Anda di halaman 1dari 9

Winarti Rimadhani

1840312257/ P 2695 A

Ekstrapiramidal Sindrom

1. Definisi Ekstrapiramidal Sindrom

Ekstrapiramidal sindrom merupakan suatu gangguan pergerakan yang


diinduksi obat, hal ini merupakan suatu efek samping obat yang umum ditemukan
pada pasien dengan pemberian agen penghambat reseptor dopamin. Hal ini pertama
kali di deskripsikan pada tahun 1952 ditemukan bahwa setelah pemberian
klorpromazin terdapat gejala-gejala yang menyerupai penyakit Parkinson.1

2. Etiologi Ekstrapiramidal Sindrom

Sindrom ekstrapiramidal yang terjadi pada pemakai obat-obat antipsikotik


lebih sering pada obat golongan tipikal atau APG I (antipsikotik generasi
pertama)/FGAs (first-generation anti psychotics) dan lebih jarang pada golongan
atipikal atau APG II (anti psikotik golongan kedua)/ SGAs (second-generation anti
psychotics).2 Berikut dosis dan efek samping/ efek sekunder ( sedasi,
ekstrapiramidal ) obat antipsikotik :
Obat antipsikotik bekerja pada reseptor dopamin. Pada jaringan otak,
dopamin mempunyai 4 jalur utama, yaitu jalur nigrostriatal, mesolimbik,
mesokortikal dan tuberoinfundibular. Jalur nigrostriatal mengirimkan dopamin dari
substansia nigra menuju striatum atau ganglia basalis. Jalur ini merupakan bagian
dari sistem ekstra-piramidal dan berperan pada regulasi motorik. Defisiensi
dopamin pada jalur ini dapat menimbulkan gangguan gerak seperti parkinsonism
yang ditandai dengan tremor, rigiditas dan akinesia. Jalur mesolimbik mengirimkan
dopamin dari area ventral tegmental (AVT) ke nukleus akumbens dan berperan
pada motivasi, emosi, interaksi social, dan gejala positif pada skizofrenia.
Defisiensi dopamin pada jalur ini mengakibatkan kehilangan motivasi, perasaan
tidak puas, dan anhedonia. 3

Jalur mesokortikal mengirim-kan dopamin dari AVT ke korteks prefrontal,


dan terbagi menjadi dua, yaitu: jalur yang mengirimkan dopamin dari AVT ke
dorsolateral korteks prefrontal (DLPFC) dan jalur lainnya mengirimkan dopamin
dari AVT ke ventromedial korteks prefrontal (VMPFC). Jalur mesokortikal
berperan pada kognisi, fungsi eksekusi, emosi dan afek. Defisiensi dopamin pada
jalur ini mengakibatkan penurunan kognisi, afek dan menimbulkan gejala negatif.
Jalur tuberoinfundibular mengirimkan dopamin dari hipotalamus ke hipofise
anterior dan memengaruhi hormon prolaktin. Gangguan pada jalur ini dapat
mengakibatkan peningkatan sekresi prolaktin yang akan menyebabkan galaktorea,
amenorea, dan disfungsi seksual. 3

3. Klasifikasi dan Jenis Ekstrapiramidal Sindrom


a. Tardive Dyskenia

Tardive Dyskenia atau diskinesia tarda, atau sering juga disebut sindrom
tardif sebagai akibat penggunaan obat golongan neuroleptik jangka panjang dan
atau dosis tinggi adalah gerakan abnormal tidak disadari atau involunter yang
lambat dan kadang cepat, biasanya gejala yang klasik bermanifestasi sebagai
sindrom oro-buccal-lingual-facial (OBLF).2

Meskipun gejala tardive dyskinesia sudah lama sekali diketahui, namun


etiologinya masih belum jelas sekali, multifaktor mulai dari polimorfik genetik
sampai jenis obat, dosis dan lama pemberian yang menyebabkan kelainan proses
pada transmisi dopamin terutama pada reseptor D2, meningkatnya aktivitas pada
reseptor D2 yang berakibat meningkatnya rasio aktivitas D1/D2 reseptor,
supersensitivitas reseptor dopamin pasca sinaps akibat blokade kronik, menurunnya
aktivitas atau insufisiensi GABA, dan efek neurotoksik radikal bebas dari
metabolisme katekolamin yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan membran sel.2

