ISBN: 978-602-70480-5-8
Diterbitkan dan didistribusikan oleh:
Pustaka Najati Mulia
Redaksi Jl. Manglayang IV KSB No. 11 B Palasari Bandung
Mobile: 0813 8318 4785
1
KATA PENGANTAR
i
di upload di e-book. Hal ini dilakukan karena tuntutan untuk
melakukan pembelajaran secara online. Karena itu untuk
mendapatkannya secara original dan halalan thayyiba silahkan
mendownload dengan link yang nanti penulis tunjuk.
Karena naskah buku ini masih dalam pengembangan,
maka akan banyak kekurangan disana-sini. Karena itu saran,
kritik dan masukan sangat ditunggu untuk kelengkapan isi dan
pembahasannya. Kepada Allah jualah penulis serahkan, semoga
tetap bermanfaat.
Bandung,
26 September 2020
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
Keperawatan Spiritual Muslim ................................... 52
B. Kebutuhan Spiritual Pasien di Rumah Sakit ............. 54
C. Kebutuhan Spiritual Pasien Rawat Inap Muslim ..... 56
D. Format Kajian Asuhan Keperawatan Spiritual Umum .
57
E. Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim (AKSM) .... 61
iv
BAB 9. DASAR-DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING
DI RUMAH SAKIT ...................................................... 151
A. Kerangka Teoritis ........................................................ 151
B. Dasar dan Tujuan ......................................................... 155
C. Tugas Konselor ............................................................ 156
D. Metode dan Teknik ..................................................... 159
E. Langkah Umum Konseling ........................................ 163
LAMPIRAN................................................................................... 166
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
194
v
vi
BAB 1 KONSEP DASAR
2
3. Sasaran
a. Ruhani manusia umumnya, karena substansi hidup
sesungguhnya adalah pemeliharan fitrah ruhani.
Sasarannya adalah ruhani manusia yang sehat dengan
pemeliharaan dan pengembangan.
b. Ruhani manusia yang mengalami gangguan oleh
penyakit ruhani karena ketidak seimbangan atau
gangguan pada nafsani atau sistema kejiwaan manusia.
c. Ruhani manusia yang secara fisik sedang mengalami
gangguan karena penyakit terutama para pasien rawat
inap di berbagai Rumah Sakit atau tempat perawatan
dan pengobatan umumnya dengan cara perawatan dan
pengobatan. Dari aspek ini saat ini telah dikembangkan
menjadi Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim, dan
Perawatan Rohani Islam (Warois). Istilah-istilah ini
hanya salah satu tanda bagaimana aspek perawatan
ruhani di Indonesia sudah mulai mendapat perhatian.
Istilah-Istilah lain yang berkembang dalam kajian ini
adalah Keperawatan
Spiritual, Keperawatan Berbasis Syari‟ah, dan istilah
lain yang mungkin akan muncul kemudian. Dalam
tulisan ini digunakan istilah Asuhan Keperawatan
Spiritual Muslim, Perawatan Rohani Islam (Warois)
karena
b. Secara praktis
1) Memberikan wawasan dan pemahaman konsep
kehidupan secara holistic yang dapat meliputi
bodymind-spiritual (jasmani-nafsani-ruhani), dan
4
konsep perawatan serta pengobatan meliputi aspek
biopsiko-sosio-spiritual.
2) Mengetahui lebih mendalam tentang kehidupan
spiritual dan keruhanian.
3) Memberi wawasan tentang aspek-aspek pengasuhan
keruhanian meliputi: perawatan, pengobatan dan
pengembangan hidup keruhanian.
4) Bagi pasien/orang yang sedang mengalami gangguan
karena penyakit secara fisik bagaimana dapat
membantu mereka memenuhi kebutuhan spiritual
selama sakit yang sering terabaikan sebagai akibat
adanya paradigma pengobatan yang terfokus pada
aspek medis semata.
5) Bagi lembaga seperti Rumah Sakit membantu
terpenuhinya kebutuhan asuhan keperawatan secara
holistik yaitu secara bio-psiko-sosio-spiritual,
khususnya pemenuhan aspek spiritual yang kurang
diperhatikan oleh pihak rumah sakit dan
penyelenggara pendidikan yang harus menghasilkan
tenaga profesional untuk memenuhi layanan aspek
kebutuhan spiritual pasien rawat inap.
2. Pengertian Religiusitas
Berikutnya adalah istilah religious, istilah ini berasal dari
kata religion (Ingg.) atau dĩn (Arab), agama (Indonesia) juga
mengandung makna yang sangat luas tergantung dari sisi mana
12
memandang. Agama merupakan suatu sistem ibadah yang
terorganisir dan teratur. Agama memiliki keyakinan sentral,
ritual dan praktik yang biasanya berhubungan dengan kematian,
perkawinan dan penyelamatan. Agama memiliki aturan-aturan
tertentu yang dipraktikkan oleh penganutnya dalam kehidupan
sehari-hari serta dapat memberi kepuasan, ketenangan dan nilai-
nilai spiritual individu yang melakukannya (S.Ahmad, 2000).
Secara umum agama memiliki tiga ciri utama yaitu:
1. Satu sistema credo berisi tata keimanan atau tata keyakinan
atas adanya susuatu Yang Mutlak diluar manusia
2. Satu sistema ritus yaitu tata peribadatan manusia kepada
Yang Mutlak tersebut
3. Satu sistema norma, yaitu tata kaidah yang mengatur
hubungan manusia dengan sesame manusia dan hubungan
manusia dengan alam lainnya (Anshari,1982).
Dalam tradisi pemikiran dan budaya Barat konsep dan
kebutuhan spiritual diatas tidak harus didapat melalui agama,
tetapi bisa didapat dari hal-hal lain seperti pemikiran filsafat,
budaya, adat istiadat dan lain-lain yang mengandung nilai-nilai
luhur. Agama dalam perspektif Barat hanya merupakan salah
satu sumber nilai spiritual. Dalam konteks inilah maka ketika
berbicara spiritual dalam konteks Barat belum tentu sumbernya
agama, sehingga terdapat perbedaan pengertian antara agama
dan spiritualitas sebagai berikut:
1. Spiritualitas adalah merupakan perpaduan nilai-nilai yang
dapat berasal dari agama, budaya, kearifan lokal dan filsafat,
mendasari fikiran dan tindakan, serta mempengaruhi proses
interaksi seseorang dengan dunia sekitarnya.
2. Agama merupakan : a) jalan untuk menuju Tuhan yang
diyakininya dalam bentuk praktik ritual dan keyakinan, b)
13
suatu system ibadah yang terorganisasi dan teratur,
mempunyai keyakinan sentral, ritual dan praktik yang
biasanya berhubungan dengan kematian, perkawinan dan
keselamatan, c) agama mempunyai aturan-aturan tertentu
yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari yang
memberikan kepuasan bagi yang menjalankannya. d) agama
mengandung sistema credo, sistema ritus dan sistema norma.
3. Disini terlihat perbedaan (pandangan) antara agama dan
spiritualitas: dalam pandangan Barat spiritualitas dipandang
sebagai konsep yang luas dibandingkan agama, karena
spiritualitas dapat menampung berbagai nilai baik dari
agama-agama yang ada, dari budaya juga dari filsafat.
4. Dalam kehidupan di Barat terdapat kenyataan: orang yang
tidak memeluk agama apapun dapat memiliki spiritualitas
yang baik.
5. Karena itu terdapat kemungkinan adanya spiritualitas yang
tidak terkait dan terikat dengan agama manapun.
6. Dapat disimpulkan bahwa ketika berbicara spiritualitas
belum tentu merujuk kepada agama, tetapi ketika berbicara
agama pasti mengandung unsur spiritualitas. Hanya dalam
buku ini yang dimaksud spiritualitas jelas merujuk kepada
ajaran agama terutama Islam.
14
a. Spiritual Religius yang terikat dengan agama tertentu
(Spiritual Abad Tengah)
Spiritualitas religious adalah aliran spiritualitas yang
nilai-nilai spiritualnya bersumber dari agama tertentu. Dalam
aliran spiritualitas ini makanya dikenal sebutan: spiritualitas
Islam, spiritualitas Kristen, Spiritualitas Yahudi, Spiritualitas
Hindu, Spiritulitas Budhism, dan lain-lain.
b. Spiritual non Religius yang tidak terikat dengan agama
tertentu
Gagasan ini dipopulerkan saat ini oleh Andre Comte
Sponville, seorang filosof terkemuka dari Perancis saat ini.
Menurut Sponville kita bisa memisahkan konsep spiritualitas
dari agama dan Tuhan dengan tidak mereduksi hakikat
kehidupan spiritual yang sebenarnya. Kesimpulan ini ia tarik
dengan melakukan eksplorasi filosofis perihal ateisme. Kendati
demikian ia tidak menolak nilai-nilai dan tradisi-tradisi kuno
yaitu agama semisal Islam, Yahudi, dan Kristen, yang ia
posisikan sebagai warisan budaya, kita mesti memikir ulang
relasi kita dengan nilai-nilai tersebut dan apakah nilai tersebut
masih signifikan bagi kebutuhan manusia untuk berhubungan
antara yang satu dengan yang lainnya dan alam semesta.
Gagasan ateisme baru ini dibangun dengan analisis filosofis
yang ia bagi kedalam empat bagian yaitu:
1. Bisakah kita hidup tanpa agama ?
Menurut Sponville pada kenyataannya kita bisa hidup
tanpa aturan-aturan agama karena manusia memiliki kesadaran
tentang eksistensi dirinya. Dalam batas-batas tertentu agama
bahkan lebih banyak membelenggu hakikat kebebasan dan
eksistensi manusia, maka ketika ia melepas dari berbagai ikatan
15
dan pembatasan itu barulah ia akan mencapai eksistensi yang
sesungguhnya.
17
BAB 2
SIGNIFIKANSI PERAWATAN RUHANI ISLAM
20
makan terganggu, kesulitan tidur dan tekanan darah
meningkat (Hidayat, 2006: 27).
Dalam keadaan distress spiritual tubuh akan melepaskan
hormon Adenocorticotropic atau ACTH. ACTH yang
meningkat dapat mengaktifkan korteks adrenal untuk
mensekresi hormon glukokortikoid, terutama kortisol.
Kortisol ini akan memobilisasi zat yang diperlukan untuk
metabolisme sel. Kortisol berperan sebagai penekan sintesis
protein, termasuk menekan imunoglobulin, menurunkan
populasi eosionofil, basofil, limfosit dan makrofag dalam
darah tepi. Dosis kortisol yang tinggi dalam darah dapat
menimbulkan atropi jaringan limfosit dalam tymus, limfa dan
kelenjar limfa akibatnya daya tahan tubuh akan semakin
turun. Namun seseorang yang memiliki komitmen agama
yang kuat saat ditimpa musibah atau sakit maka amigdala
(pusat emosi dalam otak) menstimulasi hipothalamus agar
mensekresi corticotropic releasing factor (CRF). CRF akan
mengaktifkan pituitari anterior untuk mensekresi opiat
alamiah yang disebut enkephalin dan endorphin yang
berperan sebagai penghilang rasa sakit dan nyeri, disamping
itu sekresi ACTH akan menurun, kemudian ACTH akan
memberikan umpan balik pada adrenal korteks untuk
mengendalikan sekresi kortisol. Menurunnya sekresi ACTH
dan kortisol menyebabkan respon imun akan meningkat.
Jika kondisi diatas diproyeksikan dengan kesadaran
spiritual, maka nampak jelas bagaimana religiusitas sangat
dibutuhkan bagi kesehatan manusia. Akan tetapi jika dilihat
dalam praktik, kenyataannya dunia kedokteran, rumah sakit,
dan keperawatan kurang memperhatikan kebutuhan ini. Hal
ini dapat dilihat faktanya melalui dokumentasi asuhan
21
keperawatan, masalah-masalah yang muncul dalam kajian
keperawatan lebih cenderung berkaitan dengan masalah
fisiologis semata, namun untuk kebutuhan spiritual, hal
tersebut jarang tergali. Padahal untuk optimalisasi
kesembuhan pasien sangat ditunjang oleh aspek ini sesuai
dengan pernyataan Sheril Larson (1998) dalam penelitiannya
menyatakan terdapat korelasi antara kesehatan dan agama,
dimana penyakit -penyakit seperti kanker cerviks, colitis dan
enteritis, penyakit jantung, hipertensi, stroke, AIDS, napza
serta penyakit menua, akan mudah proses penyembuhannya
apabila orang tersebut memiliki komitmen agama yang kuat.
Disamping hal tersebut, saat ini usia harapan hidup
manusia semakin meningkat, dimana pasien-pasien lansia
jumlahnya semakin meningkat pula. Pasien lansia pada
umumnya memiliki kebutuhan spiritual yang tinggi, sehingga
fasilitasi rumah sakit dalam pemenuhan kebutuhan ini sangat
mutlak diperlukan. Bahkan kedepan sangat dibutuhkan
Rumah Sakit Khusus lansia yang bukan hanya tempat mereka
berobat dan bertobat tetapi juga sebagai tempat peristirahatan
terakhir dalam bentuk Rest Hospital sambil menata jalan
pulang menuju Husnul Khãtimah. Dengan demikian Perawat
harus berupaya menggabungkan holistic care didalamnya
termasuk asuhan spiritual ke dalam praktik keperawatan.
Inilah yang dimaksud dengan Asuhan Keperawatan Spiritual.
Konsep dasar yang harus dimiliki adalah konsep keperawatan
yang mengacu pada keyakinan bahwa manusia itu terdiri dari
aspek bio-psikososial dan spiritual.
22
B. Dasar-Dasar Pemenuhan Kebutuhan Spiritual
Standar sehat secara internasional saat ini adalah:
biopsiko-sosio-kultural-spiritual. Semua aspek ini dalam
masalah kesehatan harus mendapatkan pelayanan yang sejajar
termasuk pemenuhan aspek spiritual. Dasar-dasar pemenuhan
aspekaspek diatas termasuk aspek spiritual adalah: (1) Dasar
Etik dan Yuridis, (2) Dasar Teologis.
1. Dasar Etis dan Yuridis
Keharusan pemenuhan terhadap kebutuhan spiritual
pasien di rumah sakit memiliki dasar-dasar antara lain:
a. Kesepakatan Hasil Lokakarya Nasional Keperawatan
tahun1983.
b. Kode Etik Keperawatan Internasional Tahun 2000.
c. Kode Etik Keperawatan Indonesia Tahun 2000.
d. Standar Sehat WHO 1984 bio-psiko-sosio-spiritual
e. Badan Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan
USA (JCAHO)
a. Kesepakatan Hasil Lokakarya Nasional Keperawatan
tahun1983 menyebutkan: keperawatan adalah bentuk
pelayanan professional yang merupakan bagian integral
dari pelayanan kesehatan didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan berbentuk pelayanan biopsiko-sosio-
spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat, baik sehat maupun
sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Pelayanan keperawatan berupa bantuan diberikan
karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan
pengetahuan serta kurangnya kemauan melaklsanakan
kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
23
b. Dalam Kode Etik Keperawatan Internasional Tahun
2000 disebutkan: Perawat harus memberikan
lingkungan dimana hak-hak manusia, nilai-nilai,
adaptasi dan kepercayaan spiritual dari individu,
keluarga dan masyarakat tetap dihormati.
c. Dalam Kode Etik Keperawatan Indonesia Tahun 2000
disebutkan: Perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan senantiasa memelihara suasana
lingkungan yang dihormati nilai-nilai budaya, adat
istiadat dan kelangsungan hidup beragama dan
individu, keluarga dan masyarakat.
d. Menurut standar sehat internasional WHO
menyempurnakan batasan sehat dari tiga aspek yaitu bio-
psiko-sosial menjadi empat spek yaitu menambahkan
satu elemen spiritual sehingga menjadi: bio-psiko-sosio-
spiritual
e. The Joint Commision on Accreditation for Healthcare
Organization (USA) telah menetapkan bahwa: setiap
klien harus dilakukan pengkajian terhadap keyakinan
spiritual dan praktik-praktiknya serta memberikan
dukungan pemenuhan kebutuhan spiritual.
Selain aspek-aspek diatas, pemenuhan dan tindakan
spiritual dapat pula dilihat dari tujuan keperawatan itu sendiri.
Menurut Jean Watson (1999) dalam Theory of Human Carring,
tujuan keperawatan membantu orang-orang untuk mencapai
tingkat keharmonisan tertinggi dalam mind, body and soul yang
menghasilkan sikap carring meliputi: kesadaran diri,
penghargaan diri, kesembuhan diri dan kepedulian terhadap diri.
Sikap carring ini merupakan suatu tindakan spiritual yang
membantu pasien mencapai kesadaran diri dan keharmonisan.
24
Ketidak harmonisan antara body, mind and soul dapat
mengakibatkan distress dan sakit.
Keyakinan spiritual seseorang juga berpengaruh positif
terhadap sikap seseorang dalam menghadapi sakit dan
kematian. Beberapa fungsi keyakinan spiritual diantaranya
adalah: (1) sumber koping ketika berhadapan dengan situasi
krisis, stress atau kondisi sakit, (2) dapat memandang sakit
sebagai suatu bentuk ujian kehidupan, penebus dosa,
sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan sehingga dapat
mengurangi stress dan beban, (3) kondisi spiritual yang
positif akan sangat berarti dalam membantu proses
penyembuhan atau mempersiapkan seseorang dalam
kondisi kritis seperti sakaratul maut. Meskipun begitu ada
juga keyakinan spiritual yang yang dapat menimbulkan
konflik dengan praktik kesehatan seperti dalam masalah
donor darah, transplantasi organ, aborsi dan lain-lain.
2. Dasar Teologis
Dasar teologis adalah tinjauan agama dalam konteks
kajian ini adalah tinjauan dari dasar-dasar al-Qur‟an dan
alSunnah terkait dengan: Bagaimana pandangan Islam tentang
perawatan terhadap orang sakit ? Orang sakit dalam Islam
memiliki dua hal pokok yaitu hak dan kewajiban:
a. Hak untuk di urus (mendapat perawatan), disini terutama
keluarga hingga Rumah Sakit. Hak ini secara substantif
terkait dengan Maqãshid al-Syar‟iy, yaitu lima tujuan
pokok agama yang mewajibkan menjaga: (1) Nilai hidup,
(2) Agama, (3) Akal, (4) Keturunan, (5) Harta.
Berdasarkan hak ini, maka yang sehat memiliki kewajiban
untuk memenuhinya.
25
b. Wajib menjaga pelaksanaan ibadah selama sakit sesuai
dengan batas kemampuannya selama masih memiliki
unsur kesadaran.
Kewajiban pelaksanaan ibadah bagi yang sakit termasuk
pasien di rumah sakit hukum asalnya terletak pada diri pasien itu
sendiri, batasnya yaitu selagi masih memiliki kesadaran. Akan
tetapi karena yang sakit memiliki sebab-sebab tertentu („illat
hukum) sebagai kendala, maka lingkungan yang ada
disekitarnya memiliki kewajiban fardhu kifãyah untuk ikut
membantu tertunaikannya kewajiban ibadah si pasien.
Pengertian fardhu kifayah adalah: (1) Kewajiban yang dapat
diwakilkan, (2) Kewajiban yang harus di”gotong” bersama.
Karena itu jika pasien ingin melaksanakan ibadah, tetapi ia
memiliki kendala, sedang kondisi lingkungan membiarkannya
sampai ia tidak dapat melaksanakan ibadah, maka
lingkungannya menjadi ikut berdosa.
Diantara surat dan ayat Al-Qur‟an, terutama:
a. QS. Al-Baqarah (2): 195
26
b. QS. Al-Tahrĩm (66):6
29
3. Peningkatan pemahaman dan pelajaran mencintai Allah
(hakikat dan ma‟rifat).
Teknik Tajalliy ini adalah teknik bagaimana
mengejawantahkan seluruh sifat-sifat terpuji yang telah
diinternalisasikan dalam tahap tahalliy. Sehingga tiga tahapan
diatas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Secara keseluruhan tiga tahapan pemeliharan ruhani diatas dapat
diringkaskan dalam kata kunci: “ bersihkan, isi, munculkan...”
31
Dalam konteks buku ini sebenarnya yang sakit dapat
meliputi semua orang, akan tetapi untuk kepentingan kajian
buku ini, maka unit analisis yang sakit dim maksud adalah
mereka yang berada di rumah sakit, yaitu sebagai pasien rawat
inap di rumah sakit dan beragama Islam. Untuk menghadapi
kasus ini maka dalam Islam di kenal sebuah disiplin ilmu yaitu
Fiqh Rumah Sakit (al-Fiqh al-Musytasyfã). Salah satu tujuan
disiplin ilmu ini adalah bagaimana menjaga dan merawat orang
sakit di rumah sakit agar ibadahnya terjaga yang efek dari
ibadahnya itu dapat menjaga dan memenuhi kebutuhan spiritual.
BAB 3
ISU-ISU MUTAKHIR
KAJIAN SPIRITUALITAS DI RUMAH SAKIT
35
care akhir-akhir ini semakin memegang peranan penting dalam
keseluruhan perawatan pasien di rumah sakit.
Kajian penelitian yang dikumpulkan lembaga ini dimulai
sejak tahun 1980, 2003 hingga sekarang, fase pengkajian
tersebut berada dalam tiga tahapan yaitu:
1. Penelitian mengenai ketersediaan atau ada tidaknya
program layanan spiritual care di setiap rumah sakit di AS
antara tahun 1980-1993.
2. Penelitian difokuskan kepada seperti apa bentuk layanan
spritual care di setiap rumah sakit tersebut, dilakukan
sejak 1993-2003.
3. Penelitian diarahkan untuk mengetahui aspek-aspek
terpenting apa yang dibutuhkan dalam layanan spiritual
care, studi ini telah dimulai sejalan dengan fase kedua
yaitu dari 1993-2003 hingga sekarang bahkan terus
dikembangkan dengan melibatkan berbagai disiplin
ilmu.
