Anda di halaman 1dari 71

MODUL 8

ANESTESI UMUM

Disusun Oleh :

Djoko Tjahyo Nugroho

PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi

Pengampu :

dr. Bambang Novianto Putro SpAn., M.Kes., Perf.

BAGIAN/ SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RSUD Dr. MOEWARDI/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNS

SURAKARTA

2015
ANESTESI UMUM

Pendahuluan

Anestesi adalah hilangnya sensasi sakit. Anestesi dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Pada anestesi umum hilangnya rasa sakit
terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Pada
anestesi lokal hilangnya rasa sakit hanya pada sebagian tubuh dan tidak di sertai hilangnya
kesadaran.

Anestesi umum dapat di berikan secara inhalasi, intravena, intramuskuler,


subkutan, peroral , perrektal. Anestesi lokal dapat di berikan secara topikal, infiltrasi, field
block, blok saraf tepi, intravena (IVRA - Intra Venous Regional Anestesia, misalnya Biers
Technique), kaudal, epidural, dan spinal analgesia.

Obat anestesia inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N 2O, siklopropan dan etilen
yang berbentuk cair melalui alat penguap akan di ubah menjadi gas. Obat anestesi yang
berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan halogen hidrokarbon
misalnya halotan dan halogen eter, contoh adalah eter, enfluran, isofluran, desfluran, dan
sevofluran. Teknik anestesi umum inhalasi bisa dilakukan dengan napas spontan, dengan
sungkup muka, napas spontan dengan laryngeal mask atau napas kendali di intubasi.

Obat anestesi intravena antara lain tiopental, propofol, ketamin, etomidat,


midazolam, diazepam. Obat anestesi yang dapat di berikan secara intramuskuler adalah
ketamin, midazolam, diazepam. Yang dapat diberikan per rektal adalah eter oli, ketamin,
pentotal, diazepam.

Anestesi umum di definisikan sebagai hilangnya rasa sakit di seluruh tubuh yang di
sertai hilangnya kesadaran reversibel akibat pemberian obat anestesi. Pada anestesi umum
ada penekanan susunan saraf pusat yang menurun secara ireguler . Anestesi umum dapat
di definisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang mana sistem fisiologis tertentu dari
tubuh di bawah kendali pengaturan luar oleh obat obatan anestesi . urut urutan susunan
saraf pusat yang terdepresi selama anestesi umum adalah korteks dan pusat psikis , basal
ganglia , dan medulla spinalis dan terakhir medula oblongata Dengan di temukannya obat
obat anestesi yang baru maka definisi anestesi umum tidak sesederhana sebagai suatu
DEPRESI SSP YANG MENURUN . Kemampuan untuk memberikan ke adaan tidur terpisah
dari keadaan analgesia dan relaksasi otot menyebabkan di kenalnya keadaan yang di sebut
anestesi seimbang ( balan anestesi ) yaitu masing masing obat untuk setiap komponen
anestesi umum

KOMPONEN ANESTESI UMUM

Pada anestesi umum terdapat trias anestesi yaitu hipnotik ( hilang kesadaran )
analgetik dan relaksasi . Hipnotik dapat di lakukan dengan hambatan mental , analgetik
dapat di lakukan dengan hambatan sensoris dan relaksasi dengan hambatan refleks dan
hambatan motoris .

ANALGESIA

Terjadi hambatan sensoris , di sini stimulasi nyeri di hambat secara sentral


sehingga tidak dapat di artikan di artikan di korteks serebri . Analgesia bisa terjadi dalam
berbagai tingkatan di mulai dengan light analgesia ( stadium I ) sampai ( true analgesia ) di
mana semua sensasi hilang .

RELAKSASI

Bisa terjadi karena adanya hambatan motorik dan hambatan reflek .pada hambatan
motoris terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan implus efferent,sehingga terjadi
relaksasi otot skelet . Efek depresi motoris ini tergantung dari kedalaman anestesi , di mana
otot pernapasan / diafragma yang paling akhir di tekan .

Pada hambatan refrek , terjadi penekanan reflek misalnya ada sistem respirasi
untuk mencegah spasme bronhus ., spasme laring , pembentukan mukus . pada sirkulasi
untuk mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual dan
muntah .

HIPNOTIK

Terjadi hambatan mental . ada beberapa tingkatan di mulai dari tenang ,sedasi ,
light sleep ( hipnosis ) ,deep sleep ( narkosis ) ,complete anaesthesia ,dan terakhir terjadi
depresi medulla oblongata .

INDIKASI ANESTESI UMUM ADALAH :

1. Infant dan anak anak


2. Operasi yang luas
3. Pasien dengan kelainan mental
4. Bila pasien menolak anestesi lokal
5. Operasi yang lama
6. Operasi di mana dengan anestesi lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan
7. Pasien dalam terapi anti koagulan
8. Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal

Pada anestesi umum inhalasi ,masuknya obat sangat unik karena masuk melalui sistem
pernapasan . Gas anestetik melalui paru lalu masuk ke dalam darah arterial , dari darah
arterial masuk ke jaringan , demikian sebaliknya gas anestetik akan ke luar dari jaringan lalu
masuk ke dalam darah vena dan akhirnya ke paru dan seterusnya ke udara luar . gambar

Pada saat induksi anestesi ,konsentrasi gas anestesi tertinggi adalah pada alveoli ,
sedangkan pada eleminasi konsentrasi tertinggi adalah pada otak dan jaringan yang kaya
pembuluh darah lainnya .

Gambar di bawah ini menunjukan perbedaan konsentrasi gas anestesi pada saat induksi
dan eliminasi .

Gambar

ANESTESI UMUM INTRAVENA

Pada anestesi umum intra vena tetap di pegang konsep balans anestesia , namun obat
obat anestesi semuanya di berikan secara intravena seginga di sebut dengan TIVA [ Total
Intra Venous Anaesthesia ] .

Pada anestesi umum terjadi trias anestesi , yaitu ;

- Hipnotik [ tidur ]
- Analgetik [ hilangnya rasa sakit ]
- Relaksasi

Pada anestesi umum inhalasi atau intravena , trias anestesi dapat di peroleh dengan
dosis besar satu macam obat anestesi inhalasi atau intravena , yetapi akan di sertai adanya
efek samping . misalnya dengan pentotal saja atau dengan halotan saja . untuk mencegah
efek samping tersebut , maka anestesi umum di lakukan dengan konsep anestesi balans
[anestesi seimbang ] di mana pasien di berikan obat untuk setiap komponen anestesi , yaitu
hipnotik , analgetik , dan relaksasi .

Gambar
Untuk terjadinya trias ini ,maka pada anestesi umum inhalasi terjadi blok sensoris , blok
motorik ,blok reflek dan blok mental .

PADA BLOK SENSORIS

Stimulli pada endorgan di blok secara sentral dan stimuli tidak masuk ke dalam
kortek
Tingkatan bervariasi ,dari stadium 1 sampai dengan stadium III di mana semua
sensasi hilang
Yang di tekan adalah kortek , hipotalamus , subcortical thalamik nuklei ,semua sel
sensoris kranial

PADA BLOK MOTORIS

Yang di tekan adalah premotor dan motor kortek subcortical dan extrapyramidal yang
terakhir di pengaruhi adalah otot pernapasan , mula mula pada otot intercostal bawah , lalu
otot intercostal atas , dan kemudian otot diafrahma .

PADA BLOK REFLEKS ;

Reflek yang tidak menyenangkan harus di blok , misalnya pada sistem respirasi
adalah pembentukan mukus ,spasme laring , spasme bronchus , pada sistem kardiovaskuler
adanya aritmia , pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan muntah

PADA BLOK MENTAL

Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan ;

1 , Tenang

2 , Sedasi [ ngantuk ]

3 , Hipnosis [ light sleep ]

4 , Narkosis [ deep sleep ]

5 , Anestesi penuh [ complete anestesia ]

6 , Paralisis pada medula [ medullari parlysis ]

Pada pemberian anestesi umum inhalasi , urutan bagian ssp yang terdepresi ;

# cortex cerebri dan pusat psiki

# basal ganglia dan cerebellum


# medula spinalis

# medula oblongata

TEORI ANESTESI UMUM

Obat anestesi dapat masuk kedalam tubuh secara intra vena , inhalasi , intramuskuler
, per-rektal , per- oral , lalu obat masuk ke dalam darah dan di bawa ke otak . Teori yang
menerangkan mekanisme anestesi umum inhalasi adalah teori korelasi klasik dan teori intra
seluler . Teori kolerasi klasik menerangkan bagaimana obat anestesi masuk ke dalam sel
contohnya adalah CELL FAT DISSOLUTION THEORI [ 1847 ] ,COLLOID THEORI
[ 1875 ] ,Lipoid solibiti theori [ 1899 ] , SURFACE TENSION atau ABSORPTION THEORI
[1904 ] ,CELL PERMEABILITI THEORI [1907 ] , BIOCEMICAL THEORI [ 1952 ] ,
NEUROPHYSIOLOGIC THEORI [ 1952 ] , PHISICAL THEORI [ 1961 ] .Teori intraseluler
menerangkan efek anestesi di dalam sel contohnya adalah teoti inhibisi oksidasi , teori listrik
dan inhibisi enzim .

Efek anestesi pada sel saraf adalah dengan menginhibisi perjalanan implus dan
dengan menginhibisi fungsi sel saraf .Enzim membran sel membutuhkan lingkungan yang
baik dengan normalnya lipit membran sel hingga dapat berfungsi dengan baik .pada
anestesi umum ,obat anestesi akan menggangu pemberian enzim sehinhga fungsi membran
sel yang normal terganggu . kemampuan saraf untuk meneruskan implus atau menjawab
implus terganggu pada pemeliharaan perbedaan potensial listrik di dalam dan di luar sel .

CELL FAT DISSOLUTION THEORI [ 1847 ]

VON BIBRA dan HARLESS menetapkan suatu korelasi antara aksi anestesi dan
kelarutan obat anestesi dalam lemak dan struktur non lemak dalm sel otak . mereka percaya
bahw eter dan eter chlorida melarutkan jaringan lemak pada otak dan penyimpananya
dalam jaringan hati dan menimbulkan anestesi . faktor ke larutan dalam lemak ini
merupakan pendorong untuk penelitian MEYER dan OVERTON tahun 1899 sampai tahun
1901 .

COLLOID THEORY [ 1875 ]

Claude Bernard percaya bahwa suatu koagulasi yang reversibel dari koloid sel
menimbulkan atau berhubungan dengan terjadinya anestesi. Kepercayaannya ini
berdasarkan adanya penghentian aliran protoplasma pada slime mold pada saat diberikan
obat anestesi. Pada saat sekarang dengan pengertian dinamika protoplasma, teori ini
menjadi lebih dimengerti.

Protein rangka sel ( mikro tubuli, actin, filament intermediat ) mengatur aktivitas
protoplasma dan mudah dipengeruhi obat anestesi. Pandangan modern tentang teori koloid
dikemukakan oleh Allison dan Nunn ( 1970 ) yang menunjukan bahwa halotan
menyababkan depolomerisasi tubulus, tetapi depolomerisasi ini terjadi pada konsentrasi
yang lebih besar daripada konsentrasi klinis.

Aktivitas sitoskeleton mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif yang mungkin


dahambat pada konsentrasi klinis. Kemungkinan yang lain adalah bahwa membran protein
( channel ion dan reseptor ) yang merupakan jangkar daripada sitoskeleton mungkin juga
ikut terpengeruhi akibat gangguan atau kerusakan pada sitoskeleton.

LIPID SOLUBILITY THEORY ( MEYER OVERTON )

Tahun 1847, Von Hibra dan Harless percaya bahwa eter, asetik eter dan eter
kholorida adalah pelarut lemak dan dapat menimbulkan anestesi. Berdasarkan teori ini
Mayer dan Overton memberikan suatu teori anestesi berdasarkan pada kelarutan obat
anestesi dan lemak.

Postulatnya adalah :

1. Setiap zat kimia yang larut dalam lemak atau jaringan yang mengandung lemak akan
bekerja sebagai obat anestesi.
2. Efeknya pertama-tama harus bekerja pada dirinya sendiri ( pada lemaknya ) dan
paling nyata pada sel yang mana lemak merupakan sesuatu yng penting untuk
menjalankan fungsinya, misalnya sel saraf.
3. Potensi relatif dan obat anestesi harus berkolerasi dengan kelarutannya dalam
lemak.

Mereka menyimpulkan bahwa konsentrasi obat anestei dalam lemak ( olive oil ) adalah
sama, apakah diberikan dalam bentuk gas atau fase yang mengandung air dan potensi obat
anestesi hanya tergantung pada kelarutan dalam lemak.

PERUBAHAN PERMEABILITAS MEMBRAN SEL ( 1907 )

Pada tahun 1907, Hober menyebutkan bahwa penyerapan gas anestesi akan
menurunkan permeailitas sel. Pada tahun 1909, Lillie membawa pandangan ini bahwa
segala sesuatu yang menyebabkan membran sel kurang permeabel atau kurang mampu
untuk melakukan depolarisasi listrik akan mempunyai efek inhibisi pada sel. Obat anestesi
akan menurunkan permeabilitas sel normal sehingga akan menyebabkan inhibisi sel.
Gage dkk. ( 1986 ) mengatakan bahwa obat anestesi umum merubah stabilitas
kompleks reseptor channel dengan menurunkan waktu pembukaan saluran ion pada
sinaps sksitatori dan meningkatkan waktu pembukaan channel pada sinaps inhibisi. Hasil
akhir adalah mendepresi transmisi eksitatori sinap.

Potensi obat anestesi ( eter, enfluran, halotan, choloroform ) dalam pemendekan


waktu post synaptic end-plate potensial meningkat dengan meningkatnya kelarutan dalam
lemak. Basis molekurel dari efek ini tidak jelas. Apakah obat anestesi inhalasi menghambat
channel ion secara langsung, merubah channel ion conductance dengan meningkatkan
fluiditas membran atau brinteraksi dengan kompleks channel pada membran lipid-protein,
masih tidak jelas. Pengikatan obat anestesi pada daerah hidrofobik dan protein channel
transmembran mungkin merubah kinetik dari pembukaan dan penutupan channel tanpa
menghambat secara langsung pada ion conductance pathway.

MEMBRAN VOLUME EXPANSION ( 1954 )

Mullins ( 1954 ) menguji ulang hubungan antara kelarutan olive oil dan potensi obat
anestesi dan menyokong bahwa potensi berhubungan lebih baik dengan volume daripada
dengan jumlah molekul obat anestesi yang telah larut dalam fase oil pada membran. Ia
berspekulasi bahwa obat anestesi lebih berparan mengkosongkan membran daripada
mengisi voume membran.

Penelitian menunjukan bahwa potensi obat anestesi umum berkurang pada tekanan
hidrostatik yang tinggi., tetapi tidak menambah volume membran. ( Jhonson 1950 ; Lever
dkk, 1973 ). Hal ini membawa Miller dkk. Pada tahun 1973 untuk menyusun hipotesa volume
kritis, yang menentukan bahwa anestesi terjadi bila obat anestesi yang di absorpsi
mengembangkan volume membran diluar jumlah kritis.

MEKANISME MOLEKULER DARI ANESTESI UMUM :

Pertanyaan tentang cara obet anestesi inhalasi bekerja pada tingkat molekuler dapat
dijawab dari dua jalan :

1. Pengaruh obat anestesi pada membaran lipid termasuk perubahan membran secra
fisik.
2. Pengeruh obat anestesi pada membran protein.

Keduanya termasuk pengaruhnya pada protein-lipid.

Dokter spesialis anestei pada umumnya setuju bahwa obat anestesi akhirnya
mempengaruhi membran protein. Apakah obat anestesi bekerja langsung pada protein atau
mempengaruhinya secara tidak langsung dengan pertama kalinya merubah membran lipid,
masih tidak jelas.

STRUKTUR MEMBRAN SEL :

Setipa sel mempunyai membran sel yang tebalnya kira-kira 20 A yang memegang
peran aktif dalam mengendalikan aliran molekul kedalam dan keluar sel. Membran terdiri
dari fosfolipid bercampur dengan unit protein. Komponen fosfolipid dibagi atas bagian kepala
dan ekor. Bagian kepala bersifat hidofilik dan bagian ekor yang panjang bersifat hidrofobik.
Setiap molekul disusun dalam formasi bi-layer dengan kepala yang hidrofobik diluar dan
ekor yang hidrofobil didalam, paralel membran sel sebelah dalam.

