Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS RET-HE PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK PADA PAISNE

DI RUMAH SAKIT DR WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR


ABSTRAK
Anemia, adalah gejala tersering pada penyakit ginjal kronik, merupakan proses
multifaktorial akibat adanya gangguan pada proses eritropoiesis dan homeostasis
zat besi. Menentukan penyebab anemia sangatlah penting untuk penatalaksanaan
yang adekuat. Biopsi sumsum tulang merah menggunakan prussian blue sebagai
gold standar diagnosis sangatlah invasif dan sangat rumit bila dilakukan. RET-HE
(retukulosit hemoglobin) adalah parameter baru yang mengindikasikan jumlah
hemoglobin pada retikulosit, merupakan pemeriksaan yang cepat, mudah dan
murah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Ret-He dalam
menentukan status besi pada pasien CKD. Sebuah studi cross sectional yang
dilakukan di laboratorium patologi rumah sakit dr wahidin sudirohusodo makassar
selama april hingga agustus 2016, sebanyak 45 sampel diuji terhadap kadar zat
besinya (Fe), TIBC(total iron binding capacity), dan hitung darah lengkapnya
(CBC) yang diperiksa oleh dokter umum. Retikulosit hemoglobin diuji
menggunakan darah lengkap. Subjek berusia 19-71 tahun, tidak ada perbedaan
yang signifikan jumlahnya antara pria dan wanita (46,6% vs 53,3%). Rerata
hemoglobin nya adalah 8 (5-15) g/dl, Fe secara signifikan berkaitan antara Ret-He
dan zat besi darah r =0,533, P<0,001, Ret-He dan TIBC r =0,321 dan p=0,031 ret-
he dan saturasi transferin r=0,416 p=0,019. Metode mann whitney menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan antara Ret-He pada kedua kelompok (Tsat
<20% dan >20%). Terdapat hubungan yang signifikan antara Ret-He dan zat besi,
Ret-He dan TIBC, Ret-He dan saturasi transferin. Penelitian selanjutnya
menggunakan sampel yang besar untuk memperkirakan faktor yang
mempengaruhi Ret-He

PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik adalah salah satu masalah kesehatan yang meningkat
insidensinya dan prevalensinya diseluruh dunia. Tingginya harga terapi CKD
menjadi beban ekonomi pada sistem pelayanan kesehatan, khususnya negara
berkembang. Anemia adalah gejala awam pada pasien CKD. Kondisi ini dapat

1
berkembang pada fase awal penyakit dan menurunkan kualitas hidup pasien.
beragam faktor seperti eritropoiesis yang sebabkan anemia pada CKD dan
gangguan homeostasis besi melalui beragam mekanisme yang kompleks, seperti
defisiensi eritropoietin, imflamasi kronik, hilangnya darah, penurunan absorbsi
besi, pemberian zat besi, dan eritropoietin eksogen. Penyebab lain dari gangguan
eritropoiesis adalah tidak adekuatnya respon terhadap terapi eritropoietin,
eritrofagositosis, dan penurunan aktivitas ploriferatif dari prekusor eritroid pada
sumsum tulang, dan masa hidup sel darah merah serta penurunan ketersediaan zat
besi.
Gold standar dalam penilaian defisiensi zat besi adalah pewarnaan sumsum tulang
menggunakan prussian blue namun pemeriksaan ini sangatlah invasif, oleh karena
itu parameter hematologi dan biokimiawi jadi sering digunakan. Parameter
hematologi hanya dapat mendeteksi fase akhir defisiensi zat besi, sedangkan
parameter biokimiawi seperti kadar transferin besi darah, feritin dapat diketahui
ketika terjadi suatu kondisi imflamasi. Perkembangan sitometri yang dapat
dideteksi menggunakan alat pemeriksaan hematologi otomatis dapat
memperkirakan jumlah retikulosit hemoglobin (ekuivalent retikulosit
hemoglobin/Ret-He). Ret-He dapat memberikan infomasi seberapa banyak zat
besi yang tersedia untuk eritropoiesis di sumsum tulang dan dapat mendeteksi
defisiensi zat besi pada fase awal. Retikulosit memiliki turnover yang lebih cepat
pada sirkulasi dibandingkan dengan eritrosit matur, mengisyaratkan bahwa Ret-
He lebih sensitif dalam menilai aktivitas eritropoietik. Uji Ret-He lebih mudah
dilakukan dan relatif lebih murah dari pada pemeriksaan profil zat besi lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh dalimunthe dan lubis menunjukkan bahwa Ret-He
sangatlah bermanfaat untuk menilai defisiensi zat besi dan mampu memprediksi
respon terapi zat besi IV pada pasien yang menjalani hemodialisa rutin. Mereka
melaporkan bahwa nilai cut off sebesar 31.65 pg, Ret-He menunjukkan nilai
sensitifitas hingga 81,,5 dan spesifisitas hingga 61.1%. brungnara dan rekan
mengatakan bahwa Ret-He dapat mendiagnosis defisiensi zat besi pada cut off
sebesar 27 pg dengan sensitifitas dan spesifisitas sebesar masing masing 93% dan
83.2%.