Titik pangkal penelitian dan pengkajian ini dilakukan
melalui sejauh mana kehadiran pendeta dan keterlibatan gereja
dengan pihak rumah sakit. Salah satu lembaga yang terlibat
dalam penelitian ini adalah the American Hospital Association
Annual Survey of Hospital, yang melakukan survey mengenai
program spiritual care antara tahun: 1980-1985, 1992-1993, dan
2002-2003 dengan range 4.946-6.253 rumah sakit. Dari hasil
survey ini diketahui antara 54%-64% rumah sakit di AS
menggunakan jasa pastoral dan gereja dalam spiritual care antara
tahun 1980 hingga 2003. Dari hasil survey ini juga menunjukkan
terdapat tiga faktor yang mempengaruhi bagaimana rumah sakit
memberikan layanan spiritual, tiga faktor tersebut yaitu:
1. Ukuran atau Kapasitas Rumah Sakit.
36
2. Lokasi dan Letak Rumah Sakit.
3. Affiliasi Gereja dan Rumah Sakit
Rumah sakit yang ukuran dan kapasitasnya kecil dan
terletak jauh di pedesaan rata-rata tidak memiliki layanan
spiritual care, sedangkan rumah sakit yang kapasitas layanannya
besar dan berada di tempat-tempat ramai dan strategis semuanya
memiliki layanan spiritual care. Pihak gereja memanfaatkan
hasil survey ini, maka berdasarkan kepada kenyataan tersebut
sejak 1993 terutama 2003 pihak gereja mengadakan berbagai
program pelatihan dan pendidikan bagi para pendeta khusus
untuk menangani rumah sakit kecil dan terpencil dengan
program pengiriman tenaga layanan rohani untuk mengisi
kekosongan dalam program spiritual care tersebut.
Sementara itu, pada pihak rumah sakit makin gencar melakukan
berbagai terobosan dalam memberikan layanan spiritual care
dengan melakukan kerjasama ke berbagai pihak terkait antara
lain:
1. Perguruan Tinggi dan berbagai lembaga pendidikan
kedokteran dan keperawatan,
2. Penyelenggara pendidikan Bimbingan dan Konseling.
3. Fakultas dan Jurusan Psikologi dan Psikiatri
4. Lembaga-lembaga keagamaan lintas agama dan
budaya.
5. LSM
Semua sumber daya manusia ini dihimpun dalam
program layanan Konseling Kolaboratif di rumah sakit yang
melibatkan lintas disiplin keilmuan dan kerjasama antara:
dokter, perawat primer, konselor, psikiater, pendeta, dan
volunter. Semua kerjasama ini diarahkan kepada satu tujuan
yaitu bagaimana layanan spiritual untuk pasien di rumah sakit
37
dari semua agama. Sebagai misalnya adalah Porgram dan
Layanan Spiritual Care di dua rumah sakit ternama di Amerika
yaitu Rumah Sakit St. Marry dan University of California Los
Angeles Medical Center yang dengan detil menyediakan layanan
spiritual care untuk semua agama dari pasien.
Dalam pada itu, untuk mengisi program spiritual care di
rumah sakit, gereja bekerjasama dengan berbagai lembaga
pendidikan tinggi terkait menyelenggarakan pendidikan khusus
untuk para pendeta yang akan memberikan kebaktian agama di
sekolah, militer, penjara, golongan istimewa, dan rumah sakit.
Khusus untuk program layanan spiritual care di rumah
sakit mereka mendidik pendeta profesional dengan nama
“hospitalist”, dengan skill, abilitas, dan tanggung jawab yang
diawasi secara ketat oleh gereja, kompetensi seorang hospitalist
adalah: (1) Pendeta profesional, (2) Memiliki pendidikan formal
keagamaan, (3) Bersertifikat khusus untuk spiritual care di
rumah sakit, (4) Memahami betul seluk beluk keperawatan dan
manajemen rumah sakit. Selain mendidik para hospitalist, gereja
juga mendidik para volunteer yang dapat mendampingi pasien
di rumah sakit.
Secara keseluruhan gereja memegang peranan penting
dalam program layanan spiritual care di rumah sakit dengan
meluncurkan beberapa program layanan yaitu: (a) dropping,
yaitu mengirim tim layanan spiritual care untuk rumah sakit
kecil dan jauh di pedesaan, (b) in-house chaplain, menyediakan
tempat layanan sendiri di lingkungan gereja, (c) mengirim
hospitalist dan volunter ke rumah sakit, (d) mendidik para
perawat primer di rumah sakit khusus untuk layanan spiritual
care.
38
B. Perkembangan Spiritual Care di Indonesia
Secara umum program spiritual care di berbagai rumah
sakit di Indonesia masih jauh tertinggal. Negara yang
berdasarkan ketuhanan ini dengan pasien terbanyak beragama
Islam, ternyata jauh lebih sekuler dari negara Barat sekalipun.
Hal ini dapat terlihat dari umumnya (tidak semua) paradigma
sekuler yang dianut dimulai dari para direktur rumah sakit,
manajemen rumah sakit, para dokter, dan para perawatnya yang
masih beranggapan bahwa spiritual care dan masalah
pelaksanaan keagamaan pasien adalah soal pribadi pasien bukan
tanggung jawab pihak rumah sakit.
Beberapa asumsi sekuler itu antara lain: (1) Masalah
ibadah dan keagamaan pasien adalah bukan tanggung jawab
rumah sakit tapi masalah pribadi pasien dan tanggung jawab
keluarga, (2) Pihak rumah sakit (dalam hal ini) dokter dan
perawat tidak bisa „memaksa‟ pasien untuk melaksanakan
ibadah, perawat hanya menjadi fasilitator, (3) Perawat dan
dokter baik sebagai pribadi maupun profesi merasa tidak
memiliki tanggung jawab apapun soal keagamaan dan
spiritualitas pasien, karena tidak terkait dengan profesi
melainkan hanya tanggung jawab moral, (4) Layanan spiritual
hanya komplemen, (5) Profesi petugas layanan kerohanian,
keagamaan, dan spiritual tidak memiliki posisi signifikan (boleh
ada boleh tidak, lebih rendah dari pada profesi lain, tidak atau
kurang dihargai, hanya juru do‟a, juru talqin dan modin atau
merebot mesjid rumah sakit), (6) Profesi petugas layanan
kerohanian dipandang rendah, tidak memiliki keilmuan
profesional dibanding perawat, karenanya tidak memiliki
jenjang karir dan posisi yang jelas (tidak ada) dalam struktur
organisasi rumah sakit.
39
Kondisi diatas diperburuk oleh suasana dan fakta
lapangan dari hasil penelitian seperti yang di kemukakan oleh:
(1) Rankin dan De Lashmutt (2006) dalam penelitiannya
menemukan bahwa banyak perawat belum memahami secara
jelas antara konsep spiritualitas dan religius, (2) Rieg, Mason
dan Preston, (2006) dalam studinya juga memperlihatkan
terdapat banyak perawat yang mengakui bahwa mereka tidak
dapat memberikan asuhan spiritual secara kompeten karena
selama masa pendidikannya kurang mendapatkan panduan
tentang bagaimana memberikan asuhan spiritual secara
kompeten, (3) Makhija (2002) melihat bahwa praktik asuhan
spiritual menjadi sulit ditemukan akibat terjadinya pergeseran
budaya dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran yang lebih
berespon terhadap kepentingan bisnis yang berorientasi material,
dan (4) Arifin (2011), kesulitan penerapan spiritual care karena
berbagai faktor yaitu: (a) Ketersediaan sumber daya manusia
profesional untuk layanan spiritual care di rumah sakit yang
masih terbatas. (tenaga keperawatan, sarjana agama, dan
rohaniwan), (b) Manajemen bangsal rumah sakit yang
belum/tidak mendukung, (c) letak struktur dan karir, (d) Belum
ada koordinasi dan kerjasama simultan pihak terkait di lembaga
pendidikan yang memikirkan aspek layanan spiritual di rumah
sakit (STIKES/AKPER, UIN, UPI, RUMAH SAKIT,
PESANTREN, MUI, LEMBAGA-LEMBAGA
KEAGAMAAN), (e) Perawat yang ada tidak memiliki dasar
disiplin keilmuan untuk memberikan layanan spiritual care. (f)
“Willingly” pihak rumah sakit, (g) Kesadaran dan minat para
perawat masih rendah untuk memberikan layanan spiritual care
karena beberapa faktor: (1) ada minat tapi tidak memiliki
keilmuan spiritual care, (2) tidak berminat karena tidak
40
menambah penghasilan dan memperbaiki jenjang karir, (3)
berminat dan sedikit memiliki bekal ilmu tapi kelelahan/malas.
f. Berkurangnya minat
Inilah salah satu bentuk perubahan pola perilaku sebagai
akibat perubahan persepsi dalam arti yang negatif. Ketika si sakit
mempersepsikan negatif bahwa penyakitnya menimbulkan
hambatan berat dalam melakukan aktifitas harian atau bahkan
42
sulit disembuhkan, maka perilaku yang muncul biasanya adalah
mulai berkurangnya berbagai minat dalam sisi-sisi
kehidupannya.
3. Dampak sakit
Akibat sakit dan perumah sakitan maka akan
menimbulkan berbagai dampak terutama dampak negatif.
Dampak ini bisa terjadi pada individu yang telah mengalami
sakit baik yang dirawat dirumah maupun dirawat di rumah sakit,
juga dapat berdampak pada aspek-aspek lainnya yang terkait
dengan si sakit seperti, pekerjaan, keluarga atau masyarakat.
Dampak-dampak tersebut terutama yang negatif dan harus
diwaspadai antara lain:
1. Dampak ekonomi dan keuangan. Dampak ini jelas akan
terjadi karena adanya beberapa pengeluaran keuangan yang
sebelumnya tidak di duga selama sakit mengingat biaya
perawatan dan obat-obatan cukup mahal.
2. Dampak pekerjaan dan status sosial, tidak jarang setelah
orang mengalami sakit apalagi mengalami kecatatan atau
kekurangan, orang bisa kehilangan posisi, jabatan, dan
profesi dalam pekerjaannya karena ia dianggap tidak dapat
lagi bekerja secara optimal seperti kondisi sebelumnya.
Kondisi ini kadang berlanjut pada status sosial dan perannya
di lingkungan masyarakat yang dapat berkurang atau bahkan
berhenti akibat kemampuan interaksinya berkurang.
45
3. Dampak psikologis, akibat dari terbatasnya berbagai aktifitas
fisik demi menjaga kondisi kesehatan tidak jarang
menimbulkan kondisi jenuh, stress bahkan sampai
mengalami kecemasan yang berat. Proses terganggunya
psikologis ini di awali dengan adanya konflik terhadap
dirinya yang tidak dapat diatasi hingga menimbulkan
kecemasan, ketakutan, atau bahkan sikap nekat yang dapat
membahayakan dirinya sendiri
4. Otonomi dan privasi, akibat dari di sediakannya berbagi
kebutuhan bagi pasien di rumah sakit mengakibatkan
menurunnya kemampuan aktivitas otonomi pasien karena
keadaan untuk mandiri dan mengatur sendiri sulit di capai
sehingga pasien akan selalu memiliki ketergantungan.
Kondisi lain ada juga pasien yang merasa nyaman dengan
kondisi rumah sakit dimana privasinya sangat terjaga,
sementara ketika pulang ke rumah kondisi nyaman tersebut
hilang.
5. Terjadinya perubahan gaya hidup, mungkin inilah salah satu
dampak positif akibat sakit dan perumah sakitan adalah
munculnya perilaku disiplin dan menjaga keteraturan.
Adanya peraturan dan ketentuan dari rumah sakit khususnya
perilaku sehat serta aturan dalam makan, obat dan aktivitas,
agar seseorang akan mengalami perubahan dalam gaya
hidupnya yakni selalu hati-hati dan menghindari hal-hal yang
di larang sesuain dengan ketentuan proses perawatan dan
pengobatan. Pola perilaku ini tidak jarang menjadi kebiasaan
baru yang positif bagi si pasien, meskipun kadang tidak
mendapat dukungan keluarga dan lingkungan rumah.
46
D. Psikologi Kematian
Pada dasarnya tidak ada yang dapat menolak mengenai
satu eksistensi peristiwa ini, yaitu kematian. Sebagai sebuah
fenomena yang ada dan dapat diamati oleh semua sudut pandang
manusia, maka akhirnya muncul berbagai pendapat tentang apa
itu kematian. Menurut Kalish (1987) menyebut kematian
sebagai berhentinya segala fungsi dan komponen kehidupan
secara permanen. Speece dan Brant (1984) menyebut kematian
paling tidak menghentikan 4 komponen:
1. Perhentian dalam kehidupan adalah berhentinya segala
proses kehidupan manusia seperti pergerakan, sensasi
dan pemikiran.
2. Irrevesity adalah kondisi mutlak berhenti dan tidak dapat
diobati akibat berhentinya segala ptoses bilogikal tubuh
manusia.
3. Kehilangan status adalah suatu keadaan kehidupan yang
biasa dilalui, lalu hilang hilang semua ciri-ciri yang
mewakili kehidupan lalunya.
4. Kematian somatic adalah matinya semua sel dalam
badan.
Secara umum kematian dapat dikatakan sebagai lenyapnya
proses biologikal, psikologikal dan pengalaman sosial dalam
sebuah budaya kehidupan. Selain itu kematian juga dapat
dikatakan terpisahnya ruh dari jasad. Seseorang individu dapat
dikatakan mati jika semua proses organobilogisnya terhenti
secara permanensehingga tidak berfungsi lagin hingga semua
unsur-unsur hidupnya hilang.
Kematian merupakan sesuatu yang penuh misteri
sehingga banyak tinjauan tentang kematian itu dari berbagai
segi. Ada yang meninjau dari segi mistik, segi agama (religius),
47
dan dari segi ilmuj pengetahuan. Tinjauan secara mistik
dikaitkan dengan masalah-masalah tahayul, sedangkan tinjauan
dari segi agama ada yang mengaitkan dengan masalah gaib. Lain
pula tinjauan dari sisi ilmiah, kematian dijelaskan dengan
penalaran ilmiah berdasarkan pengalaman manusia. Salah satu
tinjauan ilmiah adalah tinjauan dari sisi psikologis. Sebagai
suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada
pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat kehidupan manusia
setelah mati, melainkan mempelajari bagaimana sikap dan
pandangan manusia terhadap masalah kematian, bagaimana jiwa
manusia di saat-saat menjelang kematian (sakaratul maut).
Salah satu pendekatan menyebutkan bahwa kepercayaan
manusia terhadap kematian merupakan salah satu penggerak
manusia beragama. Bahkan Durant mengatakan bahwa maut
(kematian) adalah asal usul semua agama. Boleh jadi kalau tak
ada maut, Tuhan tak akan wujud dalam benak manusia. Dua
tokoh psikologi Freud dan Jung menyatakan bahwa ada
hubungan erat antara kematian dan perilaku religius. Kematian
yang tak terelakkan itu menginsafkan manusia dengan paling
tajam akan ketidakberdayaan. Maut merupakan luka paling
parah untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustrasi
terbesar ini, manusia bertindak religius. Memang ada perbedaan
bidang kajian antara psikolog sebagai ilmu empiris dengan
agama sebagai suatu kepercayaan. Agama menyangkut Allah
atau lebih umum “Nan Illahi”, artinya segala sesuatu yang
bersifat Allah atau dewa. Sebaliknya psikologi menyangkut
manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, psikologi tidak
mengeluarkan satu pernyataan pun tentang Allah. Bahkan
adanya Allah tidak bisa di-ya-kan atau disangkal, sebab sebagai
suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada
48
pengalaman dunia ini. Objek psikologi bukan Allah melainkan
manusia, yakni manusia yang beragama. Dunia ilmu
pengetahuan (psikologi) berdasarkan pengalaman dan dunia
kerohanian (agama) berdasarkan keimanan.
Sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan,
dan perilaku seseorang, spikologi melihat kematian sebagai
suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya sangat berpengaruh
dalam kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang
memandang kematian sebagai sebuah malapetaka. Namun ada
pandangan yang sebaliknya bahwa hidup di dunia hanya
sementara, dan ada kehidupan lain yang lebih mulia kelak, yaitu
kehidupan di akhirat. Pandangan tersebut melahirkan dua
mazhab psikologi kematian. Pertama, mazhab sekuler yang tidak
peduli dan tidak yakin adanya kehidupan setelah mati. Kedua
mazhab religius, yaitu yang memandang bahwa keabadian
setelah mati itu ada. Kehidupan di dunia perlu dinikmati, tetapi
bukan tujuan akhir dari kehidupan. Apa saja yang dilakukan di
dunia dimaksudkan untuk investasi kejayaan di akhirat.
Freud dan Jung bahkan menyatakan bahwa ada
hubungan erat antara kematian dan perilaku religius. Kematian
yang tak terelakkan itu menginsafkan manusia dengan paling
tajam akan ketidakberdayaan. Maut merupakan luka paling
parah untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustrasi
terbesar ini, manusia bertindak religius (Dister, 1982: 105)
Bahkan Durant menegaskan bahwa maut adalah asal usul semua
agama. “Boleh jadi kalau tak ada maut, Tuhan tidak akan wujud
dalam benak kita.” (Shihab dalam Hidayat, 2006: viii). Masalah
kematian sangat menggusarkan manusia. Mitos, filsafat juga
ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan jawaban yang
memuaskan. Hanya agama yang dapat berperan dalam hal ini
49
karena agama dapat memberi kepastian jawaban Adapun jenis-
jenis kematian dapat meliputi:
1. Kematian Penyakit adalah kematian yang
disebabkan oleh sesuatu penyakit seperti kanker,
AIDS, sakit jantung dan lain-lain.
2. Kematian Tak Diduga adalah kematian terjadi akibat
kecelakaan, bencana, dan laian-lain.
3. Kematian Perkembangan umur atau usia adalah
kematian yang terjadi karena faktor batasan usia,
seperti mati karena sudah tua.
4. Kematian yang disengaja, yaitu mati karena penyakit
yang timbulnya penyakit tersebut sebenarnya sangat
disadari.
50
BAB 4
MENGENAL ASUHAN KEPERAWATAN SPIRITUAL
DAN ASUHAN KEPERAWATAN SPIRITUAL
MUSLIM
(AKSM)
51
Mayoritas penduduk di Indonesia adalah muslim, hanya 5% -
20% lebih saja yang non muslim. Dengan demikian pasien-
pasien di RSUD dan rumah sakit milik swasta sudah dapat
dipastikan kebanyakan adalah muslim pula (Panduan Warois,
2002:3). Jika dilihat dari sisi pemenuhan standar sehat secara
internasional merekapun berhak mendapatkan pemenuhan
kebutuhan spiritual saat mereka sakit, akan tetapi sering kali
terabaikan. Sementara itu konsep, pengertian, dan sumber
spiritualitas yang berkembang dalam keperawatan saat ini sangat
luas, tidak hanya bersumber dari agama melainkan meliputi apa
saja yang memiliki nilai-nilai luhur. Hal ini terjadi karena
sumber spiritualitas bukan hanya berasal dari agama tetapi juga
dapat berasal dari adat istiadat, budaya, dan filsafat. Dengan
demikian ketika berbicara spiritualitas belum tentu terkait
langsung dengan agama, bahkan akhir-akhir ini berkembang
faham dan konsep spiritual yang lepas dari agama (spiritual
atheist) dan tidak terikat dengan agama manapun (Comte, 2006).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, bagi pasien rawat
inap yang beragama Islam pemenuhan terhadap kebutuhan
spiritualnya akan lebih tepat jika bersumber dari nilai dan
keyakinan agama Islam yang dianutnya. Karena kebutuhan
spiritual pasien merupakan kebutuhan mutlak yang tidak akan
tergantikan oleh asuhan dan layanan apapun (Sawatzky, Pesut,
2005). Dalam Kode Etik Perawat
Internasional dinyatakan bahwa:
Perawat harus memberikan lingkungan dimana hak-hak
manusia, nilai-nilai, adaptasi , dan kepercayaan spiritual
dari individu, keluarga dan masyarakat tetap dihormati.
Selain itu dalam Kode Etik Perawat Indonesia tahun
2000 juga dinyatakan:
52
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
senantiasa memelihara suasana lingkungan yang dihormati
nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup
beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
Badan Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan
Amerika The Joint Commision on Accreditation for Healthcare
Organization (JCAHO) telah menetapkan bahwa :
Setiap klien harus dilakukan pengkajian terhadap
keyakinan spiritual dan praktik-praktiknya serta
memberikan dukungan pemenuhan kebutuhan spiritual.
Pernyataan-pernyataan diatas menegaskan bahwa setiap
pasien berhak mendapatkan pelayanan dan pemenuhan
kebutuhan spiritualnya sesuai dengan agama dan keyakinan
pasien meliputi keyakinan agama serta berbagai praktik
ritualnya.
2. Diagnosis
Yaitu tahap lanjutan jika dari tahap pengkajian terdapat
masalah spiritual yang memerlukan intervensi keperawatan
spiritual. Intervensi adalah segala teknik dan cara pendekatan
terhadap pasien untuk membantu proses penyembuhan pasien.
Yang harus diperhatikan intervensi terhadap pasien ada dua sisi:
pertama intervensi terhadap fisik pasien hal ini dapat dilakukan
dengan berbaga pendekatan fisik terhadap pasien. Kedua,
intervensi terhadap psikis atau kejiwaan pasien, hal ini dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan psikologis termasuk
pendekatan spiritual.