Protein ditanamkan didalam matriks lipid, melintir membran dan berfungsi sebagai
saluran ion, yang mana dapat diaktivasi oleh ligand-receptor activations atau dengan
perubahan potensial membran. Aktivasi ini menghasilkan perubahan dalam saluran protein
yang mengijinkan ion menembus membran.

HIPOTESA VOLUME KRITIS :

Kebanyakan teori lipid dari anestesi memperkirakan bahwa obat anestesi umum
dilarutkan dalam komponen lipid dari membran sel jadi mempunyai efek primer pada
sebagian lipid. Suatu kunci utama bagaimana obat anestesi mempunyai pengaruh pada
membran telah diterangkan dengan fenomena tekanan untuk memulihkan dari anestesi
dengan tekanan hidrostatik yang sederhana. Pressure reversal anaesthesia ini membawa
Miller dkk. Untuk mengemukakan Hipotesa Volume Kritis ( Critical Volume Hypothesis )
seperti telah ditulis diatas.

PERUBAHAN DALAM FLUIDITAS LIPID BILAYER :

Dalam tahun 1968, Metcalf dkk. Menunjukan bahwa benzyl alkohol meningkatkan
mobilitas membran eritrosit. Penemuan ini membawa kearah hipotesa bahwa obat anestesi
umum bekerja dengan meningkatkan fluiditas membran lipid yang secara tidak langsung
mengganggu fungsi membran protein.

Halotan menyebabkan peningkatan mobilitas rantai asam lemak dalam bilayer


fosfolipid. Yang relevan dengan konsentrasi klinis.

TEORI FASE TRANSISSI


Trudell ( 1977 ) berspekulasi bahwa obat anestesi mungkin menimbulkan perubahan
kecil pada keadaan fisik membran dan kemudian menimbulkan perubahan besar dalam
membran sell.

II UPTAKE DAN DISTRIBUSI

Untuk mengambil gas anestesi dari paru paru penyebarannya ke dalam jaringan ada 4
faktor utama yaitu ;

Faktor respirasi

Faktor sirkulasi

Faktor gas anestesi

Faktor jaringan

FAKTOR RESPIRASI

FAKTOR PULMONER

Ada dua faktor yang menentukan kecepatan zat anestesi segingga kadar kadar zat anestesi
dalam alveoli meningkat , yaitu konsentrasi inspirasi dan ventilasi alveoli , kedua faktor ini di
sebut CONCENTRATION EFFECT

KONSENTRASI INSPIRASI

Semakin tinggi konsentrasi gas inspirasi , akan menyebabkan peninggian yang lebih cepat
dari consentrasi alveolar .

SECOND GAS EFFECT

Jika gas ke dua di berikan bersama , misalnya pada N20 / 02 di berikan halotan ,maka
peninggian halotan di alveoli akan lebih cepat . hal ini terjdi karena cepat nya N20 masuk ke
dalam tubuh melalui paru ,maka unsur lainnya yang ada dalam udara inspirasi termasuk gas
dan uap anestesi lainnya akan ikut masuk dengan cepat .

EFEK VENTILASI

Jika ventilasi lebih besar ,maka konsentrasi gas alveolar akan lebih cepat meningkat

.FAKTOR SIRKULASI

FASE SIRKULASI
Tergantung dari coefisien partisi [ kelarutan ] , cardiak aut put dan perbedaan tekanan
gas pada alveoli dan vena .

KELARUTAN

Kelarutan gas selalu konstan , istilah kelarutan adalah coefficient partition [ p,c ] , misalnya
bllod / gas . p,c . tissu/ gas p,c . oil / gas p,c .contoh ; blood / gas p,c = 2 artinya volume gas
pada tekanan partial gas yang sama di kedua fase perbandingannya adalah 2:1

Pada tekanan parsial yang sama , volume gas anestesi dalam alveoli adalah 1 vol %

Sedangkan pada darah adalah 2 vol % partition coeffisient blood / gas adalah 2 / 1 = 2

Table : PARTITION COEFFISIENTS OF VOLATILE ANESTHETICS at 37 oc

A GENT Blood/gas Brain/blood Muscle/blood


FAT/BLOOD

Nitrous ozide 0,47 1,1 1,2 2,3


Halotan 2,40 2,9 3,5 60
metoxyfluran 12,00 2,0 1,3 49
Enflurane 1,90 1,5 1,7 36
isofluran 1,40 2,6 4,0 45
desflurane 0,42 1,3 2,0 27
Sevofluran 0,59 1,7 3,1 48

CARDIAC OUT PUT

Darah membawa gas dari paru , maka bila cardiak output meningkat , uptake juga
meningkat . pada ke adaan curah jantung yang menurun terjadi penurunan gradien tekanan
gas dalam alveoli dengan tekanan gas dalam vena dan makin rendahnya kelarutan gas
anestesi , maka pengeuaran zat anestesi akan menurun .

Perbedaan tekanan parsial gas dalam alveoli dan vena

Obat anestesi inhalasi menimbulkan kedalaman anestesi tergantung pada tekanan


parsial gas di otak
Bila tekanan parsial gs lebih tinggi di darah dari pada di otak , gas akan pindah dari
darah ke otak .demikian pula sebaliknya .
Tekanan parsial gas di otak selalu mencoba equilibrium dengan tekanan gas di
dalam darah .

FAKTOR GAS ANESTESI


MINIMAL ALVEOLAR CONCENTRATION (MAC ) :

Dosis obat pada umumnya di tentukan oleh berat badan . misalnya; mg / kgbb atau
mcg/kgbb ,tetapi dosis obat anestesi inhalasi di tentukan oleh MAC.

Ada beberapa istilah yang harus di pahami ;

MAC50,atau lebih sering di sebut MAC saja , adalah konsentrasi minimal gas anestesi di
dalam alveoli pada tekanan 1 atmosfir dimana 50 % penderita tidak bergerak bila di
berikan noxius stimuli . ada istilah lain yaitu MAC95 ,MACe150 ,MAC e195 ,MACbar
50 ,MAC 95 ,MAC awaeke .

95 artinya95 %penderita .EI adalah singkatan dari ENDOTRAHEAL INTUBASI ,dan BAR
adalah singkatan dari blokade adreno reseptor .

MAC95 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir di mana 95 % penderita tidak bergerak bila di berikan noxius stimuli .

MAC e150 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfer di mana 50% penderita tidak bergerak bila di lakukan laringoskopi dan intubasi
endotrakheal

MACe195 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila di lakukan laringoskopi dan intubasi
endotrakeal

MACbar50 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir di mana 50% penderita tidak memberikan respon adrenergik bila di berikan noxious
stimuli .

MACbar 95% adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak memberikan respon adrenergik bila di berikan noxious
stimuli.

MAC awake adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir di mana 50% penderita buka mata bila di panggil

Di bwah ini dapat kita lihat perbedaan mac obat anestesi inhalasi

MAC comparetd with anesthetic consentration


Agent MAC Induction Maintenance
concentration vol% concentration vol%

Methoxyfluran 0,16 Up to 3 0,2 --- 1,0


Halotan 0,76 2 ----- 4 0,5 ---- 2,0
Isofruran 1,12 2 ----- 4 1,0 -----3,0
Enfluran 1,68 2 ----- 5 1,3 -----3,0
Eter 1,92 10 -----30 4 -------15
Cyclopropan 9,2 20 -----50 10 -------20
Nitrous oxide 105,0 Up to 80 Up to 80

Nilai MAC tidak selalu konstan , tetapi berubah ubah tergantung beberapa keadaan seperti yang
tertera pada tabel di bawah ini .

Variabel Pengaruh pada MAC

Suhu

Hipotermia Menurun

Hipertermia Menurun

Usia

Muda Meningkat

Tua Menurun

Alkohol

Intoksikasi Akut Menurun

Kecanduan Meningkat

Anemia

Hematokrit < 10% Menurun

Kehamilan Menurun

PaO2
Menurun
< 40 mm Hg

PaCO2

95 mmHg Menurun

Tekanan Darah
MAP < 40 mmHg Menurun

Elektrolit

Hiperkalsemia Menurun

Hipernatremia Meningkat

Hiponatremia Menurun

Obat obatan

Anestetik lokal Menurun

Opioid Menurun

Ketamin Menurun

Barbiturat Menurun

Benzodiazepin Menurun

Verapamil Menurun

Litium Menurun

Simpatolitik

Metildopa Menurun

Klonidin Menurun

Deksmedetomidin Menurun

Simpatomimetik

Ampetamin

Kronik Menurun

Akut Meningkat

Kokain Meningkat

Efedrin Meningkat

FAKTOR JARINGAN
JARINGAN DI BAGI ATAS 4 KELOMPOK

Kelompok jaringan kaya pembuluh darah

Otak , jantung , hepar ginjal ,dan kelenjar endokrin

Organ organ ini beratnya kurang lebih 7 % bb , tetapi menerima 75% cardiac output .

Jaringan ini menerima zat anestesi dalam jumlah banyak sejak awal induksi .

Kelompok intermediate [ menengah ]

Otot ,skelet , kulit ,perfusi jaringan rendah [ < 3 ml darah / 100 mg jaringan / menit .

Lemak merupakan depo yang efektif untuk penimbunan zat anestesi ,walaupun perfusinya
lebih rendah dari kelompok otot ,tetapi mempunyai ke mampuan besar dalam pengambilan
zat anestesi ,dalam hal ini dapat melambatkan induksi maupun pemulihan pada pasien yang
gemuk .

Kelompok jaringan sedikit pembulu darah

Ligamen dan tendo ,jaringan ini hampir tidak megambil zat anestesi

Pada pasien yang gemuk [ obesitas ] bisa terjadi reanestesi karena banyaknya obat
anestesi pada jaringan lemak [ terutama yang larut dalam lemak ]

III INDUKSI

Induksi adalah untuk menghantarkan penderita ke stadium operasi . untuk melakukan


induksi dapat di lakukan dengan obat anestesi intravena ,intramuskuler , atau langsung
dengan agen inhalasi . bila dilakukan dengan anestesi inhalasi tergantung dari jenis obat
anestesi inhalasi yang di berikan , maka tehnik tehnik induksinya yang berbeda.

Bila penderita tidak sadar ,maka masalah utama adalah jalan napas ,karena dapat terjadi
sumbatan jalan napas yang bisa parsial atau totol . tanda tanda sumbatan parsial adalah
adanya dengkuran [ snoring ] , ke adaan tercekik [ crowing ] ,bunyi kumur kumur [ gargling ]
atau wheezing ,adanya retraksi dada dan sianosis . bunyi ini tergantung lokasi sumbatannya
, miasalnya snoring adalah akibat pangkal lidah jatuh ke belakang , crowing adalah
sumbatan pada daerah laring , dan wheezing adalah sumbatan pada daerah bronchus .

Pada sumbatan total tidak terdengar atau terasa aliran udara dari mulut / hidung , adanya
retraksi supraclavikular ,retraksi intercostal , dada tidak mengembang bila di lakukan
ventilasi / inflasi paru , dan juga sianosis .
Masalah lain selama induksi anestesi adalah sungkup muka [ face mask ] yang tidak rapat
[ misalnya hidung yang terlalu mancung ,pasien ompong ,atau janggutnya sangat lebat ]
,depresi napas ,batuk ,spasme laring ,adanya mukus dan saliva ,atau juga muntah .
semuanya harus segera di tanggulangi . cara penanggulangannya adalah dengan
membebaskan jalan napas ,misalnya dengn tripel manouver safar [extensi kepala ,tarik
angulus mandibula , buka mulut ] ,penghisapan lendir / saliva /muntahan , pasang pipa
orofaring [ mayo ] , intubasi endotraheal ,bahkan kalau tetap tidak bisa membebaskan jalan
napas bis di lakukan cricotirotomi atau trakeastomi .

LARINGOSKOPI DAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL

1 . LARINGOSKOPI

Dalam praktek anestesi , laringoskop di gunakan untuk melihat laring dan struktur di
sekitarnya dengan tujuan utama untuk memasukan pipa endotrakheal melalui glotis ke
dalam trakea .

Laringoskop berbentuk huruf L , peganganya di sebut handle yang berisi batu batre , dan
yang melengkung di sebut BLADE . blade ada yang lurus ada juga yang melengkung .
puncak dari bled pada saat melakukan laringoskopi akan menyentuh epiglotis atau vallecula
[ sudut yang di bentuk oleh lidah dan epiglotis ] yang secar langsung atau tidak langsung
akan menaikan epiglotis sehinga pit suara akan terlihat .

Tehnik melakukan laringoskopi adalah ;

# atur posisi kepala

# insersi blade laringoskop

# sisualisasi epiglotis

# mengangkat epiglotis

# melihat laring dan struktur di sekitarnya

Posisi kepala

Kepala di ganjal dengan bantal setebal + 5 cm

INSERSI BLEDE

Handel di pegang kanan kiri ,jari jari tangan kanan membuka mulut , masukan blade
laringoscop , lidah di dorong ke kiri sehingga kita melihat melalui sisi kanan mulut .
VISUALISASI EPIGLOTIS

Blede di dorong smpai epiglotis trelihat

MENGANGKAT EPIGLOTIS

Ada 2 tehnik ;

1 . cara pertama , untuk blede yang lurus , di masukan ke bawah epiglotis , yang bila
ujungnya di angkat pita suara akan terlihat .

2 . cara ke dua untuk blede yang lengkung ujung blede di letakkan pada valeculla
dengan mengangkat dasar lidah , epiglotis juga akan terangkat dan glotis akan terlihat .

Bagian superior epiglotis di persarapi oleh NIX[ glosopharyngeal ] dan bagian inferior

[ posterior ] oleh N. Laringeal . jadi di sebabkan karena bagian inferior epiglotis tidak di
sentuh dan tidak di stimulasi , blade yang lengkung dapat di gunakan pada light anestesi
tampa menimbulkan spasme laring .

Selama laringoskopi , laringoskop harus di angkat naik turun , jangan di gunakan sebagai
pengungkit dengan gigi atas sebagai titik tumpu karena dapat menimbulkan patahnya gigi .

KOMPLIKASI SELAMA LARINGOSKOPI

Dapat terjadi aberasi , robekan / luka dari mulut , bibir pharing , laring dan
oesophagus .
Kerusakan gigi , gusi , ataupun gigi palsu
Perubahan tekanan darah dan irama jantung . oksigenasi sebelumnya ,
laringoskopi yang cepat dan tidak traumatik akan mengurangi kemungkinan
perubahan perubahan itu .

INTUBASI ENDOTRAKEAL

Ada istilah yang di sebut anestesi endotrakheal , artinya adalah memasukan


gas anestesi ke dalam trakea melalui pipa yang di masukan melalui pipa yang
di masukan melalui laring [ tracheostoma ] ke dalam trakea .
Memasukan pipa tersebut dapat melalui mulut ,[ orotrakheal ] ,hidung
[ nasotraheal ] atau trakhealstoma

INDIKASI INTUBASI ENDOTRAKHEAL

Operasi kepala dan leher , misal craniatomi ,struma .


Operasi intra thorakal
Laparatomi
Operasi dengan posisi lateral atau telungkup
Bila di perkirakan akan sulit membebaskan jalan napas dengan
metoda sederhana [ ektensi kepala ,oropharyngeal airway ]
Pasien yang tidak di pusakan
Prosedur operasi di ana anestesiologi harus jauh dari pasien
Operasi dengn ke mungkinan perdarahan banyak
Pasien dengan keadaan umum buruk
Tehnik anestesi yang khusus ; anestesi hipotensi , anestesi
hipotermi ,
Pedriatik
Bila perlu IPPB [intermiten positif pressure breathing ]
Non operatif [ resusitasi ]

KEUNTUNGAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL

Jalan napas di jamin lancar


Dead space anatomi [ normal 75ml ] berkurang memjadi 25 ml
Ventilasi dapat di kendalikan tampa masuknya gas ke dalam lambung dan
intestin
Resiko aspirasi sekret , darah ,muntahan dapat di kurangi secara drastis
Ventilasi dapat di kendalikan pada pasien dengan posisi terlungkup ,miring
atau posisi lain yang tidak umum
Respirasi dapat di kendalikan , bila kita memakai obat pelemas otot
Mudah melakukan pengisapan sekret dari paru paru

KERUGIAN INTUBASI ENDOTRAKEAL

Dapat meningkatkan resistensi respirasi ,supaya peningkatan resistensi


minimal ,pkailah pipa sebesar mungkin yang bisa masuk ke dalam trakea
Trauma pada bibir,gigi ,tenggorokan ,maupun laring yang menimbulkan suara
serak , nyeri ,atau juga sakit waktu menelan . bila terjadi aberasi mukosa dapat
timbul ephysema ,bila terjadi perporasi membran dapat terjadi mediastinitis .

