Anda di halaman 1dari 9

Trauma thorax menjadi penyebab tersering kecacatan dan kematian pada dewasa dan anak-anak.

Penyebab utama 25% kematian pada trauma multipel dengan masalah utama hipoksia atau
hipovolemia. Mortalitas dapat meningkat 20% jika terdapat trauma jantung pada luka tembus. Fokus
utama pada trauma thorax adalah untuk mencegah kematian karena dapat berakibat fatal dalam waktu
singkat apabila tidak mendapatkan pertolongan segera. Cedera thorax dapat berupa cedera terpisah
atau timbul sebagai akibat adanya politrauma. Menurut etiologi, cedera thorax dibedakan menjadi
trauma tumpul dan trauma tembus. Cedera thorax spesifik misalnya barotrauma paru, trauma aspirasi,
kerusakan parenkim paru. Fraktur dinding dada dapat disebabkan oleh gaya langsung yang dapat
mengakibatkan kerusakan berupa kontusio, laserasi, atau ruptur. Laserasi pada paru dapat
menyebabkan masuknya udara dalam pembuluh darah dan mengakibatkan terjadinya emboli paru.

Trauma tumpul lebih sering diakibatkan oleh KLL. Cedera KLL dapat berupa tabrakan kepala, tabrakan
samping, benturan belakang, benturan rotasi dan terguling, cedera deselerasi, dan cedera himpitan.
Pada deselerasi, gaya yang besar pada tubuh dihentikan secara mendadak mengakibatkan benturan
pada dinding dada yang memicu kerusakan organ akibat penutupan refleks glotis yang dengan cepat
meningkatkan tekanan intrathorax.

Peningkatan diameter transversal thorax pada saat pemberian gaya yang melebihi batas elastis paru,
cedera trakeobronkial terjadi bersama dengan cedera parenkim paru, diafragma dan struktur
mediastinum.

Trauma tembus diakibatkan oleh benda tajam atau senjata api . ada 3 : sleeper, perforasi dan luka
proyektil. Ciri umum semua luka tembus adalah celah antara cavum pleura dengan lingkungan luar. Jika
luka besar maka open pneumothorax mungkin terjadi, jika luka kecil akan menutup secara spontan
dengan kontraksi otot dan pembekuan darah. Catatan hubungan antara rongga pleura dengan
lingkungan luar dapat mengakibatkan masuknya udara dan jaringan yang rusak kedalam rongga pleura
sehingga dapat menyebabkan masalah baru seperti infeksi yang memperumit manajemein klinis.

Patofisiologi trauma thorax

Trauma thorax dapat merusak fungsi paru karena:

1. Gangguan mekanisme pernapasan


2. Gangguan pertukaran gas pada pembuluh kapiler
3. Gangguan ventilasi-perfusi

Gangguan mekanisme pernapasan pada trauma thorax biasanya disebabkan oleh trauma tumpul yang
berkaitan dengan fkatur iga dan flail chest yang diikuti adanya hipoventilasi , ateletaksis, kesulitan
mengelurkan sputumdari cabang trakeobronkial, perkembangan komplikasi bronkopneumonia, gagal
napas akut, dan bahkan kematian, terutama pada pasien usi lanjut yang mengalami trauma tembus
dengan luka terbuka yang luas yang memicu pneumothorax, hemothorax, rupture diafragma, dan
rupture jalan napas yang luas. Adanya udara atau darah pada rongga pleura dapat menggiring terjadinya
kolaps paru, pengembangan jalur arteri vena dan hipoksia. Gangguan mekanisme pernapasan mungkin
mengancam jiwa karena kesulitan respirasi, hipoksia, dan sianosis sebagaimana pada tension
pneumothorax

Gangguan ventilasi-perfusi

Oksigenasi darah dan eliminasi karbon dioksida tergantung pada hubungan ventilasi-perfusi pada paru.
Gangguan ini berhubungan dengan kolaps paru dan sumbatan jalan napas mekanik. Kolaps paru baik
Sebagian(lobaris) atau total menyebabkan perfusi tidak lancar baik sehingga oksigenasi menjadi tidak
baik mengakibatkan hipoksia sistemik. Ketidakseimbangan ini muncul diikuti dengan thrombosis
vascular pada kerusakan parenkim paru atau mikroemboli akibat lemak, disseminated intravascular
coagulation (DIC), ARDS

