Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Dengue Shock Syndrom merupakan sindroma syok yang terjadi pada


penderita Dengue Hemorrhagic Fever ( DHF ) atau Demam Berdarah Dengue.
Dengue Syock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan
kesehatan yang menyebar luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu
permasalahan klinis, karena 30-50 % berdasarkan buku tentang penyakit
infeksi tropik penderita Demam Berdarah Dengue akan mengalami renjatan
dan berakhir dengan suatu kematian terutama bila tidak ditangani secara dini
dan adekuat.
Suatu penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan
bahwa penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%),
sedangkan wong (1973) dari singapir melaporkan pada umur 5-10 tahun dan
dimanado terutama di jumpai pada umur 6-8 tahun kemudian pada tahun 1983
didapatkan terbanyak pada umur 4-6 tahun. Tidak terdapat perbedaan antara
jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak di temukan pada anak perempuan
dari pada anak laki-laki. Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami
renjatan berkisar antara 25-65%, di mana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan
63%, Kho dkk. (1979) melaporkan 50%. Rampengan (1986) melaporkan
59,4% sedangkan WHO (1973) melaporkan 65,45% dari seluruh penderita
demam berdarah dengue yang di rawat.

1.2 Tujuan Penulisan


a. Untuk memahami dan mengetahui Dengue Shock Syndrome
b. Untuk memahami dan mengetahui etiologi dan cara penularan DSS
c. Untuk memahami dan mengetahui patofisiologi DSS
d. Untuk memahami dan mengetahui manifestasi klinis DSS

1
e. Untuk memahami dan mengetahui komplikasi dan pemeriksaan penunjang
DSS
f. Untuk memahami dan mengetahui penatalaksanaan pasien yang
terdiagnosa DSS
g. Untuk memahami dan mengetahui manajemen tranfusi pasien DSS
h. Untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam menciptakan hubungan
terapeutik dilingkungan rumah sakit dan masyarakat pada umumnya.
i. Meningkatkan pengetahuan penulis secara teoritis mengenai penyakit DSS

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.2 Pengertian
Dengue haemoragic fever (DHF) adalah penyakit demam akut
yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan , yang bertedensi
mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief
Mansjoer & Suprohaita; 2000)
Dengue Shock Symdrom (DSS) adalah kasus demam berdarah
dengue disertai dengan manifestasi klinis kegagalan sirkulasi / syok /
renjatan. Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang
terjadi pada penderita Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam
Berdarah Dengue (DBD) (Sumarmo dkk.2008)

2.2 Etiologi
a. Virus Dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke
dalam Arbovirus (Arthropodborn virus) grup B. Tetapi dari 4 tipe
yaitu virus tipe 1,2,3 dan 4 keempat virus tersebut terdapat di
indonesia dan dapat dibedakannya dari satu dengan yang lainnya
secara serologis virus yang termasuk dalam genus flavivirus ini
berdiameter 40 nanometer dapat berkembang biak dengan baik
dengan kultur jaringan baik dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK
(Baby Homster Kidney) maupun sel-sel Arthropoda misalnya sel
aedes Albopictus. (Soedarto, 2012)

b. Vektor
Virus dengue serotipe 1,2,3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor
yaitu nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa
spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan. Infeksi dengan
salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup

3
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer & Suprohaita,
2009)
Nyamuk aedes aegypti maupun aedes albopictus merupakan vektor
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah
perkotaan (viban) sedangkan pedesaan (rural) kedua nyamuk
tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk aedes aegypti
berkembang biak pada air bersih yang terdapat bejana-bejana yang
terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di
luar rumah di lubang-lubang pohon di dalam potongan bambu,
dilipatan daun dan genangan air bersih alami (Aedes Albopictus).
Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada
siang hari terutama pada pagi hari dan senja hari. (Soedarto,2012)

c. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya
maka ia akan mendapat imunisasi yang spesifik tetapi tidak
sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue
yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue
haemoragic fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah
mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih pula
terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue untuk pertama
kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya
melalui plasenta. (Soedarto,2012)

2.1 Klasifikasi
Menurut derajat ringannya penyakit Dengue Haemoragic Syndrome
(DHF) dibagi menjadi 4 tingkat (Widoyono,2012) yaitu :
a. Derajat I

4
Panas 2 ± 7 hari, gejala umum tidak khas dan uji taniquet
hasilnya positif
b. Derajat II
Sama dengan derajat I ditambah dengan gejala-gejala
perdarahan spontan seperti petekia, ekimosa, epimosa, epitaksis,
haematemesis, melena, perdarahan gusi dan telinga dsb.
c. Derajat III
Penderita syok ditandai dengan gejala kegagalan peredaran
darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/menit0 tekanan nadi
sempit (>20 mmHg) tekanan darah menurun (120/80 mmHg)
sampai tekanan sistolik dibawah 80 mmHg.
d. Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur (denyut jantung >
±140 mmHg) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit
tampak biru.

