G, dosis 1.5 juta unit/ 6 jam (IV)
b. Ampisilin, dosis 1 gram/ 6 jam (IV)
c. Amoksisilin, dosis 1 gram/ 6 jam (IV)
3) Kemoprofilaksis
Doksisiklin, 200 mg/ minggu
1.9.3 Peran Perawat
a. Mengadakan advokasi
Bekerjasama dengan pemerintah daerah (bupati/walikota dan
DPRD) dan kepala dinas kesehatan dan dinas terkait untuk
mendapatkan persamaan persepsi dan dukungan komitmen
perlunya pengendalian Leptospirosis.
b. Pertemuan Sosialisasi
Sasarannya adalah pengambil kebijakan seperti anggota DPR dan
DPRD komisi kesehatan, pemerintah daerah khususnya yang
terkait dengan perencanaan dan penganggaran, LSM, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi keagamaan
khususnya (TOMA dan TOGA), untuk memahami situasi dan
masalah Leptospirosis dan bersedia menjalin kerjasama serta
berperan serta dalam pengendalian zoonosis.
c. Promosi kesehatan yang mencakup :
1. Gunakan baju pelindung diri, seperti sepatu boot, sarung
tangan karet, dan sebagainya;
2. Lakukan penyuluhan kepada masyarakat agar selalu meningkat
kesadaran terhadap pencegahan penyakit dan cara
penularannya
3. Segera melapor bila terjadi keluhan penyakit Leptospirosis
kepada petugas kesehatan terdekat
4. Pengendalian Leptospirosis terdiri dari 2 cara yaitu :
pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan

12
primer adalah perlindungan terhadap orang sehat agar
terhindar dari Leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat
promotif, dan proteksi spesifik dengan cara vaksinasi.
Sedangkan pencegahan sekunder yang sarannya adalah orang
yang sudah sakit Leptospirosis, dicegah agar orang tersebut
terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan
kematian. Kegiatan pengendalian faktor risiko Leptospirosis
dilakukan pada: (a) sumber infeksi; (b) alur transmisi antara
sumber infeksi dan manusia;atau (c) infeksi atau penyakit pada
manusia.

13
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TEORI

B. Pengkajian
a. Identitas pasien
Kasus leptospirosis lebih banyak terjadi pada kelompok umur 20-50 tahun
dan jenis kelamin laki-laki. Menurut penelitian Loganathan et al. (2012) di
India bahwa kasus leptospirosis sebagian besar terjadi pada umur 31-40 tahun
(24,4%). Kelompok risiko tinggi terkena leptospirosis meliputi petani, rumah
potong hewan, penambang, dokter hewan dan juga pekerjaan di luar rumah
yang berhubungan dengan air dan tanah yang terkontaminasi dari hewan
terinfeksi (Pramestuti, 2015).
b. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medis
Leptospirosis
2. Keluhan utama
Keluhan utama pasien leptospirosis biasanya mengeluh demam, nyeri otot,
mual, muntah.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien leptospirosis terjadi infeksi subklinik, demam anikterik ringan
seperti influenza sampai dengan yang berat seperti penyakit weil (Weil’s
disease atau Weil’s syndrome) (Tanto dkk, 2014).
4. Riwayat penyakit dahulu
Individu dengan gangguan pada sistem imunologi lebih rentan terkena
leptospirosis.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Pada riwayat keluarga yang dikaji adalah riwayat dari anggota yang
memiliki penyakit sama seperti klien, penyakit menular seperti TBC,
penyakit keturunan seperti DM, hipertensi, jantung dan asma.

14
6. Pola Fungsi Kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan
bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu
tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan
rencana akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien
untuk menjaga kesehatannya. Individu yang tidak memperdulikan
penggunaan APD ketika di genangan air, meremehkan tanda dan gejala
karena merasa sakit yang dirasakan tidak mengganggu aktivitas dapat
meningkatkan risiko keparahan leptospirosis.
a) Pola nutrisi dan metabolisme
Nafsu makan pasien leptospirosis biasanya turun.
b) Pola eliminasi
Dikaji kebiasaan BAK dan BAB, warnanya, konsistensi, frekuensi dan
bau baik sebelum masuk kerumah sakit atau masuk rumah sakit. Pasien
dengan leptospirosis biasanya mengalami diare dan pada leptospirosis
berat warna urine menjadi kuning kecoklatan
c) Pola aktivitas
Ada tidaknya keluhan yang mengganggu pekerjaan, mobilisasi, olah
raga di waktu luang klien. Aktivitas pada pasien leptospirosis biasanya
terganggu karena nyeri pada otot
d) Pola istirahat tidur
Dikaji waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan
dalam tidur. Pada pasien leptospirosis biasanya sering terganggu karena
rasa nyeri.
e) Pola kognitif – perseptual
Dikaji mengenai penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan,
kemampuan bahasa, kemampuan membuat keputusan, ingatan,
ketidaknyamanan dan kenyamanan. Pada pasien leptospirosis terjadi
ketidaknyamanan akibat nyeri dan pada kondisi berat bahkan terjadi
penurunan kesadaran

15
f) Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan: body image, identitas diri, harga diri, peran diri, dan
ideal diri
g) Pola peran hubungan sosial
Menggambarkan hubungan pasien dengan keluarga dan masyarakat,
termasuk peran dan tanggung jawab.
h) Pola koping toleransi stress
Menggambarkan penyebab stress, cara menghadapi dan mengatasi stres
i) Pola fungsi dan seksual
Meliputi hubungan klien dengan keluarga (orang tua), mempunyai
berapa saudara dan termasuk anak keberapa.
j) Pola tata nilai dan kepercayaan
Mengenai perkembangan moral, perilaku dan keyakinan, dan realisasi
dalam kesehariannya.
c. Pemeriksaan fisik dan penunjang
1) Pemeriksaan Fisik
Pengkajian Fisik Head to toe (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)
a. Kepala
Inspeksi: kepala simetris, warna rambut hitam/putih, persebaran
rambut merata/tidak, tidak tampak edema, jejas, lesi, ekspresi klien
tampak tidak nyaman dengan kondisinya
Palpasi: tidak teraba massa dan nyeri tekan.
b. Mata
Inspeksi: kedua mata simetris, konjungtiva suffusion (+), sklera tidak
ikterik
c. Telinga
Inspeksi: kedua telinga simetris, tidak terlihat keluarnya serumen pada
kedua telinga, tidak terdapat jejas dan benjolan pada kedua telinga
Palpasi: tidak terdapat massa, tidak ada nyeri tekan.
d. Hidung