The alveolocapillary membrane is composed of the surfactant layer, the surface of macrophages,
alveolar epithelium, the interstitial space and the capillary endothelium. In thoracic trauma direct
damage to the alveolocapillary membrane may occur, as in the case of lung contusion, smoke inhalation,
aspiration of gastric contents, heart failure and pulmonary interstitial oedema due to the excessive use
of infusion solutions and blood transfusion. The most important factors that later damage the alveolar
membrane are: ARDS, the development of hyaline membrane and alveolar oedema, terminal airway
collapse and occlusion of blood capillaries, acid-base disturbance due to hypoxemia and hypercapnia,
pulmonary hypertension, increased interstitial fluid pressure which increases the capillary resistance and
disseminated intravascular coagulation

Gas exchange abnormalities of alveolocapillary membrane

Membran kapiler alveoli tersusun atas lapisan surfaktan. Kerusakan pada membran dapat terjadi pada
kasus kontusio paru, aspirasi material gaster, gagal jantung dan edema pulmo intersisial karena
kelebihan pemberian cairan infus dan transfuse darah.

Tugas utama seorang ahli bedah adalah menilai keadaan cedera untuk mendeteksi atau mencegah
kondisi yang mengancam jiwa. Kondisi dalam kasus trauma toraks memerlukan perawatan darurat
medis, seringkali segera setelah pasien masuk rumah sakit.

Pemeriksaan fisik dan penilaian klinis diperlukan untuk memutuskan perlunya trakeostomi, drainase
dada, perikardiosentesis darurat, atau torakotomi. Dalam kasus tertentu, informasi yang diperoleh dari
analisis gas darah arteri mengarah ke diagnosis asidosis, hipoksemia, atau alkalosis.

Takipnea (frekuensi napas> 30 napas per menit) atau tanda klinis seperti retraksi otot pernapasan
merupakan gejala umum dari insufisiensi pernapasan yang memerlukan pertimbangan segera. Intubasi
endotrakeal dan ventilasi mekanis diindikasikan pada pasien dengan gangguan airway dan breathing,
syok, dan pada pasien dengan cedera kranioserebral terkait. Pada penderita hipotensi perlu dilakukan
evaluasi keadaan organ intra toraks untuk mengetahui penyebab syok.

Data tentang mekanisme cedera mungkin berguna bagi ahli bedah saat menilai tipe dan karakteristik
cedera toraks. Misalnya, pasien kecelakaan lalu lintas mungkin mengalami cedera intra toraks yang
parah. Cedera deselerasi menunjukkan potensi cedera pada pembuluh darah besar (arkus aorta dan
aorta toraks) atau saluran napas besar (trakea dan bronkus). Pada pasien yang dirawat dengan gejala
hipotensi prosedur diagnostik dimulai dengan pemeriksaan pembuluh darah leher. Distensi vena leher
(v.jugularis) dapat menunjukkan kemungkinan adanya kompresi jantung, yang disebabkan oleh tension
pneumotoraks atau tamponade jantung, sedangkan syok hipovolemik terutama terkait dengan kolaps
vena leher. Pemeriksaan dinding dada selama respirasi spontan dapat mengindikasikan pernapasan
paradoks akibat flail chest.

Palpasi dapat menunjukkan integritas dinding dada yang tidak stabil akibat fraktur atau krepitasi
emfisema subkutan, yang mungkin terkait dengan perkembangan pneumotoraks. Nyeri dan nyeri tekan
dapat terjadi. Trauma dada terisolasi akibat trauma tumpul sangat jarang terjadi. Trauma tumpul dada
pada pasien politrauma terutama terkait dengan cedera ekstra-toraks.

Penyebab utama ketidakstabilan hemodinamik pada setengah dari pasien cedera dengan tekanan
sistolik kurang dari 100 mmHg saat masuk rumah sakit adalah pada cedera intraabdomen berat.
Lokalisasi luka tembus dada harus diobservasi. Jika luka tembus berada di bawah costa V perlu dilakukan
investigasi kemungkinan pecahnya diafragma dan cedera organ intraabdominal. Laparotomi
diindikasikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan trauma tembus ke dinding dada
dan pada pasien dengan trauma tumpul di area yang sama, karena dalam kasus seperti itu kemungkinan
terjadi cedera intra-abdominal.

