Anda di halaman 1dari 58

Penyakit Infeksi Umum

Pada Anak

1
Diphteriae

2
Definisi

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang


disebabkan oleh corynebacterium
diphteriae yang berasal dari membrane
mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan
lesi lain dari orang yang terinfeksi.

3
Patofisiologi
 Kuman berkembang biak pada saluran nafas
atas(vulva, kulit, mata jarang terjadi).
 Kuman membentuk psudo membrane
melepaskan eksotoksin.
 Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul
paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai
jaringan saraf.
 Sumbatan jalan nafas terjadi akibat dari fungsi
pseudo membrane pada laring dan trachea dapat
menyebabkan kondisi fatal.
4
• Corynebacterium diphteriae
P • Kontak dengan orang atau barang yang terkontaminasi.
A
T
• Masuk lewat saluran pencernaan atau saluran pernafasan.
O
F
I • Aliran sistemik
S
I • Masa inkubasi 2 – 5 hari.
O
L • Mengeluarkan toksin (eksotoksin)
O
G
I Nasal Tonsil/faringeal Laring

Peradangan mukosa Tenggorokan sakit demam Demam suara


serak,
hidung (flu, secret anorexia, lemah. Membrane batuk obstruksi sal.
Hidung serosa). Berwarna putih atau abu-abu napas, sesak nafas,
Linfadenitis (bull’s neck)
sianosis.
Toxemia, syok septic.

5
Difteri
Etiologi
Corynebacterium diphteriae yg membentuk
pseudomembran pada kulit / mukosa
Kuman Gram – positif , bentuk batang
Immobile, pleomorfik, uncapsuled,
tahan dlm beku dan
Kering, berbentuk L / V, berkelompok
spt huruf Cina

Memproduksi eksotoksin dgn BM 62.000 Dalton, tidak tahan panas / cahaya


6
Difteri
• Patogenesis dan patofisiologis
Kuman masuk via mukosa / kulit  melekat di
mukosa sal. nafas atas  toxin menyebar t.u
melalui vaskular dan pem.limfe
Toxin mengganggu proses translokasi RNA 
mengganggu proses pembentukan protein  sel
mati (nekrosis)
Nekrosis terutama terjadi di tempat kolonisasi
kuman  exudat fibrin (pseudomembran : sel
radang + eritrosit + epitel)

7
Difteri
• Efek nekrosis pada jantung : oedema jantung,
ggn kongesti, ilfiltrasi sel2 mononuklear di
serat otot.
• Efek de-myelinisasi pada jar. Syaraf
• Efek nekrosis pada jaringan tubular ginjal.

8
Difteri
Klinis :
• Bergantung : umur penderita, virulensi + toksisitas,
lokasi anatomis
• Masa inkubasi : 2 – 6 hari
• Demam tinggi : > 38 o C
• Gejala common cold
• Bullneck (oedema jaringan lunak leher + limfadenitis
cervicalis + submandibular)
• Suara parau, stridor, obstruksi larynx
• Retraksi sela2 iga (suprasternal, intercostal,
supraclavicular)

9
Difteri
Diagnosis
Biakan isolat C.diphteriae pd media Loeffler dan
tes toksigenitas in vivo (marmut) dan in vitro
(tes Elek)
Prognosis
Baik ok ADS dan antibiotik
Jelek : obstruksi airway, gagal jantung, gagal
ginjal
10
Difteri
Pengobatan
• Umum : istirahat, terapi cairan, nebulizer
• Khusus :
1. ADS : 20.000 IU – 100.000 IU (IM / IV)
2. Antibiotik : PP (penicilline procaine) :
50.000 – 100.000 IU / kgBB/hr selama 10
hari atau Erythromycine : 40 mg/ kgBB / hr

11
Difteri
• Pemeberian ADS sering menimbulkan efek
anafilaksis
• Uji suntik : 0,1 ml ADS dlm 10 ml NaCl 0,9%
(intracutane)  (+) indurasi : >10 mm
• Uji mata : 1 tetes ADS dlm 10 ml NaCl 0,9%
diteteskan pd mata (+) hiperemis, lacrimasi
• Jika (+) : ADS diberi cara Besredka IV
(dilarutkan dlm 100 ml NaCl 0,9% atau
Glucose 5%) dlm 1-2 jam
12
Difteri
Pencegahan
Pasif : immunisasi ibu hamil
Aktif : DPT

13
Parotitis / Mumps

14
Parotitis / Mumps
Pendahuluan
• Penyakit menular akut
dengan predileksi kelenjar &
saraf
• Tanda karakteristik :
pembengkakan salivary
glands ( terutama Gland.
Parotis )
• 30 - 40% infeksi tenang (
tanpa gejala )
• Penyebab : Virus dari group
Paramyxovirus

