Anda di halaman 1dari 50

MEDIASTINITIS SEBAGAI KOMPLIKASI INFEKSI

ODONTOGENIK

Husnul Khatimah
1902642019

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI


DAN PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021

i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
2.1. Laporan Kasus ........................................................................................... 3
2.1.1.Kasus 1 ............................................................................................. 3
2.1.2.Kasus 2 ............................................................................................. 4
2.2. Pembahasan Kasus ..................................................................................... 12
2.3. Kaitan Teori ............................................................................................... 15
2.3.1.Pengertian Mediastinitis .................................................................. 15
2.3.2.Etiologi Mediastinitis ....................................................................... 18
2.3.3.Patogenesisis Mediastinitis ............................................................... 21
2.3.3.1. Mediastinitis Secondary to Esophageal Perforation ........... 21
2.3.3.2.Mediastinitis Secondary to Head and Neck Infections or from
Other Site .............................................................................. 22
2.3.3.3.Mediastinitis Secondary to Cardiothoraci Surgery .............. 23
2.3.4. Manifestasi Klinis ........................................................................... 26
2.3.5. Terapi Mediastinitis ........................................................................ 33
2.3.6. Komplikasi Mediastinitis ................................................................ 39
2.3.7. Pencegahan ...................................................................................... 42
BAB III Kesimpulan dan Saran................................................................................. 46
3.1. Kesimpulan ................................................................................................ 46
3.2. Saran .......................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 47

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi odontogenik adalah salah satu kondisi paling umum yang

mempengaruhi daerah mulut dan maksilofasial dan dapat menyebabkan komplikasi

parah, termasuk obstruksi jalan napas seperti angina ludwig, trombosis septik sinus

kavernosus, fasciitis nekrotikans dan mediastinitis. Karies, pulpitis, gingivitis,

periodontitis, perikoronitis dan infeksi endodontik merupakan penyebab utama

terjadinya infeksi odontogenik dan mempengaruhi 80%-90% populasi. Sebagian

besar infeksi odontogenik berhasil diobati dengan menggunakan antibioterapi,

perawatan gigi yang sesuai, ekstraksi, insisi dan drainase. Namun demikian, angka

kematian dari infeksi odontogenik tetap tinggi karena adanya mekanisme resistensi

antibiotik dan kedekatan dengan struktur anatomi vital.

Infeksi odontogenik pada regio maksilofasial dapat melewati ruang fisiologis

dan menyebar ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis. Mediastinitis

merupakan suatu penyakit infeksi yang jarang terjadi, bersifat progresif dan destruktif

yang dapat menimbulkan risiko kematian. Tingkat kematian dari kondisi yang

mengancam jiwa ini antara 7% dan 20%, bahkan setelah penggunaan antibiotik.

Apabila infeksi telah mencapai mediastinum, maka akan menunjukkan gejala-gejala

sebagai berikut: nyeri dada, dispnea parah, demam yang tak henti-henti dan

mediastinum yang melebar, seperti yang terlihat secara radiologis. Infeksi ini

menyebar melalui mediastinum melalui tiga cara : (a) rute paratrakeal ke ruang

1
mediastinum anterior; (b) rute faring lateral ke ruang mediastinum medial; dan (c)

rute retropharyngealretrovisceral ke ruang mediastinum posterior. Mediastinis

kebanyakan disebabkan karena adanya infeksi pada daerah gigi molar kedua dan

ketiga rahang bawah. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak dibelakang bawah

linea mylohioid yang terletak di aspek dalam mandibular, sehingga jika molar kedua

atau ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pus akan menyebar ke ruang

submandibular dan dapat meluas keruang potensial leher yang paling sering

menyebar ke mediastinum.

Mediastinitis memiliki perjalanan yang fulminan dengan potensi risiko sepsis,

perikarditis dan kegagalan organ multipel. Diagnosis yang terlambat dan pendekatan

bedah yang tidak tepat dapat menjadi alasan utama munculnya resiko prognosis yang

buruk. Diagnosis segera dengan perawatan bedah dan pengawasan yang cermat dapat

membatasi perkembangan penyakit.

Laporan ini bertujuan untuk menyajikan kasus mediastinitis yang disebabkan

oleh infeksi odontogenik pada orang dewasa yang sehat secara sistemik yang berhasil

dirawat dengan pencabutan gigi setelah dilakukannya drainase

2
BAB II

LAPORAN KASUS DAN PEMBAHASAN

2.1. Laporan Kasus

2.1.1. Kasus 1

Seorang pasien laki-laki berusia 22 tahun dirujuk ke Klinik Bedah

Mulut dan Maksilofasial dengan keluhan nyeri dan bengkak pada rahang kiri

bawah. Setelah pemeriksaan klinis dan radiologis, didapatkan diagnosis

infeksi periapikal akut pada gigi 37 seperti yang ditampilkan pada Gambar 1

dibawah.

Gambar 1: Tampilan radiograph infeksi periapikal


gigi molar kedua kiri bawah yang menyebabkan
pembentukan abses

Pasien diresepkan amoksisilin dan asam klavulanat 2×1g, ornidazole

2×500mg dan natrium diklofenak IM 2×75mg. Setelah 4 hari, kondisi klinis

pasien tampak semakin memburuk dan kemudian dirujuk ke unit gawat

3
darurat. Pemeriksaan darah lengkap menunjukan tingkat protein C‑reaktifnya

adalah 401,56mg/l dan sel darah putihnya 14,08×103K/mm3. Pasien

kemudian dirawat di Departemen Otorhinolaryngology, dimulai dengan

pemberian 2×600mg klindamisin. Dalam evaluasi CT, akumulasi abses

terdeteksi di parapharyngeal, retropharyngeal dan ruang submental seperti

yang terlihat pada Gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2: Tampilan CT penyebaran abses ke ruang retrofaring.


(Panah hijau menunjukkan pembentukan abses)

Kemudian dlakukan pendekatan peritonsil dibawah anestesi umum

untuk mendapatkan drainase dari ruang parafaring dan retrofaring. Sayatan

dibuat pada tiang tonsila palatina kiri, melalui sayatan ini ruang parafaring

dan retrofiring dapat dicapai dengan diseksi tumpul. Selama pengeluaran

4
diseksi, terlihat nanah/pus berwarna hijau kekuningan dan berbau busuk.

Sampel nanah dan darah diperoleh dalam intervensi ini, tetapi sampel ini tidak

mengungkapkan mikroorganisme tertentu. Terapi pasien diubah menjadi 4g

natrium piperasilin + natrium tazobaktam 4×500mg setelah berkonsultasi

dengan Departemen Penyakit Menular.

Setelah intervensi pertama, pemeriksaan CT kedua dilakukan.

Pemeriksaan kedua ini menunjukkan bahwa abses telah menyebar ke rongga

mediastinum atas seperti yang terlihat pada Gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3: CT Thoraks menunjukkan penyebaran abses antara


arcus aorta dan vertebra (Panah hijau menunjukkan
lokalisasi abses)

Operasi kedua kemudian dilakukan menggunakan pendekatan trans

servikal yang telah direncanakan. Insisi kulit trans servikal dibuat melalui

daerah retromandibular kanan, kemudian flap subplatysmal dinaikkan dan

batas anterior otot sternokleidomastoid kiri terbuka, kemudian otot

sternokleidomastoid kiri dan selubung karotis ditarik ke lateral. Kemudian

5
dilakukan diseksi tumpul pada aspek posterior otot sternokleidomastoid,

antara permukaan anterior vertebra serviks dan permukaan posterior esofagus,

abses terdeteksi dan kemudian dievakuasi. Selanjutnya dilakukan drainase

dengan menempatkan saluran penrose di area operasi seperti yang terlihat

pada Gambar 4a-c dibawah ini.

Gambar 4: (a) Rute drain setelah insisi transservikal (Panah hijau


menunjukkan drainase). (b) Gambar CT tingkat pita suara menunjukkan
abses menyebar ke ruang retrofaring (Panah hijau menunjukkan drainase,
panah merah menunjukkan carotis interna, dan panah putih menunjukkan
abses). (c) CT menunjukkan titik akhir dari drain dan hubungannya dengan
arcus aorta. (Panah hijau menunjukkan saluran pembuangan dan panah
merah menunjukkan aorta arcus)

Sebanyak 110ml drainase dari abses dicapai selama dua hari pasca

operasi. Setelah kondisi klinis membaik, gigi 37 dicabut dengan anestesi lokal

6
diikuti dengan drainase abses periapikal dan submukosa intraoral. Drainase

total 40ml dicapai selama 2 hari dari drainase serviks setelah ekstraksi dan

drainase ini dihilangkan setelah 8 hari pasca operasi. Pasien dipulangkan

setelah dirawat di rumah sakit selama 14 hari.