ALAT ALAT YANG DI PAKAI

Pipa endotrakheal [ ett endotracheal tube ]

Bahan dapat di buat dari karet sintesis , polyethylene ,atau PVC[ polyviny chloride ]

Tipe ETT bisa yang non kingking [ spiral ] yang di buat dari spiral coil nilon atau
kawat yang di tanam di dalam lateks . yang kingking tampa sepiral .

Bentuknya bisa singel lumen atau doubel lumen


ETT untuk pedriatik umumnya tampa balon [ cuff ] , cuff ini harus bi periksa dulu
sebelum di gunakan apakah bocor atau tidak , setelah intubasi cuff di isi udara 5 ml 10 ml
hanya sampai tidak terdengarsuara ke bocoran bila di ventilasi .

Yang paling umum dan sering di gunakan adalah dari bahan PVC karena ;

# pipanya lunak dengan suhu tubuh akan menyesuaikan diri dengan anatomi saluran
napas sehingga kurang mengiritasi trakea

# kecenderungan untuk terjadi kingking lebih rendah dari pada pipa karet

Nomer ETT adalah ukuran diameter interna dalam mm , misalnya ETT no 8 artinya diameter
internanya 8 mm .

Stylet

Stylet harus di lumbrikasi sebelum di masukan ke dalam ETT . ujung stylet tidak boleh
keluar melewati ujung ETT, sebab ada resiko injuri pada fosa pyriformis , membran crico
thiroid , membran cricopharingeal dengan akibat terjadinya empisema subcutis ,
mediastinitis , pnemotorak .

OROPHARYNGEAL AIRWAY

Pemasangan saat induksi anestesi adalah untuk mencegah obstruksi jalan napas
akibat jatuhnya pangkal lidah di sebabkan rileknya lidah dan jaringan lunak pharing . setelah
di lakukan intubasi berguna untuk mencegah tergigitnya pipa endotracheal , memudahkan
penghisapan lendir .

Komplikasi ;

Pemasangan yang tidak betul akan mendorong lidah pada hipopharing sehingga
terjadi obtruksi jalan napas .
Lepasnya gigi karena pasien menggigit oropharingeal airway
Bila terlalu panjang ujungny akan menyentuh epiglotis tau pita suara , sehingga bisa
terjadi batuk batuk atau spasme laring .
Bila terlalu panjang , pada operasi yang lama bisa menimbulkan odem pharing dan
sakit menelan .

PHARINGEAL PACK [ TAMPON ]

Pharingeal pack di pakai bila tidak menggunakan ETTdengan cuff , di pasang


pada ke dua sisi ETT sampai cukup menyumbat pharing untuk mencegah terjadinya aspirasi
, ujungnya harus keluar dari mulut agar kita tidak lupa mengeluarkannya sewaktu melakukan
extubasi .

Lumbricant

Lumbrikan di pakai untuk melicinkan ETT bila akan melakukan intubasi nasotrakeal ,
untuk melicinkan stylet yang akan di masukan ke dalam ETT atau untuk melicinkan pipa
nasogastrik

Anestesi lokal semprot

anestesi lokal semprot di gunakan untuk anestesi lokal pharing dan laring .

Kateter Suction

kateter section hrus di sediakan dalam berbagai ukuran untuk menghisap lendir di
paring , laring , trakea dan bronhus .

Trakea bisa di imtubasi melalui mulut , hidung atau stoma trakheal . intubasi bisa
di lakukan dalam anestesi ringan dengan obat pelemas otot atau dalam ke adaan sadar
[ awake intubasi ] , setelah melalui pita suara , cuff di isi dengan udara secukupnya sampai
tidak terdengar ke bocoran udara saat di ventilasi [ tekanan ,< 25 mmhg cuff tersebut harus
ada di sebelah pita distal pita suara . bila ETT tidak mempunyai cuff harus di masukan
smpai 3 4 cm , pada distal pita suara [ pada dewasa ] atau 12 cm distal pita suara
[ pada anak anak ]

Intubasi nasotrakheal di lakukan bila ada indikasi sebagai berikut ;

# operasi di daerah rongga mulut

# operasi maxillofasial

# keadaan keadaan di mana tidak mungkin di lakukan intubasi endotrakheal

Intubasi nasotraheal dapat di lakukan dengan bantuan anestesi umum anestesi lokal
[ awake ]

EXTUBASI

Ektubasi di lakukan bila operasi sudah selesai , napas adekuat . pemakaian


extubasi di lakukan pada light anestesi bisa terjadi komplikasi batuk batuk , spasme laring
dan spasme bronhus .
KOMPLIKASI INTUBASI ENDOTRAKEAL

Tedapat beberapa macam komplikasi intubasi endotrakeal yaitu ;

Trauma saat intubasi

Pada intubasi nasotraheal terjadi perdarahan di hidung

ETTatau stylet dapat menimbulkan injuri mukosa mulut , pharing dan

Laring

Imtubasi endotraheal

Bila pipa di masukan terlalu dalam bisa masuk ke bronhus primer kanan sehingga bisa
terjadi obstruksi , atelektasis , collap dari paru paru kiri dan lobus atas paru paru kanan .
maka tiap kali melakukan intubasi harus di periksa supaya ventilasi pada ke dua paru paru
sama dengan cara ;

Periksa pergerakan dada , harus sama kanan kiri dengan auskultasi


Dengn melihat monitor saturasi O2 karena intubasi endotrakeal akan
menurunkan saturasi

Intubasi oesophgeal

Laringitis , suara serak , nyeri tenggorokan

Tracheal stenosis

Granuloma laring

STADIUM ANESTESI

Untuk menentukan kapan penderita bisa di operasi , kita harus mengetahui


stadium anestesi , bila anestesi di lakukan dengan eter dan tampa premedikasi , maka kita
lihat stadium anestesi seperti berikut yang di sebut GUEDEL SING

STADIUM 1 :

Stadium analgesia , stadium disorientasi adalah mulai dari induksi sampai hilngnya
kesadaran . ada yang membagi atas III plana ,

Plana I ; penderita masih bangun belum ada amnesia dan analgesia

Plana 2 ; analgesi parsial dan amnesia total


Plana 3 ; amnesia dan analgesia total

STADIUM 2 :

Stadium exsistasi , dari mulai hilannya kesadaran sampai timbulnya napas reguler , pada
stadium ini bisa terjadi spasme laring , muntah , pasien bergerak gerak , menahan napas
,batuk .

STADIUM 3 :

stadium operasi , dari mulai napas reguler sampai paraliis respirasi

plana 1 : dari napas reguler sampai pergerakan bola mata negatif

plana 2 : dari pergerakan bola mata negatif sampai mulai paralisis intercostal

plana 3 : mulai paralisis interkostal sampai paralisis interkostal lengkap

plana 4 : mulai paralisis interkostal lengkap sampai paralisis diafraghma

STADIUM 4 :

Stadium overdosis , dri paralisis diafraghma sampai apnue dan meninggal . pada stadium ini
semua reflek negatif dan pupil dilatasi .

Apabila menggunakan balan anestesi dengan N2O / O2 di sertai halotan , enfluran ,


isofluran atau sevofluran ,seta narkotik sebagai analgetik , maka stadium anestesi hanyalah
berdasarkan skoring klinis yang di sebut PRST scoring

PRST singkatan dari :

P : pressure [ sistolik arterial pressur ]

R : rate [ heart rate ]

S: sweat

T : tears atau lakrimation

PRST SCOING INDEXES


INDEX CONDITION SCO RE
Systolic aterial pessure Less than control+ 15 0
less than control + 30 1
more than control + 30 2
Heart rete [ beats / minute] less than contorol + 15 0
Less than control + 30 1
More than control + 30 2
Sweat Nil 0
Skin moist to touch 1
wh excess tears 2
Tears or lacrimation no excess tears when 0
eyelids open
excess tears visible when 1
eyelids open
tears overflow from closed 2
eyelids

SCORE 2 --- 4 : ADEQUATE ANESTHETIC

TIVA [ TOTAL INTRA VENOUS ANAESTESIA ]

Tiva adalah suatu tehnik anestesi yang menguntungkan , bukan saja untuk pasien tapi juga
untuk dokter dan perawat yang mengelola pasien tersebut di kamar operasi dan ruang
pemulihan . tetapi sayangnya hanya di lakukan oleh sebagian kecil anestesis . MENGAPA ?
ada beerapa alasan , salah satunya adalah anestetis yang adekuat , pasien bergerak
gerak , awareness dan opeator tidak puas .

Tiva adalah tehnik anestesi seimbang di mana tedapat trias anestesi , yaitu hipnotik ,
analgetik , dan relaksasi . hipnotik dapat di peroleh dengan obat anestesi intravena
pentotal , popofol , ketamin , midazolam . analgetik dengan petidin , morpin , fentanil ,
alfentanil , atau sufentanil . relaksasi dengan pankuranium vekuronium , atrakurium

Syarat obat yang ideal untuk TIVA adalah ;

Larut dalam air

Larutan yang stabil , tidak berubah bila kena cahaya

Tidak di serap oleh selang plastik dari infus set

Tidak merusak vena [ sakit waktu suntikan , plebitis ,atau tombosis ] atau

Kerusakan jaringan bila ada ekstravasasi atau suntikan intra arteri


Lama kerjanya pendek

Metabolitnya in aktif , non toksik dan larut dalam air

Efek pada kardio vaskuler dan respirasi minimal

Indikasi anestesi intravena ;

Sebagai alternatif lain dari anestesi inhalasi


Sedasi pada anestesi regional
Untuk one day surgery di perlukan pemulihan yang cepat dan lengkap
Dalam ke adaan tertentu di mana pemberian N2O tidak menguntungkan
Mencegah awareness selama cardio pulmoner by pass , untuk proteksi
otak pada periode iskemia otak
Pemilihan obat tergantung dari sifat farmkologi obat tersebut

Ada hal hal yang tidak memguntungkan dalam pemakaian TIVA ,misalnya

Ke sulitan ke adekuatan anestesi terutama pada pasien yang paralisis ,


sehingga kemungkinan menjadi awareness
Adanya depresi napas pada periode pasca bedah akibat efek narkotik
Memerlukan infusion pump
Pengontrolan ke dalaman anestesi tidak mudah seperti anestesi inhalasi

Komplikasi dan efek samping seperti mual muntah , rasa sakit hebat ,lama bangun ,
maupun pusing akan memperlambat pasien tinggal di ruang pemulihan , maka pemilihan
obat anestesi menjadi faktor penting untuk menghilangkan komplikasi ini .

TIVA dapat di berikan secara bolus , intermiten atau kontinyu . tehnik pemberian kontinyu
mempunyai efek samping yang lebih kecil dan pemulihan yang lebih cepat dari pada
pemberian secara intermiten [ WHITE , 1983 ; WHITE DKK 1986 ]

Tetapi manakah yang lebih baik antara TIVA dengan anestesi inhalasi untuk pasien bedah
rawat jalan sampai sekarang maih kontroversial

Anstesi intravena paling sering di gunakan untuk induksi karena cara pemberiannya mudah ,
onsetnya cepat dan ke berhasilannya tinggi . pemeliharaan anestesinya dengan N20 / 02 +
volatile anastetik

Obat anestesi yang ideal adalah :

Harus non iritan pada jaingan


Mula kerja cepat ,lama kerja pendek
Tampa efek eksitatori
Tidak mendepresi kardiovaskuler
Punya efek analgesi dan amnesia
Menghasilkan kondisi operasi yang baik
Pemulihan yang cepat dan penuh
Tampa efek samping
Tidak menyebabkan mual dan muntah

Walaupun obat anestesi yang ideal belom ada , tetapi beberapa obat tetap masih bisa di
gunakan , tergantung dari tujuannya misalnya ;

Untuk operasi pasien yang ICP nya tinggi dapat di pakai tiva dengan pentotal +
norkuron + fentanil
Untuk bedah rawat jalan dengan ;
Pentotal 5mg / kg + ketamin 1 mg / kg
Propofol 2,5 mg / kg + fentanil 3 ug / kg
Propofol 2,5 mg / kg + ketamin 1 mg / kg
Untuk sedasi pada regional anestesi dapat dengan midazolam , propofol , atau
ketamin

Pentotal seperti halnya golongan barbiturat lainnya yaitu methohexiton dan


pentobarbiton merupakan suatu obat hipnotik yang pada dosis tertentu dapat berkerja
sebagai obat anestesis . tetapi kebanyakan obat ini mempunyai mula kerja yang lambat dan
lama kerja yang lama , karena itu mempunyai nilai yang kecil untuk praktek anestesi .

Brooks dkk [ 1948 ] menunjukan bahwa fase pertama adalah adanya redistribusi yang
sangat cepat kepada jaringan bukan neuron . kembalinya kesadaran setelah pentotal
anestesi terutama di sebabkan karena adanya redistribusi ke jaringan lain di luar jaringan
otok , bukan di sebabkan karena obat tersebut di metabolisme .

Pentotal walaupun tidak seideal yang di syaratkan , mempunyai beberapa keuntungan


tertentu yaitu onsetnya yang cepat , selalu bekerja , induksi mulus , larut dalam air , kejadian
alergi sangat rendah , dan pada pemberian yang hati hati depresi napas tidak merupakan
masalah terutama jika penderita tidak di premedikasi

Kerugiannya adalah larutan tidak stabil , PH nya tinggi dan iritan bila terjadi extravasasi ,
hiperalgesi pada dosis rendah , tidak mempunyai efek analgesi pada dosis klinik , tidak
menimbulkan relaksasi otot pada dosis yang aman dan bersifat phorphyrogenik , serta
kumulatif efek .

Pentotal kontinyu dapat di lakukan dengan ;

Melarutkan pentotal pada cairan infus dalam botol infus dan di berikan
secara tetes dengan kecepatan tertentu
Atau di larutkan di dalam syringe kemudian di berikan ke pasien dengan
kecepatan tertentu melalui syring pump
Melalui komputer, dengan cara ini di peroleh hasil pemberian dosis yang
betul betul sesuai dengan kebutuhan

Karena ada efek kumulatif , pentotal tidak di sukai pada TIVA karena menimbulkan efek
eksesif somnolen . tetapi keadaan ini dapat di kurangi dengan cara mengatur dosis dan
pentotal di hentikan 30 menit sebelum operasi selesai .

Seperti halnya etomidate, yang menimbulkan mual dan muntah sampai 30 40 % kasus ,
maka pentotal dan etomidate jarang di gunakan untuk TIVA, tetapi bila keadaan dimana kita
tidak mempunyai obat lain kecuali pentotal , ketamin , dan eter , maka pemilihan TIVA
dengan pentotal akan lebih menyenangkan pasien dari pada dengan eter dan ketamin .
sekarang ini , TIVA dengan pentotal hanya di gunakan untuk anestesi bedah saraf.

Monitoring

Alat monitoring yang dipasang adalah standar monitoring di ruang operasi, yang disebut
satndar monitoring untuk anestesi adalah tekanan darah non invasif, pulse oxymetri, EKG,
nerve stimulator (untuk mengukur TOF), kapnometer.

OBAT OBAT ANESTESI UMUM

I. ANESTETIK INHALASI

A. NITROUS OKSIDA (N2O)

N2O merupakan satu satunya agen anestetik anorganik yang digunakan di klinik. N 2O
memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak mudah meledak, dan tidak mudah
terbakar. Tidak seperti agen anestetik yang poten, N2O berbentuk gas pada suhu
ruangan dan tekanan ambien (Morgan, 2006).
N2O memiliki berat molekul rendah, berpotensi rendah, dan kelarutan di darah yang
rendah (0.46), yang lebih sering digunakan bersama opioid atau anestetik inhalasi untuk
menghasilkan anestesi umum. Efek analgesik bersifat prominen, menimbulkan relaksasi
minimal dari otot skelet (Stoelting, 2006).

