Anda di halaman 1dari 95

EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK MEMPERCEPAT

WAKTU PULIH SADAR PASCA GENERAL ANESTESI PADA


PASIEN PEMBEDAHAN LAPARATOMI DENGAN
MENGGUNAKAN BISPECTRAL INDEX DI RSUP
HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh:
dr. Awang Supriady
NIM : 137041061

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK/SPESIALIS


DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2018
EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK MEMPERCEPAT
WAKTU PULIH SADAR PASCA GENERAL ANESTESI PADA
PASIEN PEMBEDAHAN LAPARATOMI DENGAN
MENGGUNAKAN BISPECTRAL INDEX DI RSUP
HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh:
dr. Awang Supriady
NIM : 137041061

Pembimbing I:
dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp.An, KAKV
Pembimbing II:
dr. Muhammad Ihsan, Sp.An, KMN

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK/SPESIALIS


DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji syukur serta doa
saya sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
telah memberikan kepada saya akal budi, hikmat dan pemikiran sehingga saya
dapat menyelesaikan tesis/ penelitian sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi danTerapi
Intensif di Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan
banggakan.
Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis / hasil penelitian ini
masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya.
Meskipun demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan
ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam
penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya
tentang“EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK MEMPERCEPAT
WAKTU PULIH SADAR PASCA GENERAL ANESTESI PADA PASIEN
PEMBEDAHAN LAPARATOMI DENGAN MENGGUNAKAN
BISPECTRAL INDEX DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN“.
Dengan penulisan tesis/ hasil penelitian ini, maka pada kesempatan ini
pula dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapan terimakasih dan
penghargaan kepada yang terhormat: dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp. An.
KAKV dan dr. M. Ihsan, Sp. An, KMN atas kesediaannya sebagai pembimbing
penelitian saya ini, yang walaupun di tengah kesibukannya masih dapat
meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan
bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam
menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa ucapan terimakasih saya berikan kepada
Bapak Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes sebagai pembimbing statistik yang juga
telah banyak meluangkan waktu dan kesibukannya untuk berdiskusi menganai
statistik penelitian ini. Berikutnya saya juga mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya (Alm.) H. Azhar Yusuf dan Hj.
Sakty Saleh yang tidak bosan – bosan medoakan dan mendukung saya sejak kecil
hingga sekarang.

i
Dan dengan berakhirnya pula masa pendidikan saya di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, maka pada kesempatan yang berbahagia
ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar
– besarnya kepada :
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.
Runtung Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) atas kesempatan yang telah diberikan
kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di
bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
USU / RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV dan
Prof. dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO sebagai Ketua Program Studi
Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Tasrif Hamdi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt.
Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dan dr. Cut Meliza
Zainumi, M.Ked (An), SpAn sebagai Plt. Sekretaris Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif, terimakasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu
dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai.
Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution,
SpAn. KIC; (Alm.) dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO; Prof. dr. Achsanuddin
Hanafie, SpAn. KIC. KAO; dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV; dr. Asmin
Lubis, DAF, SpAn. KAP.KMN; dr. Qadri F. Tanjung, SpAn. KAKV; dr. Hasanul
Arifin SpAn. KAP. KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA; dr. Ade Veronica
HY, SpAn. KIC; dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP; dr.
Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr Tumbur, SpAn; dr. Walman Sitohang, SpAn;
LetKol (CKM) dr. Nugroho Kunto Subagio, SpAn; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya,
SpAn; Dr. dr. Dadik W. Wijaya, SpAn; dr. M. Ihsan, SpAn. KMN; dr. Guido M.
Solihin, SpAn. KAKV; dr. Andriamuri P. Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Ade
Winata, Sp. An, KIC; dr. Rommy F Nadeak, SpAn; dr. Rr. Shinta Irina, SpAn; dr.
Fadli Armi Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Raka Jati P. M. Ked (An) Sp. An; dr.
Bastian Lubis M.Ked(An) Sp.An; dr. Wulan Fadine M. Ked(An) Sp.An; dr. A.
Yafiz Hasbi M.Ked (An) Sp.An; dr. M. Arshad, M. Ked (An) Sp.An, dr. Luwih

ii
Bisono, Sp. An, KAR; saya ucapkan terima kasih atas segala ilmu, keterampilan
dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa percaya
diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta pengajaran dalam bidang
keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi
saya di kemudian hari.
Yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur
RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan,Direktur RS Haji
Medan yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan
kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat menjalani masa
pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terimakasih.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Istri tercinta dr. Indah
Sukmawardhani dan juga anak – anak tersayang M. Nafis Adria Awang dan Nadine
Almira Awang yang telah bersedia meluangkan waktu, perasaan dan tenaga untuk
mendukung dan mendoakan saya di selama masa pendidikan saya dimulai hingg
saat ini.
Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian
Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Virat Kumar, dr. Franz Joseph Tarigan, dr. M.
Rizky Alfian, dr, Dewi Yuliana Fithri, dr. Cwanestasia Z.G.S, dr. Doni Herianto,
dr. Jhonsen Indrawan dan dr. Galdy Wafie yang telah bersama-sama baik duka
maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat
dengan harapan teman – teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi
ini.
Kepada seluruh teman – teman, rekan – rekan dan kerabat, handaitaulan,
keluarga besar, pasien – pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu
persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil
kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya
ucapkan terimakasih.
Kepada paramedic dan karyawan Departemen/SMF Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan, RSUP
Pirngadi Medan dan Rumkit Tk II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu
dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan dan penelitian ini saya juga
ucapkan terima kasih.

iii
Dan akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini
memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang saya cintai.

Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan


kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya
mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Medan, Oktober 2018


Penulis

(dr. Awang Supriady)

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix
ABSTRAK ........................................................................................................... x
ABSTRACT......................................................................................................... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .................................................................. 6
1.3 HIPOTESIS ....................................................................................... 7
1.4 TUJUAN PENELITIAN .................................................................. 7
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................. 7
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................ 7
1.5 MANFAAT PENELITIAN ............................................................. 7
1.5.1 Manfaat Akademis ................................................................... 7
1.5.2 Manfaat Pelayanan Masyarakat……………………………….. 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 9
2.1 Konsep General Anestesi ................................................................. 9
2.2 Penggunaan Obat Sedatif ………………………………………….. 15
2.3 Anestesi Inhalasi ……………………………………………………. 16
2.4 Isofluran ............................................................................................ 19
2.4.1 Indikasi dan Kontra Indikasi .……………………………….. 20
2.4.2 Efek Samping Penggunaan Isofluran ……….………………. 21
2.5 Aminophylline ................................................................................. 27
2.5.1 Farmakokinetik ……………………………..………………. 27
2.5.2 Farmakodinamik Aminophylline ……….……….……….…. 28
2.5.3 Efek Sedatif Aminophylline ………….…….……….………. 30
2.6 Fisiologi Tidur dan Pengaruh Anestesi Umum Terhadap

v
Terhadap Gambaran EEG ……………………………………… 31
2.7 Waktu Pulih Sadar ......................................................................... 33
2.8 BIS ..................................................................................................... 34
2.9 Kerangka Teori ............................................................................... 38
2.10 Kerangka Konsep............................................................................ 39
BAB 3 METODE PENELITIAN ...................................................................... 40
3.1 Desain Penelitian .............................................................................. 40
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 40
3.2.1 Tempat ................................................................................... 40
3.2.2 Waktu .................................................................................... 40
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................... 40
3.3.1 Populasi ................................................................................. 40
3.3.2 Sampel ................................................................................... 40
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ......................................................... 41
3.4.1 Kriteria Inklusi ......................................................................... 41
3.4.2 Kriteria Eksklusi ...................................................................... 41
3.4.3 Kriteria Putus Uji (Drop Out) .................................................. 41
3.5 Besar Sampel ................................................................................... 41
3.6 Informed Consent ............................................................................ 42
3.7 Alat, Bahan, dan Cara Kerja .......................................................... 42
3.7.1 Alat dan Bahan......................................................................... 42
3.7.1.1 Alat.............................................................................. 42
3.7.1.2 Bahan ........................................................................... 43

3.7.2 Cara Kerja ................................................................................ 43


3.7.2.1 Persiapan Pasien dan Obat .......................................... 43
3.7.2.2 Pelaksanaan Penelitian ................................................ 44
3.8 Identifikasi Variabel ........................................................................ 46
3.8.1 Variabel Bebas ......................................................................... 46
3.8.2 Variabel Tergantung ................................................................ 46

vi
3.9 Rencana Manajemen dan Analisis Data ........................................ 46
3.10 Definisi Operasional.................................................................. …. 47
3.11 Alur Penelitian ................................................................................ 48
BAB 4 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 49
4.1 Karakteristik Demografi Responden Penelitian ............................ 49
4.2 Efek Obat Perlakuan Terhadap Waktu Pulih Sampel .................. 52
BAB 5 PEMBAHASAN ...................................................................................... 54
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 58
6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 58
6.2 Saran .................................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 59
LAMPIRAN ........................................................................................................ 64

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Efek Anestesi Inhalasi Pada Berbagai Organ ............................. 11


Tabel 2.2. Perbedaan Tidur dan Sedasi ........................................................ 12
Tabel 2.3 Skor Sedasi Ramsay....................................................................... 14
Tabel 2.4 Protokol pemberian sedasi ......................................................... 25
Tabel 4.1 Karakteristik sampel berdasarkan usia, jenis kelamin,
PS ASA ............................................................................................ 49
Tabel 4.2 Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin....................... 50
Tabel 4.3 Karakteristik sampel berdasarkan ASA ..................................... 51
Tabel 4.4 Nilai rerata BIS pada setiap waktu pemeriksaan ....................... 52
Tabel 4.5 Perbandingan nilai rata-rata antara aminophilin dengan
NaCl 0.9% terhadap waktu pulih sadar ...................................... 52

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema tingkat kesadaran ........................................................... 11


Gambar 2.2 Perjalanan gas obat anestesi inhalasi ........................................ 17
Gambar 2.3 Rumus bangun isoflurane........................................................... 19
Gambar 2.4. Struktur kimia aminofilin .......................................................... 28
Gambar 2.5 Pola EEG selama Keadaan Terjaga, Anestesi Umum,dan Tidur 32
Gambar 2.6 Pola EEG pada BIS……………………………………... .......... 36
Gambar 2.7 Indeks BIS dikelompokkan untuk berkorelasi dengan titik
akhir klinis penting selama pemberian agen anestesi .............. 37
Gambar 2.8 Korelasi yang signifikan terlihat antara penurunan tingkat
metabolisme otak ......................................................................... 37
Gambar 2.9 Kerangka Teori ........................................................................... 38
Gambar 2.10 Kerangka Konsep ........................................................................... 39
Gambar 3.11 Alur Penelitian ................................................................................ 48
Gambar 4.1 Karakteristik sampel berdasarkan usia, jenis kelamin, PS ASA 49
Gambar 4.2 Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin .................... 50
Gambar 4.3 Karakteristik sampel berdasarkan ASA ................................... 51
Gambar 4.4 Gafik perbedaan rata-rata nilai bispectral index .................... 53

ix
ABSTRAK

Pendahuluan : Pembedahan adalah perawatan medis invasive yang digunakan untuk


mendiagnosis atau mengobati penyakit,cedera atau kelainan bentuk tubuh.
Tujuan penelitian : Untuk mengetahui pengaruh aminofilin intravena untuk
mempercepat waktu pemulihan setelah anestesi umum pasca operasi pada pasien
operasi laparatomi dengan menggunakan indeks bispectral di Rumah Sakit Haji
Adam Malik, Medan.
Metode : Uji coba terkontrol secara acak dan double-blind. Penelitian ini dilakukan
di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan dari bulan Juni sampai September
2018. Populasi penelitian adalah semua subjek yang dijadwalkan secara elektrik
untuk menjalani laparotomi perut dengan teknik anestesi umum dengan inhalasi
isoflurane di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Total sampel yang didapat
adalah 46 pasien. Uji normal data numerik digunakan dengan uji fisher exact.
Hipotesis penelitian diuji menggunakan uji Mann-Whitney. Dalam penelitian yang
dilakukan pada 46 sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok, ditemukan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dalam nilai waktu pemulihan sadar
pada pasien dengan anestesi umum.
Hasil : Berdasarkan penelitian ini, pasien pulih secara sadar dengan aminofilin rata-
rata 10,48 menit dihitung mulai dari T0 (ketika pemberian aminofilin) dan dengan
NaCl 0,9%, waktu rata-rata 15,48 menit dihitung dari T0 (ketika pemberian
aminofilin), yang dari dua obat yang diberikan aminofilin dapat mempercepat waktu
pemulihan sadar pada pasien dengan anestesi umum. Dalam hasil penelitian ini
ditemukan bahwa penggunaan aminofilin memberikan waktu pemulihan lebih cepat
dibandingkan dengan NaCl 0,9% (p <0,05) dengan memperpendek waktu menjadi
hampir setengah, dibandingkan dengan waktu pemulihan rata-rata.
Kesimpulan : Administrasi NaCl 0,9% pada pasien dengan anestesi umum tidak
mempengaruhi waktu pemulihan setelah anestesi umum dinilai menggunakan indeks
bispektral. Pemberian aminofilin pada pasien dengan anestesi umum dapat
mempercepat waktu pemulihan setelah anestesi umum dinilai menggunakan indeks
bispektral. Pemberian aminofilin pada pasien dengan anestesi umum dapat
mempercepat waktu pemulihan setelah anestesi umum dibandingkan dengan NaCl
0,9% yang dinilai menggunakan indeks bispektral.

Kata Kunci : aminofilin intravena, bispectral index

x
ABSTRACT

Background : Surgery is an invasive medical treatment performed to diagnose or


treat a disease, injury, or deformity of the body.
Objective : To determine the effect of intravenous aminophylline to speed up recovery
time after postoperative general anesthesia in laparatomy surgery patients by using
bispectral index at Haji Adam Malik Hospital, Medan.
Methods : The research method used was a randomized and double-blind
randomized controlled trial. This research was carried out at Haji Adam Malik
General Hospital Medan from June to September 2018. The study population was all
subjects who were electively scheduled to undergo abdominal laparotomy with
general anesthesia technique with isoflurane inhalation at Haji Adam Malik General
Hospital. The total sample obtained was 46 patients. The normal test of numerical
data was used by fisher exact test. The research hypothesis was tested using the
Mann-Whitney test. In the study conducted on 46 samples which were divided into 2
groups, it was found that there were significant differences between the two groups in
the value of conscious recovery time in patients with general anesthesia.
Results : Based on this study, the results is patients recovered consciously with
aminophylline average 10.48 minutes were calculated starting from T0 (when
administering aminophylline) and with NaCl 0.9%, the average time of 15.48 minutes
was calculated from T0 (when administering aminophylline), which of the two drugs
that are given aminophylline can accelerate conscious recovery time in patients with
general anesthesia. In the results of this study it was found that the use of
aminophylline gave a faster recovery time compared to 0.9% NaCl (p <0.05) by
shortening the time to almost half, compared to the average recovery time.
Administration of 0.9% NaCl in patients with general anesthesia did not affect
recovery time after general anesthesia was assessed using the bispectral index.
Conclusion : Administration of aminophylline in patients with general anesthesia can
speed up recovery time after general anesthesia is assessed using the bispectral
index. Administration of aminophylline in patients with general anesthesia can
accelerate recovery time after general anesthesia compared with 0.9% NaCl which
was assessed using the bispectral index.

Keywords: intravenous aminophylline, bispectral index.

xi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Operasi atau pembedahan adalah suatu penanganan medis secara invasif yang
dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, cedera, atau kelainan deformitas
tubuh (Nainggolan, 2013). Kiik (2013) menyatakan bahwa tindakan pembedahan akan
mencederai jaringan yang dapat menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan
mempengaruhi organ tubuh lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health
Organization (WHO) dari Sartika (2013), jumlah pasien dengan tindakan operasi mencapai
angka peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun 2011
terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia yang menjalani pembedahan,
sedangkan pada tahun 2012 data mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa.
Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan melakukan
penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ dalam
abdomen yang mengalami masalah (hemoragik, perforasi, kanker, dan obstruksi)
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005; 2 http://medicastore.m, 2012). Laparatomi juga dilakukan
pada kasus-kasus digestif dan kandungan seperti apendisitis, perforasi, hernia inguinalis,
kanker lambung, kanker colon, kanker rektum, obstruksi usus, inflamasi usus kronis,
kolesistitis dan peritonitis (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Pada pembedahan laparoskopi ataupun laparotomi umumnya jenis anestesi yang
digunakan adalah jenis anestesi umum. Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel
yang mengubah status fisiologis tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi),
hilangnya persepsi nyeri (analgesia), hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa
substansi yang dapat menghasilkan keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert
(xenon), anorganik (nitrous oxide), inhalasi hidrokarbon (halothan), dan struktur organik
komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).