2
Sebuah penelitian terhadap Ret-He dalam menilai defisiensi zat besi pada pasien
CKD dibandingkan parameter profil zat besi yang secara rutin digunakan di
rumah sakit dr wahidin sudirohusodo makassar. Diperkirakan bahwa studi ini
dapat menjadi refrensi dasar bagi para dokter untuk memilih pemeriksaan yang
efektif dan efisien dalam mengetahui status besi pasien CKD.

METODE
Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang dilakukan di laboratorium
patologi klinis rumah sakit dr wahidin sudirohusodo makassar mulai april hingga
agustus 2016. Sampelnya berasal dari spesimen darah yang dikirim ke
laboratorium patologi klinik untuk menilai kadar zat besi darah dan uji TIBC
menggunakan darah lengkap. Uji Fe darah dan TIBC dilakukan menggunakan
ABX pentra C400 dari jepang. Uji saturasi transferin dilakukan menggunakan
kalkulasi manual dari perbandingan kadar Fe darah/ TIBC x 100%. Ret-He
diperiksa menggunakan sampel darah lengkap yang dianalisis menggunakan
metode flowsitometri menggunakan symex XN-1000 hematology analyzer,
setelah pasien menandatangani inform consent. Data dianalisis menggunakan
SPSS versi 22 untuk menilai distrubusi fe darah, TIBC, saturasi transferin dan
Ret-He.
Data juga dianalisis untuk menilai korelasi signifikan antara Fe darah dan Ret-He,
saturasi transferin, dan Ret-He mengunakan uji korelasi spearmen bila datanya
tidak terdistribusi normal dan untuk menilai perbandingan Ret-He antara
kelompok dengan saturasi transferin > 20% dan kelompok yang saturasi
transferinnya <20%, uji statistik menggunakan analisis mann whitney.

HASIL DAN DISKUSI


Penelitian ini dilakukan pada 45 subjek CKD, dan jumlah subjek tidak berbeda
bermakna antara laki-laki dan perempuan. Distribusi umur antara 19-71 tahun
dengan median 52 tahun. Sebagian besar pasien mengalami anemia, dengan
kisaran hemoglobin 5,0-15,0 g / dL. Kisaran kadar Fe serum 6-177 (ug / dL).
TIBC (ng / dL) sebesar 73-379, saturasi transferin sebesar 0,05-0,95%, dan Ret-
He sebesar 21,4-36,6 pg (Tabel 1). Gagal ginjal kronis dapat terjadi pada pasien

3
usia dewasa muda hingga dewasa yang lebih tua, tetapi penyakit ini paling banyak
ditemukan pada pasien berusia tua (>50 tahun). Prevalensi anemia meningkat
pada pasien CKD, terutama yang menjalani hemodialisis. Anemia didefinisikan
sebagai kadar hemoglobin kurang dari 12 g / dL pada wanita atau kurang dari 14 g
dL pada pria. "Sebuah studi yang dilakukan oleh Vali et al. Di Manado
melaporkan bahwa kisaran hemoglobin pada pasien CKD adalah senilai 5,7-16,3
g / dL . " Hasil ini sejalan dengan penelitian ini yang menemukan bahwa
hemoglobin pada pasien CKD adalah berkisar antara 5,0 - 15,0 g / dL.
Studi ini menunjukkan kisaran kadar Fe, TIBC, saturasi transferin, dan Ret-
He mulai dari rendah hingga normal, tetapi tidak ada yang memiliki kadar normal
tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Babbit et al. yang
menyatakan bahwa anemia pada penderita CKD merupakan proses multifaktorial
dimana penyebab terseringnya adalah defisiensi eritropoietin tetapi tidak sedikit
juga yang terjadi karena defisiensi Fe.
Uji korelasi Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,533 dengan p <0,001
(Fe dan Ret-He) yang berarti adanya korelasi positif yang signifikan antara Ret-
He dengan Fe. Pengujian ini menunjukkan nilai r = 0,533 yang menunjukkan
korelasi kekuatan sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa kadar Fe darah
berbanding lurus dengan kadar Ret-He.
Ret-He menunjukkan kualitas dari retikulosit yang baru saja diproduksi. Produksi
berkelanjutan dari retikulosit tanpa suplai zat besi yang adekuat sebabkan eritrosit
mikrositik yang hipokromik. Retikulosit dapat menjadi eritrosit matang dalam
kurun waktu 1-2 hari setelah dilepas dari sumsum tulang, sehingga kadar
hemoglobin menunjukkan ketersediaan zat besi retikulosit untuk proses
eritropoietin dikemudian hari. Dalimunthe dan rekan pada tahun 2011 melaporkan
bahwa terjadi peningkatan Ret-He secara cepat setelah pemberian terapi zat besi
IV sehingga dapat digunakan sebagai penanda awal untuk respon terapi zat besi.
Tabel 2 juga menunjukkan hasil dari uji korelasi spearmen dengan nilai korelasi
0,321 dan p=0,031 (TIBC dan Ret-He) . hasil ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang positif antara TIBC dan kadar Ret-He. Berdasarkan pemeriksaan
ini, r=0,321 menunjukkan korelasi yang lemah. Pada pasien dengan defisiensi
besi, kadar TIBC meningkat, namun juga normal bahkan menurun. Pasien dengan