Ada tiga kemungkinan kondisi spiritual pasien yang
memerlukan diintervensi yaitu: (1) Distress Spiritual, (2) Resiko
untuk Distress Spiritual, (3) Potensial untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual. Contoh diagnosis keperawatan kondisi
distress spiritual seperti:
57
a. Gangguan penyesuain terhadap penyakit yang berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk merekonsiliasi penyakit
dengan keyakinan spiritual.
b. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan
kshilangan agama sebagai dukunngan utama.
c. Takut menghadapi kematian.
d. Agama terasa tidak mempunyai arti.
e. Tuhan sudah tidak peduli.
f. Merasa rendah karena hidup tidak sesuai dengan agama.
g. Dan laian-lain
3. Perencanaan
Yaitu tahapan menyusun rencana bagaimana melakukan
intervensi dengan tujuannya. Untuk pasien dengan diagnosis
distress spiritual bagaimana intervensi difokuskan pada upaya
menciptakan lingkungan yang mendukung praktik keagamaan
dan keyakinan yang biasanya dilakukan pasien. Tujuannya
ditetapkan secara individual dengan mempertimbangkan riwayat
spiritual pasien, area beresiko distress spiritual, datadata
obyektif dan subyektif yang relevan. Contoh tujuan misalnya :
a. Untuk mengidentifikasi keyakinan spiritual pasien.
b. Menggunakan kekuatan keyakinan pasien, harapan dan rasa
nyaman ketika mennghadapi tekanan berupa penyakit,
cedera, dan krisi lainnya.
c. Mengembanngkan praktik spiritual yang memupuk rasa
percaya diri, memperbaiki hubungan dengan diri dan Tuhan.
4. Implementasi
58
Tahap ini adalah tahapan bagaimana menerapkan rencana
intervensi dengan melakukan prinsip-prinsip kegiatan asuhan
keperawatan sebagai berikut:
a. Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat.
b. Fokuskan perhatian pada persepsi pasien terhadap kebutuhan
spiritualnya.
c. Asumsikan pasien mempunyai kebutuhan spiritual.
d. Memahami pesan non verbal kebutuhan spiritual pasien....
e. Dan lain-lain.
5. Evaluasi
Adalah tahapan untuk mengukur apakah pasien telah
mencapai hasil yang ditetapkan pada fase perencanaan, sumber
evaluasi adalah berbagai data-data yang terkumpul terkait
dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan. Contoh tujuan
asuhan keperawatan spiritual tercapai secara umum misalnya
pasien:
a. Dapat beristirahat dengan tenang.
b. Menunjukan sikap penerimaan.
c. Mengekspresikan damai dengan Tuhan.
d. Melakukan aktifitas dan ritual keagamaan.
e. Terbuka terhadap pemuka agama.
f. Afek positif seperti tidak marah, ansietas berkurang, bebas
rasa bersalah.
g. Dan lain-lain.
59
pengembangan kesehatan spiritual (rohani) pasien yang
merupakan faktor penting dalam survivalitas pasien berdasarkan
tuntunan al-Qur‟an , al-Sunnah dan hasil Ijtihad.
Proses tersebut meliputi lima tahapan:
1. Pengkajian.
2. Identifikasi Masalah.
3. Perencanaan.
4. Implementasi.
5. Evaluasi.
Pengkajian dalam AKSM adalah pengkajian terfokus
kepada kebutuhan spiritual pasien muslim yang bersumber
kapada agama dan keyakinannya beserta praktik ritualnya.
Fokus kajian tersebut meliputi: (1) ibadah pokok, (2) ibadah
tambahan, (3) bimbingan konseling dan penasehatan, (4)
konseling pasien berkebutuhan khusus dan pendampinngan.
Pada fase identifikasi masalahpun merujuk kepada
masalahmasalah yang ada pada empat aspek kajian tersebut,
demikian juga tahap perencanaan dan implementasi terfokus
kepada aspek diatas.
64
a. Kebutuhan untuk mendapat penjelasan mengenai berbagai
hal terkait dengan masalah agama selama sakit.
b. Kebutuhan mendapat jawaban mengenai masalah psikologis
yang dihadapi.
c. Butuh mendapat kepastian dan pegangan selama sakit.
d. Butuh menemukan solusi kesembuhan yang tidak
bertentangan dengan agama.
e. Butuh tempat „curhat‟ dan berbagi dari berbagai beban
psikologis yang dihadapi.
Karena penasehatan bersifat umum, maka jika terdapat
pasien yang memiliki masalah khusus, atau kebutuhan khusus,
layanan dapat dialnjutkan dengan metode bimbingan.
Sedangkan jika masalahnya tidak dapat dapat diselesaikan
dengan bimbingan, maka layanan dapat dilanjutkan dengan
konseling.
BAB 5
PERAWATAN DAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN IBADAH POKOK PASIEN
66
membebaskan diri dari najis, baik secara hakiki maupun secara
hukmi, terutama pada saat hendak melaksanakan ibadah.
Najis hakiki disebut juga al-khabats, berupa bendabenda
najis yang konkret secara fisik, seperti tinja, air kencing, dan
lain-lain. Najis hukmi disebut juga al-hadats yaitu kondisi yang
terdapat pada anggota badan yang menurut syara'
menghilangkan kesucian badan sehingga terhalang untuk
melaksanakan ibadah, terutama shalat. Najis hukmi disebut juga
najis yang abstrak, bahkan sebagian ulama tidak mau
menyebutnya najis tetapi hadas saja.
Imam Nawawi mendefinisikan thaharah adalah upaya
menghilangkan hadas atau najis atau yang semakna dan serupa
dengannya. Ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan
thaharah adalah menghilangkan segala sesuatu yang
menghalangi shalat, baik berupa hadas maupun najis.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan thaharah secara
garis besar meliputi: bersuci dari hadas yang khusus pada tubuh
secara hukmi dan bersuci dari najis secara fisik secara hakiki,
baik pada badan, pakaian maupun tempat ibadah. Bersuci dari
hadas ada tiga macam, yaitu:
1. thaharah kubro, yaitu mandi besar
2. thaharah shugra, yaitu wudu
3. thaharah pengganti keduanya, yaitu tayamum manakala
mandi besar dan wudu tidak dapat dilakukan.
1. Menghilangkan Najis
Hal yang paling penting dilakukan sebelum
melaksanakan thaharah adalah teknik menghilangkan berbagai
najis, terutama yang termasuk pada kategori najis hakiki
(alkhabats), yaitu najis yang berwujud konkret secara fisik,
seperti tinja, air kencing, darah, nanah, muntah, dan lain-lain.
67
Dalam teknik inilah dikenal istilah istinja, istijmar, istibra,
istinqa, dan lain-lain.
68
Pasien yang Mampu Menghilangkan Najis
a. Prinsip Dasar
1) Pasien yang mampu, hukumnya wajib
membersihkan najis.
2) Pelaksanaan pembersihannya dapat dilakukan oleh
pasien yang bersangkutan, dibantu keluarga, atau
dibantu perawat (bisa ditawarkan pada pasien). Alat
pembersih yang dapat dipakai diutamakan air,
terutama untuk najis yang luasnya lebih dari 5 cm
persegi (pendapat Imam Malik) kalau tidak dapat
bisa menggunakan spons, tisu atau benda suci lain
yang bersifat menghisap dan membersihkan.
3) Jika area najis kurang dari 5 cm persegi, terutama
karena letaknya terpisah-pisah, seperti di baju, tubuh
atau di tempat-tempat tertentu, maka boleh dibiarkan
karena is merupakan najis yang sedikit dan
dimaafkan. Jika tetap dicuci hukumnya sunnah.
4) 0 cm-5 cm persegi adalah ukuran area najis yang
sedikit atau najis yang dimaafkan
b. Batasan Pasien yang Mampu
1) Tidak mendapat kesulitan untuk menghilangkan
najis yang menempel pada tubuh karena najisnya
tidak pada luka.
2) Tidak berisiko saat menghilangkannya, seperti tidak
sakit atau lukanya tidak akan bertambah parah.
3) Mendapatkan orang yang menolong atau membantu.
4) Terdapat rekomendasi dari dokter (Muslim) yang
berkompeten yang membolehkan untuk bersuci.
69
Najis yang Sering Mengenai Pasien
Di antara najis yang umumnya terdapat pada pasien
adalah: (1) tinja, (2) kencing, (3) muntah, (4) darah atau nanah,
(5) sperma, (6) madzi dan wadzi. Hal-hal lain yang termasuk
najis, tetapi memiliki spesifikasi cara membersihkannya adalah:
(1) kencing bayi laki-laki dan perempuan, (3) alkohol (terdapat
perbedaan pendapat).
70
dahulu kemudian dicuci lalu dibersihkan dan
dikeringkan.
72
5) Jika area najis yang menutupi lebih dari 5 cm
persegi, wajib dicuci dengan air, kecuali jika tidak
mampu atau terdapat keadaan darurat lainnya.
6) Bagi yang tidak mampu melakukan istinja, maka
tidak wajib melakukannya.
7) Kriteria tidak mampu misalnya karena:
a) stroke sehingga tidak dapat menggerakkan
tangan atau anggota badan lainnya;
b) mendapatkan kesulitan yang tidak dapat diatasi;
c) mendapat bahaya sehingga sakitnya bertambah
parah;
d) tidak mendapatkan orang untuk membantu;
e) bagi yang mengalami lemah saraf, misal najisnya
menetes terus atau menetes kembali, padahal
sudah mengenakan pakaian dan berwudu, maka
wudunya dipandang batal, tetapi tidak perlu
beristinja lagi (pendapat Imam Malik). Apalagi
jika telah menggunakan pakaian dalam yang
dengan sendirinya telah menghisap najis yang
sedikit tersebut
2. Wudhu
Secara bahasa, wudhu berasal dari kata wadhawadhu'a-
wudhuan yang berarti bersih, baik atau elok. Alwadha'ah berarti
keelokan, keindahan dan kebersihan. Pendek kata, derivasi kata-
kata tersebut terkait dengan gambaran kebersihan, kebaikan dan
keelokan. Dalam terminologi fiqih, wudu berarti membersihkan
beberapa bagian tubuh dengan air sebelum mendirikan shalat.
Selain arti umum ini masih terdapat beberapa definisi wudu,
misalnya: (1) Wudu adalah serentetan tindakan atau perbuatan
tertentu yang dimulai dengan niat, membasuh muka, kedua
73
tangan, kedua kaki dan menyapu kepala. (2) Penggunaan air
yang suci dan menyucikan dalam keempat anggota badan yaitu
muka, tangan, kaki dan kepala dengan cara-cara tertentu menurut
syara'. (3) Bersuci dari hadas kecil dengan cara membasuh muka
dan kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh
kedua kaki sampai mata kaki dengan air yang suci dan
mensucikan secara tertib. Yang dimaksud tertib adalah
mengerjakannya secara berurutan dari yang seharusnya awal
dikerjakan hingga yang akhir. Sedangkan yang dimaksud hadas
kecil, yaitu segala sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur
(najis), kecuali sperma karena harus bersucinya dengan mandi.
Dasar perintah wudu adalah A1-Qur'an surah AlMaidah
ayat 6:
Hai orang-orang beriman apabila kamu hendak
melaksanakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
kedua tanganmu sampai siku, sapulah kepalamu dan
basuhlah kakimu sampai kedua mata kaki.
Menurut pendapat yang masyhur berdasarkan bentuk
kalimat pada ayat di atas hukum wudu adalah wajib karena is
merupakan syarat untuk melaksanakan shalat. Selain itu,
wajibnya wudu juga karena wajibnya shalat. Sebagaimana shalat
sebagai bentuk ibadah, maka wudu juga adalah ibadah. Karena
sebagai bentuk ibadah, wudu juga memiliki syarat, rukun dan
sunnah.
Syarat Wudu
Syarat wudu ada lima, yaitu: (1) sudah memeluk Islam,
(2) baligh dan berakal sehat, (3) tidak berhadas besar, (4)
memakai air yang suci dan menyucikan, (5) tidak ada yang
74
menghalangi sampainya air ke permukaan kulit kecuali ada
sebab lain.
Sunnah Wudu
Sunnah wudu ada sepuluh, yaitu; 1) membaca basmallah
sebelum niat; 2) membasuh kedua pergelangan tangan sebelum
wudu; 3) berkumur-kumur; 4) menghisap sedikit air ke lubang
hidung kemudian dihembuskan kembali ke luar, (5) menyapu
dua telinga luar dalam; 6) menyela-nyela jenggot yang tebal (jika
ada); 7) menyilangi sela-sela jari kedua tangan dan sela-sela jari
kedua kaki; 8) mendahulukan anggota wudu yang kanan dari
yang kiri; 9) membasuh setiap anggota wudu tiga kali; 10)
membaca doa setelah selesai wudu.
76
Ketentuan Khusus
Ada beberapa ketentuan khusus dalam berwudu sebagai
berikut.
a. Pasien berhak menentukan cara wudunya sendiri berdasarkan
keyakinannya, termasuk apabila pasien ingin mengerjakan
sunnah-sunnah wudu, seperti: mencuci telapak tangan,
berkumur, menghisap air ke lubang hidung (istinsaq),
mencuci telinga, mencuci anggota wudu dan sunnahnya
masing-masing tiga kali, dan berdoa). b. Tugas perawat hanya
sebagai fasilitator.
c. Perawat dapat memberikan tuntunan cara berwudu jika
pasien sendiri meminta (usahakan ditanya terlebih dahulu
hal-hal yang penting).
d. Pasien berhak meminta bantuan untuk berwudu dan
menentukan siapa pembantunya (perawat atau keluarga,
laki-laki atau perempuan).
e. Perawat melaksanakan bantuan sesuai protap/SOP yang
berlaku tentang wudu.
f. Pihak rumah sakit menyediakan peralatan wudu yang
dibutuhkan apalagi jika pasien wudu di tempat
Berwudu Bagi Pasien yang Tidak Mampu
a. Batasan Pasien yang tidak Mampu:
1) Tidak mampu bergerak.
2) Mendapatkan kesulitan di luar batas kemampuannya
saat berwudu.
3) Menyebabkan bahaya bagi kesehatannya.
4) Menyebabkan atau merasa sakit bila kena air.
5) Sakitnya akan bertambah parah.
6) Ada rekomendasi dari dokter (bila perlu).
7) Berdasarkan pengalaman pribadi.
77
8) Tidak ada orang yang membantunya untuk wudu.
9) Tidak/sulit mendapatkan air/persediaan air terbatas.
10) Airnya terlalu dingin hingga berbahaya bagi
kesehatannya.
b. Ketentuan Umum
1) bagi pasien dengan kriteria di atas tidak wajib berwudu;
2) sebagai penggantinya pasien wajib bertayamum; 3) jika
tidak mau bertayamum tanpa sebab yang dibolehkan, is
berdosa dan tidak boleh melakukan shalat karena tidak
sah.
78
Semua yang dicontohkan di atas bagi pasien yang
mengalaminya adalah:
a. tidak membatalkan wudu;
b. wajib bagi pasien untuk berwudu apabila telah masuk waktu
shalat berikutnya kecuali terdapat halangan yang sangat
(Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad);
c. harus menjaga agar najisnya tidak berceceran;
d. jika shalat dengan cara berdiri, ruku, sujud dan
gerakangerakan lain dapat membuat uzurnya bertambah,
pasien boleh shalat dengan duduk atau dengan isyarat, atau
sebatas apa yang ia mampu.
Kedua, pasien dengan luka, darah, darah bercampur nanah,
dan lain-lain. Darah yang keluar dari luka, bisul, jerawat,
lecet, infeksi, dari hidung, gigi/gusi, habis transfusi atau
pemeriksaan sekalipun dalam ukuran banyak dan tertumpah,
semuanya tidak membatalkan wudu. Prinsipnya adalah apa-
apa yang keluar selain dari qubul dan dubur tidak
membatalkan wudu.
Ketiga, muntah. Menurut ahli fiqih yang dapat keluar
dari mulut umumnya ada dua jenis, yaitu muntah dan cairan
perut/ lambung. Muntah adalah cairan bercampur sisa-sisa
makanan yang keluar dari lambung setelah menetap di
dalamnya. Dasarnya muntah adalah najis, kecuali dalam
jumlah yang sedikit. Cairan lambung adalah cairan yang keluar
tanpa disertai sisa-sisa makanan, baik keluar karena mual atau
karena dimasuki selang tidak dipandang najis seperti najisnya
muntah. Bagi pasien yang memiliki kasus ini semuanya tidak
membatalkan wudu sekalipun muntah atau cairan tersebut
bercampur darah dan nanah.
79
Keempat, dahak/sekresi tenggorokan. Dahak tidak
membatalkan wudu meskipun bentuknya tidak normal. Bagi
pasien yang memiliki penyakit berat pada paru-paru,
lambung dan organ-organ bagian dada dan alat pernafasan
sering kali dahaknya berwarna tidak normal, bahkan mungkin
ada yang telah mengeluarkan darah segar setiap batuk atau
meludah. Semuanya itu tidak membatalkan wudu.
Kelima, pasien dengan pemasangan selang. Selang dipasang
melalui saluran kencing atau anus, termasuk obat yang
dimasukkan melalui anus, alat /selang yang dimasukkan
lewat vagina, semuanya membatalkan wudu saat dikeluarkan
saja. Karena wudu menjadi batal oleh apa yang keluar dari
dua lubang tersebut. Selang yang dimasukkan ke dalam paru-
paru, lambung, usus, empedu, dada, hidung, telinga dan
sejenisnya, tidak membatalkan wudu, baik ketika
dimasukkan maupun saat dikeluarkan.
Keenam, pasien yang dimasuki obat melalui lubang anus/
vagina. Menurut Mazhab Hanafi:
a. jika dimasukkan dan tidak dikeluarkan kembali, tidak
membatalkan wudu;
b. jika dimasukkan secara sempurna kemudian dikeluarkan
kembali, maka wudunya batal;
c. jika dimasukkan sebagiannya lalu keluar, maka ada dua
kemungkinan:
1. jika keluar dalam keadaan basah dan berbau, wudunya
batal;
2. jika keluar tidak basah dan berbau, tidak membatalkan
wudu;
3. jika hanya keluar cairan saja, wudunya batal.
80
Ketujuh, pemeriksaan dengan memasukkan jari ke dalam
anus/vagina. Wudu menjadi batal saat jari dikeluarkan. Karena
dokter umumnya memasukkan jari secara sempurna, maka
ketika jari itu dikeluarkan, sama dengan adanya sesuatu yang ke
luar dari dua lubang.
Kedelapan, pingsan, tidur atau dalam pengaruh biusan.
Semuanya membatalkan wudu, karena kemungkinan hilang
kendali dan sulit mengontrol diri, seperti kentut, baik sebentar
maupun lama, baik akibat sakit maupun pengaruh obat atau
karena faktor-faktor lain, kecuali tidur yang kokoh, tidak
bersender sehingga tidak mungkin keluar angin dari dubur.
Kesembilan, menyentuh kemaluan dan lubang anus.
Menurut jumhur ulama, menyentuh kemaluan sendiri maupun
orang lain, seperti dokter saat melakukan pemeriksaan,
membatalkan wudu. Sentuhan yang membatalkan wudu adalah
sentuhan tanpa penghalang dan menggunakan bagian depan
telapak tangan, baik dengan syahwat maupun tidak. Sedangkan
sentuhan dengan bagian luar atau punggung tangan atau sisinya
atau dengan ujung jari, atau menggunakan penghalang, seperti
baju dalam, sarung tangan, semuanya tidak membatalkan wudu.
Selain itu, sentuhan pada lubang anus, testis, bulu dan daerah
sekitar alat reproduksi semuanya tidak membatalkan wudu.
Kesepuluh, menyentuh benda najis. Menyentuh bendabenda
najis seperti kencing, tinja, darah, muntah, berbagai cairan tubuh
semuanya tidak membatalkan wudu, tetapi hanya wajib
menghilangkannya (lihat bab istinja).
Kesebelas, menyentuh perempuan. Dalam keadaan darurat
para ahli fiqih membolehkannya, misalnya dalam kondisi
pemeriksaan medis seorang dokter laki-laki memeriksa pasien
perempuan atau sebaliknya, seorang perawat laki-laki
81
memeriksa pasien perempuan atau sebaliknya, semuanya tidak
membatalkan wudu.
Keduabelas, pasien yang ragu. Jika terdapat pasien yang
ragu apakah ia batal wudu atau tidak, ia diharuskan mengambil
keputusan berdasarkan apa yang diyakininya, atau berdasarkan
apa yang diingatnya terutama pada masa-masa terakhir dia ingat.
Kecuali jika masa-masa terakhir dia ingat telah batal tetap ragu,
ia dianggap belum mempunyai wudu. Ada juga kasus yang ragu
atau lupa saat mencuci salah satu anggota wudu, maka
hendaknya ia dianjurkan untuk kembali dan menyempurnakan
basuhan sesudahnya. Kecuali yang mendapat keraguan setelah
selesai wudu, apakah ada bagian yang lupa dicuci, maka ia
dianggap telah berwudu, untuk menghindari penyakit was-was
(obsessive compulsive).
3. Tayamum
Secara bahasa tayamum berasal dari kata tayammum
yang berati bersengaja atau tujuan. Akan tetapi, arti tayamum
secara syara adalah menyapu muka dan kedua tangan dengan
debu dari tanah atau debu yang menempel di dinding, di batu
atau tempattempat lain. Meskipun begitu, terdapat variasi
pengertian tentang tayamum, yaitu: (1) menurut mazhab
Hanafiyah, tayamum adalah sengaja menyapu muka dan kedua
tengan dengan debu yang suci. Sedang kesengajaan merupakan
syarat padanya karena ia adalah niat. Jadi, tayamum adalah
bersengaja menggunakan tanah/debu yang menyucikan dengan
cara tertentu untuk melaksanakan ibadah. (2) Malikiyah
menyebut tayamum adalah bersuci dengan debu yang mencakup
penyapuan dan dua tangan dengan niat. (3) Syafi'iyah
mendefinisikan tayamum adalah menyampaikan debu ke muka
82
dan dua tangan sebagai ganti wudu, mandi atau anggota
keduanya dengan syarat tertentu.
Tayamum adalah model bersuci pengganti wudu atau
mandi junub, haid dan nifas, dilakukan sebagai rukhshah atau
keringanan dari Allah bagi orang yang kesulitan mendapatkan
air atau tidak dapat menggunakan air karena berbagai sebab atau
halangan. Karena itu, sebab pokok dibolehkannya tayamum
adalah:
1. karena sakit yang tidak boleh terkena air; 2.
karena dalam perjalanan;
3. karena tidak ada air.
Dasar bertayamum adalah Al-Qur'an surah AlMaidah
(5): 6
Dan apabila kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kamu
tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah
yang baik dan bersih, sapulah mukamu dan kedua tanganmu
dengan tanah itu...
