Anda di halaman 1dari 24

Chronic Kidney Disease (CKD)

dengan Hemodialisa

Keperawatan Medikal Bedah

DISUSUN OLEH:

Kelompok 2

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2023
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Hemodialisa”.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan ini
dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Ungaran, 07 Mei 2023

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan suatu masalah kesehatan yang penting,
megagingat prevalensi dan angka kejadiannya semakin meningkat juga
pengobatan pengganti ginjak yang harus dialami olhe penderita gagal ginjal
merupakan pengobatan yang mahal,butuh waktu kesabaran yang harus
ditanggung oleh penderita gagal ginjal dan keluarganya (Harrison,2013).
Penderita gagal ginjal kronik harus melakukan terapi hemodialisa untuk
memperpanjang usia harapan hidup. Kegiatan ini akan berlangsung terus-
menerus sepanjang hidupnya (Smeltzer & Bare.2016). Oleh karena itu,
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/pengobatan gejala fisik,namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis,sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan
interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan (Dhina,2015).
Perawatan paliatif ini dapat menggunakan intervensi dengan psikologis
(psychological intervention) berupa relaksasi spiritual. Pemeberian intervensi
ini dilakukan dnegan setting kelompok dan diharapkan tercipta peer group
support sesame penderita yang akan meningkatkan motivasi mereka dalam
berdapatasi terhadap penyakitnya (menerima), sehingga mampu membangun
mekanisme koping yang efektif dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya
(Dhina,2015). Berdasarkan data dari RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar)
menunjukkan, pada tahun 2018 prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan
diagnosa dokter pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia yaitu sebagai berikut usia
15-24 tahun 1,33%, usia 25-34 tahun 2,28%, usia 35-44 tahun 3,31%, usia
45-54 tahun 5,64%, usia 55-64 tahun 7,21%, usia 65-74 tahun 8,23% dan usia
≥ 75 tahun 7,48%. Di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal kronik sekitar
300.000 orang dan yang menjalani terapi sebanyak 25.600 dan sisanya tidak
tertangani. Berdasarkan hasil penelitian terkait oleh Ana Nurhidayati tahun
2017 didapatkan bahwa kualitas tidur pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa di RS PKU Muhammadiya Gombong berdasarkan
faktor penyakit berkategori buruk 53 responden (86,9%), faktor latihan dan
kelelahan berkategori buruk 53 resonden (86,9%), faktor stres berkategori buruk
52 resonden (85,2%), faktor nutrisi berkategori buruk 55 responden (90,2%),
dan faktor lingkungan berkategori buruk 58 resonden (95,1%). Dari data yang
didapat jumlah pasien yang menjalani hemodialisa di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya pada tahun 2016 (Januari-Desember) sebanyak 302 pasien,
tahun 2017 (Januari-Desember) sebanyak 364 pasien, dan tahun 2018 (Januari-
Desember) sebanyak 311 pasien. Jumlah penderita gagal ginjal meningkat
setiap tahunnya.Berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti pada
tanggal 28 April 2020 di ruang Hemodialisa RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya dari sebelas pasien yang dilakukan wawancara, didapatkan
bahwa sebanyak 8 pasien mengalami gangguan tidur, sedangkan pada 3 orang
pasien tidak mengalami gangguan tidur.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pemberian asuhan keperawatan yang efektif dan efisien
pada pasien dengan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisa?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan asuhan
keperawatan Diagnosa Medis Gagal Ginjal Kronik dengan Hemoialisa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth,
2017).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang
bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal
yaitu penurunan laju filtrasiglomerulus yang dapat digolongkan dalam
kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2016). CRF (Chronic
Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk
mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun
elektrolit, sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2018).