15
Parotitis / Mumps
Epidemiologi
• Penyakit endemik pada daerah urban
• Penularan :
- kontak langsung - muntah terkontaminasi
- droplet - urine
• Distribusi seluruh dunia, ♂ = ♀
• 85% anak usia < 15 tahun
• 30 - 40% tanpa gejala
• Imunitas seumur hidup

16
Parotitis / Mumps
Gejala klinis
• Masa inkubasi : 12 - 24 hari, terbanyak 17 - 18 hari
• Gejala prodromal :
- demam jarang
- sakit otot, (daerah leher)
- sakit kepala dan malaise
• Gejala khas :
rasa sakit & pembengkakan pada 1 atau kedua
kelenjar parotis

17
Parotitis / Mumps

Karakteristik pembesaran :
• Pembesaran kel. Parotis ant. batas belakang
mandibula & mastoid kmd. Ke atas & bawah (
bbrp jam )
• Pembesaran max. 1-3 hari, berkembang
perlahan dlm 3 - 7 hari  paling sering 1
kelenjar
• 20% tanpa demam, jarang demam tinggi (40oC)
• Pembengkakan kelenjar ≠ tingginya demam
18
Parotitis / Mumps

Komplikasi
• Meningoencephalitis ( 10% )
• Orchitis, epididimitis srg pd orang dewasa
(14-35%)
• Pancreatitis, mastitis, thyroiditis ( jarang )
• Miokarditis, nephritis, tuli, komplikasi pada
mata
• Arthritis
• Thrombocytopenic purpura
19
Parotitis / Mumps
Diagnosa
Faktor yg merupakan pegangan dlm mendiagnosa :
• Riwayat kontak dg penderita mumps 2-3 minggu sebelum
gejala timbul
• Gejala klinis dari parotitis / kel. lain yang terlibat
• Tanda aseptic meningitis

Pegangan dalam mendiagnosa :


• - Gejala klinik & pem. Fisik
• - Isolasi virus
• - Test serologi

20
Parotitis / Mumps
Diagnosa banding
• Anterior cervical atau preauricular adenitis
• Suppurative parotitis
• Parotitis berulang
• Batu menyumbat ductus stensen
• Mixed tumor
• Mickulicz’s syndrome
21
Pertussis

22
Pertussis
• Nama lain : Whooping Cough, Batuk
Rejan
• Etiologi : Bordetella pertusis
• Definisi (WHO) : batuk sedikitnya 2
minggu dengan kriteria :
• Paroxysms of coughing (serangan
batuk tiba2)
• Inspiratory whooping (bunyi nafas
saat inspirasi)
• Post-tussive vomiting without
apparent cause (muntah di akhir
batuk, tanpa penyebab yg jelas)

23
Pertussis
Patofisiologi :
• Disebarkan dari droplet nafas
• Menempel pada cilia epitel sal.nafas dan
mengeluarkan exotoxin :
– Paralise cillia
– Inflamasi pada sal nafas
– Mengganggu clearance dari mucous sal.nafas
– Menurunkan fg s fagositosis

24
Pertussis
• Sangat menular
• Sangat berbahaya utk anak <1 tahun
• Sempat menurun di era pasca ditemukannya
imunisasi DPT, tetapi akhir-akhir ini
kecenderungan meningkat mulai tampak
(2001 – 2005)

25
Pertussis
Klinis :
• Masa inkubasi : 7 - 14 hari

• 3 stadium :
– Catarrhal : 1-3 minggu
– Paroxysmal : 2-4 minggu
– Convalescent : 1-2 minggu

26
Pertussis
• Klinis pada Stadium Catarrhal
– Demam ringan
– Pilek / Rhinorrhea
– Batuk2 ringan
– Mata berair

27
• Klinis di Stadium Paroksismal
– Expirasi pendek diikuti whooping Pertussis
inspirasi (whooping bisa tidak
jelas pada infant)
– Terutama malam hari
– Bisa menimbulkan cyanosis dan
apnea pada infant
– Diakhiri dengan muntah
• Pasien bisa tampak “biasa”
diantara serangan paroksismal
• Ptechiae kulit dan perdarahan
subkonjungtiva
• Bisa berlangsung s/d 4 minggu
bahkan bertahan 6 – 10 minggu

28
Pertussis
Komplikasi :
Pada bayi kecil (infant)  † ok ggn :
• Neurologis : kejang, encephalopathy, cerebral
hemorrhage
• Pulmonologis : pneumonia, apnea, hipertensi
pulmonal, atelectase (mucous plug)
• Daya infeksius : otitis media, super infeksi dgn
virus
• Tekanan kuat batuk

29
Pertussis
• Karena pengaruh tekanan kuat batuk :

• Subcutaneous • Subconjunctival bleed


emphysema • Petechiae
• Pneumothorax • Epistaxis
• Pneumomediastinum • Hemoptysis
• Ruptur diaphragma • Hernia
Umbilical/inguinal
• Prolapsus rectal
• Failure to thrive (gagal
tumbuh kembang)
30
Pertussis