2.3 Cara Penularan


Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk yang sudah
sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di
tempat-tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas
permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pada saat
musim hujan ,tetapi nyamuk Aedesa egypti juga dapat hidup dan
berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu
gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk menimbulkan
penyakit dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue,
virus akan mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rat 4-7
hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala demam akut disertai
berbagai gejala dan tanda non spesifik. Selama masa demam akut yang
berlangsung 2-10 hari, virus dengue dapat bersikulasi di peredaran

5
darah perifer. Jika nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat
mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik
selama 8-12 hari.

2.4 Patofisiologi

Dengue syok sindrom adalah kumpulan gejala demam berdarah


dengue yang disertai syok dan kebocoran plasma disebabkan oleh virus
dengue yang dibawa oleh nyamuk aedes aegypti dan albopictus
(soedarto, 2012). Setelah virus dibawa melalui nyamuk aedes,
kemudian beredar di dalam darah (viremia). Selanjutnya terbentuk
sistem komplemen C3 dan C5 yang menyebabkan respon hipotalamus
sehingga terjadi gejala demam. Selain respon hipotalamus, sistem
komplemen C3 dan C5 juga menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Sehingga menyebabkan perembesan plasma ke ruang
ekstraseluler yang mengakibatkan volume cairan berkurang. Apabila
tidak ada penanganan lebih lanjut dapat menyebabkan syok
hipovolemik. Keadaan syok inilah yang di sebut dengan dengue syok
sindrom (Putra, 2014).

Pada keadaan syok berat dalam waktu 24-48 jam volume plasma
dapat berkurang lebih dari 30 %. Tanda- tanda perembesan plasma
dapat diketahui dengan adanya peningkatan hematokrit, penurunan
kadar natrium dan terjadinya efusi pleura dan asites. Keadaan efusi
pluera dapat menyebabkan pola nafas terganggu, sedangkan asites dapat
mengakibatkan mual muntah (Putra, 2014).

Akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah selanjutnya


yaitu adanya agresi trombosit yang menyebabkan terjadinya
trombositopenia yang berujung terjadinya perdarahan di berbagai organ
dan perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial ini dapat
menyebabkan penderita dapat mengalami kejang-kejang dan masuk

6
dalam keadaan koma, hal ini dapat memperparah keadaan syok
penderita. Perdarahan yang terjadi terus menerus dapat mengganggu
kebutuhan perfusi di jaringan baik di pulmonal, kardiovaskuler maupun
di jaringan. Apabila keadaan perfusi jaringan mengalami ganguan maka
jaringan akan mengalami hipoksia yang berakibat dapat terjadi asidosis
metabolik yang selanjutnya dapat berakibat kematian (puta, 2014).
Akibat gangguan metabolisme, elektrolit dan perdarahan intranial maka
ensefalopati juga kadang terjadi. (Soedarto, 2012).

2.5 Manifestasi Klinis

a. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2–7 hari
kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah.
Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala–gejala klinik
yang tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung, nyeri
tulang dan persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah dapat
menyertainya. (Soedarto, 1990).
Menurut Sumarmo, suhu pada penderita DSS terendah
adalah 36,20C dan tertinggi 40,80C. Ternyata penderita DSS
banyak di jumpai pada suhu sekitar 370C adalah 45,65 %.
b. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam
dan umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tocniguet
yang positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena,
petekia dan purpura.(Soedarto, 1990). Perdarahan ringan hingga
sedang dapat terlihat pada saluran cerna bagian atas hingga
menyebabkan haematemesis.(Nelson, 1993).Perdarahan
gastrointestinal biasanya di dahului dengan nyeri perut yang
hebat.(Ngastiyah, 1995).
c. Hepatomegali

