PENDAHULUAN
Respon terhadap cedera jaringan dan infeksi biasa kita sebut dengan inflamasi.
Meskipun ada hubungan antara inflamasi dan infeksi, tetapi tidak boleh dianggap sama. Infeksi
disebabkan oleh mikroorganisme yang menyebabkan inflamasi, tetapi tidak semua inflamasi
disebabkan oleh infeksi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin,
leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang
di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi(Tjay dan
Kirana,2007).
Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-
elemen darah, sel darah putih (leukosit) dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera
jaringan atau infeksi. Saat terjadi inflamasi terdapat lima tanda umum dari inflamsai yaitu
dolor(nyeri), kalor (panas), tumor(bengkak), rubor(kebiruan), dan fungsio lesa (hilangnya fungsi).
Kesemua rasa tersebut mengakibatkan pasien yang mengalami inflamasi menglami hal yang
tidak nyaman.
Oleh karena itu, bidang kesehatan khususnya farmasi mengembangkan obat untuk
meringankan gejala dari inflamasi agar tidak terlalu sakit lagi. Sebagai seorang farmsis kita
diwajibkan untuk tahu sistem kerja, jenis, dan onset dari masing masing obat antiinflamasi agar
dapat memberikan obat kepada pasien deengan diagnosa yang tepat. Karena itulah, sangat
penting dilakukannya praktikun uji obat antiinflamasi ini dan meemahaminya dengan sungguh
sungguh.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah praktikan mampu mempelajari daya antiinflamasi obat pada
hewan coba.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan
jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen
pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Apabila jaringan dalam tubuh mengalami cedera
misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan tersebut akan
terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang
mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan
yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang.
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan ( Mycek, 2001 ).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman,
maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini
kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 2000).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang
adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai
jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang
ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan
sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi
sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-
perubahan imunologik (Rukmono, 2000).
Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs)/AINS adalah suatu golongan obat
yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), anti piretik (penurun panas), dan anti inflamasi
(anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan
steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. AINS bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.
Inflamasi adalah salah satu respon utama dari system kekebalan tubuh terhadap infeksi atau
iritasi(Abrams, 2005).
Mekanisme kerjanya : efek antipiretik dan anti inflamasi salisilat terjadi karena penghambatan
sintesis prostaglandindi pusat pengatur panas dan hipotalamus dan perifer di daerah target. Lebih
lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi reseptor
rasa sakit terhadap rangsangan mekanis dan kimiawi.
Obat – obat ini menghambat reversible siklo-oksigenase dan karena itu, seperti aspirin
menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menghambat leukotrien.
Yang termasuk dalam grup obat - obat ini adalah indometasin, sulindak dan etolondak. Semua
mempunyai aktivitas antiinflamasi , analgetik dan antipiretik. Bekerja dengan cara menghambat
siklo-oksigenase secara reversible. Umumnya tidak digunakan untuk menurunkan demam.
5. Fenamat
Asam mefenamat dan meklofenamat tidak mempunyai anti inflamasi dibandingkan obat AINS
yang lain. Efek samping seperti diare dapat berat dan berhubungan dengan peradangan abdomen.
6. Fenilbutazon
Fenilbutazon mempunyai efek anti inflamasi kuat tetapi tetapi aktivitas analgetik dan
antipiretiknya lemah. Obat ini bukan merupakan obat first line.
a. Diklofenak : Penghambat siklo – oksigenase. Diklofenak digunakan untuk pengobatan jangka
lama arthritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.
b. Ketorolak : Obat ini bekerja sama seperti obat AINS yang lain
c. Tolmetin dan nabumeton : Tolmetin dan nabumeton sama kuatnya dengan aspirin dalam
mengobati artritis rematoid atau osteoartritis dewasa.
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormone adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan
oleh kelenjar hipofisis atau atas angiotensin II. Hormone ini berperan pada banyak system
fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stress, tanggapan system kekebalan tubuh
dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah,
serta tingkah laku. Dengan efek yang sama, bahkan berlipat ganda, maka kortikosteroid sanggup
mereduksi sistem imun (kekebalan tubuh) dan inflamasi (Chang dan Daly, 2009).
2.1.5 Karagenin
Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru,
mengukur kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkraman tikus
yang disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukopolisakarida yang
diperoleh dari lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat antiradang yang paling banyak
digunakan diklinik untuk menekan edema macam ini. Sifat antiradang indometasin, yaitu zat
antiradang nonsteroid yang banyak dipakai, pada mulanya ditentukan uji karagenan. (Hamor,
G.H., 1996).
