Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

Brainstem Lesions

Pembimbing :

Disusun oleh :

Fadli Ardiansyah 030.11.093

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN NEUROLOGI

PERIODE AGUSTUS 2019 –SEPTEMBER 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

BRAINSTEM LESIONS

Penyusun:

Fadli Ardiansyah 030.11. 093

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,

sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik

Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Trisakti

Periode Agustus – September 2019

Jakarta, Mei 2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul Brainstem Lesions Adapun penulisan referat ini dibuat
dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran
Trisakti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada , selaku
pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini. Ucapan
terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan sesama koasisten Neurologi di Fakultas Kedokteran
Trisakti dan semua pihak yang turut serta berperan memberikan doa, semangat dan membantu kelancaran
dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Pada kesempatan ini, penulis memohon maaf kepada para pembaca. Masukan, kritik, dan
saran akan penulis jadikan bahan pertimbangan agar penelitian kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih.

Tegal, Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i

HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................ii

HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 2

2.1 Definisi .............................................................................................................. 2

2.2 Anatomi ............................................................................................................ 5

2.3 Patogenesis ...................................................................................................... 4

2.4 Gejala Klinis ...................................................................................................... 6

2.5 Diagnosis .......................................................................................................... 7

2.6 Tatalaksana .................................................................................................... 11

2.7 Prognosis........................................................................................................ 12

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

iv
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
Secara anatomis Batang Otak meliputi seluruh struktur di atas Medula spinalis kecuali
Cerebrum, Cerebellum, dan Substansia Alba. Jadi Batang Otak terdiri dari Medulla Oblongata,
Pons, Mesencephalon, Thalamus, dan Ganglia Basalis. Tetapi Thalamus dan Ganglia Basalis lebih
menjurus pada fungsi cerebral dan hubungan antara Cerebellum dan Cerebrum. Fungsi motoris
dari Batang Otak terutama mengontrol tonus otot dan sikap tubuh. Batang Otak juga penting dalam
reaksi keseimbangan. Batang Otak merupakan sumber energi motoris yang sangat kuat yang
dikontrol oleh pusat-pusat yang lebih tinggi selama aktivitas motoriknya. Bilamana kontrol dari
pusat-pusat yang lebih tinggi terhadap aktivitas motoris batang otak dihilangkan maka energi
motorik dari batang otak tak terbendung dan menjadi manifestasi sebagai kekakuan (decerebrate
rigidity).

Bila dilakukan pemotongan setinggi interkolikulus dari mesensefalon sehingga bagian


rostral Mesencephalon, Thalamus dan Corteks Cerebri dihilangkan fungsinya maka akan terjadi
hipertonia yang hebat dari seluruh otot-otot ekstensor. Ekstremitas akan mengalami ekstensi yang
kaku, punggung kaku dan lurus, sedang kepala terangkat ke atas dan sedikit ke belakang.
Kekakuan akibat deserebrasi ini terjadi akibat lepasnya pusat-pusat motoris Batang Otak dari
kontrol pusat motoris yang lebih tinggi yang terletak di tempat pemotongan. Formasi retikularis
merupakan bagian dari Batang Otak yang meluas dari bagian kaudal Medulla Oblongata, melalui
Pons dan Mesencephalon ke dalam Thalamus.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Segala jenis lesi yang melibatkan batang otak, bisa berupa gangguan vaskuler (infark atau
perdarahan), tumor, proses inflamasi dan degenerasi. Batang otak merupakan suatu struktur yang
secara anatomi kompak, secara fungsional barmacam macam, dan secara klinis penting. Bahkan
suatu lesi tunggal yang relatif kecilpun hampir selalu merusak beberapa nukleus, pusat refleks,
traktus, atau jaras. Lesi seperti itu seringkali bersifat vaskular (misalnya, perdarahan, iskemia
oklusif), tetapi tumor, trauma, dan proses degeneratif atau demielinasi dapat juga merusak batang
otak. Batang Otak daerah susunan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke7 dan ke-
12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan hemiplegi
yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegi alternans. Lesi sesisi atau
hemilesi yang sering terjadi di otak jarang dijumpai di medula spinalis, sehingga kelumpuhan
UMN akibat lesi di medula spinalis pada umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia.

