Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Disusun Oleh:
dr. Endya Maharani Putriatika

Pembimbing
dr. Nurul Aini, M.Sc, Sp.PD

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOEHADI PRIJONEGORO


KABUPATEN SRAGEN
2024
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 01/02/2024 di Wahana RSUD dr. Soehadi Prijonegoro telah dilakukan
presentasi kasus oleh:
Nama : dr. Endya Maharani Putriatika
Kasus : Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Topik : Interna
Nama DPJP : dr. Lulus Budiarto, Sp.PD
Nama Pendamping : dr. Nurul Aini, M.Sc, Sp.PD
Nama Wahana : RSUD dr Soehadi Prijonegoro

No Nama Peserta Tanda tangan

1 1.

2 2.

3 3.

4 4.

5 5.

6 6.

7 7.

8 8.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya

Mengetahui,
Dokter Internsip Dokter Pendamping

dr. Endya Maharani Putriatika dr. Nurul Aini, M.Sc, Sp.PD


LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

Naskah laporan kasus yang berjudul:


GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Oleh:
Nama : dr. Endya Maharani Putriatika
Wahana : RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen
Periode : Agustus 2023 – Februari 2024

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing internsip RSUD dr Soehadi


Prijonegoro Sragen yang bertanda tangan di bawah ini:

Sragen, 01 Februari 2024


Dokter Pembimbing,

dr. Nurul Aini, M.Sc, Sp.PD


DAFTAR ISI

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP............................................................................1


BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO....................................................................2
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS......................................................................3
DAFTAR ISI..............................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.....................................................Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang.......................................................Error! Bookmark not defined.
B. Rumusan Masalah..................................................Error! Bookmark not defined.
C. Manfaat..................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................Error! Bookmark not defined.
A Definisi......................................................................Error! Bookmark not defined.
B Klasifikasi.................................................................Error! Bookmark not defined.
C Faktor Risiko............................................................Error! Bookmark not defined.
D Etiologi......................................................................Error! Bookmark not defined.
E Patofisiologi..............................................................Error! Bookmark not defined.
F Manifestasi Klinis....................................................Error! Bookmark not defined.
G Pendekatan Diagnosis..............................................Error! Bookmark not defined.
1 Anamnesis.........................................................Error! Bookmark not defined.
2 Pemeriksaan Fisik............................................Error! Bookmark not defined.
3 Pemeriksaan Penunjang..................................Error! Bookmark not defined.
H Penatalaksanaan......................................................Error! Bookmark not defined.
1 Terapi Nor Farmakologi..................................Error! Bookmark not defined.
2 Terapi Farmakologi..........................................Error! Bookmark not defined.
3 Terapi Endoskopi.............................................Error! Bookmark not defined.
4 Terapi Pembedahan.........................................Error! Bookmark not defined.
2.13. Prognosis...............................................................Error! Bookmark not defined.
BAB III LAPORAN KASUS...................................................Error! Bookmark not defined.
BAB IV PEMBAHASAN........................................................Error! Bookmark not defined.
BAB V KESIMPULAN...........................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA...........................................................Error! Bookmark not defined.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan melemahnya
Lower Esophageal Sphincter (LES) yang mengakibatkan terjadinya refluks cairan asam
lambung ke dalam esofagus. Mekanisme yang menyebabkan hal ini, diantaranya ialah
pengaruh tonus sfingter bagian bawah esofagus, adanya hernia hiatus, pertahanan mukosa
esofagus terhadap refluks dan motilitas esofagus. Hal ini dapat menimbulkan sensasi
terbakar di perut bagian atas (heartburn), rasa pahit di mulut (regurgitasi), mual, kesulitan
menelan (disfagia), yang dapat merusak lapisan mukosa esofagus sehingga menyebabkan
komplikasi jangka panjang seperti Barrets's Esophagus.1,2
Prevalensi GERD di berbagai wilayah di dunia sangat bervariasi, dari 2,5% sampai
51,2%. Belum ada data mengenai GERD di Indonesia, namun keluhan serupa GERD
cukup banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari. Salah satu masalah bagi setiap tenaga
kesehatan terutama dokter umum di pusat pelayanan kesehatan primer adalah
menegakkan diagnosis dan menentukan terapi GERD dengan keterbatasan alat penunjang
diagnostik. Di Indonesia, salah satu studi menemukan bahwa prevalensi GERD lebih
tinggi di antara pasien dispepsia yang menjalani prosedur endoskopi sebesar 32,4%.3,4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang ditentukan antara lain:
1. Apa definisi dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)?
2. Apa saja etiologi dan faktor resiko dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)?
3. Bagaimana perjalanan penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)?
4. Bagaimana penanganan yang tepat pada Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) ?
5. Bagaimana prognosis dari kasus Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)?
C. Manfaat
Diharapkan laporan kasus ini dapat memperluas pengetahuan dokter internsip dan
pembaca terkait Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Tujuan pustaka ini
diharapkan dapat menambah informasi mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, dan tatalaksana terapi pada kasus Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung
mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan esofagus, faring,
laring dan saluran napas. Sedangkan menurut American College of Gastroenterology,
GERD is a physical condition in which acid from the stomach flows backward up into the
esofagus. Jadi, GERD adalah suatu keadaan patologis di mana cairan asam lambung
mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala.5,6
B. Klasifikasi
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom esofageal
dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai dengan
atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi struktural
berupa heartburn dan regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak. Sedangkan pada sindrom
esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur refluks, Barret’s
esophagus, adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat
refluks gastroesofageal jangka panjang. Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)
dibagi 2 klasifikasi berdasarkan temuan pada pemeriksaan penunjang:
1. Non erosive reflux Disease (NERD)
Merupakan jenis Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) yang pemeriksaan
penunjang tidak ditemukan kerusakan mukosa pada esofagus.
2. Erosive esophagitis (EE)
Jenis Gastroesophageal Refluks Disease (GERD) yang pada pemeriksaan penunjang
seperti endoskopi, ditemukan kerusakan mukosa pada esofagus.
C. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko GERD adalah :
1. Obat-obatan seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium channel
blocker
2. Gaya hidup dan makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alcohol dan rokok
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil,
menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan
pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon
estrogen
4. Structural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang
LES yang <3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT), semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD
juga semakin tinggi.
6. Peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), dalam pathogenesis GERD relative
kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian, ada hubungan
terbaik antara infeksi H. pylori dengan strain virulen (Cag A positif) dengan kejadian
esophagitis, esophagus Barret dan adenokarsinoma esophagus. H. pylori tidak
menyebabkan atau mencegah penyakit refluks dan eradikasi dari H. pylori tidak
meningkatkan resiko terjadinya GERD.
D. Etiologi
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari
sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif
sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel
esofagus.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone)
yang dihasilkan oleh lower esophageal sphincter (LES). Tekanan LES normal yaitu 10-35
mmHg. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan atau aliran retrograde yang
terjadi pada saat sendawa dan muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).
E. Patofisiologi
Refluks gastroesophageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
2. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen
Gambar 1. Struktur lower esophageal sphincter (LES).
1) Faktor Defensif
a. LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus
dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan
sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi
LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke
esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya
tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau
kelainan struktural.
b. Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan
dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik
esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme
bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan kontak ke
dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus,
maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan
meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya gaya
gravitasi saat berbaring.
c. Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular
junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah
esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion
H+ dan CO2, sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
2) Faktor Ofensif
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan lambung yang
terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang
mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu
ketat.