4
penurunan TIBC biasanya juga alami imflamasi, rendahnya albumin atau
keduanya.
Hubungan yang signifikan antara saturasi transferin (Tsat) dan Ret-He juga
ditunjukkan pada tabel 2 dengan nilai korelasi P-0,019. Saturasi transferin dan
Ret-He berkorelasi positif dengan kekuatan sedang (r=0,416)
Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian Miwa dan rekan, studinya
menunjukkan bahwa tedapat hubungan yang kuat antara Ret-He dan saturasi
transferin (r=0,543). Saturasi transferin mungkin meningkat karena imflamasi dan
infeksi, dan mungkin penurunan saturasi transferin akan terus terjadi jika sirkulasi
zat besi di darah tetap konstan. Rendahnya kadar transferin mungkin terjadi
karena penurunan sintesis transferin pada malnutrisi atau pada penyakit kronik,
oleh karena itu peningkatan saturasi transferin bila sirkulasi zat besi tetap
konstan.
Perbedaan Ret-He pada kedua kelompok sampel berdasarkan Tsat, kelompok
dengan saturasi transferin <20% dan >20% juga turut dianalisis, hasil dari
penelitian Canal dan rekan melakukan studi menggunakan Ret-He untuk
identifikasi anemia defisiensi besi pada 504 sampel. Penelitiannya melaporkan
bahwa Ret-He menurun sedikit pada pasien anemia dengan CKD ketika
dibandingkan dengan pasien kontrol, sedangkan pasien anemia defisiensi besi
sejati menunjukkan penurunan yang benar benar signfikan.
Keterbatasan penelitian nya adalah kecilnya jumlah sampel dan datanya tidak
lengkap khususnya pada terapi pasien. studi dilakukan menggunakan desain cross
sectional dimana uji Ret-He untuk masing masing pasien hanya dilakukan sekali
saja, sedangkan Ret-He akan sangat bermanfaat untuk memonitor respon terapi
zat besi.

KESIMPULAN
Ret-He memiliki hubungan yang signifikan dengan kadar Fe dan saturasi
transferin. Kekuatan korelasi dari Ret-He, dan Fe sebagaimana Ret-He dan
saturasi transferin, cenderung pada kadar sedang sedangkan hubungan antara Ret-
He dan TIBC hubungannya lemah. Hasil ini mengisyaratkan bahwa uji Ret-He
mungkin bermanfaat untuk menilai status besi pada pasien CKD, namun harus

5
dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan parameter zat besi untuk menegakkan
diagnosis yang cepat dan akurat.

Tabel 1. Karakteristik sampel (n=45)


Variabel N(%) Median
(min-max)
Umur 52 (19-71)
<50 18 (40%)
>50 27 (60%)
Seks
Pria 21 (46,6%)
Wanita 24 (53,3%)
Hemoglobin (g/dL)
Ret-He (pg) 8.0 (5.0-15.0)
Fe (μg/dL) 31,2 (21,4-36,6)
TIBC (μg/dL) 50 (6-177)
Tsat (%) 183 (73-379)
25 (5-95)

Tabel 2. korelasi antara Ret-He, kadar Fe, TIBC dan Tsat darah
Ret-He
Fe (U/mL) r: 0.533
p: <0.001
n: 45

TIBC (U/mL) r: 0.321


p:0.0031
n: 45

Tsat (%) r: 0.416


p: 0.019
n: 45

Tabel 3. Perbandingan antara Ret-He pada Tsat <20% dan kelompok >20%
n Ret-He Median P*
(min-max)
Tsat <20% 16 30 (25,7-36,1) 0,056
Tsat ≥20% 29 32.1 (21.4-36.6)

Anda mungkin juga menyukai