16
Inspeksi: hidung terlihat simetris, tidak terlihat keluar lendir pada
hidung, dari kedua lubang hidung tidak tampak kotoran, tidak tampak
cuping hidung.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada hidung, tidak teraba benjolan klien
e. Mulut
Inspeksi: mukosa bibir tampak kering.
f. Leher
Inspeksi: tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak tampak jejas
dan massa.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada leher.
g. Dada
1. Jantung
Inspeksi: dada terlihat simetris , tidak tampak massa, tidak tampak
ictus cordis.
Palpasi : tidak teraba massa, tidak ada hyeri tekan, teraba ictus
cordis.
Perkusi: pekak pada batas jantung.
Auskultasi: terdengar S1 dan S2 tunggal.
2. Paru
Inspeksi: dada terlihat simetris, pengembangan dada simetris .
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus
normal.
Perkusi: sonor pada lapang paru.
Auskultasi: terdengar vesikuler.
3. Payudara dan Ketiak
Inspeksi: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak
tampak benjolan.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
h. Abdomen
Inspeksi: perut tampak datar, lunak
Askultasi: bising usus > 30x/menit.

17
Palpasi: ada nyeri tekan, pada kondisi berat teraba hepatomegali,
splenomegali
Perkusi: timpani pada batas lambung.
i. Genetalia dan Anus
Tidak bermasalah
j. Ekstremitas
Inspeksi: tidak tampak lesi, jejas, edema, tapi dalam keadaan berat ada
ruam pada kulit
Palpasi: penderita leptospirosis umumnya terdapat nyeri tekan, akral
dingin, tidak ada krepitasi pada kedua tangan, kekuatan otot 5 pada
ekstremitas yang tidak terkena leptospirosis, turgor kulit turun,
elastisitas kulit menurun, CRT > 2 detik
2) Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium darah rutin terdapat peningkatan LED, leukositosis,
normal atau sedikit leukopenia. Pada urine terdapat proteinuriaa,
leukosituria, hematuria mikroskopis. Leptospirosis berat ditandai
dengan trombositopenia
b. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
memperkuatdiagnose snake bite adalah pemeriksaan laboratorium
meliputi
1) Leukosit : terjadi peningkatan
2) Trombosit : terjadi penurunan

18
A. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
No. Etiologi Masalah
1. Leptospira Hipertermi

Kontak dengan kulit

Masuk ke dalam aliran darah

Terjadi replikasi bakteri

respon inflamasi lokal dan sistemik

Hipertermi
2. Leptospira Kekurangan
Volume Cairan
Kontak dengan kulit

Masuk ke dalam aliran darah

Masuk ke gastrointestinal

Terjadi replikasi bakteri

Mual

Kegagalan mekanisme regulasi

Kekurangan Volume Cairan


3. Leptospira Nyeri akut

Kontak dengan kulit

Masuk ke dalam aliran darah

Terjadi replikasi bakteri

Induksi sekresi TNFα dan monosit

respon inflamasi lokal dan sistemik

19
Terjadi reaksi kimia bradikinin dan
prostaglandin

Kerusakan otot (myalgia),


hematomegali, splenomegali

Nyeri akut
4. Leptospira Ketidakseimbangan
nutisi : kurang dari
Kontak dengan kulit
kebutuhan tubuh
Masuk ke dalam aliran darah

Masuk ke gastrointestinal

Terjadi replikasi bakteri

Hepatomegali, Splenomegali

Mual

Ketidakseimbangan nutisi : kurang dari


kebutuhan tubuh

5. Leptospira Kerusakan
Integritas Kulit
Kontak dengan kulit

Masuk ke dalam aliran darah

Terjadi replikasi bakteri

respon inflamasi lokal dan sistemik

Reaksi bradikinin, prostaglandin

Rush kulit

Eritematosa

20
Kerusakan integritas kulit
6. Leptospira Gangguan rasa
nyaman
Kontak dengan kulit

Masuk ke dalam aliran darah

Terjadi replikasi bakteri

Induksi sekresi TNFα dan monosit

respon inflamasi lokal dan sistemik

Terjadi reaksi kimia bradikinin dan


prostaglandin

Kerusakan otot (myalgia)

Nyeri

Gangguan rasa nyaman


7. Leptospira Insombia

Kontak dengan kulit

Masuk ke dalam aliran darah

Terjadi replikasi bakteri

respon inflamasi lokal dan sistemik

Gangguan otot

Ketidaknyamanan

Insomnia
8. Leptospira Risiko Perdarahan

Kontak dengan kulit

21
Masuk ke dalam aliran darah

Terjadi replikasi bakteri

Hepatomegali, Spenomegali

Sirkulasi darah terganggu

Trombosit turun

Risiko Perdarahan

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul berdasarkan NANDA 2015-


2017 adalah sebagai berikut :
1) Hipertermi (Domain 11, Kelas 6, Kode Diagnosa 00007)
Hipertermi b.d sepsis, penyakit
a. Definisi
Suhu inti tubuh diatas kisaran normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi
b. Batasan Karakteristik
1. Apnea
2. Gelisah
3. Hipoensi
4. Kejang
5. Koma
6. Kulit kemerahan
7. Kulit terasa hangat
8. Letargi
9. Postur abnormal
10. Stupor
11. Takikardia
12. Takipnea
13. Vasodilatasi