1
2

Anestesi umum dapat dilakukan melalui obat-obatan yang diberikan secara


intravena dan inhalasi. Obat-obatan intravena antara lain golongan barbiturat (pentotal),
ketamin, propofol, dan etomidat. Sedangkan obat inhalasi digunakan untuk maintenance
anestesi umum antara lain ether (sekarang sudah tidak digunakan), metoksifluran, halotan,
enfluran, desfluran, sevofluran dan isofluran (Stoelting, 2006).
Obat inhalasi diketahui mempunyai banyak efek samping, antara lain gangguan
pada hepar, gangguan pada ginjal, sistem saraf pusat, bahkan gangguan otot jantung.
Sevofluran dan isoflurane dinilai sebagai obat inhalasi yang mempunyai efek samping yang
lebih rendah disamping desfluran (Morgan, 2013), tetapi desfluran masih jarang digunakan
di Indonesia karena pemakaiannya yang boros dan mahal.
Isofluran adalah obat inhalasi yang sering digunakan di kamar operasi. Pertama kali
disintesis oleh Ross Terell pada tahun 1965, dan digunakan di klinik tahun 1971 oleh
Dobkin dan Stevens. Koefisien partisi gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil
dibanding obat inhalasi lainnya, kecuali desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7,
memungkinkan peningkatan konsentrasi isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian
oleh Frink dkk, pasien yang dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka
mata dengan perintah kira – kira selama 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pemberian
yang lebih lama, yaitu selama 5 – 6 jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat,
kira – kira 11 menit setelah isofluran dihentikan (Morgan, 2013).
Pulih sadar pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada eliminasi
obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan membuka mata
dengan perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien partisi
darah - gas, dan dosis (MAC-jam). Kecepatan pulih sadar berbanding terbalik dengan
kelarutan obat dalam darah, semakin rendah daya kelarutannya maka semakin cepat
eliminasinya dari paru. Bila anestesi berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga
bergantung pada total ambilan obat anestesi oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya
kelarutan, kadar rata-rata yang digunakan, dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006).
3

Berbagai cara dilakukan untuk mempercepat waktu pulih sadar pada pasien baik
secara non-farmakologis maupun dengan intervensi farmakologis. Salah satu intervensi
farmakologis yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian Aminophylline. Beberapa
penelitian klinis telah menunjukkan bahwa Aminophylline dapat mempercepat durasi pulih
sadar pasien setelah pemberian total intravena anestesi dengan propofol dan remifentanil,
sevofluran, dan desfluran (Turan dkk, 2010).
Aminophylline sering digunakan dalam praktik anestesi untuk mengatasi
bronkospasme pada neonatus premature. Aminophylline memiliki efek mengurangi
kejadian apnea pasca operasi (Huphfl dkk, 2008). Selain dibidang anestesi, pemberian
Aminophylline khususnya secara intravena dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi
asma pada anak-anak yang tidak respon terhadap terapi inhalasi/nebulisasi lini pertama
(Lewis dkk, 2016).
Aminophylline merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada
kopi dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan perilaku
dan hipnosis dari benzodiazepin (Farsad dkk, 2017). Penelitian menunjukkan bahwa
Aminophylline yang diberikan pada akhir operasi mempersingkat waktu pulih sadar dari
anestesi umum dan meningkatkan kualitas pemulihan. Lebih dari itu Aminophylline
memiliki efek menurunkan kedalaman serta durasi sedasi yang dihasilkan oleh barbiturat,
diazepam, midazolam dan propofol (Huphfl dkk, 2008).
Telah dilaporkan bahwa Aminophylline mempersingkat efek sedasi beberapa obat
anestesi dan analgesik. Laporan kasus disini menunjukkan bahwa Aminophylline intravena
efektif mempercepat efek obat sedasi / obat propofol yang berlangsung lama pada saat
pasca operasi. Tidak ada efek samping secara langsung setelah sedasi pada pemberian
Aminophylline. Studi ini menunjukkan bahwa Aminophylline bisa bermanfaat secara klinis
sebagai antagonis propofol (M. Hupl, dkk, 2008).
Pasien yang diteliti ada dua kelompok dimana usia, berat badan, status ASA dan
durasi operasinya hampir sama. Nilai ETCO2, SpO2 dan EKG serupa pada kedua
4

kelompok dan sebanding nilainya sebelum injeksi. Tidak ada perbedaan yang signifikan
secara statistik dalam skor BIS antara dua kelompok sebelum injeksi obat uji (p> 0,05).
Setelah pemberian injeksi obat uji Aminophylline 4 mg/kg, skor BIS ditemukan secara
signifikan lebih tinggi (p <0,001) pada Kelompok A didapat 1- 25 menit. Tingkat denyut
jantung dan tekanan darah ditemukan lebih tinggi secara signifikan setelah injeksi
Aminophylline dibandingkan dengan kelompok plasebo (p <0,001. Waktu pemulihan pada
semua variabel terukur (waktu untuk pembukaan mata, ekstubasi, pegangan tangan dan
waktu bangun) secara signifikan lebih pendek pada Kelompok A (Aminophylline) (p
<0,001). Semua pasien memiliki nilai Aldrete 9 di unit perawatan pasca operasi kurang dari
satu jam setelah penghentian operasi (Ghaffaripour S,2014).
Aminophylline biasanya digunakan selama anestesi untuk mengatasi bronkospasme
namun temuan terbaru menunjukkan bahwa hal itu juga dapat digunakan untuk
mempersingkat waktu pemulihan setelah anestesi umum. Namun, tidak jelas apakah
Aminophylline menunjukkan sifat yang serupa selama operasi fase anestesi dalam keadaan
stabil. Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis bahwa pemberian Aminophylline
mengarah pada peningkatan nilai bispectral index sebagai parameter pengganti yang
menunjukkan bidang anestesi yang lebih ringan. Penelitian ini dirancang sebagai percobaan
double-blind, acak, terkontrol dengan dua kelompok utama (Aminophylline dan plasebo)
dan dua subkelompok (sevofluran dan propofol). Kami mempelajari 60 pasien yang
diberikan injeksi obat Aminophylline 3 mg/kgBB dikaitkan dengan peningkatan bispektral
index yang signifikan hingga 10 menit setelah injeksi, sementara denyut jantung dan
tekanan darah tidak berubah. Diduga Aminophylline memiliki kemampuan untuk
mengurangi sebagian efek obat sedasi dari tindakan anestesi umum (Hupfl M, et all,2008).
Mekanisme kerja dari Aminophylline yang dapat mempersingkat waktu pulih sadar
pasien berhubungan dengan sifatnya yang kontraindikasi dengan adenosin. Adenosin
terdapat di semua sel dan reseptornya tersebar di semua sel otak. Pemberian infus adenosin
dalam dosis rendah memiliki efek hipnotik dari anestesi. Sebaliknya, pemberian
5

Aminophylline menghasilkan efek yang berlawanan terhadap obat anestesi seperti


benzodiazepin, barbiturat dan anestesi volatil lainnya (Ghaffaripour, 2014).
Bispectral Index Score (BIS) adalah parameter elektroencephalogram baru yang
secara khusus dikembangkan untuk mengukur efek sedasi dan hipnotik yang dihasilkan
oleh obat-obat anestesi. Peran utama BIS adalah mengukur kedalaman anestesi dan berguna
untuk menyesuaikan dosis obat sedatif. Indeks BIS adalah angka antara 0 dan 100 dalam
skala yang berkorelasi antara hasil akhir klinis yang baik dan keadaan EEG selama
pemberian obat anestesi. Nilai BIS mendekati 100% mewakili keadaan klinis "terjaga/sadar
penuh" dan saat nilai BIS 0% memiliki arti tidak menunjukkan aktivitas EEG (Kelley,
2012).
Untuk mengukur efek Aminophylline pada anestesi umum, kami menggunakan
pemantauan bispectral index (BIS) sebagai parameter pengganti karena Aminophylline
memiliki index terapi yang sangat sempit (Ghaffaripour, 2014).
Sistem pemantauan bispectral index memungkinkan ahli anestesi untuk mengakses
informasi EEG yang dihasilkan untuk mengukur pengaruh anestesi tertentu selama
perawatan pasien yang mereka pilih untuk dipantau. Dampak klinis pemantauan bispectral
index telah ditunjukkan dalam berbagai percobaan randomize terkontrol yang
mengungkapkan potensi pemantauan BIS untuk memfasilitasi perbaikan, dalam hal ini
termasuk keselamatan pasien. (Scoot DC,2010)
Penelitian yang dilakukan oleh Sina, dkk. Menunjukan bahwa skor BIS ditemukan
secara signifikan lebih tinggi (p <0,001) pada kelompok yang diberi Aminophylline
dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan normal saline. Detak jantung dan
tekanan darah ditemukan lebih tinggi secara signifikan setelah injeksi Aminophylline
dibandingkan dengan kelompok kontrol (p <0,001). Selain itu waktu pemulihan di semua
variabel terukur (waktu untuk membuka mata, ekstubasi, pegangan tangan dan waktu
terjaga) secara signifikan lebih pendek pada kelompok yang menerima Aminophylline bila
dibandingan dengan kelompok kontrol (p <0,001) (Ghaffaripour, 2014).
6

Hasil penelitian lain yang dilakukan Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Universitas Tehran, menunjukan bahwa waktu untuk melakukan
ekstubasi pasca operasi secara signifikan lebih singkat pada kelompok yang mendapat
Aminophylline 5 mg/KgBB (10,4 ± 4,78 menit), kemudian disusul kelompok
Aminophylline 1 mg/KgBB (11,15 ± 8,2 menit) dan paling lama pada kelompok yang
mendapat normal saline yaitu kelompok kontrol (12,26 ± 7,33 menit) dengan p-value =
0,001. Selain itu jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai skor BIS ≥ 90% secara
signifikan juga lebih singkat pada kelompok yang mendapat Aminophylline 5 mg/KgBB
(10,6 ± 3,7 menit) kemudian disusul kelompok Aminophylline 1 mg/KgBB (11,5 ± 5,6
menit) dan paling lama pada kelompok yang mendapat normal saline yaitu kelompok
kontrol (14,4 ± 4,2 menit) dengan p-value = 0,001. (Farsad, 2017).
Oleh karena itu berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas, peneliti
berkeinginan untuk meneliti efek Aminophylline 3 mg/kgBB intravena untuk mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada pasien pembedahan
laparatomi dengan menggunakan bispectral index di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Haji Adam Malik Medan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu: ”Apakah pemberian Aminophylline 3 mg/kgBB intravena dapat
mempercepat waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada
pembedahan laparatomi dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik
Medan?”
7

1.3 Hipotesis
Didapatkan efek pemberian Aminophylline intravena dalam mempercepat waktu
pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada pembedahan laparatomi
dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.4 TUJUAN PENELITIAN


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek pemberian Aminophylline intravena dalam mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran pada pembedahan
laparatomi dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui rata-rata waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi
isofluran dengan menggunakan bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan
setelah pemberian Aminophylline 3 mg/kgBB.
2. Untuk mengetahui perbandingan waktu pulih sadar pasca general anestesi dengan
inhalasi isofluran dengan pemberian Aminophylline 3mg/kgBB dan pemberian normal
salinee (NaCl 0,9%) intravena pada pembedahan laparatomi dengan menggunakan
bispectral index.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan
dalam penelitian lanjutan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk mempercepat waktu
pulih sadar pasca general anestesi pada pasien pembedahan laparatomi.
8

1.5.2 Manfaat Pelayanan Masyarakat


Sebagai bahan masukan khususnya bagi praktisi medis tentang efek pemberian
Aminophylline intravena dalam mempercepat waktu pulih sadar pasca general anestesi
dengan inhalasi isofluran dengan menggunakan bispectral index, sehingga praktisi medis
khususnya dokter anestesi dapat meningkatkan standar pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dan pasien-pasien yang menjalani pembiusan dengan general anestesi menjadi
lebih baik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep General Anestesi

Pengertian General Anestesi

Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status fisiologis
tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia),
hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa senyawa yang dapat menghasilkan
keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitrous oxide), inhalasi
hidrokarbon (halothan), dan struktur organik komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).
Terdapat beberapa daerah mikroskopik sebagai tempat bekerjanya substansi anestesi
umum. Pada otak diketahui anestesi umum mempengaruhi beberapa tempat, seperti sistem
retikular, kortek serebri, nukleus kuneatus, kortek olfaktori, dan hipokampus (Firman, 2009).
Melalui mekanisme kerjanya, anestesi umum mengakibatkan terjadinya perubahan-
perubahan pada sistem seluler, seperti perubahan pada ligand gate ion channel, fungsi second
messenger, atau reseptor neurotransmitter. Sebagai contoh terjadi peningkatan inhibisi pada
γ-Aminobutyric Acid (GABA) pada sistem saraf pusat. Seperti diketahui reseptor agonis
GABA akan memperdalam anestesi, sedangkan antagonis GABA akan menghilangkan aksi
anestesi (Morgan, 2013).
Semua zat obat anestesi umum menghambat susunan saraf pusat secara bertahap,
dimulai dari fungsi yang kompleks dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang
bekerja sebagai pusat vasomotor dan pusat pernapasan.
Guedel (1920) membagi anestesia umum dengan menggunakan eter dalam empat (4)
stadium dimana stadium III dibagi lagi dalam empat tingkat (Sadikin, 2011).
Stadium I (analgesia). Stadium analgesta dimulai dari saat pemberian zat obat
anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti

9
10

perintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat dilakukan tindakan
pembedahan ringan seperti mencabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya (Sadikin, 2011).
Stadium II (delirium/eksitasi). Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menuruti kehendak, penderita tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan
tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meningkat, inkontinesia
urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi, takikardi; hal ini terutama terjadi karena adanya
hambatan pada susunan saraf pusat (Sadikin, 2011).
Stadium III (pembedahan). Stadium ini dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
hilangnya pernapasan spontan. Tanda yang harus dikenal ialah: (1) pernapasan yang tidak
teratur pada stadium II menghilang; pernapasan menjadi spontan dan teratur oleh karena
tidak adanya pengaruh psikis, sedangkan pengontrolan kehendak hilang; (2) refleks kelopak
mata dan konjungtiva hilang, bila kelopak mata atas diangkat dengan perlahan dan dilepaskan
tidak akan menutup lagi, kelopak mata tidak berkedip bila bulu mata disentuh; (3) kepala
dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Bila lengan diangkat lalu dilepaskan
akan jatuh bebas tanpa tahanan; dan (4) gerakan bola mata yang tidak menuruti kehendak
merupakan tanda spesifik untuk permulaan stadium III (Sadikin, 2011).
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan pernapasan perut yang lebih
lemah dibandingkan stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur karena kolaps
pembuluh darah, berhentinya denyut jantung dan dapat disusul kematian. Pada stadium ini
kelumpuhan pernapasan tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan (Sadikin, 2011).
Berbagai macam cara pemberian anestesi yaitu secara parenteral, perektal, inhalasi
ataupun secara intravena. Salah satu bentuk anestesi umum yang sering digunakan adalah
anestesi secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap). Anestesi inhalasi ini memiliki
keunggulan yaitu potensi dan konsentrasinya yang dapat dikendalikan melalui mesin, dengan
titrasi dosis untuk menghasilkan respon yang diinginkan. Obat anestesi inhalasi yang
terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran
11

sedangkan obat anestesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat,
narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis lainnya, dan beberapa obat
khusus seperti ketamin (Stoelting dan Hillier, 2007).
Dasar dari terjadinya stadium anestesia adalah adanya perbedaan kepekaan berbagai
bagian sistem saraf pusat terhadap obat anestesi. Sel-sel subtansia gelatinosa di kornu dorsalis
medula spinalis sangat peka terhadap obat anestesi. Penurunan aktivitas neuron di daerah ini
menghambat trasmisi sensorik dari rangsang neoseptik, hal ini yang menyebabkan terjadinya
tahap analgesia. Stadium II terjadi akibat aktivitas neuron yang kompleks pada kadar obat
anestesi yang lebih tinggi di otak. Aktivitas ini antara lain berupa penghambatan berbagai
neuron inhibisi bersamaan dengan dipermudahnya pelepasan neurotransmitter eksitasi.
Selanjutnya, depresi hebat pada jalur naik di sistem aktivasi retikular dan penekanan aktivitas
refleks spinal menyebabkan pasien masuk ke stadium III. Neuron di pusat napas dan pusat
vasomotor relatif tidak peka terhadap obat anestesi kecuali pada kadar yang sangat tinggi.
Apa yang menyebabkan perbedaan kepekaan berbagai bagian sistem saraf pusat ini masih
perlu diteliti (Sadikin, 2011).