Gambar 2. Patofisiologi GERD

Pada kondisi normal, terjadinya refluks dapat dicegah oleh barrier antirefluks, yang
dinamakan sebagai zona anatomi kompleks, terdiri dari beberapa komponen seperti LES,
diafragma kural ekstrinsik, dan struktur pendukung dari katup penutup gastroesogafus.
Apabila terjadi gangguan pada komponen-komponen tersebut, maka refluks akan lebih
sering terjadi dan menyebabkan esofagus lebih sering terpapar oleh cairan lambung yang
sangat asam. Apabila terjadi terus-menerus, maka komplikasi dari penyakit GERD dapat
terjadi seperti inflamasi, erosi esofagus bahkan perforasi.7
Gangguan yang terjadi pada lower esophageal sphincter (LES) umumnya menjadi
penyebab primer terjadinya GERD. Meskipun banyak faktor lain yang mungkin juga ikut
berperan, namun yang paling umum terjadi adalah terjadinya relaksasi pada bagian bawah
LES atau yang disebut sebagai transient lower esophageal Sphincter Relaxations
(TSLERs). Lower esophageal sphincter (LES) merupakan lapisan otot pada bagian distal
esofagus yang menjaga tekanan pada bagian atas esofagus lebih tinggi dibandingkan
tekanan intraabdominal, sehingga mencegah terjadinya refluks isi lambung. Frekuensi dari
terjadinya refluks asam lambung dapat meningkat pada saat fase postprandial. Begitu juga
dengan adanya faktor fisiologis lain seperti hiatal hernia, gangguan pada proses
pengosongan esofagus, serta terjadinya penundaan dalam pengosongan isi lambung.8
Ketika refluks terjadi, gejala dan luka yang terbentuk dipengaruhi oleh durasi paparan
esofagus oleh isi lambung serta tingkat keasaman dari isi lambung yang kembali naik ke
esofagus. Durasi lamanya esofagus terpapar isi lambung dipengaruhi oleh efektivitas dari
pembersihan esofagus yang melibatkan proses peristaltik, salivasi, dan ada atau tidaknya
hiatus hernia.7,8
Durasi lamanya mukosa esofagus terpapar oleh cairan isi lambung disebut sebagai
reflux exposure time or bolus contact time. Adanya paparan tersebut dapat menyebabkan
iritasi yang menyebabkan luka ataupun inflamasi. Bagaimanapun juga, ambang batas
sensasi nyeri dan inflamasi yang muncul dipengaruhi oleh integritas dari epitel masing-
masing individu. Hingga saat ini, upaya pertama yang dilakukan saat refluks terjadi
berfokus pada penyesuaian pH dari cairan lambung.7,8
Gangguan pada pengosongan esofagus dapat disebabkan oleh proses peristaltik yang
tidak berjalan dengan baik, sehingga pengembalian isi lambung yang naik akibat refluks
menjadi terhambat. Sedangkan, saliva yang mengandung bikarbonat sebagai buffer asam
dan growth factor, apabila berkurang maka fungsinya untuk penetralisasi pH dan untuk
pengosongan esofagus akan terganggu. Hal ini umum terjadi pada saat tidur malam.7,8
F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan keluhan GERD dapat dikenali dengan melihat gejala umum maupun
atipikal yang muncul. Umumnya, gejala yang paling sering muncul adalah dada terasa
panas dan terbakar (heartburn) serta sering diasosiasikan dengan rasa masam di bagian
belakang mulut dengan atau tanpa regurgitasi dari refluks. GERD juga merupakan
penyebab umum kasus-kasus noncardiac chest pain (NCCP), sehingga penting untuk
membedakan antara nyeri dada yang mungkin disebabkan karena gangguan jantung atau
yang disebabkan oleh etiologi lain berdasarkan algoritma diagnosis agar dapat
memberikan penanganan yang tepat.9
Meskipun gejala umum GERD sangat mudah dikenali, manifestasi extraesophageal
juga sering terjadi, akan tetapi tidak selalu dikenali. Sindrom extraesophageal meliputi
beberapa area, termasuk antara lain paru (asma, batuk kronis, bronkiolitis obliterans,
pneumonia, dan fibrosis). Gangguan respirasi menjadi salah satu sindrom yang paling
menantang pada GERD. Sangat penting untuk melakukan screening alarm symptoms pada
pasien GERD yang kemudian akan menentukan apakah pasien perlu menjalani endoskopi
atau tidak. Alarm symptoms meliputi beberapa hal, yaitu:9
1. Gejala GERD yang menetap atau semakin parah meskipun terapi sudah tepat
2. Dysphagia dan odynophagia
3. Penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 5%
4. Perdarahan saluran cerna atau anemia
5. Adanya massa, penyempitan, atau ulkus pada imaging studies
6. Muntah yang terus menerus (7-10 hari)
7. Screening Barret’s esophagus pada pasien dengan kriteria tertentu
Gejala GERD seharusnya dianggap berbeda dari dispepsia. Dispepsia diartikan
sebagai ketidaknyamanan epigastrik tanpa rasa terbakar pada dada atau regurgitasi asam,
dan berlangsung lebih dari sebulan. Dispepsia dapat diasosiasikan dengan kembung,
sendawa, mual, dan muntah. Dispepsia adalah entitas yang mungkin ditangani secara
berbeda dari GERD dan mungkin memerlukan evaluasi endoskopi, termasuk uji
Helicobacter pylori.9
G. Pendekatan Diagnosis
Anamnesis
GERD dikaitkan dengan serangkaian gejala khas (esofagus), termasuk heartburn,
regurgitasi, dan disfagia. (Namun, diagnosis GERD berdasarkan adanya gejala khas hanya
benar pada 70% pasien). Selain gejala khas tersebut, refluks abnormal dapat menyebabkan
gejala atipikal (ekstraesofageal), seperti batuk, nyeri dada, dan mengi.10
1. Gejala khas esophagus10
a. Heartburn adalah gejala khas GERD yang paling umum. Hal ini dirasakan
sebagai sensasi terbakar atau ketidaknyamanan retrosternal yang biasanya terjadi
setelah makan atau saat berbaring telentang atau membungkuk.
b. Regurgitasi adalah kembalinya isi lambung dan/atau esofagus ke dalam faring
dengan mudah. Regurgitasi dapat menyebabkan komplikasi pernafasan jika isi
lambung tumpah ke pohon trakeobronkial.
c. Disfagia terjadi pada sekitar sepertiga esofagus pasien. Penderita disfagia
merasakan sensasi makanan tersangkut, terutama di daerah retrosternal. Disfagia
dapat merupakan gejala lanjutan dan dapat disebabkan oleh gangguan motilitas
esofagus primer, gangguan motilitas sekunder akibat esofagitis, atau pembentukan
striktur.
2. Gejala ekstraesofagus atipikal10
a. Batuk dan/atau mengi adalah gejala pernafasan akibat aspirasi isi lambung ke
dalam saluran trakeobronkial atau dari refleks vagal yang menyebabkan
bronkokonstriksi. Sekitar 50% pasien asma akibat GERD tidak mengalami
heartburn.
b. Suara serak terjadi akibat iritasi pita suara akibat refluks lambung dan sering
dialami pasien pada pagi hari.
c. Refluks adalah penyebab paling umum nyeri dada nonkardiak, yaitu sekitar 50%
kasus. Pasien dapat datang ke unit gawat darurat dengan nyeri yang menyerupai
infark miokard. Refluks harus disingkirkan (menggunakan manometri esofagus
dan tes pH 24 jam jika perlu) setelah penyebab nyeri dada pada jantung telah
disingkirkan. Sebagai alternatif, uji coba terapi penghambat pompa proton (PPI)
dosis tinggi dapat dicoba.