22
c. Intervensi
Perawatan Demam (3740)
1. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
Rasional : Untuk mengetahui suhu tubuh pasien
2. Monitor warna kulit dan suhu
Rasional : Mengidentifikasi keparahan demam
3. Dorong konsumsi cairan
Rasional : Mengurangi demam
4. Pantau komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan demam
serta tanda dan gejala penyebab demam
Rasional : Untuk meminimalisir dan mencegah munculnya
gangguan lain akibat hipertermi
Pengaturan Suhu (3900)
1. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
Rasional : Meningkatkan kenyamanan pasien
2. Diskusikan pentingnya termoregulasi dan kemungkinan efek
negatif dari demam yang berlebihan
Rasional : agar pasien mengetahui dampak suhu tubuh terhadap
kesehatan
3. Kolaborasi dengan tim dokter dan apoteker dalam pemberian obat
antipretik
Rasional : Memberikan terapi obat yang sesuai kebutuhan pasien
Manajemen Cairan (4120)
14. Berikan cairan dengan tepat
Rasional : agar sesuai dengan kebutuhan klien
15. Berikan cairan IV sesuai suhu kamar dengan tepat
Rasioanl : tepat dengan kebutuhan
16. Monitor status hidrasi (misal mukosa lembab, denyut nadi
adekuat, tekanan darah ortostatik)
Rasional : menilai keparahan kekurangan cairan

23
17. Konsultasikan dengan dokter jika ada tanda dan gejala yang
semakin memburuk
Rasional : Pemberian tindakan lanjutan yang tepat dan sesuia
dengan kondisi klien
Pengecekan Kulit (3510)
1. Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema dan
ulserasi pada ekstremitas
Rasional : melihat ada tidaknya infeksi akibat bakteri
2. Periksa kulit dan selaput lendir terkait adanya kemerahan,
kehangatan ekstrim, edema
Rasional : mendeteksi adanya infeksi lanjutan
3. Monitor kulit adanya ruam dan lecet
Rasional : mencegah terjadinya kerusakan pada kulit
4. Monitor kulit adanya kekeringan
Rasional : mendeteksi gangguan kulit dan perkembangan setelah
intervensi
5. Monitor warna dan suhu kulit
Rasional : mencegah adanya komplikasi yang menyebar pada
kulit
2) Kekurangan volume cairan (Domain 2, Kelas 5, Kode Diagnosa
00027)
Kekurangan volume cairan b.d kulit kering, membran mukosa kering,
penurunan turgor kulit, peningkatan suhu tubuh, peningkatan frekuensi
nadi
a. Definisi
Penurunan cairan intravaskular, interstitial, dan/atau intraselular. Ini
mengacu pada dehidrasi, kehialngan cairan saja tanpa perubahan
natrium
b. Batasan Karakteristik
1. Haus
2. Kelemahan

24
3. Kulit Kering
4. Membran mukosa kering
5. Peningkatan frekuensi nadi
6. Peningakatan hematokrit
7. Peningkatan konsentrasi urine
8. Peningkatan suhu tubuh
9. Penurunan berat badan tiba-tiba
10. Penurunan keluaran urine
11. Penurunan pengisian vena
12. Penurunan tekanan darah
13. Penurunan tekanan nadi
14. Penurunan turgor kulit
15. Penurunan turgor lidah
16. Penurunan volume nadi
17. Perubahan status mental
3) Nyeri akut (Domain 12, Kelas 1, Kode Diagnosa 00132)
Nyeri akut b.d agens cedera biologis (infeksi)
a. Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang digambarkan
sebagai kerusakan, awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas
ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi
b. Batasan Karakteristik
1. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri
untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya
2. Diaforesis
3. Dilatasi pupil
4. Ekspresi wajah nyeri (misal. Mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis)

25
5. Fokus pada diri sendiri
6. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
(misal sakala Wong Baker FACES, skala analog visual, skala
penilaian numerik)
7. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar
instrumen nyeri (misal Mc. Gill Pain Questionnaire, Brief Pain
Inventory)
8. Laporan tentang perlaku nyeri/ perubahan aktivitas
9. Mengekspresikan perilaku (mis. gelisah , merengek, menangis,
waspada)
10. Perilaku distraksi
11. Perubahan pada parameter fisiologis (mis. tekanan darah, jantung,
frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan endtidal CO2
12. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
13. Putus asa
14. Perubahan selera makan
15. Sikap melindungi area nyeri
16. Sikap tubuh melindungi
c. Intervensi
Manajemen nyeri (1400)
1. Berikan informasi mengenai nyeri, penyebab nyeri, berapa lama
nyeri, dan cara antisipasi
Rasional : Pasien mengetahui inforamsi mengenai nyeri
2. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
Rasional : Untuk mengurangi nyeri
3. Dorong pasien untuk memonitor dan menangani nyerinya dengan
tepat
Rasional : Agar mengetahui manajemen nyeri dengan tepat
4. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk memabntu
menurunkan nyeri

26
Rasional : Untuk mengurangi atau mencegah bertambahnya nyeri
yang dirasakan
5. Gali bersama pasien aktor-faktor yang dapat menurunkan atau
memperbesar nyeri
Rasional : Agar nyeri dapat berkurang
6. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan penurun nyeri yang
adekuat
Rasional : Agar obat yang diberikan sesuai dan nyeri berkurang
Pengalihan (5900)
1. Motivasi individu memilih teknik pengalihan yang diinginkan
(musik, humor, imajinasi terbimbing dll)
Rasional : Pasien nyaman dengan teknik manajemen nyeri karena
sesuai pilihan
2. Sarankan teknik pengalihan yang sesuai dengan kemampuan,
kesesuaian usia, dan keefektifan penggunaan
Rasional : Agar pasien dapat melakukan dengan maksimal dan
mendapat hasil optimal
3. Dorong partisipasi keluarga dan orang terdekat serta berikan
pengajaran yang diperlukan
Rasional : Untuk menambah motivasi klien
Manajemen lingkungan : kenyamanan (6482)
1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung
Rasional : Agar tidak memperburuk rasa nyeri
2. Hindari udara yang terlalu panas atau dingin
Rasional : Meningaktkan rasa nyaman klien
3. Hindari gangguan yang tidak perlu dan berikan waktu istirahat
Rasional : Membantu menurunkan rasa nyeri