Gambar 2.1 Skema Tingkat Kesadaran


12

Tabel 2.1 Perbedaan Tidur dan Sedasi


Tidur Sedasi
Ditimbulkan secara endogen Diinduksi oleh obat/obat anesthesia
Ada kontrol homeostatik dan Tidak ada kontrol homeostatik dan
sirkadian sirkadian
Onset dan durasi bergantung Onset dan durasi bergantung pada
pada stress, obat-obatan, dosis dan durasi obat anestesia
lingkungan, nyeri, dan patologi yang diberikan.
Batas kedalaman tidur bervariasi Batas kesadaran ditentukan
(NREM vs. REM)
Berperan dalam proses belajar Amnesia dan penurunan kognitif.
dan konsolidasi memori
Tidak ada efek samping PONV cukup sering ditemukan
Metabolic rate menurun selama Metabolic rate menurun
tidur NREM dan meningkat
selama tidur REM

Pemberian sedasi sering dilakukan untuk memberikan kenyamanan kepada pasien


sekaligus membantu kelancaran prosedur yang dilakukan, terutama pada pasien bayi, anak-
anak yang kurang kooperatif, atau dengan retardasi mental. Jenis sedasi yang diberikan dapat
berupa sedasi ringan sampai yang dalam.
The American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut untuk
sedasi (Porkka-Heiskanen T, 2009).
Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon
normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi
fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.
13

Sedasi sedang adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat di mana pasien
dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh rangsangan
taktil dan reflek cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga jalan napas dan ventilasi
spontan yang masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler biasanya perlu dimonitoring.
Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi penurunan kesadaran setelah
terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang
atau rangsangan nyeri. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi dapat terganggu
dan pasien akan memerlukan bantuan untuk menjaga jalan napas. Fungsi kardiovaskuler
perlu dimonitoring. Adenosine yang bekerja melalui reseptor A1adenosine mengaktifkan
jalur transduksi sinyal yang menghasilkan peningkatan kalsium intraseluler yang mengarah
pada aktivasi faktor transkripsi NF-kB dan kemungkinan transkripsi gen yang berperan untuk
menyebabkan efek tidur jangka panjang. (Basheer R, Strecker RE, 2010)
Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam di mana kontak
verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan
dengan anestesia umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat
keahlian yang lebih tinggi dalam penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga
patensi jalan napas merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang, tetapi pada tingkat
sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesia
dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat sedatif dapat
menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar (Bronco A, 2010).
Pemberian sedasi dapat dilakukan secara intramuskular, intravena, intratekal,
maupun dengan inhalasi, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Jenis obat yang
sering digunakan adalah golongan benzodiazepine dan opioid. Midazolam lebih disukai
dibandingkan dengan diazepam karena obat ini larut dalam air, tidak menimbulkan rasa nyeri
pada saat pemberian, waktu paruhnya lebih singkat, dan menghasilkan metabolit yang kurang
aktif dibandingkan dengan diazepam. Midazolam jarang mendepresi sistem pernafasan,
namun dapat menimbulkan efek agitasi pada beberapa individu. Pemberian opioid dengan
14

dosis tertentu dapat mendepresi sistem pernafasan karena tempat kerjanya berada di reseptor
µ medulla oblongata yang dapat menghambat respon terhadap peningkatan CO2. Obat jenis
lain seperti ketamin dan propofol juga menjadi pilihan obat yang sering digunakan. Propofol
umumnya hanya dipakai untuk pasien anak dengan usia di atas 3 tahun (Mahajan VA,Ni
Chonghaile M, 2007).
Untuk pasien-pasien yang telah direncanakan sebelumnya untuk mendapat sedasi
selama prosedur berlangsung, sebaiknya dipuasakan terlebih dahulu (Morgan, 2013)

Tabel 2.2 Skor Sedasi Ramsay


Kriteria Skor
Pasien cemas dan gelisah atau tidak tenang, atau keduanya 1
Pasien kooperatif, berorientasi, dan tenang 2
Pasien merespon saat diperintah 3
Pasien menunjukkan respon cepat untuk sentuhan ringan di 4
glabellar atau stimulus pendengaran keras
Pasien menunjukkan respon yang lambat untuk sentuhan 5
ringan di glabellar atau stimulus pendengaran keras
Pasien menunjukkan tidak ada respon 6
15

Tabel 2.3 Protokol pemberian sedasi (Morgan, 2013)

2.2. Penggunaan obat sedatif


Obat-obat sedatif-hipnotik dan anti anxietas banyak digunakan di dunia. Diperkirakan 10-
15% masyarakat yang mengalami insomnia menggunakan pengobatan farmakologi untuk
menormalkan tidur. Insomnia sendiri diartikan sebagai keadaan susahnya memulai tidur,
tidak bisa tidur atau durasi tidur yang tidak adekuat. Beberapa obat yang digunakan untuk
mengatasi insomnia merupakan agonis GABA dan mempunyai efek sedasi langsung, yang
16

terdiri dari relaksasi otot, melemahnya ingatan, ataxia dan hilangnya keterampilan kerja,
seperti mengemudi. Durasi kerja obat untuk insomnia yang panjang, dapat menyebabkan
gangguan psikomotor, konsentrasi dan ingatan (Dan M, 2015).

2.3 Anestesi Inhalasi


Nitrous oxide, kloroform, dan eter adalah anestesi umum pertama yang secara
universal diterima. Metoksifluran dan enfluran, adalah dua obat inhalasi yang ampuh yang
digunakan selama bertahun-tahun dalam praktek anestesi di Amerika Utara. Methoxyflurane
adalah obat inhalasi yang paling ampuh dan memiliki kelarutan tinggi dan tekanan uap yang
rendah sehingga menghasilkan induksi yang lebih lama. Lima obat inhalasi yang masih
digunakan dalam anestesiologi klinis: nitrous oxide, halotan, isofluran, desfluran, dan
sevofluran (Morgan, 2013).
Jalannya anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga tahap: (1) induksi, (2)
maintenance, dan (3) emergence. Anestesi inhalasi, seperti halotan dan sevofluran,
bermanfaat dalam proses induksi pada pasien anak yang mungkin sulit dilakukan dengan
jalur intravena. Meskipun orang dewasa biasanya diinduksi dengan obat intravena,
nonpungency dan onset cepat sevofluran membuat induksi inhalasi praktis bagi pasien
dewasa. Terlepas dari usia pasien, anestesi sering dipertahankan dengan teknik inhalasi.
Karena rute administrasinya yang unik, anestesi inhalasi memiliki sifat farmakologi yang
berguna yang tidak dimiliki oleh obat anestesi lainnya. Misalnya, pemberian melalui sirkulasi
paru memungkinkan efek obat yang lebih cepat dalam darah arteri dari pada pemberian
intravena (Morgan, 2013).
17

Gambar 2.2. Perjalanan Gas Obat anestesi Inhalasi dari Mesin Anestesia ke Otak
Sumber: Morgan, 2013

Faktor-faktor yang menentukan kecepatan transfer obat anestesi di jaringan otak ditentukan
oleh:
• Kelarutan zat obat anestesi dalam darah
Kelarutan ini dinyatakan sebagai blood : gas partition coefficlent (λ), yaitu
perbandingan konsentrasi obat anestesi gas dalam darah dengan konsentrasinya
dalam gas yang diinspirasi setelah dicapai keseimbangan. Zat yang sangat mudah
larut misalnya dietileter dan metoksilluran, mempunyai nilai (λ) 12,1 ; sedangkan
etilen yang sukar larut mempunyai nilai (λ), 0,14. Nilai (λ) siklopropan adalah 0,42 ;
N2O 0,47 dan kloroform 9,4. Lamanya dicapai keseimbangan antara tekanan parsial
di alveoli dan darah tergantung dari kelarutan dalam darah ini, bila kelarutannya
tinggi, atau zat obat anestesi mudah larut dalam darah maka dibutuhkan waktu lebih
18

lama, sebab untuk obat ini darah merupakan reservoar; dengan demikian induksi
berjalan lebih lambat. Pada penggunaan eter, tekanan parsial dalam darah hanya 5%
dari tekanan parsial pada keseimbangan dengan sekali isap, sedangkan halotan 25%,
siklopropan atau N2O 65% dan etilen 85% (Sadikin, 2011).
• Kadar obat anestesi dalam udara inspirasi
Kadar obat anestesi dalam campuran gas yang dihirup menentukan tekanan
maksimum yang dicapai di alveoli maupun kecepatan naiknya tekanan parsial arteri.
Kadar obat anestesi yang tinggi akan mempercepat transfer obat anestesi ke darah,
sehingga akan meningkatkan kecepatan induksi anestesi (Sadikin, 2011).
• Ventilasi paru.
Hiperventilasi mempercepat masuknya obat anestesi gas ke sirkulasi dan
jaringan, tetapi hal ini hanya nyata pada obat anestesi yang larut dalam darah seperti
halotan. Untuk obat anestesi yang sukar larut dalam darah misalnya siklopropan,
N2O, pengaruh ventilasi ini tidak begitu nyata karena kadar darah arteri cepat
mendekati kadar alveoli (Sadikin, 2011).
• Aliran darah paru.
Bertambah cepat aliran darah paru, bertambah cepat pula pemindahan obat
anestesi dari udara inspirasi ke darah. Namun hal itu akan memperlambat peningkatan
tekanan darah arteri sehingga induksi anestesia akan lebih lambat khususnya oleh
obat anestesi dengan tingkat kelarutan sedang dan tinggi, misalnya halotan dan
isofluran (Sadikin, 2011).
• Perbedaan antara tekanan parsial obat anestesi di darah arteri dan vena.
Kecepatan difusi ke darah berbanding langsung dengan perbedaan tekanan
parsial obat anestesi gas di alveoli dan di dalam darah. Karena tekanan parsial obat
anestesi gas dalam aliran darah paru bertambah dengan ventilasi yang berulang kali
ke paru, maka pemindahan obat anestesi gas berlangsung lambat sampai tercapainya
keseimbangan (Sadikin, 2011).
19

2.4 Isofluran
Isofluran adalah obat anestesi volatil tidak mudah terbakar dengan bau yang tidak
terlalu menyengat. Walaupun isofluran merupakan isomer kimia dengan berat molekul yang
sama dengan enfluran, tetapi keduanya memiliki sifat fisikokimia yang berbeda (Morgan,
2013).
Koefisien partisi gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding obat
inhalasi lainnya, kecuali desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan peningkatan
konsentrasi isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang di
anestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan perintah kira –
kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pada pemberian yang lebih lama, yaitu selama 5 – 6
jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat, kira – kira 11 menit setelah isofluran
dihentikan. MAC isofluran berkisar 1,2. Induksi dengan isofluran relatif cepat tetapi isofluran
dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal induksi dengan masker pada
konsentrasi tinggi. Induksi lambat direkomendasikan untuk mengurangi efek iritatif saluran
nafas dan untuk menghindari tahan nafas dan batuk. Dalam praktek barbiturat kerja pendek
biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses tersebut (Morgan, 2013), (Stoelting dan
Hillier, 2007).

Gambar 2.3. Rumus Bangun Isofluran


Sumber: Morgan, 2013

Tekanan darah turun dengan cepat dengan makin dalamnya anestesi tetapi berbeda
dengan efek enfluran, curah jantung dipertahankan oleh isofluran. Hipotensi lebih
disebabkan oleh vasodilatasi di otot jantung. Pembuluh koroner juga berdilatasi dan aliran
koroner dipertahankan walaupun konsumsi O2 berkurang. Dengan demikian isofluran
20

dianggap lebih aman untuk pasien dengan penyakit jantung dibandingkan dengan halotan
atau enfluran. Namun pada kenyataannya, isofluran dapat menyebabkan iskemia miokardium
melalui fenomena coronary steal, yaitu pengalihan aliran darah dari daerah yang perfusinya
buruk ke perfusi yang lebih baik. Kecenderungan timbulnya aritmia sangat kecil, sebab
isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.(Bronco A, Ingelmo
PM, 2010)
Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan sistem saraf
pusat seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak sementara
metabolisme otak hanya menurun sedikit. Sirkulasi otak tetap responsif terhadap CO2 maka
hiperventilasi bisa menurunkan aliran darah, metabolisme otak dan tekanan intrakranial.
Keamanan isofluran pada wanita hamil, atau waktu partus, belum terbukti. Isofluran dapat
merelaksasikan otot uterus sehingga tidak dianjurkan untuk analgesik pada saat persalinan.
Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesi tetapi tidak terjadi mual
muntah atau eksitasi sesudah operasi. Isofluran mengalami biotransformasi jauh lebih sedikit.
Asam trifluoroasetat dan ion fluor yang terbentuk jauh di bawah batas yang merusak sel.
Belum pernah dilaporkan gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan
isoflurane.(Puri GD, 2003) (Ashraf A,2005)

2.4.1 Indikasi dan Kontra Indikasi


Inhalasi anestesi baik digunakan sebagai induksi maupun pemeliharaan anestesi. Anestesi
inhalasi dapat digunakan pada pasien dari berbagai usia.(Morgan, 2013)
Kontra Indikasi
• Sangat sensitif terhadap obat anestesi inhalasi.
• Diketahui atau dicurigai mudah mengalami demam tinggi
(malignant hyperthermia).
21

• Pasien yang pernah mendapat anestesi isoflurane atau obat inhalasi lainnya
dapat terjadi ikterus atau gangguan fungsi hepar atau eosinophilia pada masa
pasca anestesi.
• Nonselective MAO Inhibitor.
• Tekanan intrakranial tinggi
• Hipovolemia
• Hipotensi

2.4.2 Efek samping penggunaan Isofluran


Vaporiser khusus untuk isoflurane dikalibrasi sehingga konsentrasi anestesi dapat
dikontrol secara akurat. Hipotensi dan peningkatan kejadian depresi pernafasan sebagai
anestesi dapat diperdalam. Laporan dari QT memanjang, terkait dengan torsade de pointes
(dalam kasus luar biasa, yang fatal) telah ditemukan.( Turan A, 2010)
Dalam mengelola anestesi umum, termasuk isoflurane, untuk pasien dengan
gangguan mitokondria harus mendapat perhatian lebih. Isoflurane, seperti obat inhalasi
lainnya, memiliki efek relaksasi pada uterus dengan potensi risiko perdarahan uterus.
Penilaian klinis harus diamati ketika menggunakan isoflurane selama anestesi obstetri. Harus
dipertimbangkan untuk menggunakan konsentrasi terendah dari isoflurane dalam operasi
kandungan (Sakurai S, 2008).
Kasus meningkatnya carboxyhaemoglobin telah dilaporkan dengan penggunaan obat
inhalasi fluorinated (yaitu, desflurane, enfluran dan isofluran). Isoflurane telah dilaporkan
dapat berinteraksi dengan absorben karbon dioksida dalam membentuk karbon monoksida.
Untuk meminimalkan risiko pembentukan karbon monoksida dalam proses pernapasan dan
kemungkinan terbentuknya tingkat carboxyhaemoglobin tinggi, penyerapan karbon dioksida
sebaiknya minimal. Kasus yang jarang terjadi dari panas yang ekstrim, asap dan atau
kebakaran spontan dalam mesin anestesi telah dilaporkan selama anestesi umum dengan obat
dalam kelas ini bila digunakan bersama dengan absorben CO2, khususnya yang mengandung
22

kalium hidroksida (misalnya Baralyme). Ketika seorang dokter mencurigai bahwa


penyerapan CO2 meningkat, harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum pemberian isoflurane
(El Tahan MR, 2011).
Pemberian isoflurane harus dikerjakan oleh klinisi yang sudah memahami
farmakologi obat dan sudah melalui pelatihan dan pengalaman dalam mengelola pasien.
Karena tingkat anestesi dapat diubah dengan cepat dan mudah, isoflurane hanya digunakan
jika terdapat vaporizer yang memberikan prediksi output yang akurat atau keadaan di mana
inspirasi dan ekspirasi dapat dipantau. Tingkat hipotensi dan depresi pernafasan dapat
menjadi pertimbangan dalam anestesi (Hung ZL,2005) (Wu CC,2006).
Laporan menunjukkan bahwa isoflurane dapat menghasilkan kerusakan hati mulai
dari kenaikan sementara enzim hati hingga nekrosis hati yang fatal dalam beberapa kasus
yang sangat jarang terjadi. Telah dilaporkan bahwa paparan sebelumnya dengan anestesi
hidrokarbon terinhalasiasi, terutama jika interval kurang dari 3 bulan, dapat meningkatkan
potensi kerusakan hati. Sirosis, hepatitis virus atau penyakit hati lainnya bisa menjadi alasan
untuk memilih obat bius selain anestesi inhalasi. Terlepas dari anestesi yang digunakan,
maintenance hemodinamik yang normal penting untuk menghindari iskemia miokard pada
pasien dengan penyakit arteri koroner. Isoflurane secara nyata meningkatkan aliran darah
otak pada tingkat anestesi yang lebih dalam. kemungkinan ada kenaikan sementara tekanan
cairan serebrospinal yang sepenuhnya reversibel dengan hiperventilasi. Isoflurane harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, pada kasus
seperti ini hiperventilasi mungkin diperlukan. Penggunaan isoflurane pada pasien
hipovolemik dan hipotensi belum pernah diteliti. Sebuah konsentrasi yang lebih rendah dari
isoflurane direkomendasikan untuk digunakan pada pasien ini (Khafagy,2012).
Isoflurane memiliki potensi yang nyata sebagai pelumpuh otot, namun tidak sedalam
obat-obatan non-depolarisasi. Isoflurane dapat menyebabkan sedikit penurunan fungsi
intelektual selama 2-4 hari setelah anestesi. Kelelahan neuromuskular dapat dilihat pada
23

