Anda di halaman 1dari 11

TRAUMA THORAKS

Pendahuluan
A. Insidensi
Pada pertempuran, cedera terbanyak mengenai ekstremitas, kemudian baru trunkus.
Tetapi pada kehidupan sipil sehari-hari, trauma paling banyak mencederai trunkus. Di
AS mortalitas trauma toraks 10%, dan satu dari empat kematian karena trauma,
disebabkan oleh cedera toraks. Banyak pasien kelompok ini yang meninggal setelah
mencapai rumah sakit, sehingga sebenarnya cukup banyak kematian akibat trauma toraks
yang sebenarnya dapat dicegah dengan diagnosis dan terapi dini. Kurang dari 10%
trauma tumpul toraks dan hanya sekitar 15-30% trauma penetrans toraks yang
memerlukan torakotomi. Sebagian besar pasien cedera toraks dapat dikelola dengan
tindakan yang sederhana, yang dapat dilakukan oleh dokter umum.
B. Patofisiologi
Cedera toraks sering menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis. Hipoksia jaringan
terjadi karena tidak adekuatnya penghantaran oksigen ke jaringan, disebabkan oleh
hipovolemia akibat perdarahan, ketidakseimbangan ventilasi/perfusi pulmo akibat
kontusi, hematoma, atau kolaps alveolus, dan gangguan tekanan intratorakal misalnya
pada pneumotoraks tension atau pneumotoraks terbuka.
Hiperkarbia paling sering
disebabkan oleh ventilasi yang inadekuat akibat perubahan tekanan intratorakal seperti
tersebut di atas, atau karena turunnya tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan
oleh hipoperfusi jaringan akibat syok.
C. Penilaian dan Pengelolaan Inisial
1. Pengelolaan pasien trauma toraks harus terdiri dari:
a. Survei primer
b. Resusitasi fungsi vital
c. Survei sekunder yang mendetail.
d. Terapi definitif
2. Karena hipoksia menjadi gambaran kegawatan cedera toraks yang utama, maka
intervensi dini dimaksudkan untuk mencegah atau mengatasi hipoksia.
3. Cedera yang mengancam jiwa diatasi segera, dengan tindakan yang sederhana.

4. Sebagian besar cedera toraks yang mengancam jiwa, dapat diatasi dengan
mengontrol jalan napas, atau dengan memasang tube toraks atau jarum secara
tepat.

Survei Primer: Cedera-cedera yang Mengancam Jiwa


Survei primer pada pasien cedera toraks dimulai dari jalan napas.
harus cepat diatasi, segera setelah teridentifikasi.

Masalah utama

A. Jalan Napas
Cedera yang mengganggu jalan napas harus diidentifikasi dan diatasi pada survei primer.
Jalan napas yang bebas dan pertukaran udara dinilai dengan: 1) Mendengar gerakan
udara pada hidung, mulut, dan pulmo; 2) Menginspeksi adanya obstruksi oleh benda
asing pada orofaring; 3) Mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikuler.
Cedera laring mungkin menyertai trauma toraks yang berat. Gejala klinisnya kadangkadang samar-samar, akan tetapi obstruksi jalan napas akibat trauma laring adalah suatu
ancaman jiwa.
Trauma tulang yang khusus, yang nyata-nyata mengganggu jalan napas atau pernapasan
ialah cedera toraks bagian atas yang menyebabkan dislokasi posterior atau frakturdislokasi artikulasi sternoklavikuler. Fragment fraktur proksimal yang terdislokasi atau
komponen sendi bagian distal akan menekan trakea. Kadang-kadang, dapat disertai
penekanan atau laserasi arkus aorta oleh fragmen fraktura. Diagnosis ditegakkan dengan
adanya stridor, perubahan kualitas suara yang nyata bila pasien dapat berbicara, dan
riwayat trauma di basis leher disertai defek artikulasi sternoklavikuler yang terpalpasi.
Terapinya ialah pemasangan jalan napas definitif dengan intubasi endotrakeal yang
mungkin sulit bila trakea benar-benar tertekan, atau dengan reduksi tertutup dengan
ekstensi bahu diikuti tarikan pada klavikula menggunakan doek-klem. Setelah tereduksi,
kedudukan biasanya stabil pada posisi telentang.
B. Pernapasan
Toraks dan leher harus terekspos untuk menilai pernapasan dan vena leher. Gerak dan
kualitas respirasi dinilai dengan observasi, palpasi, dan auskultasi. Penting mendeteksi
kenaikan frekuensi dan perubahan pola respirasi sebagai tanda adanya cedera toraks atau
hipoksia, meskipun tanda tersebut mungkin hanya samar-samar. Sianosis adalah gejala
hipoksia tingkat lanjut pada pasien trauma, meskipun tanpa sianosis bukan berarti
oksigenasi jaringan atau jalan napasnya adekuat.
Cedera utama pada toraks yang mengganggu pernapasan yang akan dibicarakan berikut
ini, harus teridentifikasi pada survei primer.
1. Pneumotoraks tension terjadi karena cedera pulmo atau cedera dinding toraks
membentuk katup satu arah. Udara akan dimampatkan ke rongga pleura tanpa jalan