27
4) Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh ( Domain
2, Kelas 1, kode diagnosa 00002)
Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang
asupan makanan
a. Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
b. Batasan Karakteristik
1. Berat badan 20% atau lebih dibawah rentang berat badan ideal
2. Bising usus hiperaktif
3. Cepat kenyang setelah makan
4. Gangguan sensasi rasa
5. Kehilangan rambut berlebihan
6. Keemahan otot untuk menelan
7. Kerapuhan kapiler
8. Kelemhan otot pengunyah
9. Kesalahan informasi
10. Kesalahan persepsi
11. Ketidakmampuan memakan makanan
12. Kram abdomen
13. Kurang informasi
14. Kurang minat pada makanan
15. Kurang informasi
16. Membran mukosa pucat
17. Penurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
18. Sariawan rongga mulut
19. Tonus otot menurun
c. Intervensi
Manajemen gangguan makan (1030):
1. Kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain untuk
mengembangkan rencana perawatan dengan melibatkan pasien
dan orang terdekatnya dengan tepat

28
Rasional : Memudahkan tindakan keperawatan yang dilakukan
kepada pasien
2. Tentukan pencapaiaan berat badan harian sesuai keinginan
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan nutrisi pasien
3. Dorong pasien untuk mendiskusikan makanan yang disukai
dengan bersama ahli gizi
Rasional : Untuk meningkatkan nafsu makan pasien
4. Timbang berat badan pasien secara rutin (pada hari yang sama
dan setelah BAB/BAK)
Rasional : Untuk mencatat perkembangan nutrisi pasien
5. Berikan dukungan terhadap peningkatan berat badan dan perilaku
yang meningkatkan berat badan
Rasional : Untuk memenuhi berat badan pasien
Manajemen nutrisi (1100):
1. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan gizi
Rasional : Untuk meningkatkan status gizi pasien
2. Lakukan atau bantu pasein terkait dengan perawatan mulut
sebelum makan
Rasional : Untuk meningkatkan kebersihan diri pasien sehingga
pasien mengalami peningkatan nafsu makan
3. Monitor kalori dan asupan makanan
Rasional : Untuk mencukupi kebutuhan kalori
4. Tawarkan makanan yang ringan padat gizi
Rasional : Untuk menambah nafsu makan pasien
5) Kerusakan integritas kulit (Domain 11, Kelas 2, kode Diagnosa 00046)
Kerusakan integritas kulit b.d hipertermia, nutrisi tidak adekuat, gangguan
volume cairan
a. Definisi
Kerusakan pada epidermis/ atau dermis

29
b. Batasan karakteristik
1. Benda asing menusuk permukaan kulit
2. Kerusakan integritas kulit
6) Gangguan rasa nyaman (Domain 12, Kelas 1, Kode diagnosa 00214)
Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit
a. Definisi
Merasa kurang nyaman, lega, dan sempurna dalam dimensi fisik,
psikospiritual, lingkungan, budaya, dan/atau sosial
b. Batasan karakteristik
1. Ansietas
2. Berkeluh kesah
3. Gangguan pola tidur
4. Gatal
5. Gelisah
6. Iritabilitas
7. Gejala distres
8. Ketidakmampuan untuk relaks
9. Kurang puas dengan keadaan
10. Menangis
11. Merasa dingin
12. Merasa kurang senang dengan situasi
13. Merasa hangat
14. Merasa tidak nyaman
15. Merintih
16. Takut
17. Merasa lapar
7) Insomnia (Domain 4, Kelas 1, Kode Diagnosa 00095)
Insomnia b,.d ketidaknyamanan fisik
a. Definisi
Gangguan pada kuantitas dan kualitas tidur yang menghambat fungsi
b. Batasan karakteristik

30
1. Bangun terlalu dini
2. Gangguan pola tidur
3. Gangguan status kesehatan
4. Gangguan tidur yang berdampak pada keesokan hari
5. Kesulitan memulai tidur
6. Kesulitan tidur nyenyak
7. Kurang bergairah
8. Peningkatan terjadi kecelakaan
9. Penurunan kualitas hidup
10. Perubahan afek
11. Perubahan konsentrasi
12. Perubahan mood
13. Pola tidur tidak menyehatkan
14. Tidur tidak memuaskan
8) Risiko Perdarahan (Domain 11, Kelas 2, Kode Diagnosa 00206)
Risiko perdarahan d.d koagulopati inheren (trombositopenia)
a. Definisi
Rentan mengalami penurunan volume darah yang dapat mengganggu
kesehatan
b. Faktor Risiko
1. Aneurisme
2. Gangguan fungsi hati misal sirosis, hepatitis
3. Gangguan gastrointestinal
4. Koagulopati inheren (misal trombositopenia)
5. Kurang pengetahuan tentang kewaspadaan perdarahan
6. Riwayat jatuh
7. Sirkumsisi
8. Trauma
9. Komplikasi kehamilan
10. Komplikasi pascapartum

31
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS

Seorang pasien laki-laki bernama Tn. B usia 35 tahun datang ke rumah sakit
Jember Sehat pada tanggal 10 November 2019 dengan demam sejak 4 hari yang
lalu secara tiba-tiba disertai menggigil. Tn. B juga mengeluh nyeri otot hebat
terutama pada bagian betis. Pasien juga mengeluh nyeri kepala dan lemas, mual,
dan tidak nafsu makan. Nyeri kepala dirasakan hilang timbul pada kepala bagian
depan. Pasien mengeluhkan mata kemerahan tanpa disertai kotoran. Pasien
bekerja sebagai petani dan sering melalui genangan air dengan kaki telanjang.
Pasien tidak ada keluhan flu. Sebelumnya pasien mengonsumsi paracetamoll.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik TTV TD : 120/50 mmHg, N : 105x/ menit,
RR : 20x/ menit, suhu : 38.5°C, skala nyeri 8, conjunctival suffusion (+), sklera
tidak ikterik, muntah (-). Hasil pemeriksaan laboratorium diketahui Hb 14 gr/dl,
leukosit 10.000/mm, trombosit 140.000/mm, eritrosit 3.97 juta/ul. Diagnosa medis
Leptospirosis.