2.1.2. Kasus 2

Seorang pasien laki-laki 37 tahun datang ke bagian gawat darurat

bedah mulut dan maksilofasial sebuah rumah sakit swasta di Recife, Brazil,

dengan keluhan pembengkakan keras yang menyakitkan di daerah

submandibular (Gambar 1-a). Dia telah menjalani ekstraksi molar ketiga kiri

tujuh hari sebelumnya (Gambar 1-b). Dia memiliki riwayat medis atau sosial

ekonomi nonkontributif, karena dia tidak hipertensi, tidak memiliki diabetes

mellitus atau infeksi menular seksual seperti HIV atau sifilis dan tidak

merokok ataupun minum-minuman beralkohol.

7
Gambar 1: (a) Tampilan klinis awal menunjukkan
pembengkakan di daerah submandibular.

Gambar 1: (b) Radiografi panoramik yang diambil setelah


pencabutan gigi molar ketiga mandibula kiri.

Gambaran CT menunjukkan gambar hypodense di daerah

submandibular (Gambar 2). Tingkat pernapasan dan perubahan tekanan

darah tidak diamati. Pada pemeriksaan ekstraoral, kulit regio submandibula

terasa nyeri bilateral dan daerah sekitar berwarna normal. Pemeriksaan

intraoral mengungkapkan pembukaan interincisal maksimal (<20 mm), serta

tidak adanya molar ketiga mandibula kiri. Kultur darah dan pemberian

metronidazol intravena (500mg, 8/8 jam) dan Rocefin (1g, 12/12 jam) secara

empiris mulai dilakukan.

8
Gambar 2: Tampilan aksial CT menunjukkan aspek awal wajah pasien,
terdapat gambaran hypodense di daerah submandibular.

Pada hari ketiga, terdapat sedikit hiperemia pada daerah serviks dan

dada dan pasien melaporkan disfagia juga disfonia. Karena infeksi persisten,

antibiotik diubah dengan 1,5g Tazocin yang disuntikkan secara intravena

setiap 6 jam. Untuk memantau status klinis pasien, dilakukan tes laboratorium

harian yang menunjukkan bahwa tubuh terus menunjukkan leukositosis yang

nyata (15.290). selain itu juga didapatkan adanya peningkatan nilai referensi

7,32 untuk protein C-reaktif, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa masih

ada infeksi yang signifikan di dalam tubuh.

Kemudian dilakukan pengambilan gambaran CT baru dari wajah,

leher dan dada, dimana hasilnya dengan jelas menunjukkan adanya kumpulan

9
purulen di ruang faring dengan jalur menurun ke mediastinum dan deviasi

yang nyata pada trakea (Gambar 3). Mengingat situasi tersebut tergolong

darurat, dilakukan drainase segera. Setelah antisepsis daerah kerja, dilakukan

drainase bilateral daerah submandibular dan submental, kemudian dilakukan

divulsi jaringan, setelah itu dilakukan irigasi dengan larutan saline 0,9%

(Gambar 4). Selanjutnya, dua saluran Penrose dipasang di lubang drainase

dan pasien dirujuk ke unit perawatan intensif (ICU) selama 5 hari karena

kondisinya yang parah. Pasien menjalani intubasi orotrakeal dan, karena

keterbatasan pembukaan mulut yang parah, bantuan bougie digunakan untuk

intubasi jalan napas yang sulit.

Gambar 3: (a-b) Gambaran CT pada wajah dan regio servikal menunjukkan


pembesaran jaringan lunak yang berhubungan dengan emphysema
subkutan antara otot. Kumpulan purulen mediastinum yang berisi
gas dan deviasi trakea dapat dilihat.

10
Gambar 4: insisi submandibular dan drainase kumpulan purulen

Selama masa perawatan intensif, dilakukan penyelidikan untuk

mencari data yang dapat menjelaskan evolusi buruk pasien, karena ia tidak

memiliki penyakit penyerta. Gambaran tomografi dada mengungkapkan

adanya koleksi purulen pada daerah di atas furcula sternum. Karena tampilan

klinis tidak menunjukan perbaikan yang signifikan, tim bedah toraks

melakukan intervensi enam hari setelah prosedur yang dilakukan oleh ahli

bedah maksilofasial.

Selanjutnya dibuatlah keputusan untuk melakukan trakeostomi dan

servikotomi suprasternal, yang mengungkapkan adanya jaringan nekrotik

terutama dari otot omohyoid. Sebuah pseudokista besar memanjang dari

daerah submandibular ke furcula sternum yang mengandung sekresi

terdeteksi. Kultur aspirasi trakea dilakukan dan ditemukan Pseudomonas

aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae ssp pneumoniae. Pembukaan

11
mediastinum menunjukkan tidak ada jaringan yang rusak dan sangat sedikit

kumpulan purulen. Drain Penrose kemudian dipasang di furcula dan pada

akhir prosedur, pasien menjalani trakeostomi dan kembali ke ICU. Selama

periode pasca operasi, pasien tetap pada terapi antibiotik dengan 1g

Meropenem 8/8 jam dan 400mg Targocid 12/12 jam secara intravena, terapi

tersebut menunjukkan perbaikan yang signifikan dengan penurunan mendadak

pada leukositosis dan protein C reactive, serta menunjukan adanya perbaikan

pada status klinis umum pasien.

Setelah 1 tahun pengobatan, pasien difollow-up melalui telepon untuk

tindak lanjut; namun, pasien tidak kembali ke layanan kami dan hanya

melaporkan bahwa sudah tidak ada gejala.

2.2. Pembahasan Kasus

Infeksi odontogenik biasanya terlihat sebagai infeksi lokal. Namun,

jika infeksi ini tidak dapat dikendalikan, maka dapat menyebabkan bakteremia,

endokarditis bakterial, mediastinitis, trombosis sinus kavernosus, tromboflebitis

vena jugularis supuratif, erosi karotis arteri, sinusitis maksilaris, osteomielitis,

dan infeksi leher dalam.

Adovica dkk. melaporkan bahwa infeksi odontogenik adalah penyebab

paling umum (70,6%) dari infeksi leher dalam. Infeksi leher dalam juga

menyebabkan komplikasi yang paling umum dan paling berbahaya, termasuk

obstruksi jalan napas akut, mediastinitis, sindrom Lemierre, vena jugularis

12
supuratif, tromboflebitis internal, aneurisma atau ruptur arteri karotis, fasciitis

serviks nekrotikans, dan pneumonia.

Mediastinitis didefinisikan sebagai peradangan jaringan

mediastinum dan sering ditandai dengan infeksi bakteri progresif cepat, yang

menyebabkan keterlibatan pembuluh darah, otot, dan saluran napas. Pada kedua

kasus, dapat dilihat bahwa mediastinitis berasal dari infeksi odontogenik

diantaranya infeksi periapikal akut dan infeksi pasca pencabutan gigi dan

keduanya terjadi pada daerah molar rahang bawah. Daerah molar rahang bawah

terutama molar kedua dan molar ketiga secara anatomi memiliki ujung akar yang

terletak dibelakang bawah linea mylohioid yang terletak di aspek dalam

mandibular, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk

abses, pus akan menyebar ke ruang submandibular dan dapat meluas keruang

potensial leher dan kemudian menyebar ke mediastinum.

Proses infeksi pada kedua kasus tersebut telah mencapai daerah

submandibular, serviks dan mediastinum, sesuai dengan penjelasan Fukuchi et

al., yaitu infeksi odontogenik orofaring dapat meluas ke mediastinum melalui

gerakan pernapasan dan tekanan intratoraks negatif.

Menurut klasifikasi penyebaran abses mediastinum Endo et al.,

penyebaran abses pada kasus 1 adalah tipe I dan kasus 2 adalah tipe IIA. Dalam

kasus 1, drainase pertama dicoba dengan pendekatan peritonsillar sesuai dengan

pemeriksaan radiologi awal. Namun, ketika perluasan abses berkembang ke

mediastinum atas, regresi gejala dicapai setelah drainase menggunakan

pendekatan transservikal. Sedangkan pada kasus 2, dilakukan drainase bilateral

13
daerah submandibular dan submental, kemudian dilakukan divulsi jaringan,

setelah itu dilakukan irigasi dengan larutan saline. Namun kondisi umum pasien

semakin memburuk sehingga dibuatlah keputusan untuk melakukan tindakan

trakeostomi dan servikotomi suprasternal, yang kemudian menunjukkan

perbaikan yang signifikan dengan penurunan mendadak pada leukositosis dan

protein C reactive, serta menunjukan adanya perbaikan pada status klinis umum

pasien. Adapun untuk pengobatan yang lengkap pada kasus 1, perlu dilakukan

pencabutan gigi, yang merupakan penyebab utama infeksi, dalam masa rawat

inap.

Terapi antibakteri juga merupakan komponen penting dalam

pengobatan mediastinitis odontogenik. Terapi antibiotik harus diterapkan dalam

jangka panjang, dan antibiotik yang digunakan harus dipilih dari kelompok yang

juga dapat mempengaruhi mikroorganisme yang resisten. Untuk tujuan ini, pada

kasus 1, kombinasi natrium piperasilin + natrium tazobaktam diberikan setelah

berkonsultasi dengan departemen penyakit menular, dimana beberapa antibiotik

sebelum tidak menunjukan perbaikan yang signifikan. Sedangkan pada kasus 2,

terapi antibiotik diberikan melalui injeksi intravena, adapun antibiotik yang

diberikan ialah Meropenem dan Targocid yang menunjukan perbaikan yang

signifikan pada pasien.

