TUMOR KOLON
Disusun oleh:
Amri Ageng Winahyu
030.12.015
Pembimbing:
dr. M. Hawari Abdi, Sp.Rad
REFERAT
TUMOR KOLON
030.12.015
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas Referat dalam kepanitraan
Ilmu Radiologi dengan judul “Tumor Kolon”. Referat ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Radiologi Rumah Sakit
TNI AL Dr. Mintohardjo.
Dalam penyusunan tugas Referat ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan serta dukungan dalam membantu penyusunan dan penyelesaian makalah
ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
terutama kepada dr. Hawari Sp.Rad selaku pembimbing atas pengarahannya selama
penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi serta rekan-rekan
seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
2.2 Definisi.................................................................................................5
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor merupakan suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu
pada tubuh dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas. Usus besar
adalah bagian dari sistem pencernaan dan rektum adalah ujung dari usus besar dekat
dengan anus. Bersamaan mereka membentuk suatu pipa panjang yang berotot yang
disebut usus besar. Tumor usus besar dan rektum adalah benjolan yang datangnya dari
dinding dalam dari usus besar.1
Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering
terjadi di dunia. Di seluruh dunia 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker
kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah
penderita kanker. Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua
pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal
menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang
pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari
Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk. Hal ini disebabkan karena pada
stadium awal seringkali tidak menunjukkan gejala, sehingga pasien baru datang setelah
ada gejala yang biasanya sudah pada stadium akhir, yang menyebabkan penanganan
kuratif sudah tidak dapat dilakukan lagi.2,3
Secara garis besar dapat dibagi dua faktor resiko yang menyebabkan penyakit
kanker kolon ini yaitu yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah riwayat kanker kolon atau polip
adenoma baik individual maupun keluarga dan riwayat individual penyakit kronis
inflamatorik usus. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah kurangnya aktivitas
fisik yang menyebabkan obesitas, konsumsi tinggi daging merah, diet rendah serat,
merokok, konsumsi alkohol, dan diabetes.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan
panjang sekitar 1,5 meter yang terbentang dari caecum hingga canalis analis.
Diameter kolon yaitu sekitar 6,5cm, tetapi makin dekat anus diameternya semakin
kecil. Kolon terdiri dari 6 bagian yaitu caecum, colon ascendens, colon
transversum, colon descendens, colon sigmoid dan rectum.5,6
2
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli
dextra sampai flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan
duodenum dan pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas.
Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus
cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli
dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal)
yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri
colica media. Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media yang
berasal dari arteri mesenterica superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal
dari colon transversum mendapat arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal
dari arteri mesenterica inferior.5,6
3
Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi
colon transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon
transversa disebut radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli
sinistra sampai flexura coli dextra. Lapisan cranial mesokolon transversa ini
melekat pada omentum majus dan disebut ligamentum gastro (meso) colica,
sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan duodenum, didalamnya berisi
pembuluh darah, limfa dan syaraf.
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli
sinistra sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak
retroperitoneal karena hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak
pada muskulus quadratus lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra.
Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra dan cabang arteri
sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior.5,6
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya
intraperi toneal, dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid
mempunyai perlekatan yang variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid
membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya didalam lumen, bila terisi penuh
dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui aditus pelvis, bila
kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke
dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding
mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum.
Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri
haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena yang
terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan
vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara
kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis
superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan
antara vena parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang
penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit
hepar sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai
radix yang berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan
4
percabangan arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan
diantara kaki-kaki huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.
Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut
tenia (tenia; taenia = pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (sakulus; saculus=saccus kecil;
saccus=kantong), yang disebut haustra (haustra; haustrum=bejana). Kolon
transversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan
mesenterium.5,6
5
adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip (sel yang tumbuh sangat
cepat).1,7
2.3 Epidemiologi
Penyakit tersebut paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia, Selandia
Baru dan sebagian Eropa. Kejadiannya beragam di antara berbagai populasi etnik, ras
atau populasi multietnik/multi rasial. Secara umum didapatkan kejadian kanker
kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun, fenomena ini dikaitkan dengan
pajanan terhadap berbagai karsinogen dan gaya hidup. Dari 201 kasus kanker kolorektal
periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD) didapatkan bahwa tipe
histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma [diferensiasi baik 48
(23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah musinosum
14
19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Perbedaan pola demografik
dan klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu untuk
studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang.8
6
penelitian yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi
untuk diagnosis dini. Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang
terlibat dengan pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling
genetik jika memang ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker
kolorektal. 4,7
c. Faktor Diet dan Lingkungan
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi
dengan faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat,
sehingga terdapat sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi
untuk menimbulkan kanker. Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau
polyunsaturated fatty acid meningkatkan risiko kanker kolorktal,
sedangkan diet yang tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa sawit,
dan minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. 4,7
d. Faktor Risiko Lain
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama
ketika merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga
mempunyai peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma
(Woodhouse CR, 2002). Akromegali, dimana terjadi peningkatan growth
hormone dan insulin-like growth factor I, juga menambah faktor risiko. 4,7
1. Probably related
7
b. Diet kalsium
c. Aspirin dan OAINS
d. Aktivitas fisik (BMI rendah)
4. Possibly protekstif
8
Tabel 2. Klasifikasi Polip Kolorektal7
Epitelium
Submukosa
Neoplasia Nonneoplasia
Premaligna
Tubular Mukosa Limfoid hiperplasia
Hiperplastik Pneumatosis cystoides
intestinalis
Tubulo Villousum Inflamatosa Colitis cystica profunda
Villosum Pseudo polip Limfoma
Displasia rendah Hamartoma Karsinoid
Displasia berat Juvenille Lesi metastasis
(karsinoma intra
mukosa)
Maligna/karsinoma
Karsinomatosus Peutz – Jeghers Leiomioma
Hemangioma
Polip maligna Dan lain lain Fibroma
Endometriosis
Dan lain-lain
Karsinoma secara Makroskopik dari kolon dapat dibagi atas 4 tipe yaitu:
1. Noduler
Ini adalah suatu masa yang keras dan menonjol ke dalam lumen, dengan
permukaan yang noduler. Biasanya tak bertangkai dan meluai ke dinding
kolon. Sering juga terjadi ulserasi, dengan dasar ulkus yang nekrotik tapi yang
menaik, menghalami indurasi dan noduler. Di daerah sekum bentuk tumor ini
mungkin tumbuh menjadi fungoid atau tipe ensefaloid. Permukaan ulkus akan
mengeluarkan pus dan darah.
2. Koloid
Bentuk ini tumbuhnya mengalami degenerasi mukoid.
3. Skirous (Scirrhous)
Disini reaksi fibrous sangat banyak sehingga terjadi pertumbuhan yang keras
serta melingkari dinding kolon sehingga terjadi konstriksi dari kolon untuk
membentuk napkin ring.
9
4. Papillari atau polipoid
Tipe ini merupakan pertumbuhan yang sering berasal dari simpel papiloma
atau adenoma.
Disamping klasifikasi yang berdasar atas diferensiasi sel maka juga dikenal
klasifikasi DUKES yang dibagi atas penyebaran sel karsinoma yaitu:9
Stadium I : Neoplasma masih terbatas pada dinding rektum dan
kolon.
Stadium II : terdapat penyebaran kanker dinding kolon tapi
belum terjadi metastase ke kelenjar limfe.
Stadium III : sudah terjadi metastase ke kelenjar limfe regional.
Stadium IV : terdapat metastase ke kelenjar limfe yag agak
berjauhan atau ke pleksus limfatikus dan ke lain organ misalnya ke
hepar, pulmo.
Stadium Bertahan 5
Deskripsi histopatologi tahun (%)
Dukes TNM Derajat
D TxN2M1 V Metastasis 5
10
2.6 Patofisiologi Tumor Kolon
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah
melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang
menimbulkan berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker.
Kedua jenis kanker kolorektal (herediter dan sporadik) tidak muncul secara
mendadak melainkan melalui proses yang diidentifikasikan pada mukosa kolon
(seperti pada displasia adenoma).