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
1. Nama : Tn.B
2. Umur : 35 tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status Perkawinan : Menikah
5. Pekerjaan : Petani
6. Penidikan : SMP
7. Agama : Islam
8. Suku : Jawa
9. Alamat : Jember
10. No RM : 123456
11. Tanggal pengkajian : 10 November 2019
12. Waktu pengkajian : pukul 09.00 WIB

32
3.1.2 Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Demam selama 4 hari disertai menggigil, nyeri otot betis dan kepala
2) Riwayat penyakit sekarang
Tn. B mengatakan bahwa dia mengeluhkan nyeri dibagian betis dan
perut, mual, tidak nafsu makan, sakit kepala, mata kemerahan tanpa
disertai kotoran
3) Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan sebelumnya tidak menderita sakit apapun
4) Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang menderita
penyakit menular seperti TBC, hepatitis, dll dan tidak ada yang
menderita penyakit keturunan seperti DM dan hipertensi
5) Pola Fungsi Kesehatan (Sehat dan saat sakit)
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Sehat : Nafsu makan klien baik (klien makan 3 kali sehari) tanpa
adanya rasa sakit saat menenlan dan rasa sulit menelan
Sakit : Klien nafsu makannya berkurang (2 kali sehari dengan porsi
seperampat piring)
b. Pola aktivitas
Sehat : Klien beraktivitas seperti biasanya tanpa ada masalah, seperti
pergi ke kampus dll
Sakit : Klien kurang beraktifitas karena rasa nyeri pada bagian betis
dan merasa lemas
Aktivitas harian
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan/minum √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas di tempat tidur √

33
Berpindah √
Ambulasi / ROM √

c. Pola istirahat dan tidur


Sehat : klien tidur 6-7 jam per hari
Sakit : Pola tidur klien tidak bertauran klien tidak bisa tidur dengan
nyenyak karena rasa sakit sering muncul (tidur 3 jam per hari)
d. Pola eliminasi
Sehat : Pola eliminasi pada klien normal
Sakit : Pola eliminasi pada klien terganggu, diare 3 kali, output urine
sedikit karena intake cairan kurang
e. Pola hubungan peran
Sehat : Klien mampu menjalin hubungan dengan orang-orang yang
di kenal atau teman dekatnya
Sakit : Klien hanya mau bercerita ke keluarganya saja.
f. Pola penanggulangan stress
Klien selalu bercerita kepada istrinya jika memiliki masalah
g. Pola tata nilai dan kepercayaan
Sehat : Klien taat beribadah
Sakit : Klien merasa terganggu saat beribadah karena rasa sakit dan
nyeri yang muncul dan merasa sakit kepala
h. Pola fungsi dan seksualitas
Sehat : Klien dapat melakukan hubungan seksual dengan istrinya
Sakit : Klen tidak dapat melakukan hubungan seksual
i. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : composmentis, tampak lemas
2) Tanda-tanda vital
TD : 120/50 mmHg
N : 105x/ menit
RR : 20x/ menit
Suhu : 38.5°C

34
3) Pemeriksaan kepala dan leher
1. Kepala
Inspeksi : Rambut tidak beruban, keadaan rambut dan kulit
kepala bersih, penyebaran rambut merata, tidak ada lesi.
Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan.
2. Wajah
Inspeksi : tampak lesu, pucat, simestris kiri kanan, bentuk
wajah oral, tidak tampak reflex/gerakan abnormal, ekspresi
wajah meringis bila nyeri
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak tidak ada
oedama/massa
3. Mata
Inspeksi : Terdapat conjunctival suffusion, sklera tidak
ikterik
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada kedua bola mata, kedua
bola mata teraba lunak
4. Hidung
Inspeksi : simetris kiri dan kanan, tidak tampak adanya
septum deviasi
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada hidung, sinus
maksillaris, frontalis dan etmoidalis, tidak ada
massa/benjolan
5. Mulut
Inspeksi : mukosa bibir kering dan pucat, gigi depan utuh dan
rahang utuh, gusi tidak terdapat peradangan, lidah tampak
berwarna putih.
6. Leher
Inspeksi : tidak tampak pembesaran kelenjar tyroid, kelenjar
limfe, tidak ada pembesaran vena jugularis.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran
kelenjar tyroid dan kelenjar limfe

35
4) Pemeriksaan thorax
a) Inspeksi : bentuk dada normal chest, frekuensi nafas
16x/menit.
b) Palpasi : ekspansi dada kanan dan kiri seimbang. Getaran
vocal fremitus teraba diseluruh dada, tidak teraba adanya
massa, tidak ada nyeri tekan.
c) Perkusi : sonor pada semua lapang paru, tidak terdengar
adannya penimbunan cairan.
d) Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, tidak ada ronchi
5) Pemeriksaan ekstremitas
1. Ekstremitas atas
a) Motorik : klien dapat menggerakan ekstremitas kanan
dan kiri, tonus otot kanan dan kiri baik, kekuatan otot
nilai 5/5
b) Refleks : Biceps kiri dan kanan normal, triceps kiri dan
kanan normal.
c) Sensorik : tidak ada nyeri tekan, sensitif terhadap
rangsangan suhu dan perabaan, CRT > 2 detik, akral
dingin
2. Ekstremitas bawah
a) Motorik : nilai kekuatan otot dextra 2 dan sinistra 3
b) Refleks : patella kanan dan kiri tidak normal, Achilles
kanan dan kiri tidak normal, babinsky kanan dan kiri
normal
c) Sensorik : ada nyeri tekan pada betis
6) Pemeriksaan abdomen
1. Inspeksi : warna kulit sama dengan daerah sekitarnya, perut
tampak simetris
2. Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba hepar
3. Auskultasi : bising usus 30 x/menit