2.1.2 Anatomi Fisiologi


Manusia memiliki sepasang ginjal. Dua ginjal terletak pada
dinding posterior abdomen,diluar rongga peritoneum. Sisi medial setiap
ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya
arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai saraf , dan ureter yang
membawa urine akhir dari ginjal ke kandung kemih, tempat urine
disimpan hingga dikeluarkan. Ginjal dilengkapi oleh kapsul fibrosa
yang keras untuk melindungi struktur dalamnya yang rapuh. Posisi
ginjal kanan sedikit lebih rendah dari posisi ginjal kiri karena ginjal
kanan tertekan oleh organ hati. Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra
T12 hingga L3, sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke
sebelas dan dua belas.
1. Anatomi Ginjal
Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran
dalam mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan
mempertahankan keseimbangan asam basa dalam darah. Produk
sisa berupa urin akan meninggalkan ginjal menuju saluran kemih
untuk dikeluarkan dari tubuh. Ginjal terletak di belakang
porituneom sehingga disebut organ retroperitoneal (Snell, 2016).
Ginjal berwarna cokelat kemerahan dan berada di sisi kanan
dan kiri kolumna vertebralis setingga vertebrata T12 sampai
vertebrata L3. Ginjal dexter terletak sedikit lebih rendah daripada
sinistra karena adanya lobus hepatis yang besar. Masing-masing
ginjal memiliki fasies anterior, fasies interior, margo lateralis,
margo medialis, ekstremitas superior dan ekstremitas interior
(Moore, 2017).
Bagian luar ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa, capsula
adipusa, fasia reanlis dan corpus adiposum pararenal. Masing-
masing ginjal memiliki bagian yang berwarna cokelat gelap di
bagian luar yang disebut korteks dan medulla renalis di bagian
dalam yang masing-masing memiliki pepilia renalis terdiri dari kira-
kira 12 piramis renalis yang masing-masing memiliki pepilia
renalis di bagian apeknya. Di antara piramis renalis terdapat
kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis (Snell,
2016).
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari yang
membawa darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke
ginjal melalui hilum renalis. Secara khas, di dekat hilum
renalis. Beberapa vena menyatukan darah dari rend an
bersatu membentuk pola yang berbeda-beda, untuk membentuk pola
renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap arteri renalis, sinistra
lebih panjang, melintas ventral terhadap arteri renalis bermuara ke
vena cava inferior (Moore, 2017).
Arteri lobaris merupakan arteri yang berasal dari arteri
segmentalis di mana masing-masing ateri lobaris berada pada setiap
piramis renalis. Selanjutnya arteri bercabng menjadi 2 atau 3 arteri
interlobaris yang berjalan menuju korteks di antara piramis renalis.
Pada perbatasan korteks dan meduka renalis, arteri interlobaris
bercabang menajdi arteri arkuata yang kemudian menyusuri
lengkunhan piramis renalis. Arteri arkuata mempercabangkan arteri
interlobularis yang kemudian menjadi arteriol aferen (Snell,2016)

2.1.3 Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit
yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit
parenkim ginjal difus dan bilateral.

1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.


2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis
benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.

4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus


sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.

5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal


polikistik, asidosis tubuler ginjal.

6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme,


amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati
timbale.
8. Nefropati obstruktif
9. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis,
netroperitoneal.
10. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra,
anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

2.1.4 Klasifikasi
Cronic Kidney Disease (CKD) pada dasarnya pengelolaan tidak
jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF), namun pada
terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi
kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5
grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage
awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat
(stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test)
dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal
failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan
derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan
istilah CRF.

1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3


stadium :
a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
1) Kreatinin serum dan kadar BUN normal
2) Asimptomatik
3) Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
1) Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam
diet)
2) Kadar kreatinin serum meningkat Nokturia dan poliuri
(karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1) Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2) Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
3) Kondisi berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
1) Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
2) Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan
dan elektrolit
3) Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ
1,010
2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative)
merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :

a. Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria


persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73
m2).

b. Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan


LFG antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2).

c. Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59


mL/menit/1,73m2).

d. Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara


15-29mL/menit/1,73m2).

e. Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG < 15


mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.
2.1.5 Patofisiologi
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat (Smeltzer
dan Bare, 2011).
2.1.6 Manifestasi Klinis
Menurut (Muhammad, 2017:40), manifestasi klinis pada
Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Desease) yaitu sebagai
berikut:
1. Gangguan pada Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual/muntah akibat adanya gangguan metabolisme
protein dalam usus dan terbentuknya zat toksik.

b. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air


liur yang kemudian diubah menjadi ammonia oleh bakteri,
sehingga napas penderita berbau ammonia.
2. Sistem Kardiovaskular
a. Hipertensi.
b. Dada terasa nyeri dan sesak napas.
c. Gangguan irama jantung akibat sklerosis dini.
d. Edema
3. Gangguan Sistem Saraf dan Otak
a. Miopati, kelainan dan hipertrofi otot.
b. Ensepalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, dan konsentrasi
terganggu.
4. Gangguan Sistem Hematologi dan Kulit

a. Anemia karena kekurangan produksi eritropoetin.


b. Kulit pucat kekuningan akibat anemia dan penimbuann
urokrom.
c. Gatal-gatal akibat toksik uremik.
d. Trombositopenia (penurunan kadar trombosit dalam darah).
e. Gangguan fungsi kulit (fagositosis dan kematosis berkurang)
f. Gangguan Sistem Endokrin:
g. Gangguan metabolisme glukosa retensi insulin dan gangguan
sekresi insulin.

h. Gangguan seksual/libido; fertilitas dan penurunan seksual pada


laki-laki dan gangguan sekresi imun.
5. Gangguan pada Sistem Lain
a. Tulang mengalami osteodistrofi renal.
b. Asidosis metabolik.

2.1.7 Komplikasi
Menurut (Corwin, 2019:730), komplikasi dari penyakit gagal
ginjal kronik adalah sebagai berikut :
1. Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume,
ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan
uremia.

2. Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi


azotemia dan uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang
secara mencolok merangsang kecepatan pernapasan.

3. Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati


uremik, dan pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering
terjadi.
4. Penurunan pembentukan eriropoietin dapat menyebabkan sindrom
anemia kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit
kardiovaskular, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


➢ Radiologi : Untuk menilai keadaan ginjal dan derajat
komplikasi ginjal
➢ Foto polos abdomen : Menilai bentuk dan
besar ginjal serta adakah batu/obstruksi lain
➢ Pielografi Intra Vena : Menilai sistem pelviokalises dan ureter,
beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada usia lanjut, DM dan
nefropati asam urat
➢ USG : Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenhim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kepadatan
parenhim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat
➢ Renogram : Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi
gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa fungsi ginjal

2.1.9 Penatalaksanaan Medis


1. Dialisis

Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu


metode terpi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal
yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi
ini dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun
(lebih dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga
kelangsungan hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama
ini dikenal ada 2 jenis dialisis :
a. Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
b. Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut)
2. Koreksi hiperkalemi
3. Koreksi anemia
4. Koreksi asidosis
5. Pengendalian hipertensi
6. Transplantasi ginjal

2.2. Konsep Dasar Hemodialisa


2.2.1. Pengertian
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap
akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialysis waktu singkat (DR. Nursalam M. Nurs, 2019). Haemodialysis
adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat
beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang
berisi membrane yang selektif-permeabel dimana melalui membrane
tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi. Haemodialysa
dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk
keracunan (Christin Brooker, 2017). Hemodialisa adalah suatu
prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar
dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur
ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi
kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan
vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.

2.2.2. Indikasi
1) Indikasi Segera

Koma, perikarditis, atau efusi pericardium, neuropati perifer,


hiperkalemi, hipertensi maligna, over hidrasi atau edema paru,
oliguri berat atau anuria.
2) Indikasi Dini
a. Gejala uremia
Mual, muntah, perubahan mental, penyakit tulang, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan seks dan perubahan kulitas
hidup
b. Laboratorium abnormal
Asidosis, azotemia (kreatinin 8-12 mg %) dan Blood Urea
Nitrogen (BUN): 100 – 120 mg %, TKK : 5 ml/menit.
3) Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi dialisa bervariasi, tergantung kepada banyaknya
fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani
dialisa sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil
jika:

a) penderita kembali menjalani hidup normal


b) penderita kembali menjalani diet yang normal
c) jumlah sel darah merah dapat ditoleransi
d) tekanan darah normal
e) tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif.
2.2.3 Tujuan
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang
sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan
fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program
pengobatan yang lain.