Dalam ayat di atas digunakan kata: ( صعيداsha'idan)
bukan:( ترابturãbun). Ini berarti tanah kering yang berdebu.
Kata sha'id dapat mencakup pengertian yang luas, bukan saja
debu yang berasal dari tanah yang sengaja dikeringkan,
melainkan juga debu-debu halus lainnya yang dapat
menempel pada berbagai permukaan benda, seperti batu,
dinding, kaca, dan lain-lain.
Sebagaimana wudu, tayamum juga memiliki beberapa
ketentuan dari mulai syarat, rukun, sunnah dan hal-hal yang
membatalkannya.
83
Syarat Umum Tayamum
Syarat tayamum adalah: (1) sudah masuk waktu shalat;
(2) sudah berusaha mencari air atau sudah diketahui sulit
mendapat air atau tidak dapat menggunakan air karena
beberapa sebab di atas; (3) dengan debu dari tanah atau debu
umumnya; (4) membersihkan terlebih dahulu najis apabila
terdapat material najis (yaitu dengan teknik istinja).
Sunnah Tayamum
Adapun sunnah tayamum adalah: (1) membaca
basmalah; (2) meniup halus debu dari dua tapak tangan agar
material kasar dan bukan debu terpisah dan lapisan debu
84
menjadi tipis dan murni; (3) membaca dua kalimah syahadat
sesudah selesai tayamum sebagaimana setelah wudu.
Cara kedua:
a. niat bertayamum untuk dapat melaksanakan shalat
karena Allah;
b. menepukan kedua telapak tangan pada debu dari tanah,
pasir, batu atau permukaan benda-benda yang dianggap
mengandung debu (seperti dinding, kaca, tempat-tempat
duduk pada pesawat/mobil atau benda lainnya yang
dianggap berdebu);
c. mengusapkan kedua telapak tangan ke muka; kemudian
d. menepukkan kembali kedua tapak tangan tersebut pada
debu (dengan tempat berbeda/bukan bekas yang tadi);
e. usapkan tapak tangan kiri ke tangan kanan sampai
pergelangan solo;
f. usapkan tapak tangan kanan ke tangan kiri sampai
pergelangan;
g. selesai.
86
5) Ada rekomendasi dari dokter (bila perlu).
6) Berdasarkan pengalaman pribadi.
7) Ada orang yang membantunya untuk tayamum kalau
diperlukan (keluarga atau perawat).
87
4. Pasien yang Tidak Mampu Berwudu dan Tayamum
Dalam masalah fiqhiyyah ada yang disebut shalat yang
kehilangan kesucian karena tidak ada air dan debu kasus ini
disebut Fasid ath-Thuhurain. Menurut jumhur ulama, hal ini
berlaku juga bagi Pasien dengan kriteria:
1. tidak dapat menggunakan air dan debu karena
berbagai sebab;
2. tidak mendapatkan debu.
Dalam keadaan seperti ini, pasien boleh shalat tanpa
wudu dan tayamum, shalatnya dipandang sah dan tidak perlu
diulang.
88
e. Jika hal tersebut tidak mampu dilakukan, pasien
boleh shalat dengan kondisi najis tersebut.
f. Jika plester perban lepas:
1) Saat shalat, maka kembalikanlah perban tersebut
usai shalat tanpa harus mengulangi wudu dan
shalat.
2) Saat berwudu atau tayamum dan lukanya masih
berbahaya untuk terkena air/debu maka perban
tersebut dikembalikan, wudu dan tayamumnya
tidak batal
g. Jika lukanya telah mengering atau sembuh dan boleh
kena air, ketika berwudu atau tayamum perbannya
harus dibuka terlebih dahulu sekalipun bagian
lukanya atau pinggirnya hanya diusap, Jika
perbannya memang terletak pada anggota wudu atau
tayamum.
6. Ketentuan Mengusap
Banyak pasien yang menderita luka yang menyulitkan
baginya untuk berwudu, bertayamum dan melaksanakan shalat,
misalnya yang luka bakar, berbagai kecelakaan dengan luka
berat, penyakit kulit, infeksi menahun dan lain-lain sehingga
membutuhkan pembalutan atau gips pada luka. Bagi pasien
dengan sebab seperti ini maka:
1. Jika masih memungkinkan untuk membuka perban terutama
pada anggota wudu/tayamum dan lukanya telah sembuh,
maka pasien wajib membuka perban dan mengusapnya saat
wudu/tayamum.
2. Jika bagian-bagian tertentu (tetapi tidak semua) dari anggota
wudu berisiko terkena air/debu, maka bagian tersebut dapat
89
dibiarkan, tetapi menyempurnakan mencuci afau mengusap
pada bagian anggota wudu/tayamum dengan sempurna.
3. Jika takut menimbulkan efek berbahaya kalau perban/gips
dibuka, maka saat wudu/tayamum cukup mencelupkan
tangan ke air lalu mengusap bagian atas perban atau gips.
Cara seperti ini dalam fiqih disebut dengan al-mashhu
`alaaljabiroh.
4. Jika mengusap pun merasa takut berisiko terhadap kesehatan,
maka dapat dibiarkan. Pasien boleh berwudu atau tayamum
dengan mengusap bagian yang aman.
91
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai
gelap malam dan shalat subuh, sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (malaikat).
Berdasarkan ayat di atas diambil batasan-batasan waktu
shalat, yai tu:
1. li dulûkisy syamsi: menunjukkan waktu pelaksanaan
shalat ketika setelah matahari tergelincir, berarti
mencakup waktu shalat zhuhur dan ashar.
2. ila ghasaqil laili: menunjukkan waktu pelaksanaan
shalat ketika gelap malam, yaitu mencakup waktu shalat
maghrib dan shalat isya.
3. wa qur'ãnal fajr: menunjukkan waktu pelaksanaan shalat
ketika mulai terbit fajar, yaitu untuk shalat subuh.
Dari uraian di atas, maka ketika diperinci lima kali dalam
sehari semalam sesuai dengan urutan dan batasan waktu yang
difardhukannya adalah sebagai berikut:
1. Shalat zhuhur empat rakaat, waktunya dimulai dari
tergelincir matahari sampai bayang-bayang sesuatu sama
panjangnya dengan sesuatu itu.
2. Shalat ashar empat rakaat waktunya mulai dari habisnya
waktu zhuhur hingga matahari terbenam.
3. Shalat maghrib tiga rakaat waktunya dimulai dari hilang
terbenamnya cahaya matahari hingga hilangnya cahaya
merah di ufuk barat.
92
4. Shalat isya empat rakaat waktunya dimulai dari
hilangnya cahaya merah di sebelah Barat hingga terbit
fajar.
5. Shalat subuh dua rakaat waktunya dari terbit fajar hingga
terbit matahari.
Berdasarkan adanya tiga batasan waktu di atas pula,
maka terdapat hadis dari riwayat Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas
yang membolehkan menyatukan (menjama') shalat zhuhur dan
ashar atau menjama' shalat maghrib dan isya, sedangkan subuh
tetap dikerjakan berdiri sendiri pada waktunya.
Jika dilihat dari jenisnya, shalat dibagi dalam dua bagian,
yaitu shalat wajib atau shalat maktubah dan shalat sunnah. Shalat
maktubah adalah shalat lima waktu di tambah dengan shalat
Jum'at, sedangkan shalat sunnah banyak macamnya, seperti
shalat sunnah yang mengikuti sebelum maupun sesudah shalat
maktubah. Shalat sunnah ini biasanya disebut shalat rawatib.
Ada lagi shalat sunnah di luar shalat rawatib dilaksanakan pada
waktu tertentu dan karena ada hajat atau kebutuhan tertentu,
seperti shalat istikharah, shalat dhuha, shalat tahajjud, shalat
hajat, dan lain-lain.
Pada even-even tertentu dalam sikius tahunan misalnya,
terdapat shalat sunnah Ied, yaitu Iedul Adhha maupun Iedul
Fithri. Pada kejadian-kejadian tertentu yang menyangkut
peristiwa alamiah terdapat juga shalat sunnah, seperti shalat
gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari (khusuf
atau kusuf).
Bahkan, pada peristiwa-peristiwa terpenting dalam akhir
hayat manusia atau kematian pun masih terdapat shalat sunnah,
yaitu shalat jenazah.
93
Apabila kita menyelami lagi ke dalam khazanah Dunia
Islam, khususnya bidang tarikat dan tasawuf, kita akan lebih
kaget lagi karena di dalam dunia tarikat dan tasawuf terdapat
bukan hanya puluhan, tetapi mungkin ratusan jenis shalat sunnah
dari yang namanya pernah kita dengar sampai jenis shalat
sunnnah yang belum pernah kita dengar dan kita kenal namanya
sedikit pun. Misalnya, shalatghaibulghaib, shalat tanwirul qulub,
lisakharil qulub, birrul walidain, dan lain-lain. Shalat sebagai
ibadah yang telah ditentukan memiliki ketentuan-ketentuan,
meliputi syarat wajib, syarat sah, rukun, serta sunah-sunah
shalat.
Cara Shalat
Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa: "Shalat adalah
tiang agama."Artinya, shalat lima waktu itu merupakan
kewajiban yang mutlak harus dilaksanakan oleh setiap individu
Muslim yang telah akil baligh dalam kondisi fisik bagaimanapun
dan situasi apa pun selama kesadarannya masih berfungsi
dengan baik.
Sakit adalah salah satu bagian dalam daur siklus
kehidupan manusia di mana setiap manusia harus
mengalaminya. Akan tetapi, bagaimanapun repotnya selagi
kesadaran masih ada dan berfungsi, maka kewajiban agama tetap
harus dijalankan, terutama pelaksanaan shalat. Hanya saja bagi
orang sakit, Islam tidak memberatkan dalam pelaksanaannya
karena Allah Swt. telah memberikan keringanan (rukhshah)
untuk tidak membebani hambanya dengan berbagai hal yang
memberatkannya. Dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari
disebutkan:
96
"Shalatlah engkau dengan berdiri, kalau engkau tidak mampu
maka duduklah, dan (kalau engkau) tidak mampu (untuk duduk)
maka shalatlah dengan berbaring."
Maka dalam pelaksanaannya shalat bagi pasien dapat
dilaksanakan melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Tetap menutup aurat, dalam keadaan suci, yaitu tidak
berhadas besar atau kecil, berwudu atau bertayamum
(sendiri atau dibantu oleh orang lain, seperti oleh perawat
medis yang mampu atau khusus perawat ruhani), badan,
pakaian dan tempatnya bersih dari najis.
2. Jika terpaksa tidak dapat steril dari material atau unsurunsur
najis, lakukanlah shalat apa adanya walaupun dalam kondisi
terkena najis atau tidak dapat menghindari dari hal-hal yang
terkait dengan najis.
3. Bila pasien masih dapat bergerak dengan normal, sebaiknya
lakukanlah shalat dengan berdiri, baik melaksanakannya
sendiri, dibantu orang lain atau ikut berjamaah di mushalla
atau masjid kecuali ada saran dari dokter untuk tetap di
tempat, lakukanlah shalat di tempat.
4. Jika pasien tidak dapat shalat dengan berdiri, lakukan shalat
sambil duduk. Caranya: ambillah posisi duduk iftirasy
dengan menghadap kiblat, kemudian takbiratul ihram
seperti biasa diikuti dengan bacaan-bacaan seperti biasa
dalam keadaan normal. Pada waktu ruku cukup dengan
meletakkan kedua tangan di lutut diikuti dengan
menundukan kepala, bangkit dari ruku jika mampu dengan
mengangkat kedua tangan sambil membaca sami'allahu..,
kemudian sujud dilakukan seperti biasa.
5. Jika tidak mampu bersujud karena berat atau sakit di kepala
yang luar biasa, atau terdapat organ yang terganggu jika
97
ditekuk, ini pun cukup menundukan kepala dan sedikit
membungkuk ke depan atau dengan isyarat sedikit
menunduk. Pada waktu tasyahud akhir jika mampu lakukan
dengan mengambil posisi duduk tahiyat akhir (tawarruk)
seperti biasa, tetapi jika terasa sulit cukup dalam posisi
awal, yaitu duduk iftirasy kemudian mengakhiri shalat.
6. Apabila pasien tidak mampu melakukan shalat sambil
duduk, lakukan shalat sambil berbaring. Usahakan dapat
menghadap kiblat, caranya jika kebetulan posisi tempat
tidur pasien kepalanya di utara dan kaki di arah selatan,
tinggal miringkan posisi tubuh untuk menghadap ke kiblat
kemudian lakukan shalat sesuai dengan kemampuan pasien
dalam tata gerakan shalat. Jika mengambil posisi
menghadap kiblat sulit karena berbagai hal, lakukan shalat
dengan posisi di mana pasien berada atau menghadap ke
mana pasien mampu atau dapat.
7. Jika pasien tidak mampu shalat dengan berbaring,
lakukanlah dengan terlentang, arah kiblat, takbiratul ihram
dengan gerakan-gerakan lainnya cukup dengan gerakan
sederhana semampunya dengan posisi apa adanya, seperti
mengangkat tangan, anggukan kepala dan lain-lain. Jika ini
pun tidak mampu, tetapi kesadarannya masih berfungsi,
cukuplah dengan memakai isyarat yang dia mampu,
misalnya dengan kedipan mata dengan takbir dan bacaan
lainnya sesuai dengan yang masih dapat dilakukan.
8. Jika dengan isyarat juga tidak mampu, tetapi pikirannya
masih berjalan dengan normal dan baik, pasien cukup
melakukan shalat dalam hati. Dalam hal ini jika segala
kemampuan motorik sudah tidak ada lagi, tetapi kognisi dan
kesadarannya masih berjalan, maka segala persyaratan
98
terutama yang terkait dengan tata gerak motorik atau fisik
dari shalat dapat ditinggalkan, di mana semua bacaan dan
gerakan cukup dalam hati saja. Bahkan, sebagian ulama
menganjurkan bila perlu melafalkan bacaannya pun
dituntun oleh pembimbing khawatir keliru, berulangulang,
lupa dan lain-lain disebabkan karena kondisi sakit yang
dapat mengganggu daya ingat dan konsentrasi pasien.
9. Yang harus dicatat adalah bagaimana kita yang sehat
(keluarga pasien, perawat medis, perawat ruhani, dan lain-
lain) harus merasa bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
ibadah pasien yang rata-rata terabaikan dengan cara
mengingatkan, mengajak dan membimbingnya untuk tetap
beribadah. Selain hal tersebut merupakan kewajiban, hal ini
merupakan pekerjaan yang luhur dan mulia. Tugas luhur ini
jangan sampai terhalang oleh kekeliruan persepsi, seperti
pasien jangan diganggu, takut merepotkan, kasihan kepada
pasien, bertentangan dengan ketentuan medis. Justru wujud
kasih sayang yang hakiki adalah program penyelamatan
ruhani dan spiritualitas pasien sebagai inti dari rangkaian
perjalanan hidup ini. Bahkan, tidak sedikit dan sudah mulai
banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa dengan
membangkitkan kekuatan spiritual pasien salah satunya
dengan menjaga ibadah dan ritual keagamaan, seperti
berdoa, didoakan dan zikir terbukti banyak membantu
proses kesembuhan pasien. Hal ini yang akan dikupas dalam
bahasan selanjutnya tentang hikmah atau efek terapi dari
thaharah atau bersuci dan ibadah khususnya shalat.
99
Bentuk-Bentuk Keringanan Lain dalam Pelaksanaan
Shalat
Apabila pasien mengalami kesulitan dalam
melaksanakan shalat lima waktu, agama memberi keringanan
pelaksanaannya dengan tiga cara, yaitu: (1) men-jama' ; (2)
meng-qashar; (3) menjama' sekaligus meng-qashar. Ketentuan
ini, misalnya, didasarkan kepada salah satu hadis riwayat Imam
Bukhari dan 'Atha yang menyebutkan bahwa seseorang yang
sakit boleh menjama' shalat antara maghrib dan isya karena hal
tersebut merupakan keringanan dari Allah Swt.
Menjama' artinya menggabungkan dua shalat sekaligus,
baik ditarik ke waktu shalat awal (jama' taqdim) maupun yang
awal di tarik ke waktu yang akhir (jama' ta'khir). Contoh jama'
taqdim misalnya, shalat ashar ditarik ke shalat zhuhur, dengan
mengerjakan zhuhur dahulu, kemudian dilanjutkan shalat ashar.
Shalat isya ditarik ke shalat maghrib dengan cara mengerjakan
shalat maghrib dahulu kemudian mengerjakan shalat isya.
Contoh jama' ta'khir misalnya, shalat zhuhur yang ditarik
ke ashar dengan cara mengerjakan shalat ashar dahulu baru
kemudian mengerjakan shalat zhuhur yang tertinggal tadi,
mungkin karena pasien tertidur, lupa atau belum sadar. Untuk
maghrib dan isya, shalat maghribnya yang ditarik ke waktu isya,
dengan cara shalat isya dahulu baru kemudian mengerjakan
shalat maghrib yang tertinggal tersebut.
Dari keadaan di atas maka shalat yang dapat dijama'
adalah zhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya. Ashar
dengan maghrib jelas tidak bisa dijama' demikian pula shalat
subuh tetap dikerjakan sendiri pada waktunya.
Jika pasien masih keberatan dengan menjama' karena
jumlah rakaatnya cukup melelahkan, maka pasien dapat
100
melakukannya dengan cara meng-qashar, yaitu meringkaskan,
memotong dan mengurangi jumlah rakaat dari shalat yang empat
rakaat masingmasing menjadi dua rakaat tanpa tasyahud awal,
dua rakaat langsung selesai. Shalat yang dapat di-qashar, yaitu
shalat: zhuhur, ashar dan isya masing-masing menjadi hanya dua
rakaat. Adapun maghrib dan subuh tidak dapat dilakukan dengan
teknik gashar melainkan tetap dilakukan seperti biasa dengan
jumlah rakaat yang tetap.
Keringanan yang ketiga adalah dengan cara menggabung
teknik keduanya jama'-qashar, yaitu pasien dapat melakukan
jama' sekaligus melakukan qashar. Caranya: jadikan shalat yang
jumlah rakaatnya empat masing-masing menjadi dua rakaat
yaitu zhuhur, ashar dan Isya (inilah teknik meng-qashar),
kemudian gabungkan dua shalat yang dapat digabungkan baik
dengan jama' taqdim maupun ta'khir (inilah teknik jama'). Yang
perlu diingat adalah dengan cara ketiga ini berarti zhuhur dengan
ashar hanya menjadi empat rakaat, sedangkan isya dengan
maghrib menjadi lima rakaat karena maghrib tetap tiga rakaat
sedangkan isya menjadi dua rakaat. Shalat subuh tetap begitu
adanya karena selain tidak dapat dijama', juga tidak dapat di-
qashar, sedang maghrib dapat dijama' dengan isya tetapi tidak
dapat di qashar.
Demikianlah berbagai keringanan dari ketentuan agama
yang telah disampaikan melalui sabda nabi:
"Sesungguhnya agama ini mudah (diturunkan untuk
memudahkan) dan tidak mempersulit seseorang kecuali ia
mampu (tahu) mengerjakannya."
Jika terdapat pasien yang tertinggal shalatnya karena
tertidur, belum sadar karena pingsan atau masih terbius,
misalnya pasca operasi, kemudian dia sadar dan terjaga lalu ingat
101
akan shalat, yang harus diketahui oleh keluarga, perawat medis
atau perawat ruhani adalah wajib pasien tersebut melaksanakan
shalat yang ditinggalkannya, hal ini didasarkan kepada sabda
nabi:
"Barangsiapa tertidur dan lupa shalat maka hendaklah ia shalat
di kala dia ingat dan baginya tidak ada denda kecuali melakukan
shalat."
Dari hadis ini jelas jika pasien atau orang sakit yang baru
terjaga dari pingsan atau dari tidurnya kemudian menyadari
belum melaksanakan shalat, dia harus melaksanakan shalat
waktu itu juga, tidak boleh menunggu sampai datang waktu
shalat berikutnya. Jika pasien lupa sedang ia sudah terjaga,
keluarga, perawat medis atau perawat ruhani harus
menanyakannya apakah ada shalat yang tertinggal atau belum
mengerjakan shalat. Demikianlah berbagai hal yang berlaku
dalam ketentuan shalat bagi pasien.
107
5. Shalat dengan tetap mengenakan sepatu, sandal dan lain-
lain.
Pasien yang shalat dengan mengenakan sepatu, sandal
atau kaos kaki selagi bersih tidak membatal shalatnya.
Apabila keadaan darurat sedang dalam sepatu, sandal
atau kaos kaki terdapat najis dan sulit untuk dibersihkan,
pasien boleh shalat dengan tetap mengenakan barang
tersebut.
6. Beberapa kesimpulan terkait dengan shalat pasien
a. Pahami dan perdalam ketentuan cara shalat pasien.
b. Ada beberapa keringanan dalam pelaksanaan shalat
bagi pasien.
1) Keringanan dalam posisi pelaksanaan:
a) Berdiri (hukum asal bagi yang mampu)
b) Duduk:
(1) Duduk dengan sujud biasa (iftirasy dan
tawaruk).
(2) Duduk saja (iftirasy atau tawaruk)
c) Berbaring (gerakan dan isyarat)
d) Terlentang (gerakan dan isyarat)
e) Dalam hati.
2) Bentuk keringanan dalam waktu dan cara
penunaian
a. Jama'
a) Jama' Takdim
b) Jama' Ta'khir
b. Qashar
c. Qadha
c. Sharing dan Tugas
108
Merumuskan SOP Shalat:
1) Segi Posisi
a) Duduk
b) Setengah Duduk
c) Berbaring
d) Isyarat/dalam hati.
2) Segi keringanan waktu:
a) Jama'
b) Qashar.
BAB 6
PERAWATAN DAN PEMENUHAN
IBADAH TAMBAHAN PASIEN
A. Batasan Pengertian
Ibadah tambahan adalah ibadah selain ibadah pokok
yang dapat dilaksanakan oleh pasien selama ia berada di rumah
sakit. Jenis ibadah tambahan yang dapat dilakukan oleh pasien
sesuai dengan kemampuan pasien yaitu: (1) Doa dan dzikir,
109
(2) Tilawah atau membaca al-Qur‟an, (3) Shalat Sunnah , (4)
Shaum Sunnah (5) Bibliotherapy.