Kanker kolon terjadi akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang
mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan
adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang
mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan
instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal yaitu : instabilitas
kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas mikrosatelit
(Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon melalui
mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak berimbang
kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas mikrosatelit (MIN)
disebabkan oleh hilangnya perbaikan ketidakcocokan atau missmatch repair
(MMR) dan merupakan terbentuknya kanker pada sindrom Lynch.7,10
11
Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutasi somatik
terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur kematian
sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan proliferasi yeng selanjutnya berkembang
menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya terjadi pada
adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
sel yang tidak normal. 7,10
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen
supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat
proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel
dengan kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel
dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan
sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alele (misal loss of
heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor tumor yang
lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan transformasi akhir
menuju keganasan.7,10
12
2.7 Manifestasi Klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon
transversum), dan arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan
besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon
berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit
kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses
masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan
dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan
pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya
ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi.6
Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada
pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat
menyebabkan diare. Pasien mungkin memperhatikan perubahan warna feses
menjadi gelap, tetapi tumor seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak
disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post menopouse atau
seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan kanker
kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena
perdarahan yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif
dari tes occult blood tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon.
Sakit perut bagian bawah biasanya berhubungan dengan tumor yang berada pada
kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar. Pasien ini biasanya menyadari
13
adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah yang berwarna
merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah
penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker
kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang
dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi,
kolonoskopi dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.2,3
Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan
kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan
penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total
obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan
perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan
terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini
dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada
vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan
fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang
sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul
dari kanker kolon.3
Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat
direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus.
Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal,
ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan
vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka metastase kanker rektum lebih
sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur
14
limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali
paling sering di hepar.2,3
15
A. Anamnesis
Pada stadium dini, karsinoma kolon tidak memberikan gejala. Gejala
biasanya timbul saat perjalanan penyakit sudah lanjut. Pasien dengan karsinoma
kolon biasanya mengeluh rasa tidak enak, kembung, tidak bisa flatus, sampai nyeri
di perut. Didapatkan juga perubahan kebiasaan buang air besar berupa diare atau
sebaliknya, obstipasi, kadang disertai darah dan lendir. Buang air besar yang
disertai dengan darah dan lendir biasanya dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma
bagian proksimal. Hal ini disebabkan karena darah yang dikeluarkan oleh
karsinoma tersebut sudah bercampur dengan feses. Gejala umum lain yang
dikeluhkan oleh pasien berupa kelemahan, kehilangan nafsu makan dan penurunan
berat badan.10,11
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak menolong dalam menegakkan
diagnosa. Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi abdomen, bila
teraba menunjukkan keadaan yang sudah lanjut. Bila tumor sudah metastasis ke
hepar akan teraba hepar yang noduler dengan bagian yang keras dan yang kenyal.
Asites biasa didapatkan jika tumor sudah metastasis ke peritoneal. Perabaan
lomfinodi inguinal iliaka dan supraklavikular penting untuk mengetahui ada atau
tidaknya metastasis ke limfonodi tersebut. Pada pasien yang diduga menderita
karsinoma kolorektal harus dilakukan rectal toucher. Bila letak tumor ada di rektum
atau rekto sigmoid, akan teraba massa maligna (keras dan berbenjol-benjol dengan
striktura) di rektum atau rektosigmoid teraba keras dan kenyal. Biasanya pada
sarung rangan akan terdapat lendir dan darah.10,11
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat menentukan diagnosis. Walau
demikian, setiap pasien yang mengalami perdarahan perlu diperiksa kadar
hemoglobin. Pemeriksaan radiologis yang dapat dikerjakan berupa foto polos
abdomen, barium enema dan foto thoraks.
16
Pemeriksaan Laboratorium
Anemia dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium darah
(hemoglobin dan hematokrit)
Tes darah samar pada feses
Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan
pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen
ditemukan tanda-tanda perforasi, maka pemeriksaan barium enema
merupakan kontra indikasi.
Foto polos abdomen sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan sinar
horizontal. Posisi supine perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan di
sikap tegak untuk melihat batas udara-air dan letak obstruksi karena
massa.11,12,13
17
Gambar 7. Foto Abdomen Left Lateral Decubitus
Pada foto LLD tampak adanya peumoperitoneum (udara bebas diatas hepar
pada foto LLD) menunjukan adanya perforasi usus. Sebaiknya pemotretan
dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen
beserta dindingnya .Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.