Gejala atipikal tambahan dari refluks abnormal termasuk kerusakan pada paru-
paru (misalnya pneumonia, asma, fibrosis paru idiopatik), pita suara (misalnya radang
tenggorokan, kanker), telinga (misalnya otitis media), dan gigi (misalnya kerusakan
email).10

Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux


Disease yang dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology tahun 1995 dan
revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan:5

1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk
eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang
berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya skleroderma)

Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di pusat pelayanan
kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan tidak membutuhkan alat
penunjang diagnostik. Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil
anamnesis dan pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton Pump
Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal
Reflux Disease–Questionnairre (GERD-Q). GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang
terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas
hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir.
Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut (Tabel
1). Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau
respons terapi.5

Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga didukung oleh Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia (Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia, 2013). Dalam konsensus ini disebutkan bahwa penderita
terduga GERD adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regurgitasi,
atau keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan berlemak dan
porsi besar).5

Tabel 1. Gastroesophageal Reflux Disease – Questionnairre (GERD-Q)5

Try to recall what you have experienced in the last 7 days.√


Put a check mark (√) only at one single space for each question and count your total
GERD-Q score by doing summation of the point(s) for each question.

No Frequency of score (point) for symptoms


Question
.
0 day 1 day 2 day 3 day
1. How often do you experience the
sensation of burning behind your 0 1 2 3
breastbone/sternum (heartburn)?
2. How often do you experience the gastric
content backing up into your 0 1 2 3
throat/mouth (regurgitation)?
3. How often do you feel epigastric pain? 3 2 1 0
4. How often do you feel nauseated? 3 2 1 0
5. How often do you have difficulty to have
night sleep due to the burning sensation
0 1 2 3
in the chest (heartburn) and/or the
backing up of abdominal content?
6. How often do you take additional 0 1 2 3
medication for treating the burning
sensation in the chest (heartburn) and/or
the backing up of abdominal content
(regurgitation), other than prescribed by
your doctor? (such as the over the
counter drugs for treatment of stomach
complaints)
If your GERDQ points <7, you probably
do not have GERD.
Result
If your GERDQ points is 8-18, you
probably have GERD

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada GERD tidak menunjukkan hasil yang spesifik. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain, seperti nyeri epigastrium
pada ulkus peptikum dan nyeri abdomen pada penyakit saluran empedu. Selain itu, refluks
asam juga dapat memicu bronkospasme yang menyebabkan kekambuhan asthma sehingga
pada pemeriksaan fisik menimbulkan wheezing.10

Pemeriksaan Penunjang
1. Uji PH-metri 24 jam5
Peran tes pH-metri konvensional 24 jam atau kapsul 48 jam (jika tersedia) dalam
diagnosis NERD adalah:
a. Mengevaluasi pasien GERD yang tidak responsif terhadap terapi PPI.
b. Mengevaluasi apakah pasien yang mengalami gejala ekstra-esofagus sebelum
terapi PPI atau setelah terapi PPI gagal.
c. Memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti-refluks atau mengevaluasi
gejala NERD berulang kali setelah operasi
2. Uji coba Proton Pump Inhibitor (PPI)
GERD dapat didiagnosis secara dugaan pada sebagian besar pasien dengan gejala khas
heartburn dan regurgitasi. Kecuali jika tidak ada gejala alarm terkait yang mencakup
disfagia, odynophagia, anemia, penurunan berat badan, dan hematemesis, sebagian
besar pasien dapat memulai terapi medis empiris dengan penghambat pompa proton
(PPI) tanpa penyelidikan lebih lanjut dengan respons terhadap pengobatan yang
memastikan diagnosis GERD. Namun, meta-analisis yang diterbitkan literatur oleh
Numans et al. membantah keakuratan strategi diagnostik percobaan PPI empiris ini. 11

3. Esophagogastroduodenoscopy (EGD)
Pasien yang menunjukkan gejala GERD khas yang berhubungan dengan salah satu
gejala alarm harus dievaluasi dengan EGD untuk menyingkirkan komplikasi GERD.
Termasuk esofagitis erosif, esofagus Barrett, striktur esofagus, dan adenokarsinoma
esofagus atau mengesampingkan penyakit tukak lambung. Biopsi esofagus distal tidak
direkomendasikan secara rutin untuk membuat diagnosis GERD sesuai pedoman
American College of Gastroenterology (ACG) saat ini. Pasien dengan kecurigaan
tinggi terhadap penyakit arteri koroner yang disertai gejala GERD harus menjalani
evaluasi penyakit kardiovaskular yang mendasarinya. Sebaliknya, pasien yang
mengalami nyeri dada nonkardiak yang diduga disebabkan oleh GERD harus
menjalani penilaian diagnostik dengan EGD dan pemantauan pH sebelum memulai
PPI. Pedoman ACG saat ini merekomendasikan untuk tidak melakukan skrining
terhadap infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan gejala GERD.11
4. Radiographic studies
Pemeriksaan radiografi seperti radiografi barium dapat mendeteksi esofagitis sedang
hingga berat, striktur esofagus, hernia hiatus, dan tumor. Namun, peran dalam evaluasi
GERD terbatas dan tidak boleh dilakukan untuk mendiagnosis GERD.11
5. Pemantauan GERD rawat jalan
GERD yang sulit disembuhkan secara medis semakin umum terjadi, dan pasien sering
kali mendapatkan evaluasi endoskopi yang normal karena PPI sangat efektif dalam
menyembuhkan esofagitis yang disebabkan oleh refluks. Pemantauan refluks esofagus
rawat jalan dapat menilai korelasi gejala dengan paparan asam yang tidak normal. Hal
ini diindikasikan pada GERD yang sulit disembuhkan secara medis dan pada pasien
dengan gejala ekstraesofagus yang dicurigai GERD. Pemantauan refluks rawat jalan
(pH atau dikombinasikan dengan impedansi) menggunakan kegunaan kapsul pH
telemetri atau kateter transnasal. Ini adalah satu-satunya tes yang tersedia yang
mendeteksi paparan asam patologis, frekuensi episode refluks, dan korelasi gejala
dengan episode refluks. Pedoman praktik saat ini merekomendasikan pemantauan pH
rawat jalan pra operasi wajib pada pasien tanpa bukti esofagitis erosif.11
6. Tes Diagnostik Lain
Alternatif pemeriksaan yang dapat dilakukan selain endoskopi dan pH-metri adalah: 5
a. Esofagografi barium. Meskipun tes ini tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun
pada kondisi tertentu tes ini memberikan keuntungan lebih dibandingkan
endoskopi, yaitu pada kasus stenosis esofagus dan hernia hiatus.
b. Manometri esofagus. Tes ini memiliki kelebihan, khususnya untuk mengevaluasi
pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan penelitian.
c. Uji impedansi. Metode baru ini dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal
melalui perubahan resistensi terhadap arus listrik antara dua elektroda ketika cairan
dan/atau gas bergerak di antara keduanya. Tes ini terutama berguna untuk
mengevaluasi pasien NERD yang tidak memberikan respons terhadap terapi PPI;
dimana dokumentasi refluks non-asam akan mengubah pendekatan pengelolaan.
d. Tes Bilitec. Tes tersebut dapat mendeteksi adanya refluks gastroesofageal dengan
menggunakan karakteristik bilirubin optik. Tes ini penting, terutama untuk
mengevaluasi pasien dengan gejala refluks yang persisten meskipun hasil pH-metri
normal ketika mereka terkena paparan asam pada bagian distal esofagus.
e. Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa esofagus dengan memasang
kateter trans-nasal dan melakukan perfusi pada bagian distal esofagus dengan HCl
0,1 N dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini merupakan pelengkap dari PH-
metri pada pasien yang memiliki gejala atipikal.
H. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan
mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for
the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan
revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:5
1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification
2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory GERD

GERD Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan primer
berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux
Disease adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa
GERD. Penatalaksaan yang dilakukan oleh dokter yang menangani kasus GERD, meliputi
terapi nonfarmakologis, pengobatan farmakologis, endoskopi, dan pembedahan. Pada
dasarnya ada 5 target yang harus dicapai dan harus selalu menjadi perhatian ketika dokter
merencanakan, mengubah dan menghentikan terapi pada pasien GERD. Kelima sasaran
tersebut adalah menghilangkan gejala/keluhan, memulihkan lesi esofagus, mencegah
penyakit berulang, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah berkembangnya
komplikasi. Pedoman penatalaksanaan ini diharapkan dapat diterapkan pada pelayanan
kesehatan primer, sekunder, dan tersier.5