pasien dengan penyakit neuromuskuler, seperti myasthenia gravis. Isoflurane harus


digunakan dengan hati-hati pada pasien ini (El Yacoubi M, 2003).
Isoflurane dapat menyebabkan depresi pernafasan yang diperberat dengan
premedikasi narkotika atau obat lain yang dapat menyebabkan depresi pernafasan. Respirasi
harus diawasi dan jika perlu, dibantu selama induksi anestesi, air liur mengalir dan sekresi
trakeobronkial dapat menjadi penyebab laryngospasm, terutama pada anak-anak Perhatian
khusus harus dilakukan ketika isoflurane digunakan pada anak-anak kecil karena
keterbatasan penggunaan pada kelompok usia ini (Mahajan VA,2007).
Pada individu yang rentan, anestesi isoflurane dapat memicu otot rangka menjadi
hipermetabolik dan menyebabkan kebutuhan oksigen yang tinggi dan sindrom klinis yang
dikenal sebagai hipertermia maligna. Sindrom ini mencakup gejala spesifik seperti kekakuan
otot, takikardia, takipnea, sianosis, aritmia, dan tekanan darah tidak stabil. (Hal ini juga harus
dicatat bahwa banyak dari tanda-tanda spesifik mungkin muncul dengan anestesi ringan,
hipoksia akut, dll). PaO2 dan pH dapat menurun, hiperkalemia dan defisit basa mungkin
muncul. Tatalaksana termasuk penghentian obat (misalnya isoflurane), intravena dantrolene
natrium, dan penerapan terapi suportif. Terapi tersebut mencakup upaya untuk
mengembalikan suhu tubuh normal, pernapasan dan peredaran darah, dan pengelolaan
gangguan elektrolit-cairan asam-basa. (Konsultasikan pemberian dantrolene natrium
intravena untuk informasi tambahan mengenai manajemen pasien.) Gagal ginjal mungkin
muncul kemudian (Myles PS, Leslie K, 2010).
Penggunaan obat anestesi inhalasi dikaitkan dengan peningkatan kalium serum yang
telah mengakibatkan aritmia jantung dan kematian pada pasien anak selama periode pasca-
operasi. Pasien yang lemah serta penyakit neuromuskuler yang jelas, terutama distrofi otot,
adalah yang paling rentan. Penggunaan secara serentak dari suksinilkolin telah dikaitkan
dengan sebagian besar, tapi tidak semua pada kasus ini. Pasien-pasien ini juga mengalami
peningkatan tingkat creatinekinase serum yang signifikan dalam dalam beberapa kasus,
perubahan konsistensi urin dengan mioglobinuria. Meskipun ada kemiripan dengan
24

malignant hipertermia, tidak ada pasien yang menunjukkan tanda-tanda atau gejala kekakuan
otot atau gangguan hipermetabolik. Intervensi awal yang agresif untuk mengobati
hiperkalemia dan aritmia dianjurkan, seperti evaluasi berkelanjutan untuk penyakit
neuromuskuler (Basher R, 2010).
Efek inhalasi isofluran pada sistem organ dan farmakologi isofluran dalam praktik klinis:
• Kardiovaskular
Efek depresi isofluran pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Pada penelitian in vivo isofluran
menyebabkan depresi minimal ventrikel kiri. Curah jantung dipengaruhi oleh
kenaikan detak jantung melalui baroreflexes karotis. Stimulasi ringan β-adrenergik
meningkatkan aliran darah otot rangka, mengurangi resistensi pembuluh darah
sistemik dan menurunkan tekanan darah arteri. Peningkatan konsentrasi isoflurane
mengakibatkan peningkatan sementara denyut jantung, tekanan darah arteri, dan
kadar plasma norepinefrin. Isofluran melebarkan arteri koroner, tetapi efeknya tidak
sama dengan nitrogliserin atau adenosin. Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil
pada penggunaan isofluran selama anestesi. Dengan demikian isofluran merupakan
obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan kardiovaskuler
(Morgan, 2013).
• Pernapasan
Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga menimbulkan
depresi pernafasan yang derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan. Depresi
pernapasan selama anestesi isofluran menyerupai anestesi lainnya, kecuali takipnea
yang kurang jelas. Rendahnya tingkat isofluran (0,1 MAC) menumpulkan respon
ventilasi normal terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Meskipun isofluran memiliki
kecenderungan untuk mengiritasi refleks jalan napas atas, isofluran dianggap sebagai
bronkodilator yang baik namun tidak sebaik bronkodilator golongan halotan (Sadikin,
2011).
25

• Serebral
Efek yang ditimbulkaan terhadap sistem saraf pusat sesuai dengan dosis yang
diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti yang ditimbulkan oleh
enfluran. Pada dosis anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan
mekanisme sirkulasi serebrum, autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan
lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga
dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi,
karena tidak berpengaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi
serebral dan efek metaboliknya yang menguntungkan pada teknik hipotensi kendali
(Morgan, 2013).
• Neuromuskular
Isofluran memiliki efek melemaskan otot rangka. Penurunan tonus otot
rangka terjadi melalui mekanisme depresi pusat motorik pada serebrum, sehingga
dengan demikian berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot untuk mendapatkan
keadaan relaksasi otot yang optimal terutama pada operasi laparatomi (Sadikin,
2011).
• Renal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju fitrasi
glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi kondisi ini masih dalam
batas normal (Morgan, 2013).
• Hati
Jumlah aliran darah hati (arteri hepatik dan aliran vena portal) berkurang
selama anestesi isofluran. Suplai oksigen hati dipertahankan lebih baik dengan
isofluran dibandingkan dengan halotan, sehingga fungsi hati biasanya tidak
terpengaruh (Morgan, 2013).
26

Tabel 2.4. Efek Anestesi Inhalasi Pada Berbagai Organ (Morgan, 2013)

• Biotransformasi & Toksisitas


Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat. Meskipun kadar cairan
fluorida serum akan naik, nefrotoksisitas sangat tidak mungkin. Sedasi
berkepanjangan (>24 jam pada 0,1-0,6% isofluran) pada pasien sakit kritis
menghasilkan peningkatan kadar plasma fluorida (15-50 umol/L) tanpa bukti
kerusakan ginjal. Demikian pula, sampai 20-jam MAC isofluran dapat menyebabkan
kadar fluorida yang melebihi 50 µmol/L tanpa terdeteksi disfungsi ginjal pasca
operasi. Metabolisme oksidatif isofluran yang terbatas juga meminimalkan risiko
kemungkinan disfungsi hati yang signifikan. Isofluran hampir seluruhnya
dikeluarkan melalui udara ekspirasi, hanya 0,2% dimetabolisme di dalam tubuh
(Morgan, 2013).
27

• Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang spesifik pada penggunaan isofluran. Pasien
dengan hipovolemia berat mungkin tidak dapat mentolerir efek vasodilatasi. Hal ini
dapat memicu malignan hipertermia (Morgan, 2013).
• Interaksi obat
Penggunaan isofluran yang bersamaan dengan epinefrin dapat dengan aman
diberikan sampai dengan dosis epinefrin 4,5 mcg/kg (Morgan, 2013).
• Penggunaan Klinik
Sama seperti halotan dan enfluran, isofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek hipnotik,
juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi ringan. Untuk mengubah cairan
isofluran menjadi uap, diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus isofluran (Sadikin,
2011).
• Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak menimbulkan mual
muntah, dan tidak menimbulkan menggigil. Penilaian terhadap pemakaian isofluran
saat ini adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan gangguan terhadap fungsi
kardiovaskuler, tidak mengubah sensitivitas otot jantung terhadap katekolamin,
isofluran sangat sedikit mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan
efek eksitasi sistem saraf pusat. Kelemahannya dari penggunaan isofluran adalah
batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya
kurang, sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain (Morgan, 2011).

2.5. Aminophylline
Aminophylline merupakan bentuk garam dari teofilin. Mekanisme kerjanya yaitu
dengan menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMP
28

dan cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan
akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos termasuk
otot polos bronkus. (Wu CC, Lin CS, 2006)
Aminophylline adalah salah satu obat bronkodilator golongan xantin yang memiliki
efek mendilatasi bronkus. Aminophylline merupakan senyawa kompleks teofilin dengan
etilendiamin, dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86 %. Dalam tubuh
Aminophylline terurai menjadi teofilin. Teofilin termasuk obat-obat yang mempunyai
lingkup terapi (therapeutic windows) sempit (10-20 mcg/ml). Artinya, jarak antar dosis
terapatik dan dosis toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah timbul apabila dosis atau
kadarnya melewati ambang toksik. (Farsad dkk, 2017)

Gambar 2.4 Struktur Kimia Aminophylline


Sumber : Katzung, BG., 2014

2.5.1 Farmakokinetik
Obat golongan xantin seperti Aminophylline cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal
ataupun parenteral. Kelarutan Aminophylline lebih besar daripada teofilin, tetapi ternyata
derajat absorpsinya tidak banyak berbeda. Setelah pemberian per-oral, obat ini diabsorpsi
dengan cepat, sehingga kadang-kadang terjadi lonjakan kadar dalam darah yang
menimbulkan gejala efek samping. Pemberian teofilin/Aminophylline bersama dengan
29

katekolamin dan simpatomimetik golongan amina harus hati-hati karena dapat memperkuat
terjadinya takiaritmia. Teofilin mengalami metabolisme terutama di hepar dan ± 8 % fraksi
obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap. Aminophylline dapat mencapai kadar
puncak plasma dalam waktu 2 jam, tetapi saat ini ada teofilin lepas lambat yang bisa bertahan
dengan interval 8, 12 atau 24 jam. Adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi Aminophylline atau golongan xantin lainnya. Pemberian IM dapat
menyebabkan nyeri lokal yang sangat lama. Metilxantin dapat menembus plasenta dan
masuk ke air susu ibu. Dalam keadaan normal ikatan golongan xantin dengan protein sebesar
60% tetapi pada keadaan sirosis hepatis ikatan protein menurun menjadi 40%. Eliminasi
xantin terutama melalui metabolisme hepar. Sebagian besar dieliminasi bersama urin dalam
bentuk asam metilurat atau metilxantin, kurang dari 20% Aminophylline ditemukan dalam
bentuk utuh dalam urin.(Altan A,2005) (Ekman A,2010)

2.5.2 Farmakodinamik Aminophylline


Aminophylline merupakan bentuk garam dari teofilin. Mekanisme kerjanya yaitu
dengan menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah pemecahan cAMPdan
cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan
akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos termasuk
otot polos bronkus (Katzung, 2014).
Berikut ini akan dipaparkan efek Aminophylline pada berbagai organ:
• Sistem saraf pusat
Aminophylline atau teofilin merupakan sebagai perangsang sistem saraf pusat
yang kuat, bila dosis pemberian ditinggikan maka mampu memberikan efek
berderbar, gelisah, insomnia, tremor, dan kejang. Tetapi dengan dosis rendah
metilxantin seperti Aminophylline dapat merangsang system saraf pusat yang sedang
mengalami depresi, misalnya pemberian Aminophylline dosis 2 mg/kgbb dengan
cepat akan memulihkan keadaan narkosis pada individu yang mendapat 100 mg
30

morfin Intravena untuk anestesia (Louisa, 2011). Bukti empiris menunjukkan bahwa
Aminophylline yang diberikan pada akhir operasi dapat mempersingkat waktu pulih
sadar dari anestesi umum dan meningkatkan kualitas pemulihan (Huphfl dkk, 2008).
• Medula Oblongata
Metilxantin seperti Aminophylline dapat merangsang pusat nafas pada medula
oblongata dengan meningkatkan kepekaan pusat nafas terhadap perangsangan CO2.
Selain itu juga dapat menimbulkan mual dan muntah karena perangsangan sentral
maupun perifer. Muntah dapat terinduksi bila kadar dalam plasma melebihi 15
mcg/ml (Louisa, 2011).
• Sistem Kardiovaskular
Pada jantung Aminophylline atau teofilin dapat meningkatkan frekuensi denyut
jantung. Sedangkan pada pembuluh darah Aminophylline atau teofilin menyebabkan
dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek
langsung pada otot pembuluh darah. Pada sirkulasi otak xantin menyebabkan
hambatan adenosin yang penting untuk pengaturan sirkulasi otak. Pada sirkulasi
koroner golongan xantin menyebabkan vasodilatasi arteri koroner dan bertambahnya
aliran darah koroner. Selain itu golongan xantin juga meningkatkan kerja jantung atau
kontraksi jantung (Louisa, 2011).
• Otot Polos dan Otot Rangka
Golongan xantin dapat merelaksasi otot polos terutama otot polos bronkus
dengan menghambat enzim PDE. Aminophylline juga menyebabkan penurunan
motilitas usus untuk sementara waktu. Pada otot rangka golongan xantin dapat
memperbaiki kontraktilitas dan mengurangi kelelahan otot diafragma (Katzung,
2014).
Semua golongan xantin meningkatkan produksi urin tetapi efeknya hanya
sebentar. Diduga efek ini melalui mekanisme penghambatan reabsorbsi elektrolit di
tubulus proksimal tanpa disertai perubahan filtrasi ataupun perubahan aliran darah ke
31

ginjal. Golongan xantin dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam plasma
dan dapat meningkatkan metabolisme basal (Louisa, 2011).

2.5.3 Efek Aminophylline


Adenosin adalah neuromodulator sistem saraf pusat. Ada 4 subtipe reseptor adenosin
yang berada dalam sistem saraf pusat: A1, A2A, A2B, dan A3. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa kedua subtipe A1R dan A2AR menstimulasi tidur, meskipun subtipe reseptor
adenosin yang bertanggung jawab untuk pengaturan tidur masih diperdebatkan. Efek hipnotis
adenosin lebih dulu telah dilakukan pada hewan percobaan dan efek tidur(soporific) dari
pemberian adenosin sistemik dan pusat juga telah diteliti pada manusia (Turan dkk, 2010).
Stirt melaporkan pada tahun 1981 bahwa Aminophylline merupakan antagonis dari
efek hipnotis diazepam. Mekanismenya pada efek antihipnotik Aminophylline adalah
sebagai penekan reseptor adenosin pusat. Beberapa studi klinis dan laporan kasus lainnya
menunjukkan bahwa Aminophylline memiliki efek antagonis terhadap barbiturat, morfin,
propopol, isofluran dan sejenisnya (Turan dkk, 2010).
Durasi dan kedalaman tidur dimodulasi secara mendalam oleh konsentrasi adenosin
yang tinggi. Selain pengaruhnya di basal otak depan, adenosin memberi efek efek tidur
(soporifik) pada lateral hipotalamus dengan menghambat neuron hypocretin / orexin.
Peningkatan aktivitas neuronal yang berhubungan pembangkitan kesadaran terkait dengan
meningkatnya konsentrasi adenosin ekstraselular. Pemberian adenosin sistemik
meningkatkan efek hipnosis yang diinduksi oleh anestesi intravena, Pemberian dari antagonis
reseptor adenosin A1 8-siklopentil berupa teofilin/Aminophylline meningkatkan laju
pelepasan neuron kolinergik pada otak depan bagian basal dan mengakibatkan kondisi
terjaga (Turan dkk, 2010).
Berdasarkan Firestone Institute for Respiratory Health (2015), dijelaskan bahwa
Aminophyllline memliki waktu paruh terlama selama 24 jam dan aminophylline dieliminasi
dari tubuh dalam waktu 4-5 hari.
32

Pada penelitian sebelumnya oleh (Turan dkk, 2010), menemukan bahwa


Aminophylline meningkatkan nilai BIS selama anestesi volatil. Aminophylline juga
menurunkan efek anestesi dari propofol yang ditentukan oleh BIS.

2.6 Gambaran EEG terhadap siklus tidur dan Anestesi umum


Siklus tidur berada diantara dua kondisi yaitu tidur REM (rapid-eye-movement) dan
tidur non-REM, yang mempunyai gambaran EEG berbeda. Tidur non-REM terdiri dari 3
tahap, dengan tahap ke 3 menunjukkan pola gambaran EEG yang serupa dengan fase 2
anestesi umum (pola gambaran EEG vegetatif, koma) (Brown, 2010). Dengan demikian
anestesi dan slow-wave sleep merupakan dua keadaan yang dapat dibandingkan dengan
keadaan koma patologis, tetapi metabolit energi tetap dipertahankan pada kadar normal, serta
mudah dikembalikan pada kondisi semula (reversibel); keduanya mempuyai efek pada
struktur otak yang sama, tetapi mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti (Saleh, 2013).