Mengenai karakteristik radiografi, pada kedua kasus menunjukan area

difus dan seringkali terdefinisi dengan baik, selain itu menunjukan adanya

peningkatan volume wilayah yang terkena. Di antara tanda dan gejala utama,

adanya disfagia, nyeri, dan edema di daerah serviks, nyeri dada, dan keterlibatan

14
jalan napas harus menarik perhatian. Selain semua tanda dan gejala yang

disebutkan, pasien dapat menjelaskan tingkat keparahan infeksinya.

Selanjutnya, adanya peningkatan kadar protein C-reaktif pada kedua

kasus telah mengindikasikan perlunya intervensi bedah. Dengan demikian, ahli

bedah maksilofasial harus selalu meminta tes laboratorium, menganalisis jumlah

leukosit dan kadar protein C-reaktif, karena nilai yang tinggi menunjukkan

bahwa pasien mengalami infeksi odontogenik.

2.3. Kaitan Teori

2.3.1. Pengertian Mediastinitis

Mediastinitis didefinisikan sebagai peradangan jaringan ikat yang

melibatkan struktur mediastinum dan melibatkan ruang interpleural.

Mediastinum sendiri merupakan suatu rongga yang berada diantara paru

kanan dan kiri yang berisikan jantung, pembuluh darah, trakea, syaraf,

jaringan ikat, tabung getah bening dan salurannya (Santosa A, 2017). Secara

garis besar mediastinum terbagi menjadi 4 bagian penting diantaranya yaitu :

a) Mediastinum superior, mulai pintu atas rongga dada sampai ke tulang

belakang torakal ke-5 dan bagian bawah sternum, berisi: arkus aorta, arteri

innominata dan bagian toraks dari karotis kommunis kiri dan arteri

subklavia kiri; vena innominate dan setengah bagian atas vena kava

superior; vena interkostalis kiri; nervus vagus, jantung, nervus frenikus,

trakea, esophagus dan duktus toraksikus.

15
b) Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafragma

di depan jantung. berisi dua atau tiga tingkat getah bening dari

mediastinum anterior dan cabang-cabang kecil dari arteri mammaria

interna.

c) Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafragma

di belakang jantung. berisi bagian dari aorta torakalis descenden, vena

azygos dan dua vena hemiazygos, nervus vagus dan splanknikus, esofagus,

saluran toraks, dan berbagai macam getah bening.

d) Mediastinum median (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke

diafragma di antara mediastinum anterior dan posterior. Menampilkan

jantung yang tertutup dalam perikardium, aorta asendens, bagian bawah

dari vena kava superior, percabangan dari trakea dan dua bronkus, arteri

pulmonalis yang terbagi menjadi dua cabang, vena pulmonalis kanan dan

kiri, nervus frenikus, dan banyak getah bening.

16
Gambar 9: gambaran anatomi 4 bagian major mediastinum

Mediastinitis terbagi menjadi mediastinitis akut dan mediastinitis

kronis dengan etiologi, tampilan klinis dan perawatan yang sangat berbeda.

Mediastinitis akut adalah suatu infeksi yang jarang terjadi tetapi berpotensi

merusak struktur mediastinum, sedangkan mediastinitis kronis atau yang juga

juga dikenal sebagai fibrosing, sclerosing, atau mediastinitis granulomatosa,

adalah suatu kelainan langka yang sering disebabkan oleh Histoplasma

capsulatum (Trevor C dkk, 2015).

17
2.3.2. Etiologi Medistinitis

Penyebab mediastenitis secara umum dibagi menjadi penyebab

inflamasi non-infeksi dan penyebab infeksi. Sebagian besar kasus

mediastinitis terkait dengan operasi jantung, biasanya pasca CABG (coronary

artery bypass grafting). Etiologi lain yang relevan secara klinis termasuk

perforasi esofagus (sindrom Boerhaave), perforasi/fistula trakeobronkial,

perluasan mediastinum infeksi paru, atau perluasan ruang perifaringeal dan

fasia dalam kepala dan leher, terutama dari ruang retrofaring melalui zona

bahaya. Etiologi spesifik dari mediastinitis desendens termasuk infeksi

odontogenik, abses retrofaring, abses peritonsillar, limfadenitis servikal,

artritis septik sternoklavikularis, trauma eksternal, dan parotitis dan tiroiditis.

Manajemen mediastinitis sering melibatkan drainase bedah atau perkutan,

bersama dengan terapi antimikroba dan perawatan suportif (Franco C, 2016).

Penyebab mediastinitis berdasarkan jenisnya yaitu mediastinitis akut

dan mediastinitis kronis berbeda-beda. Adapun penyebab dari medistinitis

akut dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Trevor C dkk, 2015).

18
Etiologi mediastinitis akut

Perforasi esophagus iatrogenik


Esophagogastroduodenoscopy, dilatasi esofagus, skleroterapi varises esofagus, selang
nasogastrik, selang Sengstaken-Blakemore, intubasi endotrakeal, bedah esofagus
termasuk reseksi endoskopi, bedah paraesofageal, ekokardiografi transesofageal,
stabilisasi anterior korpus vertebra servikal, ablasi kateter pada fibrilasi atrium

Benda asing yang tertelan

Tulang, koin, penarik tutup kaleng, baterai pipih dan lain-lain

Trauma
Penetrasi – luka tembak, luka tusuk
Cedera tumpul – cedera setir kendaraan, cedera sabuk pengaman, resusitasi kardio
pulmoner dan lain-lain

Kejadian spontan dan lainnya

Emesis, tekanan krikoid selama induksi anestesi, angkat beban berat, partus,
karsinoma, menelan cairan kaustik atau korosif.

Infeksi kepala dan leher


Odontogenik, angina Ludwig, faringitis, tonsilitis, parotitis, epiglotitis, sindrom
Lemierre
Infeksi dari daerah lain
Radang paru-paru; infeksi rongga pleura atau empiema; abses subfrenik; pankreatitis;
selulitis atau infeksi jaringan lunak pada dinding dada; osteomielitis sternum,
klavikula, tulang rusuk, atau tulang belakang;
Kelenjar getah bening—nekrosis dan perdarahan (antraks) atau nekrosis kaseosa
(tuberkulosis)

Operasi kardiotoraks (median sternotomi)

Coronary artery bypass grafting (CABG), penggantian katup jantung, perbaikan cacat
jantung bawaan, transplantasi jantung, transplantasi jantung-paru, alat bantu jantung,
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), jenis lain dari operasi kardiotoraks

19
Adapun etiologi dari medistinitis kronis juga beragam. Meskipun

patofisiologi yang mendasari mediastinitis fibrosing masih belum jelas,

banyak ahli percaya bahwa sebagian besar kasus disebabkan oleh adanya

infeksi Histoplasma Capsulatum. Dengan analisis yang teliti, 73% kasus yang

sebelumnya dicirikan sebagai mediastinitis granulomatosa nonspesifik dapat

direklasifikasi sebagai infeksi sekunder Histoplasma capsulatum. Serangkaian

kasus baru-baru ini menemukan bahwa 84% pasien dengan mediastinitis

fibrosing memiliki temuan serologis, patologis, atau radiologis yang konsisten

dengan histoplasmosis (Peikert T dkk, 2011). Adapun etiologi infeksi lainnya

telah dijelaskan, termasuk yang paling sering yaitu tuberkulosis, dan yang

jarang seperti actinomycosis, nocardiosis, blastomycosis, coccidioidomycosis,

aspergillosis, Konidiobolus, Rhizopus spp. dan penyebab lain dari

mucormycosis dan infeksi Wuchereria bancrofti. Penelitian terdahulu sering

mencantumkan sifilis sebagai penyebab utama mediastinitis granulomatosa;

namun, hal tersebut didasarkan pada seropositif tanpa bukti pendukung

lainnya. Kondisi lain yang mirip dengan entitas ini termasuk sarkoidosis,

silikosis, limfoma, mesothelioma, penyakit Behcet, fibrosis mediastinum yang

berhubungan dengan radiasi, struma Riedel dan kolangitis sklerosis. Beberapa

kasus mediastinitis fibrosis kemungkinan merupakan manifestasi dari

gangguan fibroinflamasi sistemik lain yang tidak biasa termasuk fibrosis

retroperitoneal idiopatik, penyakit terkait IgG4 atau bahkan sindrom aktivasi

sel mast (Peikert T dkk, 2012).