31
Pertussis

Cyanosis + conjunctival bleeding Failure to thrive

32
Pertussis
• Diagnosis banding
• Adenovirus • Foreign body aspiration
• Parainfluenza • GERD
• RSV
• Aspiration pneumonia
• Bordetella parapertussis
• Bordetella bronchiseptica • Asthma
• Chlamydia trachomatis
• Chlamydia pneumoniae
• Mycoplasma pneumoniae

33
Pertussis
Penegakan diagnosis :
• Kultur nasopharynx (throat swab)
• PCR Bordetella (cepat, sensitif dan spesifik)
• Direct immunofluorescence assay (DFA)
• Darah rutin : leukositosis
• Rȍ thorax : gambaran infiltrat perihilar atau
infiltrat diffus

34
Pertussis
Terapi :
• Turunan makrolida
• CDC guidelines (2005)
• < 1 bulan : Azythromycin
> 1 bulan : Azythromycin, erythromycin,
clarithromycin, co-trimoxazol

35
Pertussis
Pasien dirawat ok : Pasien dipulangkan jika
• Sukar makan • Makan sudah banyak
• Serangan batuk paroksismal • Tidak ada hypoxia,
 apnoe + cyanosis bradicardia, atau serangan
• Hypoxia paroksismal
• Distres nafas
• Umur kecil
• Ada komplikasi : kejang,
gagal nafas

36
Pertussis
Pencegahan :
• Imunisasi DPT pada usia :
< 1 tahun : usia 2, 4, 6 bulan
> 1 tahun : usia 1 th 6 bln, usia 5 tahun

37
Tetanus

Tetanus adalah penyakit infeksi akut di-


sebabk
an eksotoksin yang dihasilkan
oleh
Clostridium tetani,
ditandai dengan
peningkatan kekakuan umum dan kejang-
kejang otot rangka.

38
• Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari).
Pada 80-90% penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah
ter-infeksi.Selang waktu sejak munculnya gejala pertama
sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset.
Periode onset
• maupun periode inkubasi secara
• signifi kan menentukan prognosis. Makin
• singkat (periode
• onset
• <48 jam dan periode
• inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat
• penyakitnya

39
• Tetanus memiliki gambaran klinis dengan
• ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot,
• dan ketidakstabilan otonom.

40
• Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih
dahulu pada kelompok otot dengan jalur
neuronal pendek karena itu yang tampak pada
lebih dari 90%
• kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus,
• kaku leher, dan nyeri punggung

41
• Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit
tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus
otot-otot trunkal meng akibatkan opistotonus.
Kelompok otot yang berdekatan dengan
tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan
penampakan tidak simetris

42
• Diagnosis
• Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis
klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan.

43
• Pada pemeriksaan fi sik dapat dilakukan uji
spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding
posterior faring menggunakan alat dengan
ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif
jika terjadi kontraksi rahang involunter (meng-
gigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks
muntah

44
• Laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan
bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi
(tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas
tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan
hasil positif ).

45
• pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal
biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka
sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil
kultur positif mendukung diagnosis, bukan
konfirmasi.

46
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus,
yakni:
(1) membuang sumber tetanospasmin;
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat;
(3) perawatan penunjang (suportif ) sampai
tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis dimetabolisme

47
• Luka harus dibersihkan secara menyeluruh
dan didebridementuntuk mengurangi muatan
bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih
lanjut

48
• Pada pe-nelitian di Indonesia,
metronidazoletelah
• menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazolediberikan secara iv
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-
10 hari.

49
• Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin
procain50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-
10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillindapat diberi tetracycline50
mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari
8 tahun).

50
• Antitoksin harus diberikan untuk menetral-kan
toksin-toksin yang belum berikatan. Setelah
evaluasi awal, human tetanus
immunoglobulin(HTIG) segera diinjeksikan
intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000
unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda.

51
• Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU
intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis
diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar
luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan
karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makicepat
pengobatan diberikan, makin efektif.
Kontraindikasi

52
• Bila tidak tersedia maka digunakan ATS
dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan
50.000 unit intra-muskular dan 50.000 unit
intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler
masing-masing pada hari kedua dan ketiga

53
• Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif
dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih sedikit
dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot

54
• Diazepamefektif mengatasi spasme dan
hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.
Dosis diazepamyang di-rekomendasikan
adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval
2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah
8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg
setiap 3 jam

55
• Spasme harus segera dihentikan dengan
diazepam5 mg per rektal untuk berat badan
<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak
dengan berat badan ≥10 kg, atau
diazepamintravena untuk anak
0,3mg/kgBB/kali.

56
• Alternatif lain, untuk bayi (tetanus
neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40
mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari
dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik.
Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari.

57
58

Anda mungkin juga menyukai