PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemfigus
2.1.1. Definisi
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berupa bula kronik yang
menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula
intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan
antibodi terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik
terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.1,2
2
2.1.3. Etiologi dan faktor risiko
Para peneliti belum mengetahui secara pasti faktor risiko terjadinya
pemfigus, namun diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun.
Pada keadaan normal, sistem imun tubuh menyerang virus, bakteri, dan substansi
berbahaya lainnya. Namun pada pasien pemfigus, sistem imun menyerang protein
normal yang disebut desmoglein pada kulit dan membran mukosa. Protein ini
mengikat sel bersama-sama, dan ketika protein ini rusak, epidermis akan terpisah
sehingga terbentuk lepuh.1,4,6
Pemfigus dapat juga disebabkan oleh obat (drug induced pemphigus),
misalnya D-penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat
berbentuk pemfigus foliaseus (termasuk pemfigus eritematosus) atau pemfigus
vulgaris. Pemfigus foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus
vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai
fluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan
imunofluoresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif. Pemfigus
diduga juga ada faktor genetik, umumnya berkaitan dengan HLA-DR4.2
Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada limfoma
non-Hodgkin dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan autoimun lainnya
juga meningkatkan risiko terjadinya pemfigus, antara lain pada miastenia gravis
(penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya kelemahan otot) dan
timoma.1,3,4
2.1.4. Patogenesis
Etiologi
Lepuh superfisial pada pemfigus adalah hasil reaksi yang diinduksi
oleh IgG terutamanya IgG4, suatu autoantibodi yang ditujukan langsung
pada lapisan adhesi desmoglein 1(160kd) yang terutamanya ditemukan pada
stratum granulosum di epidermis. Antibodi ini merupakan autoantibodi
karena bereaksi terhadap sel pasien itu sendiri, sehingga antibodi ini dapat
menyebabkan hilangnya adhesi antar keratinosit dan menimbulkan lepuh-
lepuh. Ketika IgG dari pasien pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus
diinjeksikan ke mencit baru lahir, maka IgG ini akan berikatan dengan
3
permukaan keratinosit epidermal dan menyebabkan lepuh yang memiliki
gambaran histologi yang sama pada pemfigus vulgaris atau pemfigus
foliaseus. Mekanisme yang terjadi melibatkan proses fosforilasi protein
intraselular yang berhubungan dengan desmosome dan bukan disebabkan
oleh mekanisme komplemen. Hasil reaksi ini akan menyebabkan terjadinya
proses akantolisis.1,3,13
Desmoglein
Gangguan adhesi keratinosit terjadi pada pasien pemfigus
foliaseus dan juga pada pemfigus vulgaris, maka dimungkinkan
autoantibodi pada pasien-pasien ini berikatan dengan molekul-molekul
dan mengganggu adhesinya di desmosom. Desmosom adalah struktur
adhesi sel yang terutama dominan pada epidermis dan membran mukosa.
Molekul-molekul transmembran yang terdapat pada desmosom ada dua
golongan kelompok protein yaitu desmoglein dan desmokolin. Kedua
golongan protein ini berhubungan dengan Kaderin, yaitu suatu molekul
yang bertugas dalam pengaturan adhesi sel-sel. Oleh karena itu,
desmoglein dan desmokolin disebut kaderin desmosom yaitu yang
bertugas mengatur adhesi sel-sel di desmosom. Pada pasien pemfigus
foliaceus terdapat autoantibodi yang merusak desmoglein 1, sedangkan
pada pasien pemfigus vulgaris terdapat autoantibodi yang merusak
desmoglein 3.
Antidesmoglein
Adanya antibodi antidesmoglein menyebabkan terbentuknya
lepuh. Tikus-tikus yang diinjeksikan autoantibodi terhadap desmoglein 1
atau desmoglein 3 mengalami timbulnya lepuh-lepuh. Selain itu,
gambaran histologis dari pemfigus foliaseus dan pemfigus vulgaris juga
muncul pada lesi tersebut. Desmoglein 1 atau desmoglein 3 dapat
menyerap antibodi patogen dari serum penderita pemfigus. Titer dari IgG
autoantibodi anti-desmoglein 1 dan anti-desmoglein 3 berhubungan
dengan aktivitas penyakit. Serum pemfigus bisa juga berikatan dengan
antigen selain desmoglein 1 dan desmoglein 3, namun gambaran klinis
dari antibodi lain ini belum dapat dijelaskan seluruhnya. Misalnya,
4
autoantibodi IgG antidesmoglein 1 bereaksi silang dengan desmoglein 4,
namun antibodi ini tidak memiliki efek patogen. Antibodi pada serum
penderita pemfigus dapat berikatan dengan antigen lain, seperti reseptor
asetilkolin, tapi antigen-antigen ini tidak tidak menyebabkan
terbentuknya lepuh.