36
4. Perkusi : terdengar bunyi timpani kecuali pada daerah
kuadran kanan atas, pekak pada daerah hepar
7) Pemeriksaan integumen
1. Inspeksi : kulit berwarna sawo matang, terdapat persebaran
rambut-rambut pada tangan dan kaki.
2. Palpasi : turgor kulit turun, elastisitas kulit menurun.
8) Pemeriksaan genetalia
Tidak ada benjolan di daerah kelamin
9) Pemeriksaan Dignostik
Hb :14 gr/dl
leukosit : 10.000/mm
trombosit : 140.000/mm
eritrosit : 3.97 juta sel/ul

37
3.2 Analisa Data
No. Data Etiologi Masalah
1. DS : Leptospira Hipertermi
Pasien mengatakan
demam sejak 5 hari yang
Kontak dengan
lalu dan disertai
kulit
menggigil
DO:
Masuk ke dalam
Akral dingin, mukosa
aliran darah
kering, TD : 120/50
mmHg, N : 105x/ menit,
Terjadi replikasi
RR : 20x/ menit, suhu :
bakteri
38.5°C leukosit :
10.000/mm, trombosit
respon inflamasi
140.000/mm, eritrosit
lokal dan sistemik
3.97 juta sel/ ul, CRT > 2
detik
Hipertermi

2. DS : Leptospira Nyeri akut


Pasien mengatakan nyeri
otot hebat pada bagian Kontak dengan
betis dan nyeri kepala kulit
P : rasa nyeri semakin
parah ketika berjalan Masuk ke dalam
Q : seperti ditusuk-tusuk aliran darah
R : di bagian betis dan
kepala Terjadi replikasi
S : skala nyeri 8 bakteri
T : terasa secara terus
menerus pada betis dan Induksi sekresi
hilang timbul pada TNFα dan monosit
kepala

38
DO: respon inflamasi
Ekspresi skala nyeri 8, lokal dan sistemik
nilai kekuatan otot dextra
2 dan sinistra 3, ada Terjadi reaksi
nyeri tekan pada betis, kimia bradikinin
klien tampak memegangi dan prostaglandin
bagian betisnya, TD :
120/50 mmHg, N Kerusakan otot
105x/menit (myalgia)

Nyeri akut
4. DS : Leptospira Ketidakseimbangan
Pasien mengeluh mual-
nutisi : kurang dari
mual dan tidak nafsu
Kontak dengan kebutuhan tubuh
makan. Klien
kulit
mengatakan makan 2
kali sehari dengan porsi
Masuk ke dalam
seperampat piring
aliran darah
DO:
mukosa bibir kering dan
Masuk ke
pucat, wajah pucat,
gastrointestinal
pasien tampak lemas

Terjadi replikasi
bakteri

Mual

Ketidakseimbangan
nutisi : kurang dari
kebutuhan tubuh

39
3.3 Diagnosa
1. Hipertermi b.d sepsis, penyakit d.d kulit terasa hangat, takikardi
2. Nyeri akut b.d agens cedera biologis (infeksi) d.d ekspresi wajah nyeri,
perubahan selera makan, sikap melindungi area nyeri
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang
asupan makanan d.d kurang minat pada makanan dan membran mukosa
pucat

40
3.4 Intervensi Keperawatan
TTD dan
Hari/
Diagnosa Nama
No Tanggal Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan Terang
Jam
Perawat
1. Minggu, Hipertermi b.d Setelah dilakukan tindakan Perawatan Demam (3740) Perawatan Demam
10 sepsis, perawatan selama 2x24 jam 1. Pantau suhu dan tanda- (3740)
November penyakit d.d diharapkan masalah hipertermi tanda vital lainnya 1. Untuk mengetahui
2019 kulit terasa pada pasien dapat teratasi 2. Monitor warna kulit dan suhu tubuh pasien
hangat, dengan kriteria hasil : suhu 2. Mengidentifikasi
takikardi Termoregulasi (0800) 3. Dorong konsumsi cairan keparahan demam
1. Peningkatan suhu
ditingkatkan dari skala 2
kulit 4. Pantau
komplikasi
komplikasi-
yang
3. Mengurangi demam
4. Untuk meminimalisir
α
Ns. D
(banyak terganggu) ke skala berhubungan dengan dan mencegah
4 (sedikit terganggu) demam serta tanda dan munculnya gangguan
2. Hipertermi ditingkatkan dari gejala penyebab demam lain akibat hipertermi
skala 2 (cukup berat) ke skala Pengaturan Suhu (3900) Pengaturan Suhu
4 (ringan) 1. Sesuaikan suhu (3900)
3. Sakit kepala ditingkatkan lingkungan dengan 1. Meningkatkan

41
dari skala 3 (sedang) ke skala kebutuhan pasien kenyamanan pasien
5 (tidak ada) 2. Diskusikan pentingnya 2. agar pasien
Keparahan infeksi (0703) termoregulasi dan mengetahui dampak
1. Menggigil ditingkatkan dari kemungkinan efek negatif suhu tubuh terhadap
skala 2 (cukup berat) ke skala dari demam yang kesehatan
4 (ringan) berlebihan 3. Memberikan terapi
2. Demam ditingkatkan dari 3. Kolaborasi dengan tim obat yang sesuai
skala 2 (cukup berat) ke skala dokter dan apoteker dalam kebutuhan pasien
4 (ringan) pemberian obat antipretik Manajemen Cairan
Manajemen Cairan (4120) (4120)
18. Berikan cairan dengan 1. agar sesuai dengan
tepat kebutuhan klien
19. Berikan cairan IV 2. tepat dengan
sesuai suhu kamar dengan kebutuhan
tepat 3. menilai keparahan
20. Monitor status hidrasi kekurangan cairan
(misal mukosa lembab, 4. Pemberian tindakan
denyut nadi adekuat, lanjutan yang tepat
tekanan darah ortostatik) dan sesuia dengan