Gambar 2.5. Pola EEG selama Keadaan Terjaga,


Anestesi Umum, dan Tidur (Brown, EN., 2010)
33

Baik pada saat tidur maupun dalam pengaruh anestesi, terjadi hambatan jalur
asending neuron yang menyusun sistem bangun (arousal). Pada saat tidur neuron GABA-
ergik di nukleus praoptik ventrolateral menghambat komponen sistem tersebut melalui
reseptor GABA. Diketahui bahwa kebanyakaan obat anestesi bekerja pada reseptor GABA
agonis yang menghambat aktivitas sistem arousal dengan mengaktivasi reseptor GABA yang
sama yang digunakan pada saat proses tidur. Hasilnya berupa perlambatan dari aktivitas
talamokortikal baik pada tidur maupun anestesi (Brown, 2010).
Obat anestesi umum dapat menghasilkan pola gambaran EEG yang jelas, yaitu
aktivitas gelombang rendah dan aktivitas gelombang tinggi yang meningkat secara progresif
dengan bertambah dalamnya anestesi. Ternyata gambaran EEG tersebut didapatkan juga
pada pasien yang dalam keadaan koma, disamping pola aktivitas EEG akibat kerusakan otak
yang bergantung pada luas kerusakan tersebut. Dengan demikian fakta tersebut menunjukkan
bahwa anestesi umum adalah suatu kondisi reversibel dari koma yang disebabkan oleh obat,
meskipun dokter anestesi menyebutnya dengan kondisi tidur (Brown, 2010).

2.7 Waktu Pulih Sadar


Pulih sadar merupakan kembalinya kesadaran dari efek obat anestesi setelah proses
pembedahan dilakukan (Barone, 2008). Bangun atau pulih sadar dari anestesi merupakan
suatu proses pasif yang bergantung pada (a) jumlah obat yang digunakan; (b) titik tangkap
kerja obat tersebut, potensi obat, dan farmakokinetiknya; (c) karakteristik fisiologi pasien;
dan (d) jenis dan lama pembedahan (Saleh, 2013).
Secara umum pada akhir pengelolaan anestesi, pasien diharapkan segera pulih sadar
atau bangun, kecuali pada tindakan tertentu atau terjadinya penyulit selama pembedahan
yang menyebabkan dokter anestesi harus mempertahankan pasien dalam kondisi tersedasi
(Saleh, 2013).
Pulih sadarnya pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada eliminasi
obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan membuka mata dengan
34

perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien partisi darah -
gas, dan dosis (MAC-jam). kecepatan pulih sadar berbanding terbalik dengan kelarutan obat
dalam darah, makin rendah daya kelarutannya makin cepat eliminasi dari paru. Bila anestesi
berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga bergantung pada total ambilan obat anestesi
oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar rata-rata yang digunakan,
dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006).

2.8 BIS
Indeks Bispectra [BIS] memantau kedalaman anestesi yang memungkinkan dokter
untuk mengelola dosis obat minimal yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan hipnosis yang
adekuat. Ini adalah salah satu dari beberapa teknologi yang digunakan untuk memantau
kedalaman anestesi. Menetapkan dosis obat anestesi dengan cara melihat dari nilai
BIS selama anestesi umum pada orang dewasa dan anak-anak berusia di atas 1 tahun
memungkinkan dokter anestesi untuk menyesuaikan dosis obat anestesi untuk
kebutuhan pasien, sehingga memungkinkan waktu pulih sadar lebih cepat dari efek obat
anestesi. Sistem pemantauan Bispectral Index memungkinkan dokter anestesi untuk melihat
informasi EEG yang diproses sebagai dasar untuk mengukur pengaruh anestesi tertentu
selama pembedahan yang dipantau dengan menggunakan BIS. Indeks BIS adalah parameter
EEG yang diproses dengan validitas yang ekstensif dan menunjukkan utilitas klinis. Hal ini
dilakukan dengan memanfaatkan gabungan pengukuran dari pemrosesan sinyal EEG,
termasuk analisis bispectral, spektral daya analisis, dan analisis domain waktu. Langkah-
langkah ini dikombinasikan melalui algoritma untuk mengoptimalkan korelasi antara EEG
dan efek klinis anestesi, dan dihitung dengan menggunakan BIS Index (Ekman A, Lindholm
ML, 2010).
Pada tahun 1996, Administrasi Makanan dan Obat-obatan A.S menyatakan Indeks
BIS sebagai alat bantu dalam memantau efek tertentu pada obat anestesi. Pada tahun 2003,
Administrasi Makanan dan Obat-obatan memberikan pernyataan tambahan yang
35

menyatakan: "Penggunaan BIS membantu membimbing pemberian obat anestesi terkait


dengan mempercepat waktu pemulihan kesadaran dengan berkurangnya jumlah dosis obat
anestesi yang diberikan selama anestesi umum dan sedasi." Pemantauan BIS digunakan
untuk membantu pemberian anestesi dan memantau status pasien. Hal ini adalah tanggung
jawab masing-masing klinisi dalam pengambilan keputusan terbaik untuk pasien. Saat ini,
Indeks BIS merupakan alat yang paling baik dalam menilai kesadaran atau fungsi otak yang
digunakan dalam pemantauan konteks klinis anestesi dan perawatan sedasi. Indeks BIS
adalah hasil dari dua inovasi tertentu: bispectral analisis dan algoritma BIS (Puri GD, Murthy
SS,2003).
Analisis bispectral merupakan metodologi pemrosesan sinyal untuk menilai
hubungan antar komponen sinyal dan menangkap sinkronisasi sinyal seperti EEG. Dengan
mengukur korelasi antara semua frekuensi di dalam sinyal, analisis bispectral menghasilkan
aspek EEG tambahan pada aktifitas otak. Algoritma BIS dikembangkan untuk
menggabungkan gambaran EEG (bispectral dan lainnya) yang sangat berkorelasi dengan
sedasi / hypnosis. Pada lebih dari 5.000 orang dewasa yang diuji, gambaran EEG dicirikan
sebagai perubahan gelombang spektrum yang disebabkan anestesi adalah frekuensi dengan
nilai tinggi (14 sampai 30 Hz), jumlah sinkronisasi frekuensi rendah, periodenya hampir tidak
tampak dalam EEG, dan kemunculan periode rendah (yaitu, isoelektrik, "flatline") dalam
EEG. Algoritma ini memungkinkan kombinasi optimum gambaran EEG untuk menyediakan
parameter EEG yang diproses dengan tepat untuk melihat efek anestesi dan sedative dengan
Indeks BIS. Gambar 2.6: Algoritma BIS, yang dikembangkan melalui pemodelan statistik,
menggabungkan kontribusi masing-masing gambaran EEG sebagai kunci untuk
menghasilkan skala Indeks BIS (Khafagy, 2012).
36

Gambar 2.6. Alat Bispectral Index

Gambar 2.7 EEG pada BIS

Sensor non-invasif memiliki perekat seperti pada EEG. Setelah diletakkan pada dahi
dan pelipis pasien dengan alkohol dan dilakukan pengeringan kulit untuk memastikan
didapatkan sinyal yang berkualitas, sensor diletakkan diatas pelipis kiri atau kanan. Sensor
37

kemudian mengirimkan informasi EEG mentah melalui kabel dan konverter ke mesin BIS.
Data EEG akan diproses sesuai dengan algoritma yang menggabungkan pilihan gambaran
EEG untuk menghasilkan indeks BIS. Indeks ini adalah angka Antara 0 dan 100 yang
ditampilkan dimonitor dan menggambarkan tingkat sedasi pasien. Nilai BIS antara 40 dan
60 menunjukkan tingkat yang sesuai untuk anestesi umum seperti yang direkomendasikan.
Inti dari BIS adalah mengolah sinyal kompleks (EEG), analisis dan proses hasilnya menjadi
satu nomor. (El Yacoubi M, 2008)

Gambar 2.8 Indeks BIS dikelompokkan untuk berkorelasi dengan titik akhir klinis
penting selama pemberian obat anestesi.

PET

% BMR 100 64 54 38

BIS 95 66 62 34

Gambar 2.9 Korelasi yang signifikan terlihat antara penurunan tingkat metabolisme otak (%
BMR = persen metabolisme glukosa awal seluruh otak yang diukur dari pemindaian PE T) dan
peningkatan efek anestesi (yang diukur dengan penurunan nilai BIS).
38

Pada akhirnya, penting untuk dicatat bahwa nilai BIS memberikan pengukuran status otak
yang berasal dari EEG, bukan konsentrasi obat tertentu. Sebagai contoh, nilai BIS menurun
selama tidur alami dan juga selama pemberian obat anestesi (Lambert P,2006).
39

2.9 Kerangka Teori


Anestesi

Analgetik Sedasi Relaksasi

Sal. Nafas Aminofilin Pembuluh Darah

Menghambat
SSP Relaksasi otot polos
pembentukan PDE, cAMP
meningkat

Bronkodilatasi otot polos Menghambat Adenosisn di Vasodilatasi Pembuluh


dan saluran nafas. GABA Darah

Mempercepat Proses Terhambatnya


Difusi Neuromodulator (A2A, A1)

Agen Inhalasi cepat di


ekskresi

PULIH SADAR

Gambar 2.10 Kerangka Teori


40

2.10 KERANGKA KONSEP

NaCl 0,9 %

( Normal Saline)

= Variabel bebas

= Variabel tergantung

Gambar 2.11 Kerangka Konsep


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN


Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol dan tersamar ganda.
Untuk mengetahui efek pemberian Aminophylline intravena dalam mempercepat waktu
pulih sadar pasca general anestesi dengan inhalasi isofluran berdasarkan bispectral index di
RSUP Haji Adam Malik Medan

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


3.2.1 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.2.2 Waktu
Penelitian dimulai setelah mendapat ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) dan izin dari RSUP Haji Adam
Malik Medan diterbitkan sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh subjek yang terjadwal secara elektif menjalani
laparotomi abdomen dengan teknik anestesi umum dengan inhalasi isofluran di RSUP Haji
Adam Malik.

3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang mememenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Sampel ini di bagi menjadi 2 kelompok yaitu:

41
42

a. Kelompok A menerima Aminophylline intravena 3 mg/KgBB diencerkan dengan


aquabidest 20cc diberikan menggunakan syringe pump habis dalam waktu 10 menit.
b. Kelompok B menerima cairan normal saline intravena yang volumenya sama dengan
jumlah volume Aminophylline pada kelompok A habis dalam waktu 10 menit.

3.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI


3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Usia 19–60 tahun
2. Pasien yang menjalani pembedahan laparatomi
3. Pasien status fisik ASA 1 dan 2
4. Pasien bersedia untuk ikut serta dalam penelitian

3.4.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien dengan riwayat penggunaan Aminophylline dalam jangka waktu 4-5 hari
2. Pasien dengan riwayat aritmia jantung dan kejang.

3.4.3 Kriteria Putus Uji (Drop Out)


1. Terjadi kegawatdaruratan jantung, paru dan otak yang mengancam jiwa setelah
pemberian Aminophylline
2. Terjadi reaksi alergi (shock anafilaktik) pasca pemberian Aminophylline

3.5 BESAR SAMPEL


Estimasi besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai
berikut:

2s 2 (Z (1-a / 2 ) + Z (1- b ) )
2

n1 = n2 ³
(µ1 - µ 2 )2
43

Dimana:

Z (1-a / 2 ) = deviat baku alpha. utk a = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

Z (1- b ) = deviat baku alpha. utk b = 0,10 maka nilai baku normalnya 1.282

S d º s = Standar deviasi waktu pulih sadar sebesar=4,2 menit(Kepustakaan)

µ1 - µ 2 = beda rerata yang bermakna ditetapkan sebesar = 1 menit

Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok sebanyak 19 orang.

Dari perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh besar sampel: n1 = n2 = 19


orang ditambah 20% bila terjadi putus uji menjadi 23 orang per kelompok. Jadi jumlah
keseluruhan sampel dari kedua kelompok adalah 46 orang.

3.6 INFORMED CONSENT


Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FK USU,
pasien mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan
secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent.

3.7 ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA


3.7.1 Alat dan Bahan
3.7.1.1 Alat
a. Bispectral index monitoring device (IoC-View)
b. Alat monitor non invasif otomatik (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi
nafas, EKG, saturasi oksigen) (Kontron)
c. Spuit 3 ml, 5 ml, 10 ml dan 20 ml (Terumo)( R)
d. Laringoskop set dewasa (macinthos dan miller)
e. Pipa endotrakea 3(6.5, 7, 7.5) ukuran sesuai usia (Aximed)
44

f. Kanul vena 18G, infus set, threeway (Terumo)


g. Pencatat waktu (Jam)
h. Alat tulis dan formulir penelitian
i. Extention tube (hospitech)
j. Syringe pump (B-Braun)

3.7.1.2 Bahan
a. Obat premedikasi: midazolam 0,05 mg/kg dan fentanil 2mcg/kg.
b. Obat-obatan induksi anestesi umum: propofol 2 mg/kg, rocuronium 1 mg/kg
c. Obat pemeliharaan anestesi: isofluran 0,5-1,5 vol% dan O2: Air 50 % : 50 %,
rocuronium 0,1-0,2 mg/kg setiap 20-30 menit, fentanil 0,5-1,0 mcg/kg bila
tekanan darah dan laju nadi meningkat >20% dari nilai basal.
d. Cairan: ringer laktat
e. Obat-obatan emergensi: efedrin 5 mg/ml dan sulfas atropin 0,25 mg/ml yang
sudah teraplus
f. Obat yang diteliti: Aminophylline (Phapros)
g. Cairan kristaloid NaCl 0,9%

3.7.2 Cara Kerja


3.7.2.1 Persiapan Pasien dan Obat
1. Setelah disetujui Komite Etik Penelitian Kesehatan FK USU dan Komite Etik
Penelitian Kesehatan RSUP Haji Adam Malik Medan serta mendapat informed
consent, seluruh sampel dilakukan pengukuran PBW (Predicted Body Weight),
kemudian subjek penelitian dimasukkan ke dalam kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Kepada pasien dijelaskan pada saat kunjungan pemeriksaan prabedah tentang
rencana tindakan pembiusan anestesi umum dan prosedur penelitian meliputi
45

pemantauan waktu pulih sadar menggunakan bispectral index pasca


pembedahan.
3. Sampel secara acak dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok A mendapat
Aminophylline intravena 3 mg/KgBB dalam waktu 10 menit. Kelompok B
menerima cairan normal saline intravena yang volumenya sama dengan jumlah
volume Aminophylline pada kelompok A dalam waktu 10 menit.
4. Randomisasi dilakukan dengan cara blok, masing-masing sekuens terdiri dari 6
subjek, dengan jumlah kemungkinan kombinasi sekuens sebanyak 20.
Kemudian dijatuhkan pena di atas angka random. Angka yang ditunjuk oleh
pena tadi merupakan nomor awal untuk menentukan sekuens yang sesuai.
Kemudian dipilih 8 pasangan angka kea rah kanan dari pasangan angka pertama
tadi sehingga diperoleh jumlah sekuens yang sesuai dengan besar jumlah
sampel. Kemudian sekuens yang diperoleh disusun secara berurutan sesuai
dengan nomor amplop.
5. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti tidak
mengetahui komposisi obat yang diberikan).