Manifestasi klinis seperti gerakan mengunyah-ngunyah, menghisap-hisap


bibir, mengecap-ngecap bibir, protusi lidah, kedip-kedip cepat kelopak mata, facial
grimacing; sindrom limb-truncal (LT) seperti choreiform/ choreoathetosis ringan
jari-jari tangan, jempol dan jari-jari kaki dan kadang-kadang pada tungkai serta
badan, kadang-kadang terjadi gerakan-gerakan peregangan pada batang tubuh atau
campuran.2

b. Sindrom Parkinsonisme

Parkinsonisme adalah istilah umum yang merujuk pada sekelompok


gangguan neurologis yang menyebabkan masalah gerakan yang mirip dengan yang
terlihat pada penyakit Parkinson seperti tremor, gerakan lambat, dan kekakuan. Di
bawah kategori parkinsonisme ada sejumlah gangguan, beberapa di antaranya
belum didefinisikan atau dinamai dengan jelas. Pada awal proses penyakit,
seringkali sulit untuk mengetahui apakah seseorang memiliki idiopatik (yang
berarti "dari asal-usul yang tidak diketahui") penyakit Parkinson atau sindrom yang
menirunya. Manifestasinya meliputi berikut:4

 Akinesia/bradikinesia: yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan


spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan
penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada
bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status
perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk
memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negatif
skizofrenia.4
 Tremor: khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil.
Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai
“sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan tardiv diskinesia,
tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecenderungan untuk
mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap medikasi
antikolinergik.4
 Defisit postural: gaya berjalan membungkuk (stooped posture) yang mungkin
menjadi kompensasi atas ketidakseimbangan postural yang menyebabkan
retropulsion4
 Kekuan otot (rigidity): bisa dari tipe kontinuitas (lead-pipe) atau cogwheeling
(pergerakan diskontinuitas, seperti otot ratchet).4

c. Dystonia

Dystonia (dari bahasa Yunani, yang berarti perubahan tonus otot) mengacu
pada suatu sindrom kontraksi otot berkelanjutan atau spasmodik. Gerakan
biasanya lambat dan berkelanjutan, dan mereka sering terjadi secara berulang
dan terpola; Namun, mereka bisa tidak dapat diprediksi dan berfluktuasi.
Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang
(trismus, gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion,
memuntir), seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis
okulogirik).5

Reaksi distonik adalah efek ekstrapiramidal reversibel yang dapat terjadi


setelah pemberian obat neuroleptik. Gejala dapat dimulai segera atau dapat
ditunda berjam-jam. Meskipun berbagai macam obat dapat menimbulkan
gejala, antipsikotik khas paling sering bertanggung jawab. 5

Gejalanya yaitu Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota
gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah
memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan
medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).5

Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan disartria,


disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia juga
dapat terjadi pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga sulit
bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Reaksi distonia akut sering terjadi
dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai.5
d. Akathisia

Akatisia didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk tetap tenang akibat


adanya rasa gelisah. Secara harfiah, akatisia berarti “tak duduk” atau hilangnya
kemampuan untuk duduk atau mempertahankan diri dalam posisi duduk.6

Seorang pasien akatisia tidak bisa duduk dengan tenang dalam jangka waktu
yang lama. Pada situasi yang ekstrim, pasien akan langsung berdiri segera setelah
dia duduk dan akan terus menerus berdiri kemudian duduk kembali. Ketika pasien
dipaksa untuk berada dalam suatu tempat, mereka akan gelisah. Ketika duduk,
mereka akan mengganti posisinya terus menerus, menggosok lengannya,
menyilangkan dan meluruskan kembali kakinya atau bergerak maju mundur.6
Hal-hal tersebut dilakukan untuk mengurangi desakan yang kuat untuk
bergerak. Ketika berdiri, pasien akan terus menerus bergerak di tempatnya. Akatisia
merupakan kumpulan gejala psikomotor yang kompleks yang terdiri atas komponen
subjektif (emosional) dan objektif (motorik).