keluar, sehingga pulmo kolaps. Mediastinum terdesak ke sisi berlawanan, menekan


pulmo sisi lain dan menurunkan kembalinya darah vena ke jantung. Penyebab tersering
adalah ventilasi mekanik pada cedera pulmo. Dapat juga terjadi sebagai penyulit
pneumotoraks simpel pasca trauma penetrans maupun trauma tumpul, atau setelah
pemasangan jalur intravena yang salah arah pada v.jugularis interna atau v.subklavia.
Penyebab lain yang lebih jarang ialah luka terbuka dinding toraks yang dibalut kedap
udara, atau fraktura vertebra torakal yang terdislokasi cukup hebat.
2. Pneumotoraks terbuka disebut juga sucking chest wound, disebabkan oleh defek
besar dinding toraks yang selalu terbuka, sehingga tekanan intratorakal akan segera
sama dengan tekanan atmosfer. Bila ukuran defek mendekati dua pertiga penampang
trakea, maka udara akan melalui jalur yang tekanannya lebih rendah sehingga tiap
respirasi, udara akan memasuki rongga toraks melalui defek tersebut. Ventilasi yang
efektif akan terganggu, menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia. Penutupan luka dengan
bahan kedap udara yang dibalut pada tiga sisi, akan membuat semacam katup satu arah:
pada tiap gerakan respirasi, udara dapat keluar dari rongga toraks, tetapi tidak bisa
masuk. Penutupan luka secara definitif dengan tindakan bedah biasanya diperlukan, dan
dilakukan setelah dipasang drainase dengan tube toraks.
3. Flail chest terjadi, bila satu segmen dinding toraks terputus kontinuitas tulangtulangnya dengan dinding toraks lainnya. Biasanya terjadi karena fraktura multipel,
yang mengenai dua kosta atau lebih pada dua tempat atau lebih. Adanya segmen flail
chest menyebabkan terputusnya gerak respirasi normal pada dinding toraks. Bila
disertai cedera yang nyata pada pulmo di bawah segmen flail chest, akan mengakibatkan hipoksia yang serius. Gerakan akibat flail chest yang disebut respirasi paradoksal
saja, belum tentu menyebabkan hipoksia. Hipoksia timbul karena pengaruh restriksi
gerak respirasi akibat nyeri, dan cedera pulmo diprofundus segmen flail chest.
Pada tingkat awal, flail chest mungkin tidak tampak dengan jelas. Gerak pernapasan
tampak terganggu, dengan krepitasi pada palpasi fraktura kosta atau teraba fraktura di
daerah kartilago. Foto-X mungkin akan menunjukkan fraktura beberapa kosta, tapi
disrupsi kostokondral tidak akan tampak pada foto tersebut. Oksimetri pulsus atau
analisis gas darah arterial mungkin dapat membantu diagnosis flail chest.
Terapinya terdiri dari pemberian oksigen dan resusitasi cairan. Perlu diperhatikan
bahwa cedera pulmo pada flail chest sensitif terhadap resusitasi kristaloid yang kurang
adekuat pada keadaan syok, maupun terhadap kelebihan cairan.
Terapi definitif bertujuan untuk mengembangkan pulmo kembali selengkap mungkin,
pemberian cairan yang jumlahnya tepat, dan pemberian analgesik untuk memperbaiki
ventilasi. Penilaian yang berhati-hati meliputi frekuensi pernapasan, saturasi oksigen
dan tekanan oksigen arteri, serta efektifitas gerak pernapasan akan menunjukkan
indikasi yang tepat kapan pasien memerlukan intubasi dan ventilasi, atau pasien dapat
dikelola tanpa ventilator.
4. Hemotoraks masif pada salah satu hemitoraks akan menekan respirasi karena
terjadinya kompresi pulmo sehingga ventilasi menjadi inadekuat. Hal ini dibicarakan
pada gangguan sirkulasi.