7
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba. Bila
terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraba kenyal
harus di perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada
penderita .(Soederta, 1995).
d. Nyeri perut
Keluhan yang timbul sebelum renjatan, sehingga banyak para
ahali menganjurkan untuk waspada akan adanya gejala nyeri
perut ini, apalagi jika berat, karena sering kali mendahului
terjadinya perdarahan dalam saluran pencernaan. Nyeri perut ini
terjadi didaerah epigastrium.
e. Renjatan (Syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya
penderita, dimulai dengan tanda–tanda kegagalan sirkulasi yaitu
kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki
serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa
demam maka biasanya menunjukan prognosis yang
buruk.(Soedarto, 1995)
f. Anorexia
Menurut Partana dkk ( 1981 ), kembalinya nafsu makan dapat
dipakai sebagai tanda bahwa penderita sudah sembuh.
g. Muntah-muntah
h. Diare / obstipasi
i. Kejang-kejang
j. Pleural efusion
Kurang lebih ¾ kasus DSS ditemukan adanya bendungan
pembuluh darah paru ( pulmonari vascular congestion ) dengan
efusi pleura terutama pada paru sebelah kanan.
k. Asites
l. Cefalgia
m. Gambaran EKG yang abnormal

8
Munir dan Rampengan ( 1984 ) membagi renjatan menjadi :
a. Syock ringan / tingkat 1 ( impending shock ) yaitu gejala dan tanda-
tanda shock yang disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20
mmHg.
b. Syock sedang / tingkat 2 ( moderate shock ) yaitu = tingkat 1
ditambah dengan tekanan nadi menjadi < 20 mmHg, tetapi belum
sampai nol, disertai dengan menurunnya tekanan sistolik menjadi < 80
mmHg, tetapi belum sampai nol.
c. Syock berat / tingkat 3 ( profound shock ) yaitu tekanan darah yang
tidak terukur / nol, tetapi belum ada sianosis / asidosis.
d. Syock sangat berat / tingkat 4 ( moribund shock ) yaitu tekanan darah
yang tidak terukur lagi disertai dengan sianosis dan asidosis.

2.6 Komplikasi
a. Ensefalopati
b. Asidosis metabolik
c. Perdarahan masif
d. Gagal ginjal
e. Edema otak
f. Edema pulmoner
g. Infeksi sekunder
h. Asites
i. Efusi pleura

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium :
Darah rutin :
 hemoconsentrasi yang ditandai dengan ht meningkat dan
trombositpoenia
 Pada Diff Count terdapat peningkatan blue limfosit > 15%
 Protrombine time, PTT, APTT

9
 LFT: SGOT/SGPT, serum protein
 Serologi : IgM dan IgG dengue
 Virologi : cultur, PCR, MAC-ELLISA
 Waktu pengambilan uji serologi : pada waktu masuk (S1) atau
fase akut, 2-3 hari sebelum dipulangkan atau bila pasien
meninggal fase convalescence (S2), dan fase convalescence
lanjut pada waktu pemulangan pasien (S3). Pengambilan serum
dengan interval tersebut diharapkan menggambarkan perubahan
serologi imunologi.
b. Foto Rontgen :
 Thorax : untuk melihat apakah terdapat efusi pleura

c. USG
Pada pemeriksaan USG biasanya ditemukan
 Asites dan efusi pleura
 Hepatomegali

2.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan

Pemberian terapi oksigen 2-4 liter/ menit, Pemeriksaan


hemodinamika meliputi, tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu
(Soedarto, 2012). Dalam Nettina (2006) penatalaksanaan
keperawatan pada kondisi syok meliputi pemantauan yang kontinu
terhadap tekanan darah, nadi, suhu, frekuensi jantung, tekanan vena
sentral dan irama jantung. Selain itu memantauan frekuensi nafas
dan bunyi nafas dilakukan secara kontinu. Pantau haluaranurin setiap
jam. Jika terjadi perdarahan pantau hemoglobin dan hematokrit
untuk mengkaji perdarahan.

b. Penatalaksanaan Medis
1) Penatalaksanaan DSS dengan syok dan perdarahan

10
 Pemberian ringer (kristaloid) laktat 20 ml/KgBB/jam diberikan
infus cepat. Jika syok teratasi kurangi tetesan menjadi 10
ml/KgBB/jam, bila stabil berikan 500 ml setiap empat jam.
 Jika Pemberian kristaloid tidak dapat mengatasi syok maka
diganti cairan koloidal, pemberian cairan ini maksimum 1000-
1500 ml/24 jam karena dapat mengganggu mekanisme
pembekuan darah. Jenis cairan koloidal meliputi dekstran,
gelatin (larutan berupa isotonik dan isoonkotik),
hydroxyethyistarch.
 Jika hematokrit kurang dari 30 % maka diberikan juga sel
darah merah (Soedarto, 2012).