Kompensasi Desmoglein
Pasien pemfigus yang memiliki perbedaan secara klinis
mempunyai sifat antibodi antidesmoglein. Pola autoantibodi ini, dan
distribusi dari isoform desmoglein pada epidermis dan membran mukosa,
menunjukkan kompensasi desmoglein dapat menjelaskan lokalisasi
lepuh pada pasien pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. Teori
kompensasi desmoglein berdasarkan dua pengamatan: yaitu autoantibodi
antidesmoglein 1 atau antidesmoglein 3 menginaktivasi hanya
desmoglein yang cocok, dan desmoglein 1 atau desmoglein 3 fungsional
sendiri biasanya cukup untuk adhesi sel-sel.
Kompensasi desmoglein telah divalidasi secara penelitian pada
model pemfigus tikus baru lahir. Penyuntikan autoantibodi anti-
desmoglein 1 ke dalam tikus yang gen desmoglein 3 nya telah dihapus
menyebabkan lepuh pada daerah yang dilindungi oleh desmoglein 3 pada
tikus normal. Sebaliknya, tikus transgenik yang direkayasa gen
desmoglein 3 pada lokasi jaringan yang secara normal hanya
mengekspresikan gen desmoglein 1, maka jaringannya terlindungi dari
terbentuknya lepuh akibat antibodi anti-desmoglein 1. Ekspresi
transgenik dari desmoglein 1 pada daerah yang secara normal hanya
mengekspresikan desmoglein 3 dapat mengkoreksi adhesi sel-sel oleh
karena hilangnya gen pada tikus yang telah mati. Oleh karena distribusi
desmoglein pada kulit bayi baru lahir mirip dengan distribusi desmoglein
pada membran mukosa, kompensasi desmoglein menjelaskan mengapa
lepuh biasanya tidak terbentuk pada bayi baru lahir yang ibunya
menderita pemfigus foliaseus, walaupun autoantibodi dapat melintasi
sawar plasenta dan berikatan dengan epidermis janin.
5
Gambar 2. Kompensasi desmoglein (Dsg). Gambar segitiga menunjukkan distribusi dari Dsg 1 dan
3 pada kulit dan membran mukosa. Antibodi anti-Dsg 1 pada pemfigus foliaseus menyebabkan
akantolisis hanya di permukaan epidermis dari kulit. Pada epidermis dan membran mukosa bagian
dalam, Dsg 3 mengadakan kompensasi terhadap adanya antibodi yang mengurangi fungsi Dsg 1.
Pada pemfigus vulgaris dini, terdapat antibodi yang hanya menyerang Dsg 3, yang menyebabkan
timbulnya lepuh hanya pada bagian dalam membran mukosa dimana Dsg 3 berlokasi tanpa adanya
kompensasi dari Dsg 1. Namun, pada pemfigus mukokutan terdapat antibodi yang menyerang Dsg
1 dan Dsg 3, dan lepuh terbentuk baik pada kulit maupun membran mukosa. Lepuh terletak di
dalam karena antibodi berdifusi dari dermis dan mengganggu fungsi desmosom pada bagian basal
epidermis.7
6
memecah desmoglein 1 secara spesifik menyebabkan lepuh yang
identik dengan lepuh yang disebabkan oleh antibodi anti-
desmoglein 1 pada kasus pemfigus foliaseus. Berdasarkan temuan
ini bersama dengan teori kompensasi desmoglein mengarah kepada
bahwa antibodi pemfigus hanya menginaktivasi desmoglein
targetnya secara spesifik dan tidak menyebabkan hilangnya fungsi
generalisata dari adhesi molekul permukaan sel.
o Efek langsung dan tidak langsung dari antibodi pemfigus
Masih belum jelas apakah autoantibodi bekerja secara langsung
atau tidak langsung. Terdapat bukti bahwa autoantibodi pemfigus
memblok adhesi sel dengan mengganggu transinteraksi
desmoglein secara langsung (misalnya, interaksi desmoglein dari
satu sel dengan sel itu sendiri atau dengan desmocollin pada sel
sebelahnya). Penelitian telah menunjukkan bahwa fragmen
autoantibodi pemfigus yang berisi domain antigen-binding saja
dan kekurangan regio efektor dari antibodi dapat menstimulasi
timbulnya lepuh pada tikus percobaan. Selain itu juga, oleh karena
kekurangan kemampuan dari molekul permukaan sel untuk
bereaksi silang mungkin yang menyebabkan gangguan adhesi sel.