3.7.2.2 Pelaksanaan Penelitian


1. Setelah pasien tiba diruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang
terhadap identitas, diagnosa, rencana tindakan pembiusan, akses infus (pastikan
telah terpasang infus dengan abocath 18G, threeway dan aliran infus lancar) dan
seluruh sampel dilakukan pengukuran PBW (Predicted Body Weight).
2. Kemudian pasien dibawa kekamar operasi, lalu dipasang alat monitor standar
(EKG, tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, saturasi oksigen).
3. Kedua kelompok pasien diberikan preloading cairan ringer laktat 10 ml/kgBB
46

4. Kedua kelompok dipersiapkan untuk dilakukan tindakan anestesi umum.


Premedikasi dengan fentanil 2 mcg/kg, midazolam 0,05 mg/kg, ditunggu onset 5
menit.
5. Pasien diinduksi dengan propofol 2 mg/kg, pelumpuh otot rocuronium 1 mg/kg,
setelah onset tercapai 1 menit, laringoskopi direk dilakukan dengan laringoskop
dan trakea diintubasi dengan pipa endotrakea yang sesuai ukuran.
6. Pembedahan dimulai, pemeliharaan sedasi menggunakan Isofluran 0,5-1,5
vol%, pemeliharaan analgesi dengan fentanil sesuai respon hemodinamik, dan
pemeliharaan pelumpuh otot menggunakan rocuronium, selama durante operasi
tingkat kedalaman anestesi dipantau menggunakan BIS.
7. Selesai penjahitan kutis matikan agen inhalasi isofluran, setelah pasien bernapas
spontan diberikan reversal (Neostigmin 0,02-0,04 mg/kgBB dan SA 0,01-0,02
mg/kgBB) kemudian kelompok A diberikan Aminophylline intravena dengan
dosis 3 mg/KgBB diencerken dengan aquabidest 20cc sedangkan kelompok B
(kelompok kontrol) diberikan cairan normal saline (NaCl 0,9%) yang
volumenya sebanding dengan volume Aminophylline yang diberikan pada
kelompok A yaitu 20 cc yang dimasukkan kedalam spuit syringe 20 cc dengan
kecepatan 120 cc/jam selama 10 menit dengan menggunakan syringe pump
8. Setelah masing-masing kelompok mendapat intervensi, kemudian diobservasi
dan dicatat berapa lama waktu pulih sadar pasien pada masing-masing individu
diantara kedua kelompok. Setelah pemberian aminophyllin sebagai T0, 5 menit
(T1), 10 menit (T2), 15 menit (T3), 20 menit (T4), 25 menit (T5), dan 30 menit
(T6). Pasien pulih sadar apabila BIS bernilai > 90%. Apabila BIS pasien telah
mencapai >90% maka penilaian dihentikan oleh karena pasien dianggap telah
sadar
9. Pasien kemudian diobservasi di ruang pemulihan dan dipindahkan keruang
rawatan.
47

10. Hasil data pengamatan pada kedua kelompok dibandingkan secara statistik
11. Penelitian dihentikan apabila subjek penelitian menolak untuk berpartisipasi
lebih lanjut, operasi memanjang sehingga dibutuhkan tambahan obat anestesi
umum, terjadi reaksi alergi terhadap Aminophylline dan terjadi
kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru, otak yang mengancam jiwa.

3.8 IDENTIFIKASI VARIABEL


3.8.1 Variabel Bebas
a. Aminophylline intravena 3 mg/KgBB dalam waktu 10 menit.
b. Cairan normal saline intravena yang volumenya sama dengan jumlah volume
Aminophylline pada kelompok A dalam waktu 10 menit.

3.8.2 Variabel Tergantung


a. BIS (Waktu pulih sadar).

3.9 RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA


a. Setelah seluruh data yang diperlukan telah terkumpul, data tersebut kemudian
diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah.
Setelahnya diberikan coding pada data tersebut untuk memudahkan dalam
mentabulasi. Data ditabulasi ke dalam master tabel dengan menggunakan
software SPSS.
b. Data numerik ditampilkan dalam nilai rata-rata + SD (standard deviasi),
sedangkan data kategorik ditampilkan dalam jumlah (persentase).
c. Data demografi: Uji kenormalan data numerik digunakan uji fisher exact test.
d. Hipotesa penelitian diuji dengan menggunakan uji Mann-Whitney test.
e. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara
signifikan.
48

3.10 DEFINISI OPERASIONAL


a. Waktu pulih sadar adalah bangun dari efek obat anestesi setelah proses
pembedahan dilakukan. Dalam penelitian ini pulih sadar bila BIS > 90.
b. General anestesi/anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang
mengubah status fisiologis tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran
(sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia), hilangnya memori (amnesia) dan
relaksasi. Beberapa substansi yang dapat menghasilkan keadaan anestesi umum
antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitride oxide), inhalasi
hidrokarbon (Isofluran), dan struktur organik komplek (barbiturat). Dalam
penelitian ini general anestesi dilakukan dengan pemberian inhalasi isofluran.
c. Aminophylline merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada
kopi dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan
perilaku dan hipnosis dari benzodiazepine. Dalam penelitian ini Aminophylline
yang diberikan pada pasien (kelompok intervensi) sebanyak 3 mg/KgBB secara
intravena.
d. Bispectral Index Score (BIS) adalah parameter elektroencephalogram baru yang
secara khusus dikembangkan untuk mengukur efek hipnosis dari anestesi. Peran
utama BIS yaitu untuk mengukur kedalaman anestesi dan berguna untuk
menyesuaikan dosis obat sedatif. Indeks BIS adalah angka antara 0% dan 100%
diskalakan berkorelasi dengan titik akhir klinis yang penting dan keadaan EEG
selama pemberian obat anestesi. Nilai BIS > 90% mewakili keadaan klinis
"pulih sadar”.
e. Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara
melakukan penyayatan pada lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan
organ dalam abdomen yang mengalami masalah, misalnya kanker, pendarahan,
49

3.11 Alur Penelitian

Populasi

Inklusi Eksklusi

Sampel

Randomisasi
Kelompok A Kelompok B

GA-ETT à Preloading infus RL à Premedikasi à Induksi à Intubasi ETT. Pemeliharaan sedasi


menggunakan isoflurane, fentanyl à analgetik, pemeliharaan pelumpuh otot (rocuronium) dan selama
durante operasi sampai pasien bangun tingkat kedalaman sedatif dinilai dengan menggunakan BIS

Selesai penjahitan kutis isofluran di hentikan, setelah nafas spontan diberikan reversal dan diberikan
aminophylline dicatat sebagai T0. Kemudian dinilai tingkat sedasi dengan menggunakan BIS

Aminophylline diberikan 20cc dengan alat Syringe Pump, NaCl 0,9% diberikan 20cc dengan alat Syringe Pump,
kemudian dibalut dengan kertas. kemudian dibalut dengan kertas.

Penilaian Bispectral Index dengan waktu pulih sadar dengan metode BIS
5’(T1), 10’(T2), 15’(T3), 20’(T4), 25’(T5) dan 30’(T6). Apabila nilai BIS >
90% maka penilaian akan dihentikan karena pasien sudah dianggap sadar.

Tabulasi Data

Gambar 3.11. Alur Penelitian


Nb: Pengenceran dan pemberian obat dilakukan oleh seorang relawan. Peneliti tidak
tahu obat apa yang diberikan. BIS digunakan selama durante operasi dan 30
menit post operasi.
BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Demografi Responden Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli – September 2018 di Instalasi Bedah
Pusat RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan metode double blind
randomized sampling.

4.1.1 Karakteristik Demografi Berdasarkan Usia


Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia,
Obat yang diberikan
Karakteristik Total Nilai p*
Aminophylin NaCl 0,9%
19-32 0 (0%) 5 (21,8%) 5 (10,9%)
33-46 11 (47,8%) 9 (39,1%) 20 (43,5%) 0,782
47-60 12 (52,2%) 9 (39,1%) 21 (45,6%)
Total 23 (100%) 23 (100%) 46 (100%)
*Fisher exact test

Karakteristik Demografi berdasarkan Usia


14

12

10

0
19-32 33-46 47-60

Aminophyllin NaCl 0,9%

Gambar 4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan PS ASA

50
51

Pasien berusia 19 – 32 tahun pada kelompok aminophylin sebanyak 0 orang (0%),


sementara pada kelompok NaCl 0,9% sebanyak 5 Orang (21,8%). Pasien berusia 33 – 46 tahun
pada kelompok aminophylin sebanyak 11 orang (47,8%) dan pada kelompok NaCl 0,9%
sebanyak 9 orang (39,1%), sementara pasien berusia 47 – 60 tahun pada kelompok
aminophylin sebanyak 12 orang (52,2%) dan pada kelompok NaCl 0,9% sebanyak 9 orang
(39,1%). Berdasarkan karakteristik usia pasien didapati data yang relatif homogen (p>0,05).

4.1.2 Karakteristik Demografi Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin


Obat yang diberikan
Karakteristik Total Nilai p*
Aminophylin NaCl 0,9%
Laki – Laki 8 (34,7%) 9 (39,1%) 17 (36,9%)
0,596
Perempuan 15 (65,3%) 14 (60,9%) 29 (63,1%)
Total 23 (100%) 23 (100%) 46 (100%)
*Fisher exact test

Karakteristik Sampel berdasarkan Jenis Kelamin


16

14

12

10

0
Laki - Laki Perempuan

Aminophilin NaCl 0,9% Column1

Gambar 4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel/gambar diatas didapati pada kelompok aminophylin jumlah sampel


laki – laki sebanyak 8 orang (34,7%) dan pada kelompok NaCl 0,9% sebanyak 9 orang (39,1%),
sementara jumlah sampel dengan jenis kelamin perempuan pada kelompok aminophylin
52

sebanyak 15 orang (65,3%) dan pada kelompok NaCl 0,9 % sebanyak 14 orang (60,9%).
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin sampel didapati data yang relatif homogen (p>0,05).

4.1.3 Karakteristik Demografi Berdasarkan Nilai PS ASA

Tabel 4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan ASA


Obat yang diberikan
Karakteristik Total Nilai p*
Aminophylin NaCl 0,9%
ASA 1 10 (43,4%) 14 (60,8%) 24 (52,1%)
0,488
ASA 2 13 (56,6%) 9 (39,2%) 22 (47,9%)
Total 23 (100%) 23 (100%) 46 (100%)

Karakteristik Sampel Berdasarkan Nilai ASA


16

14

12

10

0
PS ASA 1 PS ASA 2

Aminophilin NaCl 0,9%

Gambar 4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan ASA

Berdasarkan tabel/gambar diatas, subjek dengan PS ASA 1 pada kelompok yang


mendapatkan aminophylin berjumlah 10 orang (43,4%) dan pada kelompok NaCl 0,9%
sebanyak 14 orang (60,8%). Sementara subjek dengan PS ASA 2 yang menerima aminophylin
sebanyak 13 orang (56,6%) dan pada kelompok NaCl 0,9% sebanyak 9 orang (39,2%).
Berdasarkan karakteristik PS ASA sampel didapati data yang relatif homogen (p>0,05).
53

4.2. Efek Obat Perlakuan terhadap Waktu Pulih Sampel


Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dan dianalisa, terlihat secara signifikan
aminophilin mempunyai waktu pulih sadar lebih cepat dibandingkan dengan NaCl 0,9% (p
value <0,05) dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney.
4.2.1 Efek Obat Perlakuan pada T0
Tabel 4.4. Nilai Rerata BIS pada T0
Obat Mean BIS T0 N Standart Deviasi P Value
Aminophilin 69,61 % 23 6,569
NaCl 0,9% 63,26 % 23 5,948 0,000

Total 66,43 % 46 6,978

Nilai Rata-rata BIS Pada T0


72

70

68

66

64

62

60
T0

Aminophilin NaCl 0,9%

Gambar 4.4 Nilai Rerata BIS pada


Dari tabel diatas (tabel 4.4) terlihat pada T0 Nilai rata – rata BIS pada kelompok aminophylin
adalah 69,61% dan pada kelompok NaCl 0,9% adalah 63,26%. Berdasarkan uji Independent
T-Test didapati perbedaan yang bermakna pada nilai rata – rata BIS di T0 (p<0,05).
4.2.2. Efek Obat perlakuan pada T1
Tabel 4.5. Nilai Rerata BIS pada T1
Obat Mean BIS T1 N Standart Deviasi P Value
Aminophilin 81,91% 23 6,735
0,000
NaCl 0,9% 73,04% 23 6,278
Total 77,48% 46 7,845
54

Nilai Rata-Rata BIS pada T1


84
82
80
78
76
74
72
70
68
T1

Aminophilin NaCl 0,9%

Gambar 4.5. Nilai Rerata BIS pada T1


Dari tabel dan gambar diatas (4.5) Pada kelompok aminophilin terdapat nilai BIS rata – rata
81,91% dan pada kelompok NaCl 0,9% dengan nilai rata – rata 73,04% pada T1. Berdasarkan
uji Independent T-Test didapati perbedaan yang bermakna pada nilai rata – rata BIS di T1
(p<0,05).
4.2.3 Efek Obat Peralakuan pada T2
Tabel 4.6. Nilai Rerata BIS pada T2
Obat Mean BIS T2 N Standart Deviasi P Value
Aminophilin 90,30% 23 7,144
NaCl 0,9% 82,04% 23 7,010 0,000

Total 86,17% 46 8,149

Nilai Rata-rata BIS pada T2


92
90
88
86
84
82
80
78
76
T2

Aminophilin NaCl 0,9%

Gambar 4.6 Nilai Rerata BIS pada T2


55

Pada T2, nilai BIS rata – rata pada kelompok aminophylin adalah 90,30% dan pada kelompok
NaCl 0,9 % adalah 82,04%. Berdasarkan uji Independent T-Test didapati perbedaan yang
bermakna pada nilai rata – rata BIS di T2 (p<0,05).

4.2.4 Efek Obat Perlakuan pada T3


Tabel 4.7. Nilai Rerata BIS pada T3
Obat Mean BIS T3 N Standart Deviasi P Value
Aminophilin 93,56% 9 5,364
NaCl 0,9% 88,84% 19 4,086 0,000
Total 94,13% 28 8,149

Nilai Rata-Rata pada T3


94

93

92

91

90

89

88

87

86
T3

Aminophilin NaCl 0,9%

Pada T3 terdapat rata – rata nilai BIS pada kelompok Aminophylin adalah 93,56% dan pada
kelompok NaCl 0,9% adalah 88,84%. Berdasarkan uji Independent T-Test didapati perbedaan
yang bermakna pada nilai rata – rata BIS di T3 (p<0,05).
4.2.5. Efek Obat Perlakuan pada T4
Tabel 4.8. Nilai Rerata BIS pada T4
Obat Mean BIS T4 N Standart Deviasi P Value
Aminophilin 97,90% 2 2,828
NaCl 0,9% 96,93% 15 1,668 0,000

Total 96,71% 17 1,829


56

Nilai Rerata BIS pada T4


98

97,8

97,6

97,4

97,2

97

96,8

96,6

96,4
T4

Aminophilin NaCl 0,9%

Gambar 4.8. Nilai Rerata BIS pada T4


Pada T4 nilai rata – rata BIS pada kelompok Aminophylin adalah 97,90% dan pada
kelompok NaCl 0,9% adalah 96,93%. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa kelompok
Aminophylin mempunyai nilai rentang waktu pulih sadar yang lebih cepat dibandingkan
dengan kelompok NaCl 0,9% pada T0 – T4. Berdasarkan uji Independent T-Test didapati
perbedaan yang bermakna pada nilai rata – rata BIS di T3 (p<0,05).

4.2.6. Efek Aminophilin Terhadap Waktu Pulih Sadar


Tabel 4.9. Gambaran Pemberian Aminophilin Terhadap Waktu Pulih Sadar
Waktu Pulih Sadar
Obat Total
T0 T1 T2 T3 T4
Aminophilin - - 14 6 3 23

Pada tabel 4.9 didapati bahwa pada kelompok aminophilin didapati jumlah sampel yang waktu
pulih sadar pada T2 sebesar 14 sampel (60,8%), dan sampel yang waktu pulih sadarnya pada
T 3 sebesar 6 sampel (26,1%), sedangkan sampel yang waktu pulih sadarnya pada T4 sebanyak
3 sampel (13,1%).
57

4.2.7. Efek NaCl 0,9% terhadap Waktu Pulih Sadar


tabel 4.10. Gambaran pemberian NaCl 0,9 % terhadap Waktu Pulih Sadar
Waktu Pulih Sadar
Obat Total
T0 T1 T2 T3 T4
NaCl 0,9% - - 4 3 16 23

Pada tabel 4.10 dapat dilihat bahwa pada kelompok NaCl 0,9 % didapati jumlah sampel yang
waktu pulih sadar pada T2 sebanyak 4 orang (17,4%) dan sampel yang waktu pulih sadar pada
T3 sebanyak 3 Orang (13,1%). Lalu sampel yang waktu pulih sadarnya pada T4 yaitu sebanyak
16 orang (69,5%).

Tabel 4.5. Perbandingan Nilai Rata-rata antara Aminophilin dengan NaCl 0,9% terhadap
Waktu Pulih Sadar
Obat N Rata – Rata Waktu Pulih P Value*
Aminophilin 23 10.48
NaCl 0.9% 23 15.48 0.000
Total 46
*Mann-Whitney
Pada tabel 4.5 didapati hasil bahwa waktu pulih rata – rata subjek penelitian pada
kelompok Aminophilin selama 10,48 menit sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% didapati
nilai rata – rata selama 15,48 menit. Dengan nilai p < 0,05 menggunakan uji Mann-Whitney.

Perbedaan rata-rata nilai Bispectral Index pada kedua


kelompok penelitian
120

100

80

60

40

20

0
T0 T1 T2 T3 T4

Aminophilin NaCl 0,9%

Gambar 4.4. Grafik perbedaan rata-rata nilai Bispectral Index pada kedua kelompok
penelitian
58

Dari Grafik diatas (gambar 4.2.) dapat dilihat bahwa kelompok aminophylin
mempunyai rerata nilai Bispectral Index yang lebih cepat meningkat dibandingkan dengan
kelompok NaCl 0,9% pada T0 – T4.
BAB 5

PEMBAHASAN

Pulih sadarnya pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada
eliminasi obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan membuka
mata dengan perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien
partisi darah - gas, dan dosis (MAC-jam). Kecepatan pulih sadar berbanding terbalik
dengan kelarutan obat dalam darah, makin rendah daya kelarutannya makin cepat eliminasi
dari paru. Bila anestesi berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga bergantung pada total
ambilan obat anestesi oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar
rerata yang digunakan, dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006).

