NEUROGENIC BLADDER
ABSTRAK
ABSTRACT
Normal micturition (urination) requires proper function of both the bladder and
the urethra, including normal compliance within the bladder detrusor muscle and a
physiologically competent urinary sphincter. The process of micturition is
controlled by the central nervous system (CNS), which coordinates sympathetic,
parasympathetic, and somatic nervous system activity for normal micturition and
1
urinary continence. Damage to or diseases of the CNS or within the peripheral or
autonomic nervous system may lead to neurogenic bladder (NGB) dysfunction.
NGB dysfunction may arise as a result of several neurologic conditions. Patients
also may have increased risk and incidence of urinary tract infections (UTIs) and
bladder outlet obstruction. If not treated optimally, patients with NGB may also be
at risk for sepsis and renal failure.
2
PENDAHULUAN
Neurogenic bladder adalah suatu gangguan pada lower urinary tract yang
disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf yang dapat terjadi akibat trauma,
infeksi atau kongenital. Neurogenic bladder mempengaruhi lebih dari 90% pasien
dengan cedera tulang belakang (SCI), 50-80% pasien dengan multiple sclerosis
(MS) dan lebih dari 95% pasien dengan spina bifida. Selain itu sering juga terjadi
pada kondisi neurologis lainnya seperti stroke, penyakit Parkinson dan transverse
mielitis.1,2
3
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Neurogenic bladder adalah gangguan pada saluran kemih bagian bawah
yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf. Neurogenic bladder biasanya
mempengaruhi otot sfingter. Kandung kemih yang kurang aktif akan
kehilangan kemampuannya untuk mengosongkan urin sebagaimana mestinya
dan mengisinya melewati kapasitas normal. Terkait dengan hal tersebut,
tekanan urin pada kandung kemih secara berlebihan akan membuat otot
sfingter tidak bisa menahannya dan urin akan merembes keluar. Sedangkan,
kandung kemih yang terlalu aktif dapat melakukan pengisian dan pengosongan
tanpa kendali karena berkontraksi dan mengendur tanpa disadari.2
4
Terdapat beberapa klasifikasi yang digunakan untuk mengelompokkan
disfungsi neurogenik bladder. Klasifikasi ini dapat didasarkan pada temuan
urodinamik, kriteria neurourologis, atau pada fungsi kandung kemih dan uretra.
5
tekanan detrusor melebihi tekanan sfingter internal/eksternal pada uretra
proksimal, inkontinensia urin akan terjadi.
6
urin masih intak. Kapasitas kandung kemih besar sedangkan tonus detrusor
rendah (detrusor areflexia) dan inervasi sfingter internal intak. Meskipun tekanan
detrusor rendah, inkontinesia urin dan infeksi saluran urin jarang terjadi.
Lesi pada saraf perifer atau sacral micturition center dapat menyebabkan
detrusor areflexia, di mana pasien mungkin tidak mengalami keinginan untuk
buang air kecil, yang menyebabkan distensi kandung kemih dan overflow
inkontinensia. Kerusakan batang otak atau spinal cord antara pusat miksi sakral
dan pontine mengakibatkan aktivitas detrusor neurogenik berlebihan yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih tanpa batas dan dissynergia sphincter
detrusor di mana aktivitas sfingter sering tidak terkoordinasi dengan kontraksi
kandung kemih.
Evaluasi ini sangat penting untuk menilai fungsi saluran kemih bagian
bawah. Riwayat lengkap pasien termasuk kondisi/operasi genitourinari
sebelumnya, riwayat buang air, keluhan berkemih (disuria, infeksi berulang,
hesitancy, nokturia, inkontinensia, urgensi, dan/atau frekuensi), dan obat-obatan.
Pemeriksaan fisik berfokus pada anatomi panggul dan sistem neurologis.
7
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan status mental, refleks, kekuatan,
dan sensasi untuk menentukan apakah terdapat kondisi neurologis yang dapat
berkontribusi pada disfungsi berkemih. Pemeriksaan laboratorium pada pasien
neurogenic bladder mencakup urinalisis, kultur urin dan sensitivitas serum
BUN/kreatinin, kreatinin clearance, seta volume residual urin postvoid (PVR).
Ultrasonografi merupakan salah satu cara noninvasif untuk menentukan volume
residual urin pasca berkemih, terutama jika pengukuran yang tepat tidak
diperlukan.
b. Intervensi Farmakologi
8
agonis kolinergik, agonis adrenergik alpha-2, antagonis adrenergik alpha-1,
benzodiazepin, gaba-b agonists, botulinium toxin, opioids, vanilloids, nerve
growth factor dan nitrous oxide agonists.
c. Intervensi Bedah
9
10
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12