Etiologi lesi batang otak antara lain : a) Penyumbatan pada pembuluh darah cabang
samping yang berinduk pada ramus perforantes medialis arteria basilaris. Oklusi ramus
interpendikularis arteri serebri posterior dan arteri khoroidalis posterior. b) Insufisiensi perdarahan
yang mengakibatkan lesi pada batang otak. c) Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik
sebagai akibat invasi dari thalamus atau serebelum. Lesi neoplasmatik sukar sekali
memperlihatkan keseragaman oleh karena prosesnya berupa pinealoma, glioblastoma dan
spongioblastoma dari serebelum. Penyebab yang jarang adalah tumor (glioma). d) Lesi yang
merusak bagian medial pedunkulus serebri. e) Stroke (hemoragik atau infark) di pedunkulus
serebri. f) Hematoma epiduralis.

2.2. Anatomi

Arteri vertebralis timbul dari arteri subklavia dan ketika mereka melewati foramina
costotransverse dari C6 ke C2. Mereka memasuki tengkorak melalui foramen magnum dan
bergabung di persimpangan pontomedullary untuk membentuk arteri basilar. Setiap arteri
vertebralis biasanya bercabang menjadi arteri serebelar posterior inferior (PICA). Di bagian atas
pons, arteri basilari terbagi menjadi 2 arteri serebral posterior.

2
Arteri basilaris bercabang menjadi arteri sereblar superior yang memasok bagian lateral
pons dan otak tengah, serta permukaan superior dari otak kecil. Otak kecil dipasok oleh arteri
sirkumfleksan, arteri serebelar anterior inferior dan arteri superior sereblar dari arteri basilar.
Medulla diperdarahi oleh PICA dan cabang kecil dari arteri vertebralis. Pons diperdarahi oleh
cabang-cabang dari arteri basilaris. PCA memperdarahi otak tengah, thalamus dan korteks
oksipital.

Gambar 1. Anatomi suplai darah pada mesensefalon

Gambar 2. Anatomi suplai darah pada pons.

3
Gambar 3. Anatomi suplai darah pada medulla oblongata.

2.3. Patogenesis

Penyebab utama kelainan vaskular yang menyerang ke sistem vertebrobasilar adalah


aterosklerosis, dimana terbentuk plak di dinding pembuluh darah yang menyebabkan lumennya
menyempit dan dapat terjadi oklusi. Aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang besar.
Kejadian tersebut berbeda dimana menyerang pembuluh darah kecil yaitu pada diameter 50 – 200
µm. Pada pembuluh darah kecil prosesnya bernama lipohyalinosis yang sering terjadi berhubungan
dengan hipertensi. Oklusi dari pembuluh darah kecil ini akan membentuk infark kecil dan
melingkar bernama lakuna dimana dapat muncul soliter ataupun multiple di daerah subkorteks dan
batang otak.

Lipohyalinosis melemahkan dinding pembuluh darah dan pada penderita hipertensi


rupturnya arteri dapat terjadi dan menyebabkan hemoragik fokal. Hampir seluruh perdarahan
intraserebral berasal dari rupturnya arteri kecil yang merupakan penghubung. Karena
didapatkannya kedekatan secara anatomi antara arteri vertebral dan servikal, maka bentuk-bentuk
manipulasi pada leher dapat mencederai arteri vertebral di leher dan akhirnya membentuk oklusi
dari trauma yang ditimbulkan tersebut. Oklusi emboli dari sistem vertebrobasilar tidaklah umum
terjadi.

Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis akibat
mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan terbentuknya emboli,
4
yang akan menyumblat arteri yang lebih kecil, distal dari pembuluh darah tersebut. Trombus dalam
pembuluh darah juga dapat terjadi akibat kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga plak menjadi
tidak stabil dan mudah lepas membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada
satu atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung endapan kolesterol, agregasi
trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah
sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga
tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah.

Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan
menyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh darah
yang adekuat. Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima perdarahan 15%
dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh manusia, sebagai energi
yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan neuronal. Energi yang diperlukan berasal dari
metabolisme glukosa, yang disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan
pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme tersebut, lebih dari 30
detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit
maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal. Bila aliran
darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP
akan menurun, akan terjadi penurunan Na-K ATP ase, sehingga membran potensial akan menurun.
K+ berpindah ke ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini
menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat
awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural
ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun
dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10
ml/100 gr.menit.

Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi


enzimenzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang
ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh
karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi
sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra
seluler pada keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk mengurangi
perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya ion Ca. Komplikasi lebih lanjut dari iskemia
serebral adalah edema serbral. Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam
jaringan otak sebagai akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis.