42
21. Konsultasikan dengan kondisi klien
dokter jika ada tanda dan Pengecekan Kulit
gejala yang semakin (3510)
memburuk 1. melihat ada tidaknya
Pengecekan Kulit (3510) infeksi akibat bakteri
1. Amati warna, kehangatan, 2. mendeteksi adanya
bengkak, pulsasi, tekstur, infeksi lanjutan
edema dan ulserasi pada 3. mencegah terjadinya
ekstremitas kerusakan pada kulit
2. Periksa kulit dan selaput 4. mendeteksi gangguan
lendir terkait adanya kulit dan
kemerahan, kehangatan perkembangan setelah
ekstrim, edema intervensi mencegah
3. Monitor kulit adanya ruam adanya komplikasi
dan lecet yang menyebar pada
4. Monitor kulit adanya kulit
kekeringan
5. Monitor warna dan suhu
kulit

43
2. Minggu, Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (1400) Manajemen nyeri
10 agens cedera keperawatan 2 × 24 jam, 1. Berikan informasi (1400)
November biologis diharapkan nyeri pada pasien mengenai nyeri, penyebab 1. Pasien mengetahui
2019 (infeksi) d.d berkurang dengan kriteria hasil : nyeri, berapa lama nyeri, inforamsi mengenai
ekspresi wajah Tingkat Nyeri (2102) dan cara antisipasi nyeri
nyeri, 1. Nyeri yang dilaporkan 2. Ajarkan prinsip-prinsip 2. Untuk mengurangi
perubahan ditingkatkan dari skala 2 manajemen nyeri nyeri
selera makan, (cukup berat) ke skala 4 3. Dorong pasien untuk 3. Agar mengetahui
sikap (ringan) memonitor dan menangani manajemen nyeri
melindungi 2. Panjangnya episode nyeri nyerinya dengan tepat denga tepat α
area nyeri ditingkatkan dari skala 2 4. Dukung istirahat/tidur 4. Untuk mengurangi Ns. D

(cukup berat) ke skala 4 yang adekuat untuk atau mencegah


(ringan) memabntu menurunkan bertambahnya nyeri
3. Ekspresi nyeri wajah nyeri yang dirasakan
ditingkatkan dari skala 2 5. Gali bersama pasien aktor- 5. Agar nyeri dapat
(cukup berat) ke skala 4 faktor yang dapat berkurang
(ringan) menurunkan atau 6. Agar obat yang
4. Tidak bisa beristirahat memperbesar nyeri diberikan sesuai dan
ditingkatkan dari skala 2 6. Kolaborasi dalam nyeri berkurang

44
(cukup berat) ke skala 4 pemberian obat-obatan Pengalihan (5900)
(ringan) penurun nyeri yang 1. Pasien nyaman
5. Ketegangan otot ditingkatkan adekuat dengan teknik
dari skala 2 (cukup berat) ke Pengalihan (5900) manajemen nyeri
skala 4 (ringan) 1. Motivasi individu memilih karena sesuai pilihan
6. Frekuensi napas ditingkatkan teknik pengalihan yang 2. Agar pasien dapat
dari skala 4 (deviasi ringan diinginkan (musik, humor, melakukan dengan
dari kisaran normal) ke skala imajinasi terbimbing dll) maksimal dan
5 (tidak ada deviasi dari 2. Sarankan teknik mendapat hasil
kisaran normal) pengalihan yang sesuai optimal
Tingkat Ketidaknyamanan dengan kemampuan, 3. Untuk menambah
(2109) kesesuaian usia, tingkat motivasi klien
1. Nyeri ditingkatkan dari skala perkembangan dan Manajemen lingkungan
2 (cukup berat) ke skala 4 keefektifan penggunaan : kenyamanan (6482)
(ringan) 3. Dorong partisipasi 1. Agar tidak
2. Ketegangan wajah keluarga dan orang memperburuk rasa
ditingkatkan dari skala 2 terdekat serta berikan nyeri
(cukup berat) ke skala 4 pengajaran yang 2. Meningaktkan rasa
(ringan) diperlukan nyaman klien

45
3. Menderita 2 (cukup berat) ke Manajemen lingkungan : 3. Membantu
skala 4 (ringan) kenyamanan (6482) menurunkan rasa
1. Ciptakan lingkungan nyeri
yang tenang dan
mendukung
2. Hindari udara yang
terlalu panas atau dingin
3. Hindari gangguan yang
tidak perlu dan berikan
waktu istirahat

3. Minggu, Ketidakseimba Setelah dilakukan tindakan Manajemen gangguan Manajemen gangguan


10 ngan nutrisi : keperawatan 2 × 24 jam, pasien makan (1030): makan (1030):
November kurang dari diharap asupan nutrisi tubuh 1. Kolaborasi dengan tim 1. Memudahkan
2019 kebutuhan
tubuh
terpenuhi dengan kriteria hasil :
b.d Nafsu makan (1014)
kesehatan yang lain untuk
mengembangkan rencana
tindakan keperawatan
yang dilakukan
α
Ns. D
kurang asupan 1. Hasrat/ keinginan makan perawatan dengan kepada pasien
makanan d.d ditingkatkan dari skala 3 melibatkan pasien dan 2. Untuk mengetahui
kurang minat (cukup terganggu) ke skala 4 orang terdekatnya dengan perkembangan nutrisi