Didukung dengan penelitian Christianty dkk tahun 2013


menyatakan bahwa pemberian cairan berupa natrium laktat
hipertonik mampu mempercepat pemulihan syok pada dengue syok
sindrom. Cairan natrium laktat hipertonik dapat diberikan pada
awal resusitasi cairan untuk mengatasi syok. Cairan natrium laktat
hipertonik adalah larutan NaCl dengan 3-7,5 %.

2) Penatalaksanaan DSS dengan syok tanpa perdarahan.


 Pengobatan heparin
Heparin diberikan jika terjadi perdarahan tersembunyi yang
disertai adanya KID (koagulasi intravaskuler deseminata
adalah kelainan trombohemoragi), heparin tidak boleh
diberikan, kecuali jika ada tanda-tanda akan terjadi perdarahan.
 Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin, hematokrit dan trombosit dilakukan setiap 4-6
jam. Pemeriksaan homeostasis pada penderita dengan
Koagulasi Intravaskuler Deseminata atau KID dilakukan 24
jam sesudah pemberian heparin. Pada penderita tanpa KID
pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan jika masih terjadi
perdarahan.

11
 Pengobatan antibiotic
Pemberian antibiotik jika ada infeksi sekunder pada organ atau
tempat lainya, menggunakan obat-obatan yang tidak
mengganggu sistem pembekuan darah (Soedarto, 2012).
Didukung oleh penelitian Andriani dkk dalam penelitianya
tentang kajian Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam
Berdarah Dengue pada Penderita anak yang menjalani
perawatan di RSUP.Dr. R.D Kandau tahun 2013 menyatakan
bahwa golongan antibiotik yang banyak diberikan ialah
golongan sefalospropin sebanyak 55.41 %, total penderita yang
mendapatkan terapi antibiotik sebanyak 50 penderita dari total
sampel 62 penderita demam berdarah dengue dan dengue
dengan syok.

c. Penatalaksanaan kasus DSS dengan perdarahan tanpa syok

Perdarahan spontan dan masif pada kasus dewasa (jumlah


perdarahan 4-5 ml/KgBB/jam) biasanya muncul dalam bentuk
perdarahan hidung (epitaksis) yang tidak terkendali meskipun sudah
diberikan tampon hidung. Pemberian cairan RL 500 cc/4 jam.
Pemeriksaan nadi, tensi, pernafsan dan jumlah produksi urin
dilakukan ketat terhadap tanda-tanda dini syok. Pemeriksaan
Hemoglobin, Hematokritt dan trombosit diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin hanya dilakukan jika pemeriksaan laborat
ditemukan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah hanya
dilakukan sesuai indikasi. FFP (freshfrozen plasma) hanya diberikan
jika ditemukan defisiensifaktor pembekuan darah. Sedangkan PRC
(packedredcell) diberikan jika nilai Hb kurang dari 10 gr%.
Transfusi trombosit hanya diberikan jika terjadi trombositopenis (
trombosit < 100000/ul) dengan atau tanpa KID. Pada kasus dengan
KID pemeriksaan hemostasis diulang 24 jam kemudian, sedangkan

12
kasus tanpa KID dilakukan jika terjadi perdrahan saja (Djunaedi,
2006).

2.9 Manajemen Tranfusi


Diberikan pada :
a. Kasus dengan renjatan yang sangat berat atau renjatan yang
berkelanjutan.
b. Gejala perdarahan yang nyata, misalnya hematemesis dan melena.
Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang
dikeluarkan, jika jumlah trombosit menunjukkan kecendrungan
menurun.

2.10 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1) Biodata Klien
Nama, umur, status perkawinan, pekerjaan, agama, pendidikan
terakhir, alamat, jenis kelamin, diagnose medis, nomor regester.,
MRS/tanggal pengkajian.

2) Riwayat Kesehatan Klien


a) Keluhan utama
Demam
b) Riwayat penyakit sekarang
Klien merasa demam, lemas, pucat, suhu badan lebih dari
370C, nyeri pada anggota badan, punggung, kepala, sendi,
nadi lemah dan cepat sampai tak teraba, tekanan darah turun
hingga 80 mmHg sampai nol dan tekanan nadi hingga 20
mmHg sampai nol, kulit teraba dingin, lembab terutama
extremitas penderita menjadi gelisah hingga penurunan

13
kesadaran, tidak nafsu makan, mual, muntah dan nyeri pada
bagian ulu hati.

c) Riwayat kesehatan dahulu


Kemungkinan masyarakat sekitar rumah ada yang
mengalami penyakit demam berdarah, lingkungan yang kotor
sehingga menjadi tempat bersarangnya nyamuk, dan
mengkonsumsi makanan yang tidak hygiene.

d) Riwayat kesehatan keluarga


Penyakit dengue shock syndrome tidak bersifat genetic.