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli – September 2018 di Instalasi Bedah Pusat
RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan metode double blind randomized
sampling. Penelitian ini diikuti oleh 46 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi.

5.1. Karakteristik Demografi Penelitian

Pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1 pada kelompok aminophylin didapati
kelompok umur 19-32 tahun diikuti oleh 0 (0%) sampel, pada kelompok umur 33-46 tahun
diikuti oleh 11 (47,8%) sampel dan kelompok umur 47-60 tahun diikuti oleh 12 (52,2%)
sampel. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% kelompok umur 19-32% diikuti oleh 5
(21,8%) sampel, kelompok umur 33-46 diikuti oleh 9 (39,1%) sampel dan pada kelompok
umur 47-60 tahun diikuti oleh 9 (39,1%) sampel. Berdasarkan karakteristik usia pasien
didapatidata yang relatif homogeny (p>0,05)

Pada tabel 4.2 dapat dilihat juga bahwa pada kelompok aminophilin diikuti oleh 8
(34,7%) sampel yang berjenis kelamin laki-laki dan 15 (65,3%) sampel berjenis kelamin

59
60

perempuan. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% didapati bahwa 9 (39,1%) sampel
berjenis kelamin laki-laki dan 14 (60,9%) sampel berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan
karakteristik jenis kelamin sampel didapati data yang relatif homogen (p>0,05)

Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada kelompok aminophilin dijumpai 10 (43,4)
sampel digolongkan kedalam kelompok PS ASA 1 dan 13 (56,5%) sampel digolongkan
kedalam kelompok PS ASA 2. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% sebanyak 14 (60,8%)
sampel digolongkan kedalam kelompok PS ASA 1 dan 9 (39,2%) sampel digolongkan
kedalam kelompok PS ASA 2. Berdasarkan karakteristik PS ASA sampel didapati data
yang relatif homogen (p>0,05)

5.2 Efek Obat Perlakuan Terhadap Waktu Pulih Sadar

Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok aminophilin didapati pada T0 nilai


rata-rata BIS yaitu 69,61%, pada T1 didapati nilai 81,91%, pada T2 90,30%, pada T3
93,56%, dan pada T4 nilai rata-rata BIS yaitu 97,9%. Sementara pada kelompok NaCl 0,9%
didapati pada T0 nilai rata-rata BIS yaitu 63,26%, pada T1 didapati nilai 73,04%, pada T2
82,04%, pada T3 88,84%, dan pada nilai T4 didapati nilai 96,93%. Berdasarkan uji statistik
didapati hasil yang bermakna pada nilai rata –rata BIS (p<0,05).

Pada penelitian ini juga dinilai efek pemberian obat perilaku terhadap waktu pulih
sadar. Pada kelompok aminophilin didapati 14 (60,8%) sampel yang waktu pulih sadarnya
pada T2, 6 (26,1%) sampel yang waktu pulih sadarnya pada T3, dan 3 (13,1%) sampel yang
waktu pulih sadarnya pada T4. Sementara pada kelompok NaCl 0,9% 4 (17,4%) sampel
yang waktu pulih sadarnya pada T2, 3 (13,1%) sampel yang waktu pulih sadarnya pada T3
dan 16 (69,5%) sampel yang waktu pulih sadarnya pada T4.

Pada penelitian yang dilakukan pada 46 sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok ini
didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna terhadap kedua kelompok terhadap
nilai waktu pulih sadar pada pasien dengan general anestesi. Berdasarkan penelitian ini
61

didapatkan waktu pulih sadar dengan aminofilin rata-rata 10,48 menit dihitung mulai dari
T0 (saat pemberian aminofilin) dan pada NaCl 0.9% waktu rata-rata 15.48 menit dihitung
dari T0 (saat pemberian aminofilin), dimana dari kedua obat yang diberikan aminofilin
lebih dapat mempercepat waktu pulih sadar pada pasien dengan general anestesi. Ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan farsad pada tahun 2017 yang menunjukan bahwa waktu
untuk melakukan ekstubasi pasca operasi secara signifikan lebih singkat pada kelompok
yang mendapat Aminophylline 5 mg/KgBB (10,4 ± 4,78 menit), kemudian disusul
kelompok Aminophylline 1 mg/KgBB (11,15 ± 8,2 menit) dan paling lama pada kelompok
yang mendapat normal saline yaitu kelompok kontrol (12,26 ± 7,33 menit) dengan p-value
= 0,001. Selain itu jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai skor BIS ≥ 90 secara
signifikan juga lebih singkat pada kelompok yang mendapat Aminophylline 5 mg/KgBB
(10,6 ± 3,7 menit) kemudian disusul kelompok Aminophylline 1 mg/KgBB (11,5 ± 5,6
menit) dan paling lama pada kelompok yang mendapat normal saline yaitu kelompok
kontrol (14,4 ± 4,2 menit) dengan p-value = 0,001. (Farsad, 2017).

Pada hasil penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan aminofilin memberikan


waktu pulih sadar yang lebih cepat dibandingkan dengan NaCl 0.9% (p < 0.05) dengan
mempersingkat waktu hingga terpotong hampir setengahnya, jika dibandingkan dengan
rata-rata waktu pulih. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aghabiklooei,
2018 bahwa aminofilin intravena dapat menurunkan efek sedasi dari benzodiazepine serta
mempercepat waktu pulih sadar pasien walaupun dibawah pengaruh benzodiazepine.
Sedangkan Ghaffaripour dkk, 2014 menekankan bahwa injeksi aminofilin pada waktu
keadaan darurat dapat memicu kenaikan dari BIS dan memperpendek waktu sadar pulih
dari pengaruh obat anestesi. Dimana pada aminofilin dapat menghambat Adenosin yang
merupakan neuromodulator sistem saraf pusat. Ada 4 subtipe reseptor adenosin yang
berada dalam sistem saraf pusat: A1, A2A, A2B, dan A3. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa kedua subtipe A1R dan A2AR menstimulasi tidur, meskipun subtipe reseptor
adenosin yang bertanggung jawab untuk pengaturan tidur masih diperdebatkan. Efek
62

hipnotis adenosin lebih dulu telah dilakukan pada hewan percobaan dan efek
tidur(soporific) dari pemberian adenosin sistemik dan pusat juga telah diteliti pada manusia
(Turan dkk, 2010). Pada penelitian ini selama penelitian tidak didapatkan efek samping
yang bermakna sesudah pemberian Aminofilin intravena.

Pemberian aminofilin untuk menganalisa efek pemberian secara intravena untuk


mempercepat waktu pulih sadar pada general anestesi pada pasien dengan pembedahan
laparotomy meggunakan BIS. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rangel dkk, 2013,
aminofilin diberikan pada pasien dengan jenis kelamin berbeda, dan kelompok umur yang
berbeda pada pasien dengan stres regadenoson. Rangel dkk menjelaskan bahwa pemberian
aminofilin bekerja berbeda pada setiap individu baik perempuan maupun laki-laki serta
mempunyai efek yang bervariasi pada berbagai kelompok umur. Sehingga lebih lanjut,
diambil kesimpulan oleh Rangel dkk, bahwa pemberian aminofilin pada kelompok jenis
kelamin berbeda dan kelompok umur yang berbeda mempunyai efek yang sangat bervariasi
tergantung dari individu tersebut. Oleh karena itu, efek yang bervarian di dalam pemberian
aminofilin, dipertimbangkan bahwa efek aminofilin dengan berdasarkan jenis kelamin dan
golongan umur dapat diabaikan pada penelitian ini.

Indeks Bispektral indeks merupakan parameter EEG yang diproses dengan validasi
lanjutan dan menunjukkan kemampuan klinisinya. Alat ini menilai komponen pengukuran
dari teknik proses sinyal EEG termasuk analisis bispektral, analisis power spectral dan
analisis waktu. Pemantauan dengan BIS disebutkan oleh Bilgill dkk, 2017 pada pasien
intensif menyebutkan bahwa dengan pemantauan BIS ini, dosis pemberian obat sedasi
dapat berkurang, begitu juga dengan waktu pulih dan sadar nya dapat lebih cepat
dibandingkan pasien yang tidak dipantau dengan BIS. Walaupun ada beberapa kekurangan
pada penelitian tersebut dan menegaskan perlunya untuk ditelaah dan diteliti lebih lanjut
dengan subjek terkontrol, random agar penggunaan BIS dapat menjadi modalitas pada
pasien perawatan intensif.
63

Sedangkan pada penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Amer dkk pada tahun
2015, dimana penelitian dilakukan mengenai efek pemberian magnesium sulfat pada nilai
BIS selama anestesi umum pada kelompok usia anak-anak. Kesimpulan yang dapat ditarik
pada penelitian tersebut adalah, Aminofilin dapat secara signifikan meningkatkan nilai BIS,
waktu yang lebih singkat untuk mencapai BIS diatas nilai 60, menurunkan volume tidal dan
menurunkan laju pernafasan selama anestesi umum pada kelompok umur tersebut. Hal ini
menjadi tujuan peneliti untuk menelaah pemberian aminofilin dengan metode yang sama
menggunakan BIS namun pada kelompok pasien usia dewasa.
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Pemberian NaCl 0.9% pada pasien dengan general anestesi tidak mempengaruhi
waktu pulih sadar pasca general anestesi yang dinilai dengan menggunakan
bispectral index.
2. Pemberian aminophylline pada pasien dengan general anestesi dapat mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi yang dinilai dengan menggunakan
bispectral index.
3. Pemberian aminophylline pada pasien dengan general anestesi dapat mempercepat
waktu pulih sadar pasca general anestesi dibandingkan dengan NaCl 0.9% yang
dinilai dengan menggunakan bispectral index.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan aminophylline


dengan obat lain yang dapat mempercepat waktu pulih sadar pada pasien
pemedahan dengan general anestesi
2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai efek samping dari aminophylline
terhadap pasien pasca general anestesi.
3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai dosis yang efektif pemberian
aminophylline pada pasien pasca general anestesi untuk meningkatkan waktu pulih
sadar pasien.

64
DAFTAR PUSTAKA

Altan A, Turgut N, Yildiz F, Türkmen A, Ustün H. Effects of magnesium sulphate and


clonidine on propofol consumption, haemodynamics and postoperative recovery. Br J
Anaesth. 2015;94(4): 438-441.
Ashraf A. Dahaba. Different Conditions That Could Result in the Bispectral Index
Indicating an Incorrect Hypnotic State. Anesth Analg. 2010;101:765-773
Basheer R, Strecker RE, Thakkar MM, McCarley RW. Adenosine and sleep-wake
regulation. Prog Neurobiol. 2010;73:379–396
Bronco A, Ingelmo PM, Aprigliano M, Turella M, Sahillioglu E, Bucciero M, et al. Xenon
anaesthesia produces better early postoperative cognitive recovery than sevoflurane
anaesthesia. Eur J Anaesthesiol. 2010;27(10):912–6. doi: 10.1097 /EJA.
0b013e32833b652d. [PubMed: 20523212].
Dan M. Total Knee Arthroplasty: Does preoperative physical therapy intervention reduce
postoperative recovery time?. 2015
Datta S, Harlalka S, Pradhan A, Sil S, et al. Role of Ketamine, Levetiracetam and L-
Carnitine in Aminophylline Induced Seizure in Wister Rat Model. Am J Phytomed
ClinTherap. 2015;3(2):137– 44.
Ekman A, Lindholm ML, Lennmarken C, Sandin R. Reduction in the incidence of
awareness using BIS monitoring. Acta Anaesthesiol Scand. 2010 Jan;48(1):20-6.
Ekman A, Lindholm ML, Lennmarken C, Sandin R. Reduction in the incidence of
awareness using BIS monitoring. Acta Anaesthesiol Scand. 2010;48(1):20-26.
El Tahan MR. Effects of Aminophylline on cognitive recovery after sevoflurane anesthesia.
J Anesth. 2011;25(5):648–56. doi: 10.1007/s00540-011-1190-8. [PubMed: 21755342].
El Yacoubi M, Costentin J, Vaugeois J-M, Ledent C, Parmentier M. Caffeine reduces
hypnotic effects of alcohol through adenosine A 2A receptor blockade.
Neuropharmacology 2010; 45: 977–85.

65
66

Firestone Institute for Respiratory Health, Theophylline, Mc Caster University, 2015


Greening AP, Baillie E, Gribbin HR, Pride NB. Sustained release oral Aminophylline in
patients with airflow obstruction. Thorax. 2008;36(4):303–7. [PubMed: 7025336].
Huang ZL, Qu WM, Eguchi N, Chen JF, Schwarzschild MA, Fredholm BB, et al.
Adenosine A2A, but not A1, receptors mediate the arousal effect of caffeine. Nat
Neurosci. 2012;8(7):858–9. doi: 10.1038/nn1491. [PubMed: 15965471].
Hupfl M, Schmatzer I, Buzath A, Burger H, Horauf K, Ihra G, et al. The effects of
Aminophylline on bispectral index during inhalational and total intravenous
anaesthesia. Anaesthesia. 2008;63(6):583–7. doi: 10.1111/j.1365-2044.2008.05445.x.
[PubMed: 18279487].
Kanemaru Y, Nishikawa K, Goto F. Bispectral index and regional cerebral oxygen
saturation during propofol/N2O anesthesia. Can J Anaesth. 2016;53(4):363–9. doi:
10.1007/BF03022500. [PubMed: 16575034].
Kaputlu I, Sadan G, Ozdem S. Exogenous adenosine potentiates hypnosis induced by
intravenous anaesthetics. Anaesthesia. 2008;53:496–500.
Khafagy HF, Ebied RS, Osman ES, Ali MZ, Samhan YM. Perioperative effects of various
anesthetic adjuvants with TIVA guided by bispectral index. Korean J Anesthesiol.
2012;63(2):113-119. doi: 10.4097/kjae.2012.63.2.113
Krintel JJ, Wegmann F. Aminophylline reduces the depth and duration of sedation with
barbiturates. Acta Anaesthesiologica Scandinavica. 2011;31:352–354.
Lambert P, Junke E, Fuchs-Buder T, Meistelman C, Longrois D. Inter-patient variability
upon induction with sevoflurane estimated by the time to reach predefined end-points
of depth of anaesthesia. Eur J Anaesthesiol. 2013;23(4):311-318
Mahajan VA, Ni Chonghaile M, Bokhari SA, Harte BH, Flynn NM, Laffey JG. Recovery
of older patients undergoing ambulatory anaesthesia with isoflurane or sevoflurane.
Eur J Anaesthesiol. 2012;24(6):505– 10. doi: 10.1017/S0265021506001980. [PubMed:
17202009].
67

Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan MT. Bispectral index monitoring to prevent
awareness during anaesthesia: the Bi-Aware randomised controlled trial. Lancet. 2010
May 29;363(9423):1757-63.
Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan MT. Bispectral index monitoring to prevent
awareness during anaesthesia: the B-Aware randomised controlled trial. Lancet.
2010;363(9423):1757-1763.
Ohri AK, Sharma DR, Thakur JR, Santoshi ID. Halothane induced sedation: antagonism
with Aminophylline . Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology 2014; 14:
255–62.
Porkka-Heiskanen T. Adenosine in sleep and wakefulness. Ann Med. 2009;31(2):125–9.
[PubMed: 10344585].
Puri GD, Murthy SS. Bispectral index monitoring in patients undergoing cardiac surgery
under cardiopulmonary bypass. Eur J Anaesthesiol. 2013 Jun;20(6):451-6.
Recart A, Gasanova I, White PF, Thomas T, Ogunnaike B, Hamza M, Wang A. The effect
of cerebral monitoring on recovery after general anesthesia: a comparison of the
auditory evoked potential and bispectral index devices with standard clinical practice.
Anesth Analg. 2013 Dec;97(6):1667-74
Sakurai S, Fukunaga A, Fukuda K, Kasahara M, Ichinohe T, Kaneko Y. Aminophylline
reversal of prolonged postoperative sedation induced by propofol. J Anesth.
2008;22(1):86–8. doi: 10.1007/s00540-007- 0587-x. [PubMed: 18306023]
Sakurai S, Fukunaga A, Fukuda K, Kasahara M, Ichinohe T, Kaneko Y. Aminophylline
reversal of prolonged postoperative sedation induced by propofol. J Anesth.
2008;22:86–88. doi: 10.1007/s00540-007-0587-x.
Schneider G, Gelb AW, Schmeller B, Tschakert R, Kochs E. Detection of awareness in
surgical patients with EEG-based indices—bispectral index and patient state index. Br
J Anaesth. 2012 Sep;91(3):329-35.
68