20
2.3.3. Pathogenesis Mediastinitis

2.3.3.1. Mediastinitis Secondary to Esophageal Perforation

Sebelum perkembangan bedah jantung, perforasi esofagus

adalah penyebab utama mediastinitis, diikuti oleh infeksi supuratif

orofaring. Pada tahun 1724, Boerhaave menggambarkan kasus

pertama mediastinitis yang disebabkan oleh pecahnya kerongkongan

secara spontan, pada seorang laksamana Belanda yang mengalami

muntah sendiri. Entitas ini, yang dikenal sebagai sindrom Boerhaave

dan terus menjadi penyebab sekitar 15% sampai 30% kasus perforasi

esofagus. Saat ini, perforasi esofagus paling sering disebabkan oleh

cedera iatrogenik. Endoskopi fiberoptik fleksibel pada saluran cerna

bagian atas diperumit oleh perforasi esofagus pada 0,074% hingga

0,4% prosedur. Frekuensi komplikasi ini meningkat dengan

radioterapi sebelumnya dari mediastinum dan dengan intervensi

seperti skleroterapi, dilatasi, atau stenting esofagus. Benda asing

yang tertelan, karsinoma esofagus, dan trauma non-bedah seperti

ekokardiografi transesofageal juga dapat menyebabkan perforasi

esofagus dan mediastinitis berikutnya. Sebagian besar perforasi

esofagus terjadi di esofagus toraks dan bersifat iatrogenik atau

spontan, sedangkan cedera benda asing ditemukan terutama di

esofagus serviks. Tergantung pada lokasi perforasi esofagus,

mediastinitis dapat terjadi akibat tumpahan langsung isi esofagus ke

mediastinum posterior atau migrasi isi, melalui bidang fasia leher, ke

21
mediastinum. Penyebaran infeksi dari leher ke mediastinum

dipengaruhi oleh dinamika pernapasan, di mana tekanan negatif

intratoraks yang dihasilkan selama respirasi cenderung menarik

infeksi ke mediastinum. Sebuah mediastinitis kimia nekrotikans

terjadi kemudian, diikuti oleh mediastinitis bakteri polimikroba,

yang sering sinergis dan nekrotikan (Bathia P dkk, 2011).

2.3.3.2. Mediastinitis Secondary to Head and Neck Infections or from

Other Sites

Mediastinitis sekunder akibat infeksi faring dan

odontogenik sering disebut “mediastinitis nekrotikans menurun atau

fasciitis”. Sebelum antibiotik tersedia secara luas, penyakit ini

menyumbang 10% hingga 31% dari kasus mediastinitis. Karena

antimikroba yang efektif, infeksi ini sekarang jarang menjadi

penyebab mediastinitis. Pria paruh baya mendominasi dalam

kebanyakan kasus dengan umumnya kurang dari setengah kasus

mediastinitis nekrotikans desenden akibat infeksi mulut. Sisanya

karena faring atau infeksi serviks lainnya. Infeksi odontogenik

prototipik yang menyebabkan mediastinitis adalah angina Ludwig,

yang biasanya berasal dari infeksi geraham mandibula kedua atau

ketiga yang menyebar ke ruang sublingual dan submandibular. Dari

ruang ini, infeksi dapat menyebar melalui ruang faring lateral untuk

melibatkan ruang retrofaring atau selubung karotis dan mengarah ke

22
mediastinum. Selama era antibiotik, sekitar 3,5% kasus angina

Ludwig telah dipersulit oleh mediastinitis. Mediastinitis akibat

infeksi yang melibatkan ruang faring lateral dapat berasal dari

berbagai sumber, termasuk gigi, kelenjar parotis, atau amandel,

mastoiditis, atau epiglotitis. Infeksi pada ruang retrofaring umumnya

timbul dari perforasi esofagus atau perluasan faringitis, epiglotitis,

atau tonsilitis. Infeksi ini dengan mudah menyebar ke mediastinum

superior atau, jika ada ruang bahaya, ke mediastinum posterior.

Tidak semua pasien dengan infeksi nekrosis pada wajah dan leher

akan berkembang menjadi mediastinitis. Dari 286 infeksi leher

dalam di satu pusat kesehatan selama 11 tahun, hanya 6%

berkembang melibatkan mediastinum. Sebuah penelitian

mengevaluasi faktor risiko untuk perkembangan mediastinitis dan

menemukan bahwa sumber faring, pemberian glukokortikoid oral,

dan adanya gas dalam jaringan dikaitkan dengan perkembangan

mediastinitis (Gorjon PS dkk, 2012).

2.3.3.3. Mediastinitis Secondary to Cardiothoracic Surgery

Operasi kardiotoraks adalah salah satu prosedur bedah

yang paling umum dilakukan. Coronary Artery Bypass Grafting

(CABG) dan bentuk lain dari operasi jantung adalah prosedur paling

umum ketiga yang dilaporkan ke National Healthcare Safety

Network (NHSN) pada tahun 2011 dan diperkirakan sekitar 395.000

23
CABG dilakukan tahun itu. Karena banyak dilakukan sternotomi

median, mediastinitis telah menjadi infeksi pascaoperasi yang

dominan. Banyak penelitian telah mendokumentasikan kejadian dan

faktor risiko untuk perkembangan mediastinitis setelah operasi

kardiotoraks. Pada tahun 1984, sebuah penelitian meninjau literatur

yang tersedia dan menemukan kejadian mediastinitis menjadi 0,4%

sampai 5% diantara pasien yang menjalani sternotomi median. Sejak

saat itu, banyak penelitian telah diterbitkan dengan tingkat kejadian

0,5% hingga 4,4% dengan studi yang lebih baru menunjukkan

tingkat kejadian sekitar 1% hingga 2%. Dua percobaan besar

mengevaluasi tingkat infeksi setelah operasi jantung telah

diterbitkan. Yang pertama adalah analisis prosedur CABG yang

dilaporkan ke NHSN antara tahun 2006 dan 2008, yang menemukan

bahwa 1,3% mengembangkan infeksi jaringan dalam atau ruang

organ, meskipun tidak semua infeksi ini melibatkan mediastinum.

Yang kedua berasal dari Database Jantung Nasional Society of

Thoracic Surgeons dan melibatkan lebih dari 330.000 kasus CABG

yang dilakukan selama 2002-2003. Infeksi besar terjadi pada 11.636

pasien (3,51%), dimana 25,1% disebabkan oleh mediastinitis dengan

insiden keseluruhan mediastinitis sekitar 0,9% (Trevor C dkk, 2015).

Dipercaya bahwa patogenesis mediastinitis pasca operasi

jantung terutama disebabkan oleh inokulasi organisme dari

mikrobiota bakteri endogen pasien atau bidang bedah ke dalam

24
lokasi operasi. Bakteri dapat berkembang biak di area avaskular

yang terlindungi dari luka operasi dan menyebabkan infeksi.

Identifikasi faktor risiko seperti lamanya waktu operasi,

kompleksitas operasi, dan kebutuhan untuk eksplorasi ulang, yang

semuanya meningkatkan kemungkinan kontaminasi, mendukung

hipotesis ini. Wabah mediastinitis yang secara epidemiologis terkait

dengan sumber seperti bakteri dari tangan atau hidung ahli bedah

tertentu juga mendukung konsep inokulasi langsung pada luka.

Sumber spesifik kontaminasi bakteri biasanya adalah mikrobiota

endogen pasien itu sendiri, terutama jika pasien tersebut dikolonisasi

dengan S. aureus. Pada tahun 1959, Weinstein mencatat pasien yang

dikolonisasi dengan S. aureus memiliki tingkat infeksi situs bedah

(SSI) empat kali lipat lebih tinggi.

Berbagai efek imunosupresif dari cardiopulmonary bypass

yang dapat berkontribusi pada patogenesis mediastinitis setelah

operasi telah dijelaskan, meskipun tidak ada perbedaan dalam

komplikasi infeksi, termasuk mediastinitis yang diamati ketika

membandingkan CABG dengan dan tanpa penggunaan pompa

cardiopulmonary bypass. Pentingnya faktor pasca operasi juga telah

ditekankan dan telah dikaitkan dengan lingkungan, termasuk air

keran yang terkontaminasi, udara dengan peningkatan konsentrasi

spora Aspergillus fumigatus, dan teknik cuci tangan yang buruk

selama perawatan pasca operasi (Risnes I dkk, 2010).

25
2.3.4. Manifestasi klinis dan Diagnosis

2.3.4.1. Mediastinitis akut

Manifestasi klinis mediastinitis akut berbeda-beda sesuai

dengan penyebab penyakit yang mendasarinya. Ketika mediastinitis

terjadi karena perluasan infeksi odontogenik atau faring, gejala dan

tanda-tanda infeksi primer mendominasi seperti nyeri, odinofagia,

eritema kulit, demam dan pembengkakan pada tempat yang terkena.