18
Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus
halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.
Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran “step ladder dan air
fluid level” terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak
tampak gas. Jika terjadi stangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran
berupa hilangnya mukosa yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus.
Udara bebas pada foto thoraks tegak menunjukkan adanya perforasi usus.
Penggunaan kontras tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan peritonitis
akibat adanya perforasi.11,12,13
b. Ultrasonografi (USG)
Terdapat struktur hiperechoic yang diproyeksikan kedalam lumen dari kolon.
Endorektal ultrasonografi dapat digunakan untuk mendiagnosa carcinoma
colon. Polip sukar untuk diidentifikasi pada USG diperoleh dengan posisi
supine, karena udara normalnya berkumpul di anterior, sehingga
menyebabkan distal bayangan akustik. Tumor primer biasanya terlihat massa
yang kurang echo dengan pusat yang hiperechoic yang diketahui sebagai
target sign. Penemuan lain termasuk penebalan dinding usus secara irregular
terlokalisasi, contour yang irregular, kurangnya peristaltic normal dan absens
nya lapisan dari dinding kolon.11,12,13
19
Gambar 10. USG pada Polip Colon
c. Colon in loop
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras
barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip
yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika
terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus
digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi
yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal
fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan
detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.11,12,13
20
Gambar 11. Polip Pada Barium Enema
21
Gambar 14. Barium enema
22
Gambar 16. Colorecral canc
23
Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi memberi gambaran :
- Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)
Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat
bertangkai (pedunculated) dan tidak bertangkai
(sessile).Dinding kolon seringkali masih baik.
- Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)
Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris
(apple core).Lumen kolon sempit dan irregular. Kerap
kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn
- Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)
Bersifat segmental, terkadang mukosa masih
baik.Lumen kolon dapat tidak menyempit.Bentuk ini
sukar dibedakan dengan colitis ulseratif.11,12,13
d. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3%
dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk
mempunyai polip premaligna.
24
Gambar 18. karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan
endoskopi
e. Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut
angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya
instrumen. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 20-25% dari kanker kolon.
Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk digunakan sebagai
evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika
digunakan bersama sama dengan occult blood test.11,12,13
25
f. Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan
dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari
kanker kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini. Flexible
sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi terapeutik
polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus,
seperti pada ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun
dimulai pada umur 50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan
untuk screening seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan
risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous
yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk
dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang
berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang
letaknya proksimal pada 6-10% pasien.11,12,13
g. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai
160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema
yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya
muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang
sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel
disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding,
megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering
terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan
26
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan
perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.11,12,13
27
Gambar 22. Kolonoskopi dari karsinoma kolon
h. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging
yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker
kolon pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar,
kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di
pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada
pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan
kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon
karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum
tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi
tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75%
pasien. Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis
28
dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah
intraperitoneal.11,12,13
29
Gambar 25. CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma
kolon
b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan
sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi
dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih
tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk
mengidentifikasikan metastasis ke hepar.11,12,13
30
2.9 Penatalaksanaan Tumor Kolon
Meskipun adenoma kolon merupakan lesi premaligna, namun perjalanan
menjadi adenokarsinoma belum diketahui. Pengamatan jangka panjang
menunjukkan bahwa perkembangan menjadi adenokarsinoma dari polip 1 cm 3%
setelah 5 tahun, 8% setelah 10 tahun dan 24% setelah 20 tahun diagnosis
ditegakkan. Pertumbuhan dan potensi ganas bervariasi secara substansial. Rata-rata
waktu yang dibutuhkan untuk perubahan adenoma menjadi adebikarsinoma adalah
7 tahun, laporan lain menunjukkan polip adenomatous dengan atipia berat menjadi
kanker membutuhkan waktu rata-rata 4 tahun dan bila atipia sedang 11 tahun.
Kemoprevensi
31
Terapi ajuvan
32
BAB III
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34
12. Halpert, RD. Gastrointestinal Imaging 3rd ed: Chapter 7 Colon and
Rectum. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2006. 261-300.
13. Patel, Pradip R. .2007. Lecture Notes Radiologi edisi kedua. Jakarta:
penerbit Erlangga.
35