4. Awitan Gejala Ekstapiramidal Sindrom


a. Tardive Dyskenia

Gejala ini biasanya timbul setelah pemakaian obat golongan neuroleptik


atau anti psikotik > 3 bulan dan jarang <3 bulan. Tardive dyskinesia juga bisa
timbul 4 minggu setelah pemberian obat anti-psikotik oral atau 8 minggu setelah
pemberian injeksi anti-psikotik depot dihentikan. Pasien perempuan, usia tua,
kencing manis, peminum alkohol, dan perokok lebih sering menderita tardive
dyskinesia.2

b. Sindrom Parkinsonisme

Gejala Parkinsonisme akan muncul pada penggunaan antipsikotik yang sering


terjadi antara 5 hari sampai dengan 30 hari pertama pengobatan.7

c. Dystonia

Reaksi distonik adalah efek ekstrapiramidal reversibel yang dapat terjadi


setelah pemberian obat neuroleptik. Gejala dapat dimulai segera atau dapat
ditunda berjam-jam. Meskipun berbagai macam obat dapat menimbulkan
gejala, antipsikotik khas paling sering bertanggung jawab.5

Reaksi distonik paling sering terjadi segera setelah memulai pengobatan


atau peningkatan dosis obat; 50% terjadi dalam waktu 48 jam sejak dimulainya
pengobatan, dan 90% terjadi dalam 5 hari. Sebuah tinjauan literatur oleh
Hawthorne dan Caley menemukan di antara laporan yang diterbitkan tentang
reaksi ekstrapiramidal bahwa reaksi biasanya berkembang dalam 30 hari sejak
dimulainya pengobatan. atau peningkatan dosis.5

d. Akathisia

Akatisia biasanya merupakan gejala akut yang muncul beberapa jam atau hari
setelah terapi antipsikotik. Dosis awal yang tinggi dan peningkatan dosis obat yang
cepat merupakan faktor predisposisi akatisia akut. Akatisia dibagi atas beberapa
subtype berdasarkan onset terjadinya.6

 Akatisia akut

Akatisia akut merupakan jenis akatisia yang paling sering ditemukan.


Akatisia jenis ini dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah inisiasi
atau peningkatan atau perubahan dosis terapi. Adanya paparan tunggal terhadap
obat sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Biasanya akatisia jenis ini
mulai terjadi dalam waktu 2 minggu pertama pengobatan dan hampir selalu
terjadi dalam 6 minggu pengobatan.6

 Akatisia tardive

Akatisia subtype ini merupakan akatisia yang terjadi pada penggunaan obat
neuroleptik jangka panjang meskipun tidak ditemukan adanya perubahan dosis
atau jenis obat, ataupun pemutusan obat golongan anti akatisia. Awitan akatisia
tardive adalah 3 bulan setelah pemberian obat yang stabil. 6

 Akatisia pada withdrawal

Akatisia ini muncul setelah penghentian atau penurunan signifikan dari


dosis obat neuroleptik. Akatisia jenis ini terjadi dalam beberapa hari atau
minggu sesudahnya namun secara rata-rata biasanya dalam jangka waktu enam
minggu setelahnya. Bila akatisia menetap setelah jangka waktu tiga bulan
setelah pemberian obat, maka akatisia tardive dapat dipertimbangkan sebagai
diagnosis.6

 Akatisia kronik

Akatisia kronik dapat digolongkan berdasarkan lama berlangsungnya dan


bukan berdasarkan awitan terjadinya. Akatisia yang tetap berlangsung setelah
tiga bulan lamanya dari awitan akatisia dapat digolongkan dalam akatisia
kronik. Akatisia ini dapat berawitan akut, tardive ataupun disebabkan
withdrawal. Saat seseorang sudah sampai pada tahap akatisia kronik, gejala
subjektif akan berkurang dan pola pergerakan akan lebih menyerupai
stereotipik, atau tardive dyskinesia.6