Pendekatan klinis dalam penatalaksanaan GERD meliputi pengobatan GERD (NERD


dan ERD), GERD refrakter, dan GERD non-asam. Pada lini pertama, diagnosis GERD
ditegakkan lebih berdasarkan gejala dan gejala klinis berdasarkan kuesioner GERD.
Penatalaksanaan diberikan berdasarkan diagnosis klinis (Gambar 3).5

Gambar 3. Alur pengobatan GERD pada Pusat Pelayanan Kesehatan Primer5

1) Terapi Non Farmakologis


Modifikasi gaya hidup dianggap sebagai landasan terapi GERD apa pun. Konseling
harus diberikan mengenai pentingnya penurunan berat badan mengingat bahwa
obesitas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap perkembangan GERD, dan
penelitian telah menunjukkan bahwa penambahan berat badan pada individu dengan
BMI normal telah dikaitkan dengan perkembangan gejala GERD. Disarankan untuk
makan perlahan, sering, dan dalam jumlah sedikit. Konsumsi makanan berserat harus
didorong. Pasien juga harus diberi nasihat tentang menghindari makan setidaknya 3
jam sebelum tidur dan menjaga kebersihan tidur yang baik karena telah terbukti bahwa
gangguan minimal dalam tidur berhubungan dengan penekanan TLESR, yang
mengakibatkan penurunan episode refluks. Saat dalam posisi telentang dan
menyamping sambil berbaring, gejala refluks nokturnal meningkat. Gejala refluks
nokturnal dapat dicegah dengan berbaring miring ke kiri dan meninggikan bagian
depan tempat tidur saat terlentang. Untuk individu yang mengalami manifestasi
refluks pada malam hari, posisi kepala tempat tidur harus ditinggikan. Modifikasi pola
makan dengan menghilangkan coklat, kafein, dan makanan pedas, jeruk, dan minuman
berkarbonasi pada GERD masih kontroversial dan tidak direkomendasikan secara
rutin sesuai pedoman ACG saat ini.11

2) Terapi Farmakologis
Obat-obatan yang diketahui mampu mengatasi gejala GERD antara lain antasida,
prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI), dan Baclofen.
Efektivitas setiap kelas obat ditunjukkan pada Table 2.5

Tabel 2. Efektifitas Terapi Obat pada GERD5

Drug Class Improving Recovering Preventing Preventing


symptoms esophageal complication Recurrent
lesion illness
Antacids +1 0 0 0
Prokinetics +2 +1 0 +1
H2-receptor +2 +2 +1 +1
antagonists
H2-receptor +2 +3 +1 +1
antagonists and
prokinetics
High-dose H2- +3 +3 +2 +2
receptor
antagonists
PPI +4 +4 +3 +4
Surgery +4 +4 +3 +4

Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan
(lihat bagian diagnosis). Dosis awal PPI adalah dosis tunggal setiap pagi sebelum
makan selama 2 – 4 minggu. Jika masih ditemukan gejala GERD (kegagalan PPI), PPI
harus diberikan terus menerus dalam dosis ganda sampai gejala hilang. Secara umum
terapi dosis ganda dapat diberikan hingga 4-8 minggu (Tabel 3).5

Tabel 3. Dosis Terapi PPI pada GERD5

PPI types Single Dose Double dose


Omeprazole 20 mg 20 mg twice daily
Pantoprazole 40 mg 40 mg twice daily
Lansoprazole 30 mg 30 mg twice daily
Esomeprazole 40 mg 40 mg twice daily
Rabeprazole 20 mg 20 mg twice daily

Jika tidak ada perbaikan klinis, endoskopi harus dilakukan untuk memastikan
adanya kelainan pada mukosa saluran cerna bagian atas. Penanganan lebih lanjut dapat
diberikan sesuai dengan tingkat keparahan kerusakan mukosa.5
Dari seluruh obat di atas, PPI merupakan obat yang paling efektif dalam
menghilangkan gejala dan memulihkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti
memberikan pemulihan yang lebih cepat pada lesi esofagitis serta menghilangkan
gejala GERD dibandingkan antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Jika PPI tidak
tersedia, H2RA dapat diberikan. Pada individu dengan gejala mulas atau regurgitasi
episodik, penggunaan H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat
membantu untuk menghilangkan gejala dengan cepat. Selain itu, di Asia, penggunaan
prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin) mungkin bermanfaat
sebagai terapi tambahan.5
PPI adalah obat pilihan karena mencegah sel parietal lambung memproduksi asam,
sehingga mengurangi kemampuan asam untuk mengiritasi esofagus. Omeprazol
adalah yang paling populer. Terapi awal pilihan adalah dosis total PPI selama empat
sampai delapan minggu. Dosis ganda harus diberikan sekali sebelum makan pagi dan
sekali sebelum makan malam jika gejala pasien tidak hilang.12
Obat prokinetik dan antagonis reseptor histamin H2 dianggap sebagai obat lini
kedua. H2 blocker bekerja dengan menghambat reseptor histamin H2 sel parietal dan
menurunkan eksresi asam. Ranitidine, famotidine, cimetidine, dan nizatidine adalah
yang paling banyak digunakan. Obat-obatan prokinetik mempercepat pembongkaran
lambung tetapi tidak memberikan hasil yang nyata pada pelonggaran sementara
sfingter esofagus distal. Domperidone dan metoclopramide adalah yang paling
populer. Jika terjadi gastroparesis, obat tersebut dapat diresepkan. Antasida alginat dan
sukralfat dapat direkomendasikan jika pasien rawat jalan mengalami reaksi merugikan
dari PPI atau antagonis reseptor sensorik histamin H2 untuk meredakan gejala
sementara.12
Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di
Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang
mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda alarm. Penggunaan PPI sebagai terapi
inisial GERD menurut Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal selama 8 minggu.5
Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau gejala
terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan dosis ganda selama
4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi inisial dapat dimulai
kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenance. Terapi maintenance merupakan
terapi dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa
GERD.5

Gambar 5. Algoritma pengobatan berdasarkan proses diagnostik di layanan kesehatan


sekunder dan tersier5

Tabel 4. Klasifikasi GERD berdasarkan Hasil Pemeriksaan Endoskopi5


ERD
NERD
Grade A Grade B Grade C Grade D
Mucosal break Diameter Diameter Diameter Lesions
(-) <5mm, single <5mm, several <5mm, single, encircling the
lesions, several lesions lumen
colonized
No mucosal
damage

Untuk esofagitis ringan, pengobatan dapat diikuti dengan strategi 'terapi sesuai
permintaan'. Sedangkan untuk esofagitis berat dapat dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan berkelanjutan yang dapat diberikan hingga 6 bulan. Derajat A dan B
termasuk dalam kategori klinis esofagitis ringan. Derajat C dan D merupakan kategori
klinis untuk esofagitis berat.5
Untuk NERD, pengobatan awal dapat diberikan dengan pemberian PPI dosis
tunggal selama 4-8 minggu. Setelah gejala klinis berkurang, terapi dapat dilanjutkan
dengan PPI sesuai permintaan. Perawatan 'on demand' disarankan untuk
memaksimalkan penekanan asam lambung, yang diberikan 30-60 menit sebelum
sarapan.5
GERD, yang refrakter terhadap terapi PPI (tidak ada respon terhadap terapi PPI
dua kali sehari selama 8 minggu) harus dipastikan dengan mengevaluasi kembali
diagnosis GERD menggunakan endoskopi untuk memastikan adanya esofagitis. Bila
tidak ditemukan esofagitis, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan PH-metri. 5
Berdasarkan hasil pH-metri dapat diketahui faktor dominan terjadinya refluks isi
lambung, baik dari faktor hiperasiditas maupun faktor anatomi patologi seperti
(gangguan SEB, hernia hiatus, dll). Jika pH-metri menunjukkan dominasi faktor
anatomi patologis dan gejala klinis masih ada, maka uji diagnostik menggunakan
impedansi esofagus dan pH dapat dipertimbangkan (Gambar 4) untuk memastikan
tindakan terapeutik selanjutnya (tindakan pengobatan tersier).5
Gambar 4. Algoritma pada Manajemen GERD Refrakter yang mengikuti pH-metri5