110
Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahanam dalam keadaan hina dina.
Isyarat wajibnya berdo‟a didapat dari bentuk kata dalam
ayat di atas adalah dalam bentuk amr yaitu perintah, dimana
setiap bentuk perintah hukum asalnya adalah wajib. Ayat ini juga
menegaskan bagi siapa saja yang tidak berdoa maka Allah
menganggapnya sebagai orang yang sombong dan diancam
dengan neraka jahanam (Sambas dan Sukayat, 2002:37).
Sedangkan sumber doa bermacam-macam yaitu:
a) Doa yang bersumber dari al-Qur‟an, modelnya ada
empat:
(1) Dengan redaksi yang langsung dibuatkan oleh
Allah.
(2) Do‟a para nabi yang diberitakan kembali oleh
alQur‟an.
(3) Do‟a yang diperintahkan secara eksplisit dalam
bentuk kalimat perintah kemudian diredaksikan kembali
dalam bentuk kalimat do‟a oleh penerima perintah do‟a.
(4) Do‟a dengan Asma al-Husna.
b) Do‟a warisan para nabi.
c) Do‟a dari para shahabat, tabi‟in dan tabi‟ittabi‟in.
111
d) Do‟a dari kaum salãf al-shalih serta ulama-ulama dan
para ahli tashawuf.
e) Do‟a yang bersumber dari „urf yang tidak bertentangan
dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah dan tidak mengandung
kemusyrikan.
Bagi orang sakit do‟a memiliki dua fungsi, yaitu fungsi ikhtiar
dan fungsi obat. Do‟a merupakan salah satu ikhtiar, yaitu ikhtiar
memohon pertolongan Allah selain ia juga berikhtiar dengan
cara mencari pengobatan. Sedangkan fungsi doa sebagai obat
telah banyak dibuktikan oleh berbagai penelitian, hingga salah
seorang ilmuwan peraih hadiah nobel
Alexis Carrel mengatakan bahwa kegunaan do‟a bisa dibuktikan
sama validnya dengan pembuktian dalam bidang Fisika (Anwar,
2002:113).
Banyak orang mengira bahwa fungsi do‟a dan dzikir itu hanya
bersifat ritual, sugesti, sarana katarsis, saluran rasa frustrasi
bahkan dianggap sebagai placebo atau sebagai obat tipuan atau
bohongan. Padahal do‟a juga dapat memiliki efek terapi
terhadap berbagai penyakit fisik termasuk kepada penyakit fisik
pasien sehingga dapat membantu kesembuhan pasien.
Hal ini terjadi karena efek terapi do‟a dalam agama bahkan
tidak dibatasi secara tegas terhadap penyakit fisik atau untuk
penyakit kejiwaan saja. Ini menunjukan bahwa menurut ajaran
agama do‟a memiliki peluang efek terapi baik terhadap penyakit
kejiwaan maupun terhadap penyakit fisik. Dengan kata lain do‟a
dapat berperan dalam psikoterapi bahkan terhadap somatoterapi
yaitu terapi terhadap tubuh manusia. Pendapat ini di dasarkan
kepada analisis para ahli tafsir ketika menguraikan surat al-Isra
(17):82
112
Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi
penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan
Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang
zhalim selain kerugian.
Menurut Muhammad Husain al-Thabathaba‟i (Jilid
XIII,1397:195), kata syifa dalam ayat tersebut mengandung
makna terapi ruhaniyah dan jasmaniyah. Sedangkan Muhsin
alFaydh al-Kasyani (Jilid III, 1091:213) menegaskan bahwa
lafal-lafal al-Qur‟an dapat menyembuhkan penyakit badan,
sedangkan makna-maknanya dapat menyembuhkan penyakit
jiwa. Pendapat ini dikuatkan juga Ibnu Qayyim al-Jauzi
(1992:52-53) yang menyebutkan bahwa bacaan ayat-ayat al-
Qur‟an mampu mengobati penyakit jiwa dan badan manusia.
Pendapat di atas dikuatkan dengan penemuan Proffesor
al-Amiri yang mengajukan teori pengaruh sebagai berikut:
1. Fisik dapat mempengaruhi Fisik (obat terhadap tubuh)
2. Fisik dapat mempengaruhi Non Fisik (Obat
Psikotropika terhadap Jiwa)
113
3. Non Fisik dapat mempengaruhi Fisik (Do‟a terhadap
tubuh)
4. Non Fisik dapat mempengaruhi Non Fisik (Do‟a
terhadap Sihir).
Dari teori ini dapat dilihat bahwa do‟a sebagai sesuatu
yang non fisik dapat mempengaruhi dua hal sekaligus yaitu fisik
tubuh manusia dan sisi kejiwaan manusia. Dengan demikian
do‟a dapat membantu dua hal sekaligus terhadap pasien, yaitu
kesembuhan fisik dan kesembuhan kejiwaan. Dengan kata lain
do‟a dapat dijadikan alat intervensi terhadap kejiwaan pasien
karena jiwa sebagai yang non fisik akan mudah diintervensi
dengan do‟a sebagai sesuatu yang juga non fisik. Keuntungan
kedua do‟a juga sekaligus dapat memberikan efek bagi
kesembuhan penyakit fisik pasien.
Dalam sejarah agama-agama do‟a telah terbukti
membantu proses penyembuhan berbagai penyakit. Sementara
dalam kenyataan sampai saat ini bahkan sampai masa
mendatang banyak orang yang telah membuktikan peran do‟a
dalam proses penyembuhan penyakit hingga terdapat
contohcontoh ekstrim dimana berbagai penyakit yang lolos dari
terapi fisik medis (somatoterapi) ternyata dapat sembuh hanya
dengan bantuan do‟a. Ini membuktikan bahwa do‟a memiliki
energi terhadap kesembuhan. Persoalannya adalah banyak orang
yang meyakini fungsi do‟a terhadap terapi, tetapi sedikit yang
dapat memahami dan menggunakan fungsi do‟a tersebut
terutama fungsi terapi dari do‟a dalam proses membantu
penyembuhan penyakit (Arifin, 2009: 66-68). Padahal dengan
ditemukannya berbagai do‟a secara spesifik bagi
penyakitpenyakit fisik tertentu adalah salah satu bukti otentik
114
bahwa do‟a sejak diturunkannya memang telah memiliki efek
terapi terhadap berbagai penyakit fisik.
Menggunakan do‟a untuk kesembuhan penyakit-
penyakit tertentu terutama yang terkait dengan gangguan jin atau
perbuatan sihir dinamakan ruqyah yang telah dikenal sejak
zaman sebelum Rasulullah saw. Karena itu Rasulullah
mengajarkan bagaimana tuntunan me-ruqyah berdasarkan
ketentuan syari‟at. Menurut al-Qahthani (Terj. Ibnu
Burdah,2002:166-168) terdapat hadits dalam Kitab Sunan Ibnu
Majah yang meriwayatkan, bahwa kata ruqyah sendiri berdasal
dari kata-kata malaikat Jibril ketika mendoa‟kan Rasulullah saat
sakit dengan kalimat do‟a:
Bismillãhi arqîka min kulli syai-in yudzîka min hasadi hãsidin
wa min kulli dzî a‟inin Allãhu yasfîka
(Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu dari
segala sesuatu yang menyebabkanmu sakit, yakni dari
kedengkian pendengki dan dari setiap sihir).
Dilihat dari bentuk kebutuhannya doa-doa yang
diperlukan bagi pasien terbagi kepada dua kelompok do‟a, yaitu:
(1) Kelompok Do‟a Umum. (2) Kelompok Do‟a Khusus
Kelompok Do‟a Umum terdiri dari : (1) do‟a sebelum tidur dan
sesudah bangun tidur atau sebelum pembiusan dan setelah sadar
dari pembiusan, (2) do‟a masuk dan keluar toilet, (3) do‟a masuk
dan keluar mesjid, (4) do‟a sebelum dan sesudah makan, (5)
do‟a berpakaian.
Kelompok Do‟a Khusus terdiri dari: (1) do‟a
perlindungan dari kejahatan syetan dan sihir, (2) dzikir ketika
sedang sakit, (3) do‟a mohon disembuhkan untuk diri sendiri dan
orang lain, (4) do‟a bagi pasien luka bakar, (5) do‟a bagi pasien
115
demam tinggi dan mengigau, (6) do‟a sebelum minum obat, (7)
doa‟ bagi pasien susah tidur atau insomnia, (8) do‟a pasien yang
tidak bias buang air kecil, (9) do‟a minta terlindung dari
penyakit menular, (10) dzikir dan do‟a untuk penyakit epilepsy,
(11) do‟a untuk pasien frustrasi, (12) do‟a ketika akan
melahirkan atau operasi, (13) do‟a melahirkan dengan selamat,
(14) do‟a dengan melahirkan bayi cacat atau meninggal, (15)
do‟a menghadapi sakaratulmaut, (16) do‟a setelah pasien
meninggal.
Proses pelayan do‟a terhadap pasien di Rumah Sakit
dapat dilakukan dengan beberap prinsip sebagai berikut:
1. Dilakukan secara professional oleh perawat di Rumah
Sakit sesuai dengan agama dan kepercayaan pasien.
2. Pada prinsipnya pelayanan do‟a bukan bermaksud
mengubah keyakinan agama pasien, melainkan
menguatkan kekuatan bathin pasien untuk membantu
proses kesembuhan bersama-sama terapi lainnya.
Konsekuensinya perawat aspek ini harus memiliki
kelebihan, yaitu fasih melafalkan dan mampu
mendo‟akan pasien.
3. Memiliki kode etik dan protap yang jelas
4. Pelaksana professional ini dapat diambil dari perawat
medis dengan plus diberi pendidikan mengenai Askep
Rohis.
Sedangkan beberapa cara memberikan pelayanan do‟a
kepada pasien yaitu:
(a) Pasien dituntun untuk bersama-sama melafalkan do‟a
oleh perawat
(b) Pasien hanya menga-amini do‟a yang dibacakan perawat
116
(c) Pasien sendiri disuruh berdo‟a yang ia bisa, perawat
meng-amini
(d) Pasien diberi berbagai tulisan do‟a oleh perawat untuk ia
pilih melafalkannya sesuai kebutuhan, dibimbing oleh
perawat
(e) Pasien diberi tulisan/buku do‟a untuk dibaca tanpa
disaksikan oleh perawat
(f) Perawat secara khusus mendo‟akan pasien pada
waktuwaktu khusus, misalnya ketika dirumah, dimesjid,
atau di tempat perawat, baik perorangan maupun secara
bersama-sama perawat lain
(g) Pelayanan do‟a dapat mengambil waktu khusus, aktifitas
khusus, atau kejadian khusus, saat kritis, saat
pendampingan atau kapan saja ketika dibutuhkan oleh
pasien atau keluarga.
(h) Untuk kepentingan terapi sebaiknya do‟a dibaca sesering
dan sebanyak mungkin
118
َاى اللَََ ال
ِ َُُس جَُْ طِ له َ َََالل
ْي
َ س ِذ ْ ْ
ِ لحَُ ع ََو َل ال ُوف
ِ َْ ُص
D. Biblioterapi 1. Pengertian
Biblioterapi berasal dari dua suku kata yaitu kata biblion
dan therapeia. Biblion berarti buku atau bahan bacaan,
sedangkan therapeia artinya penyembuhan. Dari analisis kata ini
biblioterapi dapat diartikan sebagai upaya penyembuhan melalui
bahan bacaan atau buku. Bahan bacaan dalam biblioterapi
119
berfungsi untuk mengalihkan orientasi pikiran negatif dan
memberikan pandangan-pandangan yang positif sehingga
menggugah kesadaran penderita untuk bangkit menata hidupnya
dan pada gilirannya membantu mempercepat proses
penyembuhan. Dalam konteks pemanfaatannya kata biblion
mengandung makna yang luas bukan hanya bahan bacaan dalam
buku, maka arti biblioterapi juga dapat mencakup apapun yang
terbaca, terlihat, tersimak oleh pasien dan berefek terapi.
Biblioterapi dapat diartikan juga sebagai program
membaca terarah yang dirancang untuk meningkatkan
pemahaman pasien dengan dirinya sendiri dan untuk
memperluas cakrawala budayanya serta memberikan
beranekaragam pengalaman emosionalnya. Bacaan-bacaan
seperti itu biasanya diarahkan oleh terapis. Terapi dengan
membaca ini utamanya digunakan untuk menyembuhkan
penderita stres, depresi dan kegelisahan (anxiety) atau
mengubah cara pandang pasien terhadap penyakit yang
dideritanya. Terapi ini menggunakan ruangan di perpustakaan
dengan berbagai macam buku yang sifatnya memberi motivasi
kepada pasien, atau terapist membawa buku kepada pasien jika
pasien tidak dapat bergera ke ruang perpustakaan.
Secara umum, ada empat kategori bahan bacaan atau
buku yang dapat digunakan dalam biblioterapi:
Kategori yang pertama adalah buku yang mengandung
manual eksplisit self-help. Buku tersebut didesain untuk
memungkinkan orang-orang memahami dan memecahkan
masalah tertentu dalam hidup mereka melalui tuntunan dan
langkah-langkah dalam buku tersebut. Tipe buku self-help ini
biasanya mengandung latihan, saran tindakan, oleh karena itu
sering kali dianggap berorientasi behaviorial.
120
Kategori yang kedua adalah buku teks, biasanya
berkenaan dengan topik-topik psikologis tertentu, yang secara
esensial mendiskusikan ide dan pengalaman ketimbang
berorientasi secara eksplisit ke arah perubahan perilaku.
Misalnya buku manajemen stress, memahami perilaku penderita
stroke, hidup dengan HIV/AIDS, dan lain-lain.
Tipe ke tiga adalah berbentuk novel, baik novel yang di
gali dari pengalaman nyata penulisnya, atau pengalaman orang
lain yang di tulis oleh seorang penulis. Pengalaman ini biasanya
terkait dengan dunia orang sakit dan penyakit. Misalnya
bagaimana kisah “true story” seorang penderita kanker ganas
yang sudah di vonis mati oleh dokter tetapi ia dapat bertahan
hidup bahkan ajaib. Kisah ini ia tuangkan sendiri ke dalam
sebuah novel, diharap dengan isi tulisan ini banyak orang
penderita penyakit sejenis dapat tetap optimis berjuang. Dan
masih banyak lagi jenis-jenis novel serupa yang terkait dengan
berbagai penderitaan penyakit seperti penderita schizofren,
penderita kusta, dan lain-lain.
Ke empat adalah pengembangan mutakhir
dari biblioterapi di rumah sakit adalah memamfaat berbagai
bentuk leaflet, brosur, bahan bacan dalam bentuk tips-tips
ringan, bahkan memanfaatkan seni kaligrafi dengan sumber
dari kitab suci, hadits Nabi, kata-kata bijak dan lain-lain yang
dapat membangkitkan motivasi kesembuhan bagi pasien.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian Jenis atau tingkat
masalah yang dapat diselesaikan dengan tehnik biblioterapi
adalah :
1. Masalah keseharian.
2. Masalah pendidikan.
3. Masalah pekerjaan.
121
4. Masalah kesehatan.
5. Masalah sosial.
Wujud masalah tersebut seperti tidak tahu cara belajar yang
efektif, sulit menghilangkan rasa malu, tidak mampu bersikap
asertif, kurang percaya diri, sulit menurunkan berat badan,
menghilangkan kebiasaan merokok atau ketergantungan pada
alkohol. Bgai pasien-pasien di rumah sakit banyak yang
mengilhami pasien yang menderita penyakit berat dan mereka
dapat bangkit, bertahan bahkan sembuh seperti: kanker, tumor,
stroke, cacat dan lain-lain.
124
5. Evaluasi. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara mandiri oleh
peserta. Hal ini memancing peserta untuk memperoleh
kesimpulan yang tuntas dan memahami arti pengalaman yang
dialami.
126
BAB 7
BIMBINGAN PENASEHATAN (TADZKIRAH)
KONSULTASI DAN KONSELING
130
B. Konsultasi dan Konseling
Konsultasi dan konseling diberikan kepada pasien
setelah pemberian bimbingan tadzkirah atau dalam
keadaankeadaan tertentu yang membutuhkan berdasarkan
kepada informasi baik yang didapat dari RDPK secara berkala
maupun dari laporan perawat yang bersifat insidental.
Konsultasi adalah pembicaraan biasa yang berisi tanya
jawab karena pasien tidak mengetahui sesuatu atau minta
penjelasan mengenai sesuatu, biasanya bersifat informatif dan
tidak banyak menyangkut masalah psikologis. Misalnya hal-hal
teknis mengenai masalah berobat, masalah teknis ibadah, dan
masalah lain yang kadang tidak terkait masalah spiritual.
Sedangkan konseling adalah bedialog secara intensif
dengan pasien menyangkut berbagai kebingunan pasien dari
mulai masalah di rumah, masalah kesulitan biaya dan tekanan
dalam berobat, masalah ibadah, masalah rumah tangga, masalah
mistik, masalah keyakinan agama dan berbagai masalah lainnya
yang dirasa sangat mengganggu kondisi kejiwaan pasien.
Umunya pasien yang membutuhkan konseling ingin berbicara
berlama-lama, akan tetapi hal itu tidak dapat dilakukan karena
dapat mengganggu pasien lain, lagi pula suka terdapat pasien
yang kadang-kadang kalau sudah membuka masalahnya sulit
untuk dihentikan sehingga diperlukan cara untuk
menghentikannya atau ditanya langsung apa masalah intinya.
Apalagi konseling dilakukan di tempat tidur pasien karena
memang pasien tidak bisa kemana-mana. Dalam hal ini jika
dilihat dari jenis pasien yang meminta konseling terdiri dari tiga
jenis pasien yaitu: a) Pasien Umum
131
Konseling untuk pasien umum adalah pemberian konseling
kepada pasien dengan berbagai masalah di atas yang dianggap
telah menimbulkan beban psikologis yang masih ringan.
b) Pasien Berkebutuhan Khusus
Konseling untuk pasien berkebutuhan khusus adalah konseling
kepada pasien yang memiliki berbagai hambatan atau gangguan
yang berat baik akibat gangguan penyakit berat yang diderita,
gangguan kejiwaan, kesurupan, pasien-pasien di Instalasi Gawat
Darurat, HCU dan ICU, pasien-pasien terminal atau menjelang
sakaratul maut yang disebut dying care.
c) Perawat
Konseling untuk perawat memang tidak dilakukan secara
intensif dan berkala tetapi biasa dilakukan dalam pertemuan-
pertemuan mentoring atau pengajian bulanan atau ada perawat
yang meminta secara pribadi, berupa curahan hati (curhat)
perawat kepada bagian ruhani. Padahal masalah beban
psikologis perawat tidak kalah beratnya dengan pasien. Petugas
rohani juga kadang merasa kewalahan dengan isi curhat para
perawat. Isi materi curhat ini terutama mengenai berbagai
problema di lapangan, berbagai ganjalan dan ketidakpuasan
dalam melaksanakan tugas, konflik dengan manajemen dan
teman, masalah dirumah hingga masalah pribadi. Untuk
mengatasi berbagai tekanan psikologis yang dialami perawat dan
karyawan, maka rumah sakit seharusnya memberikan layanan
bimbingan rohani untuk perawat dan karyawan misalnya dalam
bentuk mentoring dan pengajian bulanan yang diselenggarakan
pada tiap unit atau instalasi, atau waktu khusus sesuai kebutuhan.
Pengertian konsultasi dan konseling seperti yang
diungkap di atas memang bukan merupakan definisi operasional
mengenai keduanya, akan tetapi secara substansi, maknanya
132
telah mewakili inti kegiatannya. Winkel menyebut ada enam
komponen penting dalam program bimbingan dan konseling
yaitu: (1) pengumpulan data, (2) pemberian informasi, (3)
penempatan, (4) konseling, (5) konsultasi, (6) evaluasi. (W.S.
Winkel, 1991:129-136). Kata konsultasi dapat berarti pertukaran
pikiran untuk mendapat petunjuk atau pertimbangan, baik
berupa kesimpulan, nasihat atau saran yang sebaik-baiknya
dalam memecahkan masalah atau memutuskan sesuatu. Dalam
pengertian yang lebih umum dan sederhana konsultasi dapat
diartikan sebagai nasihat dari seorang yang profesional yang
disebut konsultan. Nasihat ini terutama diberikan ketika
dibutuhkan oleh orang yang membutuhkan atau berkonsultasi
yang disebut konsulti. Dalam lingkungan dunia bimbingan
konsultan tersebut adalah seorang ahli dalam bimbingan dan
konseling yaitu konselor. Penegasan ini penting karena istilah
konsultasi dan konsultan telah digunakan secara luas diluar
bimbingan dan konseling (Arifin, 2006:9-10).
Dari perspektif bimbingan dan konseling di rumah sakit
menurut Robert Bor setidaknya ada empat bentuk pelayanan
yang harus dipertimbangkan, yaitu layanan: (1) Bimbingan, (2)
Konseling, (3) Kolaborasi dan konsultasi, (4) Psikoterapi.
Kolaborasi dan konsultasi harus dilakukan karena
konselor tidak dapat berdiri sendiri, melainkan ia harus
bekerjasama bersama profesional lain, sedangkan konsultasi
menurut Bor dapat dilakukan bukan hanya oleh pasien saja
kepada konselor melainkan oleh pihak yang membutuhkan
keterangan dan penjelasan kepada pihak lain yang terkait.
Karena itu istilah konsultasi dalam konseling di rumah sakit
dapat meliputi ranah yang luas yang dapat saja dilakukan justeru
oleh konselor manakala ia membutuhkan penjelasan pihak lain
133
yang dibutuhkan, sedangkan cakupan bidang konsultasi dapat
meliputi berbagai aspek dari mulai urusan pasien, urusan antar
profesional hingga urusan manajemen bangsal. Dileep Kumar
bahkan memperluas jangkauan layanan konseling dalam setting
rumah sakit kedalam organisasi rumah sakit secara lebih luas.