Selanjutnya, sebuah antibodi IgG anti-desmoglein 3 monoklonal
tikus percobaan yang berikatan dengan permukaan N-terminal
adhesif menginduksi lesi pemfigus vulgaris pada tikus percobaan,
dimana antibodi monoklonal yang lain bereaksi dengan bagian
yang kurang penting dari desmoglein 3 secara fungsional tidak
menyebabkan lesi pada tikus percobaan. Sebaliknya, hasil dari
penelitian terbaru yang menggunakan pengukuran daya atom satu
molekul, sebuah metode biomekanik yang mengukur derajat dari
ikatan protein, menunjukkan bahwa antibodi anti-desmoglein 1
IgG pada serum penderita pemfigus foliaseus tidak mengganggu
secara langsung dengan transinteraksi desmoglein 1 adhesif. Pada
sistem ekstraselular ini, ikatan dari desmoglein 1 kepada sel itu
sendiri tidak dihambat oleh antibodi anti-desmoglein 1 yang
7
patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa inaktifasi fungsional
langsung dari desmoglein tidak cukup untuk menyebabkan
timbulnya lepuh dan bahwa autoantibodi pemfigus dapat bekerja
melalui mekanisme sinyal yang lebih rumit. Penambahan IgG dari
serum penderita pemfigus vulgaris ke keratinosit yang dibiakkan
menginduksi beberapa sinyal, temasuk peningkatan kalsium dan
inositol 1,4,5-trifosfat intraselular, aktivasi dari protein kinase C,
dan fosforilasi dari desmoglein 3, yang kemudian menyebabkan
terjadinya internalisasi dari desmoglein 3 di permukaan sel, dengan
deplesi resultante desmoglein 3 pada desmosom. IgG pemfigus
vulgaris juga dilaporkan dapat menginduksi aktivasi jalur sinyal
yang menyebabkan terjadinya reorganisasi dari sitoskeleton,
apoptosis keratinosit, atau keduanya. Penelitian lebih lanjut masih
diperlukan untuk mengklarifikasi apakah mekanisme sinyal seperti
disebutkan di atas terlibat dalam pembentukkan lepuh in vivo,
karena kebanyakan dari penelitian pada transduksi sinyal
dilakukan secara in vitro dengan memakai keratinosit biakan.
2.1.5. Klasifikasi
Terdapat 4 bentuk pemfigus, yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus
eritematosus, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Selain itu, masih ada
beberapa bentuk yang tidak dibicarakan karena langka, yaitu pemfigus
herpetiformis, pemfigus IgA, dan pemfigus paraneoplastik. Dari bentuk tersebut,
bentuk yang paling berbahaya adalah pemfigus paraneoplastik karena sering
ditemukan pada pasien yang telah didiagnosis mengalami keganasan (kanker).
Namun, pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang paling jarang
ditemukan.2,7,6,12
Menurut Fitzpatricks pemfigus secara umum dibagi menjadi 4 tipe utama,
dua tipe yang tersering yaitu pemfigus vulgaris (PV), dengan akantolisis suprabasal
yang menyebabkan pemisahan sel-sel basal dari keratinosit stratum spinosum, dan
jenis yang kedua adalah pemfigus foliaseus (PF), dengan akantolisis pada lapisan
8
epidermis yang lebih dangkal yaitu pada stratum granulosum. Selain itu bentuk
pemfigus yang lebih jarang ialah pemfigus paraneoplastik dan pemfigus IgA.7,12
Berdasarkan letak celah, pemfigus dibagi menjadi dua, yaitu di suprabasal
ialah pemfigus vulgaris dan variannya pemfigus vegetans, dan di stratum
granulosum adalah pemfigus foliasesus dan variannya pemfigus eritematosus.
Semua penyakit tersebut memiliki gejala yang khas, yaitu pembentukan
bula yang kendur pada kulit yang umumnya terlihat normal dan mudah pecah, pada
saat penekanan bula tersebut meluas (Nikolski +), akantolisis selalu +, dan adanya
antibodi tipe IgG terhadap antigen intraseluler di epidermis yang dapat ditemukan
di dalam serum maupun terikat di epidermis.2,7,12
9
timbulnya suara serak dan kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat, dan telah
dilaporkan suatu esophagitis dissecans superficialis sebagai akibatnya.1,3,4
Pemfigus vulgaris ditandai oleh adanya bula berdinding tipis, relatif
kendur, dan mudah pecah yang timbul baik pada kulit atau membran mukosa
normal maupun di atas dengan dasar eritematous. Tanda Nikolski positif
disebabkan karena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga lapisan atas
dapat dengan mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan. Cara mengetahui
tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua
bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka
bula akan meluas karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan. Cairan bula
pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen.
Bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga terbentuk erosi. Erosi
ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian erosi akan
tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk
sembuh. Tetapi bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa
pembentukan jaringan parut.1,3,4
Pruritus tidak umum ditemukan pada pemfigus, tetapi penderita sering
mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas.1,3,4
10
Gambar 3. (A) Bula kendur, (B) Lesi oral, (C) Erosi luas7
11
A B
Imunofluoresensi7,12
Pemeriksaan ini terdiri dari:
1. Imunofluoresensi langsung. Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai
dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan ini dinamakan direct
immunofluorescence (DIF). Pemeriksaan DIF memerlukan mikroskop
khusus untuk dapat melihat antibodi pada sampel yang telah diwarnai
dengan cairan fluoresens dan didapatkan antibodi interseluler tipe IgG
dan C3.
2. Imunofluoresensi tidak langsung. Antibodi terhadap keratinosit
dideteksi melalui serum pasien dan didapatkan antibodi tipe IgG.
Tes pertama lebih dapat dipercaya dibandingkan tes yang kedua karena
telah dapat memberikan hasil yang positif pada awal perjalanan penyakit dan tetap
positif dalam jangka waktu yang lama meskipun gejala klinis penyakit telah
12
membaik. Antibodi ini sangat spesifik untuk pemfigus karena kadar titernya
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun serta menghilang.
Tes darah
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya antibodi terhadap
protein yang disebut desmoglein. Adanya antibodi tersebut mengindikasikan
terjadinya pemfigus.
13
1. Pemfigoid bulosa
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang bisa terjadi pada
semua umur terutama pada orang tua. Gejala diawali dengan rasa gatal, urtikaria,
dan lesi yang eritematous. Gejala klinis pada pemfigoid bulosa adalah terbentuknya
bula yang besar pada kulit normal atau dengan dasar eritematous. Bula ini sering
timbul pada daerah abdomen bagian bawah, bagian paha depan atau paha atas, dan
fleksor lengan atas,walaupun bisa timbul bagian tubuh. Bula yang terbentuk
biasanya terisi dengan cairan bening dan bisa juga terdapat perdarahan. Kulit yang
lepas apabila bula itu pecah biasanya mempunyai potensi reepitelisasi, tidak seperti
pemfigus vulgaris, erosi yang terjadi tidak menyebar ke perifer. Lesi pada
pemfigoid bulosa tidak mengakibatkan pembentukan jaringan parut.1,4,12
Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk menentukan pemfigus bulosa adalah
biopsi yang memberikan gambaran bula subepidermal tanpa nekrosis pada
epidermal dengan infiltrate limfosit, histiosit dan eosinofil pada permukaan
dermal.1,4,7
Gambar 6. Pemfigoid bulosa pada dada7 dan Imunofluoresensi pada pemfigoid bulosa
2. Dermatitis Herpetiformis
14
gejala klinis pada dermatitis herpetiformis bisa menyebabkan terjadinya
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Gejala yang timbul pada pasien bisa hanya
krusta dan gejala klinis primer yang lain tidak ditemukan. Gejala klinis ini biasanya
timbul secara simetris pada siku, lutut, bahu dan daerah sakral. Lokasi seperti kulit
kepala, muka dan garis anak rambut. Biasanya dermatitis herpetiformis dapat
mengenai anak dan dewasa, keadaanya umumnya baik, keluhannya sangat gatal,
ruam polimorf dan memiliki tempat predileksi sedangkan pemfigus terutama
mengenai orang dewasa, keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula berdinding
kendur dan biasanya generalisata.1,7,12
15
A
3. Pemfigus eritematosus
16
dengan skuama di atas hidung dan pipi pada wajah menyerupai kupu-kupu sehingga
menyerupai lupus eritematous atau dermatitis seboroik. Sinar matahari dapat
memperburuk penyakit ini. Lesi pada mukosa mulut jarang terjadi. Hubungannya
dengan lupus eritematosus juga terlihat pada pemeriksaan immunufloresensi
langsung, pada tes tersebut didapatkan antibodi diinterselular dan juga di membrana
basalis.1,2
Gambar 7. Pemfigus erythematosus. Lesi berupa skuama dan krusta terlihat pada hidung
dan daerah malar wajah4
4. Pemfigus Foliaseus
17
kulit. Penyakit ini umumnya mengenai orang dewasa antara umur 40-50 tahun.