Perforasi esofagus secara klinis jelas atau bahkan tidak terlihat. Pada

awal perjalanan mediastinitis, tanda dan gejalanya mungkin tidak

kentara, tetapi seiring perkembangan kondisi, terdapat peningkatan

nyeri dada, gangguan pernapasan dan odinofagia. Nyeri dada

seringkali merupakan gejala yang paling menonjol dan dapat

terlokalisasi tergantung pada bagian mediastinum yang terlibat. Pada

mediastinitis anterior, nyeri sering muncul pada daerah servikal atau

substernal. Nyeri dari mediastinitis posterior dapat terlokalisasi ke

daerah epigastrium dengan perluasan ke daerah interskapular. Efusi

pleura adalah komplikasi umum dan dapat bermanifestasi sebagai

nyeri dada pleuritik. Pemeriksaan sering mengungkapkan adanya

demam; takikardia, krepitasi dan edema dada atau leher juga dapat

terjadi. Suara berderak, serak yang terdengar di atas prekordium yang

sinkron dengan irama jantung, yang disebabkan oleh emfisema

26
mediastinum, dapat terdengar pada 50% pasien dengan

pneumomediastinum (Tammelin A dkk, 2002).

Pada tahap akhir mediastinitis, tanda-tanda bakteremia dan

sepsis dapat mendominasi. Diagnosis awal mediastinitis pada bayi

atau neonatus bisa sangat menantang. Jenis inspirasi yang aneh,

terputus-putus, dan staccato telah dijelaskan pada banyak pasien.

Tanda dan gejala mediastinitis pada anak yang lebih besar mirip

dengan yang diamati pada orang dewasa. Pemeriksaan laboratorium

biasanya menunjukkan leukositosis, dengan pergeseran ke kiri yang

jelas. Secara radiografis, foto toraks dapat menunjukkan pelebaran

mediastinum, air fluid level dan emfisema subkutan atau mediastinum

(Gbr. 87-2). Komplikasi mediastinitis, seperti efusi pleura atau

pneumoperitoneum, juga dapat terlihat pada radiografi dada.

Computed tomography (CT) sangat penting untuk diagnosis

mediastinitis pada pasien dengan infeksi odontogenik dan faring.

Pencitraan CT diperlukan untuk menentukan tingkat infeksi dan

menentukan apakah keterlibatan mediastinum telah terjadi atau tidak.

Temuan radiografi CT dapat mencakup bukti infeksi primer bersama

dengan kumpulan cairan enkapsulasi mediastinum, efusi pleura, abses

dengan gelembung udara dan peningkatan kepadatan lemak

mediastinum. Endosonografi transesofageal telah digunakan untuk

memandu aspirasi mediastinum posterior, terutama dalam kasus

dimana CT scan tidak meyakinkan. Pemindaian sel darah putih

27
berlabel teknesium telah dilaporkan membantu dalam diagnosis

mediastinitis dalam keadaan khusus ketika pemindaian CT tidak

tersedia. Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang digunakan, dan

kegunaannya tidak diketahui (Tammelin A dkk, 2002).

Radiografi dada pada pasien dengan perforasi esofagus

mengungkapkan kelainan yang signifikan pada sekitar 90% pasien,

meskipun menetapkan adanya perforasi dapat dikatakan sulit dan

beberapa modalitas pencitraan dan visualisasi langsung menggunakan

endoskopi sering diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. CT

sering membantu dalam mengkonfirmasi diagnosis atau dalam

menentukan tingkat kontaminasi mediastinum (Gbr. 87-3), dan

beberapa penulis merekomendasikan kombinasi esofagram dan CT

pada semua pasien. Endoskopi bagian atas telah digunakan baik secara

diagnostik untuk mendeteksi dan mengevaluasi tingkat cedera dan

terapi untuk memperbaiki cedera kecil atau menghilangkan benda

asing (Benlolo dkk, 2003).

Mediastinitis pascaoperasi kardiotoraks biasanya menjadi

jelas secara klinis dalam 2 minggu pertama setelah operasi, meskipun

kasus yang jarang terjadi lebih dari 1 tahun setelah operasi telah

dilaporkan. Infeksi akibat organisme gram negatif umumnya

bermanifestasi lebih awal atau lebih cepat dan penelitian tidak

menemukan kasus mediastinitis yang disebabkan oleh patogen gram

negatif terjadi lebih dari 2 minggu pascaoperasi. Sebuah studi yang

28
lebih baru membandingkan mediastinitis onset dini (<2 minggu pasca

operasi) dengan mediastinitis onset lambat menemukan bahwa

patogen gram negatif lebih umum pada mediastinitis onset dini,

meskipun tidak signifikan. Dalam hal ini, enterococci lebih sering

terjadi pada mediastinitis onset dini dibandingkan dengan mediastinitis

onset lambat. Pada pasien pasca operasi jantung, presentasi

mediastinitis seringkali fulminan. Dokter harus memiliki sensitivitas

yang tinggi pada pasien pasca operasi karena infeksi ini dapat hadir

tanpa tanda atau gejala lokal, dan tanda-tanda sepsis mungkin satu-

satunya bukti infeksi. Demam adalah gejala yang paling umum dan

sering disertai dengan tanda-tanda infeksi lokal, seperti eritema,

selulitis, atau cairan purulen dari luka mediastinum. Pasien mungkin

mengalami nyeri pasca operasi yang lebih besar dari biasanya, yang

dapat bersifat pleuritik. Ketidakstabilan sternum dan drainase luka

sering dicatat dan dapat menjadi satu-satunya tanda infeksi pada

pasien. Disfagia, pengamatan gelembung yang berasal dari luka

sternum dan emfisema dinding dada adalah temuan yang kurang

umum. Mediastinitis pascasternotomi yang bermanifestasi sebagai

abses leher dalam tanpa temuan abnormal pada pemeriksaan dada

telah dilaporkan, seperti juga halnya pada perkembangan syok septik

dan bakteremia tanpa tanda-tanda infeksi sternum yang jelas. Tes

laboratorium biasanya menunjukkan leukositosis sedang dengan

pergeseran ke kiri dari jumlah diferensial sel darah putih. Tanda-tanda

29
biologis seperti protein C-reaktif dan prokalsitonin biasanya

meningkat. Kultur darah memiliki kegunaan yang bervariasi dalam

mendiagnosis mediastinitis. Pasien dengan mediastinitis yang

disebabkan oleh S. aureus dan bakteri gram negatif seringkali

bakteremia. Pasien pasca operasi jantung dengan bakteremia dimana

sumbernya tidak jelas harus dievaluasi untuk kemungkinan

mediastinitis karena terdapat suatu penelitian yang menemukan adanya

bakteremia S. aureus dalam 60 hari pertama setelah sternotomi median

memiliki nilai prediksi positif 90% untuk mediastinitis. Kultur darah

kurang berguna dalam mendiagnosis mediastinitis yang disebabkan

oleh staphylococcus koagulase-negatif dengan tingkat bakteremia

biasanya kurang dari 10% (Benlolo S dkk, 2003).

Beberapa peneliti telah menemukan aspirasi jarum

mediastinum berguna dalam diagnosis mediastinitis. Metode ini

tampaknya sangat berguna untuk diagnosis awal mediastinitis sebelum

gejala klinis membuat diagnosis menjadi jelas, dan telah dikaitkan

dengan peningkatan hasil klinis (Benlolo S dkk, 2003).

2.3.4.2. Mediastinitis Kronis

Banyak pasien dengan mediastinitis fibrosing tidak

menunjukkan gejala dan datang ke rumah sakit ketika radiografi pada

dada secara tidak sengaja mengungkapkan adanya massa pada

mediastinum. Ketika gejala muncul, biasanya berhubungan dengan

30
invasi atau obstruksi struktur di dalam atau di sekitar mediastinum.

Keluhan yang paling umum biasanya adalah batuk, dyspnea, nyeri

dada dan hemoptisis. Mediastinitis fibrosa adalah nonmalignant paling

umum yang disebabkan oleh sindrom vena cava superior dan pasien

biasanya datang dengan gejala edema pada wajah, leher, tubuh bagian

atas; distensi vena leher; sakit kepala dan gangguan penglihatan

(Peikert T dkk, 2011).

Obstruksi arteri pulmonalis sering mengakibatkan batuk,

dispnea dan gejala yang konsisten dengan gagal jantung sisi kanan.

Infark paru, meskipun jarang, telah dilaporkan terjadi pada pasien

dengan mediastinitis fibrosing. Obstruksi vena pulmonal

menyebabkan pasien mengalami "sindrom stenosis pseudo-mitral"

dengan dispnea saat beraktivitas, mudah lelah dan kadang-kadang

hemoptisis. Pasien dengan obstruksi jalan napas akibat sclerosing

mediastinitis dapat datang dengan gejala batuk, dispnea, hemoptisis

atau episode bronchitis atau pneumonia berulang. Pasien yang

mengeluh disfagia mungkin mengalami obstruksi esofagus sekunder

akibat perluasan mediastinitis ke posterior (Peikert T dkk, 2011).