Saat ini, pengobatan untuk penyakit refluks non-asam (NAR) masih terus
berkembang. Studi tentang Baclofen (agonis GABA-B) telah memberikan hasil yang
menjanjikan; namun, data lebih lanjut diperlukan untuk merekomendasikannya obat
tersebut secara rutin. Penanganan yang dianjurkan antara lain menghindari makan
besar dan terlambat, menjaga posisi kepala tegak hingga 3 jam setelah makan,
mengurangi berat badan, dan tidur miring ke atas. Namun, belum ada penelitian yang
memastikan bahwa pengobatan tersebut signifikan secara klinis.5
Intervensi gaya hidup lain seperti berhenti merokok dan berhenti minum alkohol
serta mengubah pola asupan makanan dapat mengurangi gejala GERD secara
signifikan. Modifikasi gaya hidup digunakan sebagai terapi lini pertama, seperti
penurunan berat badan, pengurangan kebiasaan merokok, pengosongan perut lebih
dari 3 jam sebelum tidur. Sebuah studi sistematis baru-baru ini menunjukkan bahwa
dari semua intervensi gaya hidup, hanya penurunan berat badan dan tidur miring yang
mempengaruhi gejala GERD secara signifikan.5
Saat ini, konsensus penanganan GERD, baik Konsensus Asia-Pasifik maupun
Amerika, tidak menyarankan perubahan gaya hidup yang berlebihan dalam
penanganan kondisi tersebut. Hal ini disarankan karena perubahan gaya hidup tidak
secara signifikan mengurangi gejala GERD dan menyebabkan stres berlebihan pada
pasien. Namun berdasarkan meta-analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor gaya
hidup tersebut, konsensus Asia-Pasifik menyarankan untuk melakukan modifikasi
terhadap kelebihan berat badan dan tidur miring ke atas.5
3) Endoskopi
Komplikasi GERD seperti esofagus Barret, striktur esofagus, stenosis atau
perdarahan dapat ditangani dengan endoskopi menggunakan koagulasi plasma Argon,
ligasi, Reseksi Mukosa Endoskopi, bouginasi, hemostasis atau dilatasi.5
4) Terapi Bedah
Pasien yang memerlukan pengobatan berkelanjutan, menolak pengobatan berlarut-
larut, atau menderita GERD bentuk kompleks mungkin mempertimbangkan
pembedahan. Prosedur pembedahan memerlukan pembuatan katup refluks anti-
esofagus yang memanfaatkan fundus lambung (fundoplikasi). Ini memperbaiki
kekurangan anatomi dengan meminimalkan hernia hiatus geser yang terlihat pada 89%
pasien yang menderita GERD patologis. Selain itu, studi eksperimental dan klinis
telah menunjukkan bahwa hal ini memulihkan kompetensi LES.12
Tiga perawatan bedah untuk GERD yang paling sering digunakan, yaitu
fundoplikasi total, di mana esofagus dikelilingi seluruhnya (360°), fundoplikasi parsial
(Toupet), dan fundoplikasi berbagai macam, yang dikembangkan oleh Brandalise dan
Aranha (Gambar 5). Penurunan rasa sakit yang dialami setelah operasi, pemulihan
yang cepat, keluar dari rumah sakit lebih awal, integrasi yang cepat dalam aktivitas
sehari-hari dan kembali bekerja, aspek estetika positif, dan modifikasi gaya hidup
minimal merupakan salah satu manfaat dari fundoplikasi video-laparoskopi. Selain itu,
sayatan yang lebih kecil dan sedikit ketidaknyamanan pasca operasi memungkinkan
pemulihan diafragma yang cepat dan deambulasi pasien secara dini, sehingga
mengurangi risiko masalah pernafasan.12

Gambar 5. Prosedur fundoplikasi Brandalise dan Aranha12

Terapi pembedahan meliputi operasi antirefluks (fundoplikasi Nissen, operasi


korektif untuk hernia hiatus, dll) dan operasi untuk mengatasi komplikasi. Operasi
antireflux (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien yang tidak toleran
terhadap terapi pemeliharaan atau mereka yang memiliki gejala mengganggu yang
persisten (GERD yang sulit disembuhkan). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa
jika dilakukan dengan baik, efektivitas operasi antirefluks setara dengan pengobatan
medis; Namun, hal ini membawa efek samping seperti disfagia, kembung, kesulitan
bersendawa, dan gangguan usus setelah operasi.5