C. Sirkulasi
Pulsus dinilai kualitas, frekuensi, dan regularitasnya. Pada hipovolemia, denyut a.radialis
dan a.dorsalis pedis mungkin tidak teraba. Tekanan darah dan tekanan nadi (selisih
tekanan sistolik dan tekanan diastolik) harus diukur, dan sirkulasi perifer dinilai dari
warna dan suhu kulit. Vena leher perlu dinilai, apakah ada distensi. Hati-hati pada
hipovolemia: tamponade jantung, pneumotoraks tension maupun ruptura diafragma bisa
terjadi tanpa distensi vena leher.
Monitor jantung dan oksimetri pulsus harus selalu dipasang pada pasien trauma toraks,
karena trauma toraks (khususnya pada trauma sternum akibat trauma deselerasi) sering
disertai kontusi jantung yang mengakibatkan disritmia.
Cedera utama yang mengganggu sirkulasi harus teridentifikasi dan diatasi pada survei
primer, meliputi hal-hal tersebut berikut ini.
1. Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi dengan cepat 1500 ml darah dalam
rongga toraks. Paling sering disebabkan oleh luka penetrans yang menusuk pembuluh
darah sistemik atau pembuluh darah di hilus pulmo, tapi mungkin juga disebabkan oleh
trauma tumpul. Kehilangan darah dipersulit dengan hipoksia. Vena leher jarang
distensi akibat hamotoraks, kecuali bila disertai pneumotoraks tension.
Diagnosis ditegakkan bila pasien syok disertai hilangnya suara pernapasan pada suatu
hemitoraks, yang pekak pada perkusi.
Terapinya diawali dengan resusitasi cairan bersamaan dengan pemasangan tube toraks.
Bila dicurigai hemotoraks masif, yaitu darah inisial yang tertampung 1500 ml atau
lebih, disiapkan autotransfusi bila ada peralatannya, dan disiapkan torakotomi.
Meskipun darah inisial yang keluar kurang dari 1500 ml, bila dalam observasi darah
yang keluar 200 ml/jam selama 2-4 jam, atau keadaan pasien tidak membaik meskipun
sudah mendapat transfusi, maka torakotomi sudah terindikasi.
Luka penetrans di anterio toraks lebih medial dari papilla mammae atau luka penetrans
di posterior toraks lebih medial dari skapula, perlu diwaspadai karena ada kemungkinan
mencederai pembuluh darah besar, hilus pulmo, dan jantung disertai kemungkinan
tamponade. Torakotomi hanya dilakukan oleh spesialis bedah yang sudah terlatih.
2. Tamponade jantung paling sering disebabkan oleh luka penetrans, meskipun
kadang-kadang trauma tumpul dapat juga mengakibatkan rongga perikardium terisi
darah dari jantung, pembuluh darah besar, atau pembuluh darah perikardial. Karena
perikardium merupakan selaput fibrosa yang berukuran tertentu, maka jumlah darah
yang relatif sedikit sudah dapat membatasi pengisian jantung, sehingga aktivitas
jantung terganggu.
Aspirasi darah atau cairan sebanyak 15-20 ml melalui
perikardiosentesis sudah dapat memperbaiki hemodinamika dengan cepat.
Diagnois tamponade mungkin sulit. Trias Beck yang klasik, terdiri dari kenaikan
tekanan vena leher, penurunan tekanan arteri, dan suara jantung yang meredup. Suara
jantung yang meredup atau menjauh, sulit diauskultasi dengan baik di UGD yang
biasanya gaduh. Distensi vena leher sering tidak terjadi bila ada hipovolemia yang
hebat, dan hipotensi pada kasus trauma paling sering terjadi justru karena hipovolemia.
Pulsus paradoksus (penurunan tekanan sistolik yang fisiologis, terjadi saat inspirasi
spontan) yang berlebihan sampai > 10 mmHg merupakan tanda lain suatu tamponade.