Temuan pada radiografi dada mungkin tidak kentara, tetapi

sebagian besar pasien tercatat memiliki pelebaran mediastinum,

temuan radiografi umum lainnya ialah termasuk massa hilus,

kalsifikasi mediastinum dan obstruksi vena cava superior. CT adalah

pilihan untuk mengevaluasi mediastinitis fibrosing dan temuan

31
biasanya mengungkapkan salah satu dari dua pola. Temuan yang

paling umum adalah massa mediastinum fokal yang menginfiltrasi di

dalam mediastinum superior, seringkali dengan kalsifikasi yang sering

terjadi di sisi kanan. Pola kedua ditandai dengan infiltrasi mediastinum

difus tanpa kalsifikasi yang menonjol. CT juga berguna untuk

menentukan tingkat kompresi struktur mediastinum dengan

pengecualian kerongkongan, yang lebih baik dicitrakan menggunakan

esofagram (Rossi SE dkk, 2001).

Dua kasus besar menemukan adanya penyempitan

pembuluh darah (39% menjadi 48%), terutama vena cava superior

(20% hingga 39%) sebagai struktur yang paling sering mengalami

obstruksi diikuti oleh bronkus (27% hingga 33%) dan esofagus (3%

menjadi 9%). Angiografi resonansi magnetik menawarkan sedikit

keuntungan dibandingkan CT tetapi bersama dengan arteriografi paru

dapat membantu dalam penilaian integritas pembuluh darah paru.

Pemindaian ventilasi-perfusi paru sering mengungkapkan adanya

defek perfusi yang besar akibat obstruksi pembuluh darah paru.

Pemindaian PET meskipun tidak secara rutin diindikasikan pada

mediastinitis fibrosa, sering digunakan untuk evaluasi lesi massa

mediastinum dan dapat menunjukkan peningkatan aktivitas metabolik

yang dicurigai mengarah ke suatu keganasan (Trevor C dkk, 2015).

Diagnosis mediastinitis fibrosing biasanya memerlukan

pemeriksaan patologis. Pengambilan sampel jaringan yang memadai

32
adalah kunci dalam menyingkirkan penyebab seperti penyakit

Hodgkin sklerosis nodular dan varian sklerosis limfoma non-Hodgkin.

Gambaran histologis mediastinitis fibrosa menggambarkan rangkaian

temuan yang berkisar dari lesi granulomatosa yang dominan dengan

inflamasi yang signifikan hingga massa fibrosa seluler minimal tanpa

inflamasi (McNeely MF dkk, 2012).

Pasien tanpa gejala pada saat diagnosis dapat dikelola

dengan aman meskipun sering ditemukan adanya organisme jamur.

Terapi antijamur sering digunakan, namun bukti yang mendukung

kemanjurannya hanya didasarkan dari kasus laporan keberhasilan saja.

Laporan kasus keberhasilan dengan kortikosteroid telah muncul, tetapi

peran mereka dalam pengobatan mediastinitis fibrosing sangat minim.

Meskipun kurang efektif, terapi antijamur dan antiinflamasi sering

digunakan karena tidak ada pilihan pengobatan yang jelas manjur.

Ketika terapi medis diberikan, tampilan dan gejala harus dipantau dan

apabila terdapat pasien tanpa respons, terapi harus dihentikan karena

dapat mengakibatkan toksisitas dan efek samping (McNeely MF dkk,

2012).

2.3.5. Terapi Mediastinitis

2.3.5.1. Mediastinitis Akut

Terapi mediastinitis akut mencakup teknik medis dan juga

bedah, keduanya harus segera dilakukan ketika mediastinitis

33
didiagnosis. Dalam semua kasus mediastinitis, perawatan nutrisi dan

suportif harus diindikasikan. Prinsip-prinsip perawatan mediastinitis

karena perforasi esofagus meliputi pemulihan kontinuitas esofagus,

pengendalian kontaminasi mediastinum dan pengobatan dengan

antimikroba. Para ahli biasanya merekomendasikan tindakan drainase

bedah sesegera mungkin, debridement pada jaringan yang rusak dan

perbaikan perforasi. Berbagai teknik bedah dapat digunakan dalam

pengobatan perforasi esofagus mulai dari perbaikan primer, eksklusi

atau pengalihan esofagus hingga esofagektomi lengkap. Dalam 2

dekade terakhir, pasien yang mendapat manfaat dari strategi

manajemen "nonoperatif" telah diidentifikasi. Mereka dengan

gangguan esofagus yang terkendali, abses yang mengalir ke

kerongkongan, gejala minimal dan perforasi yang diidentifikasi

sebelum kontaminasi mediastinum dapat menjadi kandidat untuk

strategi ini. Meskipun disebut sebagai strategi "nonoperatif", sebagian

besar pasien memiliki selang makanan yang ditanam melalui

pembedahan dan drainase abses yang dipandu dengan radiografi CT

sangat penting untuk mengarahkan terapi antimikroba dan

menyelesaikan infeksi (Jougon J dkk, 2004).

Pada mediastinitis yang diinduksi perforasi esofagus,

infeksi odontogenik atau faring yang menurun memerlukan intervensi

bedah yang cepat dan agresif. Ada beberapa perdebatan dalam literatur

mengenai pendekatan bedah yang lebih disukai, tetapi semua penulis

34
setuju bahwa drainase bedah yang memadai dan debridement dari

semua area yang terinfeksi adalah tindakan yang sangat penting.

Penelitian terbaru mengatakan bahwa pendekatan bedah harus

didasarkan pada tingkat infeksi. Ketika infeksi terbatas pada

mediastinum superior seringkali dapat dikelola dengan baik

menggunakan servisotomi dengan drainase mediastinum transservikal.

Jika mediastinitis telah menyebar dibawah rongga dada biasanya harus

dimasuki menggunakan sternotomi atau torakotomi posterior

tergantung pada lokasi infeksi. Penatalaksanaan yang berhasil dari

mediastinitis nekrotikans desendens menggunakan operasi

thoracoscopic dengan bantuan video juga telah dilaporkan (Abbas G

dkk, 2009).

Meskipun pentingnya terapi suportif dan intervensi bedah

tidak dapat terlalu ditekankan dalam mediastinitis ini, pemberian

antimikroba yang tepat merupakan komponen penting dari terapi.

Penisilin G menjadi antibiotik pilihan dalam pengobatan infeksi

anaerob yang berasal dari atas diafragma dan terus menunjukkan

aktivitas yang sangat baik terhadap sebagian besar bakteri anaerob

oral. Namun, anaerob oral seperti Prevotella dan Porphyromonas spp.

(sebelumnya Bacteroides spp.) semakin resisten terhadap penisilin G

dengan agen seperti kombinasi spektrum luas β-laktam/β-laktamase,

metronidazol, klindamisin atau karbapenem yang umumnya

digunakan. Terapi antibiotik harus secara khusus disesuaikan dengan

35
organisme yang menginfeksi setelah hasil kultur definitif tersedia,

tetapi pengobatan yang ditujukan terhadap organisme orofaring

anaerob harus dilanjutkan karena sulitnya mendapatkan kultur anaerob

yang dapat diandalkan. Durasi terapi dapat berkisar dari minggu

hingga bulan, ditentukan oleh virulensi bakteri, faktor pejamu dan

respons pasien terhadap terapi. Pengobatan mediastinitis sekunder

untuk operasi jantung memerlukan drainase bedah agresif dan

debridement, termasuk pengangkatan jaringan dan tulang yang

terinfeksi atau nekrotik bersama dengan selang sternum dan bahan

asing lainnya (Sepesi B dkk, 2010).

Dua pendekatan umum telah digunakan dalam manajemen

bedah mediastinitis setelah operasi jantung: teknik terbuka dan teknik

tertutup. Teknik terbuka melibatkan debridemen jaringan yang

terinfeksi dan penutupan luka terbuka. Kerugian dari prosedur terbuka

termasuk insufisiensi pernapasan sekunder karena kurangnya

dukungan mekanis untuk toraks, mengakibatkan ventilasi mekanis

yang berkepanjangan, penyembuhan dan penutupan luka bedah yang

tertunda dan perdarahan dari pembuluh darah yang terbuka (Sepesi B

dkk, 2010)..

Dibanding menggunakan teknik terbuka, banyak ahli bedah

sekarang menggunakan terapi Vacuum-Assisted Closure (VAC).

Beberapa penelitian yang membandingkan penggunaan alat VAC

dengan pengobatan konvensional telah menunjukkan penggunaan alat

36
VAC berhubungan dengan penggantian balutan yang lebih sedikit,

pemasangan kembali sternal yang lebih awal, penurunan kebutuhan

akan flap jaringan lunak, sterilisasi mediastinum yang lebih cepat,

penurunan protein C-reaktif yang lebih cepat, masa rawat inap yang

lebih pendek, penurunan tingkat infeksi ulang sternum dan biaya uang

lebih sedikit dibandingkan dengan perawatan biasa. Setidaknya tiga

penelitian telah menemukan terapi VAC dikaitkan dengan penurunan

mortalitas dibandingkan dengan manajemen historis pasien yang

menggunakan teknik bedah konvensional. Tinjauan sistematis literatur

menyimpulkan bahwa meskipun terapi VAC "berkhasiat dan layak"

namun terdapat beberapa bukti yang mendukung perangkat ini masih

"lemah" dan data uji coba terkontrol secara acak perlu dilakukan

(Sepesi B dkk, 2010)..