3) Pola Aktifitas Sehari-hari


Keletihan, kelemahan, serta penurunan semangat untuk
beraktifitas.

4) Pola Eleminasi
Konstipasi dan penurunan haluaran urine.

5) Pola Makan dan Minum


Penurunan nafsu makan, mual dan muntah, penurunan berat
badan, distensi abdomen, dan nyeri ulu hati.

6) Personal Hygiene
Kurang bertenaga dan pemeliharaan diri tidak bersih.

7) Integritas Ego
Depresi, ansietas, takut dan mudah tersinggung.

8) Sirkukasi

14
Brakikardi, kulit dingin, konjungtiva anemis, pucat, capillary
refill time/CRT kurang dari 2 detik, sclera tidak icterus,
pengisian kapiler melambat atau perfusi perifer menurun.

9) Neurosensori
Sakit kepala, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
penurunan penglihatan dan gelisah.

10) Nyeri atau Kenyamanan


Nyeri abdomen bagian ulu hati, punggung, pinggang dan sakit
kepala.

11) Pernafasan
Nafas cukup cepat dan pendek ketika istirahat aupun
beraktivitas.

12) Keamanan
Gangguan ekstremitas, jatuh, dan demam.

13) Seksualitas
Tidak ada masalah dalam gangguan seksualitasnya.

14) Pemeriksaan Fisik Head to Toe :


a) Keadaan Umum
Pucat, lemah, keletihan, nyeri kepala atau pusing, nyeri ulu
hati, sakit pinggang, punggung maupun sendi, demam,
dispea, sensitive terhadap dingin, dan berat badan menurun.

b) Kesadaran
Compos mentis

15
c) Mata
Konjungtiva pucat atau anemis, skera tidak icterus atau
menguning.

d) Mulut
Warna bibir pucat, mukosa mulut pucat atau kering, lidah
lembut dan merah, dan terdapat bercak mulut.

e) Telinga
Tidak ada kelainan bentuk, tida tinnitus (telinga berdengung)
dan tidak ada discharge.

f) Hidung
Tidak ada penyumbatan tidak ada deviasi septum, dan
terdapat pendarahan berupa mimisan.

g) Kulit
Memucat atau keabu-abuan (tanda-tanda hemosideiosis),
kulit kering, turgor elastis.

h) Leher
Tidak ada benjolan, tida ada tanda-tanda trauma, tida ada
terjadi pembesaran limfoid dan tida ada tanda peradangan.

i) Kepala
Tida ada hematoma, tidak ada benjolan atau lesi.

j) Thoraks
Inspeksi : Simetris, tidak retraksi, tidak ada lesi, ictus kordis
tidak Nampak.
Palpasi : Tidak ada benjolan, vocal fremitus terasa getaran

16
kanan dan kiri, serta tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi :Suara dasar paru vesikuler, tidak ada ronchi
basah, denyut jantung melemah.

k) Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak nampak
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi :Tidak terdapat pembesaran jantung
Auskultasi : Tidak terdapat suara tambahan jantung seperti
mur-mur

l) Abdomen
Inspeksi : Tidak distensi, dan tidak terdapat lesi
Auskultasi : Bising usus menurun
Palpasi : Timpni sideluruh abdomen
Perkusi : tidak terdapat defans muscular, terdapat nyeri
tekan, dan tidak terdapat massa pada abdomen maupun asites

m) Ekstremitas atas
Dapat menggerakkan sesuai perintah hanya saja lambat
karena keletihan, tidak ada kontraktur, tidak ada lesi maupun
edema.

n) Ekstremitas bawah
Dapat menggerakkan, hanya saja tidak kuat ketika berjalan
karena keletihan, tidak ada kontraktur dan tidak ada edema.

o) Integumen

17
Warna pucat, turgor elastis, warna merata, kering permukaan
kulitmya, temperature kulit relative sama diseluruh tubuh,
dan tekstur sedikit kasar.