Kenaikan tekanan vena saat inspirasi spontan (tanda Kussmaul) dapat terjadi pada
tamponade. Yang lebih menyulitkan, pneumotoraks tension terutama pada hemitoraks
sinistra, mirip dengan suatu tamponade jantung. Penunjang diagnosis tamponade
jantung ialah: 1) PEA (pulseless electric activity) tanpa hipovolemia dan penumotoraks
tension; 2) CVP meninggi (dapat terjadi karena sebab yang lain); 3) Echokardiografi.
Terapi tamponade jantung ialah evakuasi segera darah di dalam rongga perikardium,
dengan melakukan perikardiosentesis atau bila ada spesialis bedah yang terlatih, dengan
intervensi di kamar bedah: membuat jendela perikardium subxifoid, atau melakukan
perikardiotomi melalui torakotomi emergensi bila keadaan pasien memungkinkan.

Torakotomi Resusitatif
Pasien PEA karena trauma penetrans dapat ditolong dengan torakotomi resusitatif untuk:
1) Mengevakuasi darah penyebab tamponade jantung; 2) Menghentikan perdarahan
intratorakal yang mengancam jiwa; 3) Melakukan masase jantung; 4) Menjepit aorta
subdiafragma untuk memperlambat perdarahan dan menaikkan perfusi otak dan jantung.
Pasien PEA karena trauma tumpul bukan kandidat untuk torakotomi emergensi.
Torakotomi emergensi hanya boleh dilakukan oleh spesialis bedah yang terlatih.

Survei Sekunder: Cedera-cedera yang Mengancam


Jiwa
Pada survei sekunder dilakukan pemeriksaan yang mendalam, foto-X toraks pada posisi
tegak bila keadaan pasien memungkinkan, monitor oksimetri dan EKG, dan pemeriksaan
gas darah arterial. Pada foto toraks tersebut diteliti ekspansi pulmo, adanya cairan,
kemudian diperiksa kemungkinan ada pelebaran mediastinum, pergeseran mediastinum
dari linea mediana, atau hilangnya detil anatomi. Fraktura kosta multipel atau fraktura
kosta pertama dan/atau kosta kedua, menunjukkan bahwa toraks beserta jarinngan di
dalamnya telah mengalami trauma yang cukup besar intensitasnya.
Berbeda dengan cedera yang mengancam jiwa pada survei primer, cedera yang
berpotensi mengancam jiwa pada survei sekunder ini tandanya samar-samar, sehingga
sering luput dari diagnosis bila tidak diperiksa dengan kecurigaan yang tinggi.

A. Pneumotoraks simpel
Pneumotoraks terjadi karena udara memasuki rongga antara pleura viseralis dan pleura
parietalis. Penyebabnya bisa oleh trauma penetrans maupun oleh trauma non-penetrans.
Fraktur-dislokasi vertebra torakal dapat disertai pneumotoraks. Laserasi pulmo disertai
kebocoran udara adalah penyebab pneumotoraks yang paling biasa terjadi akibat trauma
tumpul. Rongga toraks secara normal terisi penuh oleh pulmo yang tertahan ke dinding