Teknik tertutup melibatkan debridement jaringan yang

terkena, penutupan segera sternum dan irigasi pasca operasi melalui

tabung drainase atau kateter redon dalam mediastinum. Hal ini dapat

dicapai melalui penutupan luka secara langsung, dengan atau tanpa

pengkabelan ulang sternum atau dengan pengembangan flap jaringan

lunak, biasanya dari otot pektoralis. Beberapa penulis telah berhasil

menggunakan teknik ini dengan tingkat kesembuhan lebih dari 90%.

Sejumlah flap jaringan lunak dapat digunakan untuk merekonstruksi

dinding dada. Flap yang paling umum digunakan adalah pektoral,

tetapi transposisi rektus abdominus dan flap jaringan omentum telah

37
berhasil pada pasien yang gagal dengan pengobatan lainnya (Sepesi B

dkk, 2010)..

Irigasi yang digunakan dalam mediastinitis telah mencakup

berbagai larutan antimikroba dan antiseptik, termasuk antiseptik

seperti povidone-iodine atau larutan Dakin, berbagai antibiotik dan

saline. Agen ini telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi termasuk

munculnya organisme resisten, toksisitas perikardial dan jaringan,

serta absorpsi dan toksisitas sistemik. Povidone-iodine irigasi yang

umum digunakan telah dikaitkan dengan toksisitas yodium, gagal

ginjal, asidosis metabolik dan kejang. Agen ini harus digunakan

dengan hati-hati dan telah direkomendasikan bahwa konsentrasinya

harus diukur untuk memastikan tingkat toksik tidak tercapai. Dalam

kasus keracunan yodium dan gagal ginjal, yodium dapat dibersihkan

secara efektif dengan hemodialysis (Hsu RF dkk, 2011).

2.3.5.2. Mediastinitis Kronis

Sulit untuk membuat rekomendasi mengenai waktu atau

kegunaan intervensi bedah pada mediastinitis kronis karena riwayat

penyakit yang bervariasi dikarenakan beberapa pasien mengalami

kompresi struktur vital dan yang lain tampaknya memiliki penyakit

yang dapat sembuh sendiri. Beberapa orang telah menyarankan

bahwa intervensi bedah dini dengan pengangkatan jaringan

granulomatosa dapat mencegah perkembangan fibrosis stadium

38
akhir, tetapi literatur yang mendukung hal ini masih sedikit. Karena

kesulitan prosedur dan tingkat komplikasi yang relatif tinggi,

intervensi bedah dan non-bedah umumnya disediakan untuk pasien

yang mengalami obstruksi atau invasi struktur mediastinum yang

menyebabkan gejala signifikan atau komplikasi jantung. Terlepas

dari kesulitan teknis intervensi bedah, para ahli menyatakan bahwa

tingkat keberhasilan teknik ini lebih dari 90%. Kemajuan terbaru

dalam intervensi non-bedah juga telah digunakan dengan beberapa

keberhasilan dalam fibrosing mediastinitis untuk menghilangkan

obstruksi vena cava superior, pembuluh paru, dan bronkus.

Meskipun tingkat keberhasilan agak lebih rendah daripada operasi

(78% sampai 80%), intervensi non-bedah mampu menghindari

morbiditas yang signifikan terkait dengan intervensi bedah.

Meskipun kedua intervensi tersebut memiliki tingkat keberhasilan

yang tinggi, namun sifat penyakit yang progresif juga memerlukan

intervensi tambahan dari waktu ke waktu (Trevor C dkk, 2015).

2.3.6. Komplikasi Mediastinitis

2.3.6.1. Mediastinitis Akut

Komplikasi mediastinitis akut disebabkan oleh penyebaran

infeksi lokal dan akibat sistemik dari infeksi berat. Pasien dengan

mediastinitis nekrotikans desendens sering memerlukan trakeostomi

untuk perlindungan jalan napas dikarenakan sering terjadi ventilasi

39
mekanis yang berkepanjangan. Perluasan infeksi ke berbagai struktur

dan ruang yang berdekatan telah dilaporkan, termasuk ruang

perikardial, mengakibatkan efusi pericardial, ruang pleura; kartilago

costochondral dan peritoneum yang mengakibatkan peritonitis.

Komplikasi utama lain dari mediastinitis setelah operasi jantung ialah

termasuk osteomielitis sternal dan dehiscence atau fraktur sternal.

Sebelum perkembangan bedah modern dan antibiotik, mediastinitis

terutama yang disebabkan oleh perforasi esofagus, dianggap fatal.

Dengan perbaikan bedah esofagus pertama yang berhasil dilakukan

Barrett pada tahun 1946, morbiditas dan mortalitas menurun secara

signifikan tetapi tetap tinggi, dengan penelitian yang lebih lama

mencatat angka kematian 17% hingga 36%. Studi yang lebih baru

menggunakan diagnosis cepat dan kombinasi perawatan bedah dan

non-bedah termasuk pemasangan stent esofagus telah melaporkan

tingkat kematian yang jauh lebih rendah dari 4% hingga 13%.

Prediktor kematian pada perforasi esofagus ialah termasuk adanya

kegagalan pernapasan atau tanda-tanda sepsis saat diagnosis, perforasi

ganas dan penundaan lebih dari 24 jam dalam memulai terapi.

Mortalitas yang terkait dengan mediastinitis akibat infeksi kepala dan

leher meskipun masih tinggi, telah menurun dengan serangkaian kasus

baru-baru ini yang mencatat angka kematian 11% hingga 16%. Faktor

prognostik spesifik dalam bentuk mediastinitis ini belum

diidentifikasi, tetapi keterlambatan diagnosis dan perluasan infeksi ke

40
mediastinum bawah kemungkinan menandakan hasil yang lebih buruk.

Studi terdahulu pada pasien mediastinitis pasca sternotomi melaporkan

angka kematian 30% sampai 50%, tetapi studi yang lebih baru telah

menggambarkan tingkat kematian dini yang lebih rendah, seringkali

kurang dari 10% dengan beberapa tingkat pelaporan kurang dari 5%.

Peningkatan angka kematian kemungkinan multifaktorial, meskipun

beberapa seri kasus baru-baru ini telah menyarankan penggunaan

terapi VAC menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap

perbaikan ini (Trevor C dkk, 2015).

2.3.6.2. Mediastinitis Kronis

Komplikasi dan manifestasi dari mediastinitis kronis dapat

dilihat pada tabel di bawah ini (Trevor C dkk, 2015).

Komplikasi dan Manifestasi Mediastinitis Sklerosis


Vena pulmonary atau arterial obstruction
Superior vena cava obstruction
Inferior vena cava obstruction
Esophageal obstruction
Esophagobronchial obstruction
Tracheobronchial obstruction
Pulmonary venous or arterial obstruction
Pulmonary hypertension
Pulmonary infarction
Cor pulmonale
Thoracic duct obstruction
Constructive pericarditis
Coronary artery stenosis
Mediastinal nerve entrapment
Recurrent laryngeal nerve palsy

41
2.3.7. Pencegahan

Karena mediastinitis ini tergolong merusak dan berbahaya,

tindakan pencegahan sangat penting dilakukan. Banyak pedoman telah

diterbitkan mengenai pencegahan infeksi situs bedah dan mediastinitis

dalam pengaturan pasca operasi jantung. The Surgical Care

Improvement Project (SCIP), yang dimulai pada tahun 2004, berfokus

pada penurunan Surgical Site Infections (SSIs) melalui penerapan

praktek evidence based. Meskipun tindakan SCIP difokuskan terutama

pada profilaksis antimikroba, kontrol glukosa darah jam 6 pagi pasca

operasi pada operasi CABG juga disertakan. Beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa kontrol kadar glukosa darah pasca operasi hingga

kurang dari 200 mg/dL, terutama menggunakan protokol insulin IV,

secara signifikan menurunkan risiko infeksi luka dalam sternum

bahkan pada pasien nondiabetes. Efek ini cukup signifikan dengan

penurunan 50% atau lebih dalam tingkat infeksi (Bratzler DW dkk,

2013).

Profilaksis antibiotik telah menjadi tindakan yang umum

dilakukan dalam prosedur jantung meskipun kurangnya studi yang

mendokumentasikan kemanjurannya. Banyak pertanyaan muncul

tentang dosis, waktu dan durasi untuk profilaksis antimikroba.

Pedoman dari Society of Thoracic Surgeons dan oleh American

Society of Health System Pharmacists (ASHP), Infectious Diseases

42
Society of America (IDSA), Surgical Infection Society (SIS), dan

Society for Healthcare Epidemiology of America (SHEA) telah

mencoba untuk melakukan sintesis data. Ada kesepakatan umum

bahwa profilaksis antimikroba harus diberikan untuk mencapai tingkat

jaringan maksimal pada saat sayatan dengan memasukkannya dalam

waktu 1 jam setelah sayatan. Pasien dengan berat badan yang besar

mungkin memerlukan dosis antimikroba yang lebih tinggi untuk

mencapai konsentrasi yang memadai dan dosis yang lebih tinggi harus

digunakan pada pasien tersebut (Hillis LD dkk, 2011).