Gejalanya tidak seberat pemfigus vulgaris.2,7
Gambar 8. Pemfigus Foliaseus. Lesi berupa skuama & krusta pada punggung7
5. Pemfigus Vegetans
Pemfigus vegetans adalah varian jinak dari pemfigus vulgaris dan sangat
jarang ditemukan. Biasanya timbul pada usia lebih awal dari pemfigus vulgaris.
Keadaan umum penderita masih baik. Gambaran klinis yang khas adalah mula-
mula muncul lesi kulit mirip pemfigus vulgaris, tetapi erosinya cepat mengering
dan menimbulkan jaringan granulasi hipertrofik berbentuk vegetasi atau bentukan
papilomatous. Lokasi biasanya di daerah lipatan paha, perineum, walaupun dapat
ditemukan di setiap tempat seperti hidung, mulut, leher dan kepala.1,5
Terdapat 2 tipe dari pemfigus vegetans yaitu tipe Neumann dan tipe
Hallopeau (pyodermite vegetante), yaitu :
1. Tipe Neumann
18
selalu daripada pemfigus vulgaris, dapat terjadi lebih akut, dengan
gambaran pemfigus vulgaris lebih dominan dan dapat fatal.2
2. Tipe Hallopeau
2.2.5 Pengobatan
Prinsip pengobatan pemfigus vulgaris, yaitu:
1. Mengatasi keadaan umum yang buruk
2. Mengendalikan reaksi autoimun
3. Penatalaksanaan multidisiplin, terutama bila menggunakan kortikosteroid
jangka panjang dan sitostatika yaitu antara lain bersama bagian penyakit
dalam, hamatologi, alergi-imunologik.
Medikamentosa
Bila banyak lesi erosif atau ekskoriasi dapat diberikan krim mupirosin 2%
ataun asam fusidat 2-5%. Untuk membersihkan krusta dapat dilakukan kompres
terbuka dengan NaCl 0.9%.2
19
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Terapi lini
pertama yaitu glukokortikoid sistemik, dimulai dengan dosis 1 mg/kgBB/hari.
Respon klinis yang bagus biasanya tampak setelah 2-3 bulan, kemudian dosis dapat
diturunkan menjadi 40 mg/hari dan di tapering off selama 6-9 bulan sampai dosis
pemeliharaan 5 mg selang sehari. Tapering dapat dilakukan baik dengan
menurunkan dosis 10 mg/bulan dan kemudian 5 mg/bulan. Kortikosteroid yang
paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison
bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada
pula yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat.2,7
Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi denyut. Caranya
bervariasi, namun yang lazim digunakan ialah dengan metilprenidosolon sodium
succinate (solumedrol), i.v. selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk lima hari.
Dosis sehari 250-1000 mg (10-20 mg per kgBB), kemudian dilanjutkan dengan
kortikoisteroid per oral dengan dosis sedang atau rendah. Efek samping yang berat
pada terapi denyut tersebut di antaranya ialah hipertensi, elektrolit sangat
terganggu, infark miokard, aritmia jantung sehingga dapat menyebabkan kematian
mendadak, dan pankreatitis.
Untuk mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid
dikombinasikan dengan sitostatik sebagai tambahan pada pengobatan pemfigus
meskipun cara pemberiannya masih terdapat dua pendapat :
1. Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik.
Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau tinggi sehingga efek
sampingnya lebih sedikit.
2. Sitostatik diberikan, bila :
a. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respons.
b. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes melitus,
katarak, dan osteoporosis.
c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang
diharapkan.
Pemberian siklofosfamid (1,5 2,5 mg/kg/hari) atau azathioprine (1,52,5
mg/kg/hari) bisa bersamaan dengan kortikosteroid ataupun setelah pengobatan
20
dengan kortikosteroid. Terapi tambahan yang lain yang dapat diberikan adalah anti
inflamasi seperti dapson.2,7
Non Medikamentosa
Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih merasakan
gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka yang baik adalah sangat
penting karena ia dapat memicu penyembuhan bula dan erosi. Pasien disarankan
mengurangi aktivitas agar risiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa pada fase
aktif penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas yang harus dikurangi adalah olahraga
dan makan atau minum yang dapat mengiritasi rongga mulut (makanan pedas,
asam, keras, dan renyah).2,7
2.2.6 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi kulit dan penyebaran
infeksi melalui aliran darah (sepsis). Infeksi sistemik dapat menyebabkan kematian,
selain itu juga dapat terjadi malnutrisi dan dehidrasi. Angka kematian dari tipe ini
diperkirakan 90%. Komplikasi lainnya adalah kemungkinan efek samping dari
pengobatan yang digunakan terutama kortikosteroid.
2.2.7 Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50%
penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat
prognosisnya lebih baik.2
21
BAB 3
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23