toraks oleh tegangan permukaan kedua pleura. Udara dalam rongga pleura akan
menyebabkan pulmo kolaps, dan defek ventilasi/perfusi terjadi karena darah yang
mengalir ke area yang tidak terventilasi, tidak teroksigenasi.
Klinis, pneumotoraks ditandai dengan penurunan suara pernapasan pada sii yang terkena,
dan pada perkusi terdengar hipersonor. Penunjangnya ialah X-foto posisi tegak pada
ekspirasi.
Terapi pilihannya ialah pemasangan tube toraks pada sela iga ke-4 atau ke-5, tepat di
anterior linea aksilaris media. Observasi atau aspirasi tidak dianjurkan. Tube toraks
dihubungkan dengan sistem sekat udara (underwater seal apparatus), dengan atau tanpa
suction, kemudian reekspansi pulmo dikonfirmasi dengan X-foto. Pasien pneumotoraks
atau yang terancam oleh pneumotoraks karena trauma, tidak boleh dibius,
ditransportasikan melalui angkutan udara, atau diventilasi bertekanan positif sebelum
dipasang tube toraks.
B. Hemotoraks
Penyebabnya ialah laserasi pulmo, laserasi a.interkostalis, atau laserasi a.mammaria
interna oleh trauma tumpul maupun trauma penetrans.
Hemotoraks yang tampak pada X-foto terapi pilihannya ialah pemasangan tube toraks
ukuran besar, untuk mengevakuasi darah, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah,
dan untuk memonitor perdarahan secara terus-menerus (lihat indikasi torakotomi pada
hemotoraks masif), dan mempermudah diagnosis ruptura diafragma.
C. Kontusi pulmo
Kelainan ini berpotensi letal, melalui kegagalan respirasi yang berkembang lambat dan
samar-samar. Merencanakan terapi definitif memerlukan monitor ketat dan reevaluasi
yang frekuen. Hipoksia yang nyata (PaO2 <65 mmHg atau 8,6 kPa; SaO2 <90%)
menjadi indikasi intubasi dan ventilasi sejak jam-jam pertama pascatrauma.
Komorbiditas seperti penyakit paru-paru kronik atau gagal ginjal, dapat menaikkan
kemungkinan diperlukan intubasi dan ventilasi dini. Pasien yang kondisinya stabil, dapat
dikelola tanpa intubasi-ventilasi.
Monitor oksimetri pulsus, analisis gas darah arterial, EKG, dan alat ventilasi yang sesuai,
diperlukan untuk mengelola kontusi pulmo secara optimal. Pasien dengan komorbiditas
tersebut di atas yang memerlukan transportasi, harus diintubasi-ventilasi.
D. Cedera trakeobronkial
Cedera trakea dan bronkus utama jarang terjadi, dan berpotensi fatal bila luput dari
diagnosis pada pemeriksaan inisial. Pada trauma tumpul. Cedera semacam ini terjadi
pada jarak 2,5 cm dari karina, dan biasanya pasien meninggal di tempat kejadian. Yang
mencapai rumah sakit, mortalitasnya tinggi karena cedera lain yang menyertai.