Aspek penting lain dari profilaksis antimikroba adalah

mempertahankan tingkat jaringan yang memadai, antibiotik dengan

short half-lives seperti cefazolin, harus diberikan dosis ulang jika

durasi prosedur melebihi dua waktu paruh (biasanya 4 jam dengan

cefazolin). Cefazolin umumnya dianggap sebagai obat pilihan untuk

profilaksis dengan sefalosporin generasi awal lainnya seperti

cefuroxime umumnya dianggap setara. Peran vankomisin sebagai agen

profilaksis rutin dalam operasi kardiovaskular masih kontroversial.

Keuntungan vankomisin, seperti cakupan patogen resisten dan spesies

enterokokus, harus dipertimbangkan terhadap kerugiannya, termasuk

waktu infus yang lama dan risiko pengembangan resistensi

vankomisin pada enterokokus dan stafilokokus. Dalam perbandingan

vankomisin, cefazolin, dan sefamandole, sebuah penelitian

menunjukkan penurunan yang signifikan dalam infeksi luka pasca

43
operasi pada pasien yang menerima profilaksis vankomisin. Temuan

ini bertentangan dengan dua meta-analisis dan tinjauan sistematis,

yang semuanya menemukan vankomisin tidak lebih baik daripada

antibiotik β-laktam untuk pencegahan infeksi luka dalam sternum dan

pada kenyataannya, penggunaan vankomisin dikaitkan dengan

peningkatan angka infeksi luka pada sternum. Berdasarkan data ini,

vankomisin harus disediakan untuk profilaksis pada pasien yang tidak

dapat menerima β-laktam karena alergi atau berisiko tinggi. Kerugian

lain dari penggunaan vankomisin sebagai agen tunggal untuk

profilaksis adalah kurangnya cakupan untuk organisme gram negatif.

Tidak jelas apakah penambahan agen dengan aktivitas gram negatif

seperti aminoglikosida, fluorokuinolon, atau sefalosporin diperlukan,

tetapi penggunaannya mungkin bijaksana jika ada kekhawatiran

mengenai patogen ini (Rebmann T dkk, 2011).

Studi mengevaluasi durasi profilaksis antimikroba tidak

memberikan manfaat klinis apabila melebihi 48 jam penggunaan dan

penggunaan antibiotik profilaksis di luar jangka waktu ini telah

dikaitkan dengan munculnya organisme resisten. Peran penting S.

aureus dalam mediastinitis telah membuatnya menjadi target

pencegahan yang utama. Penggunaan mupirocin intranasal untuk

mencegah surgical site infections melalui penghapusan kolonisasi S.

aureus hidung telah didukung oleh beberapa percobaan dan aplikasi

sebelum atau pada saat operasi telah dianjurkan. Intervensi ini harus

44
ditargetkan hanya untuk pasien yang diketahui terjajah dengan S.

aureus. Vaksin terhadap S. aureus dengan tujuan mencegah infeksi

seperti mediastinitis pascaoperasi saat ini sedang diselidiki.

Sayangnya, percobaan acak pada pasien bedah jantung menemukan

bahwa meskipun imunogenik, vaksin tidak mengurangi infeksi S.

aureus atau SSI dan meningkatkan mortalitas pada mereka yang

terinfeksi S. aureus. Penggunaan antibiotik topikal seperti gentamisin

atau vankomisin yang dioleskan pada luka sternum masih

kontroversial. Sebuah penelitian baru-baru ini berfokus pada spons

gentamisin-kolagen yang ditanamkan tepat sebelum penutupan luka.

Empat penelitian terkontrol secara acak telah dilakukan, tetapi hanya

satu penelitian yang menunjukkan penurunan yang signifikan pada

infeksi luka dalam sternum. Ketika temuan dari keempat penelitian ini

digabungkan menggunakan meta-analisis, tingkat infeksi luka dalam

sternum lebih rendah dengan penggunaan spons gentamisin (Lador A

dkk, 2012).

45
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Kedua laporan kasus ini menjelaskan mengenai mediastinitis yang

berasal dari infeksi odontegen, dimana mediastinitis ini dapat diakibatkan

oleh infeksi akibat karies gigi maupun bahkan akibat infeksi pasca

pencabutan gigi, mediastinis tergolong infeksi yang cukup berbahaya, oleh

karena itu perlu adanya tindakan dan perawatan yang tepat sesuai dengan

etiologi yang menyertainya. Selain tindakan dan perawatan yang tepat, perlu

adanya pencegahan agar tidak terjadi infeksi yang mengarah ke mediastinum.

Kedua pasien telah diberikan perawatan dan tindakan yang sesuai dan infeksi

dapat diatasi dengan baik.

3.2. Saran

Dalam menentukan perawatan dan tindakan yang tepat, harus

dilakukan diagnosis menyeluruh untuk memastikan apakah infeksi tersebut

termasuk mediastinitis atau tidak, dalam menentukan diagnosis harus

dilakukan pemeriksaan menyeluruh agar perawatan yang diberikan sesuai

dengan diagnosisnya. Perlu dilakukan pengamatan yang cermat terhadap

keadaan klinis pasien agar dapat menentukan perawatan selanjutnya apabila

pasien mengalami penurunan kondisi.

46
DAFTAR PUSTAKA

Abbas G, Schuchert MJ, Pettiford BL, et al. 2009. Contemporaneous management of


esophageal perforation. Surgery. 146:749-756.
Benlolo S, Mateo J, Raskine L, et al. 2003. Sternal puncture allows an early
diagnosis of poststernotomy mediastinitis. J Thorac Cardiovasc Surg.
125:611-617.
Bhatia P, Frotin D, Inculet RI, et al. 2011. Current concepts in the management of
esophageal perforations: a twenty-seven year Canadian experience. Ann
Thorac Surg. 92:209-215.
Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, et al. 2013. Clinical practice guidelines for
antimicrobial prophylaxis in surgery. Am J Health-Syst Pharm. 70:195-283
Franco-Paredes C., 2016. Neck and Thoracic Infections. Core Concepts in Clinical
Infectious Diseases (CCCID), hal 63–78.
Gorjon PS, Perez PB, Martin ACM, et al. 2012. Deep neck infection: review of 286
cases. Acta Otorrinolaringol Esp. 63:31-41.
Hillis LD, Smith PK, Anderson JL, et al. 2011. Guideline for coronary artery bypass
graft surgery. J Am Coll Cardiol. 58:e123-210.
Hsu RF, Wu PY, Ho CK. 2011. Transcervical drainage for descending necrotizing
mediastinitis may be sufficient. Otolaryngol Head Neck Surg. 142:742-747.
Jougon J, McBride T, Delcambre F, et al. 2004. Primary esophageal repair for
Boerhaave’s syndrome whatever the free interval between perforation and
treatment. Eur J Cardiothorac Surg. 25:475-479. 143.
McNeely MF, Chung JH, Bhalla S, et al. 2012. Imaging of granulomatous fibrosing
mediastinitis. AJR Am J Roentgenol. 199:319-327.
Peikert T, Colby TV, Midthun DE, et al. 2011. Fibrosing mediastinitis: clinical
presentation, therapeutic outcomes, and adaptive immune response.
Medicine ;90:412-423.
Peikert T, Shrestha B, Aubry MC, et al. 2012. Histopathologic overlap between
fibrosing mediastinitis and IgG4-related disease. Int J Rheumatol: 207056.
Risnes I, Abdelnoor M, Almdahl SM, et al. 2010. Mediastinitis after coronary artery
bypass grafting risk factors and longterm survival. Ann Thorac Surg.
89:1502-1510.
Rebmann T, Kohut K. 2011. Preventing mediastinitis surgical site infections:
executive summary of the association for professionals in infection control
and epidemiology elimination guide. Am J Infect Control. 39:529-531.
Rossi SE, McAdams P, Rosado-de-Christenson ML, et al. 2001. Fibrosing
mediastinitis. Radiographics. 21:737-757.

47
Santoso Agus., 2017. Abses Submandibula dengan Komplikasi Mediastinitis. WMJ
(Warmadewa Medical Journal), Vol. 2 No. 2, Hal. 77-81.
Sepesi B, Raymond DP, Peters JH. 2010. Esophageal perforation: surgical,
endoscopic, and medical management strategies. Curr Opin
Gastroenterol.26:379-383.
Tammelin A, Hambraeus A, Stahle E. 2002. Mediastinitis after cardiac surgery:
improvement of bacteriological diagnosis by use of multiple tissue samples
and strain typing. J Clin Microbiol. 40:2936-2941.
Trevor C. Van Schooneveld, Mark E. Rupp., 2015. Mediastinitis, Principles and
Practice of Infectious Diseases (Eighth Edition), W.B. Saunders.

48

Anda mungkin juga menyukai