Sehingga berbagai masalah utama dalam organisasi rumah sakit
seperti kurangnya kekompakan kelompok, konflik peran,
ketidaksinambungan (mismatch) peran, perasaan
ketidaksetaraan, ambiguitas peran, kendala pembagian
peraturan, ketidakpuasan kerja, masih berada dalam ranah
konseling rumah sakit dan dalam lingkup itu dapat terjadi
konsultasi (Dileep Kumar,
http://www.indianmba.com/Faculty_Column/FC289/fc289.htm
l/2009).
Konseling untuk pasien di rumah sakit tidak dapat
dilakukan dalam sessi yang panjang dan lama melainkan harus
dalam waktu yang singkat dan tepat mengenai masalah yang
dibutuhkan oleh pasien. Karena itu dikenal istilah brief focused
counseling yaitu konseling yang singkat tetapi terfokus kepada
inti permasalahan, dan bila perlu dilakukan dengan single
session, atau sessi konseling tunggal, hal ini sangat membantu
terutama untuk pasien rawat inap yang tidak lama tinggal di
rumah sakit.
134
BAB 8
KONSELING PASIEN BERKEBUTUHAN KHUSUS
A. Batasan Pengertian
Yang dimaksud pasien berkebutuhan khusus adalah pasien
yang memerlukan intervensi dan layanan yang berbeda dengan
pasien umumnya karena kondisi atau keadaan tertentu dan
dipandang perlu melakukan intervensi atau tindakan khusus dan
mendesak berdasarkan validasi yang berwenang seperti dokter,
kepala perawat, kepala bangsal dan lain-lain yang memiliki
kewenangan.
136
Aku melihat Rasulullah saw menjelang wafatnya. Di sisi
beliau terletak mangkuk berisi air. Beliau masukkan tangannya
ke mangkuk itu, lalu diusapkan ke mukanya, sambil beliau
berdoa : Allãhumma ai‟nnî „alã ghamarãt al-maût aw sakarãt al-
maût Artinya: “Ya Allah, tolonglah aku (dalam menghadapi)
kesengsaraan menjelang ajal atau sakaratil maut.
Menurut Ibnu Hamzah al-Husaini (2003:290-291), kata
ghamarãtulmaut berarti kesengsaraan dan kepedihan
(psikologis) luar biasa menjelang ajal, sedang kata
sakarãtulmaut berarti keadaan mabuk atau kesakitan yang
dirasakan (fisik) menjelang mati, sedemikian hebatnya sehingga
dapat menghilangkan kesadaran. Sakarãtulmaut lebih sakit
dibanding ghamarãtulmaut sebagai gambaran seseorang yang
sudah tidak akan sanggup lagi berkomunikasi dan berbuat
apapun akibat merasakan penderitaan yang hebat sekali, karena
itu Rasulullah saw mencontohkan untuk membaca doa di atas.
Adapun perintah membacakan kalimat tahlil kepada telinga
orang yang menjelang sakaratulmaut maknanya mengandung
dua tujuan, tujuan pertama memenuhi perintah hadits Nabi saw
yang artinya: “Ajarilah orang-orang kamu yang hampir mati
kalimah Lã ilãha illallah (HR.Jama‟ah kecuali Bukhari)
(Shahih Muslim, Jilid I, Kitab al-Janãiz, bab Talqîn al mautã,
hal:404)
Sebagian ulama berpendapat talqin itu hukumnya wajib, hal ini
didapat dari asal kata hadits tersebut dalam bentuk fi‟il amr yaitu
laqqinû (talqinilah). Dalam kaidah bahasa setiap bentuk amr
hukum asalnya adalah wajib, maka karena bentuk perintah talqin
itu adalah amr, maka ia bersifat wajib. Selanjutnya yang kedua
adalah mengisi makna talqin itu sendiri, ada dua makna talqin
yaitu memperingatkan dan menuntun, makna yang kedua inilah
137
yang sering dipilih yaitu menuntun agar yang mati mengikutinya
mengucapkan kalimah tahlil. Hal ini sejalan dengan hadits yang
lain dari Mu‟adz bin Jabal berkata bahwa dia mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa akhir perkataannya
mengucapkan Lã ilãha ilallah pasti ia masuk sorga”. (HR
Tirmidzi, Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Jilid II, Kitab Al-
Janãiz, bab Mã jã‟a fî talqîn al-marîdh „inda al-maut, hal:293)
Dari makna menuntun dan semangat bagaimana agar yang
meninggal mengucap kalimah tahlil, sesungguhnya dalam
bimbingan talqin terletak perjuangan antara dua pihak, yaitu
pihak yang menuntun dan pihak yang dituntun, kedua semangat
inilah yang harus difahami secara fenomenologis dalam bentuk
komunikasi transendental untuk mencapai tujuan dying care
dalam Islam yaitu husn al-khãtimah. Dengan demikian
bimbingan talqin dalam bimbingan dan konseling Islam
sesungguhnya memberikan pesan-pesan spiritual yang dalam,
pertama untuk memaknai siklus hidup dalam Islam yang harus
dimulai dengan kalimah tauhid saat lahir melalui adzãn dan
iqãmat, dan mengakhiri hidup dengan menutupnya melalui
kalimah tauhid, itulah hakikat makna dying care dalam Islam.
Yang kedua substansi dying care dalam bimbingan dan
konseling Islam ukurannya bukan hanya sekedar meninggal
dengan „tenang‟ melainkan terucapnya atau mengikutinya yang
meninggal terhadap kalimah tahlil diakhir hayat, apakah dengan
perkataan yang jelas, atau bahkan hanya dengan isyarat, atau
bahkan hanya dengan keyakinan bahwa yang sekarat itu tetap
mendengar tuntunan kalimah tahlil. Sebab jika targetnya hanya
kriteria mati dengan tenang dalam tradisi kedokteran Barat saat
ini dapat diupayakan, misalnya dengan menyuntikan morfin saat
sekarat atas permintaan pasien sendiri terhadap dokternya agar
138
si pasien tidak sedikitpun mengalami kesakitan terutama pasien-
pasien yang mengalami kesakitan luar biasa seperti kanker, dan
hal ini dibenarkan dalam etika kedokteran Barat.
Selanjutnya, dalam bimbingan sakaratul maut, pembimbing
ruhani diharuskan untuk mendoakan mayat, menurut Imam
Nawawi (tt:131) dalam Kitab al-Adzkãr hal ini sejalan dengan
salah satu riwayat hadits dalam Shahih Muslim dari Ummu
Salamah dia berkata:
Rasulullah saw masuk kedalam rumah saat itu Abi Salamah
tengah dalam keadaan sakaratulmaut bahkan matanya sudah
terbalik keatas, Rasul memeriksanya, kemudian beliau berkata:
sesungguhnya bila ruh telah pergi maka ia diikuti oleh belalakan
mata, maka Rasul berkata-kata kepada sanak saudaranya,
janganlah kalian berkata-kata yang lain selain perkataan yang
baik karena sesungguhnya para malaikat akan meng‟amini‟
perkataan baik yang kalian ucapkan. Setelah itu kemudian
Rasulullah berdoa: “Ya Allah ampunilah Abi Salamah,
angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang mendapat
petunjuk, berilah pengganti bagi keluarga yang
ditinggalkannya. Dan ampunilah kami dan dia wahai Tuhan
seru sekalian alam, luaskanlah di alam kuburnya, dan
terangilah didalamnya.
Makna spiritual riwayat ini jelas mengandung hakikat yang
dalam bahwa hubungan antara yang hidup dengan yang telah
mati tidak putus begitu saja. Ini menggambarkan bahwa dalam
dying care menurut bimbingan dan konseling Islam, bimbingan
terhadap ruh bahkan masih terus berlanjut dalam bentuk doa.
Pada saat yang bersamaan doa Rasulullah saw itu sekaligus
memberi arahan bahwa dalam konseling Islam yang perlu
diperhatikan bukan hanya yang meninggal melainkan juga
139
adanya keharusan memberikan bimbingan, spirit, dan doa bagi
keluarga yang ditinggalkan yang secara psikologis memang akan
terguncang bahkan sering mengalami histeris.
Ada tiga fase kondisi psikologis bagi keluarga yang ditinggal
kematian yaitu: (1) shock and disbeliefe, yaitu kondisi
terguncang dan bahkan tidak percaya (2) developing awarness,
yaitu tahap mulai mengembangkan kesadaran(3) resolving the
lost, yaitu fase memulihkan rasa kehilangan. Konselor rumah
sakit harus faham betul mengenai kondisi ini, sebab dalam
kenyataannya betapa tidak mudah melakukan konseling dalam
situasi seperti ini karena banyak hal yang kadang tidak terduga
dan diluar kendali terutama dari pihak keluarga yang
ditinggalkan.
Dari pemaparan di atas secara keseluruhan menggambarkan
bahwa dari mulai pasien masuk kepada kondisi terminal hingga
dying atau tahapan sakaratul maut memang sangat
membutuhkan bantuan dan bimbingan konselor. Hal ini sejalan
dengan pendapat Kubler-Ross (1969,1974) ada lima tahapan
yang dialami pasien yang menghadapi kematian, yaitu (1)
denial, yaitu tahapan mengingkari atau menyangkal, (2) anger,
marah , (3) bargaining yaitu tawar menawar, (4) depresi, dan (5)
tahap penerimaan. Meskipun begitu pendapat Kobler-Ross ini
banyak yang mengkritik. Hinton (1963) misalnya menyebut
bahwa sejak awal pasien sebenarnya telah mengalami ansietas
hingga tahap akhir, Sedangkan Benton (1978) mengkritik karena
metode penelitian observasinya bersifat subyektif. Terlepas dari
semua kritik tersebut pendapat Kubler-Ros tetap dapat
digunakan sebagai landasan mengkaji dan mengantisipasi
kebutuhan pasien sakaratulmaut yang intinya membutuhkan
bantuan (S. Hamid, 2000:51).
140
C. Pasien Berkebutuhan Khusus Lainnya
Pasien-pasien berkebutuhan khusus lainnya adalah
mereka yang menghadapi masa-masa kritis dan sangat
membutuhkan pendampingan, jenis pasien ini yaitu: (1) pasien
dengan vonis penyakit berat hingga kematian, (2) pasien yang
menghadapi operasi baik sebelum atau pasca operasi, (3) pasien
darurat medis atau pasien terminal (Hayse,2009). Pasien-pasien
yang menghadapi masa kritis umumnya mereka menghadapi
rasa takut (ansietas) yang tinggi dengan berbagai bentuk
ungkapannya. Dalam menghadapi masa-masa ini pasien sangat
membutuhkan moral and spiritual support dan pendampingan
dengan bantuan konseling. Sementara itu untuk pasien darurat
medis atau pasien terminal dalam konseling di rumah sakit
dikenal istilah end of life counseling sebagai bagian dari program
end of life planning.
Di beberapa Negara maju end of life counseling telah
lama dikenal, menurut Hayse end of life planning adalah bagian
penting dalam hidup manusia dimana semuanya akan
menghadapi keadaan tersebut sebab kematian bisa datang
dimana saja.
142
b. Hilang Minat pada Hal yang Terkait Agama atau
Spiritual
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi spiritualitas
pasien yaitu: (1) pertimbangan tahap perkembangan, (2)
keluarga, (3)latar belakang etnik dan budaya, (4) pengalaman
hidup sebelumnya, (5) krisis dan perubahan, (6)terpisah dari
ikatan spiritual, (7) isu moral terkait dengan terapi, (8) asuhan
keperawatan yang kurang memadai. Berbagai faktor ini dapat
mengakibatkan adanya pasien yang memiliki sikap tidak
berminat pada hal-hal agama dan spiritual.
143
e. Konversi Agama
Yaitu sikap berpindahnya keyakinan baik dalam
agamanya sendiri maupun terhadap agama diluar keyakinanya
sebagai sebuah proses yang secara bertahap atau terjadi
sekaligus dalam kehidupan keyakinannya. Kondisi tersebut
dapat terjadi pada pasien sebagai akibat dari proses sakit dan
pengobatan yang dialami tetapi kemudian bergeser kepada
wilayah keyakinan.
144
4. Layanan Pemulasaraan Jenazah
Pemulasaraan jenazah adalah tindakan yang dilakukan kepada
yang meninggal meliputi memandikan, mengkafani,
menshalatkan dan menguburkannya. Tujuan dari layanan
pemulasaraan jenazah adalah untuk meringankan keluarga atas
kewajibannya mengurus jenazah. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya tidak selalu pasien yang meninggal di rumah
sakit diberikan layanan pemulasaraan jenazah secara otomatis.
Layanan baru diberikan jika ada permintaan dari pihak keluarga
yang meninggal.
Ada beberapa tahapan dalam layanan pemulasaraan jenazah
yaitu meliputi: memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan
menguburkan, evaluasi, dan dokumentasi. Dari tahapan ini
umumnya hanya sampai kepada tahapan ketiga yaitu
menyalatkan sedangkan proses menguburkan biasanya
diserahkan kepada pihak keluarga. Paling yang dikerjakan pihak
rumah sakit melalui kerohanian adalah mengerjakan evaluasi
dan dokumentasi. Meskipun begitu ada juga keluarga yang
meminta dari pihak rumah sakit yaitu dari bagian rohani dan
perawat yang diminta sampai mengantarkan ke rumah dan
diminta ikut dalam upacara penguburan, tapi itupun jarang
terjadi.
Pemulasaraan jenazah sebenarnya adalah rangkaian dari
kegiatan dying care sebelumnya terutama lanjutan dari proses
bimbingan sakaratul maut dilanjutkan kemudian dengan
pemulasaraan jenazah, sehingga dalam bimbingan dan konseling
Islam kegiatan keduanya sebenarnya tidak terpisahkan. Adapun
145
perintah memandikan jenazah didasarkan kepada hadits dari
Ibnu Abbas ia berkata:
Tatkala seorang laki-laki jatuh dari kendaraannya lalu ia
meninggal, sabda Rasulullah, mandikanlah dia dengan air serta
daun bidara (atau dengan sesuatu yang menghilangkan daki
seperti sabun). (HR. Bukhari dan Muslim).
Masalah memandikan jenazah dalam tradisi fiqh Islam memang
unik, sebab tidak semua jenazah harus dimandikan, artinya ada
kriteria jenazah tertentu yang tidak dimandikan, tidak dikafani,
dan tidak di shalatkan. Menurut Ibn Rusyd dalam Bidãyat al-
Mujtahid Jilid I (tt:164-166) dengan menukil beberapa pendapat
yang menyatakan bahwa setiap jenazah muslim harus
dimandikan, kecuali mereka yang dihukumkan mati syahid.
Akan tetapi penetapan syahid para ulama berbeda pendapat,
bahkan dalam beberapa kasus ditemukan pula keterangan bahwa
Umar r.a. sahabat Rasulullah pernah memandikan, mengkafani,
memberi wewangian dan menyalatinya padahal jenazah tersebut
adalah syahid.
Kasus syahid ini untuk saat sekarang sudah jarang, karena itu
jenazah di rumah sakit umumnya jelas dimandikan. Sedangkan
hukum memandikannya menurut Ibn Rusyd ada dua pendapat
yaitu fardhu kifayah atau sunnah kifayah. Jumhur ulama
menghukumkan fardhu kifayah, sedangkan yang
menghukumkan sunah kifayah adalah mazhab Maliki.
Sedangkan yang memandikan jenazah ketentuannya adalah,
jenazah laki-laki dimandikan dan dikafani oleh laki-laki, jenazah
perempuan dimandikan dan dikafani oleh perempuan,
diutamakan oleh para muhrimnya. Sedangkan dalam keadaan
darurat jika terdapat mayat perempuan sementara disitu lakilaki
146
semua yang bukan muhrim atau terjadi sebaliknya, maka cukup
ditayamumkan saja.
Tahapan berikutnya adalah mengkafani jenazah, untuk
kemudian di shalatkan dan dikuburkan. Hukum mengkafani
adalah fardhu kifayah atas orang yang hidup, diambil dari harta
si mayit sendiri jika ia meninggalkan harta. Jika tidak punya
maka biaya kafannya ditanggung oleh keluarga yang berhak
memberi belanja ketika ia masih hidup. Jika itupun tidak mampu
maka hendaklah diambilkan dari baitul mal, dan jika baitul mal
pun tidak ada maka hal itu menjadi kewajiban kaum muslimin
yang mampu (Rasyid,2004:167). Demikian juga dalam
menyalatkan mayat dan menguburkannya adalah fardhu kifayah
dimana seluruh kaum muslimin memiliki tanggung jawab untuk
ikut membantu mengerjakannya.
Adapun makna-makna spiritual yang terkandung dalam
serangkaian kegiatan layanan jenazah ini menggambarkan
bahwa dalam bimbingan dan konseling Islam di rumah sakit,
dying care adalah merupakan kegiatan yang terdiri dari
serangkaian layanan yang tidak terputus hanya sampai
mengantar pasien di pintu kematian, melainkan masih memiliki
berbagai kewajiban moral dan teologis yang sarat akan makna
spiritual. Inilah letak titik perbedaan antara landasan dasar
layanan bimbingan dan konseling konvensional Barat dengan
landasan dasar bimbingan dan konseling Islam, dimana landasan
dasar teologis menjadi salah satu pijakan penting dalam
menentukan model, bentuk, dan strategi layanan konseling.
Terdapat beberapa landasan dalam bimbingan dan konseling
yang berkembang saat ini yaitu: landasan filosofis, landasan
religius, landasan psikologis, landasan sosial budaya, landasan
ilmiah dan teknologis, dan landasan paedagogis (Prayitno dan
147
Amti,1999:135). Dalam bimbingan dan konseling islam
landasan religius memiliki konsekuensi yang dalam dan
mengikat atas segala landasan yang ada, sebab dimensi religius
begitu luas mengatur semua sisi kehidupan seorang Muslim.
Titik sentral dari ikatan landasan religius dalam konseling Islam
adalah terletak dalam hukum-hukum yang mengatur semua
aspek kehidupan seorang Muslim.
Hukum dalam konteks ini bukan hanya serangkaian aturan etika
yang hanya terkait dengan baik buruk, boleh tidak boleh, pantas
tidak pantas, karena hal ini hanya merupakan salah satu aspek
dari agama, yaitu aspek etika. Hukum yang dimaksud disini
lebih dalam yaitu terkait dengan ahkãm alkhamsah, yaitu
ketentuan hukum yang mengikat setiap mukallaf meliputi:
wajib, sunnah, haram, makruh, mubah beserta turunannya atau
lawannya, seperti halal, bathal, sah, fasad, dan lain-lain, dan hal
ini akan terdapat dalam semua ranah bimbingan dan konseling
Islam tak terkecuali bimbingan dan konseling Islam di rumah
sakit. Dalam konseling perkawinan misalnya, pada bagian-
bagian tertentu tetap akan terkait dengan fiqh munãkahah, dalam
konseling karir akan terkait dengan masalah halal-haram, dalam
konseling rumah sakit akan terkait dengan fiqh musytasyfã dan
fiqh marîdh, yang kesemuanya itu berisi aturan-aturan hukum
fiqh yang sifatnya bertahap dari hanya menganjurkan, melarang,
mengikat, bahkan memaksa.
Sepintas hal ini mungkin terlihat bertentangan dengan beberapa
prinsip bimbingan dan konseling konseling Barat yang tidak
boleh bersifat memaksa tetapi hanya bersifat menganjurkan dan
pilihan akhirnya ada pada konseli. Akan tetapi beberapa sifat
aturan fiqh seperti bersifat mengikat hingga memaksa tujuan
akhirnya adalah tetap menumbuhkan kesadaran manusia,
148
dimana sikap mengikat dan memaksa misalnya, hanya
merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu adanya kesadaran
pada diri pasien.
BAB 9
DASAR-DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING
149
ISLAM
DI RUMAH SAKIT
A. Kerangka Teoritis
Bimbingan dan Konseling dalam setting rumah sakit adalah
merupakan bagian dari konseling dalam setting perawatan
kesehatan, pelaksanaannya memiliki perbedaan dengan
konseling tradisional. Perbedaan tersebut terletak dalam langkah
kerja, cara pandang terhadap pasien dan rahasia pasien sebagai
konseli, praktik kerja dalam bentuk tim secara kolaboratif, juga
sessi konseling yang rata-rata lebih pendek sehingga disebut
single session atau brief focused counseling (Robert Bor, Sheila
Gill,Riva Miller, Amanda Evans, 2009:98). Hal ini dapat
dimengerti karena setting rumah sakit memiliki peraturan kerja
yang serba ketat, waktu yang singkat, dan protokol kerja yang
terpola dalam berbagai bentuk „standard operasional procedure‟
kerja yang baku.
Dalam sebuah proses konseling di rumah sakit sedikitnya akan
melibatkan beberapa orang yang terdiri dari konselor, pasien,
anggota keluarga pasien, terapis medik (dokter, perawat),
psikoterapis (psikiater, psikolog), para pekerja sosial, hingga
manajemen rumah sakit atau manajemen bangsal perawatan.
Mereka semua harus bekerja secara kolaboratif dan multidisplin
dalam menangani pasien dengan berbagai kasus klinis yang
beragam baik dalam bentuk maupun konteks.
Dilihat dari paradigma dan model perawatan terhadap pasien
terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara model
pengobatan medis dan model pelayanan konseling dan
psikoterapi terhadap pasien. Model perawatan medis lebih
bersifat hierarkhis dengan orientasi keahlian. Peran dan
150
partisipasi pasien hanya sebagai penurut terhadap segala macam
protokol perawatan, sehingga pasien tidak memiliki daya tawar
dan berada dalam posisi yang lemah. Dalam kondisi seperti ini
tidak mengherankan praktik layanan bimbingan konseling dan
psikoterapi menjadi „termedikalisasi‟ (Robert Bor et.al: 44).
Sementara itu sasaran dari konseling dan psikoterapi bukan
pada penyakit fisik melainkan kepada problema psikologis dan
berbagai disabilitas pasien dibalik berbagai penyakit yang
nampak untuk mengetahui bagaimana pemahaman dan
pemaknaan pasien tersebut terhadap penyakit yang dideritanya
dan bagaimana ia memiliki koping untuk mengatasinya.