46
pada makanan (sedikit terganggu) tepat pasien
dan membran 2. Menyenangi makanan 2. Tentukan pencapaiaan 3. Untuk meningkatkan
mukosa pucat ditingkatkan dari skala 3 berat badan harian sesuai nafsu makan pasien
(cukup terganggu) ke skala 4 keinginan 4. Untuk mencatat
(sedikit terganggu) 3. Dorong pasien untuk perkembangan nutrisi
3. Intake nutrisi ditingkatkan mendiskusikan makanan pasien
dari skala 3 (cukup yang disukai dengan 5. Untuk memenuhi
terganggu) ke skala 4 (sedikit bersama ahli gizi berat badan pasien
terganggu) 4. Timbang berat badan Manajemen nutrisi
Status nutrisi (1004): pasien secara rutin (pada (1100):
1. Asupan gizi ditingkatkan dari hari yang sama dan 1. Untuk meningkatkan
skala 2 (banyak menyimpang setelah BAB/BAK) status gizi pasien
dari rentang normal) ke skala 5. Berikan dukungan 2. Untuk meningkatkan
5 (tidak menyimpang dari terhadap peningkatan kebersihan diri pasien
rentan normal) berat badan dan perilaku sehingga pasien
2. Asupan makan ditingkatkan yang meningkatkan berat mengalami
dari skala 2 (banyak badan peningkatan nafsu
menyimpang dari rentang Manajemen nutrisi (1100): makan
normal) ke skala 5 (tidak 1. Tentukan jumlah kalori 3. Untuk mencukupi

47
menyimpang dari rentan dan jenis nutrisi yang kebutuhan kalori
normal) dibutuhkan untuk 4. Untuk menambah
3. Energi ditingkatkan dari skala memenuhi persyaratan nafsu makan pasien
2 (banyak menyimpang dari gizi
rentang normal) ke skala 5 2. Lakukan atau bantu pasein
(tidak menyimpang dari terkait dengan perawatan
rentan normal) mulut sebelum makan
3. Monitor kalori dan asupan
makanan
4. Tawarkan makanan yang
ringan padat gizi

48
3.1 Evaluasi
No Hari/ Nomor Evaluasi (SOAP) TTD
. tanggal/jam Diagnosa dan
Nama
Terang
Perawat

α
1. Minggu, 10 1 S : Pasien mengatakan demamnya turun,
November sudah tidak menggigil
Ns. D
2019 O : Suhu : 37°C, N 90x/menit, tidak diare,
mukosa tampak lembab
A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi

α
2. Minggu, 10 2 S : Pasien mengatakan rasa nyeri otot pada
November betis berkurang
Ns. D
2019 O : Masih ada nyeri tekan pada betis, TD
115/80 mmHg, skala nyeri 5
A : Masalah teratasi sebagian
P : Mengulang intervensi 1,2,3

α
3. Minggu, 10 3 S : Pasien mengatakan sudah mampu
November menghabiskan setengah porsi makanan yang
Ns. D
2019 diberikan
O : mukosa bibir tampak lembab, wajah
terlihat lebih segar
A : Masalah teratasi sebagian
P : Mengulang intervensi 1,2

49
BAB IV
PATHWAYS

Leptospira

kulit, konjungtiva,
atau mukosa

Masuk dalam aliran


darah

Terjadi replikasi
bakteri

Menyebar ke sistem Induksi TNFα dan


gastrointestinal
monosit
Mual
Splenomegali, Inflamasi lokal dan
hematomegali, vaskulitis sistemik
Nafsu makan Intake cairan
turun turun Nyeri akut
Sirkulasi darah
terganggu
Ketidakseimbangan Gangguan
nutrisi : Kurang dari Rasa Nyaman
Trombosit turun
kebutuhan tubuh
Reaksi bradikinin,
Insomnia prostaglandin

Kegagalan Risiko Perdarahan


mekanisme regulasi Rush kulit

Kerusakan
Kekurangan Eritematotasa Hipertermi
Volume Cairan integritas kulit

Gambar 4.1 Pathway Leptospirosis

50
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, M. (2019). PERILAKU SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP


KEBERADAAN TIKUS SEBAGAI VEKTOR LEPTOSPIROSIS DI
SURABAYA. GEMA LINGKUNGAN KESEHATAN, 17(1). (Diakses pada
tanggal 11 November 2019 dari http://journal.poltekkesdepkes-
sby.ac.id/index.php/KESLING/article/view/1045)
Bulechek, G. dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 6.
Singapore: CV. Mocomedia.
Cahyadi, A. (2019). Leptospirosis: Penyakit yang Terlupakan. JOURNAL OF
THE INDONESIAN MEDICAL ASSOCIATION Majalah Kedokteran
Indonesia, 69(2). (Diakses pada tanggal 11 November 2019 dari
http://journal.poltekkesdepkessby.ac.id/index.php/KESLING/article/view/1
045)
Herdman, T. Kamitsuru, S. 2014. Nursing Diagnoses: Definitions and
Classification 2015-2017. Edisi 10. Oxford: Blackwell.
Moorhead, S., M. Johnson., M. L. Maas., E. Swanson. 2013. Nursing Outcomes
Clasification (NOC) ; Measurement of Health Outcomes. 5th edition.
Terjemahan oleh Nurjannah, I dan R. D. Tumanggor. Nursing Outcomes
Clasification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Edisi Kelima. CV.
Mocomedia.
Nasronudin. 2011. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang.
Surabaya : Airalangga University Press
Pramestuti, N., Djati, A. P., & Kesuma, A. P. (2015). Faktor Risiko Kejadian Luar
Biasa (KLB) Leptospirosis Paska Banjir di Kabupaten Pati Tahun 2014.
Vektora: Jurnal Vektor dan Reservoir Penyakit, 7(1), 1-6.
Sucipto, M. P. G., Nababan, R. M., & Falamy, R. (2017). Ikterus yang
Disebabkan oleh Suspek Leptospirosis. Jurnal Medula, 7(4), 20-25.(Diakses
pada tanggal 15 November 2019 dari
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/1683)
Tanto, C. Frans L. Sonia H. Eka P.A. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Media Aesculapius

51

Anda mungkin juga menyukai