5
Segera setelah terjadi iskemia timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari osmosis sel
cairan berpinda dari ruang ekstraseluler bersama dengan kandungan makromolekulnya.
Mekanisme ini diikuti dengan pompa Na/K dalam membran sel dimana transpor Na dan air
kembali keluar ke dalam ruang ekstra seluler. Pada keadaan iskemia, mekanisme ini terganggu dan
neuron menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler edema. Apabila iskemia
menetap untuk waktu yang lama, edema vasogenic dapat memperbesar edema sitotoksik. Hal ini
terjadi akibat kerusakan dari sawar darah otak, dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan
otak dan ke dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam substansia alba sehingga
terjadi pengumpalan cairann sehingga vasogenik edema serbral merupakan suatu edema
ekstraseluler.

Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai gambaran fingerlike pada
substansia alba. Pada stadium awal edema sitotoksik serbral ditemukan pembengkakan pada
daerah disekitar arteri yang terkena. Halini menarik bahwa gangguan sawar darah otak berhungan
dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah rekanalisasi (disebut juga trauma
reperfusy). Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa space occupying
lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang menyebabkan hilngnya kemampuan untuk
menjaga keseimbangan cairan didalam otak akan menyebabkan penekanan sistem ventrikel,
sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini berlanjut,maka akan terjadi herniasi
kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia
global dan kematian otak.

2.4. Gejala Klinis

Karena rapatnya struktur batang otak, suatu lesi hampir selalu menimbulkan kerusakan sekaligus
pada beberapa daerah sehingga lesi di batang otak menimbulkan sindroma yang kha suntuk batang
otak yaitu hemiplegia alternans, dimana terjadi kelumpuhan ekstremitas pada sisi kontralateral tipe
UMN dan kelumpuhan nervus kraniales sisi ipsilateral tipe LMN. Beberapa sindrom batang otak :

 Sindrom mesensefalon (sindrom Weber) : Hemiplegia alternans okulomotorius


(didapatkan hemiplegia kontralateral lesi dan parese nervus III ipsilateral)
 Sindrom Pons (sindrom Millard Gubler) : Hemiplegia alternans n.abdusens dan n.fasialis
(didapatkan hemiplegia kontralateral lesi dan parese n.VI dan n.VII tipe LMN)
 Sindrom Medula Oblongata : Hemiplegia alternans n.hipoglosus, hemiplegia
alternans .glossopharyngeus dan n.vagus (sindrom Wallenberg)

6
 Sindrom Benedict : Parese N.III ipsilateral, hemiparesis kontralateral, hiperkinesis
kontralateral dan ataxia.
 Sindrom Avellis : Paralisis palatum molle dan pita suara disertai hemianestesia
kontralateral
 Sindrom Jackson : Sindrom Avellis disertai paralisis lidah ipsilateral
 Sindrom Claude : Parese N.III ipsilateral disertai ataxia cerebellum
 Sindrom Parinaud : Hilangnya tatapan vertikal, midriasis, hilangnya konvergensi , refleks
cahaya menghilang, retraksi kelopak mata dan nistragmus retraktorius
 Sindrom Top O Basillar : Sindrom Parinaud, parese N.III ipsilateral dan abulia inisiatif
 Sindrom Nothnagel : Parese N.III unilateral atau bilateral disertai ataxai cerebellar

2.5. Diagnosis

Tanda umum : hemiparese / plegia  Lokalisasi tergantung dari :

- Nervus Cranialis apa yang terlibat

- Atau adanya tanda lain yang menyertai sehingga kumpulan tanda-tanda yang ditemukan
tergabung dalam apa yang disebut sindrom batang otak.

Sindrom Letak lesi Penyebab Gejala

 Kelumpuhan N. III
ipsilateral
 Hemiparesis spastik
kontralateral
 Rigiditas
Oklusi ramus
parkinsonisme
interpedukularis arteri
Sindrom Weber Mesensefalon kontralateral
serebri posterior dan arteri
 Distaksia kontralateral
khoroidalis posterior
 Defisit saraf kranialis
kemungkinan akibat
gangguan persarafan
supranuklear pada n.

7
VII, IX, X dan XII

 Kelumpuhan n. III
ipsilateral dengan
midrasis
Oklusi ramus
 Gangguan sensasi
interpedukularis arteri
Sindrom Benedikt Mesensefalon raba, posisi, dan getar
basilaris dan arteri serebri
kontralateral
posterior
 Gangguan
diskriminasi dua titik

 Rigiditas kontralateral

 Kelumpuhan nervus
VI (perifer) dan n. VII
(nuklear) ipsilateral
Oklusi ramus  Hemiplagia
Sindrom Foville
Pons sirkumferensialis arteri kontralateral
Millard-Gubler
basilaris, tumor, abses  Analgesia