Tabel 5. Summary and strength of recommendations14

GRADE GRADE
quality of strength of
evidence recommendation
Diagnosis of GERD
For patients with classicGERD symptoms of Moderate Strong
heartburn and regurgitation who have no alarm
symptoms, we recommend an 8-wk trial of empiric
PPIs once daily before a meal.
We recommend attempting to discontinue the PPIs Low Conditional
in patients whose classic GERD symptoms respond
to an 8-wk empiric trial of PPIs.
In patients with chest pain who have had adequate Low Conditional
evaluation to exclude heart disease, objective
testing for GERD (endoscopy and/or reflux
monitoring) is recommended.
We do not recommend the use of a barium Low Conditional
swallow solely as a diagnostic test for GERD.
We recommend endoscopy as the first test for Low Strong
evaluation of patients presenting with dysphagia or
other alarm symptoms (weight loss and GI
bleeding) and for patients with multiple risk factors
for Barrett’s esophagus.
In patients for whom the diagnosis of GERD is Low Strong
suspected but not clear, and endoscopy shows no
objective evidence of GERD, we recommend
reflux monitoring be performed off therapy to
establish the diagnosis.
Wesuggest against performing refluxmonitoring Low Strong
off therapy solely as a diagnostic test for GERD in
patients known to have endoscopic evidence of LA
grade C orDreflux esophagitis or in patients known
to have longsegment Barrett’s esophagus.
GERD management
We recommend weight loss in overweight and Moderate Strong
obese patients for improvement of GERD
symptoms
We suggest avoiding meals within 2–3 hr of Low Conditional
bedtime.
We suggest avoidance of tobacco Low Conditional
products/smoking in patients with GERD
symptoms
We suggest avoidance of “trigger foods” for Low Conditional
GERD symptom control.
We suggest elevating head of bed for nighttime Low Conditional
GERD symptoms.
We recommend treatment with PPIs over treatment High Strong
with H2RA for healing EE.
We recommend treatment with PPIs over H2RA Moderate Strong
for maintenance of healing for EE.
We recommend PPI administration 30–60 min Moderate Strong
before a meal rather than at bedtime for GERD
symptom
control.
For patients with GERD who do not have EE or Low Conditional
Barrett’s esophagus, and whose symptoms have
resolved with PPI therapy, an attempt should be
made to discontinue PPIs
For patients with GERD who require maintenance Low Conditional
therapy with PPIs, the PPIs should be administered
in the lowest dose that effectively controls GERD
symptoms and maintains healing of reflux
esophagitis.
We recommend against routine addition of medical Moderate Conditional
therapies in PPI nonresponders
Werecommend maintenance PPI therapy Moderate Strong
indefinitely or antireflux surgery for patients with
LA grade C or D esophagitis
We do not recommend baclofen in the absence of Moderate Strong
objective evidence of GERD
We recommend against treatment with a prokinetic Low Strong
agent of any kind for GERD therapy unless there is
objective evidence of gastroparesis.
We do not recommend sucralfate for GERD Low Strong
therapy except during pregnancy.
We suggest on-demand/or intermittent PPI therapy Low Conditional
for heartburn symptom control in patients with
NERD.
Extraesophageal GERD symptoms
Werecommend evaluation for non-GERD causes Moderate Strong
in patients with possible extraesophageal
manifestations before ascribing symptoms to
GERD
We recommend that patients who have Moderate Strong
extraesophageal manifestations of GERD without
typical GERD symptoms (e.g., heartburn and
regurgitation) undergo reflux testing for evaluation
before PPI therapy.
For patients who have both extraesophageal and Low Conditional
typical GERD symptoms, we suggest considering a
trial of twice-daily PPI therapy for 8–12 wk before
additional testing.
We suggest that upper endoscopy should not be Low Conditional
used as the method to establish a diagnosis of
GERDrelated asthma, chronic cough, or LPR.
We suggest against a diagnosis of LPR based on Low Conditional
laryngoscopy findings alone and recommend
additional testing should be considered.
In patients treated for extraesophageal reflux Low Conditional
disease, surgical or endoscopic antireflux
procedures are only recommended in patients with
objective evidence of reflux.
Refractory GERD
We recommend optimization of PPI therapy as the Moderate Strong
first step in management of refractory GERD.
We recommend esophageal pH monitoring (Bravo, Low Conditional
catheter-based, or combined impedance-pH
monitoring) performed OFF PPIs if the diagnosis
of GERD has not been established by a previous
pH
monitoring study or an endoscopy showing long-
segment Barrett’s esophagus or severe reflux
esophagitis (LA grade C or D).
We recommend esophageal impedance-pH Low Conditional
monitoring performed ON PPIs for patients with
an
established diagnosis of GERD whose symptoms
have not responded adequately to twice-daily PPI
therapy.
For patients who have regurgitation as their Low Conditional
primary PPI-refractory symptom and who have had
abnormal
gastroesophageal reflux documented by objective
testing, we recommend consideration of antireflux
surgery or TIF.
Surgical and endoscopic options for GERD
We recommend antireflux surgery performed by an Moderate Strong
experienced surgeon as an option for long-term
treatment of patients with objective evidence of
GERD. Those who have severe reflux esophagitis
(LA grade C or D), large hiatal hernias, and/or
persistent, troublesome GERD symptoms who are
likely to benefit most from surgery.
We recommend consideration of MSA as an Moderate Strong
alternative to laparoscopic fundoplication for
patients with regurgitation who fail medical
management
Werecommend consideration ofRYGBas an option Low Conditional
to treat GERDin obese patients who are candidates
for this procedure and who are willing to accept its
risks and requirements for lifestyle alterations.
Because data on the efficacy of radiofrequency Low Conditional
energy (Stretta) as an antireflux procedure is
inconsistent and highly variable, we cannot
recommend its use as an alternative to medical or
surgical antireflux therapies.
We suggest consideration of TIF for patients with Low Conditional
troublesome regurgitation or heartburn who do
notwish to undergo antireflux surgery and who do
not have severe reflux esophagitis (LA grade C or
D) or hiatal hernias 2 cm.
EE, erosive esophagitis; GERD, gastroesophageal reflux disease; GI, gastrointestinal;
GRADE, Grading of Recommendations, Assessment, Development, and Evaluation;
H2RA, histamine-2-receptor antagonists; LA, Los Angeles; LPR, laryngopharyngeal
reflux; MSA, magnetic sphincter augmentation; NERD, nonerosive reflux disease;
PPI, proton pump inhibitor; TIF, transoral incisionless fundoplication; RYGB, Roux-
en-Y gastric bypass.

I. Prognosis
Kebanyakan pasien dengan GERD dapat sembuh dengan pengobatan, meskipun
kekambuhan setelah penghentian terapi medis sering terjadi dan menunjukkan perlunya
terapi pemeliharaan jangka panjang. Dalam kasus yang sulit disembuhkan atau ketika
komplikasi yang berhubungan dengan GERD teridentifikasi (misalnya striktur, aspirasi,
penyakit saluran napas, Barrett esofagus), perawatan bedah (fundoplikasi) biasanya
diperlukan. Prognosis dengan pembedahan dianggap sangat baik. Morbiditas dan
mortalitas akibat pembedahan lebih tinggi pada pasien yang mempunyai masalah medis
kompleks selain refluks gastroesofageal.13

BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. YH

Umur / Tanggal Lahir : 35 Tahun / 31 Oktober 1988

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : ASMIL, YONIF 408 Widoro

Suku Bangsa : Jawa

MRS : 30 November 2023

KRS : 04 Desember 2023

Jaminan : BPJS TNI Kelas 2

B. ANAMNESA
(Autoanamnesis dengan penderita, 30 November 2023, pukul 11.30 WIB)

Keluhan Utama : Nyeri ulu hati

Keluhan Tambahan : Post sinkop

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien laki-laki usia 35 tahun masuk rumah sakit tanggal 30 november 2023 dengan
keluhan nyeri dibagian ulu hati dirasakan sejak 3 hari terakhir. Awalnya nyeri seperti
tertusuk-tusuk pada bagian ulu hati hingga ke perut kiri atas kemudian nyeri beralih ke
daerah kerongkongan dengan sensasi seperti rasa perih terbakar disertai rasa asam dan
pahit di lidah. Nyeri menelan dan sulit menelan disangkal pasien. Nyeri bersifat terus-
menerus. Nyeri tidak menjalar ke bagian lengan kiri. Pasien juga mengeluh sering merasa
mual tetapi tidak muntah, terkadang pasien merasa sesak dan lemas. Pasien mengeluh
perut kembung dan sering bersendawa. Pasien sering mengonsumsi kopi sebanyak 1-2
gelas setiap pagi tanpa sarapan pagi terlebih dahulu. Keluhan lain seperti demam, pusing,
sakit kepala, batuk, nyeri dada disangkal oleh pasien. Keluhan seperti ini mulai dirasakan
sejak 2 bulan terakhir, pasien biasanya mengonsumsi obat maag seperti antasida yang
dibeli bebas di apotek. Sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengalami penuruan
kesadaran selama ± 5 menit, setelah pasien melakukan latihan fisik. BAK lancar,
frekuensi 2-3 kali sehari, warna urin normal, tidak ada darah, nyeri saat berkemih atau
kencing berpasir disangkal. BAB biasa, frekuensi sehari sekali, konsistensi lunak, BAB
berdarah/hitam disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sejak 2 bulan terakhir


 Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, jantung, asma disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal.
 Riwayat alergi susu, makanan, dan obat disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 30 November 2023

Keadaan Umum

Kesadaran : Somnolen

Tekanan Darah : 137/88 mmHg

Nadi : 91 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,6 °c

Berat Badan : 76 kg

Tinggi Badan : 166 cm

Status Gizi :

 IMT : 27,5 kg/m2


 Kesan : Overweight

Keadaan Spesifik

 Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris, dismorfik (-)
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.

Mata : Cekung (-/-), Pupil bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya


+/+, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).

Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-).

Telinga : Sekret (-).

Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).

Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T2/T2 hiperemis

Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.