Radiografi dada diperlukan jika tidak diperlukan torakotomi darurat. Cedera paling umum yang mungkin
terlewatkan pada radiografi dada awal pada beberapa pasien trauma adalah cedera jaringan lunak,
cedera tulang, ruptur diafragma, ekspansi mediastinum, pneumomediastinum.

Pada kasus ruptur pembuluh darah terapi harus mencakup torakotomi dan ligasi pembuluh yang terluka.

Radiografi dada adalah alat diagnostik lini pertama yang memberikan informasi tambahan dalam
diagnosis dan evaluasi cedera toraks. Radiografi awal meliputi penilaian cedera dan gangguan yang
secara langsung atau berpotensi mengancam nyawa pasien. Terlepas dari keterbatasan objektif dari
metode berdasarkan temuan klinis dan radiografi, dalam banyak kasus ahli bedah dapat memutuskan
tentang perawatan bedah yang sesuai. Pada pasien yang tidak sadar dengan trauma multipel, radiografi
dada berguna segera setelah masuk, setelah pemasangan saluran napas (biasanya intubasi endotrakeal)
dan pemasangan selang nasogastrik atau orogastrik (digunakan untuk menentukan posisi mediastinum).
Pada pasien dengan luka tembus, luka masuk dan luka keluar harus ditandai dengan penanda
radiosensitif. Radiografi biasanya diambil dalam tampilan AP atau PA. Dianjurkan untuk mengambil
radiograf sebagai inspirasi, tetapi jika diambil selama ekspirasi mungkin berguna dalam mendeteksi
pneumotoraks kecil. Radiografi digunakan untuk evaluasi integritas dinding dada, terutama untuk
mendeteksi patah tulang rusuk dan untuk memeriksa tulang belakang dan mediastinum. Radiografi
dekubitus lateral berguna untuk mendeteksi pengumpulan udara dan cairan.

Pneumothorax : hiperlusensi pada sisi lateral dada dan kemungkinan sudut kostofrenicus

Tension pneumothorax : radiografi khas menunjukkan peningkatan lusensi di hemithorax ipsilateral


bersamaan dengan depresi diafragma dan pergeseran trakea dan mediastinum ke sisi yang berlawanan
(mudah terlihat jika tabung nasogastrik dipasang).

Haemothorax : X-ray menunjukkan bayangan di hemitoraks karena perdarahan yang terus-menerus.


Dalam kasus seperti itu, berguna untuk membandingkan temuan dari kedua hemitoraks dan area
bayangan sinar-X, terutama pada sudut kostofrenikus. Ketika radiograf diambil dalam posisi supine/
terlentang, darah dapat menyebar ke bagian posterior hemithorax, yang muncul sebagai bayangan tipis
hemithorax

Emfisema mediastinal: Pada keadaan normal tidak ada udara di mediastinum. Jika sinar-X menunjukkan
adanya udara di mediastinum dan leher, terutama jika ada riwayat pneumotoraks, ruptur trakeobronkial
harus dipertimbangkan.

Kontusio paru : memberi kesan bayangan difus parenkim paru.

Ekspansi mediastinal : adanya temuan bayangan mediastinum melebar, terutama pada posisi supine,
perlu dan berguna untuk mengambil foto radiograf posterolateral dalam posisi berdiri. Bayangan
mediastinal yang lebih lebar dari 8 cm kemungkinan besar menunjukkan transeksi aorta dan aortografi
mungkin diperlukan.

Dalam beberapa kasus, ketika kondisi pasien relatif stabil, dianjurkan untuk menggunakan CT scan
thorax dengan kontras sebagai prosedur diagnostik tambahan.