p) Genitalia
Kulit disekitar kelamin tidak terinfeksi jamur atau kutu, pada
anus tidak terdapat hemoroid, tidak terdapat fistula, dan tidak
ada keganasan.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d kebocoran plasma
darah
2) Nyeri akut b.d agen cidera biologis (penekanan intra abdomen)
3) Hipertemia b.d proses infeksi virus dengue

c. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan asuhan - Monitor daerah tertentu
jaringan perifer b.d keperawatan selama 3x24 yang hanya peka terhadap
kebocoran plasma darah jam diharapkan dapat panas/dingin/tajam/tumpul
memenuhi kebutuhan - Monitor adanya paratase
oksigen dengan kriteria - Instruksikan keluarga
hasil : untuk mengobservasi kulit
- Tanda-tanda vital dalam jika ada kulit atau lesarasi
batas normal : - Gunakan sarung tangan
TD : 120-130 mmHg untuk proteksi
(systole) / 80-90 mmHg - Batasi gerakan pada
(diastole) kepala, leher dan
N : 60-100 x/menit punggung

18
RR :16-24 x/menit - Kolaborasikan pemberian
T : 36.0 0C – 37.0 0C analgetik
- Hb : 14.0 – 18.0 g/dL - monitor adanya
- CRT < 2 detik tromboplebitis
- Konjungtiva tidak anemis - diskusi mengenai
- Menunjukkan perhatian, penyebab perubahan
konsentrasi dan orientasi sensasi
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan Pain Management
cidera biologis keperawatan selama 3x24 - Lakukan pengkajian nyeri
(penekanan intra jam diharapkan rasa nyeri secara komprehensif
abdomen) dapat teratasi dengan termasuk lokasi,
kriteria hasil : karakteristik, durasi,
- Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan
(tahu penyebab nyeri, factor presipitasi
mampu menggunakan - Observasi reaksi
tekhnik nonfarmakologi nonverbal dari
untuk mengurangi nyeri, ketidaknyamanan
mencari bantuan) - Gunakan teknik
- Melaporkan bahwa nyeri komunikasi terapeutik
berkurang dengan untuk mengetahui
menggunakan manajemen pengalaman nyeri pasien
nyeri - Kontrol lingkungan yang
- Mampu mengenali nyeri dapat mempengaruhi nyeri
(skala intesitas, frekuensi seperti suhu ruangan,
dan tanda nyeri) pencahayaan dan
- Menyatakan rasa nyaman kebisingan
setelah nyeri berkurang - Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan
interpersonal)

19
- Ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam
- Tingkatkan istirahat
- Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan jika tindakan nyeri
tidak berhasil

Analgesic Administration
- Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
- Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis
dan frekuensi
- Cek riwayat alergi
- Tentukan analgesic
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
- Pilih rute IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
- Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesic
pertama kali
Hipertemia b.d proses Setelah dilakukan asuhan Fever treatment
infeksi virus dengue keperawatan selama 3x24 - Monitor suhu sesering
jam diharapkan hipertemia mungkin
dapat teratasi dengan - Monitor IWL

20
kriteria hasil : - Monitr warna dan suhu
- Suhu tubuh dalam rentang kulit
normal, yaitu 36.0 0C – - Monitor tekanan darah,
37.0 0C nadi dan RR
- Nadi dan RR dalam - Monitor penurunnan
rentang normal, yaitu tingkat kesadaran
N : 60-100 x/menit - Monitor WBC, Hb, Hct
RR :16-24 x/menit - Monitor intake dan output
- Tidak ada perubahan - Berikan anti piretik
warna kulit dan tidak ada - Berikan pengobatan untuk
pusing mengatasi penyebab
demam
- Selimuti pasien
- Lakukan tapid sponge
- Kolaborasikan terapi
cairan intravena
- Kompres pasien pada lipat
paha dan aksila
- Tingkatkan sirkulasi udara
- Berikan pengobatan ntuk
mencegah terjadinya
menggigil

Temperature regulation
- Monitor suhu minimal tiap
jam sekali
- Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu
- Monitor TD, nadi dan RR
- Monitor warna dan suhu
kulit

21
- Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
- Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
- Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
- Ajarkan kepada pasien
cara mencegah keletihan
akibat panas
- Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negative dari
kedinginan
- Beritahukan tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan
emergency yang
diperlukan
- Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
yag diperlukan
- Berikan anti piretik jika
perlu

Vital sign monitoring


- Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
- Catat adanya fluktuasi
tekanan darah

22
- Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
- Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola pernapasan
abnormal
- Monitor suhu, warna dan
kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
- Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
- Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

23

Anda mungkin juga menyukai