Karena itu tujuan dari proses konseling bukan hanya
bagaimana pasien sembuh tetapi bagaimana terjadi serangkaian
perubahan pada diri pasien dalam hubungan terapeutik yang
lebih dari sekedar protokol perawatan medis. Pasien diposisikan
bukan sebagai individu yang tidak berdaya dan partisipan pasif
tetapi diposisikan sebagai individu yang cerdas dan memiliki
kekuatan dalam dirinya untuk dapat mengatasi segala keluhan
yang dideritanya. Karena itu nilai penting dari konseling terletak
dalam hal bagaimana membuat pasien sebagai partisipan aktif
dalam hubungan komunikasi terapeutik yang harmonis dan
seimbang dengan konselor.
Dari beberapa pemikiran diatas maka Robert Bor et.al.(2009:
6) mendefinisikan konseling rumah sakit adalah proses
interaksi dalam situasi terapeutik dengan fokus utama
percakapan tentang hubungan, kepercayaan, perilaku (termasuk
perasaan) melalui masalah yang dirasakan oleh pasien,
kemudian masalah tersebut ditafsir ulang dan difahami kembali
dengan cara yang berguna sehingga menghasilkan makna yang
baru dan solusi yang baru bagi pasien. Sedangkan Dileep Kumar
151
(2009) mendefinisikan konseling dalam setting rumah sakit
adalah interaksi dinamis antara konselor, pasien, dan keluarga
pasien dimana konselor mengambil sikap tertentu dengan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk
memperkenalkan dan mempertahankan pasien dalam proses
menuju pemahaman diri yang mengarah kepada tindakan
sehingga terjadi perubahan perilaku pasien untuk memecahkan
masalahnya
(DileepKumar,http://www.indianmba.com/Faculty_Column/F
C289/fc289.html/2009).
Selain terhadap pasien dan keluarga pasien, layanan konseling
di rumah sakit menurut Kumar dapat membantu dalam
menunjang kebutuhan berbagai pelatihan, meningkatkan
komunikasi dan kerjasama yang lebih efektif antara karyawan,
manajemen, dan pihak-pihak yang bekerjasama secara
kolaboratif dalam keseluruhan proses konseling. Karena itu
Kumar memperluas jangkauan layanan konseling dalam setting
rumah sakit kedalam organisasi rumah sakit secara lebih luas.
Sehingga berbagai masalah utama dalam organisasi rumah sakit
seperti kurangnya kekompakan kelompok, konflik peran,
mismatch peran, perasaan ketidaksetaraan, ambiguitas peran,
kendala pembagian peraturan, ketidakpuasan kerja, menurut
Kumar masih berada dalam jangkauan layanan konseling rumah
sakit.
Bentuk kolaborasi dalam konseling setting rumah sakit
menurut Robert Bor dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama,
kolaborasi antar professional seperti konselor dengan dokter,
perawat, psikiater, psikolog, dan pekerja sosial. Kedua,
kolaborasi dengan lembaga, badan, institusi atau berbagai
organisasi perkumpulan yang memberikan pelayanan dan
152
pendidikan kesehatan seperti: rumah sakit besar, klinik umum
dan spesialis, puskesmas, sekolah keperawatan, panti khusus
perawatan kesehatan, dan lain-lain. Adanya kolaborasi ini pada
gilirannya menuntut konsekuensi adanya berbagai aturan dan
kode etik profesi yang jelas. Berbagai aturan yang dibutuhkan
tersebut dapat meliputi: tuntunan dan peraturan batas praktik
bersama, ukuran dan standar keberhasilan, peraturan
penggunaan teknologi baru, aspek legalitas, sumber daya
manusia, prospek pengembangan pasien, bahkan aturan atau
kode etik komunikasi antar anggota tim terkait.
Secara keseluruhan dapatlah ditarik kesimpulan bahwa
bimbingan dan konseling dalam setting rumah sakit memiliki
ciri khas tersendiri yang berbeda dengan layanan konseling
umumnya. Ke-khasan tersebut terletak dalam beberapa hal
diantaranya: langkah kerja yang harus terintegrasi dengan
protokol perawatan medis, cara pandang terhadap masalah
pasien dan keluarga, serta bentuk praktik kerja dalam tim yang
kolaboratif dan multidisiplin. Selain itu dalam sesi konseling
cenderung bersifat pendek dalam single session atau brief
focused counseling yang harus efektif dan efisien, sehingga
proses konseling yang efektif tidak ditentukan oleh lamanya
melainkan seberapa efektif dalam menggunakan waktu untuk
mencapai tujuan konseling.
C. Tugas Konselor
Konseling di rumah sakit berjalan dalam setting yang berbeda
dan peran yang berbeda dari konselor. Tuntutan peran yang
berbeda inilah akhirnya membuat tugas konselor menjadi tidak
ringan karena tugas konselor akan menjadi jembatan lalu lintas
komunikasi antara pasien, keluarga, pihak rumah sakit, dan
pihak-pihak yang tergabung dalam tim secara kolaboratif,
karena itu tugas konselor di rumah sakit meliputi:
156
sikap„wrong doing‟ dan berbagai tindakan yang
merugikan pasien.
f. Senantiasa memperhatikan hal-hal khusus dari pasien
sebagai berikut yaitu; (a) suasana dan keadaan, (b)
berbagai keterikatan, (c) tipologi pemahaman sakitsehat,
(d) perkembangan dan siklus hidup pasien, (e) rasa ingin
tahu dan bertanya termasuk berbagai pertanyaannya, (f)
berbagai ungkapan perasaan, tutur cerita dan berbagai
pemaknaan, (g) kesadaran dan pola perilaku, (h)
pengaturan dan disiplin waktu, (i) sistem kepercayaan.
157
2. Memiliki wawasan kultural yang luas karena konseling
berjalan dalam konteks multikultur sehingga konselor di
tuntut harus dapat menjaga sensitivitas budaya (Robert Bor,
et.al.,2009:7)
3. Memiliki daya adaptabilitas dan fleksibiltas yang tinggi
karena akan selalu berhadapan dengan berbagai masalah yang
dapat saja muncul secara tiba-tiba akibat perubahan dari
kondisi pasien.
4. Memiliki kemampuan komunikasi yang handal terutama
ketika menghadapi situasi dan kondisi kritis atau
pasienpasien dengan kondisi khusus seperti pasien
multimasalah, komplikasi penyakit, pasien terminal atau
pasien-pasien berkebutuhan khusus yang lain.
1. Information-giving
Konseling tingkat ini hanya bersifat pemberian informasi dan
pemberian informasi mengenai beberapa hal seperti: rencana
pengobatan, hasil tes laboratorium, perawatan, percobaan obat,
pencegahan penyakit, termasuk pemberitahuan beberapa hal
atau peralatan yang kadang dibutuhkan oleh pasien kalau terjadi
perawatan. Untuk kasus-kasus penyakit khusus seperti penderita
HIV, kanker, transplantasi organ, hemofili dan berbagai
penderita penyakit berat lainnya keahlian pemberian informasi
sangat diperlukan.
2. Implication counseling
Implication counseling adalah tindak lanjut dari pemberian
informasi jika terjadi hal-hal yang secara spesifik harus
160
dirundingkan bersama keluarga atau pihak terkait, terutama jika
ada hal-hal yang secara khusus atau terpaksa harus disampaikan
secara pribadi dan terpaksa kepada pasien atau keluarga.
3. Supportive counseling
Tahap supportive counseling adalah merupakan tahapan
konseling selanjutnya jika terjadi berbagai reaksi emosional atas
berbagai informasi yang diterima baik dari pasien maupun dari
keluarga untuk mendorong agar memiliki kesiapan menerima
kenyataan dan memasuki proses berikutnya.
4. Psychotherapeutic counseling (21-22)
Tahapan psikoterapi adalah tahapan lebih lanjut
yang difokuskan kepada penyembuhan,
penyesuaian, kemampuan mengatasi dan berbagai hal yang
terkait dengan penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi
pasien. (Robert Bor et. al., 2009:21).
Pertimbangan terakhir dalam memilih dan menentukan teknik
bimbingan dan konseling di rumah sakit adalah penggunaan
teknik brief focused counseling. Bor tidak menyebutnya sebagai
teknik khusus, ia lebih menyebut sebagai skill (keahlian) bagi
konselor, akan tetapi prinsip-prinsip dari brief focused
counseling dapat memberi arahan untuk teknikteknik intervensi
dalam konseling di rumah sakit.
Brief focused counseling adalah konseling di rumah sakit yang
dilaksanakan oleh konselor secara singkat, efektif, dan tepat
sasaran karena beberapa pertimbangan yaitu: (1) dilaksanakan
dalam seting medis yang sibuk dan terbatas waktu, (2) karena
adanya tekanan dan keterbatasan waktu, (3) karena banyak
perubahan yang terjadi pada diri pasien sehubungan penyakit
yang diderita, (4) dituntut fokus kepada masalah psikologis
utama yang dialami pasien. (Robert Bor et.al.,2009:98-110).
161
E. Langkah Umum Konseling
Dileep Kumar (2009) mengajukan beberapa langkah
dalam fase konseling di rumah sakit, langkah tersebut meliputi :
(1) establishment of rapport, (2) help the interviewee ready to
talk, (3) understanding and responding, (4) personalizing, (5)
initiation, (6) action period, (7) evaluation, (8) recording.
Sedangkan Robert Bor mengajukan hanya empat tahap, hal ini
didasarkan kepada kenyataan bahwa proses konseling di rumah
sakit harus fleksibel, terbatas waktu, dan terkait dengan berbagai
protokol aturan dengan perawatan yang lain sehingga ia
mengajukan sessi tunggal dan brief focused counseling, keempat
langkah tersebut yaitu: 1. Forming a therapeutic relationship
Merupakan langkah awal kontak person dengan pasien yaitu
menjalin komunikasi dengan pasien sebagai konseli, membuka
komunikasi dan percakapan, dan mengarahkannya kepada
suasana komunikasi terapeutik.
2. Making assessment
Melakukan assesmen terhadap pasien untuk memetakan rencana
dan tahapan konseling yang akan dilakukan bersamasama
dengan perawatan lain secara kolaboratif. Pada tahap ini yang
terpenting adalah konselor harus sudah mendapatkan berbagai
gambaran mengenai kondisi psikologis pasien, latar belakang,
terutama tiga hal pokok yaitu pemahaman, makna, dan
kepercayaan pasien mengenai sakit yang dihadapi.
4. Clossing
Yang dimaksud sessi penutupan (closing) adalah penutupan
interval antar sessi agar dapat melakukan evaluasi terhadap
segala bentuk intervensi dan terapi yang telah dilaksanakan
bersama pasien. Dengan cara seperti ini evaluasi terhadap pasien
dapat dilakukan secara bertahap dan bersifat kontinum
sepanjang proses perawatan pasien bersama perawatan lain.
(Robert Bor, 2009: 22-23).
Untuk single session dengan teknik brief focused counseling
dengan mengillustrasikan kepada penanganan kasus khusus
pasien yang mengalami ansietas, langkah-langkahnya menurut
Robert Bor (2009:110-111) adalah sebagai berikut:
1. Pastikan pasien dapat dan mau berkomunikasi
2. Pastikan masalah psikologis yang inti dari pasien
3. Kerjakan konseling dengan kehadiran tim medis dan perawat
secara lengkap
4. Bangun segera jalinan hubungan secara cepat agar pasien
dapat segera mengekspresikan apa yang paling dihawatirkan
atau menjadi permasalahan.
5. Dorong pasien untuk memberi informasi secara ringkas dan
efektif
6. Gali terus pembicaraan pasien untuk mendapatkan masalah
pokok pasien, tujuan dan ekspektasi pasien, dan bagaimana
muncul pemahaman pada pasien
163
7. Bicarakan bersama pasien rencana dan keinginan yang tepat
untuk mencari solusi bagi permasalahan yang dihadapi.
Langkah-langkah ini menurut Robert Bor adalah bersifat
fleksibel, yang penting bagi konselor adalah memiliki keyakinan
dan kepercayaan diri dalam menghadapi pasien secara singkat
dan efektif.
164
RUMAH No. Protap: BIDANG
SAKIT KEPERAWATAN
Tgl.diberlakukan:
A. Definisi :
Kegiatan membersihkan najis dan hadats sebelum
wudhu atau tayamum
B. Prinsip :
1. Utamakan menggunakan air untuk
menghilangkan fisik najis dan bekasnya kecuali jika
najis kurang dari 5cm2
2. Jika masih tersisa bekasnya dan sulit untuk
dihilangkan seperti warna kuning atau coklat dari
muntah atau darah yang sulit hilang maka dapat
diabaikan
3. Bagi yang tidak memungkinkan menggunakan air
dapat menggunakan tissue/spon/kassa/kain
bersih
4. Bagi pasien yang dawãmul
hadats
(menggunakan kateter urin, kolostomi, Water Seal
Drainage, dekompresi lambung, enema permanen,
peritoneal permanen, hemodialisa, drain,
cystostomy) maka istinja sesuai dengan
kemampuan.
5. Jika najis terdapat pada tilam yang tebal atau kasur
cukup menutupnya dengan kain yang bersih dan
tebal agar tidak meresap.
165
6. Jika tidak dapat menutupnya dengan kain tebal,
lakukan saja shalat diatasnya.
7. Jika tilamnya tipis diusahakan dicuci, tetapi apabila
najisnya tidak mengenai seluruh permukaan tilam,
maka bagian yang terkena najis itu saja yang dicuci.
8. Apabila bahan tilam atau kasur terbuat dari kulit
asli atau imitasi atau plastik, maka sebaiknya fisik
najis dihilangkan dahulu kemudian dicuci lalu
dibersihkan dan dikeringkan
9. Jika pasien tidak mungkin melakukan istinja
karena berbagai hambatan yang berat (pasien luka
bakar, multiple trauma , diare akut) biarkan pasien
dalam kondisi apa adanya
C. Tatacara Pelaksanaan:
1. Tahap pra interaksi
Validasi nama pasien
Siapkan Alat:
a. Baki beralas
b. Air dalam tempat.
c. Tissue kering atau basah/spon/kassa/kain
bersih/kapas lembab dalam tempatnya
c. Perlak dan Alas
d. Handuk kering/Lap bersih
e. Bengkok/plastik sampah
f. Sarung tangan, masker, baju kerja
Menyiapkan alat dan bahan habis pakai sesuai
kebutuhan
3. Tahap Kerja
a. Cuci tangan dengan desinfektan dan keringkan
b. Gunakan baju kerja , masker dan sarung tangan
c. Siapkan dan dekatkan alat
d. Lafazkan basmalah didepan pasien
e. Pasang alas
f. Bebaskan area yang akan dibersihkan dari
pakaian/alat tenun pasien.
g. Bersihkan area yang perlu dibersihkan
h. Buang bahan bekas pakai kedalam
bengkok/plastik sampah
i. Rapikan alat dan pasien
j. Buka sarung tangan
k. Cuci tangan
168
d. Lakukan kontrak untu kegiatan
selanjutnya
e. Berkomunikasi selama kegiatan
169
f. Melakukan kegiatan dengan rasa percaya
diri
g. Ramah dan sopan
h. Mampu menggunakan sense of art dalam melakukan
tindakan
i. Bersikap tanggap terhadap setiap perbahan pada
pasien
j. Teliti dan hati-hati
k. Memanfaatkan waktu secara efisien dan efektif
l. Mengetahui rasional dari setiap langkah dan tindakan
m. Mampu berargumentasi secara ilmiah
n. Mampu menjelaskan landasan teori prosedur
tindakan
o. Tambahkan dalam evaluasi hasil kerja klarifikasi
kembali kepada pasien apakah sudah merasa bersih
atau belum.
170
A. Definisi :
Tayamum adalah menyampaikan debu kepada muka
dan dua tangan sebagai ganti wudhu, mandi atau
anggota keduanya dengan syarat tertentu.
B. Prinsip Tayamum:
171
(1) sudah masuk waktu shalat;
(2) tidak dapat menggunakan air karena beberapa
sebab (Tidak mampu bergerak, Mendapatkan
kesulitan diluar batas kemampuannya saat
berwudhu, Menyebabkan bahaya bagi
kesehatannya, Menyebabkan atau merasa sakit
bila kena air, Sakitnya akan bertambah parah, Ada
rekomendasi dari dokter, Berdasarkan
pengalaman pribadi, Tidak ada orang yang
membantunya untuk wudhu, Tidak /sulit
mendapatkan air/persediaan air terbatas, Airnya
terlalu dingin hingga berbahaya bagi
kesehatannya
(3) dengan debu dari tanah atau debu umumnya;
(4) membersihkan terlebih dahulu najis apabila
terdapat material najis (yaitu dengan teknik
istinja)
C. Peralatan
1. Tanah yang halus/debu steril disimpan di dalam baki
2. Debu yang menempel di bantal, dinding, kasur atau
kaca
172
173
174
2.Tahap orientasi
a. Melakukan S3
b. Menanyakan keadaan klien
c. Menjelaskan prosedur dan tujuan tayamum
d. Memberikan kesempatan kepada klien untuk
bertanya
e. Menutup tirai
3. Tahap Kerja
a. Cuci tangan memakai desinfektan dan keringkan
b. Gunakan baju kerja dan sarung tangan
c. Lafazkan basmalah
d. Siapkan dan dekatkan alat
e. Atur posisi sesuai kemampuan pasien:duduk,
setengah duduk, terlentang, miring, telungkup.
f. Membuka tutup kepala dan menggulung lengan
baju jika perlu
g. Ingatkan pasien untuk berniat bertayamum
h. Persilakan pasien menepukan kedua telapak
tangan pada debu dari tanah, pasir, batu atau
permukaan benda-benda yang dianggap
mengandung debu (seperti dinding, kaca, tempat-
tempat duduk pada pesawat/mobil atau benda
lainnya yang dianggap berdebu);
i. mengusapkan kedua telapak tangan ke muka.
j. menepukkan kembali kedua tapak tangan
tersebut pada debu (dengan tempat
berbeda/bukan bekas yang tadi);
175
k. usapkan telapak tangan kiri ke tangan kanan
mulai dari bagian punggung tangan sampai
siku/pergelangan tangan, kemudian mengusap
176
177
bagian dalam tangan dari siku kedepan hingga ke
pegelangan tangan.
l. usapkan telapak tangan kanan ke tangan kiri
sampai siku/pergelangan tangan dengan cara
seperti poin diatas.
m. Bimbing pasien untuk membaca doa sesudah
bertayamum.
4. Tahap Terminasi.
a. Evalusi hasil seluruh kegiatan
b. Berikan feed back positif kepada klien
c. Catat hasil evaluasi dan pelaksanaan tindakan
dalam dokumentasi klien
d. Akhiri kegiatan dengan
mengucapkan hamdalah
e. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
ASPEK AFEKTIF
a. Berkomunikasi dengan klien selama
kegiatan
b. Melakukan kegiatan dengan rasa percaya
diri
c. Ramah dan sopan
d. Bersikap tanggap terhadap setiap
perubahan pada klien
e. Memanfaatkan waktu secara efektif dan
efisien pada saat melakukan tindakan
f. Teliti dan hati-hati
178
179
ASPEK KOGNITIF
a. Mengetahui rasional dari setiap langkah tindakan
b. Mampu berargumentasi secara ilmiah
c. Mampu menjelaskan landasan teori prosedur
tindakan
180
A. Definisi :
Membimbing pasien bersuci dari hadats kecil dengan cara
membasuh muka dan kedua tangan sampai siku, menyapu
kepala dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki
dengan air yang suci dan mensucikan secara tertib.
181
(1) niat saat memulai wudhu
(2) mencuci wajah
(3) mencuci dua tangan hinga lewat/sampai siku
(4) mengusap sebagian kepala
(5) mencuci kedua kaki hingga kedua mata kaki, jika
mengenakan kaus kaki atau sepatu boleh hanya
dengan mengusapnya dnegan tangan yang telah
dibasahi air
(6) tertib
(mencuci masing-masing anggota wudhu cukup satu kali)
3. Tahap Kerja
a. Perawat mencuci tangan memakai desinfektan
dan keringkan
b. Gunakan baju kerja dan sarung tangan
182
c. Lafazkan basmalah
d. Siapkan dan dekatkan alat
e. Atur posisi sesuai kemampuan pasien: berdiri,
183
184
duduk, setengah duduk.
f. Membuka tutup kepala dan menggulung
lengan baju jika perlu
g. Ingatkan pasien untuk berniat berwudhu
h. Alirkan air ke tangan pasien
i. Minta pasien membaca basmalah
j. Membasuh jari-jari tangan dan kedua telapak
tangan
k. Berkumur-kumur maksimal 3 kali
l. Istinsak (menghirup air ke dalam hidung dan
mengeluarkan kembali)
m. Membasuh muka maksimal 3 kali
n. Membasuh kedua belah tangan sampai siku
dimulai dari tangan kanan
o. Mengusap kepala sampai dengan tengkuk dan
dikembalikan kedepan, dilanjutkan dengan
mengusap kedua daun telinga
p. Membasuh kaki hingga mata kaki dan dimulai
dari kaki kanan
q. Bimbing pasien untuk membaca doa sesudah
berwudhu
Asyhadu al-lãilãha illallõh wahdahu lã syarîka lah.
Wa asyhadu anna Muhammadan
‘abduhû warosûluh
r. Keringkan sisa air wudhu
4, Tahap terminasi.
f. Evalusi hasil seluruh kegiatan
g. Berikan feed back positif kepada klien
h. Catat hasil evaluasi dan pelaksanaan tindakan
dalam dokumentasi klien
i. Akhiri kegiatan dengan mengucapkan hamdalah
185
j. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
ASPEK AFEKTIF
a. Berkomunikasi dengan klien selama
186
kegiatan
b. Melakukan kegiatan dengan rasa percaya
diri
c. Ramah dan sopan
d. Bersikap tanggap terhadap setiap perubahan
pada klien
e. Memanfaatkan waktu secara efektif dan
efisien pada saat melakukan tindakan
f. Teliti dan hati-hati
ASPEK KOGNITIF
d. Mengetahui rasional dari setiap langkah tindakan
e. Mampu berargumentasi secara ilmiah
f. Mampu menjelaskan landasan teori
prosedur tindakan
187
A. Definisi :
Membimbing pasien bersuci dari hadats kecil dengan cara
membasuh muka dan kedua tangan sampai siku, menyapu
kepala dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki
dengan air yang suci dan mensucikan secara tertib.