Metode lain yang berguna adalah pemindaian ultrasonografi pada abdomen dan dada, terutama untuk
evaluasi temuan ruang subdiafragmatik, cairan di rongga pleura dan ketika curiga adanya darah ada di
ruang perikardial. Pemindaian ultrasound adalah teknik yang sederhana, cepat, non-invasif dan dapat
diandalkan yang dapat diterapkan pada bagian tubuh yang berbeda, seperti perut dan dada (evaluasi
ruang subdiafragma termasuk hati, limpa, pankreas, ruang retroperitoneal, ginjal, diafragma; deteksi
subphrenic). Ekokardiografi transesofageal (digunakan untuk menilai keadaan fungsional jantung dan
pengumpulan darah di ruang perikardial), dan Color Doppler (digunakan untuk evaluasi dan deteksi
cedera pada pembuluh brakiosefalika). Ultrasonografi perut dan dada menjadi metode diagnostik rutin
yang digunakan bersama dengan radiografi dada. Radiografi toraks masih menjadi alat diagnostik utama.
Namun, dalam fasilitas modern dan lengkap, CT dada dan MSCT serta pemindaian ultrasonografi
abdomen dan dada memiliki peran penting dalam diagnosis trauma toraks. VATS (Video-Assisted
Thoracoscopy) telah menjadi prosedur bedah yang banyak digunakan dalam evaluasi trauma toraks.
VATS diindikasikan pada pasien trauma toraks dengan perdarahan ringan atau sedang yang
berkepanjangan pada pasien yang stabil dan sadar secara hemodinamik, hemothoraks, cedera
diafragma (keuntungan VATS dibandingkan laparoskopi adalah prosedur laparoskopi memungkinkan
udara masuk ke rongga pleura dan menyebabkan tension pneumotoraks).

Parameter minimal yang diperlukan yang dipantau secara teratur pada semua pasien dengan trauma
toraks, segera setelah mereka masuk ke unit bedah :

 Tekanan arteri

 Denyut arteri dan detak jantung (diperoleh dengan elektrokardiogram - EKG)

 Tekanan vena sentral (pada pasien dengan syok dan ventilasi mekanis)

 Volume urin (diukur dengan kateter urin pada pasien syok)

 Indeks jantung

 PO2 arteri, PCO2 dan pH

Pemantauan tekanan arteri, denyut nadi, hematokrit, dan volume urin dapat digunakan sebagai
parameter umum dalam penilaian penggantian cairan. Analisis gas darah arteri adalah tes fungsi paru
yang sangat berguna dan dalam menghitung derajat asidosis metabolik, jika terjadi. Dalam kasus dengan
kehilangan cairan sirkulasi yang permanen (sebagian besar karena perdarahan), kateter vena sentral
perlu dimasukkan untuk pemantauan tekanan guna menghitung penggantian volume cairan. Masalah
khusus adalah kontrol dan tekanan darah pada pasien yang kehilangan darah lebih banyak dan
kompensasi yang memadai dalam waktu yang relatif singkat (hingga 2 jam). Nilai tekanan darah pada
pasien tersebut setelah penggantian harus lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai sebelum cedera.
Dengan kata lain, mengembalikan tekanan darah ke nilai normal sebelum cedera dapat menyebabkan
hipervolemia. Menstabilkan tekanan sistolik pada 90 mmHg atau sedikit di atas dapat memuaskan untuk
memperbaiki hipovolemia dan mencegah hipervolemia. Perawatan harus diberikan pada pasien yang
menderita hipertensi sebelum cedera, karena tekanan untuk nilai yang lebih rendah dari 80 hingga 100
mmHg masih mungkin merupakan tanda hypovolemia

Memar dinding dada dan hematoma adalah cedera toraks yang paling umum. Akibat trauma tumpul
pada dinding dada, perdarahan masif dapat terjadi akibat cedera pembuluh darah di kulit, jaringan
subkutan, otot, dan pembuluh darah interkostal. Kebanyakan hematoma ekstrapleural tidak
memerlukan pembedahan karena jumlah darah yang keluar sedikit. Hanya hematoma besar atau infeksi
hematoma yang memerlukan intervensi bedah.