Tabel 1. Koefisien Partisi Anestetik Volatil

Agen Inhalasi Darah/ Gas Otak/ Darah Otot/ Darah Lemak/ Darah

Nitrous Oksida 0.47 1.1 1.2 2.3

Halotan 2.4 2.9 3.5 60


Isofluran 1.4 2.6 4.0 45

Desfluran 0.42 1.3 2.0 27

Sevofluran 0.65 1.7 3.1 48

(Morgan, 2006)
Tabel 2. Properti Anestetik Inhalasi

Agen Inhalasi N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran

Berat Molekul 44 197 184 184 168 200

Titik Didih (OC) 50.2 56.5 48.5 22.8 58.5

Tekanan Uap (mmHg; Gas 244 172 240 669 170


20OC)

Aroma Manis Organik Eter Eter Eter Eter

Pengawet Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak

Stabil pada soda lime Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak

Koefisien Partisi Gas : 0.46 2.54 1.90 1.46 0.42 0.69


Darah

MAC 104 0.75 1.63 1.17 6.6 1.8

(Stoelting, 2006)

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler

N2O cenderung menstimulasi sistem saraf simpatis. N2O secara langsung


mendepresi kontraktilitas miokard, tetapi tekanan darah arterial, cardiac output, dan
denyut jantung tidak berubah atau meningkat sedikit akibat stimulasi katekolamin.
Penurunan tekanan darah arteri dapat menyebabkan iskemia miokard. Konstriksi
otot polos vaskuler pulmonal meningkatkan resistensi vaskuler pulmonal, yang
mengakibatkan peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kanan. Resistensi
vaskuler perifer tidak berubah signifikan. N2O meningkatkan kadar katekolamin
endogen, yang dihubungkan dengan insiden tinggi dari aritmia yang dipengaruhi
epinefrin (Morgan, 2006).

N2O tidak merubah atau sedikit meningkatkan tekanan darah sistemik. N2O juga
akan mendepresi sinus caroticus. N2O sedikit meningkatkan cardiac output,
disebabkan efek simpatomimetik ringan dari N2O. Efek depresan miokard langsung
diimbangi oleh efek simpatomimetik. N2O tidak mengubah resistensi vaskuler
sistemik. N2O menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah kutaneus. Efek
simpatomimetik lebih terlihat saat N 2O diberikan bersama halotan. Efek
simpatomimetik menunjukkan adanya aktivasi dari nukleus otak yang meregulasi
pengeluaran adrenergik dari sistem saraf pusat. Stimulasi sistem saraf simpatis
juga terjadi karena N2O menghambat ambilan nor epinefrin oleh paru, sehingga
mengakibatkan lebih banyak neurotransmiter yang menempel pada reseptor. Opioid
menghambat efek simpatomimetik, sehingga menyembunyikan efek depresan
langsung pada miokard (Stoelting, 2006).

2) Respirasi

N2O meningkatkan frekuensi pernapasan dan menurunkan volume tidal akibat


stimulasi sistem saraf pusat dan aktivasi reseptor regangan paru (> 1 MAC). Efek
bersih yang dihasilkan adalah perubahan minimal pada ventilasi semenit (MV) dan
kadar CO2 arteri saat istirahat. Hypoxic drive, yang merupakan respon ventilasi
terhadap hipoksia arterial yang dimediasi oleh kemoreseptor perifer di sinus
caroticus, terdepresi oleh sejumlah kecil N2O (Morgan, 2006).

N2O akan mendepresi respon ventilasi terhadap hipoksemia yang secara normal di
mediasi oleh sinus caroticus. N2O tidak meningkatkan PaCO2 (Stoelting, 2006).

3) Serebral

Melalui peningkatan CBF dan volume darah serebral, N2O menghasilkan elevasi
ringan pada TIK. N2O meningkatkan CMRO2. N2O tidak menimbulkan amnesia
retrograd atau gangguan fungsi intelektual. Meskipun jarang, aktivitas kejang tonik
klonik terjadi setelah pemberian N2O pada anak sehat. N2O merupakan vasodilator
serebral yang lebih poten dibanding isofluran. N2O tidak meningkatkan produksi CSF
(Stoelting, 2006).

4) Neuromuskuler

N2O tidak menyebabkan otot skelet relaksasi, dan dengan dosis > 1 MAC (diberikan
dalam ruang hiperbarik) akan menghasilkan rigiditas otot skelet. N2O tidak memiliki
efek penghambat neuromuskuler. N2O merupakan pencetus hipertermia maligna
yang lemah (Stoelting, 2006).

5) Renal

N2O menurunkan RBF melalui peningkatan resistensi vaskuler ginjal. Hal ini
menyebabkan penurunan GFR dan output urin (Morgan, 2006).

6) Hepar
Aliran darah hepar berkurang selama pemberian N2O, tetapi terkecil di antara agen
volatil (Morgan, 2006).

7) Gastrointestinal

N2O merupakan penyebab mual dan muntah paska operasi akibat aktivasi dari
chemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di medulla.

Interaksi Obat

Penggunaan N2O menurunkan kebutuhan agen volatil lain (65% N2O menurunkan MAC
dari agen volatil sampai 50%). N2O mempotensiasi efek hambatan neuromuskuler
(Morgan, 2006).

B. HALOTAN

Halotan merupakan derivat alkana terhalogenasi. Ikatan trifluorokarbon akan


memberikan stabilitas secara molekuler, sehingga tidak mudah terbakar dan meledak.
Pada suhu ruangan berbentuk cairan bening. Bentuk uap dari halotan memiliki bau
manis dan tidak menyengat (Stoelting, 2006).

Timol sebagai pengawet dan botol berwarna kemerahan dapat mencegah terjadinya
dekomposisi oksidatif spontan (Morgan, 2006).

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler

Halotan dengan MAC 2 menyebabkan penurunan tekanan darah dan cardiac output
sampai 50%. Penurunan tekanan darah arterial disebabkan karena depresi miokard
langsung. Depresi cardiac menyebabkan peningkatan tekanan atrial kanan. Halotan
merupakan vasodilator arteri coronaria, tetapi aliran darah koroner berkurang karena
tekanan arterial sistemik menurun. Perfusi miokard adekuat dipertahankan dengan
mengurangi kebutuhan O2. Perlambatan konduksi nodus SA dapat menimbulkan
junctional rhytm, atau bradikardia. Meskipun aliran darah ke organ di redistribusi,
resistensi vaskuler sistemik tetap tidak berubah (Morgan, 2006).

Halotan juga menurunkan kecepatan konduksi impuls nodus AV dan sistem his
purkinje. Halotan tidak meningkatkan heart rate (Stoelting, 2006). Halotan dapat
menurunkan dosis epinefrin yang dapat mencetuskan ventrikular cardiac dysrhytmia.
Halotan memperpanjang interval QTc pada ECG (Stoelting, 2006).

2) Respirasi

Halotan menimbulkan pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan frekuensi tidak


dapat mengimbangi penurunan volume tidal sehingga ventilasi alveolar turun dan
PaCO2 istirahat meningkat. Efek ventilasi halotan disebabkan oleh mekanisme
sentral (depresi medulla) dan perifer (disfungsi otot intercostal). Halotan merupakan
bronkhodilator poten. Aksi halotan tidak dihambat oleh propanolol. Halotan
melemahkan reflek saluran pernapasan dan relaksasi otot polos bronkhus melalui
penghambatan mobilisasi kalsium intrasel. Halotan menekan pembersihan mukus
dari saluran pernapasan (fungsi mukosiliar) menyebabkan atelektasis dan hipoksia
paska operasi (Morgan, 2006).

3) Serebral

Melalui dilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi vaskuler


serebral dan meningkatkan CBF. Peningkatan TIK dapat dicegah melalui
hiperventilasi sebelum pemberian halotan. Aktivitas serebral akan menurun pada
pemberian halotan (Morgan, 2006).

Electrical silent terjadi pada konsentrasi halotan yang tinggi yang tidak dapat diterima
(> 3.5 MAC). Penurunan kebutuhan O2 metabolik serebral dihasilkan pada
pemberian halotan (Stoelting, 2006).

4) Neuromuskuler

Halotan menghasilkan relaksasi otot skelet. Halotan mempotensiasi efek obat


penghambat neuromuskuler. Halotan merupakan pencetus hipertermia maligna yang
paling poten (Stoelting, 2006).

5) Renal

Halotan menurunkan RBF, GFR, dan output urin. Penurunan RBF lebih besar dari
GFR, sehingga fraksi filtrasi meningkat (Morgan, 2006). Pada pemakaian halotan
tidak dijumpai adanya efek nefrotoksik (Stoelting, 2006).

6) Hepar

Halotan menyebabkan penurunan aliran darah hepar sesuai dengan depresi cardiac
output. Vasospasme arteri hepatica ditemukan pada anestesi dengan halotan.
Halotan mengganggu proses metabolisme dan pembersihan dari beberapa obat
(fentanil, fenitoin, verapamil) (Morgan, 2006).

Halotan bekerja sebagai vasokonstriktor pada sirkulasi hepar. Halotan


mengakibatkan 2 tipe hepatotoksik pada pasien yang rentan, yaitu :

- Hepatotoksisitas post operatif yang self limiting

Ditandai dengan nausea, letargia, panas, dan peningkatan sedikit konsentrasi


enzim transaminase hepar pada plasma.

- Halotan hepatitis

Terjadi pada 1 : 10.000 30.000 pasien dewasa, dan dapat berakibat nekrosis
hepar yang masif dan kematian (Stoelting, 2006)

Biotransformasi

Halotan akan mengalami metabolisme oksidatif oleh enzim sitokrom P 450 saat O2
berlimpah, dan akan mengalami metabolisme reduktif saat PO2 hepatik menurun.

a) Metabolisme Oksidatif

Metabolit oksidatif utama dari halotan yang diakibatkan metabolisme dari enzim
sitokrom P 450 adalah asam trifluororasetat, klorida, dan bromida.

b) Metabolisme Reduktif

Terjadi saat terdapat hipoksia hepatosit dan induksi enzim . Metabolit reduktif dari
halotan adalah fluorida dan produk volatil (Stoelting, 2006).

Kontra Indikasi

Pemberian halotan pada pasien dengan disfungsi hepar harus dipertimbangkan.


Hepatitis halotan ditemukan pada orang dewasa dan anak pubertas, pemilihan anestetik
inhalasi lain lebih dianjurkan. Pemberian halotan pada pasien dengan lesi massa intra
kranial harus dengan pengawasan ketat karena dapat menyebabkan hipertensi intra
kranial. Pasien dengan hipovolemia dan beberapa pasien dengan penyakit jantung berat
tidak dapat mentolerir efek inotropik negatif halotan (Morgan, 2006).
Interaksi Obat

Depresi miokard dieksaserbasi oleh agen penghambat adrenergik dan penghambat


calcium channel. Kombinasi halotan dengan aminofilin menghasilkan aritmia ventrikel
yang berat (Morgan, 2006).

C. ENFLURAN

Enfluran merupakan metil etil eter terhalogenasi yang pada suhu ruangan berbentuk
cairan bening, mudah menguap dan tidak mudah terbakar. Enfluran memiliki bau
menyengat. Derajat kelarutan dalam darah sedang, potensi tinggi, sehingga memiliki
onset dan pemulihan anestesi yang cepat (Stoelting, 2006).

D. ISOFLURAN

Isofluran merupakan metil etil eter terhalogenasi yang pada suhu ruangan berbentuk
cairan bening, mudah menguap dan tidak mudah terbakar. Isofluran memiliki bau
menyengat. Derajat kelarutan dalam darah sedang, potensi tinggi, sehingga memiliki
onset dan pemulihan anestesi yang cepat (Stoelting, 2006).

Meskipun isofluran merupakan isomer dari enfluran, isofluran memiliki sifat fisikokimia
yang berbeda. Isofluran tidak memerlukan tambahan pengawet dikarenakan
stabilitasnya (Stoelting, 2006).

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler

Depresi cardiac minimal terjadi pada pemberian isofluran. Cardiac output dipelihara
dengan peningkatan denyut jantung karena pemeliharaan baroreflek sinus caroticus.
Stimulasi ringan adrenergik meningkatkan aliran darah otot skelet, menurunkan
resistensi vaskuler sistemik, dan menurunkan tekanan darah arterial. Isofluran
mendilatasi arteri coronaria, tetapi tidak poten (Morgan, 2006).
Pada neonatus, pemberian isofluran menyebabkan penurunan respon reflek sinus
caroticus, yang terlihat dari penurunan tekanan darah tanpa disertai peningkatan
denyut jantung. Isofluran meningkatkan tekanan atrial kanan dan aliran darah
cutaneus. Isofluran memperpanjang interval QTc pada ECG. Isofluran merupakan
vasodilator koroner (Stoelting, 2006).
2) Respirasi

Depresi respirasi terjadi selama anestesi dengan isofluran. Penurunan pada ventilasi
semenit. Isofluran merupakan bronkhodilator yang baik tetapi tidak sebaik halotan
(Morgan, 2006).

3) Serebral

Pada konsentrasi > 1 MAC, isofluran meningkatkan CBF dan TIK. Isofluran
mengurangi kebutuhan O2 metabolik serebral, dan pada 2 MAC isofluran
menghasilkan electrical silent dari EEG (Morgan, 2006).

4) Neuromuskuler

Isofluran merelaksasikan otot skelet. Isofluran menghasilkan peningkatan efek obat


penghambat neuromuskuler. Isofluran dapat mencetuskan hipertermia maligna
(Morgan, 2006).

5) Renal

Isofluran menurunkan RBF, GFR, dan output urin (Morgan, 2006).

6) Hepar

Total aliran darah hepar (aliran arteri hepatica dan vena porta) berkurang selama
anestesi dengan isofluran. Suplai O2 hepar lebih terjaga dengan isofluran di banding
halotan. Fungsi hepar sedikit dipengaruhi (Morgan, 2006).

Biotransformasi

Isofluran di metabolisme menjadi asam trifluoroasetat.

Kontra Indikasi

Pasien dengan hipovolemia berat tidak dapat mentolerir efek vasodilatasi yang
dihasilkan dari pemberian isofluran.

Interaksi Obat

Epinefrin dapat diberikan sampai dosis lebih dari 4.5 g/ kg. Obat penghambat
neuromuskuler non depolarisasi di potensiasi oleh isofluran (Morgan, 2006).
E. SEVOFLURAN

Sevofluran merupakan metil isopropil eter terfluorinasi. Sevofluran tidak berbau


menyengat, menghasilkan bronkhodilatasi dan menyebabkan iritasi saluran pernapasan
minimal. Koefisien partisi gas : darah menyebabkan induksi dan pemulihan anestesi
cepat setelah penghentian pemberian anestetik. Produk degradasi utama adalah
fluorometil 2, 2 difluoro 1 vinil eter (senyawa A) yang menyebabkan kerusakan
pada tubulus proksimal ginjal (Stoelting, 2006).

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler

Sevofluran secara lemah mendepresi kontraktilitas miokard. Resistensi vaskuler


sistemik dan tekanan darah arterial menurun sedikit di banding isofluran.

2) Respirasi

Sevofluran mendepresi respirasi dan melawan bronkhospasme.

3) Serebral

Sevofluran menyebabkan peningkatan ringan pada CBF dan TIK. Konsentrasi tinggi
dari sevofluran dapat mengganggu autoregulasi dari CBF, yang mengakibatkan
penurunan CBF selama hipotensi hemoragik. Kebutuhan O2 metabolik serebral
menurun (Morgan, 2006).

4) Neuromuskuler

Sevofluran menghasilkan relaksasi otot yang adekuat untuk intubasi anak secara
induksi inhalasi.

5) Renal

Sevofluran menurunkan RBF.

6) Hepar

Sevofluran menurunkan aliran darah vena porta, tetapi meningkatkan aliran darah
arteri hepatica, sehingga dapat memelihara total aliran darah hepatica dan
penghantaran O2.
Kontra Indikasi

Hipovolemia berat dan individu yang rentan terhadap hipertermia maligna, dan hipertensi
intra kranial merupakan kontra indikasi pemberian sevofluran.

Interaksi Obat

Sevofluran mempotensiasi obat penghambat neuromuskuler. Sevofluran tidak


mensensitisasi jantung terhadap aritmia yang disebabkan katekolamin (Morgan, 2006).

II. ANESTETIK NON VOLATIL

Anestesi umum tidak dibatasi pada pemakaian obat inhalasi. Banyak obat yang diberikan
secara oral, intra muskuler, dan intra vena meningkatkan atau menghasilkan status anestesi
dalam rentang dosis terapeutiknya. Sedasi praoperatif, secara sederhana tercapai melalui
oral atau rute intra vena (Morgan, 2006).