Sibai AN, Sibai AM, Baraka A. Comparison of flumazenil with Aminophylline to


antagonize midazolam in elderly patients. Br J Anaesth. 2011;66:591–595.
Song D, Joshi GP, White PF. Titration of volatile anesthetics using bispectral index
facilitates recovery after ambulatory anesthesia. Anesthesiology. 2015;87(4):842–8.
[PubMed: 9357886].
Stirt JA. Aminophylline is a Diazepam Antagonist. Survey Anesthesiology.
2014;26(4):214.
Turan A, Kasuya Y, Govinda R, Obal D, Rauch S, Dalton JE, et al. The effect of
Aminophylline on Loss of Consciousness, Bispectral Index, Propofol Requirement,
and Minimum Alveolar Concentration of Desflurane in Volunteers. Anesth Analg.
2010;110(2):449–54. doi: 10.1213/ANE.0b013e3181c6be7e. [PubMed: 19955506]. 16.
Pal M, Roy U,
Turan A, Kasuya Y, Govinda R, Obal D, Rauch S, Dalton JE, et al. The Effect of
Aminophylline on Loss of Consciousness, Bispectral Index, Propofol Requirement,
and Minimum Alveolar Concentration of Desflurane in Volunteers. Anesth Analg.
2010;110(2):449-454. doi: 10.1213/ ANE.0b013e3181c6be7e
Turan A, Memis D, Karamanlyodthlu B, Pamukcu Z, Sut N. Effect of Aminophylline on
Bispectral Index. Acta Anaesthesiol Scand. 2010;48(4):408–11. doi: 10.1111/j.0001-
5172.2010.00350.x. [PubMed: 15025600].
Turan A, Memis D, Karamanlioglu B, Colak A, Pamukcu Z, Turan N. Effect of
Aminophylline on Recovery from Sevoflurane Anaesthesia. Eur J Anaesthesiol.
2012;19(6):452–4. [PubMed: 12094921].
Turan A, Memis¸ D, Karamanly´olu B, Pamukc¸u Z, Su¨t N. Effect of Aminophylline on
bispectral index. Acta Anaesthesiologica Scandinavica 2010; 48: 408–11.
Wu CC, Lin CS, Wu GJ, et al. Doxapram and Aminophylline on bispectral index under
sevoflurane anaesthesia: a comparative study. European Journal of Anaesthesiology
2016; 23: 937–41.
69

Wu CC, Lin CS, Wu GJ. Doxapram and Aminophylline on bispectral index under
sevoflurane anaesthesia: a comparative study. Euro J Anaesthesiol. 2016;23:937–941.
Yokoba M, Ichikawa T, Takakura A, Ishii N, Kurosaki Y, Yamada Y, et al. Aminophylline
increases respiratory muscle activity during hypercapnia in humans. Pulm Pharmacol
Ther. 2015;30:96–101. doi: 10.1016/j.pupt.2014.03.006. [PubMed: 24721495].
70

Lampiran 1

Curriculum Vitae

Riwayat Hidup Peneliti

Nama : dr. Awang Supriady


Tempat / Tgl Lahir : Banda Aceh, 14 Agustus 1981
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Amal – Puskesmas 2 Komplek Griya Rehan Blok B No 9

Nama Istri : dr. Indah Sukmawardhani


Nama Anak : 1. M. Nafiz Adria Awang
2. Nadine Almira Awang
Nama Ayah : (Alm). H. Azhar Yusuf
Nama Ibu : Hj. Sakty Saleh
Status : Menikah
Status Tingkatan : Semester 9
No Hp : 08126938166

Riwayat Pendidikan
1987 - 1993 : SD Hagu Selatan Lhokseumawe Aceh Utara
1993 - 1996 : SMP N 1 Lhokseumawe Aceh Utara
1996 - 1999 : SMA N 1 Lhokseumawe Aceh Utara
1999 - 2007 : Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
2014 – Sekarang : PPDS-1 Anestesiologi dan Terapi Intensif FK- USU

Deskripsi Tugas : Mengolah dan menganalisa data


71

Lampiran 2

JADWAL TAHAPAN PENELITIAN


NO Tahapan Penelitian Rencana

1 Bimbingan Proposal Februari - Maret 2018

2 Seminar Proposal April 2018

3 Perbaikan Proposal Mei 2018

4 Komisi Etik Penelitian Juni 2018

5 Pengumpulan Data Juli – September 2018

6 Pengolahan dan Analisa Data September 2018

7 Bimbingan Penyusunan laporan Akhir September 2018

8 Seminar Akhir Penelitian Oktober 2018

9 Perbaikan Laporan Akhir Penelitian Oktober 2018

Tahapan 2018
Penelitian Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September
Bimbingan
proposal
Seminar
Proposal
Perbaikan
Proposal
Komisi etik
penelitian
Pengumpulan
data
Pengolahan
dan analisa
data
Bimbingan
penyusunan
laporan akhir
Seminar akhir
penelitian
Perbaikan
laporan akhir
penelitian
72

LAMPIRAN 3

EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK MEMPERCEPAT


WAKTU PULIH SADAR PASCA GENERAL ANESTESI PADA PASIEN
PEMBEDAHAN LAPARATOMI DENGAN MENGGUNAKAN
BISPECTRAL INDEX DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

LEMBARAN OBSERVASI PASIEN


No. Sampel
I. Identitas Pasien
Nama : No. RM :
Umur : tahun
Jenis Kelamin : laki-laki/ perempuan
Pekerjaan :
Alamat :
Suku /Agama :
Berat badan : kg
Tinggi badan : m
BMI : kg/m2
Diagnosis :
Tindakan :
PS ASA : I/ II
Jenis Anestesi : General Anestesi
Mulai Anestesi : Selesai :
Mulai Operasi : Selesai :
Masuk PACU : Keluar :

II. Data Awal / Keadaan Pre Operasi


Tekanan Darah : mmHg
Laju Nadi : x/i
Laju Nafas : x/i
Nilai VAS :
73

A. Data Penelitian
Target Nilai BIS > 90

Waktu T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

(Obat (5 Menit (10 (15 (20 (25 (30


penelitian setelahT0) Menit Menit Menit Menit Menit
dimasukkan) setelah setelah setelah Setelah Setelah
T0) T0) T0) T0) T0)

BIS

B. Efek Samping

Waktu T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
bat (5 Menit (10 (15 (20 (25 (30
penelitian setelahT0) Menit Menit Menit Menit Menit
dimasukkan) setelah setelah setelah Setelah Setelah
T0) T0) T0) T0) T0)

Hipotensi

Takikardia

Shock

Alergi
NRM :
Nama : 74
Lampiran 4 Jenis Kelamian :
Tgl. Lahir :

RSUP H. Adam Malik- FK USU

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

(FORMULIR INFORMED CONSENT)

Peneliti Utama : dr. Awang Supriady

Pemberi Informasi :

Penerima Informasi :

Nama Subyek :

Tanggal Lahir (umur) :

Jenis Kelamin :

Alamat :

No. Telp (Hp) :

JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDAI

1 Judul Penelitian EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK


MEMPERCEPAT WAKTU PULIH SADAR PASCA
GENERAL ANESTESI PADA PASIEN PEMBEDAHAN
LAPARATOMI DENGAN MENGGUNAKAN BISPECTRAL
75

INDEX DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

2 Tujuan penelitian Untuk mengetahui efek pemberian Aminophylline


intravena dalam mempercepat waktu pulih sadar pasca
general anestesi dengan inhalasi isofluran pada
pembedahan laparatomi dengan menggunakan
bispectral index di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3 Cara & Prosedur Pelaksanaan


Penelitian
1. Setelah pasien tiba diruang tunggu kamar bedah,
pasien diperiksa ulang terhadap identitas, diagnosa,
rencana tindakan pembiusan, akses infus (pastikan
telah terpasang infus dengan abocath 18G, threeway
dan aliran infus lancar).
2. Kemudian pasien dibawa kekamar operasi, lalu
dipasang alat monitor standar (EKG, tekanan darah,
denyut jantung, frekuensi nafas, saturasi oksigen)
dan BIS
3. Kedua kelompok pasien diberikan preloading cairan
ringer laktat 10 ml/kgBB
4. Kedua kelompok dipersiapkan untuk dilakukan
tindakan anestesi umum. Premedikasi dengan
fentanil 2 mcg/kg, midazolam 0,05 mg/kg, ditunggu
onset 5 menit.
5. Pasien diinduksi dengan propofol 2 mg/kg,
pelumpuh otot rocuronium 1 mg/kg, setelah onset
tercapai 1 menit, laringoskopi direk dilakukan
dengan laringoskop dan trakea diintubasi dengan
pipa endotrakea yang sesuai ukuran.
6. Pembedahan dimulai, pemeliharaan sedasi
menggunakan Isofluran, pemeliharaan analgesi
dengan fentanil sesuai respon hemodinamik, dan
pemeliharaan pelumpuh otot menggunakan
rocuronium.
7. Selesai penjahitan kutis isofluran dihentikan.
Setelah ada nafas spontan diberikan reversal (
Neostigmin 0,02-0,04 mg/kgBB dan SA 0,01 – 0,02
mg/kgBB) dilanjutkan pada kelompok A diberikan
Aminophylline intravena dengan dosis 3 mg/KgBB
yang diencerkan menjadi 20 cc dengan NaCl 0,9%
sedangkan kelompok pada B (kelompok kontrol)
diberikan cairan normal saline (NaCl 0,9%) yang
76

volumenya sebanding dengan yang diberikan pada


kelompok A dengan menggunakan syringe pump.
8. Setelah masing-masing kelompok mendapat
intervensi, kemudian diobservasi dan dicatat berapa
lama waktu pulih sadar pasien pada masing-masing
individu diantara kedua kelompok. Pasien pulih
sadar apabila BIS bernilai > 90. Dan dinilai saat
pemberian Aminophylline sebagai T0, 5 menit
(T1), 10 menit (T2), 15 menit (T3), 20 menit (T4),
25 menit (T5), dan 30 menit (T6)
9. Pasien kemudian diobservasi di ruang pemulihan
dan dipindahkan keruang rawatan.
10. Hasil data pengamatan pada kedua kelompok
dibandingkan secara statistik
11. Penelitian dihentikan apabila subjek penelitian
menolak untuk berpartisipasi lebih lanjut, operasi
memanjang sehingga dibutuhkan tambahan obat
anestesi umum, terjadi reaksi alergi terhadap
Aminophylline dan terjadi kegawatdaruratan jalan
nafas, jantung, paru, otak yang mengancam jiwa.

Jumlah Subyek 46 Orang

5 Waktu Penelitian 1 bulan

6 Manfaat penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat


termasuk manfaat digunakan sebagai landasan dalam penanganan efek
bagi subyek sedatif pascaoperasi pada keadaan berikut :

a) Sebagai data untuk penelitian lanjutan mengenai


penggunaan Aminophylline intravena untuk
mempercepat waktu pulih sadar pascaoperasi
yang lainnya.
b) Sebagai data untuk dosis awal dalam
penggunaan Aminophylline intravena untuk
penelitian selanjutnya.

7 Risiko & efek samping Pada umumnya, penelitian ini tidak akan
dalam penelitian menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi
Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian. Adapun efek samping
77

yang mungkin terjadi karena prosedur penelitian ini


adalah mual muntah paska operasi, jantung berdebar,
tekanan darah menurun dan alergi. Apabila hal ini
dijumpai maka prosedur penelitian akan dihentikan
segera. Pada penelitian ini akan dilakukan pengawasan
dan penanganan secara cepat terhadap efek samping
maupun hal-hal yang tidak diinginkan selama
dilakukannya penelitian. Dan hal ini akan dicatat dan
dilaporkan ke tim CRU.

8 Ketidak nyamanan -
subyek penelitian

9 Kompensasi bila Bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama


terjadi efek samping penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan
yang dilakukan pada penelitian ini, dapat menghubungi
Saya, dr. Awang Supriady (telp : 08126938166).
Seluruh biaya yang timbul untuk penelitian ini serta
akibat yang muncul dari penelitian ini, sepenuhnya
menjadi tanggung jawab Pembimbing Penelitian dan
Saya sendiri sebagai peneliti. Penelitian akan diawasi
dan disupervisi oleh dokter ahli di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

10 Alternatif Penanganan -
bila ada

11 Penjagaan Seluruh Data Bapak/Ibu akan dirahasiakan terhadap hasil


Kerahasiaan Data penelitian ini. Data yang kami ambil merupakan hasil
penelitian kami dan variable variable penelitian yang terkait

12 Biaya yang ditanggung Seluruh biaya yang berkaitan diluar prosedur normal akan
oleh peneliti ditanggung oleh peneliti, biaya penelitian terlampir

13 Insentif bagi subyek Sebagai ucapan terima kasih saya sebagai peneliti akan
memberikan souvenir berupa handuk kepada
Bapak/Ibu/Saudara/I yang tercatat sebagai subjek
penelitian ini.

14 Nama & alamat dr. Awang Supriady


78

penelitian serta Jl. Amal – Puskesmas 2 Komplek Griya Rehan Blok B


nomor telepon yang No 9
bisa dihubungi
08126938166

Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh
: dr. Awang Supriady dengan judul :

EFEK AMINOPHYLLINE INTRAVENA UNTUK MEMPERCEPAT WAKTU PULIH SADAR PASCA


GENERAL ANESTESI PADA PASIEN PEMBEDAHAN LAPARATOMI DENGAN MENGGUNAKAN
BISPECTRAL INDEX DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

informasi tersebut sudah saya pahami dengan baik.

Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian di atas
dengan suka rela tanpa paksaan daripihak manapun. Apabila suatu waktu saya merasa dirugikan dalam
bentuk apapun, saya berhak membatalkan persetujuan ini.

------------------------------------------- -------------------------------------------
Tanda Tangan Subyek atau Cap jempol Tanggal

-------------------------------------------
Nama Subyek

------------------------------------------- -------------------------------------------

Tanda Tangan saksi/wali Tanggal

-------------------------------------------
Nama saksi/wali

Ket : Tanda Tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran, mengalami
gangguan jiwa dan berusia dibawah 18 tahun.

Inisial subyek ….
79

Lampiran 5

ANGGARAN PENELITIAN

Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian

1. Bahan dan peralatan penelitian


Aminophylline (phopros) 40 x Rp. 10.000,- = Rp. 400.000,-
Ephedrine HCl (Vasodrin*) 50 x RP. 50.000,- = Rp. 2.500.000,-
Extension Tube 50 x Rp. 30.000,- = Rp. 1.500.000,-
Spuit 3 cc (Terumo*) 50 x Rp. 5.000,- = Rp. 250.000,-
Spuit 5 cc (Terumo*) 50 x Rp. 5.000,- = Rp. 250.000,-
Spuit 10 cc (Terumo*) 50 x Rp. 10.000,- = Rp. 500.000,-
Spuit 20 cc (Terumo*) 50 x Rp. 15.000,- = Rp. 750.000,-
Electroda BIS 50 x Rp. 200.000.- =. Rp. 10.000.000,-
Batre AA Alkaline 50. x Rp. 3.000.- = Rp. 150.000,-
Pengadaan literature = Rp. 1.000.000,-
Pengadaan bahan seminar usulan & hasil penelitian = Rp. 750.000,-
Cetak Usulan & hasil penelitian 20 x Rp. 50.000,- = Rp. 1.000.000,-
Konsumsi proposal dan seminar = Rp. 1.000.000,-
Biaya Komisi Etik Penelitian = Rp. 1.000.000,-
Subtotal = Rp. 21.050.000,-
Biaya tak terduga (10% subtotal) = Rp. 2.105.000,-

Total Perkiraan biaya penelitian = Rp. 23.155.000,-


80

Lampiran 6 Tabel Randomisasi Sampel

Nomor Sekuens

00 – 04 AAABBB

05 – 09 AABABB

10 – 14 AABBAB

15 – 19 AABBBA

20 – 24 ABAABB

25 – 29 ABABAB

30 – 34 ABABBA

35 – 39 ABBAAB

40 – 44 ABBABA

45 – 49 ABBBAA

50 – 54 BAAABB

55 – 59 BAABAB

60 – 64 BAABBA

65 – 69 BABAAB

70 – 74 BABABA
Ujung pena dimulai dari nomor 56
75 – 79 BABBAA selanjutnya berurut ke ke kanan dan
disusun berurut hingga berjumlah 46
80 – 84 BBAAAB sampel dengan sekuens
(56) BAABAB (61) BAABBA
85 – 89 BBAABA (66) BABAAB (25)ABABAB
(24) ABABAB (30) ABABBA
90 – 94 BBABAA (45) ABBBAA (25) ABABAB
95 – 99 BBBAAA

Kelompok A : Aminophyllin
Kelompok B. : NaCl 0.9%

Anda mungkin juga menyukai