Perlu konsultasi bedah segera bila dicurigai ada ruptura trakeobronkial. Klinis, gambaran
yang sering dijumpai ialah hemoptisis, emfisema subkutan, atau pneumotoraks tension
disertai pergeseran mediastinum. Pneumotoraks disertai keluarnya gelembung udara
terus-menerus setelah dipasang tube toraks kemungkinan disebabkan oleh cedera
trakeobronkial. Diperlukan lebih dari satu tube toraks untuk mereekspansi pulmo.
Diagnosis ditegakkan dengan bronkoskopi. Oksigenasi yang adekuat mungkin dicapai
dengan intubasi untuk sementara waktu, pada bronkus utama sisi yang sehat,.
E. Cedera jantung karena trauma tumpul
Trauma tumpul pada jantung dapat menyebabkan kontusi otot jantung, ruptura bilik atau
serambi, atau robekan valvula. Ruptura bilik atau serambi, memberi gambaran khusus
berupa tamponade jantung, dan harus didiagnosis pada survei primer. Namun, tandatandanya berkembang lambat sehingga mungkin belum teridentifikasi pada survei primer.
Klinis, pasien kontusi jantung mungkin mengeluhkan rasa tidak nyaman di toraks, yang
biasanya dikira karena kontusi dinding toraks atau fraktura sternum dan/atau kosta.
Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan inspeksi langsung pada miokardium yang
cedera. Kelainan yang dapat diamati ialah hipotensi, gangguan konduksi pada EKG, atau
abnormalitas gerak dinding jantung pada ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG
dapat sangat bervariasi, bahkan dapat ditemukan infark jantung selain kontraksi
ventrikuler yang prematur, sinus takikardia tanpa penyebab yang jelas, fibrilasi atrium,
RBBB, atau perubahan segmen ST. Kenaikan tekanan vena sentral tanpa penyebab yang
jelas merupakan indikasi adanya gangguan fungsi ventrikel kanan akibat kontusi. Perlu
diingat, bahwa cedera jantung dapat dipresipitasi oleh infark miokard.
Pasien kontusi jantung yang terdiagnosis dari gangguan konduksi harus dimonitor pada
24 jam pertama, karena adanya resiko disritmia yang terjadi tiba-tiba.
F. Ruptura aorta
Ruptura aorta karena trauma, menjadi penyebab kematian mendadak setelah tabrakan
mobil atau jatuh dari ketinggian. Sebenarnya, pasien dapat diselamatkan bila ruptura
aorta terdiagnosis dan diterapi dini. Pasien yang terselamatkan biasanya karena laserasi
parsial dekat ligamentum arteriosum, dengan lapisan adventisia tetap intak atau terbentuk
hematoma mediastinal yang mencegah kematian segera.
Tampilan klinis yang spesifik sering tidak ditemukan. Ruptur aorta harus dipikirkan bila
dijumpai anamnesis trauma deselerasi disertai tanda foto-X yang karakteristik. Diagnosis
ditegakkan dengan angiografi. Angiografi dilakukan bila pada foto-X ditemukan:
pelebaran mediastinum, obliterasi kenop aorta, deviasi trakea ke kanan, obliterasi ruang
antara a.pulmonaris dan aorta, depresi bronkus utama sinistra, deviasi esofagus ke kanan,
kolom paratrakea melebar, gambaran tudung pleura (pleural cap), hemotoraks sinistra,
fraktura kosta I atau kosta II, atau fraktura skapula. Begitu ada kecurigaan ruptura aorta,
pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk mereparasi
ruptura tersebut. Spesialis bedah yang mengelola kasus ini akan melakukan pemjahitan
aorta, atau reseksi diikuti pemasangan graft.

G. Ruptura diafragma
Ruptura diafragma lebih umum terdiagnosis di kiri, karena hepar menutupi defek yang
mungkin terjadi pada sisi kanan. Deteksi lebih mudah karena tampak usus, gaster, atau
tube gaster. Trauma tumpul akan membuat defek radial yang cukup besar untuk suatu
herniasi, sedang trauma penetrans membuat defek kecil yang memerlukan waktu kadang
sampai beberapa tahun untuk berkembang menjadi hernia diafragmatika.
Cedera ini mungkin luput dari diagnosis karena diinterpretasikan sebagai diafragma yang
terelevasi, dilatasi gaster, pneumotoraks yang terlokulasi, atau hematoma subpulmoner.
Keraguan dapat disingkirkan dengan memasang tube nasogastrik kemudian difoto ulang.
Gastroesofagografi menggunakan kontras dilakukan bila diagnosis meragukan.
Sering ditemukan ruptura diafragma pada waktu eksplorasi abdomen untuk cedera lain.
Terapinya ialah reparasi langsung.
H. Trauma penetrans mediastinum
Luka penetrans mediastinum mungkin mencederai jantung, pembuluh darah besar,
struktur trakeobronkial, atau esofagus. Diagnosis ditegakkan bila pada pemeriksaan
yang teliti dan pada foto-X ditemukan luka masuk pada satu hemitoraks dan luka keluar
atau fragmen metal tampak pada hemitoraks kontralateral. Perlu diwaspadai
kemungkinan cedera mediastinum bila ada luka dengan gambaran fragmen metal di dekat
struktur mediastinum. Harus dilakukan konsultasi bedah.
Pasien dengan gangguan hemodinamika harus dianggap mengalami perdarahan toraks
yang hebat, pneumotoraks tension, atau tamponade jantung. Torakostomi bilateral
dengan tube berukuran besar perlu untuk mengatasi hemopneumotoraks dan untuk
mengukur kehilangan darah. Indikasi torakotomi emergensi serupa dengan hemotoraks
masif. Eksplorasi dilakukan pada kedua hemitoraks, dengan mendahulukan sisi yang
perdarahannya lebih hebat.
Pasien dengan hemodinamika normal, bahkan yang tidak menunjukkan tanda klinis
maupun radiologis cedera mediastinum, harus diteliti untuk memastikan tidak ada cedera
mediastinum, meliputi cedera vaskuler, trakeobronkial, maupun esofagus. Dilakukan
aortografi, diikuti esofagofrafi dengan kontras yang larut dalam air, esofagoskopi, dan
bronkoskopi.
Mortalitas luka penetrans mediastinum di USA sekitar 20%, menjadi dua kali lipat bila
disertai gangguan hemodinamika. Sekitar separuh kasus luka penetrans mediastinum
mengalami gangguan hemodinamika, dan 30% lainnya memerlukan intervensi bedah
setelah dilakukan evaluasi.