BARBITURAT
Gambar 2 Barbiturat memiliki struktur asam barbiturat tetapi berbeda pada
substitusi atom C2, C3, dan N1

Efek pada berbagai Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Dosis induksi barbiturat intra vena menyebabkan suatu penurunan pada tekanan darah
dan peningkatan denyut jantung. Depresi pusat vasomotor medulla menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, yang meningkatkan pengisian darah perifer dan
menurunkan venous return ke atrium kanan. Takikardia mungkin karena efek vagolitik
sentral. Cardiac output dipertahankan oleh peningkatan denyut jantung dan peningkatan
kontraktilitas miokard dari reflek baroreseptor kompensasi. Vasokonstriksi yang diinduksi
secara simpatis pada pembuluh darah meningkatkan resistensi vaskuler perifer. Pada
keadaan tidak ditemukannya respon baroreseptor yang adekuat (hipovolemia atau gagal
jantung kongestif, blokade adrenergik), cardiac output dan tekanan darah arteri
menurun secara dramatis karena pengisian perifer yang tidak terkompensasi dan
depresi miokard secara langsung yang tidak terlindungi. Pada pasien dengan hipertensi
tidak terkontrol ditemukan prone to wide swings pada tekanan darah selama induksi.
Efek kardiovaskuler dari barbiturat tergantung pada status volume, tonus autonom dasar,
dan riwayat penyakit kardiovaskuler. Injeksi perlahan dan hidrasi pre operatif yang
adekuat mengurangi perubahan ini pada kebanyakan pasien.

2) Respirasi
Depresi pusat ventilasi medulla oleh barbiturat menurunkan respon ventilasi terhadap
kondisi hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi barbiturat pada umumnya memicu obstruksi
saluran pernapasan atas. Apneu biasanya mengikuti dosis induksi. Selama pulih sadar,
volume tidal dan frekuensi pernapasan menurun. Barbiturat tidak sepenuhnya menekan
reflek saluran pernapasan dan bronkhospasme pasien asma atau spasme laring pada
pasien yang teranestesi dangkal biasa ditemukan setelah manipulasi saluran
pernapasan. Laringospasme dan hiccup lebih umum terjadi setelah penggunaan dari
methoheksital dibanding thiopental. Bronkhospasme setelah induksi dengan thiopental
disebabkan karena stimulasi saraf kolinergik (dicegah dengan pra medikasi atropin),
pelepasan histamin, atau stimulasi langsung otot polos bronkhus.

3) Serebral
Barbiturat menyebabkan konstriksi pembuluh darah serebral, sehingga terjadi
penurunan aliran darah serebral dan TIK. Penurunan jelas pada TIK melebihi penurunan
tekanan darah arteri, sehingga tekanan perfusi serebral (CPP) meningkat. (CPP adalah
tekanan arteri serebral dikurangi tekanan vena serebral terbesar atau TIK). Penurunan
aliran darah serebral tidak merugikan, karena barbiturat menyebabkan penurunan
konsumsi oksigen cerebral yang besar (hingga 50% dari normal). Perubahan aktivitas
serebral dan kebutuhan oksigen diperlihatkan oleh perubahan pada EEG, dari aktivitas
cepat voltase rendah dengan dosis kecil ke aktivitas lambat voltase tinggi dan ketiadaan
elektrik (supresi) dengan dosis besar barbiturat (bolus thiopental 15 40 mg/ kg yang
diikuti oleh infus 0.5 mg/ kg/ menit).

Barbiturat memberikan perlindungan untuk otak dari episode transien iskemia fokal
(misalnya, emboli serebral) tetapi mungkin tidak iskemia global (misalnya, henti
jantung). Dosis yang diperlukan untuk supresi EEG berhubungan dengan pulih sadar
yang lama, ekstubasi yang tertunda, dan kebutuhan inotropik.

Tingkat depresi sistem saraf pusat yang diinduksi oleh barbiturat mencakup sedasi
ringan hingga tidak sadar, tergantung pada dosis yang diberikan. Tidak seperti opioid,
barbiturat tidak mengganggu persepsi nyeri secara selektif. Barbiturat memiliki efek
antianalgesik dengan menurunkan ambang rasa sakit. Dosis kecil menyebabkan suatu
keadaan gembira dan disorentasi. Barbiturat tidak menghasilkan relaksasi otot, dan
beberapa menginduksi kontraksi otot skelet secara involunter (methoheksital). Dosis
kecil thiopental (50 100 mg intra vena) dengan cepat mengendalikan grand mal
seizure. Toleransi akut dan ketergantungan fisiologis pada efek sedatif barbiturat
berkembang dengan cepat.

Tabel 4. Penggunaan dan Dosis-dosis Barbiturat

Agen Penggunaan Rute Konsentrasi Dosis

Thiopental, Thiamilal Induksi IV 2,5 36

Sedasi IV 2,5 0.5 1.5

Methoheksital Induksi IV 1 12

Sedasi IV 1 0.2 0.4

Induksi Rektal 10 25

Sekobarbital, Premedikasi Oral 5 2 4*


Pentobarbital
IM 2 4*
Rektal 3

* Maximum dosis adalah 150 mg


4) Renal

Barbiturat mengurangi CBF dan GFR sebanding dengan penurunan tekanan darah.

5) Hepar
Aliran darah hepar menurun. Paparan lama barbiturat mempunyai efek berlawanan pada
biotransformasi obat. Induksi enzim hepar meningkatkan tingkat metabolisme dari
beberapa obat (digitoksin), sedangkan kombinasi dengan sistem enzim sitokrom P 450
menghambat biotransformasi dari obat lain (antidepresan trisiklik). Induksi asam
aminolevulinat sintetase merangsang pembentukan porfirin (perantara di dalam sintese
heme), yang dapat mempresipitasi porfiria intermiten akut atau porfiria variegat pada
individu yang peka.

6) Imunologi
Reaksi alergi anafilaktik dan anafilaktoid jarang ditemukan. Thiobarbiturat yang
mengandung sulfur menimbulkan pelepasan histamin mastosit in vitro, sedangkan
oksibarbiturat tidak. Methoheksital lebih dipilih dibanding thiopental atau thiamilal pada
pasien atopik atau asma.

Interaksi obat

Media kontras, sulfonamida, dan obat lain yang menduduki lokasi ikatan protein yang sama
seperti thiopental akan meningkatkan jumlah obat bebas yang ada dan mempotensiasi efek
terhadap sistem organ dari pemberian barbiturat.

Etanol, opioid, antihistamin, dan depresan sistem saraf pusat yang lain mempotensiasi efek
sedatif barbiturat.

Farmakologi Klinis

THIOPENTAL

Sediaan

Untuk penggunaan klinis, thiopental dibuat dalam preparat larutan 2.5%. penggunaan
sediaan 5% tidak direkomendasikan. Larutan thiopental merupakan larutan yang sangat
basa (pH 10.5), stabil dan steril sampai 6 hari . larutan ini kompatibel untuk di campur
dengan opioid, katekolamin, dan pelumpuh otot (Stoelting, 2006).
Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler

Pada pasien normovolemia, thiopental 5 mg/ kg, menyebabkan penurunan sementara


tekanan darah sebesar 10 20 mm Hg yang dikompensasi dengan peningkatan denyut
jantung. Thiopental menimbulkan efek depresi miokard yang minimal hingga tidak ada.
Kompensasi takikardia dan tidak berubahnya kontraktilitas miokard disebabkan
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis perifer yang dimediasi baroreseptor sinus
caroticus (Stoelting, 2006).

Pemberian thiopental intra vena perlahan lebih memungkinkan bekerjanya respon reflek
kompensasi sehingga meminimalkan penurunan tekanan darah sistemik. Pemberian
dosis 50 mg secara perlahan dan bertahap untuk mencapai tujuan klinis utama lebih
baik daripada pemberian dosis tunggal intra vena (Stoelting, 2006).

2) Respirasi

Thiopental menurunkan sensitivitas pusat ventilasi medulla terhadap stimulasi CO2.

3) Serebral

Infus kontinyu thiopental, 4 mg/ kg, menghasilkan EEG isoelektrik yang konsisten
mendekati penurunan maksimal kebutuhan O2 metabolik otak.

4) Hepar

Thiopental menghasilkan penurunan ringan aliran darah hepar. Dosis induksi thiopental
tidak mengganggu tes fungsi hati paska operasi.

5) Renal

Efek thiopental terhadap ginjal yaitu penurunan CBF dan GFR.

6) Reaksi Alergi

Thiopental menghasilkan gejala reaksi alergi tanpa paparan sebelumnya, sebagai reaksi
anafilaktoid (Stoelting, 2006).

BENZODIAZEPIN
Benzodiazepin merupakan obat yang digunakan untuk mendapatkan efek utama
farmakologik :

1) Anxiolisis
2) Sedasi
3) Anti konvulsan
4) Relaksasi otot skelet
5) Amnesia anterograd

Benzodiazepin menggantikan barbiturat untuk medikasi pre operatif dan menghasilkan


sedasi selama anestesi. Midazolam telah mengganti peran diazepam yang diberikan pada
periode selama operasi untuk medikasi pre operatif dan sedasi intra vena (Stoelting, 2006).

Tabel 5. Penggunaan dan Dosis Benzodiazepin

Agen Penggunaan Rute Dosis (mg/kg)

Diazepam Premedikasi Oral 0.2 0.5*

Sedasi IV 0.04 0.2


IV
Induksi 0.3 0.6

Midazolam Premedikasi IM 0.07 0.15

Sedasi IV 0.01 0.1

Induksi IV 0.1 0.4

Lorazepam Premedikasi Oral 0.053

IM 0.03 0.05**

Sedasi IV 0.03 0.04**

Maximum dosis 15 mg ** Tidak direkomendasikan untuk anak

Efek pada Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Benzodiazepin memperlihatkan efek depresan kardiovaskuler yang minimal walaupun
pada dosis induksi. Tekanan darah arteri, cardiac output, dan resistensi vaskuler perifer
sedikit menurun, sedangkan heart rate meningkat. Midazolam cenderung menurunkan
tekanan darah dan resistensi vaskuler perifer lebih dari diazepam. Perubahan dalam
variabilitas heart rate selama sedasi midazolam menandakan adanya tonus vagal yang
menurun (drug induced vagolysis).

Tabel 6. Perbandingan Farmakologis Benzodiazepin

Obat Dosis Distribusi Pengikatan Pembersihan Eliminasi


Ekuivalen Volume Protein Waktu Paruh

(mg) (L/ Kg) (%) (mL/ Kg/ mnt) (jam)

Midazolam 0.15 0.3 1.0 1.5 96 98 68 14

Diazepam 0.3 0.5 1.0 1.5 96 98 0.2 0.5 21 37

Lorazepam 0.05 0.8 1.3 96 98 0.7 1.0 10 20

2) Respirasi
Benzodiazepin menekan respon ventilasi terhadap CO 2. Depresi ini biasanya tidak
signifikan kecuali jika obat diberikan intra vena atau bersama dengan depresan napas
yang lain. Diazepam dan midazolam sudah dapat menimbulkan henti napas. Kurva dose
response yang curam, onset yang sedikit memanjang (dibandingkan dengan thiopental
atau diazepam), dan potensi tinggi dari midazolam mengharuskan titrasi yang seksama
untuk menghindari overdosis dan apneu. Ventilasi harus dimonitor pada semua pasien
yang menerima benzodiazepin intra vena, dan peralatan resusitasi harus tersedia.

3) Serebral
Benzodiazepin menurunkan konsumsi O2 serebral, aliran darah serebral, dan TIK tetapi
tidak setinggi barbiturat. Obat ini sangat efektif dalam mencegah dan mengendalikan
grand mal seizures. Dosis sedatif oral menghasilkan amnesia anterograd. Efek
pelumpuh otot ringan dari obat ini dimediasi pada tingkat medulla spinalis, bukan di
neuromuscular junction. Anxiolisis, amnesia, dan efek sedatif terlihat pada dosis rendah
dan berlanjut ke stupor dan tidak sadar pada dosis induksi. Dibandingkan dengan
thiopental, induksi dengan benzodiazepin menghasilkan penurunan kesadaran lebih
lambat dan pemulihan lebih panjang. Benzodiazepin tidak memiliki efek analgesik
langsung (Morgan, 2006).

Interaksi obat

Simetidin berikatan dengan sitokrom P 450 dan mengurangi metabolisme diazepam.


Eritromisin menginhibisi metabolisme midazolam dan menyebabkan perpanjangan dan
intensifikasi efek 2 3 kali. Heparin memindahkan diazepam dari lokasi ikatan dengan
protein dan meningkatkan konsentrasi obat bebas (peningkatan 200% setelah pemberian
1000 unit heparin).

Kombinasi opioid dengan diazepam menurunkan tekanan darah arterial dan resistensi
vaskuler perifer. Benzodiazepin mengurangi MAC gas anestetik sebesar 30%.

Etanol, barbiturat, dan depresan sistem saraf pusat lain mempotensiasi efek sedatif dari
benzodiazepin.

Farmakologi Klinik

A. MIDAZOLAM
Midazolam merupakan benzodiazepin larut air dengan cincin midazolam yang menjadi
stabil dalam larutan aqueus dan metabolisme yang cepat. Midazolam menggantikan
peran diazepam sebagai medikasi pre operatif dan sedasi. Dibandingkan diazepam,
midazolam 2 3 kali lebih poten. Midazolam memiliki afinitas untuk reseptor
benzodiazepin 2 kali dari diazepam. Efek amnesia midazolam lebih poten daripada efek
sedatif.

Sediaan

Solubilitas cairan dari midazolam menyingkirkan kebutuhan dari persiapan pelarut,


seperti propilen glikol. Midazolam menyebabkan ketidaknyamanan minimal selama atau
setelah injeksi intra vena atau intra muskuler. Midazolam kompatibel dengan larutan
ringer laktat dan dapat dicampur dengan obat lain yang bersifat asam, seperti opioid dan
antikolinergik.

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Midazolam 0.2 mg/ kg intra vena, untuk induksi anestesi memproduksi penurunan
yang lebih besar pada tekanan darah sistemik dan peningkatan denyut jantung
daripada diazepam 0.5 mg/ kg intra vena. Midazolam menginduksi perubahan
hemodinamik yang sama dengan perubahan yang disebabkan oleh thiopental 3 4
mg/ kg intra vena. Cardiac output tidak diubah oleh midazolam, menandakan bahwa
perubahan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi vaskuler sistemik.

2) Respirasi
Midazolam menghasilkan penurunan dalam ventilasi dengan dosis 0.15 mg/ kg intra
vena sama dengan diazepam 0.3 mg/ kg intra vena. Apneu transien dapat terjadi
setelah injeksi dosis besar yang cepat dari midazolam (> 0.15 mg/ kg intra vena),
terutama pada medikasi pre operatif. Midazolam menekan reflek menelan dan
menurunkan aktivitas saluran pernapasan.

3) Serebral
Midazolam menghasilkan penurunan kebutuhan metabolik O2 serebral dan aliran
darah serebral analog terhadap propofol dan barbiturat. Midazolam tidak
menyebabkan EEG isoelektrik. Midazolam menyebabkan penurunan aliran darah
serebral regional dalam area otak yang berhubungan dengan fungsi normal dari
arousal, perhatian, dan memori. Vasomotor serebral sensitif terhadap CO2 selama
anestesi midazolam. Midazolam merupakan alternatif untuk barbiturat pada induksi
anestesi untuk pasien dengan lesi intra kranial. Seperti thiopental, induksi anestesi
dengan midazolam tidak mencegah peningkatan TIK yang berhubungan dengan
laringoskopi direk atau intubasi trakea. Midazolam merupakan anti konvulsan poten
yang efektif untuk terapi status epileptikus.

Penggunaan Klinis

Midazolam paling sering digunakan untuk medikasi pre operatif pada pediatrik.

1) Medikasi Pre Operatif


Midazolam oral sirup 2 mg/ ml, efektif untuk menghasilkan sedasi dan anxiolisis pada
dosis 0.25 mg/ kg dengan efek minimal pada ventilasi. Saturasi O2 diberikan pada
dosis 1 mg/ kg (maksimum 20 mg). Midazolam 0.5 mg/ kg diberikan secara oral 30
menit sebelum induksi menghasilkan sedasi dan anxiolitis pada anak tanpa
pemanjangan pulih sadar. Amnesia retrograd terjadi ketika diberikan secara oral 10
menit sebelum operasi.