 Thorak
Paru-paru

 Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi -/-


 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


 Auskultasi : HR: 91 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-)
 Palpasi : Thrill tidak teraba
 Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
 Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Normoperistaltik
 Palpasi : Nyeri tekan (+) regio epigastrik, massa (-), hepar dan lien tidak
teraba, cubitan kulit perut cepat kembali < 2 detik,
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
 Lipat paha dan genitalia : Pembesaran KGB (-), eritema perianal (-),
prolaps ani (-)
 Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema (-)

Pemeriksaan Neurologis
 Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Luas Luas Luas Luas

Kekuatan +5 +5 +5 +5

Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni

Klonus - -

Reflek fisiologis + normal + normal + normal + normal

Reflek patologis - - - -

 Fungsi sensorik : Dalam batas normal


 Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal
 GRM : Kaku kuduk tidak ada
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hematologi (30 November 2023)

Hb : 13,98 g/dl (11,3-14,1 g/dl )

Ht : 39,7 vol% (37-41 vol%)

Eritrosit : 4,53 x10 mm3/jam (4,40-4,48 x10 mm3/jam)

Leukosit : 8.650/mm3 (4.500-13.500 /mm3)

Trombosit : 205.000/mm3 (150.000-450.000 /mm3)

Golongan Darah : O

MCV : 87.6 fL (80-99)

MCH : 30,9 pg (27-31)

MCHC : 35.2 g/dL (26-34)

Kimia Klinik

GDS : 194 mg/dl (60-100)

SGOT : 43 U/l (<37)

SGPT : 72 U/l (<42)


Ureum : 23,5 mg/dl (10-50)

Creatinin : 0,78mg/dl

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 EKG : Kesan Sinus Normo Rytheme
 X-Ray Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan

F. DAFTAR MASALAH
 Nyeri ulu hati
 Lemas
 Post Sinkop
 Overweight
D. ASSESSMENT
 GERD
 Post Sinkop
D. PENATALAKSANAAN
 IVFD RL 30 tpm
 Inj. Ranitidin 1A/12 jam
 Inj. Farbion 1A/24 jam

E. EDUKASI
 Menjelaskan mengenai penyakit dan mengenai penanganannya.
 Menjelaskan proses penyembuhan dan pencegahan dari penyakit.
 Menjelaskan prognosis terkait penyakit
D. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam


E. FOLLOW UP
Tanggal Keterangan

01/12/2023 S: Mual (+), nyeri ulu hati (+), heartburn (+), lidah terasa
pahit dan asam (+), lemas (+)

O: KU lemas, CM, TD 120/80 mmHg, HR 88 x/menit, RR


20 x/menit, Suhu 36.7 º Celcius

A: GERD, Post Syncop

P:

IUVD RL 20 tpm

Inj. Ranitidin 1A/12 jam  Stop

Inj. Omeprazol 1A/24 jam

Inj. Farbion 1A/24 jam

Curcum 2x1 Tab

Sucralfat Syrup 3x1 cth

Domperidone 3x1 tab

Periksa Lab Kimia Klinik Lemak

02/12/2023 S: Nyeri ulu hati (+), Mual (-), Muntah (-), sulit tidur
malam hari karena heartburn (+)

O: KU Baik, CM, TD 117/77 mmHg, HR 59 x/menit, RR


20 x/menit Suhu 36.6 º Celcius

Lab Kimia Klinik Lemak : Chol Total 136 mg/dl, Chol


HDL 21 mg/dl, Chol LDL 124 mg/dl, Trigliserida 76
mg/dl

A: GERD, Post Syncop

P:

IUVD RL 20 tpm

Inj. Omeprazol 1A/24 jam


Inj. Farbion 1A/24 jam

Curcum 2x1 Tab

Sucralfat Syrup 3x1 cth

Domperidone 3x1 tabHidrokortison salep

03/12/2023 S: Mual (-), Muntah (-), Nyeri ulu hati (+) berkurang

O: KU Baik, CM, TD 114/81 mmHg, HR 67 x/menit Suhu


36.6 º Celcius

A: GERD, Post Syncop

P:

IUVD RL 20 tpm

Inj. Omeprazol 1A/24 jam

Inj. Farbion 1A/24 jam

Curcum 20 mg 2x1 Tab

Sucralfat Syrup 3x1 cth

Domperidone 10 mg 3x1 tab

04/12/2023 S: Mual (-), nyeri ulu hati (-)

O: KU Baik, CM, TD 121/86 mmHg, HR 76 x/menit, RR


20 x/menit, Suhu 36.5º Celcius

A: GERD, Post Syncop

P:

BPL

Lansoprazole 30 mg 1x1

Sucralfat Syrup 3x1 cth

Domperidone 10 mg 3x1 tab


BAB III

LAPORAN KASUS

An. YH, Pasien laki-laki berusia 35 tahun masuk rumah sakit tanggal 30 november
2023 dengan keluhan nyeri dibagian ulu hati dirasakan sejak 3 hari terakhir. Awalnya nyeri
seperti tertusuk-tusuk pada bagian ulu hati hingga ke perut kiri atas kemudian nyeri beralih ke
daerah kerongkongan dengan sensasi seperti rasa perih terbakar disertai rasa asam dan pahit
di lidah. Nyeri menelan dan sulit menelan disangkal pasien. Nyeri bersifat terus-menerus
tetapi tidak menjalar ke bagian lengan kiri. Pasien juga mengeluh sering merasa mual tetapi
tidak muntah, terkadang pasien merasa sesak dan lemas. Pasien mengeluh perut kembung dan
sering bersendawa. Pasien sering mengonsumsi kopi sebanyak 1-2 gelas setiap pagi tanpa
sarapan pagi terlebih dahulu. Keluhan lain seperti demam, pusing, sakit kepala, batuk, nyeri
dada disangkal oleh pasien. Keluhan seperti ini mulai dirasakan sejak 2 bulan terakhir, pasien
biasanya mengonsumsi obat maag seperti antasida yang dibeli bebas di apotek. Sebelum
masuk rumah sakit pasien juga mengalami penuruan kesadaran selama ± 5 menit, setelah
pasien melakukan latihan fisik. BAK lancar, frekuensi 2-3 kali sehari, warna urin normal,
tidak ada darah, nyeri saat berkemih atau kencing berpasir disangkal. BAB biasa, frekuensi
sehari sekali, konsistensi lunak, BAB berdarah/hitam disangkal.
Berdasarkan hasil anamnesis secara langsung dengan pasien dapat diketahui bahwa
pasien meiliki gejala yang berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD) diantaranya
gejala khas seperti sensasi terbakar di dada (heartburn) yang kadang disertai rasa nyeri dan
perih serta gejala-gejala lain seperti rasa asam dan pahit di lidah (regurgitasi), nyeri ulu hati
(epigastrium), sulit menelan (disfagia) dan nyeri menelan (odinofagia).

Diagnosis GERD dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease–


Questionnairre (GERD-Q). GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6
pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita
serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan
penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi
menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut (Tabel 1). Selain untuk menegakkan
diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respons terapi.5
Tabel 1. Gastroesophageal Reflux Disease – Questionnairre (GERD-Q)5

Try to recall what you have experienced in the last 7 days.√


Put a check mark (√) only at one single space for each question and count your total
GERD-Q score by doing summation of the point(s) for each question.

No Frequency of score (point) for symptoms


Question
.
0 day 1 day 2 day 3 day
1. How often do you experience the
sensation of burning behind your 0 1 2 3
breastbone/sternum (heartburn)?
2. How often do you experience the gastric
content backing up into your 0 1 2 3
throat/mouth (regurgitation)?
3. How often do you feel epigastric pain? 3 2 1 0
4. How often do you feel nauseated? 3 2 1 0
5. How often do you have difficulty to have
night sleep due to the burning sensation
0 1 2 3
in the chest (heartburn) and/or the
backing up of abdominal content?
6. How often do you take additional
medication for treating the burning
sensation in the chest (heartburn) and/or
the backing up of abdominal content
0 1 2 3
(regurgitation), other than prescribed by
your doctor? (such as the over the
counter drugs for treatment of stomach
complaints)
If your GERDQ points <7, you probably
do not have GERD.
Result
If your GERDQ points is 8-18, you
probably have GERD

Berdasarkan pemeriksaan GERD-Q pada pasien didapatkan hasil:

No Frekuensi Skor untuk Gejala


Pertanyaan
.
0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari
1. Seberapa sering Anda mengalami
perasaan terbakar di bagian belakang 3
tulang dada Anda (heartburn)?
2. Seberapa sering Anda mengalami 2
naiknya isi lambung ke arah
tenggorokan/ mulut Anda (regurgitasi)?
3. Seberapa sering anda mengalami nyeri
0
ulu hati?
4. Seberapa sering anda mengalami mual? 2
5. Seberapa sering Anda mengalami
kesulitan tidur malam oleh karena rasa
1
terbakar di dada (heartburn) dan/ atau
naiknya isi perut?
6. Seberapa sering Anda meminum obat
tambahan untuk rasa terbakar di dada
(heartburn) dan/atau naiknya isi perut
2
(regurgitasi), selain yang diberikan oleh
dokter Anda? (seperti obat maag yang
dijual bebas)
Total Skor 8

Didapatkan nilai skor 8 yang berarti pasien tersebut memiliki kecenderungan yang
tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut.