188
B. Prinsip Bimbingan Wudhu:
(3) Pasien berhak menentukan cara wudhunya
sendiri berdasarkan keyakinannya, termasuk
apabila pasien ingin mengerjakan sunnahsunnah
wudhu seperti: mencuci telapak tangan,
berkumur, menghisap air ke lubang hidung
(istinsaq), mencuci telinga, mencuci anggota
wudhu dan sunnahnya masing-masing tiga
kali,dan berdo’a)
(4) Pasien berhak meminta bantuan untuk
berwudhu dan menentukan siapa pembantunya
(perawat atau keluarga, laki-laki atau
perempuan)
C. Prinsip Berwudhu
Pada prinsipnya pasien berwudhu dengan mengerjakan
seluruh fardhu wudhu yaitu: (7) niat saat memulai
wudhu
(8) mencuci wajah
(9) mencuci dua tangan hinga lewat/sampai siku
(10) mengusap sebagian kepala
(11) mencuci kedua kaki hingga kedua mata kaki, jika
mengenakan kaus kaki atau sepatu boleh hanya
dengan mengusapnya dnegan tangan yang telah
dibasahi air
(12) tertib
(mencuci masing-masing anggota wudhu cukup satu kali)
189
• Persiapan Alat :
- Air dalam teko/ember dan gayung
190
191
- Waskom untuk menampung air kotor
- Handuk
- Washlap
- cek kelengkapan alat
2. Tahap orientasi
a. Melakukan S3
b. Menanyakan keadaan klien
c. Menjelaskan prosedur dan tujuan tayamum
d. Memberikan kesempatan kepada klien untuk
bertanya
e. Menutup tirai
3. Tahap Kerja
a. Perawat mencuci tangan memakai desinfektan dan
keringkan
b. Gunakan baju kerja dan sarung tangan
c. Lafazkan basmalah
d. Siapkan dan dekatkan alat
e. Atur posisi sesuai kemampuan pasien:duduk,
setengah duduk, terlentang, miring, telungkup.
f. Membuka tutup kepala dan menggulung lengan
baju jika perlu
g. Ingatkan pasien untuk berniat berwudhu
h. Basahi washlap dengan cara mengalirkan air
sampai lembab (dilakukan pada setiap kali
mengusap anggota wudhu)
i. Mengusap seluruh bagian wajah secara merata
j. Mengusap kedua belah tangan sampai siku
dimulai dari tangan kanan
k. Mengusap bagian kepala.
192
l. Mengusap kaki hingga mata kaki dan dimulai
dari kaki kanan
m. Bimbing pasien untuk membaca doa sesudah
193
berwudhu
4, Tahap terminasi.
k. Evalusi hasil seluruh kegiatan
l. Berikan feed back positif kepada klien
m. Catat hasil evaluasi dan pelaksanaan tindakan
dalam dokumentasi klien
n. Akhiri kegiatan dengan mengucapkan hamdalah
o. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
ASPEK AFEKTIF
a. Berkomunikasi dengan klien
selama kegiatan
b. Melakukan kegiatan dengan rasa percaya
diri
c. Ramah dan sopan
d. Bersikap tanggap terhadap setiap perubahan
pada klien
e. Memanfaatkan waktu secara efektif dan
efisien pada saat melakukan tindakan
f. Teliti dan hati-hati
ASPEK KOGNITIF
g. Mengetahui rasional dari setiap langkah
tindakan
h. Mampu berargumentasi secara ilmiah
i. Mampu menjelaskan landasan
teori prosedur tindakan
194
Contoh SOP ATAU Prosedur Tetap (Protap) 05
NAMA MEMBANTU PASIEN BERWUDHU
RUMAH DENGAN MENGGUNAKAN SPRAY
SAKIT No. Protap: BIDANG
KEPERAWATAN
Tgl.diberlakukan:
195
A. Definisi :
Membimbing pasien bersuci dari hadats kecil dengan cara
membasuh muka dan kedua tangan sampai siku, menyapu
kepala dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki
dengan air yang suci dan mensucikan secara tertib.
196
mengenakan kaus kaki atau sepatu boleh hanya
dengan mengusapnya dnegan tangan yang telah
dibasahi air
(18) tertib
(mencuci masing-masing anggota wudhu cukup satu kali)
4. Tahap orientasi
a. Melakukan S3
b. Menanyakan keadaan klien
c. Menjelaskan prosedur dan tujuan tayamum
d. Memberikan kesempatan kepada klien untuk
bertanya
e. Menutup tirai
5. Tahap Kerja
a. Perawat mencuci tangan memakai desinfektan
dan keringkan
b. Gunakan baju kerja dan sarung tangan
c. Lafazkan basmalah
d. Siapkan dan dekatkan alat
e. Atur posisi sesuai kemampuan pasien: berdiri,
duduk, setengah duduk.
197
f. Membuka tutup kepala dan menggulung
lengan baju jika perlu
g. Ingatkan pasien untuk berniat berwudhu
198
199
h. Alirkan air ke tangan pasien
i. Minta pasien membaca basmalah
j. Membasuh jari-jari tangan dan kedua telapak
tangan
k. Berkumur-kumur maksimal 3 kali
l. Istinsak (menghirup air ke dalam hidung dan
mengeluarkan kembali)
m. Membasuh muka maksimal 3 kali
n. Membasuh kedua belah tangan sampai siku
dimulai dari tangan kanan
o. Mengusap kepala sampai dengan tengkuk dan
dikembalikan kedepan, dilanjutkan dengan
mengusap kedua daun telinga
p. Membasuh kaki hingga mata kaki dan dimulai
dari kaki kanan
q. Bimbing pasien untuk membaca doa sesudah
berwudhu
Asyhadu al-lãilãha illallõh wahdahu lã syarîka lah.
Wa asyhadu anna Muhammadan
‘abduhû warosûluh
r. Keringkan sisa air wudhu
4, Tahap terminasi.
p. Evalusi hasil seluruh kegiatan
q. Berikan feed back positif kepada klien
r. Catat hasil evaluasi dan pelaksanaan tindakan
dalam dokumentasi klien
s. Akhiri kegiatan dengan mengucapkan hamdalah
t. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
ASPEK AFEKTIF
a. Berkomunikasi dengan klien
selama kegiatan
b. Melakukan kegiatan dengan rasa percaya
200
diri
c. Ramah dan sopan
201
d. Bersikap tanggap terhadap setiap perubahan
pada klien
e. Memanfaatkan waktu secara efektif dan
efisien pada saat melakukan tindakan
f. Teliti dan hati-hati
ASPEK KOGNITIF
j. Mengetahui rasional dari setiap langkah tindakan
k. Mampu berargumentasi secara ilmiah
l. Mampu menjelaskan landasan teori
prosedur tindakan
202
A. Definisi :
Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam
dengan maksud beribadah kepada Allah menurut
syarat-syarat yang telah ditentukan.
B. Prinsip :
Shalatlah engkau dengan berdiri, kalau engkau tidak
mampu maka duduklah, dan (kalau engkau) tidak
mampu (untuk duduk) maka shalatlah dengan
berbaring.”
C. Tatacara Pelaksanaan:
203
1. Tahap pra interaksi Validasi nama pasien
Kaji ulang apakah pasien bisa shalat dengan posisi
duduk
Siapkan alat
2. Tahap orientasi
a. Lakukan 3S
b. Identifikasi kembali nama klien
c. Jelaskan prosedur dan tujuan shalat kepada
klien
d. Beri kesempatan klien untuk bertanya
e. Pastikan klien bebas dari hadats besar dan
kecil
f. Pastikan tempat shalat suci, bersih, aman dan
nyaman
g. Tutup tirai
3. Tahap Kerja
a. Cuci tangan dengan desinfektan dan keringkan
b. Gunakan baju kerja , masker dan sarung tangan
c. Atur klien senyaman mungkin untuk posisi
duduk iftirosy, bersila atau apa saja yang pasien
mampu
d. Hadapkan klien kearah kiblat bila
memungkinkan, jika tidak memungkinkan
anjurkan paien untuk berniat menghadap kiblat
e. Bimbing pasien untuk mulai melaksanakan shalat
dengan urutan:
1. Niat dalam hati
204
2. mengangkat kedua tangan sambil
205
206
takbiratulihrom
3. menyimpan kedua tangan diatas perut,
tangan kanan diatas tangan kiri
4. membaca do’a iftitah
5. membaca al-Fatihah
6. membaca surat atau ayat alqur’an yang
pasien hafal
7. melakukan ruku’ dengan meletakkan tangan diatas
kedua lutut diikuti dengan menundukkan kepala dan
membaca doa’ ruku
8. bangkit dari ruku’ jika mampu sambil mengangkat
tangan dengan membaca doa’
9. membaca takbir untuk terus sujud, jika tidak mampu
cukup dengan menundukkan kepala
10. membaca takbir untuk bangkit dari sujud dan duduk
diantara dua sujud, membaca do’a
11. membaca takbir untuk terus sujud, jika tidak mampu
cukup dengan menundukkan kepala
12. Bangkit dari sujud kembali kepada posisi nomor 3
untuk melakukan rakaat kedua dimulai prosedur
nomor: 6,7,8,9,10,11 dan 12.
13. Ingatkan dan ajarkan pasien untuk melakukan
tasyahud awal setelah sujud ke dua (terutama untuk
shalat selain shubuh atau shalat yang tidak di jama’)
14. melakukan rakaat ke tiga dan ke empat (untuk shalat
yang empat rakaat) sesuai dengan prosedur nomor:
6,7,8,9,10,11 dan 12.
15. ingatkan untuk tasyahud akhir, jika mampu
207
lakukan dengan posisi duduk tawarruk atau
semampunya
16. membaca salam
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi hasil seluruh kegiatan
b. Klarifikasi kenyamanan pasien setelah
istinja dilakukan
c. Beri feedback positif kepada pasien
d. Lakukan kontrak untu kegiatan
selanjutnya
208
A. Definisi :
Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam
dengan maksud beribadah kepada Allah menurut
syarat-syarat yang telah ditentukan.
209
B. Prinsip :
Shalatlah engkau dengan berdiri, kalau engkau tidak
mampu maka duduklah, dan (kalau engkau) tidak
mampu (untuk duduk) maka shalatlah dengan
berbaring.”
C. Tatacara Pelaksanaan:
1. Tahap pra interaksi
a. Validasi nama pasien
b. Kaji ulang apakah pasien bisa shalat
dengan posisi duduk
c. Siapkan alat
2. Tahap orientasi
a. Lakukan 3S
b. Identifikasi kembali nama klien
c. Jelaskan prosedur dan tujuan shalat kepada klien
d. Beri kesempatan klien untuk bertanya
e. Pastikan klien bebas dari hadats besar dan kecil
f. Pastikan tempat shalat suci, bersih, aman dan
nyaman
g. Tutup tirai
3. Tahap Kerja
a. Cuci tangan dengan desinfektan dan keringkan
b. Gunakan baju kerja , masker dan sarung tangan
c. Atur klien senyaman mungkin untuk posisi
duduk iftirosy, bersila atau apa saja yang pasien
mampu
210
d. Hadapkan klien kearah kiblat bila
memungkinkan, jika tidak memungkinkan
anjurkan paien untuk berniat menghadap kiblat
211
212
e. Bimbing pasien untuk mulai melaksanakan shalat
dengan urutan:
1. Niat dalam hati
2. mengangkat kedua tangan sambil
takbiratulihrom
3. menyimpan kedua tangan diatas perut, tangan
kanan diatas tangan kiri
4. membaca do’a iftitah
5. membaca al-Fatihah
6. membaca surat atau ayat alqur’an yang pasien
hafal
7. melakukan ruku’ dengan meletakkan tangan
diatas kedua lutut diikuti dengan menundukkan
kepala dan membaca doa’ ruku
8. bangkit dari ruku’ jika mampu sambil
mengangkat tangan dengan membaca doa’
9. membaca takbir untuk terus sujud, jika tidak
mampu cukup dengan menundukkan kepala
10. membaca takbir untuk bangkit dari sujud dan
duduk diantara dua sujud, membaca do’a
11. membaca takbir untuk terus sujud, jika tidak
mampu cukup dengan menundukkan kepala
12. Bangkit dari sujud kembali kepada posisi nomor 3
untuk melakukan rakaat kedua dimulai prosedur
nomor: 6,7,8,9,10,11 dan 12.
13. Ingatkan dan ajarkan pasien untuk melakukan
tasyahud awal setelah sujud ke dua (terutama untuk
shalat selain shubuh atau shalat yang tidak di jama’)
213
14. melakukan rakaat ke tiga dan ke empat (untuk
shalat yang empat rakaat) sesuai
dengan prosedur nomor: 6,7,8,9,10,11 dan 12.
15. ingatkan untuk tasyahud akhir, jika mampu
lakukan dengan posisi duduk tawarruk atau
semampunya
16. membaca salam
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi hasil seluruh kegiatan
b. Klarifikasi kenyamanan pasien
setelah istinja dilakukan
c. Beri feedback positif kepada pasien
d. Lakukan kontrak untu kegiatan
selanjutnya
214
A. Definisi :
Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam
dengan maksud beribadah kepada Allah menurut
syarat-syarat yang telah ditentukan.
215
B. Prinsip :
Shalatlah engkau dengan berdiri, kalau engkau
tidak mampu maka duduklah, dan (kalau engkau)
tidak mampu (untuk duduk) maka shalatlah
dengan berbaring.”
C. Tatacara Pelaksanaan:
1. Tahap pra interaksi
a. Validasi nama pasien
b. Kaji ulang apakah pasien bisa shalat dengan posisi
duduk
c. Siapkan alat
2. Tahap orientasi
a. Lakukan 3S
b. Identifikasi kembali nama klien
c.Jelaskan prosedur dan tujuan shalat kepada klien
d. Beri kesempatan klien untuk bertanya
e.Pastikan klien bebas dari hadats besar dan kecil
f. Pastikan tempat shalat suci, bersih, aman dan nyaman
g. Tutup tirai
3. Tahap Kerja
a. Cuci tangan dengan desinfektan dan keringkan
b. Gunakan baju kerja , masker dan sarung tangan
c.Atur klien senyaman mungkin untuk posisi duduk
iftirosy, bersila atau apa saja
216
yang pasien mampu
d. Hadapkan klien kearah kiblat bila
memungkinkan, jika tidak memungkinkan anjurkan
paien untuk berniat menghadap kiblat
e.Bimbing pasien untuk mulai melaksanakan shalat
dengan urutan:
1. Niat dalam hati
2. mengangkat kedua tangan sambil takbiratulihrom
3. menyimpan kedua tangan diatas perut, tangan
kanan diatas tangan
kiri
4. membaca do’a iftitah
5. membaca al-Fatihah
6. membaca surat atau ayat alqur’an yang pasien
hafal
7. melakukan ruku’ dengan meletakkan tangan
diatas kedua lutut diikuti dengan menundukkan
kepala dan membaca doa’ ruku
8. bangkit dari ruku’ jika mampu sambil
mengangkat tangan dengan membaca doa’
9. membaca takbir untuk terus sujud, jika tidak
mampu cukup dengan menundukkan kepala
10. membaca takbir untuk bangkit dari sujud dan
duduk diantara dua sujud, membaca do’a
11. membaca takbir untuk terus sujud,
217
jika tidak mampu cukup dengan menundukkan kepala
12. Bangkit dari sujud kembali kepada posisi nomor 3
untuk melakukan rakaat kedua dimulai prosedur
nomor: 6,7,8,9,10,11 dan 12.
13. Ingatkan dan ajarkan pasien untuk melakukan
tasyahud awal setelah sujud ke dua (terutama untuk
shalat selain shubuh atau shalat yang tidak di jama’)
14. melakukan rakaat ke tiga dan ke empat (untuk
shalat yang empat rakaat) sesuai dengan prosedur
nomor: 6,7,8,9,10,11 dan 12.
15. ingatkan untuk tasyahud akhir, jika mampu
lakukan dengan posisi duduk tawarruk atau
semampunya
16. membaca salam
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi hasil seluruh kegiatan
b. Klarifikasi kenyamanan pasien
setelah istinja dilakukan
c. Beri feedback positif kepada pasien
218
d. Lakukan kontrak untu kegiatan
selanjutnya
219
DAFTAR PUSTAKA
222
Komarudin et al. (2008). Dakwah & Konseling Islam. Semarang:
Pustaka Rizqi Putra.
Lines, Dennis. (2006). Spirituality in Counselling and
Psycotherapy. London: Sage Publications
Lubis, Saiful Akhyar. (2007). Konseling Islami Kyai dan
Pesantren. Yogyakarta: elSAQ Press.
Manaf, Kamal Abdul. (1995). Kaunseling Islam Perbandingan
Antara Amalan dan Teori Kaunseling Barat. Kuala
Lumpur: Utusan Publication & Distribution sdn bhd.
Mar‟i, Hǎni Muhammad. (2006). Mawsû‟ah al-Thib al-Bǎdil.
Kairo: Maktabah al-Tawfĩqiyyah.
Mauk, Kristen L; Schmidt, Nola A. (2004). Spiritual care in
Nursing Practice, Philadelpia PA 19106: Lippincott
William& Wilkins, Walnut Street,
Miller, Geri. (2002). Incorporating Spirituality in Counseling
and Psycotherapy (theory and Technique. John
Willey: Sons, Inc.
Morrison, Paul; Burnard, Philip. (2009).
Caring & Communicating teh
Interpersonal Relationship in Nursing. New York:
Palgrave.
Mubarok, Achmad. (2000). Konseling Agama Teori dan Kasus.
Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Mun‟im, Muhammad Abdul. (2006). Al-Thib wa al-Nawǎdir
Athibbă‟ Zǎman. Kairo: Dăr al-Salǎm.
Musnamar, Tohari et al. (1992). Dasar-Dasar Bimbingan dan
Konseling Islami. Yogyakarta: UII Press.
Nasution S. (1997). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.
Bandung: Tarsito.
223
Olldnall, A. (1966). A Critical Analysis of Nursing: Meeting
the Spiritual Needs of Patiens. Journal of Advanced
Nursing, Blackwell Synergy
Http://www3.interscience.wiley.com
Patilima, Hamid. (2007). Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Pemprov Jabar. (2002). Panduan Pelaksanaan Perawatan
Rohani Islam. Bandung: Pemprov Jawa Barat.
Plante, Thomas G and Thoresen, Carl. ed.(2007). Spirit,
Science, and Health: How Spiritual Mind Fuels
Physical Wellness. Westport Connecticut London:
Praeger,
Priyanto, Agus. (2009). Komunikasi dan Konseling Aplikasi
dalam Sarana Pelayanan Kesehatan untuk Perawat
dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika.
Rakhmat, Jalaludin. (2005). Metode Penelitian Komunikasi.
Bandung: Rosdakarya.
Reid, Maggie. ed. (2004). Counselling in Different Setting the
Reality of Practice. New York: Palgrave Macmillan.
Samahah, Riyadh Muhammad. (1996). Al-Mu‟allijĩn bi
alQur‟an al-Karĩm. Kairo: Dăr al-Salǎm.
Sambas, Syukriadi. (2004). Risalah Pohon Ilmu Dakwah Islam.
Bandung: KP-Hadid Fakultas Dakwah &MPN-
Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia.
Sawatzsky, Rick; Pesut, Barbara. (2005). Attributs of Spiritual
care in Nursing Practice. Trinity Western University
http://www.accn.org
Seller, SC; Haag, BA. (1998). Spiritual Nursing Intervention.
Journal of Holistic Nursing.
224
Strang, S et. al. (2002). Spiritual Needs as Defined by Swedish
Nursing Staff, Journal of Clinical
Nursing. http://schoolar.google.co.id
http://www3.interscience.wiley.com
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
------------. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suherman, Uman. (2009). Manajemen Bimbingan dan
Konseling. Bandung: Rizqi Press.
Sunaryo, Kartadinata. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan
Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI
Press.
Sutoyo, Anwar. (2009). Bimbingan dan Konseling Islami.
Semarang: Widya Karya.
Swift, Christ et al. (2007). Nursing Attitudees Towards
Recording of Religious and Spiritual Data, British
Journal Nursing, Vol. 16,08 November.
Tanyl, RA; Ross. LA. (1994). Spiritual and Family Nursing:
Spiritual Assesmen and Interventions for Families.
Journal of Advanced Nursing1994.
http://www.Blackwell
Taylor, Elizabeth. (2002). Spiritual care. New Jersey: Printace
Hall.
Tomer, Andrian. Et al. (2007). Existential and Spiritual Issues
in Death Attitudes, Lawrence Erlbaum Associates Publisher:
New Jersey. van Leeuwen, et al. (2000). Aspects of Spirituality
Concerning Ilness, Scandinavian Journal of Caring Sciences.
http://www3.interscience.wiley.com
225
Wintercorn Dezorzi, Luciana; Maria da Gracia Olivera, (2005).
Spiritual in Self Care for Intensive Care Nursing
Profesional, http://www.accn.org http://www.scielo.br
Wolf, Angela. (2009). Spiritual Trends in Holistic Nursing,
http://www.accn.org
Woodman, Marion. (t.t.) Exploring Nurses Perceptions of
Spiritual care and Harm Reduction in an Acute
Impatien HIV Unit, a Quality Improvement
Perspective, http://www.accn.org.
Yasin, Muhammad Nu‟aim. (2000). Abhatsu Fiqhiyyah fĩ
Qashǎya Thibbiyah Ma‟ashirah. Kairo:Dǎr
alSalǎam.
Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama.
Yuet Foon Chung, Loretta. et al (2001) Relationship of Nurses
Spirituality to Their Understanding and Practice of
Spiritual care, Journal of Advanced Nursing.
Yusuf, Syamsu. (2009). Konseling Spiritual Tesitik. Bandung:
Rizqi Press.
226
227