2.2.4 Peralatan Haemodialisa


a. Arterial – Venouse Blood Line (AVBL) AVBL terdiri dari :

- Arterial Blood Line (ABL) Adalah tubing tubing/line plastic


yang menghubungkan darah dari tubing akses vaskular
tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai
dengan warna merah.
b. Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari
dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien
disebut outlet ditandai dengan warna biru. Priming volume
AVBL antara 100-500 ml. priming volume adalah volume cairan
yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen
dialiser.Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah konektor,
ujung runcing,segmen pump,tubing arterial/venouse
pressure,tubing udara,bubble trap,tubing infuse/transfuse set,
port biru obat ,port darah/merah herah heparin,tubing heparin dan
ujung tumpul.
c. Dializer /ginjal buatan (artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dari 2
ruang/kompartemen,yaitu:
a) Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah
b) Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisa
Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk
darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
d. Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur
dialisat peka (diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber,
seperti air PAM dan air sumur, yang harus dimurnikan dulu
dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI
(Association for the Advancement of Medical Instrument). Jumlah
air yang dibutuhkan untuk satu session hemodilaisis seorang pasien
adalah sekitar 120 Liter.
e. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam
komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu
dialisat asetat dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut
komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart, free
potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada
yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan
dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada
yang bentuk cair (siap pakai).
f. Mesin Haemodialisis
Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan
merek nya. Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump, system
pengaturan larutan dilisat, system pemantauan mesin terdiri dari
blood circuit dan dillisat circuit dan bebagai monitor sebagai
deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti heparin
pump, tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program
ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume monitor.

2.2.5 Proses Haemodialisa


Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan
disaring di dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah
disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh. Rata – rata
manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8 liter darah, dan selama proses
hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada di luar tubuh. Untuk
proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah dari
tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian kembali ke
dalam tubuh. Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV)
fistula, AV graft dan central venous catheter. AV fistula adalah akses
vaskular yang paling direkomendasikan karena cenderung lebih aman
dan juga nyaman untuk pasien.
Sebelum melakukan proses hemodialisa (HD), perawat akan
memeriksa tanda – tanda vital pasien untuk memastikan apakah
pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien melakukan
timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang
harus dibuang pada saat terapi.
Langkah berikutnya adalah menghubungkan pasien ke mesin cuci darah
dengan memasang blod line (selang darah) dan jarum ke akses vaskular
pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan akses untuk jalan
masuk darah ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang maka proses terapi
hemodialisa dapat dimulai.
Pada proses hemodialisa, darah sebenarnya tidak mengalir
melalu mesin HD, melainkan hanya melalui selang darah dan dialyzer. Mesin
HD sendiri merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, dimana mesin
HD mempunyai fungsi untuk mengatur dan memonitor aliran darah, tekanan
darah, dan memberikan informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta
informasi vital lainnya. Mesin HD juga mengatur cairan dialisat
yang masuk ke dialyzer, dimana cairan tersebut membantu
mengumpulkan racun – racun dari darah. Pompa yang ada dalam mesin
HD berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialyzer dan
mengembalikan kembali ke dalam tubuh.
2.2.6 Komplikasi Haemodialisa
a) Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot
seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan
volume yang tinggi.

b) Hipotensi

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,


rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik,
neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c) Aitmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat
berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d) Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu
gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien
osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang
menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi
pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
e) Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

f) Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit
dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin
selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

g) Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah
yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan
sering disertai dengan sakit kepala.
h) Pembekuan darah
Pembekuan darah disebabkan karena dosis pemberian heparin yang
tidak kuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian
1. Identitas : Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50 – 70
tahun), usia muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada
laki - laki. Laki-laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan ginjal
mengalami kegagalan filtrasi. pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal ginjal
kronis merupakan periode lanjut dari insidensi gagal ginjal akut, sehingga
tidak berdiri sendiri
2. Keluhan Utama : Keluhan utama sangat bervariasi, terlebih jika terdapat
penyakit sekunder yang menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang
menurun (oliguria) sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena
komplikasi pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah,
dialoresis, fatigue, napas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu oleh
karena penumpukkan (akumulasi) zat sisa metabolisme/toksin dalam tubuh
3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya
terjadi penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola napas
karena komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan
fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena berdampak pada
proses (sekunder karena intoksikasi), maka akan terjadi anoreksi, nausea dan
vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan nutrisi
4. Riwayat Penyakit Dahulu : Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode
gagal ginjal akut dengan berbagai penyebab (multikausa). Oleh karena itu,
informasi penyakit terdahulu akan menegaskan untuk penegakan masalah.
Kaji riwayat ISK, payah jantung, penggunaan obat berlebihan (overdosis)
khsuusnya obat yang bersifat nefrotoksik, BPH, dan lain sebagainya yang
mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa penyakit yang
berlangsung mempengaruhi atau menyebabkan gagal ginjal yaitu diabetes
mellitus, hipertensi, batu saluran kemih (urolithiasis)
5. Riwayat Kesehatan Keluarga : Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular
dan menurun, sehingga sisilah keluarga tidak terlalu berdampak pada
penyakit ini. Namun, pencetus sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki
pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit
tersebut bersifat herediter. Kaji pola kesehatan keluarga yang diterapkan jika
ada anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu saat sakit
6. Riwayat Psikososial : Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien
memiliki koping adaptif yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya
perubahan psikososial terjadi pada waktu klien mengalami perubahan
struktur fungsi tubuh dan menjalani proses dialisa. Klien akan mengurung
diri dan lebih banyak berdiam diri (murung). Selain itu, kondisi ini juga
dipicu oleh biaya yang dikeluarkan selama proses pengobatan, sehingga klien
mengalami kecemasan
Pemeriksaan Fisik :
a) Keadaan umum
Keadaan umum klien dengan gagal ginjal kronik biasanya lemah.
(fatigue), tingkat kesadaran bergantung pada tingkat toksisitas
b) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
(tachypneu), dyspnea
c) Pemeriksaan body systems
1. Sistem Pernapasan (B1: Breathing) : Adanya bau urea pada bau
napas. Jika terjadi komplikasi pada asidosis atau alakdosis
respiratorik maka kondisi pernapasan akan mengalami patologis
gangguan. Pada napas akan semakin cepat dan dalam sebagi bentuk
kompensasi tubuh mempertahankan ventilasi (kussmaul)
2. Sistem kardiovaskular (B2: Bleeding) : Penyakit yang berhubungan
langsung dengan kejadian gagal ginjal kronis salah satunya adalah
hipertensi. Tekanan darah yang tinggi di atas ambang kewajaran akan
mempengaruhi volume vaskuler. Stagnasi ini akan memicu retensi
natrium dan air sehingga akan meningkatkan beban jantung
3. Sistem Neuromuskuler (B3: Brain) : Penurunan kesadaran terjadi jika
telah mengalami hiperkarbic dan sirkulasi cerebral terganggu. Oleh
karena itu, penurunan kognitif dan terjadinya disorienntasi akan
dialami klien gagal ginjal kronis
4. Sistem Perkemihan (B4: Bowel) : Dengan gangguan/kegagalan fungsi
ginjal secara kompleks (filtrasi, sekresi, reabsorbsi dan ekskresi),
maka manifestasi yang paling menonjol adalah penurunan urine <400
ml/hari bahkan sampai pada anuria (tidak adanya urine output)
5. Sistem Hematologi (B5: Blood) : Ditemukan adanya friction pada
kondisi uremia berat. Selain itu, biasanya terjadi TD meningkat, akral
dingin, CRT >3 detik. Palpatasi jantung, chest pain, dsypneu,
gangguan irama jantung dan gangguan sirkulasi lainnya. Kondisi ini
akan semakin parah jika zat sisa metabolisme semakin tinggi dalam
tubuh karena tidak efektif dalam ekskresinya. Selain itu, pada
fisiologis darah sendiri sering ada gangguan anemia karena penurunan
eritropoetin
6. Sistem Muskuluskeletal (B6: Bone) : Dengan penurunan/kegagalan
fungsi sekresi pada ginjal maka berdampak pada proses
demineralisasi tulang sehingga resiko terjadinya osteoporosis tinggi.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan dan natrium
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan
darah
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
2.3.3 Intervensi keperawatan
Di T In R