Kontusio paru merupakan manifestasi tersering dari trauma tumpul dada dan merupakan laserasi
parenkim yang disertai dengan perdarahan intraalveolar. Sebuah memar paru disebabkan langsung oleh
trauma tumpul pada dinding dada, merusak parenkim secara serius bersama dengan edema interstisial
dan perdarahan, dan menyebabkan hipoventilasi di bagian paru-paru yang berventilasi buruk. Memar
dapat menyebabkan kerusakan pada satu segmen, beberapa segmen, atau seluruh lobus paru.
Hematoma intrapulmonal terjadi ketika pembuluh darah yang lebih besar di paru-paru terluka.
Diagnosis kontusio paru didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik (suara gemericik saat auskultasi),
radiografi dada dan CT. Radiografi dada mungkin menunjukkan infiltrat nodular tidak teratur, infiltrat
homogen dan infiltrat parenkim difus yang menghilang segera setelah cedera. CT dada jauh lebih rinci
daripada radiografi standar, dan empat jenis lesi dapat diamati. Lesi tipe I adalah lesi kavitas parenkim
kecil atau kumpulan cairan hidroaerik. Lesi tipe II adalah lesi hidroaerik dan kavitas udara di beberapa
bagian paru di regio paravertebral. Pada tipe III selain lesi hidroaerik dan rongga udara pada bidang paru
perifer selalu terdapat fraktur tulang rusuk. Lesi tipe IV terjadi akibat avulsi adhesi pleuropulmonal, di
mana paru-paru ditarik ke belakang karena pukulan tajam ke dinding dada.

Memar yang melibatkan lebih dari 30% parenkim paru memerlukan ventilasi mekanis. Pembedahan
darurat diperlukan pada 5% kasus memar paru, yaitu cedera dengan kebocoran udara masif, cedera
dengan perdarahan intratoraks masif (1500ml darah saat dimasukkan ke drainase dada dan 200ml darah
setiap 3-4 jam, dengan penggantian terus menerus) , cedera sepihak dengan hemoptisis masif, dan
emboli udara

Fraktur kartilago costa tidak dapat dilihat pada foto toraks. Mereka dapat dideteksi dengan pemeriksaan
fisik yang cermat, adanya krepitasi dan nyeri tekan saat palpasi. Fraktur costa yang paling umum berasal
dari costa IV - IX.

Kompresi anteroposterior dada menyebabkan fraktur ujung rusuk lateral, yang kemudian diarahkan ke
luar. Cedera pada pleura atau paru-paru jarang terjadi pada kasus seperti itu. Kekuatan traumatis dapat
mengarahkan tulang rusuk yang patah untuk runtuh ke dalam, menyebabkan laserasi berikutnya dari
pembuluh interkostal, pleura dan paru-paru dan dapat menyebabkan hemothorax, pneumothorax atau
haemopneumothorax. Pasien biasanya membatasi pergerakan area yang cedera dengan menurunkan
laju pernapasan sehingga terjadi hipoventilasi yang dapat menyebabkan atelektasis dan pneumonia
atau perkembangan infeksi. Analgesik oral / parenteral, blok saraf interkostal, dan analgesia kateter
intrapleural atau stimulasi saraf listrik transkutan digunakan sebagai metode pereda nyeri pada trauma
dada.
Dalam praktik klinis, terdapat pengalaman yang relatif baik dengan fiksasi unilateral menggunakan
bahan perekat (wide-strip leucoplast), pada pasien dengan fraktur costa tunggal yang diikuti dengan
nyeri hebat. Fiksasi dilakukan selama respirasi di akhir ekspirium dengan menempatkan leukoplas di
antara tepi sisi fraktur. Terapi fisik diindikasikan pada pasien dengan fraktur costa serial untuk mencegah
ateletaksis

Flail chest adalah suatu kondisi medis ketika beberapa tulang rusuk yang berdekatan patah. Secara
patofisiologis, segmen dinding dada bergerak secara paradoks, selama fase inspirasi ditarik ke dalam,
sedangkan fase ekspirasi ditarik keluar, mencegah aliran udara ke sisi yang cedera. Pertama, udara
terdeoksigenasi ditahan di dalam sisi yang terluka, tetapi kemudian berpindah ke sisi yang tidak terluka,
yang menyebabkan gangguan ventilasi dan kapasitas vital yang rendah. Pada pasien yang bernapas
spontan di mana tidak ada masalah ventilasi berat, analgesik dan terapi fisik awal akan membantu. Pada
pasien dengan gangguan ventilasi yang parah, penerapan ventilasi mekanis dengan tekanan positif pada
akhir ekspirasi (PEEP) akan menghasilkan stabilisasi dinding dada. Perawatan bedah pada flail chest
termasuk stabilisasi internal dinding dada dan dapat dilakukan setelah stabilisasi eksternal tercapai.