Pada pemeriksaan fisik tanggal 30 November 2023, pasien terlihat dalam keadaan
umum lemas dengan kesadaran somnolen. Tanda-tanda vital pasien didaptakan TD 137/88
mmHg. HR 91 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, RR 20 x/menit, SB 36,6 °c.
Pemeriksaan status gizi IMT 27,5 kg/m2 (Overweight) bersama dengan hasil pemeriksaan
head to toe didapatkan hasil yang bermakna yaitu nyeri tekan abdomen regio epigastrium.
Pemeriksaan neurologis normal, memberikan gambaran umum kesehatan yang baik
meskipun ada penyakit akut.

Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap pada tanggal 30 november 2023


didapatkan hasil yang normal akan tetapi pemeriksaan kimia kilik didapatkan GDS 194
mg/dl, SGOT 43 U/l, SGPT 72 U/l mengalami peningkatan. Hasil laboratorium, seperti kadar
hemoglobin dan leukosit yang normal, menunjukkan tidak adanya anemia atau leukositosis
yang signifikan. Peningkatan glukosa darah mungkin menunjukkan stres metabolik karena
penyakit atau potensi awal dari masalah glikemik.

Penatalaksanaan medis yang diberikan meliputi IVFD RL 30 tpm, Inj. Ranitidin


1A/12 jam dan Inj. Farbion 1A/24 jam. Selain itu, pasien juga mendapatkan edukasi
mengenai penyakit dan penanganannya, proses penyembuhan, pencegahan, dan prognosis
terkait penyakitnya.

Pasien dirawat selama 4 hari di ruang perawatan. Perawatan hari pertama (PH1)
pasien mengeluh Mual (+), nyeri ulu hati (+), heartburn (+), lidah terasa pahit dan asam (+)
dan lemas (+). Tanda vital pasien dan pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada PH2
pasien merasa nyeri pada ulu hati dan sulit tidur pada malam hari karena heartburn (+).Tanda
vital pasien dan pemeriksaan fisik dalam batas normal. Dilakukan juga pemeriksaan
laboratorium kimia klinik lemak didapatkan hasil dalam batas normal. Pada PH3, keluhan
nyeri ulu hati berkurang, tidak ada keluhan lain seperti mual muntah, hurtburn, nyeri
menelan, sulit menelan atau regurgitasi. Tanda vital pasien dan pemeriksaan fisik dalam batas
normal. Pada PH4 keadaan umum pasien baik, tidak ada keluhan dan tanda vital dalam batas
normal. Pasien di pulangkan dengan tetap melanjutkan terapi oral yaitu lansoprazole 30 mg
1x1, sucralfat syrup 3x1 cth dan domperidone 10 mg 3x1 tab.

Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan.
Dosis awal PPI adalah dosis tunggal setiap pagi sebelum makan selama 2 – 4 minggu. Pilihan
terapi pada pasien ini diberikan obat jenis PPI seperti omeprazole, lansoprazole, terbukti
memberikan pemulihan yang lebih cepat menghilangkan gejala GERD. Selain iyu pasien juga
diberikan terapi antagonis reseptor H2 dan prokinetik. Obat prokinetik dan antagonis reseptor
histamin H2 dianggap sebagai obat lini kedua. H2 blocker bekerja dengan menghambat
reseptor histamin H2 sel parietal dan menurunkan eksresi asam. Ranitidine, adalah yang
paling banyak digunakan. Obat-obatan prokinetik mempercepat pembongkaran lambung
tetapi tidak memberikan hasil yang nyata pada pelonggaran sementara sfingter esofagus
distal. Domperidone adalah contoh prokinetik. Berikut pada tabel dibawah ini dapat dilihat
perbedaan efektifitas pilihan terapi pada GERD.

Tabel 2. Efektifitas Terapi Obat pada GERD5

Drug Class Improving Recovering Preventing Preventing


symptoms esophageal complication Recurrent
lesion illness
Antacids +1 0 0 0
Prokinetics +2 +1 0 +1
H2-receptor +2 +2 +1 +1
antagonists
H2-receptor +2 +3 +1 +1
antagonists
andprokinetics
High-dose H2- +3 +3 +2 +2
receptor
antagonists
PPI +4 +4 +3 +4
Surgery +4 +4 +3 +4

Selain itu, pasien juga diedukasi tentang modifikasi gaya hidup digunakan sebagai
terapi lini pertama untuk terapi non farmakologis, seperti penurunan berat badan,
pengurangan kebiasaan minum kopi terutama pagi hari sebelum sarapan karena dapat
memicu sekresi asam lambung, pengosongan perut lebih dari 3 jam sebelum tidur, dan tidur
miring dapat mempengaruhi gejala GERD secara signifikan.

Prognosis pasien ini dianggap ad bonam. Kebanyakan pasien dengan GERD dapat
sembuh dengan pengobatan, meskipun kekambuhan setelah penghentian terapi medis sering
terjadi dan menunjukkan perlunya terapi pemeliharaan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Puspita FC, Putri LA, Rahardja C, Utari AP, Syam AF. Prevalence of Gastroesophageal
Reflux Disease and Its Risk Factors In Rural Area. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig
Endosc. 2018;18(1):9–14.
2. Antunes C, Aleem A, Curtis SA. Gastroesophageal Reflux Disease [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441938/?report=classic
3. Chen S, Du F, Zhong C, Liu C, Wang X, Chen Y, et al. Gastroesophageal Reflux
Disease: Recent Innovations In Endoscopic Assessment And Treatment. Gastroenterol
Rep. 2021 Nov 1;9(5):383–91.
4. Syam AF, Hapsari PF, Makmun D. The Prevalence and Risk Factors of GERD among
Indonesian Medical Doctors. Makara J Health Res. 2016 Aug 1;20(2):35–40.
5. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/GERD) di Indonesia.
Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2014.
6. American College of Gastroenterology. Is it just a little heartburn or something more
serious? American College of Gastroenterology [Internet]. [cited 2017 March 14].
Available from: http://s3.gi.org/patients/pdfs/UnderstandGERD.pdf
7. Clarrett DM & Hachem C. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Mo Med. 2018
115(3):214–8.
8. Mikami DJ and Murayama KM. Physiology and Pathogenesis of Gastroesophageal
Reflux Disease. Surg Clin North Am 2015;95(3):515-25.
9. Ang D, Lee YY, Clarke JO, et al. Diagnosis of Gastroesophageal Reflux: an Update on
Current and Emerging Modalities. Annals of the New York Academy of Sciences
2020:1-20.
10. Marco G Patti. Gastroesophageal Reflux Disease. Medscape. Jul 2023. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/176595-overview
11. Antunes C, Aleem A, Curtis SA. Gastroesophageal Reflux Disease. [Updated 2023 Jul
3]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441938/
12. Chhabra P, Ingole N. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD): Highlighting
Diagnosis, Treatment, and Lifestyle Changes. Cureus. 2022 Aug 29;14(8):e28563. doi:
10.7759/cureus.28563. PMID: 36185857; PMCID: PMC9517688.
13. Marco G Patti. Gastroesophageal Reflux Disease. Medscape. Jul 2023. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/176595-overview
14. Katz Philip O. et all. ACG: Clinical Guideline for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease. The American Journal of Gastroenterology.
2021;00:1–30. https://doi.org/10.14309/ajg.0000000000001538

Anda mungkin juga menyukai