Manifestasi Lain pada Cedera Toraks

Cedera lain perlu dideteksi pada survei sekunder pasien trauma toraks. Meskipun tidak
langsung mengancam jiwa, tetapi berpotensi menimbulkan kelainan yang signifikan.
A. Emfisema subkutan
Penyebabnya ialah cedera jalan napas, cedera pulmo, atau lebih jarang lagi, cedera akibat
ledakan. Meskipun tidak memerlukan terapi tersendiri, namun penyebabnya harus
diterapi. Bila diperlukan PPV, torakostomi harus dilakukan pada sisi yang mengalami
emfisema subkutan untuk mengantisipasi timbulnya pneumotoraks.
B. Asfiksia traumatik karena toraks tergiling
Tekanan akut yang temporer pada vena kava, menyebabkan pletora disertai bercak-bercak
petekia pada toraks serta bagian atas trunkus, wajah, dan lengan. Pembengkakan masif
dan edema serebri mungkin terjadi. Terapi diberikan untuk cedera yang menyertai.
C. Fraktura kosta, sternum, dan skapula
Komponen dinding toraks yang paling sering mengalami cedera ialah kosta, dan cedera
kosta sering cukup signifikan. Nyeri pada gerakan menyebabkan reaksi membidai,
sehingga mengganggu ventilasi dan batuk yang efektif. Insidensi atelektasis dan
pneumonia meningkat bila sebelum trauma ada penyakit pulmo.
Skapula, humerus, dan klavikula beserta otot-otot yang melekat merupakan barier untuk
cedera kosta 1-3. Fraktura skapula, kosta pertama atau kedua, atau sternum,
menunjukkan intensitas trauma yang tinggi sehingga kemungkinan akan mencederai
kepala, leher dan mielum, pulmo, dan pembuluh darah besar. Karena beratnya cedera
yang menyertai, mortalitas pada kasus seperti ini sampai 35%. Fraktura sternum dan
skapula biasanya karena benturan langsung. Kontusi pulmo dapat menyertai fraktura
sternum.
Fraktura kosta 4 9 merupakan mayoritas trauma tumpul toraks: kompresi anteroposterior akan menyebabkan lengkungan kosta ke arah luar sehingga terjadi fraktur
dipertengahan kosta. Trauma langsung yang menyebabkan fraktura kosta, dan ujung
fragmen fraktura dapat menusuk pulmo sehingga terjadi cedera intratoraks.
Fraktura kosta bagian inferior (10-12) kemungkinan mencederai hepar dan lien.
Nyeri dengan lokasi jelas, nyeri tekan dan krepitasi merupakan tanda fraktura kosta.
Deformitas yang tampak atau yang terpalpasi, menunjukkan adanya fraktura kosta. FotoX pada toraks bukan hanya untuk memastikan fraktura kosta, melainkan diutamakan
untuk menyingkirkan adanya cedera intratorakal. Mengatasi nyeri dengan obat ditujukan
agar ventilasi tetap adekuat, diberikan dengan blok interkostal, anestesi epidural, atau
analgesik sistemik.
D. Ruptura esofagus karena trauma tumpul