Flail chest sisi anterior dextra. Pasien dipasang ventilasi mekanik dan pemasangan WSD.

Pneumotoraks menandai adanya udara di rongga pleura. Pneumotoraks traumatis terjadi sebagai akibat
dari cedera dada yang tumpul atau tembus. Mekanisme terjadinya pneumotoraks pada luka tembus
dada mudah dipahami, karena luka pada dinding toraks memungkinkan terjadinya komunikasi dengan
lingkungan luar dan udara langsung masuk ke dalam rongga pleura. Dalam traumatologi lalu lintas, lima
jenis tabrakan adalah umum: head - on, lateral, rare-end, rotating (berbalik) dan rollover. Masing-
masing tipe yang disebutkan memiliki karakteristiknya sendiri, tetapi karakteristik yang sama untuk
semua tipe adalah menyebabkan cedera deselerasi. Mekanismenya sama seperti ketika jatuh dari
ketinggian.
Pneumotoraks ditangani dengan pembedahan oleh drainase toraks. Luka tembus sempit pada dinding
dada seringkali tertutup secara spontan, akibat kontraksi otot atau terjadi tamponade akibat
pembekuan darah. Tekanan di rongga pleura negatif berbanding lurus dengan tekanan atmosfer selama
seluruh siklus pernapasan. Tekanan negatif merupakan konsekuensi hubungan timbal balik antara
kecenderungan kolaps paru dan dinding toraks yang mengembang. Tekanan alveolar selalu lebih tinggi
dari tekanan pleura. Ketika komunikasi muncul antara ruang alveolus dan pleura, udara berpindah dari
alveoli ke dalam rongga pleura, sampai ada gradien tekanan. Konsekuensi patofisiologis terpenting dari
pneumotoraks adalah penurunan kapasitas vital dan tekanan oksigen parsial dalam darah. Penurunan
kapasitas vital dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan dengan hipoventilasi alveolar dan asidosis
pernapasan. Paru-paru yang terkena kolaps, akumulasi udara dari lingkungan luar menyebabkan
perkembangan tekanan pleura positif yang selanjutnya mendorong mediastinum ke sisi yang sehat.
Tekanan pleura yang positif bisa begitu tinggi mendorong atau menyebabkan inversi diafragma
ipsilateral.

Ada lebih banyak sistem drainase yang digunakan selama drainase toraks. Untuk menggunakan secara
penuh efek terapeutik dari masing-masing sistem perlu diketahui prinsip kerja masing-masing. Prinsip
kerja dasar dari setiap sistem drainase adalah: menyediakan evakuasi satu arah secara terus menerus,
mengalirkan udara dan cairan dari rongga pleura ke dalam drainage collector untuk mengembalikan
ekspansi paru-paru.

Secara praktis, drainase toraks dapat dilakukan dengan dua cara berbeda yaitu:

 Torakostomi operatif - dengan insisi klasik toraks dengan GA dalam posisi dekubitus pada sisi yang
sehat kemudian dilakukan diseksi dan preparasi tumpul dan pemasangan large-bore thoracic drain
dilakukan dengan bantuan jari.

 Torakostomi trokar - drainase dilakukan dengan anestesi lokal dengan menempatkan chest tube
melalui lumen yang sempit dengan metal thoracic trocar. Sayatan dibuat menembus rongga pleura
dengan bantuan stiletto . Trokar ditempatkan di dalam drain toraks. Dengan torakostomi trokar,
kerusakan dinding dada lebih sedikit dan intervensi dilakukan secara signifikan lebih cepat, dibandingkan
dengan torakostomi operatif. Posisi pasien adalah posisi duduk dengan daerah antebrachial bersandar
pada sandaran kursi atau berbaring telentang.
Manfaat chest tube pada hemothorax :

1. Evakuasi darah dari rongga pleura


2. Monitoring jumlah darah yang hilang
3. Kemungkinan terjadinya infeksi bakteri menurun karena enkapsulasi hematoma dan mencegah
terjadinya empyema

Anda mungkin juga menyukai