2) Sedasi Intravena
Midazolam dosis 1.0 2.5 mg intra vena efektif untuk sedasi selama anestesi
regional. Efek samping yang signifikan adalah depresi ventilasi yang disebabkan
penurunan dalam hipoksia. Efek depresan ventilasi dari midazolam lebih dari
lorazepam dan diazepam. Midazolam menginduksi depresi ventilasi, sinergis dengan
opioid dan obat depresan SSP lainnya.

3) Induksi Anestesi
Induksi anestesi dengan pemberian 0.1 0,2 mg /kg intra vena. Onset
ketidaksadaran difasilitasi ketika opioid mendahului injeksi midazolam
1 3 menit.
4) Pemeliharaan anestesi
Midazolam diberikan sebagai suplemen opioid, propofol, atau anestesi inhalasi
selama pemeliharaan anestesi. Kebutuhan akan agen anestesi menurun dalam dosis
terkait dengan midazolam. Pulih sadar induksi dengan midazolam 1 2.5 kali lebih
lama di banding penggunaan thiopental.

5) Sedasi Pasca Operatif


Pemberian intra vena midazolam jangka panjang (loading dose 0,5 4 mg intra
vena dan dosis pemeliharaan 1 7 jam intra vena) memproduksi sedasi pada pasien
yang diintubasi.

6) Gerakan Paradoks pita suara


Merupakan penyebab obstruksi jalan napas atas non organik dan stridor paska
operasi. Midazolam dosis 0.5 1.0 mg intra vena (Stoelting, 2006).

B. DIAZEPAM
Merupakan benzodiazepin larut lipid tinggi dengan durasi aksi yang lebih panjang di
banding midazolam.

Sediaan

Diazepam dihancurkan dalam pelarut organik (propilen glikol, sodium benzoat) karena
tidak larut air. Larutan dengan pH 6.6 6.9. Injeksi intra muskuler atau intra vena nyeri.

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Diazepam dosis 0.5 1 mg/ kg intra vena menghasilkan penurunan minimal tekanan
darah sistemik, cardiac output dan resistensi vaskuler sistemik.

2) Respirasi
Diazepam menghasilkan efek depresan minimal pada ventilasi yang tampak dengan
tidak terjadinya peningkatan PaCO2 hingga dosis 0,2 mg/ kg intra vena. Efek
depresan ventilasi dipulihkan dengan stimulasi operasi tetapi tidak dengan nalokson.

3) Otot Skelet Neuromuskuler


Efek relaksan otot skelet menggambarkan aksi diazepam pada neuron spinal
internuncial dan tidak beraksi pada hubungan neuromuskuler.
Overdosis

Intoksikasi sistem saraf pusat terjadi pada konsentrasi diazepam plasma lebih dari 1000
ng/ ml.

Penggunaan Klinik

Diazepam merupakan obat medikasi pre operatif untuk dewasa dan benzodiazepin yang
sering dipilih untuk terapi delirium. Efek relaksasi otot skelet sering digunakan dalam tata
laksana penyakit discus lumbal.

Aktivitas Antikonvulsan

Diazepam 0.1 mg/ kg intra vena efektif dalam menghilangkan aktivitas kejang yang
disebabkan lidokain, delirium, dan status epileptikus (Stoelting, 2006).

A. OBAT ANESTESI INTRA VENA NON BARBITURAT


1. KETAMIN
Ketamin merupakan derivat fenisiklidin yang menghasilkan anestesi disorientasi,
ditandai dengan kejadian disosiasi pada EEG antara sistem thalamokortikal dan
limbik. Anestesi disosiasi menyerupai status kataleptik yang menyebabkan mata
tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Ketamin memberi keuntungan daripada
propofol dan etomidat karena larut dalam air dan menghasilkan analgesia yang
cukup pada dosis sub anestesi. Pulih sadar dengan delirium membatasi penggunaan
klinis ketamin. Ketamin tergolong obat potential abuse (Stoelting, 2006).

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Ketamin meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung, dan cardiac output.
Efek kardiovaskular tidak langsung ini adalah karena stimulasi sistem saraf
simpatis sentral dan inhibisi terhadap ambilan ulang dari norepinefrin. Perubahan
dalam peningkatan tekanan arteri pulmoner dan kerja otot jantung juga
ditemukan. Ketamin harus dihindarkan pada pasien dengan penyakit arteri
koroner, tekanan darah tinggi yang tidak terkendali, gagal jantung kongestif, dan
aneurisma arteri. Efek langsung depresan miokard pada dosis ketamin yang
besar, disebabkan karena inhibisi kalsium transien, terbuka oleh blokade simpatis
atau cadangan katekolamin yang makin menipis. Sebaliknya, efek stimulasi tidak
langsung dari ketamin menguntungkan pasien dengan syok hipovolemik akut
(Morgan, 2006).

Tabel 7. Penggunaan dan Dosis dari Ketamin, Etomidat, Propofol, dan Droperidol

Agen Penggunaan Pemberian Dosis

Ketamin Induksi IV 1 2 mg/ kg

IM 3 5 mg/ kg

Etomidat Induksi IV 0.2 0.5 mg/ kg

Propofol Induksi IV 1 2.5 mg/ kg

Pemeliharaan infus IV 50 200 mcg/ kg

Sedasi infus IV 25 100 mg/ kg

Droperidol Premedikasi IM 0.04 0.07 mg/ kg

Sedasi IV 0.02 0.07 mg/ kg

Antiemetik IV 0.05 mg/ kg*

* dosis maksimum dewasa tanpa kedaruratan yang memanjang adalah


1.25 2.5 mg (Morgan, 2006)

Tekanan darah arteri sistemik dan pulmonal, heart rate, cardiac output, cardiac
work, dan kebutuhan oksigen miokard meningkat setelah pemberian ketamin
intra vena. Tekanan darah sistolik meningkat secara progresif selama 3 5 menit
pertama setelah injeksi intra vena ketamin dan kemiudian menurun setelah 10
20 menit (Stoelting, 2006).

2) Respirasi
Gerakan ventilasi sedikit dipengaruhi oleh dosis induksi ketamin, walaupun
pemberian bolus intra vena secara cepat atau medikasi pra operatif dengan
opioid dapat menyebabkan apneu. Ketamin merupakan bronkhodilator poten dan
agen induksi yang baik untuk pasien asma. Meskipun reflek saluran pernapasan
atas sebagian besar tetap terjaga, pasien dengan resiko tinggi terjadinya
pneumonia aspirasi harus diintubasi. Hipersalivasi yang dihubungkan dengan
ketamin dapat dikurangi dengan premedikasi obat antikolinergik (Morgan, 2006).
Tabel 8 Ringkasan Efek Anestetik Nonvolatil pada Sistem Organ

Agen Kardiovaskular Respirasi Serebral

HR MAP Vent B dil CBF CMRO2 ICP

Barbiturat

Tiopental

Thiamilal

Methoheksit 0
al

Benzodiazepin

Diazepam 0/ 0

Lorazepam 0/ 0

Midazolam 0

Opioid

Meperidin

Morfin

Fentanil 0

Sufentanil 0

Alfentanil 0

Remifentanil 0

Ketamin

Etomidat 0 0

Propofol 0 0

Droperidol 0 0 0

Ketamin tidak menghasilkan depresi ventilasi. Respon ventilasi terhadap CO 2


dipertahankan selama anestesi dengan ketamin dan PaO 2 tidak boleh naik > 3
mm Hg (Stoelting, 2006).

3) Serebral
Konsisten dengan efek kardiovaskulernya, ketamin dapat meningkatkan
konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan TIK. Efek ini membatasi
penggunaan pada pasien dengan space occupying lesion intrakranial. Aktivitas
mioklonik dihubungkan dengan peningkatan aktivitas elektrik subkortikal, yang
tidak terlihat nyata EEG. Efek samping psikomimetik yang tidak diinginkan
selama kondisi pemulihan lebih sedikit terjadi pada anak dan pada pasien yang
diberikan premedikasi dengan benzodiazepin. Diantara obat anestesi non volatil,
ketamin merupakan obat anestesi yang lebih mendekati lengkap karena
menghasilkan analgesia, amnesia, dan ketidaksadaran (Morgan, 2006).

4) Hepar
Ketamin tidak mempengaruhi fungsi hepar (Stoelting, 2006).

5) Renal
Ketamin tidak mempengaruhi fungsi renal (Stoelting, 2006).

Interaksi obat

Obat pelumpuh otot non depolarisasi dipotensiasi oleh ketamin. Kombinasi teofilin
dan ketamin merupakan predisposisi untuk terjadinya kejang. Diazepam mengurangi
efek kardiostimulasi dari ketamin dan memperpanjang waktu paruh eliminasi.
Propranolol, fenoksibenzamin, dan antagonis simpatik yang lain membuka efek
depresan miokard yang langsung dari ketamin. Ketamin menghasilkan depresi
miokard ketika diberikan kepada pasien yang dianestesi dengan halotan atau
anestetik volatil yang lain. Litium dapat memperpanjang durasi kerja ketamin
(Morgan, 2006).

Penggunaan Klinis

Ketamin menimbulkan analgesia pada dosis sub anestesi dan menghasilkan induksi
anestesi bila diberikan intra vena pada dosis lebih tinggi. Ketamin termasuk
antisalogogue pada medikasi preoperatif yang direkomendasikan untuk menurunkan
gejala batuk dan laringospasme karena sekresi saliva akibat pemberian ketamin.
a) Analgesia
Analgesia yang kuat dicapai dengan dosis sub anestesi ketamin
0.2 0.5 mg/ kg intra vena. Efek analgesia ketamin adalah primer sesuai
aktivitas di thalamus dan sistem limbik, yang bertanggung jawab terhadap
interpretasi nyeri. Dosis kecil ketamin digunakan sebagai ajuvan opioid analgesia
(Stoelting, 2006).

b) Analgesia Neuroaksial
Efek epidural ketamin relatif kecil, tetapi kombinasi dengan analgesia epidural
sebagai ajuvan, menghasilkan efek sinergis. Pemberian intratekal (50 mg dalam
3 ml salin) menghasilkan analgesia ringan. Ketamin dikombinasikan dengan
epinefrin untuk memperlambat absorpsi (Stoelting, 2006).

c) Induksi Anestesi
Induksi anestesi dihasilkan dengan pemberian ketamin 1 2 mg/ kg intra vena
atau 4 8 mg/ kg intra muskuler. Injeksi ketamin intra vena tidak menimbulkan
nyeri atau iritasi vena. Kesadaran hilang dalam
30 60 detik setelah pemberian intra vena dan 2 4 menit setelah injeksi intra
muskuler. Pulih sadar terjadi dalam 10 20 menit setelah dosis induksi ketamin
diberikan, tetapi orientasi penuh membutuhkan tambahan waktu 60 90 menit.
Induksi anestesi pada pasien akut hipovolemia sering dilakukan dengan ketamin,
dengan keuntungan efek stimulasi kardiovaskuler. Kombinasi dosis sub anestesi
ketamin dengan propofol menghasilkan anestesi dengan hemodinamik yang
lebih stabil dibanding propofol dengan fentanil, untuk mencegah reaksi
pemulihan yang tidak diinginkan dari pemberian ketamin dosis besar.
Keuntungan ketamin pada saluran pernapasan adalah efek bronkhodilatasi yang
menjadikan ketamin sebagai obat pilihan induksi cepat pada pasien asma.
Ketamin sebaiknya dihindari pada pasien dengan hipertensi pulmonal atau
sistemik atau TIK meningkat. Ketamin diberikan pada pasien dengan hipertermia
maligna (Stoelting, 2006).

d) Pemulihan Toleransi Opioid


Pemberian sub anestesi ketamin (0.3 mg/ kg/ jam) menurunkan kejadian
toleransi opioid dan menghasilkan anestesi (Stoelting, 2006).

e) Perbaikan Depresi Mental


Reseptor NMDA untuk glutamat dilibatkan pada patofisiologi depresi mental dan
mekanisme kerja antidepresan. Sebagai antagonis NMDA, ketamin dalam dosis
kecil memperbaiki depresi post operatif pada pasien dengan depresi mental
(Stoelting, 2006).
f) Sindrom Cerebral Restless Leg
Ketamin menghambat neuroinflamasi pada medulla spinalis atau pusat yang
lebih tinggi. Pada medulla spinalis, sindrom restless leg menggambarkan aktivasi
reseptor NMDA dan produksi mediator inflamasi yang dirusak aliran darah
medulla spinalis (Stoelting, 2006).

Efek Samping

a) Sistem Saraf Pusat


Ketamin meningkatkan aliran darah serebral dan CMRO2 (Stoelting, 2006).

b) Tekanan Intrakranial
Pasien dengan lesi intrakranial secara umum lebih mudah mengalami
peningkatan TIK setelah pemberian ketamin (Stoelting, 2006).

2. ETOMIDAT
Hubungan Struktur Aktivitas

Etomidat mengandung imidazol karboksilasi. Nukleus imidazol mengubah etomidat


menjadi larut air pada pH asam dan larut lemak pada pH fisiologis. Formula asli
etomidat mengandung 35% propilen glikol (pH 6.9) yang berperan dalam
menimbulkan nyeri dan iritasi pembuluh darah selama pemberian intra vena
(Stoelting, 2006).

Efek pada Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Etomidat mempunyai efek minimal pada sistem kardiovaskuler. Penurunan
perlahan tekanan darah arteri akibat reduksi ringan resistensi vaskular perifer.
Kontraktilitas miokard dan cardiac output tidak berubah. Etomidat tidak
menyebabkan pelepasan histamin (Morgan, 2006).

Stabilitas kardiovaskuler tercapai dengan induksi anestesi 0.3 mg/ kg intra vena.
Perubahan minimal pada heart rate, stroke volume, atau cardiac output,
sedangkan MAP menurun 15% karena menurunnya resistensi vaskuler sistemik
(Stoelting, 2006).

2) Respirasi
Ventilasi sedikit dipengaruhi oleh etomidat dibandingkan barbiturat dan
benzodiazepin. Dosis induksi biasanya tidak mengakibatkan apneu kecuali jika
opioid juga diberikan (Morgan, 2006).

3) Serebral
Etomidat menurunkan tingkat metabolisme serebral, aliran darah serebral, dan
TIK sama halnya thiopental. Oleh karena efek kardiovaskuler minimal, CPP
terpelihara dengan baik. Meskipun perubahan pada EEG menyerupai hal yang
berhubungan dengan barbiturat, etomidat meningkatkan potensial aksi
somatosensori (Morgan, 2006).

4) Endokrin
Dosis induksi etomidat secara perlahan menginhibisi enzim yang terlibat dalam
sintesis kortisol dan aldosteron. Infus kontinyu akan mengarah kepada supresi
adrenokortikal yang berhubungan dengan peningkatan tingkat mortalitas pada
pasien sakit kritis (Morgan, 2006).

Penggunaan Klinis

Etomidat merupakan alternatif propofol untuk induksi anestesi intra vena, khususnya
bila ada sistem kardiovaskuler yang tidak stabil. Setelah dosis induksi 0.2 0.4 mg/
kg intra vena, onset tidak sadar terjadi dalam waktu sirkulasi obat dari lengan ke
otak. Pulih sadar setelah pemberian etomidat dosis tunggal intra vena lebih cepat
daripada barbiturat dan sedikit atau tidak ada efek kumulatif obat (Stoelting, 2006).

Pemberian opioid sebelum induksi anestesi dengan etomidat berguna untuk


mencegah naiknya respon hemodinamik karena laringoskopi direk dan intubasi
endotrakhea. Etomidat 0.15 0.3 mg/ kg intra vena mempunyai efek minimal pada
durasi yang menyebabkan kejang dan dapat sebagai alternatif obat untuk
menurunkan kejang (propofol, thiopental) pada pasien yang menjalani ECT.
Ditemukan mual dan muntah pada pasien yang diberi etomidat sebagai induksi
anestesi (Stoelting, 2006).