Karagenan polisakarida dari algae, suatu ekstrak rumput laut, yang memiliki sejumlah manfaat,
terutama dalam industri makanan dan sejenisnya. Karagenan adalah suatu senyawa hidrokoloid
yang terdiri atas ester kalium, natrium dan magnesium atau kalsium sulfat dengan galaktosa dan
kopolimer 3,6 anhidrogalaktosa (Fajar RP, 2005). Menurut Guiseley et. alkaragenan adalah
polisakarida dengan rantai lurus (linier) yang terdiri dari D-glukosa 3.6 anhidrogalaktosa dan
ester sulfat.
Praktikum Farmakologi dan Toksikologi yang berjudul “ANALISIS EFEK OBAT ANTIINFLAMASI
PADA HEWAN COBA” Ini dilaksanakan pada hari Kamis, 22 April 2020. Praktikum ini dilaksanakan di
Laboratorium Farmasi Klinik Jurusan Farmasi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
3.2 Alat
3.2.1 Plestimograph
3.3 Bahan
3.3.2 Indometasin 1%
3.3.3 Deksaetason
Hewan coba yang digunakan adalah tikus jantan wistar 200-300 gram
3.5 cara kerja
Sampel
----4 ekor tikus ditimbang dan kedua kaki belakang diberi tanda diatas lutut
----tikus kontrol (n=1) telapak kaki kanan disuntik dengan karagenin 0,1 ml dan diukur segera
volume odem dengan mencelupkan telapak kaki (sampai tanda ) ke dalam air raksa pada alat
pletismograph. Pengukuran diulangi pada 3 jam kemudian. Untuk telapak kaki kiri, disuntik dengan
0,1% dan diukur volume telapak kaki seperti diatas
----tikus perlakuan, tikus dibagi menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok diberi obat intra peritonial
dengan volume suntikan 40 ml/kg BB seperti berikut :
Aspirin
Deksametaso 4 mg/kg BB
----satu jam sesudah pemberian obat’ tikus disuntik dengan karagenin seperti diatas (no 2)
pengukuran volume udem dilakukan segera dan 3 jam setelah pemberian karagenin
----tugas praktikan
a. menghitung persen penghambataninflamasi untuk tiap obat pada tiap dosis uji
b. b Jika daya antiinflamasi aspirrn diberi skor absolut, hitung potensi relative tiap obat pada tiap
dosis
Hasil
BAB IV
2,7+2,8+2,8+2,5+ 2,3+1,7+1,8
- Tikus 2 = −¿ 0,9 ml
7
= 2,37– 0,9 ml = 1,47ml
2,5+2,5+2,1+1,5+1,1+0,85+0,9
- Tikus 3 = −¿0,9 ml
7
= 1,63 ml – 0,9 ml = 0,73 ml
2,4+2,2+1,6+1,0+ 0 , 95+0,85+0,9
- Tikus 3 = −¿ 0,9 ml
7
= 1,41 ml – 0,9 ml = 0,51 ml
5. Volume Udem
Volume udem = Vol. udem kaki kontrol – Vol. udem kaki uji
= 0,34 ml
6. % Hambatan/Efektivitas
X−Y
% Hambatan/Efektivitas = x 100%
X
X: Volume udem kelompok kontrol
% Hambatan/Efektivitas
1,47 ml−0,73 ml
Tikus 3 = x 100 %=50 %
1,47 ml
2. Volume udem dari kelompok Dexametason
4.2 Pembahasan
Inflamasi merupakan tindakan protektif yang berperan dalam melawan agen penyebab jejas sel.
Inflamasi melakukan misi pertahanannya dengan cara melarutkan, menghancurkan, atau menetralkan
agen patologis . Fenomena yang terjadi dalam proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular,
meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit menuju jaringan radang. Tanda-tanda dari
proses inflamasi antara lain rubor, kalor, tumor, dolor, dan functio laesa. Rubor, kalor, dan tumor pada
inflamasi akut terjadi karena peningkatan aliran darah dan edema (Utami dkk,2011).
Saat berlangsungnya feomena inflamasi ini banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara
lokal seperti histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT) atau serotonin, faktor kemotaktik, bradikinin,
leukotrien, dan prostaglandin. Inflamasi dapat dibedakan menjadi akut dan kronik. Inflamasi akut
memiliki onset dan durasi lebih cepat. Inflamasi akut dapat terjadi beberapa menit hingga beberapa
hari, ditandai dengan adanya cairan eksudasi protein plasma maupun akumulasi leukosit neutrofilik yang
dominan. Inflamasi kronik memiliki durasi yang lebih lama (hari hingga tahun). Inflamasi kronis dapat
bersifat berbahaya. Tipe dari inflamasi kronik ditentukan oleh peningkatan limfosit dan makrofag yang
berhubungan dengan proliferasi vaskular dan fibrosis (Utami dkk,2011).