5. Penghentian Terapi THP

Triheksifenidil adalah obat yang sering digunakan apabila didapatkan


sindroma ekstrapiramidal akibat penggunaan antipsikotik.Obat ini lebih dikenal
sebagai antiparkinson. Pada penggunaannya masih banyak hal yang belum jelas
diketahui. Triheksifenidil adalah senyawa piperidin, daya antikolinergik dan
efek sentralnya mirip atropin namun lebih lemah. Obat ini spesifik untuk
reseptor muskarinik (menghambat reseptor asetilkolin muskarinik).
Triheksifenidil bekerja melalui neuron dopaminergik. Mekanisme mungkin
melibatkan peningkatan pelepasan dopamin dari vesikel prasinaptik,
penghambatan ambilan kembali dopamin ke dalam terminal saraf prasinaptik
atau menimbulkan suatu efek agonis pada reseptor dopamin pascasinaptik.8

Bila terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal, terlebih dahulu


dilakukan penurunan dosis. Obat yang paling sering digunakan adalah
triheksifenidil dengan dosis 3 kali 2 mg per hari. Efek samping antikolinergik
dikategorikan sebagai perifer atau sentral. Efek samping perifer yang umum
adalah mulut kering, kurang berkeringat, penurunan sekresi bronkial,
pandangan kabur, kesulitan buang air kecil, konstipasi dan takikardia. Efek
Samping dari antikolinergik termasuk sulit berkonstentrasi, perhatian, dan
memori.8
Penghentian triheksifenidil secara mendadak maka tubuh akan memerlukan
waktu untuk penyesuaian, sehingga dosis diatur turun secara perlahan. Dosis
spesifik sesuai dengan kebutuhan pasien. Terapi harus mulai dosis terendah
yang direkomendasikan dan dinaikkan secara bertahap dengan melihat kondisi
klinis dan adanya kejadian toleransi. Triheksifenidil diberikan 1 mg sampai 4
mg 2 kali sampai 3 kali sehari dan dosis tidak lebih dari 15 mg sehari. Dosis
dinaikan sampai diperoleh hasil yang diharapkan. Triheksifenidil diberikan 4
sampai dengan 8 minggu, dan coba diturunkan untuk melihat apakah pasien
masih membutuhkan. Obat dihentikan secara perlahan selama satu sampai
dengan dua minggu. Pemberian antikolinergik sebagai pencegahan masih
diperdebatkan karena gejala parkinsonism akibat antipsikotik biasanya cukup
ringan dan timbul secara bertahap sehingga baru diberikan bila sudah timbul
gejalanya.8

Gejala ekstrapiramidal diinduksi obat antipsikotik dapat diberikan per oral,


rentang dosis harian umum 5-15 mg dengan dosis awal 1 mg. Jika reaksi tidak
terkendali dalam beberapa jam, tingkatkan dosis secara bertahap sampai
pengendalian gejala tercapai. Pengendalian gejala yang lebih cepat dapat terjadi
dengan menurunkan dosis antipsikotik saat memulai terapi triheksifenidil, dan
kemudian sesuaikan kedua obat sampai efek yang diinginkan menetap.
Pemberian triheksifenidil harus memperhatikan adanya gagal jantung kronis,
edema, epilepsi, glaukoma, tekanan darah rendah, hipertrofi prostat atau retensi
urin. Triheksifenidil dapat memperburuk gejala penyakit tersebut.8
DAFTAR PUSTAKA

1. Souza RS, Hooten WM. Extrapyramidal symptoms (EPS). NCBI


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534115/ diakses 23 Maret
2019
2. Nuartha AA. Tardive dyskinesia and other neuroleptic-induced
movement disorders. Denpasar: Udayana Press;2017
3. Kembuan MAHN. Sindroma neuroleptik maligna patofisiologi,
diagnosis dan terapi.JBM.2016:8(2);125-133
4. Understanding Parkinson’s.
https://www.parkinson.org/sites/default/files/attachments/Parkinsons-
Disease-vs-Parkinsonisms.pdf - diakses 23 Maret 2019
5. Kowalski JM. Medication-induced dystonic reaction. Medscape
https://emedicine.medscape.com/article/814632-overview - diakses 23
Maret 2019
6. Poyurovsky M. Acute antipsychotic-induced akathisia revisited. The
British Journal of Psychiatry 2010;196:89-91
7. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2015.
8. Swayami IGAV. Aspek Biologi Triheksifenidil di Bidang Psikiatri.
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Denpasar. 2014; 45: p.88-92.

Anda mungkin juga menyukai