Hipervolemia berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor adanya tanda dan gejala 1. Peningkatan menunjukkan
dengan kelebihan asupan selama 3x 24 jam diharapkan hypervolemia(mis.dipnea, hypervolemia. Kelebihan
cairan dan natrium status keseimbangan cairan dapat edema JVP CVP, suara napas volume cairan berpotensi gagal
ditingkatkan dengan Kriteria tambahan) jantung kongestif atau edema
Hasil: 2. Monitor intake dan output paru
SDKI, 2016 D.0020 Kategori: 1. Terbebas dari edema, efusi dan cairan 2. Keseimbangan positif
Fisiologis Subkategoris: Nutrisi anaskara 3. Monitor tanda peningkatan menunjukkan kebutuhan evaluasi
dan Cairan 2. TTV dalam batas normal onkotik plasma (mis. kadar lebih lanjut
3. Keseimbangan intake dan protein, dan albumin meningkat) 3. Terjadinya peningkatan tekanan
output dalam 24 jam 4. Batasi asupan cairan dan onkotik plasma mengakibatkan
4. Turgor kulit tidak mengkilap garam terjadinya Edema
dan tegang 5. Kolaborasikan pemberian 4. Menjaga agar kelebihan cairan
5. Membrane mukosa lembab diuretik dan penggantin tidak bertambah parah dan garam
6. Menjelaskan indikator kehilangan kalium akibat diureti mengikat air sehingga
kelebihan cairan memperparah kelebihan cairan
5. Diuretik dapat meningkatkan laju
aliran urin sehingga produksi urin
meningkat guna mengurangi
kelebihan volume cairan dalam
tubuh

Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. 1. Mengetahui tanda dan gejala
berhubungan dengan peningkatan selama 3x 24 jam diharapkan status Nadi perifer, edema, pengisian perfusi perifer klien
tekanan darah keseimbangan cairan dapat kapiler, warna, suhu) 2. Memantau keadaan klien
ditingkatkan dengan Kriteria Hasil: 2. Monitor tekanan darah 3. Mencegah tekanan darah
SDKI, 2016 D.0020 Kategori: 1. Denyut nadi perifer meningkat 3. Jelaskan tujuan meningkat
Fisiologis Subkategoris: Nutrisi 2. Warna kulit pucat menurun kepatuhan diet 4. Untuk membantu menurunkan
dan Cairan 3. Pengisian kapiler membaik terhadap kesehatan tekanan darah tinggi
4. Akral membaik 4. Kolaborasi pemberian
5. Turgor kulit membaik obat antihipertensi
Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji hal – hal yang mampu 1. Mengetahui tingkat
dengan kelemahan selama 3x 24 jam diharapkan dilakukan klien ketergantungan klien dalam
pasien dapat bertoleransi terhadap 2. Bantu klien memenuhi memenuhi kebutuhannya
aktivitas kebutuhan aktivitasnya sesuai 2. Bantuan sangat diperlukan
SDKI, 2016 D.0056 Kategori: kembali, dengan Kriteria dengan tingkat keterbatasan klien pada saat kondisi lemah
Fi Hasil : klien dalam pemenuhan kebutuhan
1. Berpartisipasi dalam aktivitas 3. Beri penjelasan tentang hal – sehari – hari tanpa mengalami
fisik tanpa disertai hal yang dapat membantu dan ketergantungan pada orang
A
peningkatan tekanan darah, meningkatkan kekuatan fisik lain
nadi, dan RR klien 3. Untuk memotivasi klien
2. Mampu melakukan aktivitas 4. Libatkan keluarga dalam dengan kooperatif selama
sehari – hari (ADLs) secara pemenuhan perawatan terutama terhadap
mandiri tindakan yang dapat
5. Jelaskan pada keluarga dan
3. Mampu berpindah dengan meningkatkan kekuatan
atau tanpa bantual alat klien pentingnya bedrest di
tempat tidur ADL klien fisiknya
4. Karena keluarga merupakan
orang terdekat dengan klien
5. Untuk mencegah terjadinya
keadaan yang lebih parah
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. EGC.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagostik,
Edisi 1. DPP PPNI.
PPNI. (2018a). Standar Intevensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan. DPP PPNI.
PPNI. (2018b). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi da Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. DPP PPNI.
Smeltzer, S. C. dan B. . B. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. EGC.

Anda mungkin juga menyukai