 Termanestesia
 Gangguan sensasi

raba, posisi, serta getar

8
sisi kontralateral

 Kelumpuhan nuklear
N. VI dan n. VII
ipsilateral
 Nistagmus
 Paresis melirik ke

Oklusi cabang arteri lateral ipsilateral


Sindrom
basilaris (ramus  Hemiataksia dan
tegmentum pontis Pons
sirkumferensialis longus asinergia ipsilateral
kaudale
dan brevis)  Hipestesia dan

gangguan sensasi
posisi dan getar sisi
kontralateral

 Mioritmia palatum dan

faring ipsilateral

 Hilangnya sensasi
wajah ipsilateral
 Paralisis otot-otot

Oklusi ramus pengunyah


Sindrom
sirkumferensialis longus  Hemiataksia
tegmentum pontis Pons
arteri basilaris dan arteri  Intention tremor
orale
serebelaris superior  Adiadokokinesia

 Gangguan semua
modalitas sensorik
kontralateral

 Paresis flasid otot-otot


pengunyah ipsilateral

9
 Hipestesia, analgesia,
Oklusi ramus
Sindrom basis dan termanestesia
sirkuferensialis brevis dan
pontis bagian Pons wajah
ramus paramedianus arteri
tengah  Hemiataksia dan
basilaris
asinergia ipsilateral
 Hemiparesis spastic

kontralateral

 Vertigo
 Nistagmus
Oklusia atau emboli di
 Nausea
Sindrom Medulla teritori arteri serebeli
 Muntah
Wallenberg oblongata inferior posterior atau
 Disartria
arteri vertebralis
 Disfonia
 Singultus (cegukan)
Oklusia ramus  Kelumpuhan flasid N.
Medulla paramedianus arteri XII ipsilateral
Sindrom Dejerine
oblogata vertebralis atau arteri  Hemiplagia

basilaris kontralateral dan tanda

10
babinski

 Hipestesia kolumna

posterior kontralateral
 Nistagmus

 Miosis
Sistem saraf Kerusakan dari sistem  Ptosis
Sindrom Horner
simpatis saraf simpatis  Anhidrosis
 Enoftalmus

 Oftalmoplegia
 Eksoftalmus
Sindrom Sinus Sinus Gangguan pada N III, IV,  Sindrom Horner
Kavernosus karvenosus VI  Chemosis
 Hilang sensori dari

trigeminal

 Paralisis satu sisi


wajah menyebabkan
Nervus simetri wajah serta
Bell’s palsy Kerusakan saraf fasialis
fasialis gangguan fungsi
menutup mata dan
makan.

2.6. Tatalaksana

Tidak ada pengobatan yang khas dalam menangani kasus ini melainkan terapi secara
simptomatis seperti menghilangkan gejala dan melakukan rehabilitasi aktif untuk memulihkan
kegitan sehari-hari pada mereka yang diserang stroke. ada pasien yang sulit menelan, sangat
dianjurkan untuk memasang selang makanan yang dimasukkan melalui mulut atau gastrostomy
mengingat risiko aspirasi pneumonia bisa terjadi. Dalam beberapa kasus, pengobatan mungkin
digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Beberapa dokter melaporkan

11
bahwa anti-epilepsi yaitu obat gabapentin tampaknya menjadi obat yang efektif untuk individu
dengan nyeri kronis. Baclofen mungkin efektif dalam mengobati cegukan persisten.

2.7. Prognosis

Prognosis pada penyakit ini dapat beragam tergantung dari etiologi dari lesi tersebut.

12
BAB III

Kesimpulan

- Lesi batang otak disebabkan oleh etiologi yang berbeda – beda.


- Manifestasi yang tampak pada lesi batang otak tergantung pada penyebab
- Tatalaksana dilakukan secara konservatif
- Baik – buruknya prognosis tergantung pada ringan – beratnya etiologi
- Lesi batang otak merupakan komplikasi dari etiologi penyakit.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Duus P, Baehr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy,


Physiology, Signs, Symptoms. Ed 4th. EGC, Jakarta. 2005; p198 – 212.

2. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta; 2008.
h31 – 156.

3. Sindroma Weber, diunduh dari http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/syndrome-


weber/, 2009.

4. Joyce L, Anisa B, Katia C. Crash Course: Neurology. United Kingdom.

5. Sindroma Horner diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/279394-overview,


2009.

6. Etiologi Sindroma Horner, diunduh dari:


hhtp://emedicine.medscape.com/article/1220091-overview, 2009.

7. Adriani D. Sindroma Sinus Kavernosus. Departemen Neurologi FKUI. Jakarta; 2008.


h1–10.

8. Dewanto G, Suwono W.J, Riyanto B et all. Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf :
Bell’s
Palsy. Cetakan I. EGC, Jakarta. 2009 : h137-41.

14

Anda mungkin juga menyukai