Interaksi obat

Fentanil meningkatkan kadar plasma dan memperpanjang waktu paruh eliminasi dari
etomidat. Opioid menurunkan karakteristik mioklonus dari suatu induksi etomidat
(Morgan, 2006).
3. PROPOFOL
Propofol merupakan pengganti isopropifenol (2, 6 diisopropifenol) yang diberikan
intra vena sebagai larutan 1% dalam larutan aqueus yang terdiri dari 10% minyak
kedelai; 2.25% gliserol; dan 1.2% fosfatida telur yang dipurifikasi. Pemberian
propofol intra vena 1.5 2.5 mg/ kg menimbulkan ketidaksadaran dalam 30 detik.
Kesadaran yang diperoleh setelah induksi anestesi dengan propofol lebih cepat dan
sempurna di banding obat lain yang digunakan untuk induksi anestesi intra vena
(Stoelting, 2006).

Sediaan

Propofol merupakan obat yang tidak larut air dan membutuhkan pembawa lemak
untuk emulsifikasi. Formulasi propofol menggunakan minyak kedelai sebagai fase
lemak dan lesitin telur sebagai agen emulsifikasi yang disusun oleh rantai trigliserida
rantai panjang (Stoelting, 2006).

Campuran propofol dengan obat lain tidak direkomendasikan walaupun lidokain


sering ditambahkan pada propofol untuk mencegah rasa sakit yang timbul saat
penyuntikan intra vena. Campuran antara propofol dengan lidokain dapat
mengakibatkan terbentuknya gabungan droplet minyak yang merupakan faktor risiko
terjadinya emboli pulmonal (Stoelting, 2006).

Efek terhadap Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Efek utama propofol terhadap sistem kardiovaskuler adalah penurunan tekanan
darah arteri akibat resistensi vaskuler sistemik yang menurun drastis (inhibisi
aktivitas vasokonstriktor simpatis), kontraktilitas jantung, dan preload. Hipotensi
lebih jelas dibanding dengan thiopental tetapi ditutupi oleh rangsangan yang
menyertai laringoskopi dan intubasi. Faktor faktor yang memperburuk hipotensi
antara lain dosis yang besar, suntikan cepat, dan umur tua. Propofol dengan
jelas mengganggu respons normal baroreflek arteri menjadi hipotensi, terutama
sekali pada kondisi normokarbia atau hipokarbia. Perubahan pada denyut
jantung dan cardiac output bersifat sementara dan tidak signifikan pada pasien
sehat, tetapi dapat berubah menjadi sangat berat hingga memicu asistol,
terutama pada pasien dengan usia ekstrim, dalam terapi kronotropik negatif, atau
sedang dalam prosedur operasi yang berhubungan dengan reflek oculocardiac.
Pasien dengan fungsi ventrikel yang terganggu dapat mengalami penurunan
drastis pada cardiac output sebagai akibat penurunan tekanan pengisian
ventrikel dan kontraktilitas. Meskipun konsumsi oksigen miokard dan aliran darah
koroner menurun, produksi laktat sinus koroner meningkat pada beberapa
pasien. Hal ini mengindikasikan adanya mismatch antara permintaan dan suplai
oksigen miokard (Morgan, 2006).

Efek inotropik negatif propofol dihasilkan dari penurunan availabilitas sekunder


kalsium intrasel sampai penghambatan influks kalsium transsarkolemal
(Stoelting, 2006).

Efek tekanan darah oleh propofol lebih besar pada pasien hipovolemia, pasien
usia tua, dan pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri yang berhubungan
dengan penyakit arteri koroner (Stoelting, 2006).

Hidrasi adekuat sebelum pemberian propofol intra vena direkomendasikan untuk


meminimalisasi efek tekanan darah yang dihasilkan (Stoelting, 2006).

Penambahan nitrit oksida tidak mengubah efek kardiovaskuler propofol. Respon


terhadap epinefrin meningkat dengan pemberian propofol (Stoelting, 2006).

Bradikardia dan asistol ditemukan setelah induksi anestesi dengan propofol. Hal
ini menyebabkan direkomendasikannya obat anti kolinergik sehubungan dengan
diberikannya propofol (Stoelting, 2006).

2) Respirasi
Propofol merupakan depresan sistem pernapasan yang dalam yang biasanya
menyebabkan apneu setelah dosis induksi. Ketika digunakan untuk pemberian
sedasi yang sadar pada dosis sub anestesi, infus propofol menghambat
pengarah ventilatory hypoxic dan menekan respon normal terhadap hiperkarbia.
Depresi reflek saluran pernapasan atas yang diinduksi oleh propofol melebihi
thiopental dan sangat membantu selama intubasi atau insersi LMA tanpa
pemakaian pelumpuh otot. Propofol dapat menyebabkan pelepasan histamin
(Morgan, 2006).

Infus propofol sebagai terapi pemeliharaan menurunkan volume tidal dan


frekuensi pernapasan. Propofol menyebabkan bronkhodilatasi dan menurunkan
wheezing intraoperatif pada pasien asma.

3) Serebral
Propofol menurunkan kecepatan metabolik oksigen serebral (CMRO2), aliran
darah serebral dan TIK. Pada pasien dengan TIK yang meningkat, propofol dapat
menyebabkan reduksi yang kritis pada CPP (< 50 mm Hg). Propofol dan
thiopental memberikan proteksi serebral yang sama selama iskemia fokal.
Propofol memiliki efek anti pruritus dan efek anti emetik. Induksi dapat disertai
gejala eksitasi seperti kejang otot, gerakan spontan, opistotonus, atau cegukan
mungkin akibat antagonis glisin sub kortikal. Propofol menurunkan tekanan
intraokular (Morgan, 2006).

Pemberian propofol untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan lesi desak
ruang intra kranial tidak meningkatkan TIK. Dosis besar propofol dapat
menurunkan tekanan darah sistemik dan perfusi serebral. Autoregulasi
serebrovaskuler terjadi sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah
sistemik dan reaktivitas aliran darah serebral terhadap perubahan PaCO 2 pada
pemberian propofol dan midazolam (Stoelting, 2006).

4) Hepar
Propofol tidak secara langsung mempengaruhi fungsi hepar (Stoelting, 2006).

5) Renal
Propofol tidak secara langsung mempengaruhi fungsi renal (Stoelting, 2006).

Penggunaan Klinis

Propofol digunakan sebagai obat induksi pilihan untuk berbagai induksi, terutama
ketika pulih sadar dibutuhkan cepat dan sempurna. Pemberian propofol sebagai
infus kontinyu digunakan untuk menimbulkan efek sedasi bagi pasien yang di rawat
di ICU.

1) Induksi Anestesi
Dosis induksi propofol 1.5 2.5 mg/ kg intra vena, dengan konsentrasi di darah
2 6 g/ ml menghasilkan ketidaksadaran pada pasien. Kesadaran terjadi pada
konsentrasi propofol plasma 1 1.5 g/ ml.

2) Sedasi Intra Vena


Pemulihan cepat tanpa efek residual dan insiden nausea dan vomitus yang
rendah membuat propofol lebih sesuai untuk teknik sedasi pada pasien sadar
secara ambulatorik. Dosis khusus untuk sedasi pada pasien sadar 25 100 g/
kg/ menit intra vena, dimana akan menghasilkan efek analgesia minimal dan efek
amnesia. Midazolam dan opioid dapat ditambahkan pada propofol untuk sedasi
intra vena yang kontinyu (Stoelting, 2006).
3) Pemeliharaan Anestesi
Dosis propofol yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi adalah
100 300 g/ kg/ menit intra vena seringkali di kombinasi dengan opioid kerja
singkat (Stoelting, 2006).

4) Efek Anti Emetik


Insiden nausea dan vomitus post operatif menurun ketika propofol diberikan,
tanpa memperhatikan teknik anestesi atau obat anestesi yang digunakan. Dosis
sub hipnotik propofol ( 10 15 mg intra vena) digunakan dalam perawatan post
operatif untuk mengatasi nausea dan vomitus. Konsentrasi propofol plasma
sebagai anti emetik didapat pada dosis tunggal intra vena sebesar 10 mg diikuti
10 g/ kg/ menit (Stoelting, 2006).

Dosis sub hipnotik propofol yang efektif sebagai anti emetik tidak menghambat
pengosongan lambung dan propofol tidak direkomendasikan sebagai prokinetik
(Stoelting, 2006).

5) Efek Anti Pruritus


Propofol 10 mg intra vena efektif dapat mengatasi pruritus yang berhubungan
dengan opioid neuroaksial atau kolestasis (Stoelting, 2006).

6) Aktivitas Anti Konvulsi


Propofol memiliki efek anti epileptik (Stoelting, 2006).

7) Bronkhokonstriksi
Propofol menurunkan prevalensi wheezing setelah induksi anestesi dan intubasi
endotrakheal pada pasien sehat dan penderita asma (Stoelting, 2006).

Interaksi Obat

Pelumpuh otot non depolarisasi dapat dipotensiasi oleh formulasi propofol


sebelumnya, yang berisi cremophor. Formulasi terbaru tidak menimbulkan interaksi
potensiasi.

Konsentrasi fentanil dan alfentanil dapat meningkat pada pemberian propofol secara
bersamaan. Penambahan dosis kecil midazolam sebelum induksi dengan propofol
menghasilkan efek sinergistik (Stoelting, 2006).
B. OPIOID
Opioid menghasilkan analgesia yang unik tanpa disertai kehilangan kesadaran,
propioseptif dan kebingungan. Klasifikasi yang mudah dari opioid antara lain membagi
menjadi agonis opioid, antagonis agonis opioid dan antagonis opioid (Stoelting, 2006).

Tabel 9. Klasifikasi Opioid

Opioid

Morfin

Morfin 6 glukoronida

Meperidin

Sufentanil

Fentanil

Alfentanil

Remifentanil

Kodein

Hidromorfon

Oksimorfon

Oksikodon

Hidrokodon

Propoksifen

Metadon

Tramadol

Heroin

Antagonis Agonis Opioid

Pentazocine

Butorfanol

Nalbufin

Buprenorfin
Nalorfin

Bremazocine

Dezocine

Meptazinol

Antagonis Opioid

Nalokson

Naltrekson

Nalmefen

Opioid menghasilkan beberapa derajat tingkat sedasi, tetapi obat ini paling efektif dalam
menghasilkan efek analgesia. Efek farmakodinamik dari opioid spesifik bergantung pada
reseptor yang diikat, afinitas ikatan, dan aktivasi reseptor. Meski kedua jenis agonis
opioid dan antagonis terikat pada reseptor opioid, hanya agonis yang mampu
mengaktifkan reseptor. Agonis antagonis merupakan obat yang mempunyai aksi
berlawanan pada tipe reseptor yang berbeda (Morgan, 2006).

Endorfin, enkefalin, dan dimorfin adalah peptida endogen yang berikatan pada reseptor
opioid. Tiga peptida opioid ini berbeda pada protein prekursor, distribusi anatomi, dan
afinitas reseptor.

Aktivasi reseptor opioid menginhibisi pelepasan presinaps dan respon postsinaps


terhadap neurotransmiter eksitatori dari neuron nosiseptif. Mekanisme selular untuk
neuromodulasi ini melibatkan perubahan pada konduktansi ion kalium dan ion kalsium.
Transmisi impuls nyeri dapat diinterupsi di tingkat cornu dorsalis medulla spinalis dengan
pemberian opioid di dalam ruang intratekal atau epidural. Modulasi jaras inhibisi
descendens dari substansi griscea periaqueductal sampai nukleus raphe magnus ke
cornu dorsal medulla spinalis juga berperan dalam analgesia opioid. Meski opioid
memberikan efek terbesar di dalam sistem saraf pusat, reseptor opioid juga telah
ditemukan pada saraf perifer somatik dan simpatik (Morgan, 2006).

Tabel 10. Klasifikasi Reseptor Opioid1

Reseptor Pengaruh Klinis Agonis


Analgesia supraspinal ( 1) Morfin

Depresi nafas ( 2) Met enkefalin2

Dependensi fisik endorfin2

Rigiditas otot Fentanil

Sedasi Morfin

Nalbufin

Butorfanol

Dinorfin2

Oksikodon

Analgesia Leu enkefalin2

Tingkah laku endorfin2

Epileptogenk

Disforia Pentazosin

Halusinasi Nalorfin

Stimulasi respirasi Ketamin?

Overdosis opioid menyebabkan depresi pernapasan sampai apneu, miosis, flasid otot
skelet, dan obstruksi saluran pernapasan atas. Trias miosis, hipoventilasi, dan koma
merupakan tanda overdosis opioid. Penatalaksanaan dengan oksigenasi paru dengan
ventilator dan pemberian antagonis opioid (Stoelting, 2006).

Opioid Neuroaksial

Penempatan opioid di ruang epidural atau sub arachnoid untuk mengatasi nyeri akut atau
kronik berdasarkan pada pengetahuan tentang reseptor opioid (reseptor ) yang berada
pada substansia gelatinosa medulla spinalis. Analgesia yang dihasilkan oleh opioid
neuroaksial, pada pemberian opioid intra vena atau anestesi regional dengan anestetik
lokal, tidak berhubungan dengan degenerasi sistem saraf simpatik, kelumpuhan otot skelet,
atau hilangnya persepsi propioseptif. Analgesia berhubungan dengan dosis dan spesifik
untuk nyeri visceral dibanding nyeri somatik. Morfin neuroaksial dapat menurunkan MAC
untuk anestetik volatil (Stoelting, 2006).

Tabel 11. Karakteristik fisik opioid yang menentukan distribusi1

Agen Fraksi Non Ikatan Protein Solubilitas Lemak


ionisasi

Morfin ++ ++ +

Petidin + +++ ++

Fentanil + +++ ++++

Sufentanil ++ ++++ ++++

Alfentanil ++++ ++++ +++

Remifentanil +++ +++ ++


1
+, sangat rendah; ++, rendah; +++, tinggi; ++++,sangat tinggi.

Efek pada Sistem Organ

1) Kardiovaskuler
Opioid tidak mengganggu fungsi kardiovaskuler. Meperidin cenderung meningkatkan
denyut jantung, sedangkan dosis tinggi dari morfin, fentanil, sufentanil, remifentanil, dan
alfentanil berhubungan dengan bradikardia yang dimediasi vagus. Kecuali meperidin,
opioid tidak menekan kontraktilitas jantung. Meskipun begitu, tekanan darah arteri sering
kali menurun akibat dari bradikardia, vasodilatasi vena, dan penurunan reflek simpatis,
kadang memerlukan tambahan vasopressor. Meperidin dan morfin menyebabkan
pelepasan histamin pada beberapa individu yang dapat memicu penurunan yang
signifikan pada resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri. Efek dari
pelepasan histamin dapat diminimalisir pada pasien yang peka dengan cara infus opioid
secara lambat, volume intravaskular cukup, atau pre medikasi dengan antagonis
histamin H1 dan H2 (Morgan, 2006).

Hipertensi intraoperatif selama anestesi opioid, terutama morfin dan meperidin, biasa
terjadi. Seringkali dihubungkan dengan kedalaman anestesi yang tidak adekuat dan
dapat dikendalikan dengan penambahan vasolidator atau agen anestetik volatil.
Kombinasi opioid dengan obat anestetik yang lain dapat mengakibatkan depresi miokard
yang signifikan (Morgan, 2006).

2) Respirasi
Opioid menyebabkan depresi ventilasi, terutama laju respirasi. PaCO 2 istirahat
meningkat dan respon terhadap perubahan CO2 dalam darah menjadi tumpul,
menghasilkan suatu pergeseran dari kurva respon CO 2 mengarah ke bawah dan ke
kanan. Efek ini dimediasi melalui pusat pernapasan di batang otak. Batas apneu kadar
PaCO2 paling tinggi di mana pasien masih apneu meningkat, dan pengarah hipoksik
menurun. Perbedaan jenis kelamin mungkin berpengaruh, dimana wanita
memperlihatkan lebih mendepresi pernapasan. Morfin dan meperidin dapat
menyebabkan bronkhospasme yang diinduksi oleh pelepasan histamin pada pasien
yang peka. Opioid dapat menginduksi kekakuan dinding dada yang cukup berat hingga
menghalangi ventilasi adekuat. Kontraksi otot yang diatur secara sentral terjadi setelah
bolus obat yang besar dan secara efektif diterapi dengan agen pelumpuh otot. Opioid
secara efektif menumpulkan respon bronkhokonstriksi akibat stimulasi saluran
pernapasan, seperti saat intubasi. Opioid memberi efek pada pusat batuk di medulla
(Stoelting, 2006).