Trauma esofagus paling sering karena trauma penetrans. Cedera esofagus karena trauma
tumpul, dapat menyebabkan kematian bila tidak terdiagnosis, biasanya akibat benturan
hebat pada abdomen bagian atas yang menekan isi gaster dengan kuat. Cederanya
berupa ruptur linear esofagus bagian bawah, menyebabkan kebocoran ke mediastinum.
Akan terjadi mediastinitis dan ruptura pleura yang segera terjadi atau terjadi kemudian,
menyebabkan empiema. Ruptura esofagus dapat terjadi karena instrumentasi (tube
gaster, endoskopi, dilator).
Gambaran klinisnya serupa dengan ruptura esofagus postemetik. Dicurigai ada ruptura
esofagus bila: 1) Ada pneumotoraks atau hemotoraks tanpa fraktura kosta; 2) Benturan
hebat pada sternum bagian bawah atau pada epigastrium, diikuti nyeri atau syok yang
tidak sebanding dengan cederanya; 3) Keluar makanan dari tube toraks setelah darah
mulai behenti. Pneumomediastinum juga mungkin disebabkan oleh ruptura esofagus,
yang dikonfirmasi dengan foto-X menggunakan kontras dan/atau esofagografi.
Terapinya terdiri dari drainase yang luas pada rongga mediastinum, disertai reparasi
langsung melalui torakotomi, bila keadaan memungkinkan. Prognosis lebih baik bila
reparasi dilakukan dalam beberapa jam setelah cedera terjadi.
E. Indikasi lain untuk pemasangan tube toraks
1. Pasien cedera berat pada pulmo, yang akan dirujuk melalui jalan darat maupun udara.
2. Pasien harus dianestesi umum untuk cedera lain (misalnya cedera kepala atau
ekstremitas), yang tersangka disertai cedera pulmo yang signifikan.
3. Pasien memerlukan ventilasi bertekanan positif (PPV), yang tersangka ada cedera
toraks.

Serling
A. Pneumotoraks simpel karena trauma tidak boleh diabaikan atau luput dari diagnosis,
karena dapat berkembang menjadi pneumotoraks tension.
B. Hemotoraks simpel yang tidak terevakuasi dengan baik, dapat menyisakan bekuan
yang memerangkap pulmo atau terinfeksi menjadi empiema.
C. Ruptura diafragma yang tidak terdiagnosis dapat berakibat turunnya fungsi pulmo,
terperangkapnya pulmo, atau strangulasi organ intraperitoneal.
D. Pelebaran mediastinum yang tidak ditindaklanjuti dengan pemeriksaan teliti, dapat
berakhir dengan perdarahan yang mematikan akibat ruptura aorta. Pasien yang dari
mekanisme trauma dan penemuan foto-X toraks dicurigai adanya ruptura aorta, harus
segera dirujuk ke rumahsakit yang sesuai.

E.

Fraktura kosta terutama pada pasien usia lanjut, tidak boleh dianggap enteng.
Mengatasi rasa nyeri secara agresif agar respirasi tidak terganggu, adalah prinsip
pengelolaan yang utama.

F. Trauma tumpul toraks harus diwaspadai, karena gejala klinis kontusi pulmo dapat
sangat bervariasi, dan seringkali tidak selalu sesuai dengan gambaran foto toraks.
Monitor dengan hati-hati status ventilasi, oksigenasi, dan cairan pasien bila perlu
sampai selama beberapa hari, karena pasien mungkin memerlukan ventilator.

Penutup
Cedera toraks biasa terjadi pada cedera multipel, dan sering disertai ancaman jiwa yang
dapat diatasi dengan tindakan-tindakan intubasi, ventilasi, torakostomi, atau perikardiosentesis. Kemampuan mendiagnosis cedera-cedera yang penting dan keterampilan untuk
melakukan tindakan yang tepat, dapat menyelamatkan jiwa pasien.

Referensi
1. American College of Surgeon. Advanced trauma life support, Student course manual,
6th Ed. Chicago l997: 9-45.
2. Campbell JE. Basic trauma life support 4th Ed, Prentice Hall Health, 2000 : 3, 77-90.
3. Powell MA, McMahon D, Peitzman AB: Thoracic trauma, in Peitzman AB, Rhodes
M, Schwab CW, Yealy DM: The trauma manual. Lippincott-Raven, New York,
1998:199-224.
4. Richardson JD, Spain DA: Injury to the lung and pleura, in Mattox, Feliciano &
Moore : Trauma 2nd Ed, McGraw-Hill 2000: 525-41.

Anda mungkin juga menyukai