3) Serebral
Efek opioid pada perfusi serebral dan TIK bervariasi. Secara umum, opioid mengurangi
konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan TIK, tetapi lebih rendah dibanding
barbiturat atau benzodiazepin. Efek ini diperkirakan merupakan pemeliharaan dari
normokarbia oleh ventilasi buatan. Namun, terdapat laporan peningkatan yang ringan
dan transien pada kecepatan aliran darah arteri serebral dan TIK setelah pemberian
opioid bolus pada pasien dengan tumor otak atau trauma kepala. Opioid cenderung
menghasilkan suatu penurunan MAP yang ringan, penurunan CPP yang timbul signifikan
pada pasien dengan elastansi intra kranial yang abnormal. Setiap kenaikan kecil TIK
yang disebabkan oleh opioid harus dibandingkan dengan peningkatan TIK yang besar
yang potensial terjadi selama intubasi pada pasien yang di anestesi secara tidak
adekuat. Stimulasi kemoreseptor trigger zone medullar bertanggung jawab atas
persentase yang tinggi dari gejala mual dan muntah. Ketergantungan fisik merupakan
suatu masalah yang penting yang dihubungkan dengan pemberian opioid yang
berulang. Tidak seperti barbiturat atau benzodiazepin, dosis besar opioid secara relatif
diperlukan untuk mempertahankan pasien tidak sadar. Opioid tidak dapat menghasilkan
efek amnesia yang baik. Opioid intra vena merupakan metode terpilih untuk
mengendalikan nyeri (Morgan, 2008).

Tabel 12. Pengunaan dan Dosis Opioid yang Umum

Agen Penggunaan Rute Dosis

Morfin Premedikasi IM 0.05 0.2 mg/ kg


IV

Anestesi intraop IM 0.1 1 mg/ kg

Analgesia paskaop IV 0.05 0.2 mg/ kg

0.03 0.15 mg/ kg

Pethidin Premedikasi IM 0.5 1 mg/ kg

Anestesi intraop IV 2.5 5 mg/ kg

Analgesia paskaop IM 0.5 1 mg/ kg

IV 0.2 0.5 mg/ kg

Fentanil Anestesi intraop IV 2 150 mcg/ kg

Analgesia paskaop IV 0.5 1.5 mcg/ kg

Sufentanil Anestesi intraop IV 0.25 30 mcg/ kg

Alfentanil Anestesi intraop

Dosis loading IV 8 100 mcg/ kg

Infus pemeliharaan IV 0.5 3 mcg/ kg/ menit

Remifentanil Anestesi intraop

Dosis loading IV 1.0 mcg/ kg

Infus pemeliharaan IV 0.5 20 mcg/ kg/ menit

Analgesia paskaop IV 0.05 0.3 mcg/ kg/ menit

4) Efek Samping Opioid Neuroaksial


Efek samping opioid neuroaksial disebabkan masuknya opioid ke dalam CSF atau
sirkulasi sistemik. Beberapa efek samping yang timbul dimediasi melalui interaksi
dengan reseptor opioid yang spesifik antara lain pruritus, nausea, vomitus, dan retensi
urin serta depresi napas (Stoelting, 2006).

Meperidin secara struktural mirip sameridin mempunyai kualitas anestetik lokal ketika
diberikan ke dalam ruang subarachnoid. Penggunaan meperidin secara klinis dibatasi
oleh efek samping opioid yang klasik, tidak seperti yang diperlihatkan dengan sameridin.
Meperidin intra vena (25 mg) sudah ditemukan sebagai opioid yang paling efektif untuk
mengurangi menggigil.

5) Gastrointestinal
Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan cara mengurangi peristaltik.
Kolik bilier terjadi akibat kontraksi sfingkter oddi yang diinduksi opioid. Spasme bilier,
dapat meniru gambaran batu duktus bilier komunis pada cholangiografi, secara efektif
dipulihkan dengan nalokson. Pasien yang menerima pengobatan opioid jangka panjang
menjadi toleran terhadap sebagian besar efek samping, kecuali sembelit oleh karena
motilitas gastrointestinal yang menurun (Morgan, 2006).

6) Endokrin
Respon stres terhadap stimulasi operasi mengakibatkan sekresi hormon spesifik,
termasuk katekolamin, hormon antidiuretik, dan kortisol. Opioid menghalangi pelepasan
hormon ini secara menyeluruh dibanding anestesi inhalasi. Terutama pada penggunaan
opioid potensi kuat seperti fentanil, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil. Secara
khusus, pasien dengan penyakit jantung iskemia mendapat manfaat dari penurunan
respon stres (Morgan, 2006).
Interaksi obat

Kombinasi opioid terutama meperidin dan MAO inhibitor dapat mengakibatkan henti
napas, hipertensi, hipotensi, koma, dan hiperpireksia. Penyebab interaksi ini belum
dipahami.

Barbiturat, benzodiazepin, dan depresan sistem saraf pusat lain dapat memberikan efek
sinergistik pada kardiovaskuler, respirasi, dan efek sedatif dengan opioid.

Biotransformasi alfentanil, tetapi bukan sufentanil, dapat berubah setelah konsumsi


eritromisin selama 7 hari, yang menyebabkan sedasi yang memanjang dan depresi nafas
(Morgan, 2006).

AGONIS OPIOID

Agonis opioid termasuk morfin, meperidin, fentanil, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil.
Opioid ini digunakan bersama anestetik inhalasi selama anestesi umum.

A. MORFIN
Morfin merupakan prototipe opioid, dan menghasilkan analgesi, euphoria, sedasi, dan
kehilangan konsentrasi. Sensasi lain termasuk nausea, tubuh terasa hangat, ekstremitas
terasa berat, mulut kering, dan pruritus terutama di sekitar hidung. Morfin dosis rendah
dapat meningkatkan ambang nyeri dan modifikasi persepsi dari stimulasi nosiseptif.
Nyeri tumpul lebih dihambat daripada nyeri tajam. Morfin efektif menyingkirkan nyeri
viscera sebaik pada otot skelet, sendi, dan struktur integumen. Morfin harus diberikan
sebelum ada rangsang nyeri. Terkadang morfin menghasilkan disforia dibanding
euphoria. Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kutaneus, wajah, leher, dan
dada bagian atas terasa lebih hangat dan memerah (Stoelting, 2006).

Efek Samping

1) Kardiovaskuler
Pemberian opioid intra vena dosis besar (1 mg/ kg) pada posisi supine dan
normovolemia dapat menyebabkan depresi miokard atau hipotensi. Morfin
menyebabkan penurunan tekanan darah karena bradikardia atau pelepasan
histamin. Pemberian morfin perioperatif atau sebelum induksi anestesi membuat
denyut nadi melemah selama terpapar agen volatil, dengan atau tanpa stimulasi
bedah. Morfin menginduksi pelepasan histamin dan penurunan tekanan darah, yang
dapat diminimalisasikan melalui :

- Pembatasan pemberian infus morfin sampai 5 mg/ menit


- Merubah posisi pasien dari supine menjadi head down
- Optimalisasi cairan intravaskuler
Pemberian morfin 1 mg/ kg intra vena durasi 10 menit dapat menyebabkan
pelepasan histamin plasma, sedangkan pada pemberian fentanil 50 g/ kg intra vena
dalam 10 menit tidak menimbulkan pelepasan histamin. Begitu juga sufentanil.
Penurunan tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik sering terjadi bila opioid
dikombinasikan dengan benzodiazepin (Stoelting, 2006).

2) Respirasi
Opioid mendepresi sistem pernapasan melalui efek agonis reseptor 2 yang
merupakan efek langsung depresi yang terdapat pada pusat pernapasan di batang
otak sehingga menurunkan sensitivitas terhadap penurunan CO2 yang digambarkan
pada meningkatnya PaCO2. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi
pernapasan yang dikompensasi oleh meningkatnya volume tidal (Stoelting, 2006)

3) Sedasi
Titrasi morfin paska operasi menghasilkan sedasi sebelum analgesia.
Direkomendasikan titrasi morfin dengan interval bolus (5 7 menit) tanpa limit dosis
(Stoelting, 2006).

4) Sistem Pencernaan
Morfin, meperidin, dan fentanil menyebabkan spasme otot polos saluran cerna,
selain efek samping lain yaitu konstipasi, kolik bilier, dan waktu pengosongan
lambung yang lambat (Stoelting, 2006).

5) Sistem Genitourinaria
Morfin meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltic ureter. Pemberian morfin untuk
analgesia paska operasi tidak memicu pelepasan arginine vasopressin (Stoelting,
2006).

6) Plasenta
Plasenta bukankah barier nyata, sehingga depresi janin dapat terjadi jika morfin
diberikan pada ibu selama persalinan (Stoelting, 2006).

Interaksi Obat
Depresi pernapasan karena opioid dapat diperberat oleh amfetamin, fenotiazin, MAO
inhibitor, dan depresan trisiklik (Stoelting, 2006).

Morfin 6 glukoronidase

Morfin 6 glukoronidase berikatan pada reseptor dimana morfin 6 glukoronidase


lebih poten 650 kali dari morfin (Stoelting, 2006).

B. MEPERIDIN
Meperidin merupakan opioid sintetik reseptor dan , analog meperidin termasuk
fentanil, sufentanil, dan remifentanil. Meperidin termasuk amin tersier dan kelompok
ester. Meperidin memiliki struktur menyerupai atropin dan berefek antispasmodik.

Penggunaan Klinik

Meperidin digunakan untuk analgesia selama persalinan dan paska operasi (Stoelting,
2006).

Efek Samping

- Hipotensi ortostatik
- Bradikardia jarang ditemukan, tetapi justru meningkatkan denyut nadi (atropin like
effect)
- Konstipasi dan retensi urin jarang ditemukan dibanding morfin
- Midriasis

C. FENTANIL
Fentanil merupakan agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang memiliki struktur seperti
meperidin. Sebagai analgesia, fentanil 75 125 kali lebih poten dari morfin (Stoelting,
2006).

Penggunaan Klinik

Dosis rendah fentanil 1 2 g/ kg intra vena untuk menghasilkan analgesia. Fentanil 2


20 g/ kg intra vena dapat diberikan sebagai tambahan untuk anestesi inhalasi untuk
menumpulkan respon respirasi akibat :

- Intubasi trakhea dengan laringoskopi direk


- Perubahan tiba tiba stimulasi bedah
Dosis tinggi fentanil 50 150 g/ kg intra vena diberikan tunggal digunakan untuk
menghasilkan analgesia. Keuntungan yang didapat antara lain :

- Depresi miokard minimal


- Tanpa pelepasan histamin
- Supresi stres bedah
Fentanil dapat diberikan melalui transmukosa (5 20 g/ kg). Transdermal diberikan
sebelum induksi (Stoelting, 2006).

Efek Samping

Fentanil 50 g/ kg intra vena tidak memicu pelepasan histamin. Bradikardia lebih


menonjol pada fentanil dibandingkan morfin selain penurunan tekanan darah dan
cardiac output. Pemberian fentanil pada pasien cedera kepala menyebabkan
peningkatan 6 9 mm Hg tekanan intra serebral yang dikaitkan dengan penurunan MAP
dan CBF (Stoelting, 2006).

Interaksi Obat

Efek analgesia fentanil lebih poten karena interaksi dengan midazolam dan menurunkan
penggunaan propofol (Stoelting, 2006).

D. SUFENTANIL
Sufentanil merupakan analog thienil dari fentanil. Sufentanil menghasilkan analgesia 5
10 kali fentanil (Stoelting, 2006).

Penggunaan Klinis

Dosis tunggal sufentanil 0.1 0.4 g/ kg intra vena menghasilkan periode analgesia
yang lebih panjang dan kurang mendepresi ventilasi dari dosis fentanil 1 4 g/ kg intra
vena. Sufentanil menyebabkan menurunnya metabolisme otak yang memerlukan O 2 dan
CBF yang menurun atau tidak berubah. Depresi ventilasi yang lambat terjadi setelah
pemberian sufentanil (Stoelting, 2006).

E. ALFENTANIL
Alfentanil merupakan analog fentanil yang kurang poten (1/5 1/10) dan dengan 1/3
durasi aksi fentanil. Keuntungan dari alfentanil dibanding dengan fentanil dan sufentanil
adalah onset aksi yang lebih cepat setelah pemberian intra vena (Stoelting, 2006).
Kegunaan Klinis

Alfentanil memiliki onset analgesia kuat yang cepat. Karakteristik alfentanil ini digunakan
untuk menghasilkan analgesia pada stimulasi noksious sesaat seperti pada laringoskopi
dan intubasi trakhea serta blok retrobulbar. Penambahan dosis alfentanil menurunkan
tekanan darah sistemik yang meningkat setelah stimulasi nyeri. Alfentanil meningkatkan
tekanan traktus biliaris dengan durasi lebih singkat dibanding fentanil (Stoelting, 2006).

F. KODEIN
Kodein merupakan hasil substitusi grup metil pada grup hidroksil morfin. Grup metil
membatasi metabolisme first pass hepatic dan menyebabkan kodein efektif pada
pemberian per oral. Waktu paruh eliminasi kodein setelah pemberian per oral atau intra
muskuler adalah 3.0 3.5 jam. Sekitar 10% dari kodein yang diberikan, di metilasi di
hepar menjadi morfin yang berperan pada efek analgesia kodein. Kodein yang tersisa di
metilasi menjadi norkodein inaktif, yang dikonjugasi atau diekskresi dalam bentuk yang
tidak di ubah oleh ginjal (Stoelting, 2006).

Kodein merupakan antitusif efektif pada dosis oral 15 mg. analgesia maksimal
sebanding dengan yang dihasilkan aspirin 650 mg, terjadi pada pemberian kodein 60
mg. kodein 120 mg intra muskuler menghasilkan efek analgesia sebanding dengan
morfin 10 mg. kodein menyebabkan sedasi minimal, nausea, vomitus dan konstipasi.
Dizziness dapat timbul pada pasien ambulatory. Pemberian intra vena tidak di
rekomendasikan karena hipotensi yang di picu oleh histamin (Stoelting, 2006).

G. TRAMADOL
Tramadol merupakan analgesik yang bekerja sentral yang memiliki afinitas sedang
terhadap reseptor , dan lemah terhadap reseptor dan , tetapi
5 10 kali kurang poten dibanding morfin. Sebagai tambahan pada efek agonis reseptor
, tramadol memperkuat spinal descending inhibitory pathway melalui inhibisi reuptake
neuronal norepinefrin dan 5 hidroksitriptamin (serotonin), seperti stimulasi presinaps
dari pelepasan 5 hidroksitriptamin (Stoelting, 2006).

Tramadol merupakan campuran rasemik dari dua enansiomer, yang :

- Bertanggung jawab pada inhibisi uptake norepinefrin


- Berperan pada inhibisi dari reuptake 5 hidroksitriptamin dan memfasilitasi
pelepasannya, ditambah kerja tramadol pada reseptor (Stoelting, 2006).
Tramadol 3 mg/ kg yang diberikan per oral, intra muskuler, atau intra vena efektif untuk
pengobatan nyeri sedang berat. Penurunan insiden menggigil paska operasi, efek
depresi minimal pada pernapasan dijumpai setelah penggunaan tramadol. Tramadol
memperlambat waktu pengosongan lambung. Tramadol berguna untuk pengobatan
nyeri kronik karena tidak menimbulkan toleransi atau adiksi dan tidak berkaitan dengan
toksisitas organ utama atau efek sedasi. Tramadol berguna pada pasien yang tidak
dapat mentolerir NSAID. Kerugian tramadol meliputi interaksinya dengan anti koagulan
Coumadin, dan timbulnya kejang. Tramadol jarang digunakan perioperatif sebagai
analgesia karena insidensi yang tinggi untuk terjadinya nausea dan vomitus.
Ondansetron dapat mempengaruhi komponen analgesia dari tramadol yang berkaitan
efeknya pada reuptake dan pelepasan 5 hidroksitriptamin (Stoelting, 2006).

H. HEROIN
Heroin (diasetilmorfin) merupakan opioid sintetik yang dihasilkan oleh asetilasi dari
morfin. Bila diberikan parenteral, heroin dapat melakukan penetrasi yang cepat ke otak,
yang kemudian di hidrolisa menjadi metabolit aktif monoasetilmorfin dan morfin. Hal ini
terutama disebabkan karena kelarutan heroin dalam lemak dan struktur kimiawinya.
Dibandingkan dengan morfin, heroin parenteral memiliki :

- Onset yang lebih cepat


- Efek nausea lebih kecil
- Potensi yang besar untuk adiksi (Stoelting, 2006).

Anda mungkin juga menyukai